BAB II KERANGKA TEORITIS 2.1 Kepemimpinan Kekristenan Menurut
George
Dalam Barna
Konteks
sebagaimana
dikutip
dalam Alex (2011) mengatakan ; a chirstiani leader as someone who is called by God to lead with christlike character an effectively, motivates, mobilizes resources and direct people toward fulfillment of a jointly embraced vision for God.
Menurut Robert Clinton (1989) dalam
tulisan Eddie Gibbs (2005) berpendapat tugas utama pemimpin adalah mempengaruhi umat Allah untuk melaksanakan rencana Allah. Demikian juga Henry dan Richard Blackaby dalam tulisan Eddie Gibbs (2005) mengatakan kemepmimpinan bahwa kemepimpinan kristen
bukan
panggilan.
suatu
Dimana
pekerjaan
pemimpin
tetapi
menggerakan
sebuah orang-
orang berdasarkan agenda Allah. Menggerakan orang lain menurut Walter Wright (2004)
seorang
pemimpin
yang
masuk
ke
dalam
hubungan dengan orang lain untuk mempengaruhi. Melalui perilaku, nilai-nilai, atau sikap pemimpin akan menyarankan bahwa semua orang Kristen mampu melakukannya. Atau lebih tepatnya bahwa semua
orang kristen seharusnya menjalankan kepemimpinan, dan berusaha membuat sebuah perbedaan dalam kehidupan sekitar. Perbedaan rumusan kepemimpinan secara terletak
umum pada
dan
kepemimpinan
metode,
jabatan
kristen,
atau
bukan
kedudukan
melainkan pada panggilan nilai dari filosofinya. Pola kepemimpinan kristen yang diangap efektif dan efisien bukankah harus mendayagunakan pola servant
leadership
(kepemimpinan
melayani).
Pola
kepemimpinan seperti Yesus bukanlah perkara yang mudah tetapi sekaligus juga bukan sesuatu yang sulit untuk dilakukan. Modalnya cuma satu yakni hati. Yesus mengajarkan servant leadership (kepemimpinan melayani), pada intinya, terpusat pada apa yang ada di dalam hati seorang pemimpin. Hati akan menentukan apa
yang
terlihat
keluar
(www.sabda.org/lead/kepemimpinanYesus).
2.2 Servant
Leadership
(Kepemimpinan
Melayani) Beberapa literature menyebutkan dan mengakui tokoh
pertama
yang
menekuni
gagasan
Servant
leadership secara serius yaitu Robert K Greenleaf. Gagasan mengenai servant leadership (kepemimpinan
melayani) ini sebenarnya telah menjadi perhatian sejak tahun
1960.
Konsep
servant
leadership
terutama
berasal dari pengalaman Greenleaf bekerja di sebuah perusahaan besar (AT & T). Walaupun demikian kristalisasi ide ini terjadi setelah Greenleaf membaca novel singkat berjudul "Journey to the East' yang ditulis oleh Hermann Hesse, yang menceritakan panggilan sekelompok orang spiritual. Greenleaf mendefinisikan Servant leadership “If one is a servant, either leader of follower,
one
is
always
searching,
listening,
and
expecting that a better wheel for these times is in the making.” Pada tahun 1970, Greenleaf menerbitkan sebuah esay berjudul The Servant as Leader : yang menerangkan bahwa servant leadership (kepemimpinan melayani)
adalah
orang
yang
mula-mula
menjadi
pelayan, dalam pernyataannya Greenleaf mengatakan “ Servant leadership (kepemimpinan melayani) dimulai dengan
perasaan
alami
bahwa
orang
lain
ingin
melayani lebih dulu, kemudian pilihan sadar membawa orang untuk berkeinginan memimpin. Lebih lanjut menurut Greenleaf kepemimpinan yang secara alami adalah orang yang mengerti bahwa memimpin itu adalah
menjadi
pelayan
terlebih
dahulu
yang
menempatkan kepentingan orang lain sebagai prioritas tertinggi. Servant leadership (kepemimpinan melayani)
ini dimulai dari kesadaran seorang pemimpin sebagai pelayan yang muncul dari prinsip yang dianut oleh pemimpin, nilai-nilai dan kepercayaan. Melalui tulisan Greenleaf
Servant leadership
dipandang sebagai salah satu pelopor revolusi baru dalam pemikiran kepemimpinan, khususnya servant leadership leadership
(kepemimpinan (kepemimpinan
melayani). melayani)
Servant
memberikan
filosofi baru dalam konsep kepemimpinan. Penelitian Laub (1999) menyatakan pandangan dari Greenleaf tentang
konsep
Servant
leadership
mempengaruhi
beberapa kepemimpinan dari komunitas Kristen yang paling menonjol yakni : Steven Covey, John Gardner, Peter Senge, M. Scott Peck (Spears) and Margaret Wheatley. Dijelaskan tulisannya berpendapat bahwa servant leadership (kepemimpinan melayani) adalah suatu cara dalam memimpin dan mengelola organisasi yang lebih baik. Tulisan Greenleaf dengan judul Servant leadership telah membantu dimulainya gerakan dan pandangannya
yang
telah
memberi
dampak
yang
mendalam dan mengembangkan banyak orang. Ide mengenai
Servant
leadership,
yang
dicetuskan
Greenleaf sejak tahun 1970, telah berlangsung selama 40 tahun dan telah menciptakan perubahan bagi organisasi di seluruh dunia (Spears: 2004).
Jadi servant leadership (kepemimpinan melayani) muncul dari prinsip yang dianut oleh pemimpin timbul dari
nilai-nilai dan kepercayaan (Greenleaf: 1977).
Melayani
pihak
menfasilitasi
lain
berarti
bahwannya
di
atau
mana
pemimpin
anggotanya
untuk
mencapai tujuan yang diharapkan. Di sisi lain Senjaya (1997) mengutip tulisan Covey yang mengatakan bahwa servant leadership (kepemimpinan melayani) sematamata bukan hanya melayani untuk mendapatkan hasil, tetapi
perilaku
untuk
melayani
adalah
hasilnya.
Pemimpin haruslah mengetahui bahwa tugas dan kewajiban utama dari pemimpin adalah melayani kebutuhan dan kepentingan dari pihak lain, Akuchie dalam tulisan Laub (2004). Selanjutnya dijelaskan bahwa,
bagaimanapun
juga
melayani
pihak
lain
merupakan kepercayaan yang diberikan oleh organisasi kepada pemimpin atau memberikan pelayanan kepada pihak lain merupakan ide, realisasi dan aktualisasi dari melayani
pihak
lain.
Dalam
hal
ini
merupakan
panggilan tertinggi dari kepemimpinan yang dapat melayani sebagai fungsi penting di dalam memimpin pihak lain. Tulisan Greenleaf, fokus pada perilaku dari servant
leadership
(kepemimpinan
perilaku
kepemiminannya
pengikut
atau
anggota
telah (Smith,
melayani)
dan
mempengaruhi Montagno
dan
Kuzmenko: servant
2004).
