17
BAB 2 PERJANJIAN KREDIT
2.1. Tinjauan Umum tentang Perjanjian 2.1.1. Pengertian Perjanjian Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.27 Sedangkan perjanjian itu sendiri dirumuskan dalam Pasal 1313 KUHPerdata.28 dapat disimpulkan pengertian perjanjian sebagai kesepakatan yang dibuat oleh para pihak untuk mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Pengertian perjanjian ini mengandung unsur: a.
Perbuatan Penggunaan kata “Perbuatan” pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan;
b.
Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum.
c.
Mengikatkan dirinya
27
Subekti (a), op. cit., hal. 1. Indonesia (c), op. cit., Pasal 1313 KUHPerdata: ”Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih”. 28
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
18
Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri. Sedangkan yang dinamakan perikatan itu sendiri adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, dimana pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Memang, perikatan itu paling banyak diterbitkan oleh suatu perjanjian, tetapi ada juga sumber-sumber lain yang melahirkan perikatan. Sumber lain ini tercakup dengan nama undang-undang. Jadi ada perikatan yang lahir dari ‘perjanjian’ dan ada perikatan yang lahir dari ‘undang-undang’. Dengan demikian suatu perikatan belum tentu merupakan perjanjian sedangkan perjanjian merupakan perikatan. Perikatan adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam Bahasa Belanda ‘verbintenis’. Perikatan artinya hal yang mengikat antara orang yang satu dan orang yang lain. Hal yang mengikat itu adalah peristiwa hukum yang dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli, hutang piutang, dapat pula berupa kejadian, misalnya kelahiran, kematian, dapat berupa keadaan, misalnya pekarangan berdampingan, rumah bersusun.29 Peristiwa hukum tersebut menciptakan hubungan hukum. Hubungan hukum itu timbul karena adanya peristiwa hukum yang dapat berupa perbuatan, kejadian, keadaan. Dalam perikatan yang timbul karena perjanjian, kedua pihak (kreditur dan debitur) dengan sengaja bersepakat saling mengikatkan diri, dalam perikatan mana kedua pihak mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Pihak debitur wajib memenuhi prestasi dan pihak kreditur berhak atas prestasi. Hakekat antara perikatan dan perjanjian pada dasarnya sama, yaitu merupakan hubungan hukum antara pihak-pihak yang diikat di dalamnya, namun 29
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 198.
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
19
pengertian perikatan lebih luas dari perjanjian, sebab hubungan hukum yang ada dalam perikatan munculnya tidak hanya dari perjanjian tetapi juga dari aturan perundang-undangan. Hal lain yang membedakan keduanya adalah bahwa perjanjian pada hakekatnya merupakan hasil kesepakatan para pihak, jadi sumbernya benar-benar kebebasan pihak-pihak yang ada untuk diikat dengan perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Sedangkan perikatan selain mengikat karena adanya kesepakatan juga mengikat karena diwajibkan oleh undang undang, contohnya perikatan antara orang tua dengan anaknya muncul bukan karena adanya kesepakatan dalam perjanjian diantara ayah dan anak tetapi karena perintah undang-undang. Selain itu, perbedaan antara perikatan dan perjanjian juga terletak pada konsekuensi hukumnya. Pada perikatan, masing-masing pihak mempunyai hak hukum untuk menuntut pelaksanaan prestasi dari masing-masing pihak yang telah terikat. Sementara pada perjanjian, tidak ditegaskan tentang hak hukum yang dimiliki oleh masing-masing pihak yang berjanji apabila salah satu dari pihak yang berjanji tersebut ternyata ingkar janji, terlebih karena pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata menimbulkan kesan seolah-olah hanya merupakan perjanjian sepihak saja. Definisi dalam pasal tersebut menggambarkan bahwa tindakan dari satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih, tidak hanya merupakan suatu perbuatan hukum yang mengikat tetapi dapat pula merupakan perbuatan tanpa konsekuensi hukum. Konsekuensi hukum lain yang muncul dari dua pengertian itu adalah bahwa oleh karena dasar perjanjian adalah kesepakatan para pihak, maka tidak dipenuhinya prestasi dalam perjanjian menimbulkan ingkar janji (wanprestasi), sedangkan tidak dipenuhinya suatu prestasi dalam perikatan menimbulkan konsekuensi hukum sebagai Perbuatan Melawan Hukum (“PMH”). Berdasarkan pemahaman tersebut jelaslah bahwa adanya perbedaan pengertian antara perjanjian dan perikatan hanyalah didasarkan karena lebih luasnya pengertian perikatan dibandingkan perjanjian. Artinya, dalam hal pengertian perjanjian sebagai bagian dari perikatan, maka perikatan akan mempunyai arti sebagai hubungan hukum atau perbuatan hukum yang mengikat
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
20
antara dua orang atau lebih, yang salah satu pihak mempunyai kewajiban untuk memenuhi prestasi tersebut. Bila salah satu pihak yang melakukan perikatan tersebut tidak melaksanakan atau terlambat melaksanakan prestasi, pihak yang dirugikan akibat dari perbuatan melawan hukum tersebut berhak untuk menuntut pemenuhan prestasi atau penggantian kerugian dalam bentuk biaya, ganti rugi, dan bunga. Uraian di atas memperlihatkan bahwa perikatan dapat meliputi dua arti, yaitu pada satu sisi sebagai perjanjian yang memang konsekuensi hukumnya sangat tergantung pada pihak-pihak yang terikat di dalamnya, dan pada sisi lain merupakan perikatan yang mempunyai konsekuensi hukum yang jelas. Sekalipun perjanjian sebagai suatu perikatan muncul bukan dari undang-udang tetapi memiliki kekuatan hukum yang sama dengan perikatan yang muncul dari undangundang, yaitu berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang diikat di dalamnya. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan pengertian perjanjian sebagai kesepakatan yang dibuat oleh para pihak untuk mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
2.1.2. Asas-asas Perjanjian Menurut Peter Mahmud Marzuki,30 aturan-aturan hukum yang menguasai kontrak sebenarnya penjelmaan dari dasar-dasar filosofis yang terdapat pada asasasas hukum secara umum. Asas-asas hukum ini bersifat sangat umum dan menjadi landasan berfikir yaitu dasar ideologis aturan-aturan hukum. Beberapa asas tersebut bersifat samar-samar dan hanya dengan upaya yang sangat keras dapat dipahami dan diurai secara jelas. Asas hukum merupakan sumber bagi sistem hukum yang memberi inspirasi mengenai nilai-nilai etis, moral, dan sosial masyarakat. Dengan demikian asas hukum sebagai landasan norma menjadi alat uji bagi norma hukum yang ada, dalam arti norma hukum tersebut pada akhirnya harus dapat dikembalikan pada asas hukum yang menjiwainya. 30
Peter Mahmud Marzuki, “Batas-batas Kebebasan Berkontrak”, Volume 18 No. 3, (Yuridika, Mei 2003), hal. 195-196.
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
21
Asas-asas hukum dapat saja timbul dari pandangan akan kepantasan dalam pergaulan sosial yang kemudian diadopsi oleh pembuat undang-undang sehingga menjadi aturan hukum. Sebagai contoh asas itikad baik telah dituangkan dalam undang-undang sehingga menjadi aturan hukum. Akan tetapi tidak semua asas hukum dapat dituangkan menjadi aturan hukum. Meskipun demikian, asas ini tidak boleh diabaikan begitu saja, melainkan harus tetap dirujuk. Upaya untuk menemukan asas hukum tersebut di atas dilakukan dengan cara mencari sifat-sifat umum (kesamaan-kesamaan) dalam norma peraturan yang konkrit.31 Asas-asas hukum kontrak pada dasarnya tidak terpisah satu dengan lainnya, namun dalam berbagai hal saling mengisi dan melengkapi. Dengan kata lain, masing-masing asas tidak berdiri dalam kesendiriannya, tetapi saling melingkupi dan melengkapi keberadaan suatu kontrak. Sebagaimana diketahui bahwa pembentukan Burgelijk Wetbook32 khususnya buku III tentang perikatan, sangat dipengaruhi paham individualisme yang termanifestasi dalam rumusan-rumusan pasalnya. Dalam seminar tentang “Reformasi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata” yang diselenggarakan oleh Badan pengembangan Hukum Nasional (BPHN) pada tahun 1981 dinyatakan bahwa undang-undang kontrak yang baru akan dibuat berlandaskan asas-asas berikut:33 a.
Asas kebebasan untuk mengadakan kontrak;
b.
Asas menjamin perlindungan bagi kelompok-kelompok ekonomi lemah;
c.
Asas itikad baik;
d.
Asas kesusilaan;
e.
Asas kepentingan umum;
f.
Asas kepastian hukum;
g.
Asas pacta sunt servanda.
31
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 34-35. 32 Indonesia (c), op. cit. 33 Tim Pengembangan Hukum ekonomi (ELIPS), Model Pengembangan Hukum Ekonomi, Proyek ELIPS, Jakarta, 1998, hal. 91.
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
22
Asas-asas sebagaimana yang direkomendasikan oleh BPHN tersebut di atas pada prinsipnya sebagian besar sama dengan asas-asas dalam UNIDROIT. Asasasas dalam kontrak komersial menurut UNIDROIT sebagai berikut:34 a.
Asas kebebasan berkontrak;
b.
Asas itikad baik (good faith) dan transaksi jujur (fair dealing);
c.
Asas diakuinya kebiasaan transaksi bisnis di negara setempat;
d.
Asas kesepakatan melalui penawaran (offer) dan penerimaan (acceptance) atau melalui tindakan;
e.
Asas larangan bernegosiasi dengan itidak biruk;
f.
Asas kewajiban menjaga kerahasiaan;
g.
Asas perlindungan pihak lemah dari syarat-syarat baku.
h.
Asas syarat sahnya kontrak;
i.
Asas dapat dibatalkannya kontrak bila mengandung perbedaan besar (gross disparity);
j.
Asas contra proferentem dalam penafsiran kontrak baku;
k.
Asas menghormati kontrak ketika terjadi kesulitan(hard-ship);
l.
Asas pembebasan tanggung jawab dalam keadaan memaksa (force majeur). Terkait dengan asas-asas hukum kontrak sebagaimana tersebut di atas, para
sarjana memberi porsi perhatian yang berbeda, namun dalam beberapa hal terdapat persamaannya. Dari berbagai asas hukum yang terdapat dalam hukum kontrak terdapat empat asas yang dianggap sebagai soko guru hukum kontrak, yaitu:35 1.
Asas kebebasan berkontrak;
2.
Asas konsensualisme;
3.
Asas daya mengikat kontrak (pacta sunt servanda);
4.
Asas itikad baik.
.34 Taryana Soenandar, Prinsip-Prinsip UNIDROIT Sebagai Sumber Hukum Kontrak dan Penyelesaian Bisnis Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 36. 35 Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Nindyo Pramono dalam makalah berjudul.”Kontrak Komersial:Pembuatan dan Penyelesaian Sengketa,”dalam acara Pelatihan Hukum Perikatan Bagi Dosen dan Praktisi, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 6-7 September 2006, hal. 1-3.
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
23
ad.1. Asas kebebasan berkontrak Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang menduduki posisi sentral dalam hukum kontrak, meskipun asas ini tidak dituangkan menjadi aturan hukum namun mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam hubungan kontraktual para pihak. Setiap orang bebas mengadakan perjanjian apa saja, baik yang sudah diatur atau belum diatur oleh undang-undang. Tetapi kebebasan tersebut dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, tidak bertentangan dengan kesusilaan. Asas ini dilatarbelakangi oleh paham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman yunani, dilanjutkan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat pada zaman renaissance (dan semakin ditumbuhkembangkan pada zaman Aufklarung) melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Groot, Thomas Hobbes, John Locke, dan Rousseau. Perkembangan ini mencapai puncaknya setelah periode Revolusi Perancis.36 Sebagai asas yang bersifat universal yang bersumber dari paham hukum, asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) muncul bersamaan dengan lahirnya paham ekonomi klasik yang mengagungkan laissez faire atau persaingan bebas37. Kebebasan berkontrak pada dasarnya merupakan perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia yang perkembangannya dilandasi semangat liberalisme yang mengagungkan kebebasan individu. Dalam konteks kebebasan kehendak juga terimplikasikan adanya kesetaraan minimal. Dalam kenyataan, kesetaraan kekuatan ekonomi dari para pihak sering kali tidak ada. Sebaliknya, bila kesetaraan antara para pihak tidak dimungkinkan, tidak dapat dikatakan adanya kebebasan berkontrak. Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendaki, sementara itu dalam hukum perjanjian falsafah ini diwujudkan dalam asas kebebasan berkontrak.
36
Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Edisi II, Cetakan I, (Bandung: PT. Alumni, 1996), hal. 89. 37 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), hal. 75.
