BAB II PEDEKATA TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pemberdayaan Masyarakat Syahyuti (2006) menyatakan bahwa konsep asli empower adalah proses dimana
orang
memperoleh
pengetahuan,
keterampilan,
dan
keinginan
(willingness) untuk mengkritisi dan menganalisa situasi yang dihadapi dan mengambil tindakan yang tepat untuk merubah kondisi tersebut. Pemberdayaan berarti mempersiapkan warga desa untuk memperkuat diri dan kelompok mereka dalam berbagai hal, memulai dari soal kelembagaan, kepemimpinan, sosial, ekonomi, dan politik dengan menggunakan basis kebudayaan mereka sendiri. Pemberdayaan dapat dilakukan terhadap individu maupun komunitas. Seseorang dapat
dikatakan
berdaya
apabila
mampu
memimpin
dirinya
sendiri.
Pemberdayaan mengacu kepada pentingnya proses sosial selama program berlangsung, bukan berorientasi terhadap hasil. Untuk itu, partisipasi harus berlangsung dalam seluruh tahapan proses pemberdayaan. Ife (2008) menyatakan bahwa pemberdayaan tidak lepas dari makna kekuasaan dimana individu atau kelompok memiliki atau menggunakan kesempatan untuk meraih kekuasaan ke dalam tangan mereka, dalam arti meredistribusikan kekuasaan dari kaum ‘berpunya’ ke kaum ‘tidak berpunya’. Pemberdayaan bertujuan meningkatkan keberdayaan dari mereka yang dirugikan (the disadvantaged).
Pernyataan ini mengandung dua konsep penting,
“keberdayaan” dan “yang dirugikan” yang masing-masing perlu diperhatikan dalam setiap pembahasan mengenai pemberdayaan sebagai bagian dari suatu perspektif keadilan sosial dan HAM. Pemberdayaan melalui pendidikan dan penyadar-tahuan menekankan pentingnya suatu proses edukatif (dalam pengertian luas) dalam melengkapi masyarakat untuk meningkatkan keberdayaan mereka. Ini memasukkan gagasan-gagasan peningkatan kesadaran, membantu masyarakat dalam memahami masyarakat dan struktur opresi, memberikan masyarakat kosakata dan keterampilan untuk berkerja menuju perubahan yang efektif. Secara
sederhana,
pemberdayaan
mengacu
kepada
kemampuan
masyarakat untuk mendapatkan dan memanfaatkan akses dan kontrol atas
6
sumberdaya yang penting (Nasdian, 2006). Lebih lanjut, Nasdian (2006) menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat secara konseptual membahas bagaimana individu, kelompok, ataupun komunitas berusaha mengkontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginannya, sehingga klien mempunyai kesadaran dan kekuasaan penuh untuk membentuk hari depannya. Pemberdayaan mengandung dua elemen pokok, yakni partisipasi dan kemandirian. Pemberdayaan warga komunitas merupakan tahap awal untuk menuju kepada partisipasi warga komunitas (empowerment is road to participation), khususnya dalam pengambilan keputusan untuk menumbuhkan kemandirian komunitas. Dengan kata lain, pemberdayaan dilakukan agar warga komunitas mampu berpartisipasi untuk mencapai kemandirian. Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (2007) mendefinisikan pemberdayaan dari penerjemahan Bahasa Inggris “empowerment” yang juga dapat bermakna “pemberian kekuasaan”. Pemberdayaan adalah sebuah “proses menjadi”, bukan “proses instan”. Pemberdayaan mempunyai tiga tahapan, yaitu penyadaran, pengkapasitasan, dan pendayaan. Pada tahap penyadaran, target yang akan diberdayakan diberi “pencerahan” dalam bentuk pemberian penyadaran bahwa mereka mempunyai hak untuk mempunyai “sesuatu”. Program-program yang dapat dilakukan pada tahap ini misalnya memberikan pengetahuan yang bersifat kognisi, belief, dan healing. Prinsip dasarnya adalah membuat target mengerti bahwa mereka perlu diberdayakan dan proses pemberdayaan itu dimulai dari diri mereka (tidak dari orang luar). Tahap kedua adalah tahap pengkapasitasan atau ”capacity bulding” atau dalam bahasa sederhana berarti memampukan atau enabling. Proses pengkapasitasan ini berlangsung pada diri manusia, organisasi, maupun sistem nilai. Tahap ketiga adalah pemberian daya atau “empowerment” dalam arti sempit, dimana target diberi daya, kekuasaan, otoritas, atau peluang. Pemberian daya ini dilakukan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh target. Pranaka dan Moeljarto (1996) menjelaskan bahwa proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuatan, kekuasaan
7
atau kemampuan kepada masyarakat agar individu lebih berdaya. Kecenderungan pertama tersebut dapat disebut sebagai kecenderungan primer dari makna pemberdayaan, sedangkan kecenderungan kedua atau kecenderungan sekunder menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Menurut Nasdian (2006), proses pemberdayaan masyarakat ditujukan untuk membantu klien memperoleh daya (kuasa) melalui power sharing untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dilakukan terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan
tindakan.
Kemampuan
masyarakat
untuk
mewujudkan
dan
mempengaruhi arah serta pelaksanaan suatu program ditentukan dengan mengandalkan power yang dimilikinya sehingga pemberdayaan merupakan tema sentral atau jiwa partisipasi yang sifatnya aktif dan kreatif. Pemberdayaan merupakan proses “pematahan” dari hubungan subyek dengan obyek, dimana proses ini melihat pentingnya mengalirkan kekuasaan (flow of power) dari subyek ke obyek. Hasil akhir dari pemberdayaan adalah “beralih fungsi individu atau kelompok yang semula sebagai obyek menjadi subyek (yang baru)”, sehingga relasi sosial yang ada hanya akan dicirikan dengan relasi antara “subyek” dengan “subyek” yang lain. Pemberdayaan dapat diukur dengan menggunakan empat indikator yang biasa dipakai dalam mengukur kualitas kesetaraan gender (Wrihatnolo dan Dwidjowijoto, 2007). Empat indikator tersebut antara lain: Pertama, akses yang berarti target yang diberdayakan pada akhirnya mempunyai akses akan sumberdaya yang diperlukannya untuk mengembangkan diri. Kedua, partisipasi yaitu
target
yang
diberdayakan
pada
akhirnya
dapat
berpartisipasi
mendayagunakan sumberdaya yang diaksesnya. Ketiga, kontrol dalam arti target yang diberdayakan pada akhirnya mempunyai kemampuan mengontrol proses pendayagunaan sumberdaya tersebut. Keempat, kesetaraan dalam arti pada tingkat tertentu saat terjadi konflik, target mempunyai kedudukan sama dengan yang lain dalam hal pemecahan masalah.
8
Lebih lanjut, Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (2007) mengemukakan lima fungsi pemberdayaan sebagai solusi pembangunan di Indonesia, yaitu: (1) konsep pemberdayaan masyarakat dipercaya mampu menjawab tantangan pelibatan aktif setiap warga negara dalam proses pembangunan, mulai dari kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi. (2) konsep pemberdayaan dipercaya mampu menjawab tantangan bagaimana melibatkan organisasi kemasyarakatan lokal berfungsi dalam pembangunan, (3) konsep pemberdayaan diyakini mampu menggali dan memperkukuh ikatan sosial di antara warga negara. Penguatan modal sosial mengandung arti pelembagaan nilai-nilai luhur yang bersifat universal,
yaitu
kejujuran,
kebersamaan,
dan
kepedulian,
(4)
konsep
pemberdayaan secara khusus diyakini mampu meningkatkan fungsi pelayanan publik dan pemerintahan khususnya kepada penduduk setempat. Pada akhirnya, proses pemberdayaan dapat menjadikan masyarakat bertambah cerdas dan mampu memaksa para penyelenggara pelayanan publik dan pemerintah untuk belajar memahami dan melayani rakyatnya lebih baik, dan (5) konsep pemberdayaan dalam bentuk yang paling menonjol diyakini dapat mempercepat tujuan penanggulangan kemiskinan.
