12
BAB 2 PERJANJIAN KREDIT PERBANKAN
2. 1. Perjanjian Pada Umumnya 2.1.1. Pengertian Perjanjian Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.17 Menurut pasal 1313 KUHPerdata, “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Di dalam pasal 1340 KUHPerdata menentukan bahwa perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga, tidak dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat karenanya.18 Dari perjanjian timbulah suatu hubungan antara pihak yang satu dengan pihak yang lain yang dinamakan dengan perikatan. Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antar dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.19 Kata ”perikatan” (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari ”perjanjian”, sebab dalam Buku III KUHPerdata, diatur juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechmatige daad) dan perihal perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwaarneming).20
17
R. Subekti (A), Op.cit., hal. 1.
18
Wahyono Darmabrata, Hukum Perdata (Pembahasan Mengenai Asas-Asas Hukum Perdata), cet.I (Jakarta: CV Gitama Jaya, 2004), hal.35. 19
R. Subekti (A), Op.cit., hal. 1.
Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
13
2.1.2 Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian Syarat-sahnya perjanjian ada 2 (dua) macam, yaitu pertama mengenai subyeknya (yang membuat perjanjian) dan kedua mengenai obyeknya yaitu apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak, yang merupakan isinya perjanjian atau apa yang dituju oleh para pihak dengan membuat perjanjian tersebut.21 Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, untuk sahnya suatu perjanjian maka perlu ditinjau dari 4 (empat) syarat, yang terdiri atas: 1. Kesepakatan bagi mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian; 3. Mengenai suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal. Dua syarat pertama, dinamakan syarat subyektif, karena mengenai orangorangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian. Kemudian dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif, karena mengenai perjanjiannya itu sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.22
2.1.2.1. Kesepakatan bagi mereka yang mengikatkan dirinya Dengan sepakat atau juga dinamakan dengan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang diadakan itu.23 Apa yang dikehendaki oleh para pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak lain. Dengan adanya kata sepakat dalam mengadakan perjanjian, ini berarti kedua belah pihak haruslah mempunyai kebebasan berkehendak. Para pihak tidak mendapat
20
R. Subekti (B), Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet. 29, (Jakarta: Intermasa, 2001), hal.
122. 21
R. Subekti (C), Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1988), hal. 16. 22
R. Subekti (a), Op. cit., hal. 17.
23
Ibid. Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
14
sesuatu tekanan yang mengakibatkan ”cacat” bagi perwujudan kehendak tersebut.24 Pengertian sepakat digambarkan sebagai suatu pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende verklaring) antara para pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan tawaran (offerte) dan pernyataan pihak yang menerima tawaran dinamakan akseptasi (acceptatie).25 Sehubungan dengan syarat kesepakatan mereka yang mengikatkan diri, dalam KUHPerdata dicantumkan beberapa hal yang merupakan faktor, yang dapat menimbulkan cacat pada kesepakatan tersebut, yaitu kekhilafan yang terdapat pada pasal 1322 KUHPerdata, yang terbagi 2 (dua) dalam error in persona dan error in substantia. Yang dimaksud dengan error in persona adalah kekhilafan salah satu pihak terhadap pihak lain yang membuat perjanjian atau bisa disebut salah orang. Error in substantia adalah kekhilafan mengenai hakikat barang yang menjadi objek perjanjian. Paksaan terdapat dalam Pasal 1323-1327 KUHPerdata. Paksaan bisa datang dari salah satu pihak yang ikut membuat perjanjian atau dari pihak ketiga yang sama sekali tidak ada hubungan dengan perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang membuat perjanjian atau bisa berupa ancaman. Kemudian di dalam pasal 1328 KUHPerdata membicarakan mengenai penipuan. Yang dimaksud oleh pembuat Undang-Undang, penipuan ini tidak bisa hanya dengan kata-kata bahwa seorang telah menggunakan tipu muslihat tetapi harus dibuktikan.
2.1.2.2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian Dalam Pasal 1330 KUHPerdata disebut orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian, yaitu: a. Orang-orang yang belum dewasa; b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
24
Mariam Darus Badrulzaman (A), KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, (Bandung: Alumni, 1993), hal. 98. 25
Ibid. Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
15
c. Orang perempuan dalam hal –hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang, dan semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.26 Cakap untuk bertindak adalah kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Sedangkan perbuatan hukum itu sendiri adalah perbuatan yang menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum sebagaimana ditentukan oleh Undang-Undang. Kriteria dari orang-orang yang belum dewasa diatur dalam KUHPerdata Pasal 330, yaitu orang-orang yang belum genap berumur 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak kawin sebelumnya. Menurut Pasal 433 KUHPerdata, orang-orang yang diletakkan di bawah pengampuan adalah orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap dan boros. Dalam hal ini pembentuk Undang-Undang memandang bahwa yang bersangkutan tidak mampu menyadari tanggungjawabnya dan karena itu tidak cakap bertindak
untuk
mengadakan suatu perjanjian.27 Pasal 1330 dan Pasal 108 KUHPerdata memandang bahwa seorang wanita yang telah bersuami tidak cakap untuk
mengadakan perjanjian. Akan tetapi
dengan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 1963 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 31, kedudukan wanita yang telah bersuami itu diangkat ke derajat yang sama dengan pria; untuk mengadakan perbuatan hukum dan menghadap di depan pengadilan ia tidak memerlukan lagi bantuan dari suaminya.28 2.1.2.3. Mengenai suatu hal tertentu Suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu
26
R. Subekti (a), Op.cit., hal.
27
Mariam Darus Badrulzaman (A), Op.cit., hal.104.
28
Ibid. hal 105. Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
16 perselisihan.29 Suatu perjanjian haruslah mempunyai obyek (bepaald ondewerp) tertentu, sekurang-kurangnya dapat ditentukan bahwa obyek tertentu itu dapat berupa benda yang sekarang ada dan nanti akan ada. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya.30
2.1.2.4. Suatu sebab yang halal Mengenai suatu sebab yang halal dapat dilihat dalam Pasal 1335-1337 KUHPerdata. Suatu sebab yang halal adalah isi dari perjanjian itu sendiri tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Perjanjian yang dibuat dengan sebab yang demikian tidak mempunyai kekuatan, seperti yang tercantum dalam Pasal 1335 KUHPerdata. Seperti yang sudah disebutkan di atas bahwa dalam syarat sahnya perjanjian, dibedakan antara syarat subyektif dan syarat obyektif. Apabila syarat subyektif tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut bukan batal demi hukum, akan tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta perjanjian tersebut untuk dibatalkan. Apabila syarat obyektif tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum (null and void), artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.31 2.1.3. Macam-Macam Perjanjian Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara lisan dan apabila dibuat secara tertulis maka ini bersifat sebagai alat bukti apabila terjadi perselisihan.32 Berbicara mengenai macam-macam perjanjian, dapat dibedakan menurut berbagai cara, antara lain. 1. Perjanjian Timbal Balik
29
R. Subekti (a), Op.cit., hal. 19.
30
Mariam Darus Badrulzaman (A), Op.cit., hal. 80.
31
R. Subekti(a), Op.cit., hal. 20.
32
Mariam Darus Badrulzaman et. al (B)., Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hal.65. Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
17
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual beli. Perjanjian timbal balik seringkali juga disebut perjanjian bilateral (sebenarnya bisa disebut juga perjanjian dua pihak).33 2. Perjanjian Sepihak Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pada satu pihak saja (terhadap lawan janjinya), sedang pada pihak yang lain hanya ada hak saja.34 3. Perjanjian Cuma-Cuma Persetujuan cuma-Cuma adalah persetujuan di mana satu pihak memberi keuntungan kepada pihak lainnya tanpa menerima kontra-prestasi.35 4. Perjanjian Atas Beban Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu da hubungannya menurut hukum.36 5. Perjanjian Bernama (Benoemd) Perjanjian bernama adalah perjanjian yang dikenal dalam KUHPerdata. Perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk UndangUndang. 6. Perjanjian Tidak Bernama (Onbenoemde Overeenkomst) Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang timbul, tumbuh dan berkembang di msyarakat akibat asas kebebasan berkontrak, yang tidak dikenal di dalam KUHPerdata. Akan tetapi perjanjian ini tunduk kepada ketentuan umum syarat sahnya perjanjian dalam KUHPerdata. 7. Perjanjian Obligatoir
33
J. Satrio, Hukum Perjanjian, cet. 1, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1992), hal. 36.
34
Ibid., hal. 35.
35
R.M. Suryodiningrat, Asas-Asas Hukum Perikatan, cet. 2, (Bandung: Tarsito, 1985),
36
Mariam Darus Badrulzaman (B), Op.cit., hal.67.
hal. 75.
Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
18
Perjanjian obligatoir adalah perjanjian di mana para pihak sepakat, mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain.37 8. Perjanjian Kebendaan (Zakelijk) Perjanjian
kebendaan
adalah
perjanjian
dengan
mana
seorang
menyerahkan haknya atas sesuatu benda kepada pihak lain, yang membebankan kewajiban pihak itu untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain (levering, transfer).38 Perjanjian ini dimaksudkan untuk mengalihkan benda (hak atas benda) disamping untuk menimbulkan, mengubah, atau menghapuskan hak kebendaan.39 9. Perjanjian Riil Perjanjian riil adalah perjanjian yang baru terjadi, kalau barang yang menjadi pokok perjanjian telah diserahkan,40 misalnya pinjam pakai (Pasal 1740 KUHPerdata).41 10. Perjanjian Liberatoir Perjanjian di mana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan utang, pasal 1438 KUHPerdata.42 11. Perjanjian Pembuktian (Bewijsovereenkomst) Perjanjian pembuktian adalah perjanjian di mana para pihak menetapkan alat-alat bukti apa yang dapat (atau dilarang) digunakan dalam hal terjadi perselisihan antara para pihak.43 12.
Perjanjian Untung Untungan Perjanjian yang obyeknya ditentukan kemudian, misalnya perjanjian
asuransi, Pasal 1774 KUHPerdata.44 Perjanjian asuransi merupakan perikatan
37
Ibid.
38
Ibid., hal.68.
39
J. Satrio, Op.cit., hal.48.
40
Ibid., hal.41.
41
Mariam Darus Badrulzaman (B), Op.cit., hal.67.
42
Ibid.
43
J. Satrio, Op.cit., hal.51. Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
19
yang digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi. 13. Perjanjian Publik Perjanjian publik yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak yang bertindak adalah pemerintah dan pihak lainnya adalah swasta. Diantara keduanya terdapat hubungan atasan dengan bawahan.45 14. Perjanjian Campuran Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengadung berbagai unsur perjanjian, misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa menyewa) tapi pula menyajikan makanan (jual beli) dan juga memberikan pelayanan. Terhadap perjanjian campuran itu ada berbagai paham.46 . 2.1.4. Perjanjian Kredit Perbankan dan Tinjauan Umum Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank , mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.47 Menurut pasal 3 UU No. 10 Tahun 1998, fungsi utama bagi perbankan di Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Fungsi perbankan tersebut dalam penerapannya disesuaikan dengan jenis banknya dan sebagaimana yang terdapat dalam pasal 5 UU No. 10 Tahun 1998, jenis-jenis bank adalah bank umum dan bank perkreditan rakyat, yang masingmasing memiliki cakupan bidang usaha yang berbeda. Seperti misalnya pada bank umum yang mempunyai fungsi:48
44
Mariam Darus Badrulzaman (B), Op.cit., hal.69.
45
Ibid.