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
24
Adanya kepentingan umum dari masyarakat juga mensyaratkan dan sekaligus menetapkan batas-batas kebebasan untuk membuat dan menutup kontrak. Adanya kebebasan untuk sepakat tentang apa saja dan dengan siapa saja merupakan hal yang sangat penting. Sebab itu pula, asas kebebasan berkontrak dimasukkan sebagai bagian dari hak-hak kebebasan manusia. Kebebasan berkontrak sebegitu pentingnya, baik bagi individu, dalam konteks kemungkinan pengembangan diri dalam kehidupan pribadi, maupun dalam lalu lintas kehidupan kemasyarakatan, serta untuk menguasai atau memiliki harta kekayaannya, serta bagi masyarakat sebagai suatu totalitas, sedemikian sehingga sering kali dipandang sebagai suatu hak asasi manusia. Kita tidak akan dapat memperoleh pemahaman yang utuh tentang perkembangan serta penerapan asas kebebasan berkontrak tanpa terlebih dahulu menempatkan
asas
ini
ke
dalam
konteks
hubungan
kemasyarakatan,
perkembangan evolutif ekonomi, dan perubahan pandangan-pandangan sosial yang melingkupinya. Bicara mengenai asas kebebasan berkontrak, kita tidak lepas dari Buku III KUHPerdata. Buku III KUHPerdata menganut sistem terbuka, artinya hukum dalam hal ini Buku III KUHPerdata mengatur sendiri pola hubungan hukumnya. Apa yang diatur dalam Buku III KUHPerdata hanya sekedar mengatur dan melengkapi (regelend recht-aanvullendrecht). Berbeda dengan pengaturan Buku II KUHPerdata yang menganut sistem tertutup atau bersifat memaksa (dwingend recht), dimana para pihak dilarang menyimpangi aturan-aturan yang ada dalam Buku II KUHPerdata tersebut. Sistem terbuka Buku III KUHPerdata ini tercermin dari Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata38.
Menurut
Subekti,39
cara
menyimpulkan
asas
kebebasan
berkontrak ini adalah dengan jalan menekankan pada perkataan ‘semua’yang ada di muka perkataan “perjanjian”. Dikatakan bahwa Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata seolah-olah membuat suatu pernyataan (proklamasi) bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita 38
Indonesia (c), op. cit., Pasal 1338 KUHPerdata:”semua perjanjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. 39 Subekti (b), Aneka Perjanjian, Cetakan X (Bandung: Alumni, 1995), hal. 4-5.
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
25
sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan “ketertiban umum dan kesusilaan”. Kebebasan berkontrak disini memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat perjanjian dengan bentuk atau format apapun (tertulis, lisan, scriptless, paperless, otentik, non otentik, sepihak, standard/baku, dan lain-lian), serta dengan isi atau substansi sesuai yang diinginkan para pihak. Dengan demikian menurut asas kebebasan berkontrak, seseorang pada umumnya mempunyai pilihan bebas untuk mengadakan perjanjian.40 Dalam asas ini terkandung pandangan bahwa orang bebas untuk melakukan atau tidak melakukan perjanjian bebas dengan siapa ia mengadakan perjanjian, bebas tentang apa yang diperjanjikan dan bebas untuk menetapkan syarat-syarat perjanjian41 dengan pembatasan-pembatasan tertentu. Misalnya saja UndangUndang tentang Kontrak Kerja. Undang-Undang ini memberikan perlindungan hukum kepada para buruh (pekerja) dengan cara membatasi kebebasan berkontrak yang dinikmati para pihak melalui pengaturan upah, cara, dan waktu pembayaran upah dan tentang ganti rugi bila terjadi pelanggaran kontrak secara melawan hukum.42 Pembatasan terhadap kebebasan berkontrak juga dapat muncul sedemikian rupa sehingga muatan isi kontrak tidak lagi ditentukan oleh kehendak atau kepentingan (salah satu) pihak terkait, misalnya dalam kontrak-kontrak baku. Para pihak tidak lagi bebas mengatur sendiri secara timbal balik hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka satu sama lain. Banyak perjanjian yang dibuat ternyata memuat syarat-syarat baku atau merupakan perjanjian yang ketentuanketentuannya ditetapkan oleh pihak yang secara ekonomis kedudukannya lebih kuat. Hanya sedikit yang tersisa dari asas bahwa suatu perjanjian dilandasi perjumpaan kehendak. Sebenarnya sedikit dapat ditemukan perjanjian yang memuat prestasi para pihak yang sepenuhnya terbentuk melalui perundingan. Tawar menawar makin sedikit dilakukan. 40
Peter Mahmud Marzuki, loc. cit., hal. 31. Ibid. 42 Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 107. 41
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
26
Sekalipun dalam bentuk yang lebih terbatas, juga dalam doktrin dapat kita cermati kecenderungan membatasi kebebasan berkontrak. Dari sudut pandang formil, kebebasan berkontrak tetap berlaku, namun muatan isi dari hubungan kontraktual ditentukan oleh kombinasi dari aturan-aturan yang telah disebutkan di atas.
Ad.2. Asas konsensualisme Pada dasarnya untuk terbentuknya suatu perjanjian cukuplah jika ada persesuaian atau perjumpaan kehendak. Sistem hukum yang terwujud dalam KUHPerdata, telah melepaskan diri dari sistem hukum Romawi. Dalam sistem hukum Romawi, perjanjian baru dianggap terbentuk jika kebendaan yang bersangkutan diserahkan. Hukum Romawi berpegang teguh pada aturan ketat bahwa semua perjanjian, dengan memperhatikan beberapa pengecualian khusus, harus memenuhi sejumlah persyaratan sebelum dapat dikatakan telah terbentuk. Aturan umum, nudus consensus obligat, dalam hal ini tidak berlaku, sekalipun kecenderungannya adalah memberikan pengakuan terhadap aturan tersebut. Adalah pandangan-pandangan ‘primitif’ Hukum Romawi yang mengedepankan ragam tindakan-tindakan, acap bersifat formil, yang sedianya mendahului atau menjadi syarat untuk menimbulkan akibat hukum tertentu, dan sebab itu pula tanpa menelaah lebih dalam tindakan-tindakan demikian, secara sadar dipilih pola pandang baru: Suatu perjumpaan kehendak yang memenuhi sejumlah persyaratan dianggap sebagai kontrak yang absah.43 Asas konsensualisme berasal dari perkataan latin consensus yang berarti sepakat.44 Asas Konsensualisme bukanlah berarti untuk suatu perjanjian disyaratkan adanya kesepakatan. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, berarti dua pihak sudah setuju atau bersepakat mengenai suatu hal. Arti asas konsensualisme ialah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan.
43 44
Ibid., hal. 97. Subekti (a), op. cit., hal. 15.
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
27
Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan suatu formalitas. Apabila menyimak rumusan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Istilah “secara sah” bermakna bahwa dalam pembuatan perjanjian yang sah (menurut hukum) adalah mengikat (vide Pasal 1320 KUHPerdata), karena dalam asas ini terkandung “kehendak para pihak” untuk saling mengikatkan diri dan menimbulkan kepercayaan diantata para pihak terhadap pemenuhan perjanjian. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata terkandung asas yang esensial dari hukum perjanjian yaitu asas “konsensualisme” yang menentukan “ada”nya perjanjian.45 Dalam asas ini terkandung kehendak para pihak untuk saling mengikatkan diri dan menimbulkan kepercayaan diantara para pihak terhadap pemenuhan perjanjian. Asas kepercayaan merupakan nilai etis yang bersumber pada moral.46 Dikatakan juga, bahwa perjanjian-perjanjian itu konsensuil. Adakalanya undang-undang menetapkan, bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diharuskan perjanjian itu diadakan tertulis (perjanjian perdamaian) atau dengan akta notaris (perjanjian penghibahan barang tetap), tetapi hal yang demikian itu merupakan suatu pengecualian. Yang lazim saaat ini adalah bahwa, perjanjian itu sudah sah dalam arti sudah mengikat, apabila sudah tercapai kata sepakat dari hal-hal yang pokok dari perjanjian tersebut. Beberapa contoh perjanjian konsensuil adalah perjanjian jual beli, tukar menukar, sewa menyewa. Misalnya saja saat ini begitu meluas toko-toko online dan mereka (penjual) berjualan melalui jejaring sosial. Ketika antara penjual dan pembeli sudah sepakat mengenai harga barang yang dimaksud, maka perjanjian jual beli itu sudah lahir dengan segala akibat hukumnya.
45
Mariam Darus Badrulzaman, et al., Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 82. 46 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,1991), hal. 43-44.
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
28
Asas konsensualisme mempunyai hubungan yang erat dengan asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat yang terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan mengakibatkan perjanjian itu tidak sah dan juga tidak mengikat sebagai undang-undang. Asas konsensualisme sebagaimana terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata angka 1 – kesepakatan – dimana menurut asas ini perjanjian itu telah lahir cukup dengan adanya kata sepakat. Disini yang ditekankan adalah adanya persesuaian kehendak (meeting of mind) sebagai inti dari hukum kontrak.47 Asas konsensualisme merupakan ‘ruh’ dari suatu perjanjian. Dengan demikian, asas konsensualisme sebagaimana yang tersimpul dari ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata angka 1 (tentang kesepakatan), yang menyatakan bahwa perjanjian itu telah lahir cukup dengan adanya kata sepakat, hendaknya tidak juga diinterpretasi semata-mata secara gramatikal. Pemahaman asas konsensualisme yang menekankan pada “sepakat” para pihak ini, berangkat dari pemikiran bahwa yang berhadapan dalam kontrak itu adalah orang yang menjunjung tinggi komitmen dan tanggung jawab dalam lalu lintas hukum, orang yang beritikad baik, yang berlandaskan pada “satunya kata satunya perbuatan”. Sehingga dengan asumsi bahwa yang berhadapan dalam kontrak itu adalah para “gentleman”, maka akan terwujud juga “gentleman agreement” diantara mereka. Apabila kata sepakat yang diberikan para pihak tidak berada dalam kerangka yang sebenarnya, dalam arti terdapat cacat kehendak, maka hal ini akan mengancam eksistensi kontrak itu sendiri. Pada akhirnya pemahaman terhadap asas konsensualisme tidak terpaku sekedar mendasarkan pada kata sepakat saja, tetapi syarat-syarat lain dalam Pasal 1320 KUHPerdata dianggap telah terpenuhi sehingga kontrak tersebut menjadi sah.
ad.3. Asas daya mengikat kontrak (pacta sunt servanda) Baik sistem terbuka hukum kontrak maupun asas kekuatan mengikat dapat menemukan landasan hukumnya dalam bunyi ketentuan Pasal 1338 ayat (1) 47
Djasadin Saragih, ”Sekilas Perbandingan Hukum Kontrak Civil Law dan Common Law,” (Disampaikan pada Lokakarya ELIPS Projects-Materi Perbandingan Hukum Perjanjian, Kerjasama FH Unair dengan FH UI, Hotel Sahid Surabaya, 1993), hal. 5.
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
29
KUHPerdata.48 Asas kekuatan mengikat atau disebut juga asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas yang menyatakan bahwa suatu perjanjian mengakibatkan suatu kewajiban hukum dan para pihak terikat untuk melaksanakan kesepakatan kontraktual, serta suatu kesepakatan harus dipenuhi, dianggap sudah terberi dan kita tidak pernah mempertanyakannya kembali. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja. Kehidupan kemasyarakatan hanya mungkin berjalan dengan baik jika seseorang dapat mempercayai perkataan orang lain. Ilmu pengetahuan memang tidak mungkin dapat memberikan penjelasan lebih dari itu, terkecuali bahwa kontrak memang mengikat karena merupakan suatu janji, serupa dengan undangundang karena undang-undang tersebut dipandang sebagai perintah pembuat undang-undang. Jika kepastian terpenuhinya kesepakatan kontraktual ditiadakan, hal itu akan sekaligus menghancurkan seluruh sistem pertukaran (benda-jasa) yang ada dalam masyarakat. Dalam perspektif KUHPerdata daya mengikat kontrak dapat dicermati dalam rumusan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa ”semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka 48
Indonesia (c), op. cit., Pasal 1338 KUHPerdata: ”semua perjanjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
30
yang membuatnya. Pengertian berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya menunjukkan bahwa undang-undang sendiri mengakui dan menempatkan posisi para pihak dalam kontrak sejajar dengan pembuat undangundang. Para pihak yang berkontrak dapat secara mandiri mengatur pola hubunganhubungan hukum diantara mereka. Kekuatan perjanjian yang dibuat secara sah (vide Pasal 1320 KUHPerdata) mempunyai daya berlaku seperti halnya undangundang yang dibuat oleh legislator dan karenanya harus ditaati oleh para pihak, bahkan jika dipandang perlu dapat dipaksakan dengan bantuan sarana penegak hukum. Kekuatan mengikat dari perjanjian yang muncul seiring dengan asas kebebasan berkontrak merupakan manifestasi pola hubungan manusia yang mencerminkan nilai-nilai kepercayaan di dalamnya. Perjanjian-perjanjian yang lahir dari ketentuan Buku III KUHPerdata pada umumnya merupakan perjanjian obligatoir, artinya perjanjian itu pada dasarnya melahirkan kewajiban-kewajiban kepada para pihak yang membuatnya. Meskipun demikian, ada pula pengaturan perjanjian liberatoir, yaitu berisi pembebasan kewajiban-kewajiban.49 Perjanjian obligatoir sendiri melahirkan hak perorangan bagi para pihak yang membuat perjanjian. Salah satu ciri hak perorangan adalah sifatnya yang relatif atau nisbi, artinya hak perorangan itu hanya mengikat para pihak yang membuat perjanjian itu sendiri. Hal ini dapat disimak dari ketentuan Pasal 1315 jo 1340 KUHPerdata.50 Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang telah disebutkan di atas selanjutnya dimengerti dalam artian bahwa sebenarnya setiap orang dan sesama orang lainnya dapat bertindak seolah pembuat undang-undang dengan menggunakan perjanjian. Sebab itu pula, perjanjian dianggap sebagai sumber hukum disamping undang-undang, karena setiap perikatan lahir dari perjanjian 49
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian-Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, (Surabaya: Laksbang Mediatama Yogyakarta, 2008), hal. 112. 50 Indonesia (c), op. cit., Pasal 1315 KUHPerdata:”Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri”. Pasal 1340 KUHPerdata: “Persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya”.