Selanjutnya
leadership
dijelaskan
(kepemimpinan
bahwa,
melayani)
memandang kepemimpinan bukan posisi atau status, tetapi sebagai kesempatan untuk melayani sebagai bentuk dalam mengembangkan orang lain dengan sepenuhnya. Namun mengutip bahwa
tulisan
pendapat
Spears Greenleaf
kepamimpinan
(2010)
sebagaimana
(1977)
melayani,
menyatakan
pelayan
sebagai
pemimpin yang dimulai dengan perasaan alami ingin melayani yang menjadi faktor utama. Dan menurut Millard (1995) mengutip pendapat yang dikemukakan oleh
Laub
(1999)
menunjukan
bahwa
servant
leadership (kepemimpinan melayani) bukanlah sebagai gaya kepemimpinan tetapi sebagai, suatu falsafa dan pendekatan kepemiminan melalui cara hidup dan cara berpikir. Untuk
itu
orientasi
servant
leadership
(kepemimpinan melayani) akan tercemin dari dimensi iman
Kristen
yang
berhubungan
dengan,
sikap
kerendahan hati dan pelayanan kepada Tuhan bahwa kekuatan kepemimpinan selalu di bawah pengawasan Allah, (Irving: 2004). Sejalan dengan itu Menurut Senjaya (1997) mengutip tulisan dari Steven Covey yang berpendapat,
servant
leadership
(kepemimpinan
melayani)
muncul
dari
prinsip
yang
dianut
oleh
pemimpin melalui nilai-nilai dan kepercayaan. Servant leadership (kepemimpinan melayani) adalah seseorang yang memiliki perasaan secara alami dengan kerelaan hati,
ingin
melayani
lebih
dulu,
menciptakan
perubahan dan dapat memberdayakan anggota dalam organisasi, dan itu terwujud dari sikap dan nilai-nilai kepercayaan.
Konsep
servant
(kepemimpinan
melayani)
lebih
kepentingan
dari
bawahannya
leadership mengutamakan
tidak
sekedar
itu
namun, pemimpin dituntut melakukan tugas tanggung jawab dalam sikap, tutur kata, perilaku memberikan nilai yang baik dan dapat di teladani oleh anggota organisasi. Blanchard dan Hodges (2006) menulis bahwa menjadi seorang servant leadership (kepemimpinan melayani) bagi orang Kristen bukan lagi merupakan pilihan tapi merupakan mandat yang diperintahkan Tuhan
sendiri.
Secara
sempurna
Tuhan
telah
menggambarkan ajaran-Nya sendiri dengan teladan; ” Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan melayani. Tetapi aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan” (Luk 22:27). Sanders (1974) dalam tulisan Oktavian (2004) menulis bahwa setiap kali seseorang akan mulai mempelajari
kepemimpinan rohani, perlu agar prinsip ilahi yang utama ini dipahami dengan jelas dan dipegang dengan teguh. Kebesaran sejati, kepemimpinan sejati dicapai bukan dengan cara menurunkan orang-orang untuk melayani, melainkan dengan memberikan diri sendiri untuk melayani orang lain tanpa memperdulikan diri sendiri.
Dijelaskan
lebih
lanjut
bahwa,
pemimpin
rohani yang sejati senantiasa lebih memperhatikan pelayanan
yang
dilakukannya
untuk
Tuhan
dan
sesamanya, daripada memikirkan keuntungan dan kesenangan yang diperolehnya dalam hidup. Dan Yesus adalah pemimpin sejati bagi orang percaya orang-orang yang mengenal Yesus. Tulisan Robert Kysar (2003) mengalegorikan Yesus sebagai Gembala Baik (Yohanes pasal 10 ayat 11-17). Dalam penjelasannya Yesus amat memperhatikan orang-orang percaya kepunyaan-Nya sehingga Yesus bersedia mengorbankan hidup-Nya bagi mereka. Gemabala baik akan melindungi orang-orang kepunyaan-Nya,
sekalipun
itu
berarti
Ia
harus
mengorbankan dan menyerahkan hidup-Nya (Kysar: 2003). Salah satu sifat kepemimpinan rohani dalam melakukan
pekerjaannya
dilakukan
secara
efektif
dengan menggunakan hati seorang gembala. Pemimpin harus
menunjukan
satu
contoh
yang layak
bagi
kawanan dombanya. ”Hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu”. Jadilah teladan bagi anggota yang di pimpinnya dalam perkataan, tingkah laku, kasih, kesetiaan, dan dalam kesucian. Tidak hanya itu saja bahwa seorang pemimpin harus diliputi sifat rendah hati, disini lebih rendah hati dalam hubungan dengan orang lain. Dijelaskan bahwa, bersikap rendah diri
terhadap
(Oktavian:
disiplin
2004).
Allah
atau
Penjelasan
dari
ajaran
Allah
beberapa
ahli
mengenai Servant leadership menjadi patokan bagi setiap pemimpin lebih khusus menjadi ciri, sikap atau pola hidup bagi setiap pemimpin. 2.3
Karakteristik beberapa Ahli 2.3.1 Karakteristik Spears
Servant
leadership
menurut
Servant
leadership
Menurut
Dalam tulisan Spears (2004) diungkapkan bahwa setelah
beberapa
Greenleaf
tahun
dengan
karakteristik
seksama,
yang
pengembangan
mempelajari Spears
dianggap
servant
leadership
tulisan
asli
menyusun
penting
untuk
(kepemimpinan
melayani). Menurut tulisan Spears ada 10 karakteristik servant leadership (kepemimpinan melayani) yaitu: mendengar,
empati,
menyembuhkan,
memiliki
kesadaran, persuasi, konseptualisasi, melihat ke masa
depan,
mempercayakan
komitmen
terhadap
pengaturan,
pengembangan
memiliki
manusia,
dan
membangun komunitas (Spears: 2004). Berikut ini adalah
penjelasan
mengenai
masing-masing
karakteristik tersebut. (1)
Mendengarkan
(kepemimpinan
(Listening)
melayani)
servant
bersedia
leadership
mendengarkan
keinginan orang lain atau kelompoknya. Secara terbuka dan membantu merefleksikan keinginan tersebut secara periodik.
(2)
Empati
(kepemimpinan
(Empathy)
melayani)
servant leadership
berusaha
mengerti
dan
memahami kekhususan dan keunikan orang lain, mengenal
dan
menerima orang
lain apa
adanya,
memiliki asumsi bahwa orang yang bekerja sama dengannya
mempunyai
Menyembuhkan
itikad
(Healing)
yang
servant
baik.
(3)
leadership
(kepemimpinan melayani) memiliki kemampuan untuk menyembuhkan orang lain maupun dirinya sendiri dari perasaan kehilangan semangat akibat perasaan sakit hati
atau
masalah
emosi
lainnya.
