BAB II KERANGKA TEORITIS Bab ini akan memaparkan konsep yang digunakan dan definisi masingmasing konsep tersebut, nalar konsep, nalar kaitan antar konsep, proposisi, dan pengembangan model dari penelitian ini. 2.1 Anak Sebagai Pemengaruh (Influencer) Anak sebagai Influencer merupakan suatu kemampuan yang dimiliki oleh anak untuk mempengaruhi orang tuanya agar melakukan pembelian terhadap produk atau jasa yang diingin kan atau dibutuhkanya (Santoso, 2008). Peran anak sebagai pemengaruh didorong kekuatan pengaruh anak yang dikenal dengan istilah pester power. Usaha yang dilakukan anak-anak untuk mempengaruhi orang tua atau orang di sekitar mereka yang dilakukan secara frontal dan berhasil (Nicholls and Cullen, 2004). Mikkelsen (2007) mendefinisikan “influencer” sebagai usaha aktif dan pasif untuk mencapai persetujuan berpartisipasi dalam pembuatan keputusan beli orang tua sehingga mencapai hasil tertentu. Active influence disebut juga sebagai direct influencer dimana seorang anak berinteraksi langsung dengan orang tua dengan menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan (Kotler, 2003). Passive influence atau indirect influence merupakan bentuk perhatian atau kesadaran dari orang tua akan keinginan anak yang dipenuhi tanpa adanya interaksi langsung terlebih dahulu diantaranya (Mikkelsen, 2007).
6
Anak-anak mempengaruhi keputusan pembelian dalam berbagai macam produk, Jensen (1995) melakukan penelitian pada tiga macam kategori produk yaitu: kategori produk untuk anak-anak, produk untuk konsumsi keluarga, dan produk untuk orang dewasa ia menyatakan bahwa pengaruh anak tidak terbatas hanya pada produk dimana mereka terlibat sebagai pengguna saja. Lebih lanjut lagi di katakan bahwa pada produk yang terkait dengan anak-anak (mainan, sereal dan snack), mereka akan menjadi pencari informasi, inisiator aktif, dan pembeli (Kaur dan Singh, 2006). 2.2 Gaya Anak Sebagai Influencer Untuk membuat orang tua membelikan produk yang diinginkanya, anak seringkali membuat permintaan dengan cara verbal meupun bahasa tubuh. Tujuanya tentu saja untuk mendapatkan produk yang diinginkanya, walaupun terkadang hanya untuk kepuasaan sesaat. Seringkali permintaan anak untuk dibelikan oleh orang tuanya satu produk atau jasa disertai dengan berbagai macam gaya. Menurut McNeal (1992), gaya anak tersebut secara umum dapat dikelompokan kedalam tujuh kelompok, yaitu : 1. Peading- gaya ini biasanya disertai dengan kata-kata seperti “aku mohon..”, “tolong aku..”, dan terkadang dengan repitisi “ibu, ibu, ibu”. 2. Persistent- Gaya ini termasuk mengulang-ulang permintaan terus-menerus baik ketika ada peluang maupun saat tidak ada peluang. Kadang-kadang permintaanya disertai kata-kata “aku hanya meminta sekali ini saja”.
7
3. Forceful- Gaya ini menggunakan kata-kata yang harus keras dan forceful, seperti “aku harus mempunyainya”, “tidak ada yang dapat menghalangi aku untuk memilikinya”, “aku akan memintanya pada nenek jika kamu tidak mau membelikanya untukku”. 4. Demonstrative- Gaya ini menujukan akting yang berlebihan. Contoh dengan cara menolak untuk meninggalkan pertokoan, menolak untuk melihat-lihat atau berbicara dengan orang tua, kadang-kadang anak yang lebih kecil akan menjatuhkan diri ke lantai dan menjerit. 5. Sugar-coated- kata-kata “cinta” dan “luar biasa” seringkali termasuk dalam gaya ini. Sebagai contoh : “aku akan mencintai ibu selamanya jika ibu membelikan aku satu”, “belikan aku satu berarti engkau ayahku yang luar biasa di dunia ini”. 6. Threatening- Gaya ini seringkali berfokus pada hal negatif jika pembelian tidak dilakukan oleh orang tuanya. Contoh kata-kata yang seringkali digunakan: “aku akan membencimu selamanya jika engkau tidak membelikan aku satu”, “aku akan meninggalkan rumah jika aku tidak dibelikan satu”. 7. Pitty- Gaya ini biasanya akan menghasilkan hasil negatif bagi anak, karena anak akan mengasihani diri sendiri. Contoh : “tidak ada seorangpun yang mau berbicara kepadaku jika aku tidak memilikinya”, “semua orang memilikinya kecuali aku”, dan “engkau tidak pernah membelikanku apaapa”.