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
31
atau dari undang-undang. Hal ini berarti, tiada kurang maupun lebih, bahwa setiap orang dengan caranya sendiri, dengan membuat perjanjian, dapat bertindak selaku pembuat undang-undang dalam lingkup hukum keperdataan (privat), yang mengatur perilaku antara sesama orang tersebut. Adagium pacta sunt servanda diakui sebagai aturan yang menetapkan bahwa semua perjanjian yang dibuat manusia satu sama lain, mengingat kekuatan hukum yang terkandung di dalamnya, dimaksudkan untuk dilaksanakan dan pada akhirnya dipaksakan pelaksanaannya. Dalam
pandangan
Eropa
Kontinental,
asas
kebebasan
berkontrak
merupakan konsekuensi dari dua asas lainnya dalam perjanjian, yaitu konsensualisme dan kekuatan mengikat suatu perjanjian yang lazim disebut pacta sunt servanda. Konsensualisme berhubungan dengan terjadinya perjanjian, pacta sunt servanda berkaitan dengan akibat adanya perjanjian yaitu terikatnya para pihak yang mengadakan perjanjian, sedangkan kebebasan berkontrak menyangkut isi perjanjian.51
ad.4. Asas itikad baik Seperti kita tahu bahwa dalam Pasal 1338 (1) KUHPerdata tersimpul asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme serta daya mengikatnya perjanjian. Pemahaman terhadap pasal tersebut tidak berdiri dalam kesendiriannya, asas-asas yang terdapat dalam pasal tersebut berada dalam satu sistem yang padu dan integratif dengan ketentuan-ketentuan lainnya. Terkait dengan daya mengikatnya perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya (pacta sunt servanda), pada situasi tertentu daya berlakunya dibatasi, antara lain dengan itikad baik. Asas itikad baik merupakan salah satu sendi penting dalam hukum perjanjian. Artinya, dalam pembuatan dan pelaksanaan perjanjian harus mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Selain itu, setiap pihak
51
Peter Mahmud Marzuki, loc. cit., hal. 197.
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
32
yang membuat dan melaksanakan perjanjian juga harus melandasinya dengan itikad baik. Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyatakan bahwa ”perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subyek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang obyektif. Tetapi asas itikad baik sering kali mengalami pelanggaran. Contohnya saja dalam hal Perjanjian KPR ini. Salah satu klausulnya menyebutkan bahwa apabila pihak kreditur menaikkan suku bunga dan pihak nasabah debitur tidak menyetujui kenaikan suku bunga tersebut, maka pihak kreditr yaitu Bank Panin dapat menghentikan Perjanjian KPR ini dan meminta nasabah debitur untuk melunasi seluruh hutang beserta bunga dan segala yang menjadi beban nasabah debitur. Namun mengahadapi seperti ini, maka nasabah debitur menjadi tidak berdaya dan menerima kenaikan suku bunga yang diberikan oleh pihak bank dengan isi perjanjian yang ditentukan oleh pihak bank sehingga cenderung berat sebelah. Kenyataan di lapangan yang seperti ini, menunjukkan pelanggaran atas asas itikad baik yang dimuat dalam Pasal 1338 (3) KUHPerdata. Pelanggaran yang dimaksud adalah bahwa asas itikad baik menuntut adanya keseimbangan kedudukan antara para pihak, namun pihak bank dengan segala kelebihannya telah mementukan secara sepihak isi perjanjian yang sifatnya melemahkan kedudukan pihak nasabah debitur. Pengaturan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menetapkan bahwa persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik (kontrak berdasarkan itikad baik) maksudnya perjanjian itu dilaksanakan menurut kepatutan dan keadilan.
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
33
Pengertian itikad baik dalam dunia hukum mempunyai pengertian yang lebih luas daripada pengertian sehari-hari. Daya berlaku itidak baik meliputi seluruh proses kontrak atau diibaratkan dengan “the rise and fall of contract”. Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata pada umumnya selalu dihubungkan dengan Pasal 1339 KUHPerdata.52 Itikad baik juga dibedakan dalam sifatnya yang nisbi dan mutlak. Pada itikad baik yang nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subyek. Pada itikad baik yang obyektif atau hal yang sesuai dengan akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran obyektif untuk menilai keadaan sekitar perbuatan hukumnya. Wirjono Prodjodikoro membagi itikad baik dalam dua macam, yaitu:53 a.
Itikad baik pada waktu mulai berlakunya suatu hubungan hukum. Itikad baik disini biasanya berupa perkiraan atau anggapan seseorang bahwa syarat-syarat yang diperlukan bagi dimulai hubungan hukum telah terpenuhi. Dalam konteks ini hukum memberikan perlindungan kepada pihak yang beritikad baik, sedang bagi pihak beritikad tidak baik harus bertanggung jawab dan menanggung resiko. Itikad baik semacam ini dapat disimak dari ketentuan Pasal 1977 ayat (1) KUHPerdata dan Pasal 1963 KUHPerdata, dimana terkait dengan salah satu syarat untuk memperoleh hak milik atas barang melalui daluwarsa. Itikad baik ini bersifat subyektif dan statis.
b.
Itikad baik pada waktu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang termaktub dalam hubungan hukum itu. Pengertian itikad baik semacam ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata adalah bersifat obyektif dan dinamis mengikuti situasi sekitar perbuatan hukumnya. Titik berat itikad baik disini terletak pada tindakan yang akan dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu tindakan sebagai pelaksanaan sesuatu hal.
52
Indonesia (c), op. cit., Pasal 1339 KUHPerdata:”Persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang.” 53 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perdata, (Bandung: Sumur, 1992). Hal. 5662.
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
34
Pengertian itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata berbeda dengan pengertian itikad baik pada Pasal 1963 dan 1977 ayat (1) KUHPerdata. Pada Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, pengertian itikad baik berarti melaksanakan perjanjian dengan itikad baik adalah bersifat dinamis. Artinya dalam melaksanakan perbuatan ini kejujuran harus berjalan dalam hati sanubari seorang manusia. Jadi selalu mengingat bahwa manusia sebagai anggota masyarakat harus jauh dari sifat merugikan pihak lain, atau mempergunakan katakata secara membabi buta pada saat kedua belah pihak membuat suatu perjanjian. Kedua belah pihak harus selalu memperhatikan hal-hal ini, dan tidak boleh mempergunakan kelalaian pihak lain untuk menguntungkan diri pribadi. Itikad baik harus dimaknai dalam keseluruhan proses kontraktual, artinya itikad baik harus melandasi hubungan para pihak pada tahap pra kontraktual, kontraktual, dan pelaksanaan kontraktual. Dengan demikian, fungsi itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata mempunyai sifat dinamis melingkupi keseluruhan proses kontrak tersebut. Memang diakui bahwa untuk memahami itikad baik bukan hal yang mudah. Pada kenyataannya itikad baik acapkali tumpang tindih dengan kewajaran dan kepatutan. Dalam itikad baik terkandung kepatutan, demikian pula dalam pengertian kepatutan terkandung itikad baik. Beranjak dari pemahaman itikad baik, kiranya dalam menjalankan aktifitasnya pelaku bisnis tidak boleh merugikan pihak lain, atau memanfaatkan kelalaian pihak lain untuk menguntungkan diri sendiri.
2.1.3. Syarat Sahnya Perjanjian Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang. Perjanjian yang sah diakui dan diberi akibat hukum (legally concluded contract). KUHPerdata menentukan empat syarat yang harus ada pada setiap perjanjian itu berlaku sah. Menurut ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, syarat-syarat sah perjanjian adalah: 1.
Adanya kesepakatan untuk mengikatkan diri atau konsensus
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
35
Bahwa
semua
pihak
menyetujui/sepakat
mengenai
materi
yang
diperjanjikan, dalam hal ini tidak terdapat unsur paksaan, intimidasi ataupun penipuan. Kesepakatan disini adalah seia sekata. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lainnya. Persetujuan sifatnya sudah mantap, tidak lagi dalam perundingan. Sebelum ada persetujuan, biasanya pihak-pihak mengadakan perundingan (negotiation), pihak yang satu memberitahukan kepada pihak yang lain mengenai obyek perjanjian dan syarat-syaratnya. Pihak yang lain menyatakan pula kehendaknya, sehingga tercapai persetujuan yang mantap. Persetujuan kehendak itu sifatnya bebas, artinya tidak ada paksaan, tekanan dari pihak manapun juga, betul-betul atas kemauan sukarela pihak-pihak. Dalam pengertian persetujuan kehendak termasuk juga tidak ada kekhilafan dan tidak ada penipuan. Dikatakan tidak ada paksaan apabila orang yang melakukan perbuatan itu tidak berada dibawah ancaman, baik dengan kekerasan jasmani maupun dengan upaya menakut-nakuti, misalnya akan membuka rahasia, sehingga dengan demikian orang itu terpaksa menyetujui perjanjian. (Pasal 1324 KUHPerdata)54 Dikatakan tidak ada kekhilafan atau kekeliruan atau kesesatan apabila salah satu pihak tidak khilaf atau tidak keliru mengenai pokok perjanjian atau sifat-sifat penting obyek perjanjian atau mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Menurut ketentuan Pasal 1322 ayat (1) dan (2) KUHPerdata55, kekeliruan atau kekhilafan tidak mengakibatkan batal suatu perjanjian, kecuali apabila kekekeliruan atau kekhilafan itu terjadi mengenai 54
Indonesia (c), op. cit., Pasal 1324 KUHPerdata: Paksaan terjadi, bila tindakan itu sedemikian rupa sehingga memberi kesan dan dapat menimbulkan ketakutan pada orang yang berakal sehat, bahwa dirinya, orang-orangnya, atau kekayaannya, terancam rugi besar dalam waktu dekat. Dalam pertimbangan hal tersebut, harus diperhatikan usia, jenis kelamin, dan kedudukan orang yang bersangkutan. 55 Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan, kecuali jika kekhilafan itu terjadi mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan. Kekhilafan tidak mengakibatkan kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai diri orang yang dengannya seseorang bermaksud untuk mengadakan persetujuan, kecuali jika persetujuan itu diberikan terutama karena diri orang yang bersangkutan.
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
36
hakekat benda yang menjadi pokok perjanjian, atau mengenai sifat khusus/keahlian khusus diri orang dengan siapa diadakan perjanjian. 2.
Kecakapan para pihak untuk membuat perjanjian Kata kecakapan yang dimaksud dalam hal ini adalah bahwa para pihak telah dinyatakan dewasa oleh hukum, (ukuran dewasa sesuai ketentuan KUHPerdata adalah telah berusia 21 tahun; sudah atau pernah menikah), tidak gila, tidak dibawah pengawasan karena perilaku yang tidak stabil dan bukan orang-orang yang dalam undang-undang dilarang membuat suatu perjanjian tertentu.
3.
Ada suatu hal tertentu Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, obyek perjanjian, prestasi yang wajib dipenuhi. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Bahwa obyek yang diperjanjikan dapat ditentukan dan dapat dilaksanakan oleh para pihak. Karena jika obyek perjanjian tidak dapat ditentukan apalagi dilaksanakan, maka perjanjian itu batal.
4.
Adanya suatu sebab yang halal Dengan syarat ini dimaksudkan adalah tujuan dari perjanjian itu sendiri. Sebab yang tidak halal adalah yang berlawanan dengan undang undang kesusilaan dan ketertiban umum. Dari syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut di atas, kedua syarat pertama, yaitu sepakat mereka yang mengingatkan diri dan kecakapan untuk membuat perjanjian dinamakan syarat subyektif karena kedua syarat tersebut mengenai subyek perjanjian. Syarat subyektif adalah suatu syarat yang menyangkut pada subyek subyek perjanjian itu. Atau dengan perkataan lain, syarat syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang membuat perjanjian, hal ini meliputi kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya dengan kecakapan pihak yang membuat perjanjian. Apabila syarat subyektif tidak dipenuhi, maka perjanjiannya bukan batal demi hukum tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan.
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
37
Perjanjian yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut tidak akan diakui oleh hukum walaupun diakui oleh pihak-pihak yang membuatnya. Selagi pihakpihak mengakui dan mematuhi perjanjian yang mereka buat walaupun tidak memenuhi syarat-syarat, perjanjian itu berlaku diantara mereka. Apabila sampai suatu ketika ada pihak yang tidak mengakuinya sehingga menimbulkan sengketa, maka hakim akan membatalkan atau menyatakan perjanjian itu batal. Dua syarat yang pertama dinamakan syarat subyektif karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian. Tidak terpenuhinya syarat subyektif ini, maka perjanjiannya dapat dimintakan pembatalan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya (perizinannnya) secara tidak bebas. Sedangkan dalam hal syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Sebagai suatu perbandingan dalam Common Law atau Anglo Saxon pembentukan perjanjian mengharuskan dipenuhinya empat syarat, yaitu: 1.
Kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri, mencakup: a.
Adanya suatu penwaran (offer)dari offeror sebagai pihak pertama;
b.
Adanya penyampaian penawaran tersebut kepada offeror sebagai pihak kedua;
c.
Adanya penerimaan penawaran oleh pihak kedua yang menyatakan kehendaknya untuk terikat pada persyaratan dan penawaran tersebut;
d.
Adanya penyampaian penerimaan (acceptance) oleh pihak kedua kepada pihak pertama;
2.
Consideration (“something value”) yang dipertukarkan antara para pihak;
3.
Kecakapan untuk membuat perjanjian;
4.