2.1.2 Penyuluhan Pertanian Daniel dkk. (2008) menyatakan bahwa penyuluhan merupakan proses pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan dengan cara melibatkan diri petani, pengusaha, dan pedagang pertanian untuk melakukan belajar menemukan sendiri (discovery learning) agar mendapatkan ilmu dan teknologi yang mereka butuhkan untuk dapat keluar dari masalahnya secara mandiri dan independent. Penyuluhan pertanian mengandung pengertian sebagai pendidikan di luar sekolah (non formal) yang ditunjukan kepada petani-nelayan beserta keluarganya agar mereka dapat berusahatani lebih baik (better farming), menguntungkan (better business), hidup lebih sejahtera (better living), dan bermasyarakat lebih baik (better community). Van den Ban dan Hawkins (1999) menyatakan bahwa pendefinisian penyuluhan secara sistematis dapat diartikan sebagai proses yang: (1) membantu petani menganalisis situasi yang sedang dihadapi dan melakukan perkiraan ke
9
depan, (2) membantu penyadaran petani terhadap kemungkinan timbulnya masalah dari hasil analisis tersebut, (3) meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan wawasan terhadap suatu masalah, serta membantu menyusun suatu kerangka berdasarkan pengetahuan yang dimiliki petani, (4) membantu petani memperoleh pengetahuan yang khusus berkaitan dengan cara pemecahan masalah yang dihadapi serta akibat yang ditimbulkannya, sehingga mereka mempunyai berbagai alternatif tindakan, (5) membantu petani memutuskan pilihan yang tepat dan menurut mereka sudah optimal, (6) meningkatkan motivasi petani untuk dapat menerapkan pilihannya, dan (7) membantu petani untuk mengevaluasi dan meningkatkan keterampilan mereka dalam membentuk pendapat dan mengambil keputusan. Sumintaredja
(1987)
yang
dikutip
Syahyuti
(2006)
mengartikan
penyuluhan pertanian sebagai suatu sistem pendidikan luar sekolah untuk para petani dan keluarganya dengan tujuan agar mereka mampu, sanggup, dan berswadaya memperbaiki kesejahteraan hidupnya sendiri serta masyarakatnya. Tujuan penyuluhan pertanian adalah mengembangkan petani dan keluarganya secara bertahap agar memiliki kemampuan intelektual yang semakin meningkat, pembendaharaan informasi yang memadai, dan mampu memecahkan serta memutuskan sesuatu yang terbaik untuk dirinya dan keluarganya. Daniel dkk. (2008) menyatakan bahwa penyuluhan pertanian sebagai kegiatan pendidikan non formal dilaksanakan dengan menggunakan prinsipprinsip pendidikan orang dewasa, yaitu: 1. Belajar secara sukarela; 2. Materi pendidikan didasarkan atas kebutuhan petani; 3. Petani mampu belajar, sanggup berkreasi, dan tidak konservatif; 4. Secara potensi, keinginan, kemampuan, kesanggupan untuk maju sudah ada pada petani sehingga kebijaksanaan, suasana, dan fasilitas yang menguntungkan akan menimbulkan kegairahan petani untuk berikhtiar; 5. Belajar dengan mengerjakan sendiri adalah efektif dan yang dikerjakan dialami sendiri akan berkesan dan melekat pada diri petani serta menjadi kebiasaan baru;
10
6. Belajar melalui pemecahan masalah yang dihadapi adalah praktis dan kebiasaan mencari kemungkinan-kemungkinan yang lebih baik akan menjadikan seorang petani berinisiatif dan berswadaya; 7. Berperan dalam kegiatan-kegiatan yang menimbulkan kepercayaan terhadap diri sendiri akan menimbulkan partisipasi masyarakat tani yang wajar.
2.1.3 Karakteristik Petani Ada dua kata dalam Bahasa Inggris berkenaan dengan “petani” yang memiliki konotasi dan atribut yang sangat berbeda, yaitu peasant dan farmer (Syahyuti, 2006). Peasant adalah gambaran dari petani yang subsisten (usahatani untuk konsumsi sendiri), sedangkan farmer adalah petani modern yang berusahatani dengan menetapkan teknologi modern serta memiliki jiwa bisnis yang sesuai dengan tuntutan agribisnis. Peasant adalah suatu kelas petani yang merupakan petani kecil, penyewa, penyakap, dan buruh tani. Peasant identik dengan sikap kerjasama satu sama lain, memiliki usahatani kecil, dan menggunakan tenaga keluarga sendiri. Petani ini terbatas teknologinya, memiliki keterbatasan finansial dan kemampuan manajemen karena pertanian tidak cukup menghasilkan pendapatan, maka mereka harus mencari usaha lain untuk memenuhi pendapatannya. Rasionalisasi petani menurut James Scott adalah moral ekonomi mendahulukan selamat dan enggan mengambil resiko (Syahyuti, 2006). Menurut Chayanov dalam Syahyuti (2006), ciri khas ekonomi rumahtangga petani adalah penggunaan tenaga kerja keluarga dalam usahatani bukan untuk mengejar produksi, namun semata untuk mencapai kesejahteraan anggota rumahtangga. Secara umum, petani didefinisikan sebagai orang yang bekerja di sektor pertanian dan sebagian besar penghasilannya dari sektor pertanian. Di Indonesia, masalah rendahnya tingkat pendidikan dan banyaknya pengangguran yang ada di pertanian, telah menjadikan sektor pertanian menjadi tidak efisien. Jumlah petani dengan tingkat pendididkan SD ke bawah masih menjadi proporsi terbesar. Sebaliknya kenaikan persentase kelompok pendidikan SLTP, SLTA, dan
11
perguruan tinggi tidak menunjukan kenaikan yang secara nyata, meskipun terjadi perbaikan komposisi tenaga kerja pertanian ke arah yang lebih positif.