8
Semua gaya permohonan di atas dapat digunakan dalam bentuk kombinasi, tetapi anak cenderung memakai satu atau dua gaya saja yang telah terbukti paling efektif dalam mempengaruhi orang tuanya untuk membelikannya suatu produk. 2.3 Persepsi Orang Tua Tentang Keinginan Anak Kotler (2003) menjelaskan persepsi sebagai proses bagaimana seseorang memilih, mengelola dan menafsirkan masuknya informasi untuk menciptakan gambaran keseluruhan.
Lebih lanjut lagi Schiffman dan Kanuk (2007)
menyatakan bahwa persepsi merupakan proses dimana individu memilih, mengelola dan menginterpretasi stimulus ke dalam sebuah gambaran yang jelas dan berarti. Senada dengan hal tersebut Prasetijo dan Ihalauw (2005) menyampaikan bahwa persepsi merupakan proses dimana rangsangan yang diterima seseorang dipilah dan dipilih, kemudian diatur dan di interpretasikan. Rangsangan dalam penelitian ini mengacu pada keinginan anak sewaktu menginginkan sebuah produk barang maupun jasa, yang kemudian rangsangan tersebut membentuk persepsi dari orang tua mengenai keinginan anaknya yang membawa pengaruh terhadap keputusan beli orang tua. Persepsi orang tua merupakan proses penerimaan stimulus oleh orang tua dari anaknya, yang pada akhirnya membentuk gambaran tentang kebutuhan anak yang telah terarah ke obyek tertentu yang mungkin dapat memuaskan kebutuhan anak (Santoso, 2008). Sebagian besar seorang anak belajar menjadi konsumen pada saat berbelanja dengan orang tua. Anak belajar menjadi konsumen dengan 9
mengamati perilaku dan meniru perilaku orang tuanya, pada saat itu perlu bagi orang tua untuk mengatur perilaku anak dengan otoritasnya sebagai orang tua dan melakukan sosialisasi terhadap mereka (Kaur dan Singh, 2006). Penting bagi orang tua untuk mensosialisasikan atau mendidik anaknya sebagai seorang konsumen, yaitu dengan memberikan pemahaman singkat mengenai alasan-alasan mengapa orang tua menolak atau mengabulkan permintaan dari anak. 2.4 Keputusan Beli Orang Tua 2.4.1 Pengertian Perilaku Konsumen Menurut Engel, Blackwell, dan Miniard (1994), perilaku konsumen merupakan tindakan langsung terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi, dan menghabiskan produk dan jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan menyusul tindakan ini. Perilaku konsumen menurut Schiffman dan Kanuk (1987) merupakan tindakan konsumen dalam mencari, membel, menggunakan, mengevaluasi, dan membuang produk, jasa, dan ide yang mereka harapkan akan memuaskan kebutuhan. Kotler dan Amstrong (1997) juga mengartikan perilaku konsumen sebagai perilaku pembelian akhir, baik individu maupun rumah tangga, yang membeli produk untuk konsumsi personal. Selanjutnya Schiffman dan kanuk (1987) menjabarkan bahwa studi perilaku konsumen merupakan pembelajaran bahwa studi perilaku konsumen merupakan pembelajaran masing-masing individu membuat sebuah keputusan dalam membelanjakan sumber dayanya (uang, waktu, tenaga) melalui proses pemecahaan masalah yang mengacu pada tindakan bijaksana dan bernalar yang 10