Suatu obyek yang halal.56
56
Sukarni, Cyber Law: Kontrak Elektronik dalam Bayang-Bayang Pelaku Usaha (Cyberlaw Indonesia), (Pustaka Sutra). Hal. 33.
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
38
2.1.4. Macam-macam Perjanjian Menurut Mariam Darus Badrulzaman dalam bukunya Kompilasi Hukum Perikatan dikatakan bahwa jenis-jenis perjanjian yaitu:57 a.
Perjanjian Timbal Balik Perjanjian Timbal Balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak.
b.
Perjanjian Cuma-Cuma Menurut ketentuan Pasal 1314 KUHPerdata58, suatu persetujuan yang dibuat dengan cuma-cuma adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
c.
Perjanjian atas Beban Perjanjian Atas Beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.
d.
Perjanjian Bernama Perjanjian Bernama adalah perjanjian yang sudah mempunyai nama sendiri, maksudnya adalah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian khusus terdapat dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII KUHPerdata.
e.
Perjanjian Tidak Bernama Perjanjian Tidak Bernama adalah perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata, tetapi terdapat di masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas dengan nama yang disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya.
57
Mariam Darus Badrulzaman, op. cit., hal. 66. Indonesia (c), op. cit., Pasal 1314 KUHPerdata: Suatu persetujuan diadakan dengan cuma-cuma atau dengan memberatkan. Suatu persetujuan Cuma-Cuma adalah suatu persetujuan bahwa pihak yang satu akan memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima imbalan. Suatu persetujuan memberatkan adalah suatu persetujuan yang mewajibkan tiap pihak untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. 58
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
39
f.
Perjanjian Obligatoir Perjanjian Obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak.
g.
Perjanjian Kebendaan Perjanjian Kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan haknya atas sesuatu benda kepada pihak lain, yang membebankan kewajiban (oblige) pihak itu untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain (levering, transfer).
h.
Perjanjian Konsensual Perjanjian Konsensual adalah perjanjian dimana antara kedua belah pihak telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perjanjian. Menurut KUHPerdata perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat (Pasal 1338).59
i.
Perjanjian Real Perjanjian Real adalah suatu perjanjian yang terjadinya itu sekaligus dengan realisasi tujuan perjanjian, yaitu pemindahan hak.
j.
Perjanjian Liberatoir Perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada (Pasal 1438 KUHPerdata).60
k.
Perjanjian Pembuktian Suatu perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku diantara mereka.
l.
Perjanjian Untung-Untungan Menurut Pasal 1774 KUHPerdata, Perjanjian Untung-Untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak, bergantung pada suatu kejadian yang belum tentu.
m.
Perjanjian Publik
59
Ibid., Pasal 1338 KUHPerdata:”semua perjanjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” 60 Ibid., Pasal 1438 KUHPerdata: Pembebasan suatu utang tidak dapat hanya didugaduga, melainkan harus dibuktikan.
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
40
Perjanjian Publik yaitu suatu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik karena salah satu pihak yang bertindak adalah pemerintah dan pihak lainnya adalah swasta. Diantara keduanya terdapat hubungan atasan dengan bawahan (subordinated), jadi tidak dalam kedudukan yang sama (co-ordinated). n.
Perjanjian Campuran Perjanjian Campuran adalah suatu perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian di dalamnya.
2.1.5. Wanprestasi Suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain, atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu. Melihat macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjian-perjanjian itu dibagi dalam tiga macam: 1.
Perjanjian untuk memberikan/menyerahkan suatu barang;
2.
Perjanjian untuk berbuat sesuatu;
3.
Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu. Pengertian berbuat sesuatu adalah menyerahkan kekuasaan nyata atas suatu
benda dari debitur kepada kreditur, misalnya dalam hibah, perjanjian gadai, dan hutang piutang. Dalam perikatan yang obyeknya “berbuat sesuatu”, debitur wajib melakukan perbuatan tertentu yang telah ditetapkan dalam perikatan, misalnya melakukan
perbuatan
membongkar
tembok,
mengosongkan
rumah
dan
membangun gedung. Dalam melakukan perbuatan itu debitur harus mematuhi semua ketentuan dalam perikatan. Debitur bertanggung jawab atas perbuatannya yang tidak sesuai dengan ketentuan perikatan. Dalam perikatan yang obyeknya “tidak berbuat sesuatu”, debitur tidak melakukan perbuatan yang telah ditetapkan dalam perikatan, misalnya tidak melakukan persaingan yang telah diperjanjikan, tidak membuat tembok yang tinggi yang menghalangi pemandangan tetangganya. Apabila debitur berbuat
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
41
berlawanan dengan perikatan ini, ia bertanggung jawab karena melanggar perjanjian. Mengenai hal yang harus dilaksanakan itu dinamakan prestasi. Suatu perikatan lazimnya bertujuan untuk menghapus dirinya sendiri, artinya dengan pemenuhan prestasi yang diwajibkan maka telah berakhir apa yang menjadi tujuan para pihak. Pelaksanaan prestasi (disebut juga pembayaran) akan menghapus eksistensi perikatan (vide Pasal 1381 KUHPerdata). Suatu persoalan dalam hukum perjanjian ialah apakah jika si berutang (debitur) tidak menepati janjinya maka si berpiutang (kreditur) dapat mewujudkan sendiri prestasi yang dijanjikan itu. Artinya: apakah si berpiutang (kreditur) dapat dikuasakan oleh hakim untuk mewujudkan atau merealisasikan sendiri apa yang menjadi haknya menurut perjanjian? Jika yang demikian itu mungkin, maka dikatakan perjanjian tadi dapat dieksekusikan secara riil. Meskipun selalu ada kemungkinan untuk mendapatkan suatu ganti rugi, tetapi bila seorang mendapat apa yang dijanjikan, itu adalah hal yang paling memuaskan. Suatu ganti rugi seolah-olah hanyalah suatu “penyenang” saja. Dari itu apa yang dijanjikan itu, dinamakan prestasi primair, sedangkan ganti rugi dinamakan prestasi subsidair. Barang yang subsidair adalah barang yang menggantikan sesuatu barang lain, yang lebih berharga. Tadi sudah dikatakan bahwa pelaksanaan prestasi yang disebut juga pembayaran tidak dapat diartikan sama dengan pengertian umum yang diartikan sebagai penyerahan sejumlah uang. Dengan demikian, pembayaran dalam kontrak jual beli tidak hanya dipahami sebagai penyerahan sejumlah uang oleh pembeli (sebagai harga pembelian) namun juga penyerahan barang oleh pihak penjual. Pembayaran sebagai wujud pemenuhan prestasi yang diwajibkan dalam hubungan kontraktual, pada umumnya membebani pihak debitur. Hal ini sesuai dengan prinsip schuld dan haftung dalam hukum perikatan. Bahwa utang (schuld) pada umumnya membebani debitur, serta mewajibkan kepada debitur untuk menjamin dengan harta bendanya (haftung). Namun tidak menutup kemungkinan pembayaran dilakukan oleh pihak lain, misal ko-debitur, penanggung (borg), pihak ketiga lain asal pembayaran dimaksudkan untuk memenuhi kewajiban
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
42
debitur. Hal ini dapat disimak dari ketentuan Pasal 1382 KUHPerdata yang menyatakan: Tiap perikatan dapat dipenuhi oleh siapa pun yang berkepentingan, seperti orang yang turur berutang atau penanggung utang. Suatu perikatan bahkan dapat dipenuhi oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan, asal pihak ketiga itu bertindak atas nama dan untuk melunasi utang debitur, atau asal ia tidak mengambil alih hak-hak kreditur sebagai pengganti jika ia bertindak atas namanya sendiri. Sebagaimana dipahami bahwa pemenuhan prestasi oleh debitur atau pihak lain (ko-debitur, borg, atau pihak ketiga lainnya) akan membebaskan debitur dan menghapus perikatan dimaksud. Namun demikian, dapat pula terjadi bahwa dengan pembayaran tersebut tidak menghapus perikatannya tetapi hanya terjadi peralihan hak dari kreditur lama kepada kreditur baru. Prestasi adalah obyek perikatan. Supaya obyek itu dapat dicapai, dalam arti dipenuhi oleh debitur, maka perlu diketahui sifat-sifatnya yaitu:61 1.
Harus sudah tertentu atau dapat ditentukan;
2.
Harus mungkin, artinya prestasi itu dapat dipenuhi oleh debitur secara wajar dengan segala usahanya. Jika tidak demikian, perikatan batal;
3.
Harus diperbolehkan (halal), artinya tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Jika prestasi itu tidak halal, perikatan batal;
4.
Harus ada manfaat bagi kreditur, artinya kreditur dapat menggunakan, menikmati dan mengambil hasilnya. Jika tidak demkian, perikatan dapat dibatalkan;
5.
Terdiri dari satu perbuatan atau serententan perbuatan. Jika prestasi itu berupa satu kali perbuatan dilakukan lebih dari satu kali dapat mengakibatkan pembatalan. Jika tadi dikatakan bahwa prestasi adalah mengenai hal yang harus
dilakukan, maka yang dinamakan wanprestasi adalah tidak terpenuhinya sesuatu yang diwajibkan seperti yang ditetapkan dalam perjanjian. Pada situasi normal 61
Abdulkadir Muhammad, op. cit., hal. 203.
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
43
antara prestasi dan kontra prestasi akan saling bertukar, namun pada kondisi tertentu pertukaran prestasi tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga muncul peristiwa yang disebut wanprestasi. Tidak
dipenuhinya
kewajiban
oleh
debitur
disebabkan
oleh
dua
kemungkinan alasan, yaitu: 1.
Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhi kewajiban maupun karena kelalaian;
2.
Karena keadaan memaksa (overmacht), force majeure, jadi diluar kemampuan debitur. Debitur tidak bersalah. Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat berupa empat
macam: 1.
Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2.
Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
3.
Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4.
Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Namun demikian, pada umumnya wanprestasi baru terjadi setelah adanya
pernyataan lalai dari pihak kreditur kepada pihak debitur. Pernyataan lalai ini pada dasarnya bertujuan menetapkan tenggang waktu (yang wajar) kepada debitur untuk memenuhi prestasinya dengan sanksi tanggung gugat atas kerugian yang dialami kreditur. Untuk mengetahui sejak kapan debitur dalam keadaan wanprestasi, perlu diperhatikan apakah dalam perkataan itu ditentukan tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi atau tidak. Dalam hal tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan maka perlu memperingatkan debitur supaya ia memenuhi prestasi. Tetapi dalam hal ditentukan tenggang waktunya, menurut ketentuan Pasal 1238 KUHPerdata62 debitur dianggap lalai dengan lewatnya tenggang waktu yang telah ditetapkan dalam perikatan. Dalam praktek penyusunan kontrak seringkali dimasukkan klausul yang isinya tentang “fatale termijn”, sehingga dengan tidak dipenuhi salah satu 62
Indonesia (c), op. cit., Pasal 1238 KUHPerdata: Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
44
kewajiban debitur dalam kontrak, secara otomatis telah terjadi wanprestasi. Biasanya untuk menindaklanjuti kondisi ini dicantumkan juga klausul pemutusan kontrak sebagai salah satu bentuk sanksi yang mungkin ditempuh pihak kreditur. Cara agar debitur memenuhi prestasinya adalah dengan diberinya peringatan tertulis yang isinya menyatakan bahwa debitur wajib memenuhi prestasi dalam waktu yang ditentukan. Peringatan tertulis dapat dilakukan secara resmi maupun secara tidak resmi. Peringatan tertulis secara resmi dilakukan melalui pengadilan negeri yang berwenang yang disebut ‘sommatie’.63 Kemudian pengadilan negeri dengan perantaraan juru sita menyampaikan surat peringatan tersebut kepada debitur, yang disertai berita acara penyampaiannya. Peringatan tertulis tidak resmi misalnya nelalui surat tercatat, atau disampaikan sendiri dengan tanda terima. Surat peringatan ini disebut ‘ingebreke stelling’. Dengan adanya wanprestasi, pihak kreditur yang dirugikan sebagai akibat kegagalan pelaksanaan kontrak oleh pihak debitur mempunyai hak gugat dalam upaya menegakkan hak-hak kontraktualnya. Hal ini sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 1267 KUHPerdata yang menyatakan bahwa:
Pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih;memaksa pihak yang lain untuk memenuhi kontrak, jika hal itumasih dapa dilakukan, atau menuntut pembatalan persetujuan, dengan penggantian biaya, kerugian, dan bunga. Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman atau sanksi hukum berikut ini: 1.
Debitur diwajibkan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur (Pasal 1243 KUHPerdata);
2.
Apabila
perikatan
itu
timbal
balik,
kreditur
dapat
menuntut
pemutusan/pembatalan perikatan melalui hakim (Pasal 1266 KUHPerdata); 3.
Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, resiko beralih kepada debitur sejak terjadi wanprestasi (Pasal 1237 ayat (2) KUHPerdata);
63
Abdulkadir Muhammad, op. cit., hal. 204.
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
45
4.
Debitur diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan, atau pembatalan disertai pembayaran ganti kerugian (Pasal 1267 KUHPerdata);
5.