(4)
Kesadaran
(Awareness), Seorang Pemimpin melayani memiliki kesadaran yang tinggi terhadap masalah etika dan nilai. la mampu membantu orang lain memahami masalahmasalah etika dan nilai-nilai, memandang banyak hal secara integral atau menyeluruh, menyadarkan dan
mengubah orang lain dengan memberikan alasan yang rasional. (5) Persuasi (Persuasion). Servant leadership (kepemimpinan
melayani)
mengutamakan
dan
mengandalkan diri pada persuasi (pembujukan), bukan pada
posisi
berusaha
atau
kekuasaannya.
meyakinkan
orang
Pemimpin
lain,
serta
akan
mampu
membangun kesepakatan didalam kelompoknya. (6) Konseptualisasi (Conceptualization). Servant leadership (kepemimpinan melayani) memiliki kemampuan untuk menyusun atau membuat suatu tujuan yang hebat atau besar, bukan hanya berfokus pada kegiatan rutin harian, namun juga jangka panjang. (7) Melihat ke masa
depan
(kepemimpinan
(Foresight). melayani)
Servant berfokus
leadership
pada
tujuan
memiliki kemampuan melihat kebutuhan pada masa yang akan datang. Pemimpin belajar dari masa lalu, memahami kenyataan atau keadaan saat ini, dan akibat dari suatu keputusan terhadap masa yang akan datang.
Pemimpin
yang
memiliki
intuisi
atau
kemampuan memprediksi hal-hal yang dibutuhkan untuk masa yang akan datang. (8) Mempercayakan (Stewardship), “holding
didefinisikan
something
in
trust
stewardship for
another”,
sebagai yaitu
mempercayakan sesuatu kepada orang lain. Seorang Pemimpin
Pelayan
menganggap
komitmen
untuk
melayani kebutuhan orang lain adalah hal yang utama, dan ia percaya bahwa bawahannya juga
mau dan
mampu melayani orang lain dengan baik. (9) Komitmen terhadap pengembangan manusia (Commitment to the growth of people). Servant leadership (kepemimpinan melayani)
memiliki
tanggung-jawabnya
komitmen untuk
dan
memahami
mengembangkan
semua
individu atau anggota yang ada di dalam organisasi. (10)
Membangun
komunitas
(Building
community).
Servant leadership (kepemimpinan melayani) terjadinya pergeseran dari komunitas lokal kepada lembagalembaga atau organisasi, telah menyadarkan Servant leadership
(kepemimpinan
melayani)
untuk
membangun komunitas diantara orang-orang yang bekerja dalam suatu lembaga tertentu. Komunitas sejati dapat diciptakan diantara orang-orang yang bekerja pada suatu organisasi atau lembaga demi kebaikan bersama. Kesepuluh karakteristik dari servant leadership (kepemimpinan terpisah
satu
melayani) dengan
tersebut yang
tidaklah lainnya,
saling tetapi
keseluruhannya menunjukkan suatu kesatuan yang saling
mendukung,
dan
konsep
ini
baik
untuk
dilakukan oleh pemimpin yang merasa terpanggil dan
bersedia untuk memenuhinya (Spears: 2004); (Calvin et al 2009 ) serta (Marianti: 2011) 2.3.2 Karakteristik Patterson Dalam
Servant
tulisan
mengembangkan
leadership
Patterson
teori
(kepemimpinan
(2003)
servant
melayani)
Menurut telah
leadership
dimana
Patterson
menciptakan sebuah landasan yang lebih pada spesifik dengan
mendefenisikan
servant
leadership
nilai-nilai
(kepemimpinan
yang
ada
melayani).
pada Dan
didasarkan pada nilai-nilai yang Patterson sebutkan komponen
”constructs”
(kepemimpinan Russel
dari
melayani).
(2004),
servant
servant
Menurut leadership
leadership
Patterson
dan
(kepemimpinan
melayani), yang mana adalah terfokus pada pengikut, menjelaskan perilaku tersebut. Menurut Whetstone (2001) dalam tulisan Patterson (2003) kebajikan atau moral yang menunjuka kepada karakteristik kualitatif yang
merupakan
bagian
dari
karakter
seseorang,
sesuatu yang bersifat internal yang lebih tertuju pada spiritual. Kualitas
ini
mencirikan
servant
leadership
(kepemimpinan melayani), yang dipandu oleh kebijakan didalamnya,
selanjutnya
disebut
”constructs”.
Konstruksi ini berbudi luhur yang mendefenisikan keepmimpinan melayani tersebut, membentuk sikap, karakteristik, dan perilaku setiap orang. Jadi intinya menurut Patterson servant leadership (kepemimpinan melayani)
ialah
seseorang
yang
melayani
dengan
berfokus pada pengikut, dimana para pengikut menjadi perhatian
utama
dan
masalah
selanjutnya.
Konstruksi
(kepemimpinan
melayani)
organisasi
servant adalah
adalah
leadership
kebajikan,
yang
didefinisikan sebagai kualitas moral yang baik dalam diri seseorang, atau secara umum sebagai kualitas kebaikan atau keunggulan moral. Patterson
(2003)
melihat
Servant
leadership
(kepemimpinan melayani) adalah suatu teori mengenai kebajikan atau kesalehan (Virtuous Theory). Kebajikan atau kesalehan adalah karakteristik kualitatif yang merupakan bagian dari karakter seseorang, sesuatu yang ada di dalam diri seseorang yang bersifat internal, atau yang lebih ditekankan disini yakni bersifat spritual atau rohaniah atau batiniah. Teori Kebijakan atau Kesalehan
(Virtue
Theory)
menunjukan
ide
dalam
melakukan hal-hal yang tepat dengan fokus pada karakter
moral,
dan
mencari
hal-hal
yang
tepat
dilakukan dalam situasi tertentu. Kesalehan atau kebajikan
berharga
bagi
kepemimpinan
karena
berfokus
pada
kebaikan
bersama,
bukan
pada
maksimal keuntungan, karena itu mendapat tempat dalam kepemimpinan. Model teoritis yang dibuat oleh Patterson (2003) mengenai servant leadership (kepemimpinan melayani), terdiri dari tujuh konstruk kebijakan atau kesalehan, yaitu: (1) Kasih yang murni atau Agape (Agape Love), menurut Patterson merupakan landasan hubungnan kepemimpinan dan pengikut adalah Kasih Agape. Menurut Dennis dan Bocarnea (2006) kasih agape artinya
mengasihi
dalam
arti
sosial
atau
moral.
Menurutnya Kasih ini menyebabkan pemimpin untuk menggap setiap orang tidak hanya sebagai alat untuk mencapai antara
tujuan,
tetapi
kebutuhan
dan
sebagai
orang
keinginan.