dijalankan untuk menghasilkan pemenuhan kebutuhan. Banyak faktor dapat membentuk hasil akhirnya, seperti motivasi internal dan pengaruh eksternal seperti tekanan sosial, pengaruh keluarga terutama anak dan kegiatan pemasaran. 2.4.2 Proses Pengambilan Keputusan Beli Konsumen Keputusan Pembelian adalah sebuah proses dimana konsumen mengenal masalahnya, mencari informasi mengenai produk atau merek tertentu dan mengevaluasi seberapa baik masing-masing alternatif tersebut dapat memecahkan masalahnya yang kemudian mengarah kepada keputusan pembelian (Kotler, 2008). Keputusan pembelian dalam penelitian ini mengacu pada pemenuhan kebutuhan yang dilakukan orang tua dalam membelanjakan sumber dayanya untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan anaknya. Pengambilan keputusan konsumen dalam membeli suatu produk merupakan suatu proses yang melewati tahap-tahap tertentu. Kotler (2000) membagi proses pengambilan keputusan pembelian kedalam lima langkah : 1. Pengenalan kebutuhan yaitu konsumen mempersepsikan perbedaan antara keadaan yang diinginkan dan situasi aktual untuk membangkitkan dan mengaktifkan proses keputusan. 2. Pencarian informasi yaitu konsumen mencari informasi yang disimpan dalam ingatan (pencarian internal) atau mendapatkan informasi yang relevan dengan keputusan dari lingkungan (pencarian eksternal). 11
3. Evaluasi alternatif yaitu: konsumen mengevaluasi pilihan berkenaan dengan manfaat yang diharapkan dan menyempitkan pilihan hingga alternatif yang dipilih. 4. Keputusan pembelian yaitu: konsumen telah memiliki alternatif yang dipilih atau alternatif pengganti yang dapat juga dipilih. 5. Perilaku setelah pembelian yaitu: konsumen mengevaluasi apakah alternatif yang dipilih memenuhi kebutuhan dan harapan segera sesudah digunakan. 2.5 Fase Perkembangan Psikologis Pengamatan Anak Oswald Kroh dalam Kartono, (1979) menyatakan bahwa perkembangan fungsi pengamatan anak terdiri dari empat periode, yaitu: 1. Periode Sintese-Fantastis (7-8 tahun) Segala hasil pengamatan merupakan
kesan totalitas/global, sedangkan
sifatnya masih samar-samar. Selanjutnya kesan-kesan tersebut dilengkapi dengan fantasi anak. 2. Periode Realisme-naif (8-10 tahun) Anak sudah dapat membedakan bagian, tapi belum mampu untuk menghubungkan satu dengan yang lain dalam hubungan yang totalitas. Unsur fantasi sudah mulai digantikan dengan pengalaman konkrit. 3. Periode Realisme-kritis (10-12 tahun) Pengamatan yang bersifat realistis. Anak pada masa ini sudah dapat mengadakan sintesa logis karena muncul pengertian, insight/wawasan, dan 12
akal sudah mencapai taraf kematangan anak untuk bisa menggabungkan bagian menjadi satu kesatuan. 4. Periode Subjektif (12-14 tahun) Unsur emosi atau perasaan muncul kembali, dengan kuat mempengaruhi penilaian anak terhadap semua pengetahuan dan pengalamannya.