Debitur wajib membayar biaya perkara jika diperkarakan di muka pengadilan negeri, dan debitur dinyatakan bersalah. Karena wanprestasi mempunyai akibat-akibat yang begitu penting, maka
harus ditetapkan lebih dahulu apakah si berutang melakukan wanprestasi atau lalai. Kalau hal itu disangkal olehnya maka harus dibuktikan di muka hakim. Kadang-kadang juga tidak mudah mengatakan bahwa seseorang lalai atau alpa karena seringkali juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan sesuatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang dijanjikan. Dalam hal ganti rugi, ganti rugi merupakan upaya untuk memulihkan kerugian yang prestasinya bersifat subsidair. Artinya, apabila pemenuhan prestasi tidak lagi dimungkinkan atau sudah tidak diharapkan lagi, maka ganti rugi merupakan alternatif yang dapat dipilih oleh kreditur. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1243 KUHPerdata, ganti rugi meliputi: Biaya (kosten)64, rugi (schaden)65 dan bunga (interessen)66. Menurut Niewenhuis67, kerugian diartikan berkurangnya harta kekayaan pihak satu (pihak yang dirugikan), yang disebabkan oleh perbuatan (baik melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma (seperti wanprestasi) oleh pihak lain (debitur). Kerugian dibentuk oleh perbandingan antara situasi sesungguhnya (bagaimana ‘dalam kenyataannya’ keadaan harta kekayaan sebagai akibat pelanggaran norma dalam hal ini wanprestasi) dengan suatu hipotesis (situasi itu akan menjadi bagaimana seandainya tidak terjadi pelanggaran norma dalam hal ini wanprestasi). Jadi kerugian disini terdiri dari dua unsur, yaitu: (i) kerugian yang nyata diderita meliputi biaya dan rugi dan (ii) keuntungan yang tidak diperoleh, berupa bunga.68
64
Yang dimaksud dengan biaya (kosten) adalah pengeuaran nyata yang telah dikeluarkan sebagai akibat wanprestasinya debitur, misal biaya perjalanan, biaya notaris. 65 Yang dimaksud dengan rugi (schaden) adalah berkurangnya harta benda kreditur sebagai akibat wanprestasinya debitur. 66 Yang dimaksud dengan bunga (interessen) adalah keuntungan yang seharusnya diperoleh kreditur seandainya tidak terjadi wanprestasinya. 67 J.H. Niewenhuis, Pokok-pokok Hukum Perikatan, (Terjemahan Djasadin Saragih), Surabaya, 1985. Hal 57-58. 68 Purwahid Patrik, Dasar-dasar hukum perikatan, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 14.
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
46
Ganti rugi disini meliputi ganti rugi pengganti dan ganti rugi pelengkap. Ganti rugi pengganti merupakan ganti rugi yang diakibatkan oleh tidak adanya prestasi yang seharusnya menjadi hak kreditur, meliputi seluruh kerugian yang diderita sebagai akibat wanprestasi debitur. Sedangkan ganti rugi pelengkap merupakan ganti rugi sebagai akibat terlambat atau tidak dipenuhinya prestai debitur sebagaimana mestinya atau karena adanya pemutusan kontrak. Dalam soal penuntutan ganti rugi, oleh undang-undang diberikan ketentuanketentuan tentang apa yang dapat dimasukkan dalam ganti rugi tersebut. Boleh dikatakan, ketentuan-ketentuan itu merupakan pembatasan dari apa yang boleh dituntut sebagai ganti rugi. Dengan demikian, seorang debitur yang lalai atau alpa, masih juga dilindungi oleh undang-undang terhadap kesewenang-wenangan si kreditur. Sepeti juga perlindungan yang disebutkan dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. Sekarang debitur dilindungi pula dalam soal ganti rugi dengan adanya ketentuan-ketentuan tentang pembatasan ganti rugi itu. Jadi ganti rugi itu dibatasi hanya meliputi kerugian yang dapat diduga dan yang merupakan akibat langsung dari wanprestasi. Persyaratan dapat diduga dan akibat langsung dari wanprestasi memang sangat erat hubungannya satu sama lain. Lazimnya, apa yang tak dapat diduga, juga bukan suatu akibat langsung dari kelalaian si debitur. Menurut teori tentang sebab dan akibat, yang sekarang lazim dianut (teori adequat), sutu peristiwa dianggap sebagai akibat dari peristiwa lain apabila peristiwa yang pertama secara langsung diakibatkan oleh peristiwa yang kedua dan menurut pengalaman dalam masyarakat dapat diduga akan terjadi. Teori ini juga memberikan kriteria bahwa antara wanprestasi dengan kerugian itu cocok atau saling bersesuaian satu dengan lainnya. Ukurannya, kerugian adalah akibat adequat (cocok) pelanggaran norma, dalam hal ini wanprestasi, apakah pelanggaran norma demikian meningkatkan kemungkinan untuk timbulnya kerugian. Perlu kiranya kita perhatikan adalah agar jangan menganggap pemenuhan perjanjian sebagai suatu sanksi atas kelalaian, sebab hal itu memang sudah dari semula menjadi kesanggupan si debitur. Suatu persoalan dalam soal kelalaian seorang debitur ialah apakah ia setelah nyata-nyata lalai (sudah diperingatkan dan
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
47
tidak dapat menepati kewajibannya) masih diperbolehkan juga, untuk memenuhi kewajibannya. Persoalan ini lazimnya dinamakan persoalan tentang kemungkinan bagi debitur yang lalai itu untuk membersihkan diri dari kelalaiannya itu. Tetapi hal yang tidak kalah penting diperhatikan adalah bahwa hukuman apapun yang diberikan oleh kreditur kepada debitur harus dikaitkan dengan sifat pelanggaran kontraktual yang fundamental. Pelanggaran-pelanggaran kecil yang secara signifikan tidak berpengaruh terhadap pelaksanaan kontrak hendaknya ditoleransi oleh pihak kreditur, dan tidak secara membabi buta menerapkan sanksi kepada debitur. Seorang debitur yang dituduh lalai dan dimintakan supaya kepadanya diberikan hukuman atas kelalaiannya, ia dapat membela diri dengan mengajukan beberapa macam alasan untuk membebaskan dirinya dari hukuman-hukuman itu.
Force Majeur (Overmacht) Dikatakan bahwa kreditur memiliki hak gugat kepada debitur karena kegagalan dalam pelaksanaan kontrak. Namun demikian, dalam proses penyelesaian sengketa yang berlangsung, penegakan hak kontraktual kreditur berbanding terbalik dengan hak kontraktual debitur. Artinya, hukum memberikan penghargaan yang sama kepada debitur untuk mempertahankan hak-hak kontraktualnya melalui beberapa cara, yaitu: a.
Mengajukan eksepsi atau tangkisan berdasarkan doktrin ‘pelepasan hak’ (rechtsverwerking). Pelepasan hak ini didasarkan pada sikap kreditur yang terkesan menerima prestasi debitur, meskipun prestasi tersebut tidak sesua dengan yang diperjanjikan. Misalnya saja si pembeli meskipun barang yang diterimanya tidak memenuhi kualitas atau mengandung cacat yang tersembunyi, tidak menegur si penjual atau mengembalikan barangnya, tetapi barang itu dipakainya. Atau juga ia pesan lagi barang seperti itu. Dari sikap tersebut (pesan lagi atau dipakai) dapat disimpulkan bahwa barang itu sudah memuaskan si pembeli. Jika ia kemudian menuntut ganti rugi atau pembatalan perjanjian, maka tuntutan itu sudah selayaknya tidak diterima oleh hakim.
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
48
b.
Mengajukan eksepsi atau tangkisan berdasarkan doktrin ‘exceptio non adimpleti contractus’. Dengan pembelaan ini, si debitur yang dituduh lalai dan dituntut membayar ganti rugi itu mengajukan di depan hakim bahwa kreditur sendiri juga tidak menepati janjinya. Dalam setiap perjanjian timbal balik, dianggap ada suatu asas bahwa kedua pihak harus sama-sama melakukan kewajibannya. Masing-masing pihak dapat mengatakan kepada pihak lawannya, “jangan menganggap saya lalai kalau kamu sendiri juga sudah melalaikan kewajibanmu”. Misalnya saja dalam hal si kreditur menuntut agar pengiriman barang yang dipesannya segera tiba di tempat tetapi kreditur pun lupa untuk membayar uang muka akan barang yang dipesannya tersebut. Hanya dalam hal para pihak tidak menentukan tidak menentukan siapa yang harus berprestasi lebih dahulu, maka dalil ini dapat diterima.
c.
Mengajukan eksepsi atau tangkisan karena adanya overmacht (force majeur, daya paksa). Terkait dengan force majeur, maka force majeur adalah salah satu
pembelaan yang yang dapat digunakan oleh debitur ketika ia wanprestasi. Dengan mengajukan pembelaan ini, debitur berusaha menunjukkan bahwa tidak terlaksananya apa yang dijanjikan itu disebabkan hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga, dan di mana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi. Dengan perkataan lain, hal tidak terlaksananya perjanjian atau kelambatan dalam pelaksanaan itu, bukanlah disebabkan karena kelalaiannya. Ia tidak dapat dikatakan salah atau alpa, dan orang yang tidak salah tidak boleh dijatuhi sanksi-sanksi. Untuk itu, sebagai sarana bagi debitur melepaskan diri dari gugatan kreditur, maka dalil adanya overmacht harus memenuhi syarat bahwa:69 a.
Pemenuhan prestasi terhalang atau tercegah;
b.
Terhalangnya pemenuhan prestasi tersebut di luar kesalahan debitur; dan
69
Agus Yudha Hernoko, op. cit., hal. 243.
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
49
c.
Peristiwa yang menyebabkan terhalangnya prestasi tersebut bukan merupakan resiko debitur. Adanya peristiwa yang dikategorikan sebagai overmacht membawa
konsekuensi (akibat hukum) sebagai berikut: a.
Kreditur tidak dapat menuntut pemenuhan prestasi;
b.
Debitur tidak dapat lagi dinyatakan lalai;
c.
Debitur tidak wajib membayar ganti rugi;
d.
Risiko tidak beralih kepada debitur;
e.
Kreditur tidak dapat menuntut pembatalan dalam perjanjian timbal balik;
f.
Perikatan dianggap gugur. Terkait dengan overmacht, Buku III KUHPerdata mengaturnya tersebar
dalam beberapa pasal, yaitu Bagian IV tentang penggantian biaya, rugi, dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan (Pasal 1244 KUHPerdata-1245 KUHPerdata). Dasar pikiran pembuat Undang-Undang keadaan memaksa ialah suatu alasan untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi. Berikut rumusannya: Pasal 1244 KUHPerdata: Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum untuk mengganti biaya, rugi, dan bunga apabila ia tidak dapat membuktikan, bahwa tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu jika tidak ada itikad buruk padanya. Pasal 1245 KUHPerdata: Tidak ada penggantian biaya, rugi dan bunga, bila karena keadaan memaksa atau karena suatu kejadian yang tidak disengaja, si berutang debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan atau karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang. Dari kedua rumusan pasal tersebut sudah dapat dikatakan bahwa kedua pasal tersebut mengatur hal yang sama, yaitu dibebaskannya si debitur dari kewajiban mengganti kerugian, karena suatu keadaan yang dinamakan keadaan memaksa. Bedanya adalah pada Pasal 1245 KUHPerdata, menyebutkan keadaan tersebut dengan nama ‘keadaan memaksa’. Perbedaan lain adalah pada Pasal 1244
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
50
KUHPerdata lebih menunjukkan ‘keadaan memaksa’ itu sebagai suatu pembelaan bagi seorang debitur yang dituduh lalai, yang mengandung pula suatu beban pembuktian kepada debitur, yaitu beban untuk membuktikan tentang adanya peristiwa yang dinamakan ‘keadaan memaksa’ itu. Memang debitur itu wajib membuktikan tentang terjadinya hal yang tak dapat diduga dan tak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, yang menyebabkan perjanjian itu tak dapat dilaksanakan. Selain itu, dari kedua pasal tersebut dapat dilihat bahwa memang keadaan memaksa adalah suatu kejadian yang tak terduga, tak disengaja dan tak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur serta memaksa dalam arti debitur terpaksa tidak dapat menepati janjinya.
Keadaan Sulit (Hardship) Perkembangan doktrin baru terkait dengan hambatan atau kendala pelaksanaan kontrak yang cukup penting dan mendasar untuk diperhatikan adalah doktrin hardship (keadaan sulit). Berbeda dengan wanprestasi dan overmacht yang telah diatur dalam Buku III KUHPerdata, maka hardship belum ada pengaturannya dan dalam hal terjadi kasus-kasus terkait dengan hardship, pada umumnya hakim akan memutus berdasarkan overmacht (menyamakan hardship dengan overmacht).70 Mengenai peristilahan hardship di Indonesia diterjemahkan “keadaan sulit” atau “kesulitan” atau “beban”. Praktik bisnis kiranya perlu mempertimbangkan penggunaan klausul hardship
untuk mengatasi masalah pelaksanaan kontrak mereka. Klausul
hardship dapat dijadikan ‘escape clause’ untuk memecahkan masalah jika muncul peristiwa yang secara fundamental mempengaruhi keseimbangan kontrak. Belajar dari pengalaman yang terjadi pada saat krisis tahun 1997 yang menyebabkan harga Dollar sangat melambung tinggi yang akhirnya merugikan debitur. Para pihak, khususnya debitur dalam kontraknya tidak mengantisipasi kemungkinan terjadinya perubahan kurs yang begitu besar dengan menggunakan klausul
70
Ibid., hal. 252.