pelengkap
Lebih
lanjut
menurutnya ”lakukan kepada orang lain seperti yang anda
inginkan
kepada
orang
tersebut
lakukan
kepadamu” terapkan untuk semua. Servant leadership (kepemimpinan melayani) benar-benar peduli untuk orang lain dan tertarik dalam kehidupan pengikutnya. (2) Kerendahan Hati (Humility), menurut Sandage dan Wiens (2001) dalam tulisan Dennis dan Bocarnea (2006) berpendapat bahwa kemampuan untuk menjaga sebuah sebuah prestsi dan talenta dalam prespektif. Ini berarti berlatih penerimaan diri, tetapi selanjutnya
meliputi praktek kerendahan hati yang sejati, yang berarti
tidak
menjadi
berfokus
pada
diri
sendiri
melainkan berfokus pada orang lain. Swindoll (1981) dalam tulisan Dennis dan Bocarnea (2006) berpendapat bahwa kerendahan pelayan tidak boleh disamakan dengan
miskin
harga
diri,
melainkan
bahwa
kerendahan hati adalah sejalan dengan ego yang sehat. Dengan kata lain, kerendahan hati bukan berarti memiliki rendahnya pandangan terhadap diri sendiri atau nilai diri seseorang, melainkan berarti melihat sesorang tidak lebih baik atau buru daripada yang lainnya. Servant leadership (kepemimpinan melayani) melihat kerendahan hati sebagai cerminan akurat dari penilain diri dan karena itu, memelihara fokus pada rendah diri (Tangney: 2000). (3) Mengutamakan orang lain (altruism), tulisan Kaplan (2000) menyatakan bahwa altruism adalah membantu orang lain tanpa pamrih, yang melibatkan pengorbanan pribadi, meskipun tidak ada keuntungan pribadi. sementara Dennis dan Bocarnea (2006) mengutip tulisan
Eisenberg
(1986)
mendefenisikan
perilaku
altruistik sebagai perilaku sukarela yang dimaksudkan untuk menguntungkan pihak lain dan tidak dimotivasi oleh harapan eksternal yakni penerimaan imbalan atau pahala. Bagi Johnson (2001) dalam tulisan Dennis dan
Bocarnea (2006) yang berpendapat bahwa altruism merupakan perspektif etika. Menerapkan teori kognisi sosial untuk menjelaskan altruism, yang berfokus pada faktor-faktor identitas, persepi diri, cara pandangan, dan empati. Lebih lanjut Monroe (1994) mengutip pendapat yang dikemukakan oleh Dennis dan Bocarnea (2006)
mendefenisikannya
sebagai
perilaku
yang
dimaksukan untuk mendatangkan keuntungan yang lain, bahkan melakukannya mungkin beresiko atau memerlukan pengorbanan untuk kesejahteraan orang lain. (4) Visi (Vision), Blanchard (2000) mendefinisikan visi sebagai ”Gambaran masa depan yang menghasilkan gairah”, selanjutnya dijelaskan bahwa visi diperlukan untuk kepemimpinan yang baik. Demikian Laub (1999) menemukan bahwa visi bersama membangun orang lain (memberdayakan mereka) dan melayani kebutuhan orang lain (melayani mereka). Menurut Dennis dan Bocarnea (2006) berpendapat bahwa servant leadership (kepemimpinan melayani) harus bermimpi sambil tetap berada di masa lalu dan fokus pada masa depan, karena ini memungkinkan pemimpin untuk mengambil keuntungan dari peluang masa kini. Berkaitan visi dan kerendahan hati Dennis dan Bocarnea (2006) mengutip pendapat
yang
dikemukakan
oleh
Buchan
(2002)
menyatakan bahwa kepemimpinan yang melayani tidak mementingkan
diri
sendiri,
memungkinkan
ego
pemimpin dengan mendapatkan cara kemampuannya dalam membayangkan masa depan organisasi. (5) Percaya (Trust), kepercayaan adalah karakteristik penting
dari
servant
leadership
(kepemimpinan
melayani). Model tersebut kebenaran servant leadership (kepemimpinan
melayani)
dalam
cara
melatih,
memberdayakan dan mempengaruhi. Kepercayaan ini ada sebagai elemen dasar untuk suatu kepemimpinan sejati. Menurut Russell (2001) dalam tulisan Dennis dan Bocarnea (2006) dinyatakan bahwa nilai-nilai integritas
dan
kejujuran
interpersonal,
organisasi
membangun dan
kepercayaan menyebabkan
kredibilitas; kepercayaan ini sangat penting dalam servant leadership (kepemimpinan melayani), dan selalu hadir sebagai faktor penting yang merupakan pusat kepemimpinan. Selain itu Melrose (1998) sebagaimana dikutip
dalam
Dennis
dan
Bocarnea
(2006)
menyatakan bahwa para pemimpin melakukan apa yang
dikatakan,
Keterbukaan
yang
seorang
menimbulkan pemimpin
kepercayaan.
untuk
menerima
masukan dari orang lain meningkatkan kepercayaan pada seorang pemimpin. Pengikut lebih cenderung mengikuti pemimpin dengan perilaku yang konsisten,
dapat dipercaya dan dapat langsung terhubung dengan aspirasi pengikutnya. (6) Pemberdayanaan (Empowerment), Pemberdayaan adalah mempercayakan kekuasaan kepada orang lain, dan untuk servant leadership (kepemimpinan melayani) menyangkut mendengarkan secara efektif, membuat orang merasa penting, menempatkan penekanan pada kerja sama tim, menghargai cinta dan kesetaraan (Russell dan Stone, 2002). Covey (2002) berpendapat bahwa pemimpin berfungsi sebagai contoh untuk memberdayakan
orang
lain
dan
untuk
menilai
perbedaan pengikutnya. Mcgee-Cooper dan Trammell (2002)
sebagaimana
Bocarnea
(2006)
dikutip
dalam
berpendapat
bahwa
Dennis
dan
memahami
asumsi dasar dan latar belakang informasi tentang isuisu
penting
pemberdayakan
masyarakat
untuk
menemukan makna lebih dalam pekerjaan dan untuk berpartisipasi
lebih
lengkap
dalam
pengambilan
keputusan yang efektif. Bass (1990) sebagaimana dikutip
dalam
mengemukakan pembagian
Dennis
dan
bahwa
pemberdayaan
kekuasaan
dengan
Bocarnea pengikut
(2006) adalah dalam
perencanaan dan pengambilan keputusan. (7) Pelayanan (Service). Tindakan melayani meliputi misi tanggung jawab kepada orang lain (Dennis dan
Bocarnea:
2006).
pelayanan
Pemimpin
adalah
pusat
(kepemimpinan melayani).
memahami servant
bahwa
leadership
Model servant leadership
(kepemimpinan melayani), melayani sesamanya dalam perilaku, sikap, dan nilai-nilai. Menurut Block (1993) sebagaimana
dikutip
dalam
tulisan
Dennis
dan
Bocarnea (2006), pelayanan adalah segalanya. Orangorang bertanggung jawab kepada siapa yang dilayani apakah itu bawahan atau pengikutnya. Greenleaf (1996) mengemukakan bahwa bagi para pemimpin untuk
melayani
orang
lain,
harus
memiliki
rasa
tanggungjawab. Patterson
(2003)
menjadikan
kasih
sebagai
karakteristik dari Servant leadership (kepemimpinan melayani) yang paling mendasar atau utama, dan diakhiri dengan pelayanan (Patterson: 2003). Model yang dibuat Patterson, sesuai dengan ajaran Yesus, yaitu hukum yang kedua, yang sama pentingnya dengan
hukum
yang
sesama
manusia.
terutama,
Sebagai
orang
adalah
mengasihi
yang
mengasihi
sesama manusia dengan baik dan penuh kasih. Dalam kerangka karakteristik ini diawali dengan Kasih sebagai karakteristik dasar servant leadership (kepemimpinan melayani),
dan
diakhiri
dengan
motivasi
untuk
melayani sesama, sebagai akibat yang timbul dari sikap mengasihi tersebut. Patterson memakai
teori Maslow bahwa, salah
satu kebutuhan manusia adalah dikasihi atau dicintai. Kasih dapat memberikan dorongan yang kuat pada diri sesorang leadership
untuk
berbuat
sesuatu.