46
J. Satrio, Op.cit., hal.123.
47
Indonesia (A), Undang-undang tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, UU No.10 Tahun 1998, LN Tahun 1998 No.182, TLN No.3790, pasal 1 angka 2. 48
Ibid. hal. 79. Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
20
1. Mengumpulkan dana yang sementara menganggur untuk dipinjamkan pada pihak lain atau membeli surat-surat berharga (financial investment). 2. Mempermudah dalam lalu lintas pembayaran uang. 3. Menjamin keamanan uang masyarakat yang sementara tidak digunakan. 4. Menciptakan kredit (created mony deposit) melalui demand deposit (deposito
yang
sewaktu-waktu
dapat
diuangkan)
dari
kelebihan
cadangannya. Dalam dunia perbankan, perjanjian pinjam-meminjam dengan obyek uang dikenal dengan istilah perjanjian kredit. Perjanjian kredit itu sendiri sesungguhnya mengatur mengenai apa yang akan diperjanjikan di dalam melakukan perjanjian pinjam-meminjam dengan uang sebagai obyeknya sehingga sering disebut bahwa perjanjian kredit merupakan perjanjian pendahuluan. Kata “kredit” berasal dari bahasa Latin credere yang berarti percaya atau to believe atau to trust. Sehingga pemberian kredit oleh suatu lembaga keuangan/bank kepada seseorang atau badan usaha berlandaskan kepercayaan (faith). Menurut Encyclopedia of professional Management, volume I, halaman 250,seperti yang dikutip oleh H. Moh. Tjoekam dalam bukunya Perkreditan Bisnis Inti Bank Komersil (Konsep, Teknik dan Kasus), dari sudut ekonomi pengertian yang universal dari credere atau kredit adalah:
“To give or extend economic value to someone or to business firm else now on faith or trust that the economic equivalent will be returned to the extender in the future.”49
Perjanjian kredit menurut Hukum Perdata Indonesia merupakan salah satu dari bentuk perjanjian pinjam-meminjam (verbruiklening) yang diatur dalam Buku Ketiga KUH Perdata. Dalam pemberian kredit sebenarnya terjadi beberapa hubungan hukum, yaitu tidak saja berdasarkan perjanjian pinjam-meminjam akan tetapi terjadi juga hubungan hukum berdasarkan perjanjian pemberian kuasa, perjanjian pertanggungan (asuransi), dan lain-lain. Sehingga dapat disimpulkan 49
H. Moh. Tjoekam, Perkreditan Bisnis Inti Bank Komersil (Konsep, Teknik dan Kasus), (jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 1-2. Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
21
bahwa perjanjian kredit, khususnya perjanjian kredit perbankan di dalam pelaksanaannya tidaklah sama (identik) sebagaimana diatur dalam perjanjian pinjam-meminjam (verbruiklening) dalam KUHPerdata50, namun bersumber dari sana untuk pengaturan umumnya. Menurut Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, pengertian kredit adalah sebagai berikut:
“Kredit penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga”.
Dari pengertian tersebut terlihat kontra prestasi yang akan diterima berupa bunga. Berkaitan dengan perjanjian pinjam-meminjam ini, tentunya para pihak telah mempunyai kesepakatan terlebih dahulu. Berbicara mengenai kesepakatan, Sutan Remy berpendapat bahwa kata-kata persetujuan atau kesepakatan pinjammeminjam di dalam definisi pengertian kredit berdasarkan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dapat mempunyai beberapa maksud sebagai berikut: 1. Bahwa pembentuk Undang-Undang bermaksud untuk menegaskan bahwa hubungan kredit adalah hubungan kontraktual antara bank dan nasabah debitur yang berbentuk pinjam-meminjam, sehingga dalam hal ini hubungan kredit bank berlaku Buku Ketiga (tentang Perikatan) pada umumnya dan Bab Ketigabelas (tentang pinjam-meminjam) KUHPerdata khususnya. 2. Adanya keharusan dari pembentuk Undang-Undang bahwa hubungan kredit bank dibuat berdasarkan perjanjian tertulis. Karena apabila kita melihat dari bunyi ketentuan saja, maka akan sulit untuk menafsirkan bahwa ketentuan tersebut memang menghendaki agar pemberian kredit bank harus diberikan berdasarkan perjanjian tertulis.
50
Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, (Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 385-386. Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
22
Berdasarkan ketentuan Kabinet No. 15/EK/IN/10/1966 tanggal 3 Oktober 1966 jo. Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I No. 2/539/UPK/Pemb. Tanggal 8 Oktober 1966 dan Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I No. 2/649 UPK/Pemb. Tanggal 20 Oktober 1966 dan Instruksi Presidium Kabinet Ampera No. 10/EK/IN/2/1967 tanggal 6 Februari 1967, menentukan bahwa dalam pemberian
kredit
dalam
bentuk
apapun
bank-bank
wajib
mempergunakan/membuat akad perjanjian kredit. Dalam memberikan kredit bank harus menggunakan akad perjanjian sehingga memiliki kekuatan pembuktian, maka bank biasanya menggunakan kontrak/perjanjian kredit yang bentuknya sudah baku sehingga tidak perlu untuk selalu membuat perjanjian kredit setiap saat, karena apabila bank akan memberikan kredit kepada nasabah debiturnya perjanjiannya telah siap sehingga hanya diperlukan tanda tangan nasabah debitur. Pengertian nasabah sendiri menurut Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 menyatakan bahwa “Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank”51
Atas pengertian yang demikian, maka oleh para ahli dan menurut penulis sendiri, nasabah termasuk ke dalam kategori konsumen khususnya konsumen bank. Nasabah bank terbagai atas: a. Nasabah penyimpan, adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dan dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan; b. Nasabah debitur, adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.
Sudah merupakan hal yang umum bahwa di dalam perjanjian kredit,
51
Indonesia (B), Undang-Undang tentang Perbankan Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998, UU No. 7 Tahun 1992, LN No. 182 Tahun 1998, TLN No.3790, ps.1. Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
23
kepada nasabah debitur dibebankan kewajiban membayar bunga kredit sebagai kontra prestasi dan biaya administrasi. Besar kecilnya bunga kredit biasanya ditentukan oleh bank secara sepihak menurut pedoman perhitungan yang telah dilaporkan kepada Bank Indonesia sebagai pengawas seluruh bank di Indonesia. Keuntungan konvensional usaha bank diperoleh dari selisih bunga kredit yang diterima dari nasabah debitur dengan bunga simpanan yang diberikan kepada nasabah penyimpan, yang mana atas selisih bunga ini di dalam dunia perbankan disebut dengan istilah spread basis. Kerugian bank akan terjadi apabila bunga simpanan lebih besar dibandingkan bunga kredit, hal ini disebut negative spread. Selain itu, dari semua yang telah dikemukakan di atas, perlu untuk diingat bahwa bisnis bank merupakan regulated business sehingga banyak terikat dengan ketentuan perbankan yang berlaku pada saat ini dan adanya campur tangan dari pemerintah termasuk di dalamnya mengenai perjanjian kredit yang dilakukan dalam bentuk baku sekalipun. Berbagai pengertian kredit tersebut dapat memungkinkan diperolehnya gambaran mengenai apa itu kredit, dan dari pengertian-pengertian kredit itulah dapat disimpulkan adanya beberapa unsur yang terdapat dalam kredit, yaitu52: a. Adanya kesepakatan atau perjanjian antara pihak kreditur dengan debitur yang disebut perjanjian kredit. b. Adanya para pihak, yaitu pihak kreditur sebagai pihak yang memberikan pinjaman, seperti bank, dan pihak debitur, yang merupakan pihak yang membutuhkan uang pinjaman atau barang atau jasa. c. Adanya unsur kepercayaan dari kreditur bahwa pihak debitur mau dan mampu membayar atau mencicil kreditnya. d. Adanya kesanggupan dan janji membayar hutang dari pihak-pihak debitur. e. Adanya pemberian sejumlah uang atau barang atau jasa oleh pihak kreditur kepada pihak debitur.
52
Munir Fuady (A), Hukum Perkreditan Kontemporer, cet. ke 1 (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 7. Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
24
f. Adanya pembayaran kembali sejumlah uang atau barang atau jasa oleh pihak debitur, disertai dengan pemberian imbalan atau bunga atau pembagian keuntungan. g. Adanya perbedaan waktu antara pemberian kredit oleh kreditur dengan pengembalian kredit oleh debitur. h. Adanya resiko tertentu yang diakibatkan karena adanya perbedaan waktu tadi. Semakin panjang waktunya, semakin besar resiko tidak terlaksananya pembayaran kembali suatu kredit. Unsur-unsur tersebut merupakan ciri-ciri yang ada pada kredit yang secara garis besar dapat digolongkan kembali menjadi empat pokok unsur kredit, yaitu53: a. Kepercayaan, yaitu keyakinan pemberi kredit bahwa prestasi yang diberikannya akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang. b. Tenggang waktu, yaitu suatu masa yang memisahkan saat pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang. c. Degree of rist, yaitu tingkat resiko yang akan dihadapi sebagai akibat adanya jangka waktu yang memisahkan pemberian prestasi dengan kontraprestasi. Semakin lama jangka waktunya, semakin tinggi tingkat resikonya, karena unsur ketidaktentuan kemampuan hari depan yang tidak dapat diperhitungkan. Dengan adanya resiko ini maka timbul jaminan dalam pemberian kredit. d. Prestasi, atau obyek kredit yang dapat berupa uang, barang, atau jasa. Namun kehidupan ekonomi modern sekarang lebih banyak menyangkut uang.
53
Thomas Suyatno, op.cit., hal. 12-13. Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
25
2.2. Jenis-Jenis Kredit Perkembangan kredit saat ini memang sudah jauh dari bentuk awalnya, terutama karena berbagai kebutuhan manusia yang semakin beragam. Salah satu bukti perkembangan kredit tersebut dapat dilihat melalui jenis-jenis kredit yang dikenal saat ini. Begitu banyaknya jenis kredit memperlihatkan begitu eratnya eksistensi kredit dengan usaha pemenuhan kebutuhan manusia.
Sebenarnya
perkembangan berbagai jenis kredit tersebut, tidak dapat dipisahkan dari kebijakan perkreditan yang ditetapkan sesuai dengan tujuan pembangunan.54 Jenis kredit pada mulanya berupa kredit perorangan, karena didasarkan kepercayaan murni atau saling mengenal.
Dengan berkembangnya keadaan
ekonomi yang mengembangkan pula unsur-unsur yang menjadi landasan kredit, maka kemudian timbul berbagai jenis kredit sampai seperti sekarang ini. Untuk lebih mudah memahaminya, jenis-jenis kredit digolongkan berdasarkan kriteria yang digunakan, yaitu55: a. Penggolongan berdasarkan jangka waktu: 1. Kredit jangka pendek (short term loan). 2. Kredit jangka menengah (medium term loan). 3. Kredit jangka panjang (long term loan). Jangka waktu untuk masing-masing kredit berbeda-beda, tergantung dari ketentuan banknya. Misalnya untuk kredit jangka pendek, ada bank yang memberlakukan jangka waktu tidak lebih dari 1 tahun, ada juga bank yang memberlakukan jangka waktu untuk 2 tahun. b. Penggolongan berdasarkan dokumentasi: 1. Kredit dengan perjanjian tertulis. 2. Kredit tanpa surat perjanjian, yang dibagi menjadi: i. Kredit lisan, yang saat ini sudah sangat jarang. 54
Muhammad Djumhana, op.cit., hal. 233.
55
Munir Fuady (A), op.cit., hal. 15-21. Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
26
ii. Kredit dengan instrumen surat berharga. iii. Kredit Cerukan, yang timbul karena: -
Penarikan atau pembebanan giro yang melampaui saldonya.
-
Penarikan atau pembebanan R/C yang melampaui plafondnya.
c. Penggolongan berdasarkan Kolektibilitas:56 1. Kredit lancar. 2. Kredit dalam perhatian khusus. 3. Kredit kurang lancar. 4. Kredit diragukan. 5. Kredit macet. d. Penggolongan berdasarkan bidang ekonomi: 1. Kredit sektor pertanian, perburuhan, dan sarana pertanian. 2. Kredit sektor pertambangan. 3. Kredit sektor perindustrian. 4. Kredit sektor listrik, gas, dan air. 5. Kredit sektor konstruksi. 6. Kredit sektor perdagangan, restoran, dan hotel. 7. Kredit pengangkutan, perdagangan, dan komunikasi. 8. Kerdit sektor jasa.