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
51
“lindung nilai” (hedging clause). Menghadapi kondisi tersebut, dalil overmacht acapkali kandas ketika berhadapan dengan resiko bisnis yang harus ditanggung. Pencantuman klausul hardship dalam kontrak mereka, khususnya untuk kontrak jangka panjang dengan nilai investasi yang sangat besar mempunyai arti penting, paling tidak dimaksudkan untuk mengatasi kesulitan dalam penerapan doktrin
kegagalan
kontrak
(frustation)
dan
doktrin
keadaan
memaksa
(overmacht).71 Apabila dihadapkan pada pilihan, mencantumkan klausul overmacht atau klausul hardship dalam suatu kontrak komersial maka perlu dipertimbangkan masing-masing klausul dimaksud dikaitkan dengan karakteristiknya. Antara overmacht dan hardship memliki persamaan dan perbedaan masing-masing sebagai berikut: a.
Persamaan antara overmacht dan hardship antara lain: (1) Terdapat suatu peristiwa yang menghalangi pelaksanaan prestasi oleh salah satu pihak (debitur); (2) Peristiwa tersebut tidak dapat diduga pada saat penutupan kontrak; (3) Bukan disebabkan oleh kesalahan (risiko) salah satu pihak.
b.
Perbedaan antara overmacht dengan hardship, antara lain: (1) Pada overmacht, apabila terbukti maka: i.
Pada saat itu juga kontrak berakhir. Berdasarkan Pasal 1381 KUHPerdata, maka overmacht merupakan salah satu alasan yang menyebabkan hapusnya perikatan;
ii. Debitur tidak lagi bertanggung gugat atas risiko yang timbul. (2) Pada hardship: i.
Peritiwa yang menghalangi pelaksanaan prestasi lebih ditekankan pada ‘peristiwa yang merubah keseimbangan kontrak secara fundamental, baik karena biaya pelaksanaan atau karena nilai pelaksanaan yang diterima berubah secara
71
Taryana Soenandar, op.cit., hal. 121.
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
52
signifikan’ sehingga akan menimbulkan kerugian secara tidak wajar kepada pihak lain. ii. Apabila terbukti maka kontrak tidak berakhir namun dapat dinegosiasi ulang (renegosiasi) oleh para pihak untuk kelanjutannya. iii. Apabila renegosiasi gagal maka sengketa dapat diajukan ke pengadilan. iv. Hakim dapat memutuskan kontrak atau merevisi kontrak untuk mengembalikan keseimbangan secara proporsional. Dengan mencermati persamaan maupun perbedaan karakteristik antara overmacht dengan hardship, maka dalam perspektif kontrak komersial doktrin hardship dipandang lebih fleksibel dan akomodatif untuk memberikan jalan ke luar ketika muncul sengketa. Kalau pada overmacht pembuktian dan penyelesaian sengketa pada umumnya bermuara di pengadilan, maka pada hardship ada alternatif pilihan antara penyelesaian di luar pengadilan atau pengadilan. Karakter hardship yang fleksibel dan akomodatif sangat sesuai dengan karakter bisnis yang membutuhkan ruang gerak dinamis namun tetap menjaga kelangsungan hubungan bisnis
para
pihak.
Penerapan
doktrin
hardship
tidaklah
semata-mata
menguntungkan salah satu pihak, namun hendaknya dimaknai sebagai model ‘win win solution’ yang memberikan keuntungan kepada para pihak. Praktik bisnis di Indonesia yang telah berlangsung selama ini belum mengenal doktrin hardship, terbukti dalam klausul kontrak yang dibuat aparat pelaku bisnis dalam klausul ketentuan umum tidak atau jarang yang mencantumkan klausul ini. Klausul yang senantiasa ada dan dicantumkan sebagai salah satu klasul ketentuan umum adalah klasul overmacht. Namun demikian, terlepas dicantumkannya atau tidak klasul hardship ini yang terpenting adalah memberikan ruang gerak yang fleksibel terhadap kemungkinan-kemungkinan muncul keadaan-keadaan yang secara fundamental akan mempengaruhi keseimbangan kontrak dalam pelaksanaannya. Dikatakan di atas bahwa dalam hal wanprestasi, terdapat beberapa klausul untuk membebaskan diri dari hukuman-hukuman yang telah ditentukan dalam
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
53
perjanjian di antara para pihak. Salah satunya adalah dengan mencamtumkan klausul hardship ini dalam perjanjian tersebut. Dalam hal perjanjian baku, seperti perjanjian kredit yang akan dibahas lebih lanjut di bawah dapat dikategorikan sebagai perjanjian tidak bernama berdasarkan Pasal 1319 KUHPerdata. Dalam perjanjian baku kredit, sering kali pihak kreditur seolah-olah memanfaaatkan segala keadaan yang semakin membuat rugi debitur dengan pencatuman klausulklausul pemberat. Oleh sebab itu dibawah ini akan dibahas mengenai kredit, dan perjanjian kredit secara mendalam lagi.
2.2. Tinjauan Umum tentang Kredit 2.2.1. Pengertian kredit Kata kredit berasal dari kata Romawi ‘credere’ yang artinya percaya. Dalam Bahasa Belanda istilahnya “vertrouwen”. Dalam Bahasa Inggris, “believe” atau “trust” atau “confidence” yang artinya sama yaitu percaya. Kepercayaan adalah unsur yang sangat penting dan utama dalam pergaulan hidup manusia. Orang tidak dapat hidup dalam pergaulan bila tidak dipercaya lagi oleh orang lain. Percaya adalah apa yang dikatakan benar, apa yang dijanjikan ditepati, tidak pernah ingkar dan tidak berkhianat atas kewajiban atau tugas yang dipikulkan kepadanya. Dalam pergaulan hidup manusia terutama dalam hubungan dagang atau transaksi antar seseorang kepercayaan adalah syarat utama. Hanya orang-orang yang dapat dipercaya yang dapat diajak berdagang, artinya masing-masing pihak akan memenuhi kewajiban sesuai kesepakatan yang dibuat di antara mereka tanpa bermaksud untuk mengingkari apa yang telah disepakati. Bila mereka tidak memenuhi kewajiban yang dijanjikan karena sesuatu hal yang mengakibatkan janji tersebut tidak dapat dipenuhi maka mereka akan menyampaikan dengan benar dan kejujuran. Juga dalam hal perkreditan, kredit (dalam arti pinjaman uang) atau kredit barang hanya orang yang dipercaya yang mendapat pinjaman uang dari kreditur bank atau lembaga keuangan non bank. Orang yang mendapat pinjaman uang dari bank adalah orang yang dipercaya bahwa orang tersebut akan mampu dan mau untuk mengembalikan pinjaman tepat pada waktunya dengan
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
54
disertai imbalan bunga, menggunakan pinjaman sesuai tujuan. Orang yang tidak mampu mengembalikan pinjamannya tanpa alasan yang dapat diterima atau karena menyalahgunakan pinjaman itu diluar tujuannya maka orang itu tidak dipercaya lagi untuk memperoleh pinjaman atau kredit. Namun, tidak mudah untuk mengetahui apakah orang yang mengajukan permohonan kredit atau membeli barang secara kredit itu adalah orang yang dapat dipercayai dalam hal memenuhi kewajibannya untuk membayar pinjamannya atau kreditnya kepada bank. Begitu juga dalam hal nasabah debitur yang meminjam uang kepada bank dalam rangka pembelian rumah yang dinamakan dengan KPR. Dalam hal ini nasabah debitur akan membayar uang yang telah dipinjamkan oleh Bank X dalam hal ini Bank Panin dalam rangka membayar harga pembelian rumah yang telah dibeli oleh nasabah debitur. Terkait dengan rasa kepercayaan ini, mungkin dikalangan perbankan dikenal istilah adalah sangat tidak sulit bagi bank untuk menyalurkan atau merealisasikan pemberian suatu pinjaman (loan), tetapi sangat sulit bagi bank untuk dapat menarik kembali dana tersebut atau dibutuhkan seni (cara) untuk menarik kembali dana tersebut.72 Menurut Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Perbankan Tahun 1998, kredit adaah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
2.2.2. Unsur-unsur Kredit Berdasarkan pengertian kredit di atas, maka unsur-unsur atau elemenelemen kredit adalah: 1.
Kredit mempunyai arti khusus yaitu meminjamkan uang;
2.
Penyedia/pemberi pinjaman uang khusus terjadi di dunia perbankan;
3.
Berdasarkan perjanjian pinjam meminjam sebagai acuan dari perjanjian kredit;
72
Irfan Fahmi, Analisis Kredit dan Fraud, Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, (Bandung:PT. Alumni, 2008), hal. 4.
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
55
4.
Dalam jangka waktu tertentu;
5.
Adapun prestasi dari pihak peminjam untuk mengembalikan utang disertai dengan jumlah bunga atau imbalan. Bagi bank syariah, seperti Bank Muamalat, pengembalian utang disertai imbalan atau adanya pembagian keuntungan tetapi bukan bunga. Perjanjian pinjam meminjam sebagai acuan dari perjanjian kredit, diatur
dalam Pasal 1754 KUHPerdata yang berbunyi: pinjam pakai habis adalah suatu perjanjian yang menentukan pihak pertama menyerahkan sejumlah barang yang dapat habis terpakai kepada pihak kedua dengan syarat bahwa pihak kedua itu akan mengembalikan barang sejenis kepada pihak pertama dalam jumlah dan keadaan yang sama. Perjanjian pinjam meminjam menurut KUHPerdata tersebut mengandung pengertian luas yaitu meliputi perjanjian pinjam meminjam benda atau barang yang habis jika dipakai dan pinjam uang. Berdasarkan perjanjian pinjam meminjam uang maka peminjam sebagai pemilik uang yang dikemudian hari meminjam harus mengembalikan dengan jenis yang sama (uang) disertai bunga atau imbalan kepada pihak yang meminjamkan.
2.2.3. Persyaratan dalam pemberian kredit Seperti sudah dikatakan, tidaklah mudah dalam menentukan apakah seseorang debitur itu berhak dan dapat dipercaya atau tidak untuk mendapatkan kredit atau pinjaman dari bank. Faktor kepercayaan adalah faktor yang sangat penting dalam menentukan hal pemberian kredit. Oleh sebab itu untuk mengetahui atau menentukan bahwa seseorang dipercaya untuk memperoleh kredit, pada umumnya dunia perbankan menggunakan instrumen analisa yang dikenal dengan the fives credit atau 5c , yaitu:73 1.
Character (watak) Watak atau character adalah sifat dasar yang ada dalam hati seseorang. Watak dapat berupa baik dan jelek bahkan ada yang terletak diantara baik
73
Sutarno, op. cit., hal. 93.
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
56
dan jelek. Watak merupakan bahan pertimbangan untuk mengetahui resiko. Tidak mudah untuk menentukan watak seorang debitur apalagi debitur yang baru pertama kali mengajukan permohonan kredit. Untuk mengetahui watak seseorang dapat mengetahui ciri-ciri orang tersebut seperti misalnya peminum minuman keras, suka berjudi, suka menipu, dan lain sebagainya. Untuk petugas analis perlu melakukan penyelidikan atau mencari berbagai informasi mengenai watak seorang pemohon kredit karena watak dan tabiat menjadi dasar penilaian utama. Meskipun analisa dari berbagai aspek hasilnya baik tetapi kalau watak seseorang pemohon kredit jelek maka akibatnya resiko kredit menjadi besar. Watak dapat diartikan sebagai kepribadian, moral, dan kejujuran pemohon kredit. Debitur yang mempunyai watak suka minuman keras, berjudi, dan tidak jujur kemungkinan besar akan melakukan penyimpangan dalam memggunakan kredit. Kredit digunakan tidak sesuai tujuan yang ditetapkan dalam perjanjian kredit akibatnya proyek yang dibiayai dengan kredit tidak menghasilkan pendapatan sehingga mengakibatkan kredit macet. Oleh karena itu seorang analis perlu menyelidiki dan mencari informasi tentang asal usul kehidupan pribadi pemohon kredit.
2.
Capital (Modal) Seseorang atau badan usaha yang akan menjalankan usaha atau bisnis sangat memerlukan modal untuk memperlancar kegiatan bisnisnya. Seseorang yang akan mengajukan peermohonan kredit baik untuk kepentingan produktif atau konsumtif maka orang itu harus memiliki modal. Misalnya seseorang yang akan mengajukan KPR untuk membeli sebuah rumah maka pemohon kredit tersebut harus memiliki modal untuk membayar uang muka. Uang muka itulah yang digunakan sebagai modal sendiri yang dimiliki oleh pemohon kredit sedangkan kredit berfungsi sebagai tambahan.
3.
Capacity (kemampuan)
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
57
Seorang debitur yang mempunyai karakter atau watak baik selalu akan memikirkan mengenai pembayaran kembali hutangnya sesuai waktu yang telah ditentukan. Untuk dapat memenuhi kewajiban pembayaran, seorang debitur harus memilki kemampuan yang memadai yang berasal dari pendapatan pribadinya jika ia merupakan debitur perorangan atau pendapatan perusahaan bila debitur tersebut berbentuk badan usaha. Seorang analis harus mampu menganalisa kemampuan debitur untuk membayar kembali hutangnya. Bagi debitur perorangan analis harus mendapat informasi yang benar mengenai penghasilan atau pendapatan debitur. Apa pekerjaan, usaha debitur yang dapat mengindikasikan bahwa debitur memperoleh pendapatan sehingga memberi keyakinan akan adanya kemampuan debitur. Bagi debitur badan usaha, seorang analis harus meyakini pendapatan yang diperoleh dari usaha-usaha debitur yang menunjukkan adanya kemampuan dari debitur.
4.