(kepemimpinan
Jadi
melayani)
servant
juga
perlu
memimpin bahwahannya dengan Kasih atau cinta. Menurut Rome sebagaimana dikutip dalam tulisan Anne dan Deprez (2008) Kasih atau cinta sejati (Real Love) adalah memperhatikan kebahagiaan orang lain tanpa memikirkan apa yang akan didapatkan untuk diri sendiri, sedangkan kasih atau cinta yang palsu (Imitation Love), adalah mencari pujian, kekuasaan, kesenanagan, dan keamanan pribadi atau diri sendiri. Sebetulnya dasar dari konsep servant leadership (kepemimpinan melayani), adalah konsep kasih atau cinta
kepada
sesama,
khususnya
kepada
para
bawahannya. Hal ini perlu ditumbuhkan pada para pemimpin,
agar
seorang
pemimpin
menumbuhkan
potensi yang ada pada bawahannya dengan lebih baik lagi, yaitu dengan mengasihi, mengembangkan dan melayani bawahan-nya, serta mengajar bawahannya untuk
kembali
mengasihi
orang
lain
dan
mau
mengembangkan serta melayani orang lain dengan lebih baik lagi. Karakteristi servant leadership dari Spears dan Patterson dapat disumpulkan melalui tabel berikut ini. Karakteristik servant leadership (kepemimpinan melayani)) Spear (2004) Patterson (2003) Nilai dasar dari karakteristik servant leadership (kepemimpinan melayani) ” kasih” diantara lain :
Mendengarkan, Empati, Kerendahan hati, menyembuhkan, dan mengutamakan kesadaran orang lain, pelayanan Tindakan dari karakteristik servant leadership (kepemimpinan melayani) Persuasasi, Memiliki Visi, konseptualisasi, Visi, pemberdayaan, dan mempercayakan, percaya komitmen, dan membangun komunitas
2.4
Nilai-nilai Kristiani Dalam Teori leadership (kepemimpinan melayani) Walaupun
konsep
servant
Servant leadership
(kepemimpinan melayani) merupakan sesuatu yang baru dalam teori kepemimpinan, namun sebenarnya hal ini bukanlah suatu ide yang benar-benar baru karena ide ini sebenarnya sudah lama ada. Sebetulnya yang
mula-mula
menggunakan
istilah
ini
adalah
seorang pemimpin besar agama Kristen yakni Yesus. Servant leadership (kepemimpinan melayani) diajarkan
oleh Yesus lebih dari 2000 tahun lalu melalui ajaran maupun
telada
perbuatan-Nya.
Sebenarnya
Yesus
adalah pemimpin sejati bagi orang-orang percaya, hal ini tercatat dalam Alkitab (kitab suci agama Kristen), yaitu pada Kitab Inji (Perjanjian Baru), Matius 20 ayat 28 dan Markus pasal 10 ayat 45 (Russel dan College: 2003). Dimana tertulis bahwa : ”Anak manusia datang, bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani”. Yesus melakukan pelayanan-Nya yaitu keinginan untuk melayani sesama menusia. Hal ini sesuai dengan dimensi servant leadership (kepemimpinan melayani) yang dinyatakan Barbout dan Wheeler sebagaimana dikutip dalam tulisan Maria (2011) yakni mengenai Panggilan (Calling) berarti keinginan alami yang ada dalam diri indivudu untuk melayani sesama manusia dan kesedian mengorbankan kepentingan pribadinya untuk memberikan manfaat atau keuntungan kepada orang lain. Servant leadership (kepemimpinan melayani) juga dilakukan oleh Yesus dengan teladan kepada para murid-Nya,
yaitu
dengan
membasuh
kaki
para
murid-Nya satu persatu (Yohanes pasal 13), padahal Yesus merupakan pemimpin dari para murid. Dalam tradisi
membasuh
kaki
biasanya
dilakukan
oleh
seorang pelayan atau seorang yang dianggap tingkat
atau pangkatnya paling rendah diantara orang yang hadir. Namun dalam kenyataannya, Yesus secara sadar dan tanpa diminta tiba-tiba melakukannya. Disinilah Yesus memberikan teladan kepada para murid-Nya mengenai sikap seorang pemimpin yang melayani (Russel,et al., 2003). Pada
Kitab
Injil
Yohanes
13
ayat
14-15,
dinyatakan bahwa sesudah Yesus membasuh satu persatu
kaki
murid-murid-Nya
(12
orang),
Yesus
berkata kepada murid-muridNya (Russel,et al., 2003) ”jadi sekarang, karena Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, telah mmbasuh kakimu, maka kamupun wajib saling membasuh kakimu. Aku tela memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Aku perbuat kepadamu”. Sebagai servant leadership (kepemimpinan melayani), Yesus memberikan keteladanan dalam sifat maupun perilaku, yaitu sifat rendah hati (humillity), sesuai
dengan
dimensi
servant
leadership
(kepemimpinan melayani) pendapat (Patterson: 2003), dimensi
yang
lain
dari
servant
leadership
(kepemimpinan melayani) disebutkan oleh Russel dan Stone
(Patterson:
2003)
yakni
perilaku
(modeling) sesuai dengan teladan Yesus.
teladan
Yesus juga mengajarkan bahwa hukum yang terutama ada dua hal (Matius 22 ayat 37-39; Markus 12 ayat 30-31; dan Lukas 10 ayat 27) yaitu: ”Kasihilah Tuhan, Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua yang sama itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”. Dalam ungkapan ayat ini Yesus bemaksud bahwa kedua hukum ini sama pentingnya, yaitu hukum yang sama pentingnya dengan hukum yang pertama , karena mengasihi Allah berarti menuruti perintah Allah, yaitu mengsihi sesam manusia. Hal ini sesuai dengan yang tertulis dalam Kitab Injil, di mana diungkapkan : ”Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah Ku” (Yohanes 14 ayat 15). ”Barangsiapa memegang perintah Ku dan melakukannya dilah yang mengasihi Aku” (Yohanes 14 ayat 21). Hal ini berrti bahwa orang yang mengasihi Tuhan, juga wajib mengasihi sesamanya. Untuk itu Patterson
(2003)
menjadikan
”Kasih”
sebagai
karakteristik dari servant leadership (kepemimpinan melayani), hal ini berarti (Yohanes pasal 14, ayat 15 & ayat 21) dalam penelitiannya menekankan melihat bahwa
orang
yang
mengasihi
Tuhan,
juga
wajib
mengasihi sesamanya. Lebih lanjut ”Kasih” sebagai karakteristik dari servant leadership (kepemimpinan melayani) yang mendasar atau paling utama, dan diakhiri dengan ”Pelayanan” (Patterson: 2003). Jadi dari dimensi-dimensi tersebut Patterson menjadikan model yang sesuai dengan nila-nilai yang diajarkan oleh Yesus (nilai-nilai Kristiani), yaitu hukum yang terutama adalah mengasihi sesama manusia. Terkandung dalam nilai-nilai kecerdasan spritual yang oleh Suyanto (2005) sebagimana dikutip dalam Maria (2006) menyebutkan seperti
:
kebenaran,
kepedulian,
kejujuran,
kerjasama,
kesederhanaan,
kebebasan,
pengertian,
tanggung jawab, tenggangrasa, integritas, rasa percaya, kerendahan
hati,
keseimbangan.
kesetiaan,
Kepemimpinan
keadilan, bukanlah
dan posisi,
melainkan kombinasi antara karakter dan semua yang dilakukan atau kemampuan.