56
Bank Indonesia (A), Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Tentang Kualitas Aktiva Produktif , SK No. 30/267/KEP/DIR/1998, psl. 4. Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
27
9. Kredit sektor lain-lain. e. Penggolongan berdasarkan tujuan penggunaanya: 1. Kredit konsumtif, yang diberikan untuk keperluan konsumsi sehari-hari. 2. Kredit produktif, yang terdiri dari: i. Kredit investasi, untuk membeli barang modal atau barang yang tahan lama. ii. Kredit modal kerja atau kredit eksploitasi, untuk membeli modal lancar yang habis dalam pemakaiannya. iii. Kredit Likuiditas, untuk membantu perusahaan yang sedang kesulitan likuiditas. f. Penggolongan berdasarkan obyek yang ditransfer: 1. Kredit uang, yang pemberian dan pengembaliannya dilakukan dalam bentuk uang. 2. Kredit bukan uang, yang pemberiannya dalam bentuk barang dan jasa, namun pengembaliannya dalam bentuk uang. g. Penggolongan berdasarkan waktu pencairannya: 1. Kredit tunai, yang pencairannya secara tunai atau dengan pemindahbukuan ke rekening debitur. 2. Kredit tidak tunai, yang pencairannya tidak dilakukan saat pinjaman dibuat, seperti: i. Garansi Bank atau Stand by L/C, yang baru akan dibayar bila terjadi pembuatan tertentu. ii. Letter of Credit, yang merupakan jaminan pembayaran dalam kegiatan ekspor impor. Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
28
h. Penggolongan berdasarkan cara penarikannya: 1. Kredit sekali jadi (aflopend), yang pencairannya sekaligus, seperti tunai atau pemindahbukuan. 2. Kredit rekening koran, yang waktu penarikannya tidak teratur dan dapat dilakukan berulang kali selama plafond kredit masih tersedia, misalnya bilyet giro atau cek. 3. Kredit berulang-ulang (revolving loan), yang diberikan sesuai kebutuha selama dalam batas maksimum dan amsih dalam jangka waktu yang diperjanjikan. 4. Kredit
bertahap,
yang
pencairannya
dalam
beberapa
termin/bertahap. 5. Kredit tiap transaksi (self-liquidating credit), yang penarikannya sekaligus untuk satu transaksi tertentu dan pengembaliannya diambil dari hasil transaksi yang bersangkutan. i. Penggolongan berdasarkan pihak krediturnya: 1. Kredit terorganisasi, yang diberikan badan-badan secara legal, seperti bank atau koperasi. 2. Kredit tidak terorganisasi, yang diberikan orang, kelompok orang, atau badan yang tidak resmi, seperti: i. Kredit rentenir. ii. Kredit penjual, dengan menyerahkan barang dulu. iii. Kredit pembeli, dengan menyerahkan uannya dulu. j. Penggolongan berdasarkan nagara asal kreditur: 1. Kredit domestik (onshore credit). 2. Kreit luar negeri (offshore credit). Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
29
k. Penggolongan berdasarkan jumlah kreditur: 1. Kredit dengan kreditur tunggal (single loan). 2. Kredit sindikasi (syndicated loan), yang mempunyai lebih dari satu kreditur dengan satu kreditur sebagai lead creditor/lead bank. Selain kriteria yang digunakan di atas, masih banyak lagi keriteria yang dapat digunakan untuk menggolongkan berbagai jenis kredit.
Penjabaran
semua kriteria itu pada dasarnya hendak memperlihatkan perkembangan kredit yang telah mengisi berbagai segi kegiatan manusia. 2.3. Prinsip-prinsip dalam pemberian kredit Dalam melakukan setiap usahanya, bank wajib memerhatikan prinsip kehati-hatian (prudent principle).57 Hal tersebut tidak terkecuali dalam usaha penyaluran kredit. Bank Indonesia menerbitkan ketentuan-ketentuan yang harus ditaati oleh bank sebagai upaya untuk meminalisasi resiko akibat kredit dan berkenaan dengan penerapan prinsip kehati-hatian bank. Ketentuan-ketentuan tersebut antara lain penentuan Batas Umum Pemberian Kredit (BMPK), rasio kredit terhadap simpanan (Loan to Deposit Ratio/LDR), Rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR), alokasi jumlah kredit untuk golongan usaha tertentu, dan batas minimum perolehan bank.58 Prinsip yang paling dikenal dalam perkreditan adalah prinsip 5 C yaitu watak/kepribadian (character), kemampuan (capacity), modal (capital), kondisi perekonomian (condition of economic), dan jaminan atau agunan (collateral). Prinsip 5 C tersebut adalah hal-hal yang harus dipenuhi oleh debitur untuk memberikan keyakinan kepada bank dalam memberikan kredit.59
Beberapa
tambahan untuk mengurangi resiko adalah penutupan asuransi (covering) dan hambatan yang tidak memungkinkan kredit diberikan (constrains). Prinsip lain 57
Indonesia (A), op.cit. , pasal 2.
58
Rachnat Firdaus dan Maya Ariyani, Manajemen Perkreditan Bank Umum (Bandung: Alfabeta, 2004), hal. 44-50. 59
Ibid, hal. 88. Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
30
yang juga dikenal dalam pemberian kredit adalah prinsip 5 P dan prinsip 3 R. Prinsip 5 P terdiri dari golongan (party), tujuan (purpose), sumber pembayaran (profitability), dan perlindungan (protection).60 Selain itu, dikenal juga prinsip mengenal nasabah (personality) dan prinsip mengenal usaha nasabah di masa mendatang (prospect).61 Sedangkan yang dikenal dengan prinsip 3 R terdiri dari hasil yang dicapai (return), pembayaran kembali (repayment), dan kemampuan untuk menanggung resiko (risk bearing ability).62
2.4. Pedoman Kebijakan Perkreditan Bank Setelah memperhatikan prinsip-prinsip perkreditan yang umum dikenal, suatu bank juga mempunyai Pedoman Kebijakan Perkreditan Bank sebagaimana yang diamanatkan oleh Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia No. 27/162/KEP/Dir. 31 Maret 1995 tentang Pedoman Penyusunan Kebijaksanaan Perkreditan Bank (PPKPB). PPKPB tersebut mengatur mengenai bagaimana cara memberikan kredit (prosedur), bagaimana memonitori kredit, dan bagaimana menyelamatkan kredit yang bermasalah. Suatu kebijaksanaan perkreditan bank minimal memuat ketentuan-ketentuan sebagai berikut:63 a. Portofolio kredit yang sehat b. Organisasi dan manajemen perkreditan c. Kebijakan persetujuan kredit d. Administrasi dan dokumentasi kredit e. Monitoring dan pengawasan kredit f. Penyelamatan dan penyelesaian kredit bermasalah Kebijaksanaan ini dilakukan untuk menghindari dampak dari resiko
60
Ibid, hal. 88-89.
61
Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 119.
62
Firdaus, op.cit., hal. 89-90.
63
Ibid, hal 41-52. Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
31
kredit yang mungkin terjadi. Resiko kredit yang mungkin terjadi antara lain adalah
resiko
usaha,
resiko
usaha,
resiko
geografis,
resiko
keramaian/keamanan/tawuran/perkelahian, resiko politik/kebijakan pemerintah, resiko ketidakpastian, dan resiko lainnya.64
Jika terjadi resiko-resiko kredit
tersebut maka kemungkinan besar akan menyebabkan terjadinya kredit bermasalah.
Grafik Perkembangan Kerdit Menurut Jenis
45 40 35 30
Modal Kerja
25
Investasi 20
Konsumsi
15 10 5 0 2002
Modal Kerja Investasi Konsumsi
2003
2002 13.79 11.32 36.5
2004
2003 13 13.45 39.04
2005
2004 24.05 23.96 35.84
Okt. 2006
2005 22.4 13.2 36.81
Okt. 2006 12.61 6.4 8.41
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia BI
2.5. Mekanisme Penyaluran Kredit Bank Dengan memperhatikan prinsip dan pedoman kebijakan dalam perkreditan bank di atas, tiap-tiap bank mempunyai kebebasan untuk menentukan mekanisme penyaluran kredit. Mekanisme pemberian kredit adalah tahap-tahap yang harus dilalui sebelum suatu kredit diputuskan untuk diberikan.65 Mekanisme pemberian kredit bank tersebut meliputi persiapan kredit, analisis atau penilaian
64
65
Ibid, hal. 36.
Ibid, hal. 35. Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
32
kredit, keputusan kredit, pelaksanaan dan administrasi kredit, dan supervisi kredit dan pembinaan debitur.66 Tahap persiapan kredit adalah tahap awal untuk para pihak saling mengenal. Tahap ini dapat dilakukan melalui wawancara untuk mendapatkan informasi dasar.67 Selain itu, tahap persiapan ini juga dapat dilakukan dengan pengajuan
proposal
dan
pelampiran
dokumen-dokumen
oleh
debitur.68
Selanjutnya, tahap analisis adalah tahap penilaian usaha dan proyek pemohon kredit.69 Aspek-aspek penilaian tersebut meliputi antara lain aspek yuridis, aspek pasar, aspek keuangan, aspek teknisi, aspek manajemen, aspek sosial ekonomi, aspek amdal suatu proyek yang akan dibiayai dengan kredit tersebut.70 Disamping itu, dikenal juga aspek hubungan yaitu meliputi hubungan baik dengan berbagai pihak dan pemeliharaan hubungan selama ini.71 Aspek tenaga kerja, komersial, agunan, dan aspek-aspek khusus lainnya juga menjadi dasar analisis kredit.72 Hasil analisisi tersebut haruslah bersifat obyektif karena kemudian akan menjadi penentu dalam tahap keputusan kredit dimana akan diputuskan apakah permohonan kredit akan diterima atau ditolak. Jika diterima, maka akan dilakukan ke tahap pelaksanaan dan administrasi.
Dalam tahapan tersebut,
penandatanganan perjanjian kredit menjadi fokus utama. Hal tersebut karena perjanjian kredit tersebut yang nantinya akan menjadi dasar pengikat para pihak untuk menjalankan kewajiban-kewajibannya. Terakhir adalah tahap supervisi dan pembinaan debitur yaitu supaya pengamanan kredit dengan memantau dan memberikan nasihat kepada debitur
66
Firdaus, op.cit., hal 91.
67
Ibid, hal 91.
68
Kasmir, op.cit., hal 125-126.
69
Firdaus, op.cit., hal. 94.
70
Kasmir, op.cit., hal. 121-123.
71
Machmoedin, Kredit Bermasalah (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004), hal. 128.
72
Ibid, hal. 129-130. Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
33 agar pengembalian kredit akan berjalan dengan baik.73 Bank melakukan supervisi dan pembinaan melalui laporan hasil analisis kredit, perjanjian kredit, informasi tentang debitur, laporan keuangan, kartu operasional kredit, laporan hasil kunjungan setempat, dan instrumen lainnya.74 Dalam melakukan supervisi, bank tidak dapat mencampuri urusan sehari-hari debitur dan bank juga berkewajiban selalu merahasiakan informasi untuk kepentingan debitur.75 Supervisi dan pembinaan ini bertujuan agar pemberian kredit berjalan sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati, tercipta iklim saling percaya, dan tercipta administrasi yang memadai untuk kepentingan debitur, bank, dan pemerintah.76 Tahap ini juga merupakan suatu upaya untuk meminimalisasikan munculnya kredit bermasalah.77
73
Firdaus, op.cit., hal. 133.
74
Ibid, hal. 136-137.
75
Ibid, hal. 136.
76
Ibid, hal. 134.