Collateral (jaminan) Jaminan berarti harta kekayaan yang dapat diikat sebagai jaminan guna menjamin kepastian pelunasan hutang jika dikemudian hari debitur tidak melunasi hutangnya dengan jalan menjual jaminan dan mengambil pelunasan dari penjualan harta kekayaan yang menjadi jaminan itu. Jaminan ada yang bersifat materiil dan immateriil. Jaminan materiil merupakan jaminan yang berupa barang atau benda (materiil) yang bergerak atau benda tidak bergerak, misalnya tanah, bangunan, mobil, motor, saham. Jaminan yang bersifat immateriil merupakan jaminan yang secara fisik tidak dapat dikuasai langsung oleh bank, misalnya jaminan pribadi (borgtocht), garansi bank (bank lain).
5.
Condition of Economy (Kondisi Ekonomi) Selain faktor-faktor di atas, yang perlu mendapat perhatian penuh dari analis adalah kondisi ekonomi negara. Kondisi ekonomi adalah situasi ekonomi pada waktu dan jangka waktu tertentu dimana kredit itu diberikan oleh bank
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
58
kepada pemohon. Apakah kondisi ekonomi pada kurun waktu kredit dapat mempengaruhi usaha dan pendapatan pemohon kredit untuk melunasi hutangnya. Bermacam-macam kondisi di luar pengetahuan bank dan di luar pengetahuan pemohon kredit. Kondisi ekonomi yang dapat mempengaruhi kemampuan pemohon kredit mengembalikan hutangnya sering sulit untuk diprediksi. Kondisi ekonomi negara yang buruk sudah pasti mempengaruhi usaha pemohon kredit dan pendapatan perorangan yang akibatnya berdampak pada pemohon kredit untuk melunasi hutangnya. Itulah lima hal yang harus menjadi pegangan bagi para analis dalam hal memberikan persetujuan atas kredit atatu tidak. Hal-hal lain yang tidak kalah penting sebagai syarat dalam rangka pemberian kredit adalah: 1.
Adanya permohonan kredit Pemberian kredit dimulai dengan adanya permohonan kredit dari calon debitur, karena dalam hal ini yang lebih dulu mempunyai kepentingan adalah debitur. Permohonan kredit dibuat berdasarkan permintaan atau keinginan dari pihak kreditur (pihak bank), yaitu apa-apa saja yang harus diberikan/dilampirkan dalam permohonan tersebut. Permohonan kredit ini dinyatakan sebagai suatu syarat dalam pemberian kredit adalah karena dengan adanya permohonan inilah maka ada suatu aksi balasan dari pihak kreditur/bank untuk terjadinya pemberian kredit tersebut, karena hanya dengan permohonan inilah pihak bank dapat mengetahuinya.
2.
Pemakaian kredit harus sesuai dengan norma atau etika yang ada/berlaku yaitu sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah Tujuan kredit merupakan suatu elemen perjanjian kredit yang tidak bisa diabaikan. Pemberian kredit harus tidak bertentangan dengan ketentuan atau norma yang ada seperti garis kebijaksanaan pemerintah. Tujuan pemberian kredit digolongkan sebagai suatu syarat pemberian kredit hanya dengan penggunaan
kredit
yang
sesuai
dengan
norma/etika
serta
untuk
meningkatkan perekonomian guna membangun masyarakat yang adil dan makmur. 3.
Adanya agunan/jaminan
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
59
Jaminan adalah merupakan elemen yang harus ada dalam pemberian kredit. Yang mendasari pentingnya jaminan/agunan menurut Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mengatakan: “Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.” Sesuai dengan keterangan di atas jelaslah mengapa agunan menjadi suatu hal yang pokok dalam hal pemberian kredit. 4.
Adanya persetujuan dari pihak bank Pemberian kredit tidak terlepas dari persetujuan pihak bank, karena pihak bank adalah merupakan pihak yang mempunyai wewenang dalam pemberian kredit tersebut. Persetujuan adalah pengabulan permohonan kredit dari calon debitur. Persetujuan ini termasuk salah satu yang harus dipenuhi karena dengan adanya persetujuan ini maka pemberian kredit dapat dilaksanakan.
5.
Adanya kesepakatan antara kedua belah pihak Kesepakatan antara kedua belah pihak adalah merupakan tindak lanjut dari persetujuan pihak bank. Kesepakatan ini dituangkan dalam suatu akta perjanjian yang memuat hal-hal yang menyangkut hak dan kewajiban para pihak dalam pemberian kredit tersebut. Kesepakatan ini merupakan syarat dalam pemberian kredit karena dengan kesepakatan yang dimuat dalam perjanjian kredit tersebut diatur hubungan hukum kedua belah pihak.
2.3. Tinjauan tentang Perjanjian Kredit 2.3.1. Pengertian Perjanjian Kredit Setelah kita memahami perjanjian pada umumnya yang telah diuraikan, maka kita memperoleh materi perjanjian pada umumnya sebagai dasar untuk kita untuk memahami dan menyusun mengenai perjanjian kredit. Perjanjian kredit tidak secara khusus diatur dalam KUHPerdata tetapi termasuk perjanjian bernama di luar KUHPerdata.
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
60
Beberapa sarjana hukum berpendapat bahwa perjanjian kredit dikuasai oleh ketentuan-ketentuan KUHPerdata Bab XIII Buku III karena perjanjian kredit mirip dengan perjanjian pinjam uang menurut Pasal 1754 KUHPerdata yang berbunyi: pinjam pakai habis adalah suatu perjanjian yang menentukan pihak pertama menyerahkan sejumlah barang yang dapat habis terpakai kepada pihak kedua dengan syarat bahwa pihak kedua itu akan mengembalikan barang sejenis kepada pihak pertama dalam jumlah dan keadaan yang sama. Dapat dikatakan bahwa perjanjian kredit memiliki identitas sendiri tetapi dengan memahami rumusan pengertian kredit yang diberikan oleh Undang-Undnag Perbankan maka dapat disimpulkan dasar perjanjian kredit sebagian masih bisa mengacu pada ketentuan KUHPerdata Bab XII. Meskipun perjanjian kredit tidak diatur secara khusus dalam KUHPerdata tetapi dalam membuat perjanjian kredit tidak boleh bertentangan dengan asas atau ajaran umum yang terdapat dalam KUHPerdata, seperti ditegaskan sebagai berikut: Semua perjanjian baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat dalam Bab I dan Bab II. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Perbankan. Tidak mengenai istilah perjanjian kredit. Istilah perjanjian kredit ditemukan dalam Instruksi Presidium Kabinet Nomor 15/EK/10 tanggal 3 Oktober 1966 yang kemudian dicabut dengan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1979 tanggal 22 Januari 1979. Dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 27/7/UPPB tanggal 31 Maret 1995 pada lampiran Pedoman Penyusunan Kebijaksanaan Pemberian Kredit (PPKPB) angka 450 tentang Perjanjian Kredit
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
61
dinyatakan bahwa “setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati pemohon kredit wajib dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis”.74 Dalam membuat perjanjian kredit terdapat berbagai judul dalam praktek perbankan yang tidak sama satu dengan yang lain, ada yang menggunakan judul perjanjian kredit, akad kredit, persetujuan pinjam uang, persetujuan membuka kredit, dan lain sebagainya. Dalam bentuk akta otentik menggunakan nama Pengakuan Hutang yang akan diuraikan tersendiri. Meskipun judul dari isi perjanjian pinjam meminjam uang itu berbeda-beda, tetapi secara yuridis isi perjanjian pada hakekatnya sama yaitu memberikan pinjaman berbentuk uang. Seseorang atau badan usaha yang bermaksud memperoleh kredit dari bank maka orang atau badan usaha tersebut harus mengajukan permohonan kepada bank dengan mengisi formulir permohonan atau membuat proposal permohonan kredit. Berdasarkan permohonan kredit tersebut maka bank akan melakukan analisa dari semua aspek, aspek hukum, aspek pemasaran, aspek keuangan, aspek lingkungan, aspek sosial, dan aspek-aspek lainnya. Sedangkan Badrulzaman,
perngertian
adalah
perjanjian
‘perjanjian
kredit
pendahuluan’
menurut
Mariam
(voorovereenkomst)
Darus dari
penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil pemufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan-hubungan hukum antara keduanya. Perjanjian ini bersifat konsensual (pacta de contrahendo) obligatoir, yang dikuasai oleh Undang-Undang Perbankan Indonesia dan Bagian Umum KUHPerdata. Dan “penyerahan uangnya” sendiri bersifat riil serta pada saat penyerahan uang dilakukan, barulah berlaku ketentuan yang dituangkan dalam model perjanjian kredit pada kedua belah pihak.75 Perjanjian standard seperti yang dipraktekkan oleh perbankan mengandung kelemahan bila ditinjau dari Pasal 1320 KUHPerdata, karena disana tidak ada kebebasan dari calon debitur untuk tidak menyetujui isi yang dalam blanko/formulir perjanjian kredit bank tersebut, sedangkan untuk pihak bank membawa keuntungan, karena tidak direpotkan untuk membuat konsep perjanjian 74
Ketentuan tersebut mengutip dari buku Widjanarto, Hukum dan ketentuan Perbankan di Indonesia, (Jakarta: PT. Pustaka utama Grafiti, 2003). 75 Mariam Darus Badrulzaman, op. cit., hal. 28.
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
62
setiap ada calon nasabah untuk mengajukan kredit dan memberikan kemudahan kepada oihak perbankan untuk mengoreksi kesalahan konsep perjanjian kredit dikemudian hari. Perjanjian kredit telah lahir pada saat dilakukannya penandatanganan perjanjian kredit, sedangkan pihak pemohon belum menerima kreditnya, maka hal ini adalah suatu kejanggalan, suatu ketidakadilan yang nyata. Sebab bila perjanjian kredit telah lahir sejak penandatanganan perjanjian kredit, berarti perjanjian pinjamannya pun telah lahir, sedangkan pada saat itu pemohon belum menerima kreditnya yang berarti pula belum mempunyai utang. Sebenarnya sejak perjanjian kredit yang berlaku sejak ditandatangani oleh kedua pihak, maka kreditur yaitu bank sudah mencatat adanya kewajiban menyerahkan uang oleh bank yang disebut mencairkan uang secara bertahap sesuai perjanjian. Adanya kewajiban menyerahkan uang tersebut dalam pembukuan bank dicatat dalam posisi of balanced yang dalam akuntansi disebut komitmen. Komitmen artinya bank setiap saat (any time) siap untuk menyerahkan uang kepada debiturnya sesuai permintaan debitur sepanjang memenuhi syarat yang diatur dalam perjanjian kredit. Perjanjian kredit merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam pemberian kredit, tanpa perjanjian kredit yang ditandatangani bank dan debitur maka tidak ada pemberian kredit itu. Perjanjian kredit merupakan ikatan antara bank dengan debitur yang isinya mengatur dan menentukan hak dan kewajiban kedua pihak sehubungan dengan pemberian atau pinjaman kredit (pinjam uang). Perjanjian kredit biasanya diikuti dengan perjanjian jaminan maka perjanjian kredit adalah pokok atau prinsip sedangkan perjanjian jaminan seperti tadi dikatakan adalah perjanjian accesoir artinya ada dan berakhirnya perjanjian jaminan tergantung dari perjanjian pokok (perjanjian kredit). Sebagai contoh jika perjanjian kredit berakhir karena ada pelunasan hutang maka secara otomatis perjanjian jaminan akan menjadi hapus atau berakhir. Tetapi sebaliknya jika perjanjian jaminan hapus atau berakhir misalnya barang yang menjadi jaminan musnah maka perjanjian kredit tidak berakhir. Jadi perjanjian kredit harus
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
63
mendahului perjanjian jaminan, tidak mungkin ada jaminan tanpa ada perjanjian kredit. Dalam hal bank telah menyerahkan uang secara riil maka bank akan mencatat dalam pembukuannya pada sisi on balanced artinya perjanjian kredit benar-benar terjadi dan berlaku. Jadi meskipun perjanjian kredit telah ditandatangani bank dan debiturnya tetapi jika debitur belum menarik uangnya maka perjanjian kredit dianggap belum terjadi/belum ada.
2.3.2. Bentuk Perjanjian Kredit Menurut hukum, perjanjian kredit dapat dibuat secara lisan atau tertulis yang penting memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUHPerdata. Namun dari sudut pembuktian perjanjian secara lisan sulit untuk dijadikan sebagai alat bukti, karena hakekat pembuatan perjanjian adalah sebagai alat bukti bagi para pihak yang membuatnya. Karena lisan sulit untuk digunakan sebagai alat pembuktian bila terjadi masalah dikemudian hari. Dasar hukum perjanjian kredit secara tertulis mengacu pada Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Dalam pasal itu terdapat kata-kata: penyediaan uang atau tagihan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa pemberian kredit harus dibuat perjanjian. Memang dalam pasal tersebut tidak ada penekanan bahwa perjanjian harus dibuat secara tertulis, tetapi demi kemudahan dan keperluan dikemudian hari alangkah baiknya jika dokumen hukum dibuat secara tertulis. Perjanjian kredit merupakan ikatan atau bukti tertulis antara bank dengan debitur sehingga harus disusun dan dibuat sedemikian rupa agar setiap orang mudah untuk mengetahui bahwa perjanjian yang dibuat itu merupakan perjanjian kredit. Dalam praktek bank ada dua bentuk perjanjian kredit:76
76
Sutarno, op. cit., hal. 100.
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
64
1.
Perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan dinamakan akta dibawah tangan artinya perjanjian yang disiapkan dan dibuat sendiri oleh bank kemudian
ditawarkan
kepada
debitur
untuk
disepakati.