2.1.4 Deskripsi Program SL-PTT Padi Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) merupakan program
yang
diluncurkan
oleh
Departemen
Pertanian
sebagai
upaya
pengembangan PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) untuk meningkatkan produktivitas padi (Deptan, 2010). SL-PTT adalah suatu tempat pendidikan non formal bagi petani untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam mengenali potensi, menyusun usahatani, mengatasi permasalahan, mengambil keputusan dan menerapkan teknologi yang sesuai dengan kondisi sumberdaya setempat secara sinergis dan berwawasan lingkungan sehingga usahatani menjadi efisien, berproduktivitas tinggi dan berkelanjutan. Hamparan sawah milik petani peserta program penerapan PTT disebut hamparan SL-PTT, sedangkan hamparan sawah tempat praktek sekolah lapang disebut laboratorium lapang (LL). SL-PTT telah diperkenalkan pada tahun 2007 dan masih akan dilaksanakan pada tahun 2010. Peningkatan produksi padi yang terfokus pada penerapan SL-PTT tahun 2010 dilakukan pada lahan seluas 2.650.000 hektar untuk padi non hibrida, padi hibrida, padi gogo, dan jagung hibrida. Selain dari SL-PTT padi, terdapat juga SL-PTT jagung, kedelai, dan kacang tanah. Di daerah Sukabumi, Kepala Bidang Ketahanan Pangan menyatakan “kegiatan SL-PTT diadakan di 46 kecamatan yang telah melibatkan 1.060 kelompok tani sampai dengan tahun 2009 dari 1.896 kelompok tani yang ditargetkan, sedangkan sisa dari kelompok tani yang belum mendapatkan program SL-PTT akan mengikuti program tersebut pada tahun 2010”. Melalui SL-PTT, diharapkan terjadi percepatan penyebaran teknologi PPT dari peneliti ke petani peserta dan kemudian berlangsung difusi secara alamiah dari alumni SL-PTT kepada petani di sekitarnya (Deptan, 2008). PTT adalah pendekatan dalam pengelolaan lahan, air, tanaman, organisme pengganggu tanaman (OPT), dan iklim secara terpadu dan berkelanjutan dalam upaya meningkatkan produktivitas, pendapatan petani dan kelestarian lingkungan (Deptan, 2008). Prinsip PTT mencakup empat unsur yaitu terpadu (pengelolaan
12
sumberdaya
tanaman,
tanah,
dan
air
dengan
sebaik-baiknya),
sinergis
(memanfaatkan teknologi pertanian terbaik dengan memperhatikan keterkaitan yang
saling
mendukung
antar
komponen
teknologi),
spesifik
lokasi
(memperhatikan kesesuaian teknologi dengan lingkungan fisik maupun sosial budaya dan ekonomi petani setempat), dan partisipatif (petani turut berperan serta dalam memilih dan menguji teknologi yang sesuai dengan kondisi setempat dan kemampuan petani melalui proses pembelajaran dalam bentuk laboratorium lapangan). Perakitan komponen teknologi PTT dipilih sesuai dengan kebutuhan setempat, maka proses pemilihan atau perakitannya didasarkan pada hasil analisis potensi, kendala, dan peluang atau dikenal dengan PRA (Deptan, 2008). Langkah pertama penerapan PTT adalah pemandu lapangan bersama petani melakukan Pemahaman Masalah dan Peluang (PMP) atau Kajian Kebutuhan dan Peluang (KKP). Langkah kedua adalah merakit berbagai komponen teknologi PTT berdasarkan kesempatan kelompok untuk diterapkan di lahan usahataninya. Langkah selanjutnya adalah
penyusunan RUK berdasarkan kesepakatan
kelompok, kemudian penerapan PTT serta pengembangan PTT ke petani lainnya. Komponen dasar PTT padi terdiri dari (1) varietas unggul baru, inhibrida, atau hibrida; (2) benih bermutu dan berlabel; (3) pemberian bahan organik melalui pengembalian jerami ke sawah atau dalam bentuk kompos; (4) pengaturan populasi tanaman secara optimum; (5) pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah; dan (6) Pengendalian OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) dengan pendekatan PHT. Adapun komponen teknologi pilihan antara lain: (1) pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam, (2) penggunaan bibit muda (<21 hari), (3) tanam bibit 1-3 batang per rumpun, (4) pengairan secara efektif dan efisien, (5) penyiangan dengan landak atau gasrok, dan (6) panen tepat waktu dan gabah segera dirontok (Deptan, 2010). Penentuan
calon
petani/kelompok
tani
SL-PTT
(yang
terbentuk
berdasarkan SK Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten/Kota) antara lain: kelompok tani/petani yang dinamis dan bertempat tinggal dalam satu wilayah
yang
berdekatan,
petani
aktif
yang
memiliki
lahan
ataupun
penggarap/penyewa dan mau menerima teknologi baru, bersedia mengikuti
13
rangkaian kegiatan SL-PTT (Deptan, 2010). Kelompok tani yang dimaksud adalah kelompok tani yang dibentuk berdasarkan domisili atau hamparan, diusahakan yang lokasi lahan usahataninya masih dalam satu hamparan. Luas satu unit SLPTT adalah berkisar 25 hektar, dimana 24 hektar untuk SL-PTT dan satu hektar untuk LL. Dalam setiap unit SL-PTT perlu ditetapkan seorang ketua yang bertugas mengkoordinasikan aktivitas anggota kelompok, seorang sekretaris yang bertugas sebagai pencatat kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan pada setiap pertemuan, dan seorang bendahara yang bertugas mengurusi masalah yang berhubungan dengan keuangan. Peserta SL-PTT wajib mengikuti setiap tahap pertanaman dan mengaplikasikan kombinasi komponen teknologi yang sesuai dengan spesifik lokasi mulai dari pengolahan tanah, budidaya, penanganan panen dan pasca panen. Pada setiap tahapan pelaksanaan, petani peserta diharapkan melakukan serangkaian kegiatan yang sudah direncanakan dan dijadwalkan, baik di petak LL maupun di lahan usahataninya. Pendampingan kegiatan SL-PTT oleh Pemandu Lapangan dan peneliti (Deptan, 2010). Pemandu Lapangan berperan sebagai pemandu yang paham terhadap permasalahan, kebutuhan, dan kekuatan yang ada di lapangan dan desa. Selain itu, Pemandu Lapangan berperan juga sebagai dinamisator proses latihan SL-PTT sehingga menimbulkan ketertarikan dan lebih menghidupkan latihan. Peran lain dari Pemandu Lapangan adalah sebagai motivator yang kaya akan pengalaman dalam berolah tanam dan dapat membantu membangkitkan kepercayaan diri para peserta SL-PTT, juga dapat menjadi konsultan bagi petani peserta SL-PTT untuk mempermudah menentukan langkah-langkah selanjutnya dalam melaksanakan kegiatan usahatani petani setelah kegiatan SL-PTT selesai. Mekanisme pelaksanaan SL-PTT dilakukan dengan cara (Deptan, 2010): 1. Persiapan SL-PTT, yaitu dengan mempertemukan tokoh formal dan informal serta petani calon peserta sebelum pelaksanaan SL-PTT untuk membahas analisis masalah, analisis tujuan, dan rencana kerja peningkatan produktivitas padi. Setelah itu, dilakukan penetapan langkah-langkah yang menyangkut tujuan, hasil yang diharapkan dan metode pembelajaran SL-PTT yang dilakukan bersama sebagai suatu kesepakatan. Selanjutnya, dilakukan penentuan jadwal pertemuan termasuk juga menentukan satu hari sebagai “hari
14
lapang petani” untuk memasyarakatkan dan mendeseminasikan penerapan teknologi budidaya melalui SL-PTT kepada kelompok tani dan petani sekitarnya. Selanjutnya menentukan letak petak SL-PTT yang strategis sehingga dapat dilihat dan ditiru oleh petani di luar SL-PTT; 2. Mengorganisasikan kelas SL-PTT yang dimaksudkan untuk membentuk organisasi kelompok tani peserta SL-PTT dengan memilih satu orang petani sebagai ketua, satu orang petani sebagai sekretaris, dan satu orang pertani sebagai bendahara. Selain itu, diwajibkan bagi seluruh peserta kelas SL-PTT untuk mengadakan pengamatan bersama-sama dan membahas temuan lapangan sesuai dengan topik-topik pengajaran dalam SL-PTT; 3. Menerapkan metode belajar orang dewasa, peserta SL-PTT memilih materi sesuai dengan kebutuhan teknologi spesifik lokasi, memacu peserta untuk berperan aktif dalam berdiskusi kelompok ataupun kegiatan lain dalam SLPTT, serta melakukan proses belajar melalui pengalaman; 4. Menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dengan cara meminta beberapa peserta menceritakan pengalaman–pengalaman yang lucu/berkesan dalam hidupnya. Selain itu, Pemandu Lapangan dapat menceritakan humorhumor segar sehingga suasana belajar menjadi hidup kembali; 5. Menghidupkan kembali dinamika kelompok yang dilakukan untuk saling mengenal ciri dan sifat dari masing-masing peserta sehingga dapat akrab satu dengan yang lainnya dalam SL-PTT; 6. Monitoring dan evaluasi oleh Pemandu Lapangan; 7. Membuat Pelaporan oleh Pemandu Lapangan; dan 8. Pertemuan-pertemuan kelompok dengan materi pertemuan terdiri dari: (1) teknik pengolahan tanah, (2) penanaman dengan memilih benih atau bibit yang baik, jarak tanam yang tepat, jumlah bibit per lubang yang sesuai, (3) pemupukan dengan memperhatikan daya dukung tanah, (4) pengelolaan air didasarkan pada kebutuhan tanaman akan air, (5) pengendalian OPT didasarkan pada prinsip PHT, (6) penanganan panen dan pascapanen dengan tepat dan benar, dan (7) mendiskusikan pemecahan masalah yang ada serta langkahlangkah yang diambil selanjutnya. Selain itu juga terdapat kegiatan lapangan yang terdiri dari kerja lapangan, pengamatan agroekosistem, mengambar dan
15
mempresentasikan kondisi agroekosistem, diskusi kelompok, topik khusus yang ditemui pada praktek di lapangan, serta mempraktekkan kegiatan SL-PTT lahan usahataninya.