77
Ibid, hal. 134. Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
34
BAB 3 RESTRUKTURISASI SEBAGAI UPAYA PENYELAMATAN KREDIT BERMASALAH
3.1. Penggolongan Kredit Bank Istilah penggolongan kredit bermasalah merupakan istilah yang dipakai untuk menunjukan penggolongan kolekbilitas kredit yang menggambarkan kualitas dari kredit itu sendiri.78 Pengertian kredit bermasalah itu sendiri adalah: a. Kredit yang berpotensi mengalami kesulitan pembayaran. b. Kredit
yang
mengalami
kesulitan
dalam
penyelesaian
kewajiban-
kewajibannya kepada bank baik dalam bentuk pembayaran kembali pokok, bunga, denda, maupun ongkos-ongkos bank yang menjadi beban debitur yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam perjanjian. c. Kredit yang dikategorikan dalam ketentuan Bank Indonesia dengan kolektibilitas 3 (kurang lancar); 4 (diragukan), dan 5 (macet).79 Penggolongan kolektibilitas kredit menurut pasal 12 ayat 3 Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum (PBI No. 7/2/PBI/2005) jo. Pasal 4 Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia No. 30/267/KEP/DIR (SKBI No. 30/267/KEP/DIR tentang Kualitas Aktiva Produktif, yaitu sebagai berikut:80 a. Lancar (pass), yaitu apabila memenuhi kriteria: 1. Pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga tepat 2. Memiliki mutasi rekening yang aktif
78
Muhamad Djumhana, op.cit.,, hal. 427
79
Pradjoto (B), “Versi Bank BUMN: Mekanisme Pemberian Kredit dan Penyelesaian Kredit Bermasalah,” (Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Solusi Hukum Penyelesaian Kredit Bermasalah dan Hambatan dalam Penyaluran Kredit, Jakarta, 2 Agustus 2006), hal. 48. 80
Bank Indonesia (A), op.cit., pasal 4. Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
35
3. Bagian dari kredit yang dijamin dengan agunan tunai (cash collateral) b. Dalam perhatian khusus (special mention), yaitu apabila memenuhi kriteria: 1. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang belum melampaui 90 (sembilan puluh) hari 2. Kadang-kadang terjadi cerukan (overdraft) 3. Mutasi rekening rendah 4. Jarang terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan 5. Didukung oleh pinjaman baru c. Kurang lancar (substandard), yaitu apabila memenuhi kriteria: 1. Terdapat tunggakan angsurang pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 90 (sembilan puluh) hari 2. Sering terjadi cerukan 3. Frekuensi mutasi rekening relatif rendah 4. Terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan lebih dari 90 (sembilan puluh) hari 5. Terdapat indikasi masalah keuangan yang dihadapi debitur 6. Dokumentasi pinjaman yang lemah d. Diragukan (doubtful), yaitu apabila memenuhi kriteria: 1. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 180 (seratus delapan puluh) hari 2. Terjadi cerukan yang bersifat permanen 3. Terjadi wanprestasi lebih dari 180 (seratus delapan puluh) hari 4. Terjadi kapitalisasi bunga Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
36
5. Dokumentasi hukum yang lemah baik untuk perjanjian kredit maupun pengikatan jaminan e. Kredit macet (loss), yaitu apabila memenuhi kriteria: 1. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 270 (dua ratus tujuah puluh) hari 2. Kerugian operasional ditutup dengan pinjaman baru 3. Dari segi hukum maupun kondisi pasar, jaminan tidak dapat dicairkan pada nilai wajar Penggolongan kredit tersebut ditinjau berdasarkan beberapa faktor yaitu prospek usaha, kondisi keuangan, dan kemampuan membayar.81
3.2. Aspek Hukum Kredit Bermasalah 3.2.1. Gejala dan Penyebab Kredit Bermasalah Ada beberapa sumber untuk melihat adanya gejala kredit bermasalah, yaitu:82 a. Perilaku rekening seperti sering mengalami overdraft, terjadi penurunan saldo secara mencolok, pembayaran tersendat-sendat, sering mengajukan permintaan penundaan pembayaran, dan mengajukan perubahan jadwal pembayaran. b. Perilaku laporan keuangan seperti likuiditas menurun, perputaran piutang menurun, persediaan meningkat, utang jangka panjang meningkat tajam, muncul utang dari kreditur lain, dan laporan keuangan tidak diaudit. c. Perilaku bisnis seperti hubungan dengan pengecer dan pelanggan menurun, harga jual terlampau rendah, ada informasi negatif dari pihak luar, perubahan mendadak dalam manajemen, dan mencari pinjaman baru.
81
Bank Indonesia (B), Peraturan Bank Indonesia Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, PBI No. 7/2/PBI/2005, LN No. 12 DPNP Tahun 2005, TLN No. 4471, pasal 10. 82
Mahmoedin, op.cit., hal. 28. Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
37
d. Perilaku nasabah seperti kesehatan nasabah menurun, nasabah meninggal, membeli aktiva tetap yang konsumtif, dan nasabah mempunyai kegiatan tertentu. e. Perilaku makro ekonomi seperti peraturan pemerintah, resesi, dan bencana alam. Demikian pula dengan faktor penyebab timbulnya kredit bermasalah dapat dilihat dari beberapa kelompok, yaitu:83 a. Faktor internal perbankan yang meliputi kelemahan dalam analisis kredit, kelemahan-kelemahan dalam dokumen kredit, supervisi kredit, petugas bank, kebijaksanaan kredit, agunan, sumber daya alam, teknologi, dan kecurangan petugas bank. b. Faktor internal nasabah yang meliputi kelemahan karakter nasabah, kemampuan nasabah, musibah yang dialami nasabah, kecerobohan nasabah, dan manajemen nasabah. c. Faktor eksternal seperti situasi ekonomi yang negatif, politik dalam negeri yang merugikan, politik negara lain yang merugikan, situasi alam yang merugikan, dan peraturan pemerintah yang merugikan. d. Faktor kegagalan bisnis senantiasa muncul di luar kemampuan para pihak seperti aspek hubungan, aspek yuridis, aspek manajemen, aspek pemasaran, aspek teknis produksi, aspek keuangan, dan aspek sosial ekonomi. e. Faktor ketidakmampuan manajemen adalah pencatatan tidak memadai, informasi biaya tidak memadai, modal jangka panjang tidak cukup, gagal mengendalikan
biaya,
overheadcost
yang
berlebihan,
kurangnya
pengawasan, gagal melakukan penjualan, investasi berlebihan, kurang menguasai teknis, dan perselisihan antara pengurus.
83
Ibid, hal. 51. Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
38
Tabel 1: Komposisi Kredit Bermasalah Menurut Sektor Ekonomi (%) 2000
2001
2002
2003
2004
2005
Agriculture
22.21
18.52
13.55
8.62
6.51
8.57
Mining
13.37
17.66
7.95
5.76
2.20
14.67
Industry
26.44
17.00
11.69
10.59
7.97
15.61
Electricity
12.59
2.49
13.05
7.33
5.11
7.27
Construction
30.64
14.73
9.49
6.04
4.26
10.60
Trading
15.01
11.06
5.96
5.77
2.95
5.47
Transportation
26.75
13.92
2.07
7.09
9.22
9.94
Services
24.41
12.87
6.29
4.58
3.99
4.65
Social Services
15.29
6.33
2.69
19.08
5.49
7.37
Others
7.32
3.29
2.51
2.70
1.63
2.26
Total NPL
20.09
12.23
7.50
6.78
4.50
7.56
Sumber: Bank Indonesia, diolah
3.2.2. Dampak Kredit Bermasalah Kredit bermasalah akan berdampak sangat luas terutama kepada pihakpihak yang berkepentingan.84
Terhadap bank, kredit bermasalah akan
mempengaruhi tingkat kesehatan suatu bank.
UU Perbankan memberikan
kewenangan kepada Bank Indonesia untuk menetapkan ketentuan tentang kesehatan bank dengan memperhatikan kualitas manajemen, rentabilitas, 84
Ibid, hal. 111. Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
39 likuiditas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank.85 Konsekuensi dari tingginya kredit bermasalah adalah besarnya kebutuhan Penyisihan Penghapusan Aktiva (PPA) yang pada gilirannya akan mengurangi keuntungan bank melalui
dua mekanisme.86
Pertama, dengan mekanisme
langsung yaitu mengurangi laba tahun berjalan dan kedua, secara tidak langsung melalui penempatan dana PPA yang tidak bisa dimanfaatkan secara produktif. Dewasa ini penilaian kesehatan bank terdapat dalam Peraturan Bank Indonesia No. 6/10/PBI/2004 dengan SE No. 6/23/DPNP tgl. 31 Mei 2004 tentang Sistem
Penilaian
Tingkat
Kesehatan
Bank
Umum
sebagai
peraturan
pelaksanaannya. Peraturan tersebut menambah faktor Sensitivity to Market Risk sebagai faktor penilaian tambahan.87 Pemeliharaan kesehatan bank tidak hanya penting bagi kelangsungan usaha bank tetapi juga penting bagi sistem perbankan dan perkembangan ekonomi nasional.88 Selain tingkat kesehatan bank, timbulnya
85
“Kebijaksanaan Bank Indonesia dalam Penyelesaian Masalah Kredit Macet Perbankan”, disampaikan dalam Kursus Manajemen Kredit Bermasalah Angkatan Ke 7 yang diselenggarakan oleh Institut Bankir Indonesia, 4-5 April 1997 di Jakarta, hal. 3. Profitabilitas adalah kemampuan bank untuk memperoleh keuntungan. Sedangkan yang dimaksud dengan bonafiditas adalah kepercayaan yang diberikan masyarakat kepada suatu bank. 86
Penyisihan Penghapusan Aktiva yang untuk selanjutnya disebut PPA adalah cadangan yang harus dibentuk sebesar persentase tertentu berdasarkan kualitas Aktiva. Aktiva sendiri terbagi dalam aktiva dana Bank untuk memperoleh pengtuk setiap factor hasilan, dalam bentuk kredit, surat berharga, penempatan dana antar bank, tagihan akseptasi, tagihan atas surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali (reverse repurchase agreement), tagihan derivative, penyertaan, transaksi rekening administrative serta bentuk penyediaan dana lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu. Aktiva Non Produktif adalah asset Bank selain Aktiva Produktif yang memiliki potensi kerugian, antara lain dalam bentuk agunan yang diambil alih, property terbengkalai (abandoned property), rekening antar kantor dan suspense account. Bank Indoenesia (B), op.cit., pasal 1 angka 19 jo angka 2 jo angka 3 jo angka 4. 87
Penilaian kesehatan bank dari CAMEL menjadi CAMELS yaitu Capital, Asset quality, Management, Earnings, Liquidity, dan Sensitivity to market risk. Penilaian juga tidak hanya berdasarkan aspek kumulatif (rasio-rasio keuangan) tapi juga aspek kualitatif. Bobot penilaian untuk setiap CAMELS ditiadakan, penilaian akan tergantung hasil analisis dengan memperhatikan indicator pendukung dan unsure judgement. Penetapan rating dilaksanakan dengan mempertimbangkan unsure judgement yang didasarkan atas materialitas dan signifikansi dari masing-masing factor. Peringkat Rating dari S, CS, KS, dan TS menjadi: Peringkat Komposit: PK-1, PK-2, PK-3, PK-4 dan PK-5. Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, “Presentasi mengenai Ketentuan Pelaksanaan (SE. No. 6/23/DPNP tgl. 31 Mei 2004) tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum”, Bank Indonesia. 88
Kebijaksanaan Bank Indonesia dalam Penyelesaian Masalah Kredit Macet Perbankan, disampaikan dalam Kursus Manajemen Kredit Bermasalah Angkatan ke 7 yang diselenggarakan oleh Institut Bankir Indonesia, 4-5 April 1997 di Jakarta, hal. 3. Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
40
kredit bermasalah juga akan berdampak pada profitabilitas dan bonafiditas suatu bank.89 Selain memberikan pengaruh langsung kepada bank, kredit bermasalah juga akan berdampak kepada karyawan bank, pemegang saham, dan nasabah. Kredit bermasalah yang timbul dapat mempengaruhi mental, karir, pendapatan, moral, dan waktu serta tenaga karyawan bank.90
Sedangkan terhadap
pemegang saham, kredit bermasalah akan berdampak pada deviden, nilai saham, dan moral mereka.91
Nasabah yang mempunyai kredit bermasalah biasanya
mengalami kerugian dalam usahanya.
Selain itu, citra dan nama baiknya di
kalangan perbankan dan kepercayaan dari luar negeri juga akan buruk.92 Sisi lain, nasabah lain, baik mereka yang meminjam kredit atau mereka yang memiliki modal juga akan merasakan dampak kredit bermasalah.
Bank juga akan
mengalami keterbatasan dalam penyediaan dana dan akan lebih melakukan pengetatan penyaluran kredit.93 Hal terparah yang mungkin terjadi adalah rush karena nasabah pemilik dana menarik uang dari bank karena ketidakpercayaan mereka akan lembaga perbankan.94 Dampak selanjutnya adalah sistem berbankan dan pemerintah sebagai otoritas moneter.
Kredit bermasalah membawa dampak pada kredibilitas,
perkembangan ekonomi, bankingmindedness, dan kesenambungan usaha suatu sistem perbankan.95
Kredit bermasalah memberikan pengaruh dalam
pembangunan moneter, sosial ekonomi, penghasilan negara, dan kesempatan kerja
89
Mahmoedin, op.cit., hal. 114.
90
Ibid, hal. 115.
91
Ibid, hal 115-116.
92
Ibid, hal. 116.