Pada penelitian ini menggunakan usia anak yang berumur 7-8 tahun. Usia 7-8 tahun dipilih karena anak pada masa ini anaj mengingat segala hasil pengamatan yang merupakan kesan totalitas/global, sedangkan sifatnya masih samar-samar. Selanjutnya kesan-kesan tersebut dilengkapi dengan fantasi anak (kartono, 1979). Pada usia tersebut anak yang pernah makan di KFC dan mendapatkan kesan yang baik dari program-program yang disediakan KFC bagi anak, sehingga membuat anak mepunyai kesan yang positif terhadap KFC. 2.6 Nalar Antar Konsep 2.6.1 Pengaruh Persepsi Orang Tua Tentang Keinginan Anak terhadap Keputusan Beli Orang Tua Persepsi orang tua merupakan proses penerimaan stimulus oleh orang tua dari anaknya, yang pada akhirnya membentuk gambaran tentang kebutuhan anak yang telah terarah ke obyek tertentu yang mungkin dapat memuaskan kebutuhan anak (Santoso, 2008). Pada dasarnya orang tua ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya, mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga makanan yang dikonsumsi.Banyak orang tua yang akhirnya memilih untuk sama-sama bekerja, 13
dengan tujuan untuk meningkatkan keadaan ekonomi keluarga. Peran anak sebagai pemengaruh lebih besar dalam keluarga yang memiliki penghasilan tinggi (Atkin, 1978). Perhatian yang dilakukan oleh orang tua dengan cara memperhatikan tingkah laku anaknya, yang pada akhirnya akan menjadi stimulus bagi orang tua. Stimulus tersebut semakin jelas terlihat pada saat anak menginginkan sebuah produk maupun jasa, mereka akan memberikan stimulus dengan cara mereka meminta, merengek, merajuk, bahkan menangis. Reaksi akibat stimulus tersebut membentuk persepsi dari orang tua mengenai keinginan anaknya serta akan mengarahkan orang tua pada objek yang diinginkan oleh anak (Nicholls and Cullen, 2004). Sewaktu anak memiliki keinginan untuk membeli sebuah produk mereka akan menggunakan influence power mereka untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, keinginan yang terpenuhi tersebut akan tersimpan sebagai pengalaman yang menyenangkan (Haryanto, 2008). Pada saat orang tua menyadari hal tersebut, orang tua akan membentuk sebuah persepsi mengenai keinginan anaknya. Oleh karena itu, persepsi orang tau tentang keinginan anak berpengaruh terhadap keputusan beli orang tua. Berdasrkan nalar kosnep diatas, maka diambil hipotesis sebagai berikut : H1 : Persepsi orang tua tentang keinginan anak berpengaruh signifikan terhadap keputusan beli orang tua. 14
2.6.2 Pengaruh Anak Senagai Influencer Terhadap Keputusan Beli Orang Tua Anak sebagai Influencer merupakan suatu kemampuan yang dimiliki oleh anak untuk mempengaruhi orang tuanya agar melakukan pembelian terhadap produk atau jasa yang diingin kan atau dibutuhkanya (Santoso, 2008). Penelitian menunjukkan bahwa 2/3 anak berusia 6-14 tahun memasak untuk dirinya sendiri 1-5 kali dalam seminggu dan 49% dari mereka juga membeli bahan makanan atau berpartisipasi dalam kegiatan belanja keluarga. Banyaknya waktu yang dihabiskan kedua orang tua diluar rumah karena bekerja menimbulkan konsekuensi dimana orang tua tidak memiliki tenaga dan waktu yang cukup untuk memonitor konsumsi (food) dan konsumsi media (advertising) untuk anaknya (Cook, 2003 dalam Suwandinata, 2009). Maka dari itu sebagai timbal balik dari perasaan yang bersalah (guity feeling) karena sering meninggalkan anaknya, salah satu contoh dengan melakukan pembelian sesuai dengan keinginan anaknya (anak sebagai infuencer). Sehingga anak mempunyai kecenduerungan untuk mempengaruhi keputusan beli orang tuanya (Santoso, 2008). Oleh karena itu, anak sebagai influencer berpengaruh terhadap keputusan beli orang tua. Berdasrkan nalar kosnep diatas, maka diambil hipotesis sebagai berikut : H2 : Anak sebagai influencer berpengaruh signifikan terhadap keputusan beli orang tua. 15
2.7 Pengembangan Model Berdasarkan hasil telaah pustaka dan pengembangan proposisi yang sebelumnya maka dapat dibuat sebuah model untuk menjawab masalah penelitian sebagai berikut : Gambar 2.1 Pengembangan Model
H2 Persepsi Orang Tua (-) Tentang Keinginan anak
H1
Keputusan Beli Orang Tua
Anak Sebagai Influencer H2
16