2.1.5 Partisipasi Petani Pretty, dkk. (1995) dalam Daniel dkk. (2008) partisipasi adalah proses pemberdayaan masyarakat sehingga mampu menyelesaikan sendiri masalah yang dihadapinya. Pengertian partisipasi adalah pengambilan bagian, pengikutsertaan. Dengan
demikian,
pengertian
partisipatif
adalah
pengambilan
bagian/pengikutsertaan atau masyarakat terlibat langsung dalam setiap tahapan proses pembangunan mulai dari perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating) sampai kepada monitoring dan evaluasi (controlling), selanjutnya disingkat POAC. Oakley et al. (1991) dalam Ife (2005) menyatakan bahwa partisipasi sebagai tujuan mengandung arti suatu upaya memberdayakan rakyat dengan berupaya
menjamin
peningkatan
peran
rakyat
dalam
inisiatif-inisiatif
pembangunan. Gadi (1990, disitir dalam Kannan 2002) dalam Ife (2005) menampilkan partisipasi sebagai sebuah proses pemberdayaan yang dilakukan oleh kaum tersingkir karena adanya perbedaan kekuasaan di antara kelompokkelompok dalam masyarakat. Van den Ban dan Hawkins (1999) menyatakan beberapa alasan mengapa petani dianjurkan berpartisipasi dalam keputusan-keputusan yang berkaitan dengan program penyuluhan, yaitu: 1. petani memiliki informasi yang sangat penting untuk merencanakan program yang berhasil, termasuk tujuan, situasi, pengetahuan, serta pengalaman mereka dengan teknologi dan penyuluhan, serta struktur sosial masyarakat mereka; 2. petani akan lebih termotivasi untuk bekerja sama dalam program penyuluhan jika ikut bertanggung jawab di dalamnya; 3. masyarakat yang demokratis secara umum menerima bahwa rakyat yang terlibat berhak berpartisipasi dalam keputusan mengenai tujuan yang ingin dicapai; dan
16
4. banyak permasalahan pembangunan pertanian, seperti pengendalian erosi tanah, perolehan sistem usahatani yang berkelanjutan dan pengelolaan pendekatan komersial pada pertanian, tidak mungkin lagi dipecahkan dengan pengambilan keputusan perorangan. Partisipasi kelompok sasaran dalam keputusan kolektif sangat dibutuhkan. Nasdian (2006) menyatakan bahwa partisipasi adalah proses aktif, inisiatif diambil oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif. Partisipasi tersebut dapat dikategorikan: pertama, warga komunitas dilibatkan dalam tindakan yang telah dipikirkan atau dirancang oleh orang lain dan dikontrol oleh orang lain. Kedua, partisipasi merupakan proses pembentukan kekuatan untuk keluar dari masalah mereka sendiri. Titik tolak partisipasi adalah memutuskan, bertindak, kemudian mereka merefleksikan tindakan tersebut sebagai subyek yang sadar.
2.1.6 Kemandirian Petani Nasdian (2006) dan Daniel dkk. (2008) menyatakan bahwa sifat mandiri meliputi kemandirian material, kemandirian intelektual, dan kemandirian pembinaan/manajemen. Kemandirian material artinya mereka akan memiliki kapasitas untuk memanfaatkan secara optimal potensi sumberdaya alam yang mereka miliki sendiri tanpa harus menunggu bantuan orang lain atau tergantung dari luar. Kemandirian intelektual artinya mereka akan memiliki kapasitas untuk mengkritisi atau mengemukakan pendapat tanpa dibayangi oleh rasa takut atau tekanan dari pihak lain. Kemandirian pembinaan mereka akan memiliki kapasitas untuk mengembangkan dirinya sendiri melalui proses pembelajaran tanpa harus tergantung atau menunggu sampai adanya pembinaan atau agen pembaruan dari luar sebagai guru mereka. Kemandirian petani dalam konteks pembangunan pertanian berkelanjutan khususnya di era globalisasi ekonomi dicirikan oleh perilaku petani yang modern, efisien, dan berdaya saing tinggi. Mengacu pada pendapat Inkeles dan Smith (1974) dalam Sumardjo (1999), orang modern dicirikan oleh: (1) memiliki kesiapan menerima pengalaman baru dan terbuka akan inovasi dan perubahan, (2)
17
mempunyai kecenderungan membentuk atau memegang pendapat tentang sejumlah besar permasalahan dan pandangan lingkungannya dan di luar lingkungannya, dan orientasinya adalah demokratis, (3) lebih berorientasi pada masa kini dan masa depan dibanding pada massa silam, (4) berorientasi pada kehidupan yang direncanakan dan diorganisasikan, (5) dapat belajar untuk menguasai lingkungannya dalam rangka pengembangan tujuan, (6) percaya diri bahwa dunianya dapat diperhitungkan/di dalam kontrol manusia/ tidak fatalis, (7) menyadari akan kelebihan orang lain dan menghargai hal tersebut, (8) percaya akan ilmu pengetahuan dan teknologi, (9) percaya tentang hukum bahwa pengembangan tergantung pada andil atau partisipasi yang diberikan, (10) berminat dan menilai tinggi pada pendidikan formal, dan (11) akan berprestasi secara penuh dan mempunyai kemampuan memilah dan memilih, serta mempunyai sifat optimistik. Petani yang mandiri (Sumardjo, 1999) juga dicirikan oleh perilakunya yang efisien dan berdaya saing tinggi. Berperilaku efisien artinya berfikir dan bertindak disertai dengan sikap yang positif dalam menggunakan sarana secara tepat guna atau berdaya guna. Kemudian yang dimaksud perilaku berdaya saing tinggi artinya dalam berfikir dan bertindak senantiasa disertai sikap berkarya dalam hidup yang berorientasi pada mutu dan kepuasan konsumen atau produk atau jasa yang dihasilkan. Petani berkemandirian tinggi artinya mampu mengambil keputusan dalam pengelolaan usahataninya secara cepat, tepat tanpa harus tergantung pada atau tersubordinasi oleh pihak lain, mampu beradaptasi secara optimal dan inovatif terhadap berbagai perubahan lingkungan fisik dan lingkungan sosialnya, serta mampu bekerja sama dengan pihak lain dalam situasi yang
saling
menguntungkan
sehingga
terjadi
kesalingtergantungan
(interdependencies) dan bukan ketergantungan. Petani yang mandiri adalah petani yang secara utuh mampu memilih dan mengarahkan kegiatan usahataninya sesuai dengan kehendaknya sendiri, yang diyakini paling tinggi manfaatnya, tetapi bukan sikap menutup diri melainkan dengan rendah hati menerima situasi masyarakat dan aturan-aturan yang ada di dalamnya.