93
Ibid, hal. 117.
94
Berita kredit bermasalah pada beberapa bank yang dewasa ini sedang gencargencarnya diberitakan di media massa juga berdampak kepada beberapa debitur bagus. Mereka memutuskan untuk pindak ke bank lain karena khawatir berikutnya kredit mereka yang akan diberitakan ke publik. Djoko Retnadi, “Menyelesaikan NPL pada Bank Mandiri dan Bank BNI”, hal. 1. 95
Mahmoedin, op.cit., hal. 118. Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
41 terhadap pemerintah.96
Tingginya kredit bermasalah merupakan ancaman
terhadap stabilitas ekonomi karena membuat investasi dan dunia usaha tidak berjalan baik, menimbulkan kelesuan dalam kehidupan perekonomian, dan juga akan menurunkan daya beli masyarakat sehingga menurunkan penjualan dan mengganggu cash flow debitur.97
3.3. Ketentuan Menurut Hukum di Indonesia Mengenai Penyelesaian Kredit Bermasalah Undangan-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan pasal 29 ayat 4 menyebutkan bahwa dalam memberikan kredit dan melakukan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank.
Hal tersebut
yang
menjadikan dasar atas perlunya bank menetapkan beberapa tindakan yang mungkin bank dapat mencegah terjadinya kredit bermasalah, antara lain:98 1. Penyusunan “Pedoman Minimum Kebijaksanaan Perkreditan”. Bank diwajibkan untuk memiliki pedoman kebijaksanaan perkreditan yang memenuhi standar minimum yang harus digunakan dalam proses setiap pemberian kredit.
Pedoman ini memuat mengenai kewajiban bank
membentuk dan menggunakan Komite Kredit. 2. Penyempurnaan sistem informasi kredit dan daftar kredit macet. Penyempurnaan ini masih menitikberatkan kepada Daftar Kredit Macet yang disusun atas dasar laporan yang disampaikan oleh bank dan ternyata belum sepenuhnya akurat.
Oleh karena itu dilakukan cara dengan
memasukkan debitur yang kreditnya dinyatakan bermasalah berdasarkan hasil pemeriksaan Bank Indonesia. 3. Pencantuman debitur macet dalam daftar orang yang tidak boleh menjadi pengurus bank. 96
Ibid., hal. 118-119.
97
Ibid., hal. 27.
98
Mansjurdin Nurdin, Permasalahan Utama Perbankan Swasta Nasional Dewasa Ini dan Upaya Penanggulangannya (Makalah pada Kongres Perbanas XII/1994, Jakarta, 26 Mei 1994, hal. 23-24), sebagaimana dikutip oleh Hasanuddin Rahman, op.cit., hal. 37. Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
42
4. Penyusunan pedoman penerapan sanksi bagi pengurus bank yang melaporkan kredit macet yang tidak benar, hal ini terdapat pada pasal 49 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998 dimana tindakan pelaporan yang tidak benar dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana. 5. Pelaksanaan fungsi internal audit pada bank, yang merupakan kewajiban dan akan dikenakan sanksi apabila tidak dilakukan. Hal ini ditentukan pada 21 April 1994 antara Bank Indonesia dengan The Institute of Internal Auditors-Indonesia. 6. Policy statement pemberian kredit kepada grup pemilik bank dan debitur tertentu, yang memuat besarnya fasilitas kredit yang akan diberikan dalam periode tertentu. Dalam Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998 pasal 8 ayat (2), kembali ditegaskan bahwa Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah. Kebijakan perbankan dalam bidang perkreditan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia berdasarkan ketentuan hukum di atas, antara lain adalah Surat Keputusan Direktur BI No. 27/162/KEP/DIR tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan Bank Bagi Bank Umum, tanggal 31 Maret 1995.
Kebijakan ini
mewajibkan setiap bank menyusun
kebijakan perkreditan, mengingat bank dalam melakukan pemberian kredit mengandung resiko yang dapat berpengaruh pada kesehatan dan kelangsungan usaha bank, maka dalam pelaksanaannya harus didasarkan pada asas-asas perkreditan yang sehat. Agar pelaksanaannya dapat konsisten dan berdasarkan asas-asas perkreditan yang sehat, diperlukan suatu kebijakan tertulis. Sebagai pengatur kebijakan perbankan Indonesia, Bank Indonesia memberikan panduan atau pedoman bagi bank dalam penyusunan Kebijakan Perkreditan Bank (KPB), yang terdapat pada lampiran SK DIR Bank Indonesia tersebut, yaitu Pedoman Penyusunan Kebijaksanaan Perkreditan Bank (PPKPB).
Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
43
PPKPB hanya memberikan panduan mengenai aspek dan standar minimal yang wajib dimuat dalam KPB masing-masing bank, yang kemudian bank dapat memperluas KPB sesuai dengan kebutuhan masing-masing bank.99 a. Prinsip kehati-hatian dalam perkreditan. b. Organisasi dan manajemen perkreditan. c. Kebijaksanaan persetujuan perkreditan. d. Dokumentasi100 dan administrasi kredit. e. Pengawasan kredit. f. Penyelesaian kredit bermasalah.
Khusus mengenai penyelesaian kredit bermasalah, diatur dalam bab VII pada pedoman ini. Yang diatur dalam bab ini antara lain: 1. Kredit Dalam Pengawasan Khusus. Dalam upaya untuk meningkatkan pemantauan secara dini terhadap kreditkredit yang akan dan/atau diduga akan merugikan bank, maka bank wajib melakukan pengawasan secara khusus dengan langkah-langkah: a. Setiap bulan, bank wajib menyusun daftar atas kredit-kredit yang kolektibilitasnya tergolong kurang lancar namun cenderung memburuk pada bulan-bulan selanjutnya. Bentuk dan format daftar tersebut dapat ditetapkan masing-masing bank. b. Dalam menetapkan kolektibilitas harus sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia dan tidak boleh melakukan pengecualian terutama kredit kepada pihak-pihak yang terkait dengan bank dan debitur-debitur besar tertentu. c. Bank selanjutnya mengawasi secara khusus kredit-kredit yang termasuk dalam daftar dan segera melakukan penyelesaian. 2. Evaluasi Kredit Bermasalah. Bank secara berkala wajib melakukan evaluasi terhadap daftar kredit dalam pengawasan khusus serta hasil penyelesaiannya untuk mengetahui secara dini 99
Bank Indonesia, Pedoman Penyusunan Kebijaksanaan Perkreditan Bank (PPKPB), Lampiran SK DIR BI No. 27/162/DIR, hal. 3, point 163. 100
Dokumen Kredit adalah seluruh dokumen yang diperlukan dalam rangka penyaluran kredit yang merupakan bukti perjanjian/ikatan hukum antara bank dengan debitur dan bukti kepemilikan agunan serta dokumen-dokumen perkreditan lainnya yang merupakan perbuatan hukum dan/atau mempunyai akibat hukum, PPKPB, hal. 27. Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
44
apakah kredit dalam pengawasan khusus telah menjadi kredit bermasalah. Dan bank menghitung besarnya persentase terhadap total kredit (terutama kredit tergolong diragukan dan macaet). 3. Penyelesaian Kredit Bermasalah. Apabila dalam jumlah seluruh kredit yang kolektibilitasnya tergolong diragukan dan macet mencapai 7,5% (tujuh setengah persen) dari jumlah seluruh kredit atau kriteria lain yang ditetapkan Bank Indonesia sebagai bank yang menghadapi kredit bermasalah, maka bank harus: a. Menyampaikan laporan tertulis kepada Bank Indonesia. b. Pembentukan Satuan Kerja/Kelompok Kerja/Tim Kerja Penyelesaian Kredit Bermasalah, atau yang disebut dengan Satuan Tugas Khusus (STK) yang bertanggung jawab menyelesaikan kredit bermasalah.
Pejabat-
pejabat yang ditunjuk dalam STK ditetapkan oleh Direksi bank dan dilaporkan kepada Bank Indonesia. 4. Bank wajib menyusun program penyelesaian kredit bermasalah dan Direksi segera menyampaikan program tersebut kepada Bank Indonesia, dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. STK menyusun program penyelesaian kredit bermasalah untuk diajukan kepada Direksi guna memperoleh persetujuan. Meliputi hal-hal: tata cara penyelesaian,
perkiraan
hasil
penyelesaian,
sedapat
mungkin
memprioritaskan penyelesaian kredit bermasalah kepada pihak yang terkait dengan bank dan debitur besar. b. Program penyelesaian kredit bermasalah harus sesuai dengan KPB. 5. Pelaksanaan program penyelesaikan kredit bermasalah. Pelaksanaan penyelesaian dilakukan secara penuh oleh STK dan dilakukan evaluasi secara berkala atas perkembangan penyelesaian kredit bermasalah dan melaporkan hasilnya kepada Direksi dan juga Bank Indonesia. 6. Evaluasi efektivitas program penyelesaian kredit bermasalah sekurangkurangnya dilakukan enam bulan sekali setelah program dilaksanakan atau tenggang waktu lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Apabila hasilnya jauh di bawah target, maka STK mengusulkan perbaikan/perubahan program. Hasil evaluasi efektivitas program wajib dilaporkan ke Bank Indonesia. Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
45
7. Penyelesaian terhadap kredit yang tidak dapat ditagih, STK akan mengusulkan cara-cara
penyelesaianya
dan
akan
dilaksanakan
setelah
mendapat
persetujuan.
Begitu luasnya dampak kredit bermasalah menunjukan perlu adanya mekanisme untuk mencegah maupun penanganan terjadinya kredit bermasalah. Pertama, penerapan prudent credit management dalam perkreditan sangat dibutuhkan karena faktor-faktor penyebab timbulnya kredit bermasalah yang sebagaian besar adalah dampak dari kurangnya kehati-hatian dalam penyaluran kredit. Jika sejak awal asas kehati-hatian itu telah dilakukan, maka terjadinya kredit bermasalah secara total dapat diatasi.101
Prudent credit management
bertujuan:102 a. Pertumbuhan kredit lancar yang berkualitas b. Maksimalisasi keuntungan dengan cara penentuan suku bunga pinjaman yang tepat c. Maksimalisasi kualitas aktiva produktif (minimalisasi kredit bermasalah) Selain prudent credit management, penerapan prinsip-prinsip dalam perkreditan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya juga dapat sebagai bagian dari mekanisme pencegahan kredit bermasalah selanjutnya. Hal tersebut juga termasuk dalam mematuhi 18 prinsip pemberian kredit oleh Roger H. Hale.103
101
Mariam Darus Badrulzaman (C), Aneka Hukum Bisnis (Bandung: Alumni, 2005),
hal. 108. 102
Iwan R. Prawiranata, Penerapan Prudent Banking Management Dalam Strategi Pengelolaan Kredit (Jakarta: ISEI, 1994), hal. 18. 103
Mahmoedin, op.cit., hal. 10. 18 prinsip pemberian kredit tersebut adalah: a. Quality of credit is more important than exploiting new opportunities b.Every loan should have two ways out that are not related and exist from beginning c.The character of the borrower or in the case of corporations, the principal management and shareholders must be free of any doubt as to their integrity d. If you do not understand the business, do not lend to it e. It is your decision, and you must free and comfortable with it according to your adjustment f. The purpose of a loan should contain the basis of its repayment g. If you have all the facts, you do not need to be genius to make right decision Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
46
Setelah memperhatikan dan menerapkan prinsip-prinsip dalam penyaluran kredit, Bank Indonesia juga menerapkan self reguating bank sebagai upaya untuk mencegah kredit bermasalah. Self regulating bank memberikan keleluasaan bagi tiap bank untuk membuat ketentuan sendiri dengan mengacu pada asas pengelolaan yang sehat dan prisip kehati-hatian, yakni sebagai berikut:104 a. Bank wajib menyusun dan menyampaikan rencana kerja tahunan termasuk recana penyaluran kredit b. Pelaksanaan fungsi kredit intern bank yang efektif c. Sistem dan prosedur kebijaksanaan Perkreditan Bank (KPB) yang pokokpokoknya meliputi memegang prinsip kehati-hatian, menciptakan organisasi dan manajemen perkreditan yang handal, memiliki kebijaksanaan persetujuan kredit, memiliki kebijaksanaan persetujuan kredit, memiliki dokumentasi dan administrasi
kredit
yang
baik,
melakukan
pengawasan
kredit
dan
menyelesaikan kredit bermasalah. Tindakan pencegahan timbulnya kredit bermasalah sangat penting karena jika bank lebih dini menentukan potential loan problem akan banyak peluang dan lebih luas prospek untuk mencegah terjadinya kerugian.105 Dua faktor kunci dalam penanganan kredit bermasalah adalah deteksi dini (early warning system) dan tindakan koreksi yang cepat (prompt corrective action).106 h. The business cycle is inevitable i. Although it is harder than evaluating financial statement, assessing a company’s management quality is vital j. Collateral security is not a substitute for repayment. First way out credit is cash flow k. Where security is taken, a professional and impartial view of its value and marketability must be obtained l. Lending to smaller business is riskier than lending to larger ones m. Do not let poor attention to detail credit administration spoil and therwise sound loan n. Local banks should b participant in lending to local borrowers o. If a borrower wants a quick answer, it is “no” p. If the loan is to be guaranteed, be sure that the guarantor’s interest is served as well as borrower’s q. See where the bank’s money is going to be spent r. Think first for the bank. Risk increase when credit principle are violated 104
Rasjim Wiraatmadja, dkk. Solusi Hukum dalam Menyelesaikan Kredit Bermasalah (Jakarta: InfoBank, 1997), hal. 8. 105
Mahmoedin, op.cit., hal. 44. Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
47
Tindakan untuk mencegah kredit bermasalah dapat diawali dengan melalui monitoring yang meliputi antara lain:107 a.