2.5 Motivasi Pelayanan 2.5.1 Makna Pelayanan menurut Alkitab Secara
etimologi,
kata
”pelayanan”
memiliki
makna yang amat kompleks. Istilah pelayanan yang dipakai
gereja
dapat
diterima
dalam
kehidupan
bergereja. Kata pelayanan digunakan oleh perjanjian
baru dalam bahasa yunani ada empat macam kata yang digunakan yakni ; diakoneo, douleo, leitourgeo, dan latreuo. Diakone (diakonia)
secara
harafia
istilah
ini
digunakan untuk menyediakan makanan di meja untuk majikan. Namun di Lukas 22: 26 & 27 memberi arti baru bahwa diakone, yaitu melayani orang yang justru lebih rendah kedudukannya. Lebih lanjut dijelaskan 1 Petrus 4: 10 memberikan pemaknaan bahwa, kata diakone berarti menggunakan karisma yang dimiliki untuk melayani kepentingan dan kebaikan orang lain (Andar
Ismail,
2012).
Diakone
digunakan
untuk
pemaknaan pelayanan gereja, (Patison: 1998). Douleo (dulos = budak) dalam artian melayani sebagai hamba. Berarti sama sekali tidak memiliki kepentingan sendiri. Dijelaskan
dalam
suatu
pernyataan
yang
tajam
diperlihatkan di (Filipi 2:5-7). Diartikan bahwa Yesus yang walaupun mempunyai rupa Allah namun, telah mengosongkan diri-Nya dan mengambil rupa seorang budak atau menjadi sama dengan manusia. Yesus mau merendahkan diri-Nya dan menjadi sama dengan manusia. Leitourgeo diartikan bekerja untuk kepentingan orang banyak atau kepentingan umum, sebgai lawan dari bekerja untuk kepentingan diri sendiri. Untuk itu
seluruh kehidupan ini patut menjadi pribadi yang lebih rendah diri (filipi 2), dengan demikian membawa orang percaya
menjadi
murid
Tuhan.
Latreuo
dalam
perjanjian baru (Matius 4:10; Kisah Para Rasul 7:7) kata digunakan dalam arti menyembah atau beribadah pada Tuhan. Penggunaan yang mencolok terdapat (Roma 12: 1) di mana Paulus berpesan supaya agar setiap
orang
dapat
mempersembahkan
tubuhnya
kepada Tuhan sebagai persembahan yang berkenan kepada-Nya. Berbagai kata yang digunakan oleh gereja dengan arti pelayanan, mengabdi atau menghamba kepada Tuhan dan bukan kepada orang lain. Pola hidup yang bukan lagi hidup untuk diri sendiri melainkan hidup untuk Tuhan dan untuk orang lain. Dorongan untuk melayani Tuhan dan orang lain darinya adalah karena Yesus sendiri sudah melayani kita. Tujuan hidup-Nya bukanlah untuk mendapatkan pelayanan, melainkan untuk memberi pelayanan. Isi hidup-Nya bukanlah dilayani, melainkan melayani. Menurut
Calvin
sebagaimana
dikutip
dalam
tulisan dalam Ismail (2012) melihat bahwa setiap pelayanan adalah penetapan dan panggilan dari Allah. Dalam bukunya, institutio pengajaran agam kristen, menulis bahwa, Tuhan menetapkan tugas-tugas bagi
setiap
orang
yang
menurut
jalan
hidupnya
masing-masing. Dan masing-masing jalan hidup itu dinamakan-Nya
panggilan.
Pengakuan
bahwa
pelayanan adalah panggilan dari Tuhan mengandung beberapa implikasi. Calvin menulis, setiap orang diberi jalan oleh Tuhan jalan hidup sendiri-sendiri artinya, Tuhan
menempatkan
setiap
orang
pada
suatu
tanggung jawab tertentu. Artinya setiap pribadi harus setia,
berakar
dan
bertumbuh
dalam
setiap
panggilannya. Calvin juga menulis tidak sembrono, melampaui batas, melebih panggilannya, artinya setiap pribadi tahu
betul
apa
deskripsi
dan
defenisi
tugasnya.
Selanjutnya Calvin berpendapat bahwa setiap pribadi mengaku pelayanan sebagai panggilan dan penugasan dari Tuhan. Dengan demikian pimpinan dan kekuatan untuk pelayanan itu, bagi setiap orang kesusahan, kesulitan dan beban-beban berat lainnya akan lebih ringan bila Tuhan menjadi pembimbing bagi semua proses
pelayanan.
Yang
terpenting
panggilan
itu
dijalankan dengan taat dan sukacita. Kepelbagaian panggilan bukanlah soal tinggi dan rendah, melainkan soal
saling
membutuhkan
sebagai mitra Allah.
dan
saling
melengkapi
2.5.2 Definisi Motivasi Pelayanan Secara umum motivasi diartikan sebagai faktor yang timbul dalam diri seseorang, sehingga hal itu mendorong dan menggerakkannya untuk melakukan sesuatu perbuatan atau tindakan, untuk mencapai satu
tujuan
tertentu.
Kini
dan
Hobson
(2002)
berpendapat motivasi sebagai suatu kesatuan proses yang membangkitkan, mengarahkan, dan memelihara perilaku kearah pencapaian tujuan. Dalam penelitian Lucia (2009), motivasi berfungsi sebagai pendorong timbulnya
suatu
tindakan.
Pengarah
yakni
mengarahkan perbuatan dalam pencapaian tujuan yang
diinginkan.
Dan
sebagai
penggerak
yakni
menentukan semangat seseorang untuk menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya. Berdasarkan paparan pengertian pelayanan dan motivasi dapat disimpulkan bahwa, motivasi pelayanan merupakan dorongan yang timbul dari dalam diri induvidu secara internal, untuk melakukan panggilan pelayanan
demi
melayani
pelayanan-Nya.
Hal
ini
dilakukan atas dasar pengakuan Tuhan Yesus lebih dulu melayani kita dan merendahkan diri-Nya menjadi sama dengan manusia. Dengan demikian Tuhan Yesus menempatkan bertanggung
masing-masing jawab
dalam
pribadi
pelayanannya.
untuk Dalam
dorongan pribadi itulah sesorang mampu setia, berakar dan
bertumbuh sesuai
dengan
amanat-Nya.
Agar
mampu mengarahkan setiap pribadi hidup dalam kasih Yesus Kristus. Berarti lebih mengorbankan kepentingan pribadi dan mengutamakan kepentingan pelayanan. Menurut
penelitian
pelayanan
memiliki
perkataan
tidak
perbuatan.