18
2.1.7 Hasil-Hasil Penelitian Penyuluhan Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jarmie (1994), menyatakan bahwa sasaran dari penyuluhan pembangunan pertanian adalah perubahan perilaku petani. Perubahan perilaku petani didorong oleh: (1) pendidikan formal petani, (2) pendidikan formal ibu tani, (3) sumber informasi yang diterima, (4) alat baru berusahatani, dan (5) kebersamaan petani dengan penyuluh non pertanian. Adanya penerimaan ide baru pada petani Indonesia telah merubah cara pandang yang subsisten menjadi komersial, dimana perencanaan usahatani merupakan perubahan mendasar dari petani subsisten menjadi petani komersial. Dalam penerimaan ide baru berusahatani, Jarmie (1994) mengelompokkan petani ke dalam hierarki yang bervariasi. Kegiatan penyuluhan dilakukan minimal untuk menjadikan petani setidaknya tahu mensintesis (merancang, mengkombinasi, menata), mau menyusun (merumuskan, mengatur, menyesuaikan), dan bisa mengadaptasikan (mendemostrasikan, menampilkan). Bagi petani yang sudah tinggi tingkat penerimaan ide baru usahatani, masih dapat ditingkatkan lagi dengan melatih agar petani tahu menilai (mengkritik, merevisi, mempertahankan), menghayati (mengamalkan), dan bisa menciptakan (memperbaiki, membimbing pengembangan) terhadap ide baru yang diterima. Hasil
penelitian
Sumardjo
(1999)
mengenai
transformasi
model
penyuluhan pertanian menjelaskan bahwa penyuluhan pertanian harus dapat diarahkan untuk meningkatkan kemandirian petani. Asumsi dari keberhasilan aktivitas penyuluhan adalah terwujudnya kemandirian petani, menggunakan prinsip dialogis, berpihak pada petani, dan kedudukan petani ditempatkan pada sentral dalam pelaksanaan penyuluhan. Dalam penelitian ini, terdapat faktorfaktor internal petani yang berpengaruh terhadap kemandirian petani secara berturut-turut dari yang paling mempengaruhi adalah: (1) ciri-ciri komunikasi, (2) kualitas pribadi (SDP) petani, (3) status sosial, (4) status sosial ekonomi, (5) motivasi ekstrinsik, dan (6) motivasi intrinsik. Persepsi petani mengenai kualitas penyuluhan dipengaruhi oleh kualitas Sumberdaya Pribadi (SDP) dari petani itu sendiri. Kualitas sumberdaya pribadi petani yang tinggi cenderung ditemukan pada petani dengan usia relatif lebih muda, dengan rata-rata pengalaman usahatani yang relatif lebih pendek, tetapi memiliki tingkat pendidikan yang relatif lebih
19
tinggi dibanding petani dengan kualitas SDP rendah. Kualitas SDP petani yang tinggi juga ditandai dengan kecenderungan memiliki kemampuan mengelola usahatani dalam skala lebih luas, baik mengelola lahan milik sendiri maupun lahan sewaan. Lebih lanjut, Sumardjo (1999) menyatakan bahwa faktor-faktor eksternal petani juga penting bagi perkembangan tingkat kemandirian petani. Banyak faktor yang diduga mempunyai pengaruh terhadap kemandirian petani ternyata berpengaruh positif. Beberapa diantaranya adalah: (1) kualitas penyuluhan, (2) keterjangkauan petani terhadap sarana penunjang pertanian, (3) aksesibilitas petani terhadap produk usahatani, (4) Aksesibilitas petani terhadap sumberdaya informasi tepat guna, dan (5) persepsi petani terhadap kelayakan lingkungan fisik usahatani. Faktor-faktor seperti kualitas penyuluh pertanian, keterjangkauan petani terhadap sarana penunjang pertanian, perkembangan daya saing, keefisienan petani, dan kemoderenan petani, yang diduga mempunyai pengaruh sangat nyata terhadap kemandirian petani ternyata secara signifikan memang berpengaruh positif. Tingkat kemandirian petani yang tinggi adalah hasil dari proses belajar petani yang efektif dalam mengelola usahataninya secara modern dan efisien sehingga hasil usahataninya berdaya saing tinggi secara domestik maupun global di era globalisasi ekonomi. Tingkat kemandirian tersebut terdiri dari aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik yang terdapat pada komodernan petani, keefisienan petani, dan daya saing petani. Hasil penelitian Zulvera (2002) menunjukkan bahwa kemampuan petani dalam PHT terdiri dari aspek pengetahuan, aspek sikap, aspek penerapan, dan aspek penyebaran PHT. Pengetahuan yang dimiliki petani dalam PHT dipengaruhi oleh karakteristik internal petani yang terdiri dari intensitas pendidikan non formal dan motivasi petani. Aspek sikap dipengaruhi oleh karakteristik internal petani dalam pengalaman usahatani dengan hubungan yang negatif yang berarti semakin lama pengalaman usahatani maka sikapnya terhadap prinsip SL-PHT cenderung semakin negatif. Untuk aspek penerapan PHT dipengaruhi oleh karakteristik internal petani berupa pendidikan non formal, pengalaman usahatani, dan kekosmopolitan, sedangkan aspek penyebaran PHT dipengaruhi oleh karakteristik
20
internal petani berupa pendidikan formal, pendidikan non formal, kekosmopolitan dan motivasi petani. Penelitian Zulvera (2002) menunjukkan bahwa terdapat hubungan secara nyata antara kemampuan penyuluh dalam melakukan pendekatan kepada petani dengan cara kekeluargaan terhadap tingkat penerapan prinsip PHT, dimana semakin baik kemampuan penyuluh dalam melakukan pendekatan secara kekeluargaan pada petani maka terdapat kecenderungan semakin tinggi pula tingkat penerapan prinsip PHT oleh petani. Hasil pengamatan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa proses belajar yang dilakukan di SL-PHT telah memberi kesempatan yang luas pada petani untuk belajar sambil berbuat, tidak hanya mendengar,
namun langsung mempraktekkannya di lapangan, dan terbukti
berkaitan dengan kemampuan petani dalam pengendalian hama secara terpadu. Faktor-faktor yang mempunyai hubungan nyata dengan keaktifan petani dalam proses belajar di SLPHT adalah: intensitas pendidikan non formal yang diikuti petani, kekompakkan kelompok tani, observabilitas materi PHT, dan kemampuan penyuluh dalam melakukan pendekatan pada petani. Hasil penelitian Hakim (2007), menyatakan bahwa tingkat keberdayaan kelompok dapat dilihat dari unsur-unsur dinamika kelompok tani. Pola pemberdayaan, pengembangan kepribadian, lingkungan sosial, dan akses pada informasi berhubungan positif dan nyata dengan dinamika kelompok. Keeratan hubungan tersebut menunjukkan bahwa kegiatan pemberdayaan petani dapat dikembangkan
melalui
dinamika
kelompok
sebagai
wadah
pembinaan,
