BAB II LANDASAN TEORI
II.1
Pengantar Pajak
II.1.1 Pengertian Pajak Pengertian pajak dapat diterangkan melalui beberapa definisi : Menurut Soemitro yang dikutip Mardiasmo (2008), “Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”(h.1). Menurut Soemahamidjaja seperti dikutip B.Ilyas dan Burton (2004) “Pajak adalah iuran wajib , berupa uang / barang , yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa dalam mencapai kesejahteraan umum” (h.5). Menurut Feldmann yang diterjemahkan oleh Waluyo (2005), ”Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut normanorma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum”(h.2). Dari berbagai definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki ciri-ciri: 1. Merupakan iuran rakyat kepada negara. 2. Dipungut berdasarkan undang-undang. 3. Tidak ada jasa timbal (kontra prestasi) dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk 4. Dapat dipaksakan. 7
5. Digunakan untuk membayar pengeluaran umum yang bermanfaat untuk masyarakat.
II.1.2 Pengelompokan dan Tarif Pajak Sukardji (2006) mendefenisikan Pengelompokan Pajak terdiri dari Pajak Langsung dan Pajak Tidak Langsung : Pajak Langsung adalah pajak yang beban pajaknya tidak bisa diserahkan /dialihkan kepada pihak lain. Pajak Tidak Langsung adalah pajak yang beban pajaknya dapat dipindahkan/dialihkan kepada pihak lain. Mardiasmo (2008) mengemukakan Tarif pajak terdiri dari: 1. Tarif Proporsional Tarif Proporsional adalah tarif berupa persentase yang tetap, terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak. 2. Tarif Progresif Tarif Progresif adalah tarif pajak dengan persentase semakin besar, bila dasar pengenaan pajaknya semakin besar. 3. Tarif Degresif adalah tarif pajak dengan persentase semakin kecil, bila dasar pengenaan pajaknya bertambah besar. Tarif Degresif ini tidak dipakai dalam sistem perpajakan Indonesia. 4. Tarif Tetap adalah tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap.
8
II.1.3 Sistem Pemungutan Pajak Mardiasmo (2008) mengemukakan “ Sistem pemungutan pajak” adalah: 1. Self Assessment adalah suatu sistem pemungutan pajak dimana wajib pajak menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang. 2. Official Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. 3. With Holding System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
II.2
Pengantar Pajak Pertambahan Nilai
II.2.1 Pengertian Pajak Pertambahan Nilai Menurut Rusjdi (2007) “Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dipungut berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 merupakan pajak yang dikenakan terhadap pertambahan nilai (value added) yang timbul akibat dipakainya faktor-faktor produksi di setiap jalur” (h.4). Menurut B.Ilyas dan Suhartono (2007) ”Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan terhadap nilai tambah suatu barang atau jasa dari kegiatan ekonomi di suatu negara, yang didalam Undang-undang disebut daerah pabean” (h.5).”
9
II.2.2 Dasar Hukum Pajak Pertambahan Nilai Sukardji (2006) mendefinisikan Dasar Hukum Pajak Pertambahan Nilai adalah: Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang lebih dikenal dengan nama UU Pajak Pertambahan Nilai 1984 merupakan salah satu pengganti UU Nomor 19 Tahun 1951 Drt. jo UU Nomor 35 Tahun 1953 tentang Pajak Penjualan, UU PPN 1984 ini mulai berlaku, Undang-undang ini mengalami dua kali perubahan. Perubahan yang pertama dilakukan dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995, sedangkan perubahan yang kedua dilakukan dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2001. Adapun tujuan perubahan ini sebagaimana ditegaskan dalam konsideran filosofis UU Nomor 18 Tahun 2000 adalah: a) Lebih meningkatkan kepastian hukum dan keadilan; b) Menciptakan sistem perpajakan yang sederhana dengan tanpa mengabaikan pengawasan dan pengamanan penerimaan negara. Meskipun UU Nomor 8 Tahun 1983 untuk yang kedua kalinya dengan UU Nomor 18 Tahun 2000, nama Undang-undang ini tidak mengalami perubahan, karena: 1) Pasal 20 UU Nomor 8 Tahun 1983 yang berbunyi: “ Undang-undang ini dapat disebut dengan nama Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984”tidak diubah, dan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 14 ayat (1) UU Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 16 Tahun 2000, menyebut UU Nomor 8 Tahun 1983 yang telah diubah ini “ Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984”.