Pemantauan
kredit
yaitu
meliputi
pemantauan
administrasi,
pemantauan setempat, dan pemantauan khusus. b.
Proses pemburukan kredit ialah suatu bentuk meningkatnya jumlah kredit bermasalah selama kurun waktu tertentu. Kondisi pembrurukan dapat terjadi dengan perubahan kolektibilitas dan dengan cara lain.
c.
Pelacakan
indikasi
dimana
berupa
upaya
pendekatan
untuk
memperoleh informasi dan data guna memperoleh kepastian dan dapat menentukan tindakan selanjutnya. Namun, ketika kredit bermasalah terdeteksi terjadi, maka bank akan melakukan upaya penanganan untuk menghindari terjadinya tingkat kredit bermasalah yang semakin tinggi. Penanganan suatu kredit bermasalah terdiri dari:108 1.
Pembinaan kredit bermasalah adalah upaya yang dapat dilakukan oleh bank dalam pengelolaan kredit bermasalah agar dapat diperoleh hasil yang optimal sesuai dengan asmsi dan tujuan dari pemberian kredit tersebut.
2.
Penyelamatan kredit bermasalah adalah upaya yang dilakukan oleh bank dalam pengelolaan kredit bermasalah yang masih mempunyai prospek di dalam usahanya, dengan tujuan untuk meminimalkan kemungkinan timbulnya kerugian bagi bank, menyelamatkan kembali kredit yang ada agar menjadi
lancar,
serta
usaha-usaha
lainnya
yang
ditujukan
untuk
memperbaiki kualitas usaha debitur.
106
Pradjoto (B), op.cit., hal. 26. Deteksi dini berupa mengenali gejala kredit yang mulai memburuk lebih awal dan menyusun kredit yang mengandung potensi kelemahan dalam watch list. Sedangkan tindakan koreksi yang cepat meliputi kredit dalam watch list yang semakin memburuk dikategorikan sebagai kredit bermasalah (Workout account), kredit diklasifikasikan menurut resiko (kolektibilitas) dan dicadangkan PPA-nya sesuai resiko, dan terakhir dilakukan penanganan kredit bermasalah. 107
Mahmoedin, op.cit., hal. 44.
108
Pradjoto (B), op.cit., hal Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
48
3.
Penyelesaian kredit bermasalah adalah upaya yang dilakukan bank untuk menyelesaikan kredit bermasalah yang tidak mempunyai prospek, setelah usaha-usaha pembinaan dan penyelamatan ternyata tidak mungkin dilakukan lagi. Selanjutnya, ketika tindakan penyelamatan tidak membawa perubahan,
bank akan melakukan tindakan penyelesaian terhadap kredit bermasalah tersebut. Dilihat dari para pihak, tindakan penyelesaian kredit bermasalah tersebut dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:109 1. Penyelesaian langsung Yaitu ketika upaya penyelesaian kredit bermasalah dilakukan langsung oleh bank yang bersangkutan. Penyelesaian langsung tersebut dapat berupa: a.
Penagihan langsung kepada debitur
b.
Pengumuman kepada publik (market discipliner)
c.
Hapus buku dan hapus tagih.110
2. Penyelesaian tidak langsung Yaitu ketika upaya penyelesaian kredit bermasalah dilakukan dengan melibatkan pihak ketiga atau institusi lain seperti melalui debt collector, arbiter/mediator, pengadilan, atau special purpose vehicle (SPV). Hapus buku dan hapus tagih adalah upaya yang dapat dilakukan oleh bank terhadap kredit bermasalah apabila dianggap membahayakan kelangsungan usaha suatu bank.111 Namun, upaya itu dapat dilakukan sebagai upaya terakhir ketika
109
Ibid., hal. 1.
110
Hapus buku adalah tindakan administratif Bank untuk mengahapus buku kredit yang memiliki kualitas Macet dari neraca sebesar kewajiban debitur tanpa menghapus hak tagih Bank kepada Debitur. Hapus tagih adalah tindakan Bank menghapus kewajiban debitur yang tidak dapat diselesaikan. Ibid., penjelasaan pasal 69. 111
Indonesia (C), Undang-Undang Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, UU No. 10 Tahun 1998, LN No. 182 Tahun 1998, TLN No. 3790,, pasal 37 ayat 1 huruf c. Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
49 semua upaya telah dilakukan untuk memperbaiki kualitas kredit.112 Kedua upaya ini juga hanya dapat dilakukan kepada kredit dalam kualitas maacet.113 Setiap bank wajib memiliki kebijakan (disetujui komisaris) dan prosedur (disetujui minimal direksi) tertulis mengenai hapus buku dan hapus tagih.114 Tidak seperti hapus buku, hapus tagih dapat dilakukan terhadap sebagain, namun hanya dalam rangka restrukturisasi kredit.115 Sedangkan untuk penyelesaian tidak langsung, melalui debt collector adalah tindakan yang paling sederhana. Dalam penjanjian kredit, sering kali dicantumkan
klausul
pilihan
penyelesaian
sengketa
(alternative
dispute
resolution) sehingga kemudian muncul arbiter atau mediator sebagai pihak yang membantu para pihak terhadap sengketa yang timbul.
Namun jika tidak
tercantum klausul tersebut atau tidak berhasil, maka selanjutnya dapat diselesaikan melalui pengadilan yaitu dengan mengajukan gugatan perdata, meminta pelaksanaan eksekusi hak tanggungan, atau meminta pelaksanaan ”fiat eksekusi” pengadilan.116 Upaya melalui pengadilan dapat juga melalui pidana jika terdapat indikasi tindak pidana dan gugatan kepailitan jika jaminan yang diberikan tidak memberikan hak preferen atau tidak lagi cukup untuk menutupi kewajiban debitur.117 Perkembangan terbaru penyelesaian kredit bermasalah adalah melalui Special Purpose Vehicle (SPV) yaitu suatu perusahaan seperti perusahaan anjak piutang (factoring company) yang diperluas tidak meliputi piutang dagan tapi juga piutang bank.118
112
Bank Indonesia (B), op.cit., pasal 71 ayat 1.
113
Ibid., pasal 70 ayat 1.
114
Ibid., pasal 69 jo penjelesan. Kebijakan dan prosedur hapus buku dan hapus tagih antara lain memuat criteria, persyaratan, limit, kewenangan dan tanggung jawab serta tata cara hapus buku dan hapus tagih. 115
Ibid., pasal 70 (2) jo (3) jo (4).
116
Yunus Husein, ”Non Performing Loan Ditinjau dari Sudut Hukum Perbankan”, (Makalah disampaikan pada acara Seminar mengenai Solusi Hukum Penyelesaian Kredit Bermasalah dan Hambatan dalam Penyaluran Kredit, Jakarta, 2 Agustus 2006), hal. 3. 117
Pradjoto (B), slide 43 dan slide 46.
118
Yunus Husein, op.cit., hal. 4. Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
50
Berkaitan dengan tugasnya, Bank Indonesia juga mempunyai beberapa kebijakan dalam rangka menegah dan menyelesaikan kredit bermasalah antara lain:119 1.
Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/25/SE/2004 tanggal 22 Oktober 2004 tentang Rencana Bisnis Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 157, Tambahan LembaranNegara Republik Indonesia Nomor 4457), Dalam rangka mencapai tujuan usaha Bank yang berpedoman kepada visi dan misi yang telah ditetapkan maka Bank perlu menyusun suatu perencanaan yang matang dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan
responsif
terhadap
perubahan
eksternal
dan
internal.
Untuk
menghasilkan perencanaan yang matang tersebut, Bank harus menyusun Rencana Bisnis yang realistis dan komprehensif dengan cakupan Rencana Bisnis yang diperluas sehingga lebih mencerminkan kompleksitas usaha Bank yang semakin meningkat. 2.
Ketentuan tentang Kewajiban Bank Umum untuk menerapkan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank. Peraturan Bank Indonesia PBI No. 1/6/PBI/1999 tanggal 20 September 1999 tentang Penugasan Direktur Kepatuhan dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank Umum Standar Pelaksanaan fungsi audit intern bank diperlukan dalam rangka mewujudkan sistem perbankan yang sehat serta untuk menjaga dan mengamankan kegiatan usaha sesuai dengan kebijakan bank dan peraturan yang berlaku.
Standar pelaksanaan fungsi audit intern bank termasuk
menyusun internal audit charter, membentuk dewan audit, membentuk satuan kerja audit intern, dan menyusun panduan audit. 3.
Penetapan Ketentuan tentang Tata Cara Tukar Menukar Informasi Antar Bank yang sekarang namanya telah berubah menjadi Badan Informasi
119
“Kebijaksanaan Bank Indonesia dalam Penyelesaian Masalah Kredit Macet Perbankan, disampaikan dalam Kursus Manajemen Kredit Bermasalah Angkatan ke 7 yang diselenggarakan oleh Institut Bankir Indonesia, 4-5 April 1997 di Jakarta, hal. 6-10. Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
51
Kredit (BIK), dasar pembentukan BIK adalah undang-undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan undangundang No. 3 tahun 2004 pasal 32 yang memberikan kewenangan bagi BI untuk mengatur dan mengembangkan sistem informasi antar bank yang dapat diperluas dengan menyertakan lembaga lain di bidang keuangan. Sedangkan operasional BIK diatur melalui Peraturan Bank Indonesia No. 9/14/PBI/2007 tanggal 30 November 2007 tentang sistem informasi debitur (SID) yang mencabut PBI SID No. 7/8/PBI/2005 Tanggal 24 Januari 2005 Bank dapat melakukan tukar menukar informasi antar bank dengan tujuan untuk memperlancar dan mengamankan kegiatan usaha bank, antara lain guna mencegah pemberian kredit rangkap serta mengetahui keadaan dan status dari suatu bank yang lain.120 Hal tersebut juga dapat membantu bank dalam menilai resiko yang akan dihadapi sebelum melakukan suatu transaksi. 4.
Ketentuan Mengenai Penyertaan Modal dan Kepemilikan Saham oleh Bank Peraturan Bank Indonesia PBI No. /5/10/PBI/2003 tanggal 1 April 2003 tentang prinsip kehati – hatian dalam kegiatan penyertaan modal Penyertaan modal hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun atau perusahaan dimana bank telah mendapatkan laba. Apabila telah lewat jangka waktu tersebut atau perusahaan belum juga mendapatkan laba, maka bank wajib menghapusbukukan penyertaan modal tersebut.
5.