pembelajaran, dan kemampuan usahatani. Penelitian ini menjelaskan bahwa karakteristik individu meliputi umur, tingkat pendidikan, dan lamanya berusahtani kurang mendukung peningkatan dinamika kelompok tani. Salah satu variabel pada peubah karakteristik individu yang berpengaruh negatif terhadap dinamika kelompok
adalah
umur,
dimana
semakin
tua
umur
responden
maka
kemampuannya dalam mengembangkan dinamika kelompok semakin menurun. Variabel yang tidak berpengaruh yaitu tingkat pendidikan dan pengalaman berusahatani. Artinya, semakin tinggi tingkat pendidikan dan semakin lama pengalaman
usahatani,
maka
akan
semakin
tidak
berkontribusi
dalam
menumbuhkan partisipasi dan motivasi responden dalam mengembangkan
21
kegiatan kelompok. Namun dalam penjelasannya, karakteristik individu seperti umur ternyata berkorelasi positif dengan kepribadian petani, sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan kepribadian petani. Begitu juga dengan pendidikan formal yang berkorelasi positif dan nyata dengan lingkungan sosial dan akses pada informasi. Namun, variabel pengalaman usahatani berkorelasi negatif dengan lingkungan sosial dan akses pada informasi. Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang berasal dari penelitian terdahulu tersebut, maka penelitian ini dirumuskan dengan menerapkan sebagian konsep yang terdapat pada hasil penelitian yang telah dilakukan. Penelitian yang dilakukan penulis adalah penelitian mengenai hubungan penyuluhan pertanian dengan kegiatan pemberdayaan petani. Dalam penelitian ini, penulis berpatokan pada teori pemberdayaan masyarakat yang dikemukakan oleh Nasdian (2006), yang menyatakan bahwa pemberdayaan mengandung dua elemen penting, yaitu partisipasi dan kemandirian. Dari dua elemen penting pemberdayaan ini, penulis menjadikannya sebagai variabel terpengaruh yang dipengaruhi oleh berbagai variabel pengaruh. Adapun penentuan parameter untuk variabel kemandirian sebagai salah satu variabel terpengaruh diambil dari hasil penelitian Sumardjo (1999) yang menetapkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik pada kemodernan, keefisienan, dan daya saing petani. Hanya saja, pada penelitian ini, parameter tersebut dijadikan variabel turunan yaitu menjadi tingkat kemodernan, tingkat keefisienan, dan tingkat daya saing yang secara tidak langsung di dalamnya mengadung aspek kognitif, afektif, dan daya saing secara menyatu. Hal ini dilakukan untuk menghindari terlalu banyaknya uji hubungan pada penelitian. Terkait
dengan
penentuan
variabel-variabel
pengaruh,
penulis
membaginya menjadi karakteristik internal petani dan karakteristik eksternal petani. Selain itu, penulis menambah satu variabel pengaruh mengenai model pemberdayaan
petani
SL-PTT
yang
dianggap
mempengaruhi
variabel
terpengaruh. Penentuan hipotesis pada penelitian ini, disesuaikan dengan hasil penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh Jarmie (1994), Sumardjo (1999), Zulvera (2002), dan Hakim (2007) dengan asumsi-asumsi yang disesuaikan dengan tema penelitian yang dilakukan.
22
2.2 Kerangka Pemikiran Penelitian ini merujuk pada konsep dan teori pemberdayaan masyarakat dari beberapa ahli seperti Nasdian (2006) dan Syahyuti (2006) yang mengemukakan secara garis besar bahwa pemberdayaan masyarakat mengarah pada partisipasi dan kemandirian yang dalam pelaksanaannya menitikberatkan pada proses, bukan pada hasil yang ingin dicapai. Kegiatan SL-PTT yang telah dilaksanakan merupakan kegiatan sekolah lapangan dengan penerapan model pemberdayaan petani. Merujuk pada tujuan pemberdayaan (Nasdian, 2006), pemberdayaan mengandung dua elemen pokok, yaitu partisipasi dan kemandirian, maka tingkat partisipasi (Y1) dan tingkat kemandirian (Y2) dijadikan variabel terpengaruh sebagai tolok ukur keberhasilan kegiatan SL-PTT dalam memberdayakan petani. Variabel-variabel turunan yang digunakan untuk mengukur tingkat partisipasi yaitu: tingkat partisipasi dalam perencanaan (Y1.1), tingkat partisipasi dalam pelaksanaan, tingkat partisipasi dalam pemantauan (Y1.3), dan partisipasi dalam evaluasi. Variabel-variabel turunan yang digunakan dalam mengukur tingkat kemandirian petani (Sumardjo, 1999) antara lain: aspek kemodernan petani (Y2.1), aspek keefisienan petani (Y2.2), dan aspek daya saing petani (Y2.3). Variabel-variabel terpengaruh di atas diduga berhubungan dengan sejumlah variabel pengaruh (independent variables), seperti: karakteristik internal petani, karakteristik eksternal petani, dan model pemberdayaan petani SL-PTT. Merujuk pada penelitian terdahulu (Zulvera 2002), variabel-variabel karakteristik internal petani yang diukur adalah: umur (X1.1), tingkat pendidikan formal (X1.2) tingkat pendidikan non formal (X1.3), tingkat pengalaman berusahatani (X1.4), tingkat kekosmopolitan (X1.5), motivasi petani (X1.6), dan luas lahan garapan (X1.7). Adapun variabel-variabel karakteristik eksternal petani yang diukur adalah: frekuensi petani mengikuti SL-PTT (X2.1), tingkat kemampuan penyuluh (X2.2), tingkat keterjangkauan sarana produksi pertanian (X2.3), dan tingkat kemampuan akses petani terhadap pasar (X2.4). Adapun variabel-variabel dalam proses pemberdayaan petani yaitu: tingkat penggunaan laboratorim lapangan (X3.1) dan tingkat penerapan komponen teknologi PTT (X3.2).
23
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, hubungan antara variabel pengaruh dan variabel terpengaruh dapat dilihat pada Gambar 1.
Variabel Pengaruh (Independent Variables) Karakteristik Internal Petani (X1) X1.1 Umur X1.2 Tingkat Pendidikan Formal X1.3 Tingkat Pendidikan Non Formal X1.4 Tingkat Pengalaman Berusahatani X1.5 Tingkat Kekosmopolitan X1.6 Motivasi Petani X1.7 Luas Lahan Garapan
Karakteristik Eksternal Petani (X2) X2.1 Frekuensi Petani Mengikuti SL-PTT X2.2 Tingkat Kemampuan Penyuluh X2.3 Tingkat Keterjangkauan Sarana Produksi Pertanian X2.4 Tingkat Kemampuan Akses Petani terhadap Pasar
Model Pemberdayaan Petani SL-PTT (X3) X3.1 Tingkat Pengunaan Laboratorium Lapangan X3.2 Tingkat Penerapan Komponen Teknologi PTT
Variabel Terpengaruh (Dependent Variables)
Tingkat Partisipasi (Y1) Y1.1 Tingkat Partisipasi dalam Perencanaan Y1.2 Tingkat Partisipasi dalam Pelaksanaan Y1.3 Tingkat Partisipasi dalam Pemantauan Y1.4 Tingkat Partisipasi dalam Evaluasi
Tingkat kemandirian (Y2) Y2.1 Aspek Kemodernan Petani Y2.2 Aspek Keefisienan Petani Y2.3 Aspek Daya Saing Petani
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Proses Pemberdayaan Petani SL-PTT terhadap Tingkat Kemandirian dan Tingkat Partisipasi Petani.