Untuk
mempermudah dan mempercepat pekerjaan bank, biasanya bank sudah menyiapkan formulir perjanjian dalam bentuk standard yang isi, syaratsyarat, dan ketentuannya disiapkan terlebih dahulu secara lengkap. Bentuk perjanjian kredit yang dibuat sendiri oleh bank tersebut termasuk jenis Akta Dibawah Tangan. 2.
Perjanjian kredit yang dibuat oleh dan di hadapan notaris yang dinamakan akta otentik atau akta notariil. Yang menyiapkan dan membuat perjanjian ini adalah seorang notaris namun dalam praktek semua syarat dan ketentuan perjanjian kredit disiapkan oleh bank kemudian diberikan kepada notaris untuk dirumuskan dalam akta notariil. Memang notaris dalam membuat perjanjian hanyalah merumuskan apa yang diinginkan para pihak dalam bentuk akta notariil atau akta otentik. Perjanjian kredit yang dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta otentik biasanya untuk pemberian kredit dalam jumlah yang besar dan dalam jangka waktu menengah atau panjang, seperti kredit investasi, kredit sindikasi, dan KPR.
2.3.3. Fungsi Perjanjian Kredit Bank Dalam perjanjian kredit dicantumkan segala hak dan kewajiban masingmasing pihak, misalnya hal yang menyangkut syarat-syarat pelaksanaan kredit, syarat pembayaran kembali, pengikatan jaminan, jumlah dan lamanya kredit itu. Seperti tadi telah dikatakan, bahwa setiap pemberian kredit itu harus dituangkan dalam sebuah perjanjian kredit bank secara tertulis. Perjanjian kredit yang memenuhi keabsahan dan persyaratan hukum bertujuan melindungi kepentingan bank dan sekaligus pihak debitur. Perjanjian kredit yang memenuhi keabsahan dan persyaratan hukum memuat jumlah kredit, jangka waktu pembayaran, tata cara pembayaran, termasuk besarnya bunga dan waktu penyetoran hutang setiap bulannya. Sebaliknya, jika perjanjian kredit tersebut tidak memiliki keabsahan
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
65
hukum dan persyaratan hukum, walaupun dibuat secara tertulis bahkan berupa akta otentik atau akta notariil dapat merugikan bank itu sendiri. Jadi dapat dikatakan bahwa perjanjian kredit yang telah ditandatangani para pihak, baik yang berbentuk akta di bawah tangan (dibuat para pihak sendiri) atau dalam bentuk akta otentik (dibuat oleh dan di hadapan notaris), mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut:77 1.
Perjanjian kredit sebagai alat bukti bagi debitur dan kreditur yang membuktikan adanya hak dan kewajiban timbal balik antara bank sebagai kreditur dan debitur. Hak debitur adalah menerima pinjaman dan menggunakan
sesuai
dengan
tujuannya
dan
kewajiban
debitur
mengembalikan hutang tersebut baik pokok dan bunga sesuai waktu yang ditentukan. Hak kreditur untuk mendapat pembayaran bunga dan kewajiban debitur adalah meminjamkan sejumlah uang kepada debitur, dan kreditur berhak menerima pembayaran kembali pokok dan bunga. 2.
Perjanjian kredit dapat digunakan sebagai alat atau sarana pemantauan atau pengawasan kredit yang sudah diberikan, karena perjanjian kredit berisi syarat dan ketentuan dalam pemberian kredit dan pengembalian kredit. Untuk mencairkan kredit dan penggunaan kredit dapat dipantau dari ketentuan perjanjian kredit.
3.
Perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok yang menjadi dasar dari perjanjian ikutannya yaitu perjanjian pengikatan jaminan. Pemberian kredit pada umumnya dijamin dengan benda-benda bergerak atau milik pihak ketiga yang harus dilakukan pengikatan jaminan.
4.
Perjanjian kredit hanya sebagai alat bukti biasa yang membuktikan adanya hutang debitur artinya perjanjian kredit tidak mempunyai kekuatan eksekutorial atau tidak memberikan kekuasaaan langsung kepada bank atau kreditur untuk mengeksekusi barang jaminan apabila debitur tidak mampu melunasi hutangnya (wanprestasi).
77
Ibid., hal. 130.
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
66
2.3.4. Hal-hal yang Diatur dalam Perjanjian Kredit Suatu perjanjian kredit/pengakuan utang harus memenuhi minimal enam syarat, yaitu: jumlah utang, besarnya bunga, waktu pelunasan, cara-cara pembayaran, klausul opiesbaarheid, dan barang jaminan.78 Apabila keenam syarat tersebut dikembangkan isi dari perjanjian kredit/pengakuan hutang yang termuat dalam pasal–pasal tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Jumlah maksimum kredit (plafond) yang diberikan oleh bank kepada debiturnya;
2.
Cara/media penarikan kredit yang diberikan dilakukan di kantor bank yang bersangkutan. Penarikan dan pembayaran akan dicatat pada pembukuan bank dan rekening debitur;
3.
Jangka waktu dan cara pembayaran sampai jatuh tempo;
4.
Mutasi keuangan debitur dan pembukuan bank berbentuk rekening koran, diberikan salinannya setiap bulan oleh bank kepada debitur yang bersangkutan;
5.
Pembayaran bunga, administrasi, provisi, dan denda;
6.
Klausul opeisbaarheid adalah
klausul yang memuat hal-hal mengenai
hilangnya kewenangan bertindak atau kehilangan hak bagi debitur untuk mengurus harta kekayaannya, barang jaminan serta kelalaian debitur untuk memenuhi ketentuan-ketentuan dalam perjanjian kredit atau pengakuan hutang sehingga debitur harus membayar secara seketika dan sekaligus lunas. Pembayaran bunga, administrasi, provisi, dan denda (bila ada), kecuali pembayaran bunga, maka pembayaran biaya administrasi dan provisi harus dibayar di muka oleh pihak debitur. Sedangkan denda harus dibayar oleh pihak debitur bila terdapat tunggakan angsuran ataupun bunga. Apa yang termasuk klausul opiesbaarheid: debitur tidak membayar kewajibannya sebagaimana mestinya, debitur/pemilik jaminan pailit, debitur/pemilik jaminan meninggal 78
Hasanuddin Rahman, Aspek-aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Adiyta Bakti, 1995), hal. 159.
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
67
dunia, debitur/pemilik jaminan ditaruh dibawah pengampuan. Jaminan yang diserahkan oleh pihak debitur beserta kuasa yang menyertainya dan persyaratan penilaian jaminan, pembayaran pajak dan asuransi atas barang jaminan tersebut, syarat-syarat lain yang harus dipenuhi oleh debitur dan termasuk hak untuk pengawasan atau pembinaan kredit oleh bank, dan biaya akta, biaya penagihan utang yang juga harus dibayar oleh pihak debitur.79 Dalam prakteknya, bentuk dan isi perjanjian kredit/pengakuan utang yang ada saat ini berbeda-beda antara satu bank dan bank lainnya. Berikut adalah halhal yang diatur dalam perjanjian kredit: 1.
Kekuatan pembuktian Pada suatu akta otentik, terdapat tiga macam kekuatan pembuktian, yaitu: a.
Membuktikan antara para pihak, bahwa mereka sudah menerangkan apa yang tertulis dalam akta tadi (kekuatan pembuktian formal);
b.
Membuktikan antara para pihak yang bersangkutan, bahwa sungguhsungguh peristiwa yang disebutkan telah terjadi (kekuatan pembuktian materill atau kekuatan pembuktian mengikat);
c.
Membuktikan tidak saja para pihak yang bersangkutan tetapi juga terhadap pihak ketiga bahwa pada tanggal tersebut dalam akta kedua belah pihak tersebut sudah menghadap di muka notaris dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut (kekuatan pembuktian keluar).
2.
Grosse Akta Pengakuan Hutang Kelebihan lain dari akta perjanjian kredit/pengakuan hutang yang dibuat secara notariil (otentik) adalah saat dimintakan Grosse Akta Pengakuan Hutang. Grosse Akta Pengakuan Hutang ini mempunyai kekuatan eksekutorial, artinya disamakan dengan keputusan hakim yang oleh bank diharapkan pelaksanaan eksekusinya tidak perlu lagi melalui proses gugatan yang biasanya menyita waktu lama dan memakan biaya yang besar.
3.
Ketergantungan terhadap Notaris
79
Ibid., hal. 160-161.
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
68
Notaris dituntut untuk berperan aktif guna memeriksa segala aspek hukum dan kelengkapan yang diperlukan dalam mengadakan perjanjian kredit. Notaris harus dianggap sebagai mitra dalam pelaksanaan suatu perjanjian kredit. Dalam hubungan itu bank akan meminta notaris uang bersangkutan untuk berpedoman kepada model perjanjian kredit yang telah ditetapkan oleh bank.
2.4. Perjanjian KPR Peranan perbankan nasional perlu ditingkatkan sesuai dengan fungsinya dalam
menghimpun
dan
menyalurkan
dana
masyarakat
dengan
lebih
memperhatikan pembiayaan kegiatan sektor perekonomian nasional dengan prioritas kepada koperasi, pengusaha kecil dan menengah, serta berbagai lapisan masyarakat tanpa diskiriminasi sehingga akan memperkuat struktur perekonomian nasional.80 Salah satu upayanya adalah melalui KPR subsidi yang dilakukan oleh bank yang merupakan program pemerintah yang diperuntukkan untuk seluruh masyarakat Indonesia (Warga Negara Indonesia) berpenghasilan rendah (maksimal
Rp.2.500.000,00/bulan
dengan
harga
rumah
maksimal 81
Karena
merupakan
upaya
Rp.55.000.000,00) dan belum mempunyai rumah sebelumnya. perumahan
dan
pemukiman
pada
hakekatnya
berkesinambungan yang dilakukan sebagai pemenuhan kebutuhan dasar untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Produk KPR ini sudah disodorkan oleh bank-bank swasta nasional sekitar tahun 1988 bahkan jumlahnya terus meningkat hingga tahun 2000-an bahkan sampai saat ini. Perkembangan laju KPR terhenti saat terjadinya krisis ekonomi yang menyebabkan perbankan berhenti menyalurkan kredit, termasuk KPR. Adanya krisis ekonomi pada tahun 2008 tetap saja tidak mengubah prospek bisnis properti serta permintaan kenaikan KPR. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan 80
Lihat penjelasan umum, Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. 81 KPR Bersubsidi,” http://www.btn.co.id/Produk/Produk-Kredit/KreditPerorangan/KPR-Bersubsidi.aspx,”. Diunduh pada tanggal 17 Juli 2010.
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
69
Direktur Pusat Studi Properti Indonesia (“PSPI”), Panangian Simanungkalit. Beliau mengatakan bahwa “memang tidak semua sub-sektor properti mengalami peningkatan di tahun 2008. Pengembangan pusat belanja, trade center, dan ruko akan menurun. Sebaliknya sub-sektor perumahan akan meningkat. Begitu pula sub-sektor apartemen, terutama untuk segmen menengah, dan ruang perkantoran. Yang paling tinggi peningkatan sub-sektor perumahan, dipicu penurunan bunga KPR.82 Dilihat dari keberadaannya, KPR tetap dan semakin dibutuhkan masyarakat sebab KPR mampu memecahkan masalah pendanaan bagi konsumen yang ingin memiliki rumah tetapi belum memiliki dana yang cukup untuk membayar seluruh harga rumah. Fasilitas KPR merupakan fasilitas kredit yang ditujukan langsung kepada konsumen, dinamakan kredit konsumen atau consumer atau konsumtif, sehingga dikategorikan sebagai fasilitas kredit yang sifatnya untuk konsumtif. Apabila membeli rumah dengan cara KPR, maka beberapa dokumen hukum yang penting. Ada dokumen yang berasal dari notaris dan dari bank. Dokumen yang berasal dari notaris adalah Perjanjian KPR dan Akta Pembebanan Hak Tanggungan (“APHT”). Sedangkan yang berasal dari bank adalah daftar angsuran, Tanda Terima Uang Nasabah (“TTUN”), dan surat kuasa debet.83 Nasabah debitur juga harus mengetahui status rumahnya apakah sudah bersertifikat atau belum. Jika sudah bersertifikat maka nasabah debitur langsung mendapatkan Akta Jual Beli (“AJB”) tanpa perlu adanya Perjanjian Pengikatan Jual Beli (“PPJB”) terlebih dahulu. Umumnya nasabah debitur akan diminta untuk melunasi uang muka terlebih dahulu sebelum melakukan akad kredit dengan bank. Jika permohonan KPR nya ditolak oleh bank yang merupakan hak mutlak bank yang tidak dapat diganggu gugat, maka penjual dalam hal ini perusahaan properti akan mengembalikan uang muka yang telah dibayar oleh si pembeli dengan hanya memotong booking fee 82
Prospek Bisnis Properti 2008-Proyek perumahan Menengah, apartemen dan Pusat Belanja,”Housing Estate, 2008. 83 Wawancara dengan Ibu Dewi bagian Home Loan Account Officer KPR Panin. Pada tanggal 2 Agustus 2010.
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.
70
nya saja. Tetapi jika permohonan KPR disetujui oleh bank, maka proses perolehan kredit akan berlanjut kepada akad kredit yang terdiri dari Perjanjian KPR, AJB (jika rumah sudah bersertifikat), dan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang dilakukan pada saat yang sama.84
84
Wawancara dengan Ibu Dewi bagian Home Loan Account Officer KPR Panin. Pada tanggal 2 Agustus 2010.
Universitas Indonesia Perjanjian baku..., Diana Saraswati Purnamasari, FH UI, 2011.