Tulus
sikap hanya
Hendaklah
yang
(2011)
tercermin
perkataan engkau
motivasi
tetapi
menjadi
oleh juga
teladan
(1 Timotius 4:12). Teladan yang mampu menunjukan perbuatan kasih terhadap orang lain, karena pelayanan yang berkualitas serta hidup yang menghadirkan dan berpadanan dengan Injil Kristus. Selain itu menurut (Sitompul: 20011) menambahkan proses keteladanan dapat diwujudkan melalui, mengahargai waktu, dengan bijak memanfaatkan waktu yang ada demi melakukan pelayanan tanpa mengorbankan orang lain. 2.5.3 Karakteristik dalam mengembangkan Motivasi Karakteristik individu untuk mengembangkan motivasi seperti dikemukakan McClelland sebagaimana dikutip dalam Mangkunegara (2005) adalah sebagai berikut : (1) memiliki tingkat tanggung jawab individu yang tinggi, (2) berani mengambil resiko, (3) memiliki tujuan yang realistik, (4) memiliki rencana kerja yang
menyeluruh
dan
berjuang
untuk
merealisasikan
tujuan, (5) memanfaatkan umpan balik yang dilakukan, dan (6) mempunyai peluang untuk merealisasikan rencana yang telah diprogramkan. Bahwa karakteritik ini dibutuhkan agar setiap individu memiliki hubungan baik dan dapat membangun relasi denga semua orang. Artinya relasi dengan yang menjadi patner individu bekerja tapi juga orang yang dilayaninya.
2.6 Komitmen Pelayanan Dalam tulisan Bobby (2008) melihat komitmen yang diartikannya pada nats alkitab (Kolose 3: 23-24) dan
(1
Korintus
15:58).
Untuk
itu
menurutnya
komitmen adalah janji setia, tekad atau ketetapan yang kuat untuk melakukan sesuatu yang disertai dengan tanggung jawab. Artinya komitmen akan membuat suatu
janji
tanggung
dapat
jawab
dipercaya
dan
tekad
karena untuk
adanya
rasa
melakukannya.
Menurutnya dalam arti yang luas, komitmen menunjuk pada
adanya
tekad
untuk
setia
pada
sesuatu
(organisasi, perusahaan atau juga gereja dsb). Tetapi Sutisna (2009), berpendapat bahwa secara sederhana melihat komitmen ini berarti perjanjian untuk melakukan sesuatu baik dengan diri sendiri,
orang lain, atau juga suatu organisasi (gereja), maupun dengan Tuhan. Komitmen juga dapat diartikan sebagai pernyataan kehendak atau janji untuk dengan setia melakukan sesuatu yang telah diputuskan. Dengan demikian
berkomitmen
jelas
membutuhkan
pengorbanan dan pengabdian. Dalam pengertian ini menurutnya Rasul Paulus adalah contoh yang paling sederhana untuk menjadi teladan dan panutan dalam pelayanannya. Lebih lanjut dijelaskan mengacu pada Rasul Paulus maka komitmen dalam pelayanan adalah suatu
keharusan
atau
wajib
hukumnya
karena
sejatinya, (1) komitmen adalah dasar bagi seseorang untuk terlibat dalam pelayanan dan (2) kesetiaan seseorang dalam pelayanan tergantung bagaimana orang tersebut memegang komitmennya di hadapan Allah. Menurut Barna (2010) yang menyatakan bahwa komitmen merupakan kebergantungan setiap manusia kepada Allah, dikarenakan manusia harus bersandar sepenuhnya pada firman dan penyertaan-Nya. Lebih lanjut
dijelaskan
bahwa,
komitmen
merupakan
kebulatan hati mengabdikan diri untuk melayani-Nya, dengan
segenap
hati,
pikiran,
kekuatan,
demi
kecintaannya terhadap pelayanan. Sedangkan menurut Sitompul (2011) pelayanan bukan untuk melayani
Tuhan, melainkan melayani sesama manusia karena Tuhan telah menugaskan manusia. Sikap menerima tugas
berarti
bertanggung
jawab,
yakin
menjalankannya sesuai dengan perintah atau petunjuk disampaikan. Dapat
disimpulkan
komitmen
pelayanan
mengandung unsur janji, kesetiaan, bahwa apa yang diputuskan itu merupakan tekat atau kebulatan hati seseorang dalam melakukan pelayanan. Hal lain yang perlu diperhatikan bertanggung jawab kepada apa yang lakukan,
berpadanan
dengan
apa
yang
dikehendaki-Nya. 2.7
Komponen Dan Tiga Aspek Terdapat Dalam Komitmen Menurut
Steer
(1985)
menyatakan
bahwa
komitmen terhadap organisasi memiliki dua komponen yaitu
sikap
dan
kehendak
untuk
berperilaku.
Komponen sikap mencakup: (a) identifikasi dengan organisasi yaitu penerimaan tujuan organisasi; (b) keterlibatan
dalam
peran
dan
tanggung
jawab
pekerjaan dalam organisasi; dan (c) kehangatan, dan loyalitas termaksud
terhadap kehendak
organisasi. untuk
sedangkan berperilaku
yang adalah
kesediaan untuk menampilkan usaha, yang meliput :
(1) kesediaan untuk bekerja melebihi yang diharapkan agar organisasi dapat maju, sehingga individu akan ikut memperhatikan nasib organisasi; dan (2) adanya keinginan untuk tetap berada dalam organisasi, yaitu individu hanya memiliki sedikit alasan untuk keluar dari organisasi dan berkeinginan untuk bergabung dengan organisasi dalam waktu yang lama. Selanjutnya Mowday,et al., dalam tulisan Lucia, (2009) menyatakan bahwa terdapat tiga aspek utama dari komitmen organisasi yaitu : (1) Identifikasi dimaksudkan, terwujud dalam bentuk kepercayaan anggota terhadap organisasi. identifikasi mencakup kepercayaan yang penuh atas nilai-nilai dan tujuan organisasi yang membuat anggota dengan rela menyumbangkan
sesuatu
bagi
tercapainya
tujuan
organisasi karena anggota menerima tujuan organisasi yang
dipercayai
telah
disusun
demi
memenuhi
kebutuhan pribadi anggota organisasi. Hal ini terlihat dari sikap menyetujui kebijakan-kebijakan organisasi, serta adanya kebanggaan menjadi bagian organisasi. (2) Keterlibatan, dalam
keterlibatan
aktivitas-aktivitas
atau
partisipasi
organisasi.
anggota adanya
keterlibatan menyebabkan anggota akan mau dan senang bekerja sama dengan teman kerja dalam melakukan
tugas.
Keterlibatan
yang
tinggi
menyebabkan tingkat kehadiran yang semakin tinggi juga. (3) Loyalitas bahwa, individu dengan komitmen organisasi yang tinggi merasakan adanya rasa adanya rasa setia dan memiliki organisasi. Loyalitas terhadap organisasi memiliki makna kesediaan individu untuk melanggengkan hubungan dengan organisasi, perlu pengorbanan kepentingan pribadinya tanpa apapun. Hal
ini
berarti
adanya
kesediaan
anggota
untuk
mempertahankan dan memelihara keanggotaan dalam organisasi.