24
2.3 Hipotesis Penelitian 1. Karakteristik internal petani berhubungan nyata dengan tingkat partisipasi petani. 2. Karakteristik internal petani berhubungan nyata dengan tingkat kemandirian petani. 3. Karakteristik eksternal petani berhubungan nyata dengan tingkat partisipasi petani. 4. Karakteristik eksternal petani berhubungan nyata dengan tingkat kemandirian petani. 5. Model pemberdayaan petani SL-PTT berhubungan nyata dengan tingkat partisipasi petani. 6. Model pemberdayaan petani SL-PTT berhubungan nyata dengan tingkat kemandirian petani. 7. Tingkat partisipasi berhubungan nyata dengan tingkat kemandirian petani.
2.4 Definisi Operasional Variabel-variabel
dalam
penelitian
ini
diberi
batasan
atau
didefinisioperasionalkan agar dapat ditentukan indikator pengukurannya dan batasan-batasan yang digunakan dalam memperoleh data dan menganalisisnya sehubungan dengan penarikan kesimpulan. Definisi operasional dari variabelvariabel tersebut adalah:
I. Karakteristik Internal Petani (X1) adalah gambaran tentang sifat-sifat atau ciri-ciri pribadi yang dimiliki petani yang berhubungan dengan aspek kehidupan dan lingkungannya, meliputi: 1.Umur (X1.1) adalah tingkat usia biologis petani pada saat penelitian dilaksanakan. Umur dihitung dalam satuan tahun dan pengukurannya dengan menggunakan
skala
ordinal.
Dalam
penelitian,
umur
responden
diklasifikasikan dalam tiga kategori (Hurlock, 1980), yaitu: 1= dewasa awal
25
(18-40 tahun); 2= dewasa madya (41-60); dan 3= dewasa akhir (60 tahun ke atas). 2. Tingkat Pendidikan Formal (X1.2) adalah jenis pendidikan sekolah tertinggi yang pernah diikuti oleh responden, dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, jika responden mengikuti lama pendidikan ≤9 tahun, (2) sedang, jika responden mengikuti lama pendidikan 9<sedang≤12 tahun, (3) tinggi, jika responden mengikuti lama pendidikan >12 tahun. 3. Tingkat Pendidikan Non Formal (X1.3) adalah total skor kegiatan pendidikan di luar sekolah (PLS) yang pernah diikuti oleh petani, baik pelatihan, lokakarya, SL-PTT, dan FMA, baik di tingkat kampung, desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, dan nasional. Pengkategorian dilakukan berdasarkan hasil perhitungan dari jumlah skor terendah dan skor tertinggi kegiatan PLS yang telah dilakukan, dibedakan dalam tiga kategori, : (1) rendah, jika total skor mengikuti kegiatan PLS 1-3 kali, (2) sedang, jika total skor mengikuti kegiatan PLS 4-6 kali, dan (3) tinggi, jika total skor mengikuti kegiatan PLS 7-9 kali. 4.Tingkat Pengalaman Berusahatani (X1.4) adalah lamanya (tahun) melakukan usahatani. Pengkategorian dilakukan berdasarkan hasil perhitungan sebasaran normal dari jumlah skor terendah dan skor tertinggi lamanya usahatani yang dilakukan petani, dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, jika lamanya usahatani 1-17 tahun, (2) sedang, jika lamanya usahatani 18-34 tahun, dan (3) tinggi, jika lamanya usahatani 35-53 tahun. 5. Tingkat Kekosmopolitan (X1.5) adalah keterbukaan responden terhadap berbagai sumber informasi, yang diamati pada penelitian ini adalah frekuensi bepergian keluar desa untuk mendapatkan informasi yang berhubungan dengan teknologi dan inovasi usahatani, frekuensi membaca media informasi pertanian baik dengan cara membaca koran dan atau membaca majalah yang berhubungan dengan kegiatan pertanian, frekuensi mendengarkan radio, frekuensi menonton televisi yang berkaitan dengan pertanian, frekuensi berhubungan dengan penyuluh, dan berhubungan dengan instansi atau lembaga yang berhubungan dengan usahatani, masing-masing diberi skor 1, 2, 3, 4, 5, dan 6. Tingkat kekosmopolitan ini dibedakan ke dalam kategori: (1)
26
rendah, jika total skor frekuensi petani memanfaatkan media informasi 6-13, (2) sedang, jika total skor frekuensi petani memanfaatkan media informasi 1421, dan (3) tinggi, jika total skor frekuensi petani memanfaatkan media informasi 22-30. 6. Motivasi Petani (X1.6) adalah alasan atau dorongan yang mendasari petani dalam melakukan kegiatan SL-PTT, terbagi menjadi dua kategori, yaitu: (1) motivasi ekstrinsik, jika alasan petani dalam mengikuti SL-PTT karena lahannya termasuk ke dalam hamparan SL-PTT, diajak ketua kelompok tani, penyuluh, ataupun pihak lain sebagai alasan untuk pergaulan saja, dan (2) motivasi intrinsik, jika petani memiliki keinginan sendiri untuk menambah pengetahuan tentang PTT sebagai usaha untuk meningkatkan produksi padi mereka. 7. Luas Lahan Garapan (X1.7) adalah rata-rata luas lahan usahatani padi yang digarap responden dibedakan ke dalam tiga kategori: (1) rendah, jika menggarap lahan kurang dari 0,5 hektar ; (2) sedang, jika menggarap lahan 0,5 sampai 1 hektar, dan (3) tinggi, jika menggarap lahan lebih dari 1 hektar.
II. Karakteristik Eksternal Petani (X2) adalah gambaran sifat-sifat atau ciri-ciri di luar pribadi petani yang berkaitan dengan proses pemberdayaan, meliputi: 1. Frekuensi Petani Mengikuti SL-PTT (X2.1) adalah jumlah kehadiran (frekuensi) petani mengikuti SL-PTT yang telah berlangsung, yang dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, jika mengikuti 1-4 pertemuan, (2) sedang, jika mengikuti 5-8 pertemuan, dan (3) tinggi, jika mengikuti 9-12 pertemuan. 2. Persepsi Petani Terhadap Kemampuan Penyuluh (X2.2) adalah pandangan petani terhadap kemampuan penyuluh terkait dengan tingkat pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Skala pengukuran dilakukan dengan menggunakan skala Likert, yaitu: 1=tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=setuju; 4=sangat setuju. Nilai (interval nilai) untuk setiap kategori didapat dari mengalikan 9 pertanyaan dengan nilai skala yang tertinggi kemudian dibagi dengan jumlah kategori yang diinginkan. Hasil pengukuran digolongkan ke dalam tiga kategori, yaitu: 1=
27
rendah; 2=sedang; 3= tinggi. Nilai (interval nilai) untuk kategori 1= 9-17, kategori 2=18-26, dan kategori 3=27-36. 3. Tingkat Keterjangkauan Sarana Produksi Pertanian (X2.4) adalah tingkat kemudahan petani dalam mendapatkan benih/bibit, pupuk, dan obat-obatan. Skala pengukuran dilakukan dengan menggunakan skala Likert, yaitu: 1= sangat sulit; 2= sulit, 3=mudah, dan 4=sangat mudah. Nilai (interval nilai) untuk setiap kategori didapat dari mengalikan jumlah pertanyaan dengan nilai skala yang tertinggi kemudian dibagi dengan jumlah kategori yang diinginkan. Hasil pengukuran digolongkan ke dalam tiga kategori, yaitu: 1= rendah; 2=sedang; 3= tinggi Nilai (interval nilai) untuk kategori 1=3-5; kategori 2=6-8; dan kategori 3=9-12. 4. Tingkat Kemampuan Akses Petani terhadap Pasar (X2.5) adalah kemampuan petani dalam mencari peluang dalam menjual hasil produksinya, terbagi menjadi kategori: (1) rendah, jika pemasaran masih menggunakan jasa tengkulak, (2) sedang, jika pemasaran dilakukan petani langsung kepada pedagang di pasar namun tidak tetap (pedagang tidak berlangganan dengan petani besangkutan), (3) tinggi, jika pemasaran dilakukan petani kepada pedagang tetap (pedagang berlangganan dengan petani bersangkutan).