Ketentuan mengenai Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) Peraturan Bank Indonesia PBI No. 8/13/PBI/2006 tentang perubahan atas PBI No. 7/3/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang Batas Maksimum Pemberian kredit 120
Apakah kredit bermasalah merupakan bagian dari rahasia bank? Hal tersebut menjadi perdebatan para ahli. Namun, secara universal diakui bahwa kepentingan bank itu sendiri yang kemudian merupakan kepentingan bagi masyarakat luas memberikan justifikasi untuk membuka rahasia bank. Suatu perkembangan diberikan UU Perbankan No. 10 Tahun 1998 dimana dijelaskan yang termasuk kategori rahasia bank hanya informasi mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Jadi, informasi mengenai nasabah debitur tidak termasuk ke dalam pasal 40 ayat 1 UU No. 10 Tahun 1998. Munir Fuady (B), Hukum Perbankan Modern Buku Kesatu (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 97. Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
52
Ketentuan BMPK akan membantu bank mengurangi resiko dengan cara menyebarkan penyediaan dana sehingga tidak terpusat pada peminjam tertentu. 6.
Ketentuan
mengenai
Kualitas
Aktiva
Produktif
dan
Pembentukan
Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Peraturan Bank Indonesia No. 8/19/PBI/2006. Bank berkewajiban untuk menjaga kualitas penanaman dana bank pada aktiva produktif senantiasa dalam keadaan baik karena akan sangat mempengaruhi
kelangsungan
usaha
bank.
Sedangkan
penyisihan
penghapusan aktiva produktif dimaksudkan guna menilai kesiapan bank dalam menanggung kemungkinan timbulnya resiko kerugian dalam penanaman dana yang dilakukan. Selanjutnya dengan perkembangan perbankan di bidang perkreditan terutama dengan maraknya kredit bermasalah, Bank Indonesia melakukan upayaupaya sebagai berikut:121 1. Upaya
penyelesaian kredit bermasalah dan peningkatan mutu portofolio
dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang sehat, efisien dan kompetitif. Upaya ini dilakukan melalui TSKBP, STK, dan TKK; mencegah dan/atau mengurangi timbulnya kredit bermasalah yang baru dengan menciptakan PPKPB; membina bank-bank yang mengalami kesulitan akibat kredit bermasalah dengan mengarahkan bank yang bersangkutan untuk melakukan merger, konsolidasi, atau akuisisi; meningkatkan efektivitas sarana hukum, melakukan kerja sama dengan instansi terkait. Hasil yang dicapai adalah berupa pemanfaatan lembaga parate eksekusi, disetujuinya penerapan putusan serta-merta dan dapat dimanfaatkannya grosse sertifikat Hak Tanggungan. Disamping itu dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung untuk menyelesaikan perkara kredit bermasalah di pengadilan dalam jangka waktu paling lambat enam bulan untuk setiap tingkat peradilan.
121
Gubernur Bank Indonesia, Sambutan Gubernur BI Pada Pertemuan Perbankan, Warta IBI (Th. Ke-9 No. 10 Februari 1995), hal. 1-10. Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
53
2. Mempercepat proses konsolidasi dengan meminta bank agar menjalankan ketentuan perbankan secara ketat, mempertimbangkan resiko usaha yang mungkin akan timbul secara cermat, penerapan kewajiban penghapusan kredit macet (write off) sepanjang bank memiliki cadangan penghapusan yang cukup, mengarahkan perbankan untuk mengacu pada budaya menerapkan sistem ”Self Regulation” atas dasar prinsip kehati-hatian.
3.4.
Restrukturisasi Kredit Bank Indonesia mengatur pendekatan restrukturisasi sebagai suatu
pendekatan dalam rangka penyelamatan kredit bermasalah.122 Pendekatan restrukturisasi dikenal sebagai suatu pendekatan untuk memperbaiki kredit oleh bank dengan cara penurunan suku bunga kredit, perpanjangan jangka waktu kredit, pengurangan tunggakan bunga kredit, pengurangan tunggakan pokok kredit, penambahan fasilitas kredit dan konversi kredit menjadi penertaan modal sementara.123
Restrukturisasi kredit dapat dilakukan kepada debitur yang
mengalami hambatan dalam melakukan pembayaran kredit, namun ia masih memiliki prospek usaha yang baik.124 Restrukturisasi dapat dilakukan pada semua jenis kualitas kredit.125
Namun, untuk restrukturisasi kredit dengan cara
penyertaan modal sementara hanya dapat dilakukan kepada kredit dalam kualitas kurang lancar, diragukan, atau macet.126 Seiring dengan dilakukannya program restrukturisasi dan rekapitalisasi perbankan, maka diperlukan pedoman yang kuat bagi bank dalam menjalankan restrukturisasi perbankan tersebut, yang salah satunya adalah melakukan restrukturisasi atas pinjaman/kredit. Pemerintah mengeluarkan kebijakan baru, Peraturan Bank Indonesia Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum No. 7/2/PBI/2005.
122
Ibid., hal
123
Bank Indonesia (B), op.cit., pasal 1 angka 25
124
Ibid., pasal 51.
125
Ibid., pasal 57.
126
Ibid., pasal 64 ayat 2. Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
54
Berdasarkan kebijakan ini, upaya penyelesaian terhadap kredit bermasalah oleh perbankan Indonesia mengacu pada peraturan tersebut. Restrukturisasi kredit ini hanya dapat dilakukan terhadap nasabah debitur yang masih memiliki prospek usaha yang baik dan telah atau diperkirakan akan mengalami kesulitan pembayaran pokok dan/atau bunga.
Yang dimaksud Restrukturisasi Kredit
adalah upaya yang dilakukan bank dalam kegiatan usaha perkreditan agar nasabah debitur dapat memenuhi kewajibannya, antara lain melalui:127 1. Penambahan fasilitas kredit 2. Perpanjangan jangka waktu kredit 3. Pengurangan tunggakan bunga kredit 4. Penurunan suku bunga kredit 5. Pengurangan tunggakan pokok kredit 6. Pengambilalihan aset debitur sesuai dengan ketentuan yang berlaku 7. Konversi kredit manjadi penyertaan modal sementara pada perusahaan nasabah debitur Pengertian dari alternatif restrukturisasi kredit yang dituliskan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Pasal 1 butir 25 sebagai berikut: 1. Penurunan suku bunga Yaitu dengan diturunkannya persentase suku bunga kredit persentase suku bunga kredit yang harus dibayarkan sehingga memperingan debitur dalam membayar angsuran kreditnya yang berupa angsuran dari utang pokoknya ditambah
dengan
bunga
kredit
yang
presentasenya
telah
dikurangi/diperkecil. 2. Pengurangan tunggakan bunga kredit Yaitu berupa pengurangan jumlah bunga kredit yang telah jatuh tempo namun belum dapat dilunasi. Dengan demikian bank membantu debitur dengan mengurangi tumpukan utang debitur. 3. Pengurangan tunggakan pokok kredit
127
Bank Indonesia (A), op.cit., pasal 1 butir 25. Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
55
Merupakan cara seperti yang di atas, namun yang dikurangi adalah tangihan utang tertunggaknya.
Debitur mendapat keringanan dalam
melunasi utangnya, sebab pokok kredit tertunggak telah dikurangi oleh bank. 4. Perpanjangan jangka waktu kredit. Yaitu upaya kreditur untuk memperpanjang jangka waktu pelunasan kredit debitur, dengan harapan bahwa dengan jangka waktu yang lebih lama, debitur dapat memperbaiki kinerja usahanya dan mendapatkan dana yang mencukupi untuk melunasi kewajiban-kewajibannya yang jatuh tempo. 5. Penambahan fasilitas kredit Yaitu dengan pemberian fasilitas-fasilitas tambahan pada pemberian kredit sehingga diharapkan dapat mendukung usaha debitur dalam mengatasi masalah perekonomian yang dihadapinya saat ini dan nantinya dapat menghasilkan keuntungan yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah usaha terutama untuk membayar kredit yang dipinjamnya. Salah satu bentuk penambahan fasilitas kredit adalah dengan memberikan tambahan dana pinjaman (refinancing) yang dapat digunakan debitur sebagai modal untuk meningkatkan kinerja usahanya. Penambahan fasilitas ini diberikan dengan prosedur yang ketat dan disertai dengan agunan kredit yang kuat. 6. Pengambilalihan asset debitur sesuai dengan ketentuan yang berlaku Yaitu dengan cara mengalihkan aset-aset debitur untuk dikuasai bank. Alternative ini sesuai dengan ketentuan Pasal 12A UU No. 10 tahun 1998, bahwa terhadap debitur yang tidak memenuhi kewajibannya, bank umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, melalui pelelangan ataupun diluar pelelangan secara sukarela oleh pemilik agunan atau kuasanya untuk menjual diluar lelang, dengan ketentuan pengalihan tersebut wajib segera dicairkan. 7. Konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara pada perusahaan debitur. Yaitu dengan menukar jumlah utang yang tertunggak menjadi penyertaan modal pada perusahaan debitur. Terhadap kreditur yang berupa bank, penyertaan ini sifatnya hanya sementara dan wajib ditarik kembali setelah Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
56
jangka waktu 5 (lima) tahun atau perusahaan debitur telah memperoleh laba kumulatif.
Upaya ini hanya dapat dilakukan bagi kredit yang
berkualitas Kurang Lancar, atau Diragukan, atau Macet. Dari alternatif-alternatif yang diberikan diatas, bank berdasarkan hasil kesepakatan dengan debitur diberikan kebebasan untuk memilih program restrukturisasi kredit mana yang dianggap terbaik untuk dilakukan sesuai dengan kemampuan bank, kondisi kredit dan perusahaan debitur. Alternatif yang dipilih dapat berupa salah satu dari ketujuh alternatif diatas, dan dapat pula merupakan kombinasi dari beberapa alternative itu. Setiap bank yang melakukan restrukturisasi kredit wajib memuat kebijakan restrukturisasi kredit tersebut secara tertulis,128 yaitu berupa Pedoman Restrukturisasi Kredit yang terdapat pada Pedoman Pelaksanaan Kredit (PPK). Pedoman ini berisi panduan mengenai prosedur dan tata cara yang diperlukan dalam melaksanakan restrukturisasi kredit di dalam masing-masing bank.129 Restrukturisasi kredit dilakukan oleh satuan kerja yang khusus/terpisah dari satuan kerja pemberian kredit (pasal 55 ayat (1) PBI No. 7/2/PBI/2005). Jadi STK yang sudah ada tinggal disesuaikan tugas dan wewenangnya dan dapat bertindak sebagai Satuan Restrukturisasi Kredit berdasarkan peraturan ini.130 Menurut PBI No. 7/2/PBI/2005 pasal 52 diatur mengenai pembatasan pelaksanaan restrukturisasi kredit yaitu larangan terhadap pelaksanaan program resstrukturisasi apabila restrukturisasi dilakukan hanya untuk menghindari: a. penurunan penggolongan kualitas kredit; b. pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) yang lebih besar; atau c. penghentian pengakuan pendapatan bunga secara actual. Pada Pasal 54 ayat 1 dan 2 Ketentuan ini disebutkan bahwa direksi masing-masing bank yang melaksanakan program restrukturisasi, wajib menuliskan kebijakan program restrukturisasi kredit yang dilakukannya dan
128
129
130
Ibid., Pasal 54 ayat 1. Ibid, Pasal 54 Ibid, Pasal 55 ayat 4.. Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
57
mendapatkan persetujuan pelaksanaannya dari komisaris atau badan pengawas bank. Sebelum direstrukturisasi, kredit wajib dianalisis terlebih dahulu berdasarkan prospek usaha debitur dan kemampuan membayar sesuai dengan proyeksi arus kas. Khusus bagi kredit yang diberikan kepada pihak terkait dengan bank, analisis wajib dilakukan oleh konsultan atau tenaga ahli independen.131 Menurut Pasal 6 SKDBI No. 31/150/KEP/DIR Tanggal 12 November 1998, untuk menjaga objektifitas dalam melaksanakan restrukturisasi kredit, dilakukan oleh satuan kerja yang terpisah dari satuan kerja pemberi kredit. Apabila hal tersebut tidak memungkinkan, maka pengawasan yang lebih ketat akan dilakukan sepanjang dilakukannya tindakan restrukturisasi kredit. Hal yang penting untuk dilakukan dalam melakukan restrukturisasi kredit, bank harus memahami bidang usaha, kondisi bisnis, dan masalah yang dihadapi oleh debitur. Ini diperlukan untuk menentukan langkah restrukturisasi yang tepat dan mencari solusi bagi problem yang dihadapi oleh debitur. Dengan dilakukannya restrukturisasi kredit perbankan diharapkan akan terjadi peningkatan terhadap kualitas kredit bermasalah sehingga kredit tersebut paling tidak memiliki:132 a. Kualitas kredit menjadi kredit kurang lancar, untuk kredit yang sebelum restrukturisasi tergolong kredit diragukan atau macet. b. Kualitas kredit tetap atau tidak terjadi penurunan kualitas akibat terjadinya kredit bermasalah, untuk kredit yang sebelum restrukturisasi tergolong kredit dalam perhatian khusus atau kurang lancer. c. Peningkatan kualitas kredit menjadi kredit lancar apabila pada akhirnya kredit tersebut tidak terjadi tunggakan angsurang pokok dan bunga pada tiga kali pembayaran dan secepat-cepatnya dalam waktu tiga bulan. Kredit yang telah melakukan program restrukturisasi kredit dapat pula kembali pada kualitas sebelum pelaksanaan restrukturisasi atau mengalami kemunduran kualitas apabila debitur melanggar persyaratan yang telah disepakati
131
Ibid, Pasal 56 ayat 2.