2.8 Pengembangan Hipotesis 2.8.1 Pengaruh Servant leadership (kepemimpinan melayani) terhadap Motivasi Pelayanan. Menurut Anoggara (2001) berpendapat bahwa salah
satu
faktor
yang
mempengaruhi
seseorang
bekerja adalah faktor motivasi. Dalam artian dengan memotivasi
bawahan,
maka
pemimpin
dapat
membimbing dan mendorong anggotanya untuk bekerja lebih
baik.
Tugas
seorang
pemimpin
meliputi
memotivasi pengikutnya dan menciptakan kondisi yang menyenangkan (Yulk: 2010).
dalam
melaksanakan
pekerjaan
Hasil
penelitian
mengenai
kepemimpinan
berpengaruh terhadap motivasi. Dilakukan oleh, Bront Kark,et
al.,
(2007);
Mengemukakan
bahwa
Anderson,et
al.,
kepemimpinan
(2009).
mempunyai
pengaruh dan memainkan peran penting terhadap motivasi diri dari pengikutnya. Begitupun dengan penelitian
Smith,
Monlango,
Kuzmenko
(2004)
menunjukan bahwa, servant leadership (kepemimpinan melayani) diarahkan untuk memotivasi pertumbuhan pribadi
pengikut
atau
anggotanya.
selanjutnya
menurut
Patterson
leadership
(kepemimpinan
Pendapat
(2003)
servant
melayani)
dengan
menanamkan nilai cinta-kasih terhadap pengikutnya, maka
akan
berpengaruh
terhadap
motivasi
yang
muncul dalam diri pengikutnya untuk melayani. Diduga
kuat
bahwa
servant
leadership
(kepemimpinan melayani) itu juga merupakan sebagai salah satu bagian dari kepmimpinan, yang dapat memotivasi para penatua dan diaken dalam melakukan pelayanannya.
Berdasarkan
uraian
di
atas
maka
hipotesis satu yang dikemukakan adalah; H1 : Servant leadership (kepemimpinan melayani) berpengaruh
signifikan
terhadap
pelayanan dari Majelis Jemaat.
motivasi
2.8.2 Pengaruh Motivasi Komitmen Pelayanan
pelayanan
terhadap
Menurut Siagian (2007) bahwa motivasi adalah daya
pendorong
yang
mengakibatkan
seseorang
anggota organisasi mau dan rela untuk menggerakkan kemampuan dalam bentuk keahlian atau keterampilan, tenaga
dan
waktunya.
Untuk
menyelenggarakan
berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan menunaikan kewajibannya, dalam rangka pencapaian tujuan dan sasaran organisasi yang telah ditentukan. Namun
menurut
McNeese–Smith,
et
al.,
(1995)
menyatakan bahwa, dengan motivasi yang tinggi akan menciptakan sebuah komitmen terhadap apa yang menjadi
tanggung
jawabnya
dalam
menyelesaikan
setiap pekerjaan atau tugas. Pendapat ini didukung oleh beberapa penelitian antara lain, Jae (2000) serta Burton, et al., (2002) hasil menunjukan
bahwa
terdapat
motivasi
anggota
organisasi berpengaruh signifikan terhadap komitmen organisasi. Pendapat selanjutnya penelitian Bard (2006) sebagimana
mengutip
Furthermore,
Ganesan
and
Weitz, berpendapat bahwa ada hubungan positif antara motivasi dan komitmen yang lebih terikat dengan induvidu yang timbul dari dalam dirinya.
Motivasi pelayanan merupakan proses melayani tanpa pamrih dengan resiko yang harus diterima. Akibat dari berkomitmen dalam pelayanan terkadang menimbulkan perasaan bersalah atau rasa berdosa karena lalai dalam melakukan tugas pelayanan pada diri
individu
yang
melayani.
Motivasi
pelayanan
merupakan sebuah panggilan atau kerja rohani atau spiritual yang dapat membuat induvidu berkomitmen. Berbeda dengan motivasi kerja dimana ada aturanaturan kerja organisasi atau perusahaan, ada sangsisangsi yang akan membuat anggota organisasi harus berkomitmen. Selain itu, ada pula perlakuan-perlakuan atas peraturan yang dibuat oleh organisasi salah satu contoh yakni, kenaikan gaji atau gaji dipotong akibat tidak masuk kerja atau terkenal sanksi-sanksi mental. Tetapi berbeda dengan gereja, tidak ada yang memuat peraturan (sanksi-sanksi dll), yang mengikat individu dalam melakukan pelayanan. Harus dipahami bahwa motivasi pelayanan berarti melayani karena terpanggil
atau
melakukan
pertanggung
jawaban
imannya kepada Tuhan. Agar hidup yang di jalani lebih baik dan mampu membangun relasi dengan sesama dan juga dengan Tuhan. Jika motivasi pelayanan tinggi, maka
akan
memiliki
kesadaran
tentang
sebuah
panggilan untuk melayani, yang diduga akan berakibat mempunyai komitmen yang tinggi pula. Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis kedua yang dikemukakan adalah ; H2
:
Motivasi terhadap
pelayanan komitmen
berpengaruh pelayanan
signifikan
dari
Majelis
jemaat 2.8.3 Peranan Motivasi sebagai variabel pemediasi antara Servant leadership (kepemimpinan melayani) dan komitmen. Motivasi pelayanan setiap individu harus jelas dan tidak bisa diukur dengan materi, karena motivasi pelayanan
merupakan
pengabdian
individu.
Ini
merupakan arti pentingnya variabel motivasi pelayanan sebagai faktor pemediasi. Bahwa kepemimpinan secara umum akan mempengaruhi komitmen, namun akan mempengaruhi motivasi
motivasi.
pelayanan
Konteks
lebih
banyak
dalam
gereja,
muncul
dari
kesadaran induvidu secara internal. Sebab hal ini akan meningkatkan kehidupan rohani seseorang sebagai wujud
suatu
panggilan
yakni
melayani.
Dengan
demikian, motivasi pelayanan yang seperti itu akan menjadi
perantara
pengaruh
antara
gaya
kepemimpinan pendeta terhadap komitmen pelayanan individu. Jadi yang terpenting
dalam konteks ini adalah
motivasi pelayanan harus ada dulu, baik dari dalam diri
individu
maupun
termotivasi
oleh
servant
leadership (kepemimpinan melayani) pendeta. Jadi motivasi pelayanan akan lebih kuat karena, motivasi pelayanan lebih memberi diri melayani dengan setia tanpa
harus
memikirkan
resiko
apa
yang
akan
diterima. Hal tersebut akan berbeda bila, individu tidak bisa
berkomitmen
kalau
tidak
memiliki
motivasi
pelayanan yang muncul dari pemahaman yang baik. Diduga kuat bahwa servant leadership (kepemimpinan melayani) terhadap komitmen tidak berpengaruh secara langsung namun harus melalui motivasi pelayanan. Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis ketiga yang dikemukakan adalah: H3 : Peranan Motivasi pelayanan sebagai variabel mediasi
antara
(kepemimpinan pelayanan.
Servant
melayani)
dan
leadership komitmen
2.9 Model Penelitian Gambar 2.1 Kerangka Model Penelitian