III. Proses Pemberdayaan Petani (X3) 1. Tingkat Penggunaan Laboratorium Lapangan (X3.2) adalah
tingkat
pengguanaan dan pemanfaatan lahan percontohan dalam SL-PTT, terbagi menjadi kategori (1) rendah, jika petani hanya mengikuti kegiatan di LL sebanyak 1-2 kali, (2) sedang, jika petani mengikuti kegiatan di LL 3-4 kali, (3) tinggi, jika petani mengikuti kegiatan di LL 5-6 kali. 2. Tingkat Penerapan Komponen Teknologi PTT adalah tingkat kesesuaian cara bertani padi sesuai dengan teknologi petanian yang sudah disepakati, terdiri dari 11 komponen, yaitu: varietas unggul, benih bermutu dan berlabel, pemberian bahan organik dari jerami, pengaturan populasi optimum, pemupukan sesuai proporsi yang dibutuhkan, pengendalian OPT dengan pendekatan PHT, penggunaan bibit muda, tanam bibit 1-3 batang per rumpun,
28
pengairan secara efektif dan efisien, panen tepat waktu, gabah langsung dirontokan. Tingkat penerapan komponen teknologi PTT ini erbagi menjadi empat kategori, yaitu: (0) tidak pernah, jika petani sedikitpun belum pernah menerapkan komponen PTT, (1) rendah, jika petani hanya menerapkan 1-4 komponen PTT dari total komponen yang ditentukan, (2) sedang, jika petani menerapkan 5-8 komponen PTT dari total komponen yang ditentukan dan (3) tinggi, jika petani menerapkan 9-11 komponen PTT dari total komponen yang ditentukan.
IV. Tingkat Partisipasi (Y1) dalam kegiatan SL-PTT adalah jumlah (frekuensi) keikutsertaan petani dalam mengikuti kegiatan SL-PTT, terbagi menjadi: 1. Partisipasi dalam perencanaan (Y1.1) adalah sejauh mana keikutsertaan peserta dalam merencanakan kegiatan SL-PTT, dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, jika keikutsertaan dalam perencanaan SL-PTT <33 persen dari total kegiatan perencanaan SL-PTT, (2) sedang, jika hanya ikut merencanakan kegiatan 33-67 persen dari total kegiatan perencanaan SLPTT, (3) tinggi, jika ikut merencanakan kegiatan >67 persen dari total kegiatan perencanaan SL-PTT. 2. Partisipasi dalam Pelaksanaan (Y1.2) adalah sejauh mana keikutsertaan peserta dalam melaksanakan kegiatan SL-PTT mulai dari pengolahan tanah sampai penanganan pasca panen, dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, jika berperan serta dalam pelaksanaan SL-PTT <33 persen dari total kegiatan perencanaan SL-PTT, (2) sedang, jika hanya ikut melaksanakan kegiatan 33-67 persen dari total kegiatan pelaksanaan SL-PTT, (3) tinggi, jika ikut melaksanakan kegiatan >67 persen dari total kegiatan pelaksanaan SL-PTT. 3. Partisipasi dalam Pemantauan (Y1.3) adalah sejauh mana keikutsertaan peserta dalam memantau kegiatan SL-PTT, dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, jika keikutsertaan dalam memantau kegiatan SL-PTT <33 persen dari total kegiatan pelaksanaan SL-PTT, (2) sedang, jika hanya ikut memantau kegiatan 33-67 persen dari total kegiatan pelaksanaan SL-PTT,
29
(3) tinggi, jika ikut memantau kegiatan >67 persen dari total kegiatan pelaksanaan SL-PTT. 4. Partisipasi dalam Evaluasi (Y1.3) adalah sejauh mana keikutsertaan peserta dalam menilai atau mengevaluasi kegiatan SL-PTT, dibedakan ke dalam kategori: (1) ikut serta, jika peserta mengikuti proses evaluasi kegiatan SLPTT dan (2) tidak ikut serta, jika peserta tidak mengikuti proses evaluasi kegiatan SL-PTT.
V. Tingkat Kemandirian (Y2): Tingkat perubahan sikap setelah mengikuti SLPTT mencakup sikap afektif, kognitif, dan psikomotorik dalam hal kemodernan, keefisienan, dan kemampuan daya saing petani. Nilai (interval nilai) untuk setiap kategori didapat dari mengalikan jumlah pertanyaan dengan nilai skala yang tertinggi kemudian dibagi dengan jumlah kategori yang diinginkan, variabelvariabel turunan tersebut yaitu: 1. Tingkat Kemodernan Petani (Y2.1) adalah tingkat pemahaman petani terhadap pemanfaatan informasi, pemanfaatan agen pembaharu, dan sikap terhadap informasi inovatif, serta keterampilan dalam menerapkan ketepatgunaan teknologi pertanian, sehingga petani memiliki pengetahuan akan kebutuhan pasar, informasi media massa, wawasan agribisnis, dan perencanaan usaha dalam melakukan kegiatan pertanian. Hasil pengukuran digolongkan ke dalam tiga kategori, yaitu: 1= rendah; 2=sedang; 3= tinggi. Nilai (interval nilai) untuk kategori 1=1-4; kategori 2=5-8; dan kategori 3=912. Skor diperoleh dari 4 pertanyaan, dimana masing-masing pertanyaan terbagi menjadi 3 bagian yaitu aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek psikomotorik. 2. Tingkat Keefisienan Petani (Y2.2) adalah tingkat pemahaman petani terhadap pemilihan jenis usaha, pemahaman cara meraih informasi harga pasar, dan pemahaman dasar peramalan produksi/pemahaman atas resiko sehingga petani mampu bersikap hemat input dan
mampu menerapkan
teknologi yang dapat menekan kehilangan hasil. Hasil pengukuran digolongkan ke dalam tiga kategori, yaitu: 1= rendah; 2=sedang; 3= tinggi.
30
Nilai (interval nilai) untuk kategori 1=1-4; kategori 2=5-8; dan kategori 3=912. Skor diperoleh dari 4 pertanyaan, dimana masing-masing pertanyaan terbagi menjadi 3 bagian yaitu aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek psikomotorik. 3. Tingkat Daya Saing Petani (Y2.3) adalah tingkat pemahaman petani terhadap kualitas produk, selera konsumen, kebutuhan pasar, prediksi harga produk, dan wawasan keserasian lingkungan/kesehatan, sehingga petani mampu menyikapi usahataninya dengan tepat dan mampu memuaskan konsumen dengan produk yang bermutu dan memiliki jaringan pemasaran yang luas. Hasil pengukuran digolongkan ke dalam tiga kategori, yaitu: 1= rendah; 2=sedang; 3= tinggi. Nilai (interval nilai) untuk kategori 1=1-4; kategori 2=5-8; dan kategori 3=9-12. Skor diperoleh dari 4 pertanyaan, dimana masing-masing pertanyaan terbagi menjadi 3 bagian yaitu aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek psikomotorik.