132
Ibid, pasal, 57. Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
58
dalam program restrukturisasi seperti pelanggaran terhadap pelunasan kredit atau syarat lain yang telah diperjanjikan. Bank wajib melaporkan kepada Bank Indonesia seluruh Restrukturisasi Kredit yang telah dilakukan selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah berakhirnya bulan laporan yang bersangkutan dengan menggunakan formulir pelaporan Restrukturisasi Kredit..133 Disamping itu, berdasarkan Pasal 68 PBI No. 7/2/PBI/2005 bagian kedelapan, Bank Indonesia berwenang untuk melakukan koreksi terhadap penggolongan kualitas kredit, pembentukan PPAP dan pendapatan bunga yang telah diakui secara aktual, apabila: a. Restrukturisasi kredit menurut penilaian Bank Indonesia ternyata dilakukan dengan tujuan untuk menghindari penggolongan kualitas kredit yang lebih buruk, pembentukan PPAP yang lebih besar atau penghentian pengakuan pendapatan bunga secara aktual sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 52 (lima dua); b. Restrukturisasi ini tidak didukung dokumen yang lengkap dan analisis yang memadai mengenai kemampuan membayar dan prospek usaha debitur; c. Debitur
tidak
mematuhi
persyaratan
yang
terdapat
pada
akad
restrukturisasi kredit; d. Restrukturisasi kredit tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Surat Keputusan ini. Restrukturisasi kredit perbankan biasanya dilakukan dengan menjalankan langkah-langkah tertentu. Tidak ada ketentuan khusus yang mengatur tentang langkah pelaksanaan restrukturisasi kredit, hal ini disebabkan karena pilihan program restrukturisasi ada ditangan pihak kreditur dan pihak debitur berdasarkan kesepakatan bersama. Tetapi secara umum tahap-tahap ini merupakan tahapan umum yang ditempuh dalam mencapai negosiasi restrukturisasi kredit:134
133
Ibid., Pasal 66.
134
Materi Kuliah Aspek-Aspek Hukum Dalam Transaksi Keuangan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Oktober 1999. Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
59
1. Permohonan negosiasi utang Permohonan ini biasanya diajukan oleh debitur yang mempunyai kredit bermasalah, untuk menghindari dilakukannya penyelesaian kredit yang dapat mengakibatkan kerugian yang lebih besar pada kedua pihak. Tahap ini dimulai dengan pembahasan awal terhadap rencana negosiasi, kualifikasi mutu debitur dan kreditnya, serta penandatanganan letter of commitment oleh debitur mengenai utangnya tersebut. 2. Penyusunan “Standstill Agreement” Setelah dilakukan negosiasi utang, akan dibuat standstill agreement, yaitu suatu perjanjian dimana pihak debitur bersedia melakukan hal-hal yang diperjanjikan (seperti membayar bunga dan angsuran tepat waktu), sementara di lain pihak kreditur berjanji untuk tidak melakukan tindakan hukum terhadap debitur, dalam jangka waktu restrukturisasi.
Dalam
jangka waktu berlakunya perjanjian ini, debitur dan kreditur diharapkan untuk mencapai kesepakatan mengenai restrukturisasi kredit. Standstill agreement ini harus ditandatangani oleh para pihak untuk menyatakan dimulainya standstill period. 3. Analisa kondisi dan prospek usaha debitur Merupakan analisa berupa pemeriksaan hukum (legal audit) dan pemeriksa keuangan (financial audit) untuk memprediksi sejauh mana kemampuan debitur untuk melunasi utangnya. 4. Penyusunan due dilligent Berupa penyusunan data dan pengumpulan informasi mengenai kondisi perusahaan secara keseluruhan dari berbagai aspek. 5. Pembahasan tentang klausul-klausul baru. Tahap ini dilakukan dengan mengajukan proposal mengenai rencana restrukturisasi kredit yang akan ditempuh dan klausul-klausul dalam perjanjian yang harus diperbaharui untuk melindungi serta mendukung kelancaran restrukturisasi kredit, misalnya mengenai perubahan struktur pinjaman, jangka waktu, jadwal pengembalian, suku bunga dan jaminan serta pembahasan mengenai klausul-klausul baru (new loan convenants) misalnya dalam hal pemberian pinjaman tambahan kredit (refinancing). Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
60
Pada prinsipnya klausul perjanjian baru bersifat lebih ketat dan mengikat, serta memberikan kreditur keleluasaan untuk melakukan campur tangan dalam mengawasi kinerja finansial dan operasional dalam usaha debitur, yang antara lain adalah: a. Debitur diwajibkan menjalani audit atas arus dan/kas (cashflow) secara berkala
yang
dilakukan
oleh
auditor
independen
yang
ditunjuk/disetujui oleh kreditur. b. Debitur wajib mengalihkan seluruh/sebagian arus dananya ke dalam suatu “escrow account” yaitu rekening untuk menampung hasil proyek/usaha debitur dan hasil tersebut dapat dipotong untuk membayar utang debitur.
Hal ini menyebabkan pihak kreditur
mempunyai kontrol yang besar terhadap pemasukan dan pengeluaran debitur. c. Larangan kepada debitur untuk membelanjakan dana diatas jumlah tertentu. d. Kreditur berhak melakukan pengawasan atas operasional usaha debitur. 6. Pembentukan perjanjian baru Perjanjian baru akan lahir setelah semua tahapan di atas dilakukan dimana semua hal yang penting dan perlu diatur demi kelancaran dan untuk melindungi pelunasan kredit melalui restrukturisasi kredit disepakati para pihak. Perjanjian ini dinamakan ”First Amandement To The Facility” yaitu perjanjian yang berisi perubahan (amandemen) pertama dari perjanjian semula atau ”Restructuring Agreement” atau perjanjian restrukturisasi kredit. 7. Pelaksanaan restrusturisasi kredit perbankan Tahap akhir yang merupakan pelaksanaan restrukturisasi kredit yang dilakukan berdasarkan hasil kesepakatan para pihak yang telah dituangkan dalam perjanjian yang telah dibuat oleh pihak debitur dan kreditur.
Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
61
Dengan kebijakan perbankan ini, penggolongan kualitas setelah dilakukan restrukturisasi, dapat ditetapkan sebagai berikut:135 a. Setinggi-tingginya kurang lancar untuk kredit yang sebelum dilakukan restrukturisasi, tergolong diragukan atau macet. b. Kualitas berubah untuk kredit yang sebelum dilakukan restrukturisasi tergolong pada kategori lancar, dalam perhatian khusus atau kurang lancar. Kualitas kredit yang telah diubah tersebut selanjutnya dapat berubah menjadi: a. Lancar, apabila tidak terjadi tunggakan angsuran pokok dan bunga selama tiga kali pembayaran dan secepat-cepatnya dalam waktu tiga bulan. b. Kualitas kredit sebelum dilakukan restrukturisasi atau yang sebenarnya apabila lebih buruk, jika debitur tidak dapat memenuhi kriteria dalam huruf a dan/atau syarat-syarat dalam perjanjian Restrukturisasi Kredit.136
Dalam melakukan restrukturisasi kredit, bank harus menganalisis kredit yang akan direstrukturisasi untuk itu diperlukan dokumentasi dan informasi yang mendukung yang sekurang-kurangnya memuat hal-hal: 1. Evaluasi terhadap permasalah debitur, meliputi: a. Penjelasan rinci mengenai penyebab terjadinya tunggakan pokok dan/atau bunga yang didasarkan atas laporan keuangan, arus kas, proyeksi keuangan, kondisi pasar serta faktor lain yang berkaitan dengan usaha debitur. b. Perkiraan pengembalian seluruh pokok dan bunga kredit berdasarkan pada akad kredit sebelum dan sesudah restrukturisasi kredit. Perkiraan tersebut
handaknya
didasarkan
pada
rasio
keuangan
yang
mencerminkan kondisi keuangan dan kemampuan debitur untuk membayar kembali pinjamannya. c. Peninjauan
efisiensi
manajemen
debitur
untuk
menentukan
diperlukannya restrukturisasi organisasi perusahaan debitur.
135
Ibid., Pasal 57 ayat 1 dan 2.
136
Ibid., pasal 10.
Jika
Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
62
diperlukan dapat digunakan bantuan tenaga ahli dari luar untuk melakukan restrukturisasi organisasi tersebut. 2. Kriteria kredit yang akan direstrukturisasi sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan oleh bank. 3. Pendekatan dan asumsi yang digunakan dalam menetapkan proyeksi arus kas debitur, serta dalam memperhitungkan nilai tunai (persent value) dari angsuran pokok dan bunga yang akan diterima. 4. Analisis, kesimpulan dan rekomendasi dalam melakukan penyesuaian persyaratan kredit. Penyesuaian ini dilakukan dengan mempertimbangkan siklus usaha dan kemampuan membayar debitur sehingga debitur dapat memenuhi kewajiban pembayaran. 5. Tujuan dan penggunaan tambahan kredit, yang tidak diperkenankan untuk melunasi tunggakan pokok dan/atau bunga. 6. Jadwal pembayaran kembali yang telah direvisi yang mencerminkan persyaratan yang telah disesuaikan dengan kemampuan membayar debitur. 7. Rincian yang terkait dengan persyaratan kredit, termasuk kesepakatan keuangan dalam akad kredit. 8. Rincian kelengkapan dokumen yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan restrukturisasi kredit. 9. Persyaratan bahwa akad kredit dan dokumen lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan restrukturisasi kredit harus memiliki kekuatan hukum.
Dalam rangka melaksanakan upaya penyelesaian kredit bermasalah atau restrukturisasi kredit, bank wajib membentuk Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP)137 terhadap kredit yang direstrukturisasi, berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum No. 7/2/PBI/2005. Cadangan dibentuk tersebut berupa cadangan umum dan cadangan khusus.
137
Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) adalah cadangan yang harus dibentuk sebesar persentase tertentu dan nominal berdasarkan Penggolongan Kualitas Aktiva Produktif sebagaimana ditetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Bank Umum No. 7/2/PBI/2005. Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009
63
Cadangan umum ditetapkan sekurang-kurangnya 1% dari Aktiva 138
Produktif
yang digolongkan lancar. Sedangkan cadangan khusus ditetapkan
sekurangnya sebesar:139 a.
5% (lima persen) dari Aktiva Produktif yang digolongkan dalam perhatian khusus.
b.
15% (lima belis persen) dari Aktiva Produktif yang digolongkan kurang lancar setelah dikurangi nilai agunan.
c.
50% (lima puluh persen) dari Aktiva Produktif yang digolongkan diragukan setelah dikurangi nilai agunan.
d.
100% (seratus persen) dari Aktiva Produktif yang digolongkan macet setelah dikurangi nilai agunan.
138
Aktiva Produktif adalah penyediaan dana Bank untuk memperoleh penghasilan, dalam bentuk kredit, surat berharga, penempatan dana antar bank, tagihan akseptasi, tagihan atas surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali (reverse repurchase agreement), tagihan derivatif, penyertaan, transaksi rekening administratif serta bentuk penyediaan dana lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu. (PBI No. 7/2/PBI/2005, Pasal 1 (3). 139
Ibid., padal 44 ayat 2. Universitas Indonesia Analisa yuridis..., Aji Satrio, FHUI, 2009