10
2) Sesuai dengan bunyi konsiderans UU Nomor 11 Tahun 1994 dan UU Nomor 18 Tahun 2000 bahwa pengundangan undang-undang ini dimaksudkan untuk mengubah UU Nomor 8 Tahun 1983, jadi bukan untuk menggantikan kedudukannya. 3) Pasal III UU Nomor 18 Tahun 2000 menentukan: “ Undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Perubahan Kedua Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984”. UU ini menyebut UU PPN dengan nama UU PPN 1984.
II.2.3 Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai Keberadaan Pajak Pertambahan Nilai sebagai pengganti Pajak Penjualan dinilai memiliki beberapa karakteristik positif. Terra seperti dikutip oleh Sukardji (2006) mengemukakan, “Karakteristik (legal character) Pajak Pertambahan Nilai secara umum adalah: a. General Tax on Consumption; b. Indirect Tax; c. Neutral; d. Non cumulative” (h.18). Mengacu pada pendapat Sukardji (2006), jika argumen tersebut dikaitkan dengan karakteristik Pajak Pertambahan Nilai yang ada di Indonesia, maka dapat dirinci sebagai berikut : a. Pajak Pertambahan Nilai merupakan Pajak Tidak langsung Karakter ini memberikan suatu konsekuensi yuridis bahwa antara pemikul beban pajak (destinataris pajak) dengan penanggung jawab atas pembayaran pajak ke kas negara berada pada pihak yang berbeda.
Pemikul beban pajak ini secara nyata
berkedudukan sebagai pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak. 11
Sedangkan penanggung jawab atas pembayaran pajak ke kas negara adalah Pengusaha Kena Pajak yang bertindak selaku penjual Barang Kena Pajak atau Pengusaha Jasa Kena Pajak.
Oleh karena itu apabila terjadi penyimpangan
pemungutan Pajak Pertambahan Nilai, Administrasi Pajak (fiskus) akan meminta pertanggungjawaban kepada penjual Barang Kena Pajak atau Pengusaha Jasa Kena Pajak tersebut, bukan kepada pembeli, walaupun pembeli kemungkinan juga berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak. b. Pajak Objektif Yang dimaksud dengan pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor objektif, yaitu adanya taatbestand. Taatbestand adalah keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak yang juga disebut dengan nama objek pajak.
Sebagai Pajak Objektif,
timbulnya kewajiban untuk membeyar Pajak Pertambahan Nilai ditentukan oleh adanya objek pajak. c. Multi Stage Tax Multi Stage Tax adalah karakteristik Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi. Setiap penyerahan barang yang menjadi objek Pajak Pertambahan Nilai mulai dari tingkat pabrikan (manufacturer) kemudian di tingkat pedagang besar (wholesaler) dalam berbagai bentuk atau nama sampai dengan tingkat pedagang pengecer (retailer) dikenakan Pajak Pertambahan Nilai d. Pajak Pertambahan Nilai Terutang Dibayar ke Kas Negara Dihitung Menggunakan Indirect Subtraction Method/ Credit Method/ Invoice Method.
12
Pajak yang dipungut oleh PKP Penjual tidak secara otomatis dibayarkan ke kas negara. Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dibayar ke kas negara merupakan hasil penghitungan mengurangkan Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar kepada PKP lain (Pajak Masukan) dengan Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut dari pembeli atau penerima jasa yang dinamakan dengan Pajak Keluaran (output tax). Pola ini dinamakan dengan pengurangan tidak langsung (indirect subtraction method). Pajak yang dikurangkan dengan pajak yang untuk memperoleh jumlah pajak yang dibayar ke kas negara dinamakan tax credit, oleh karena itu pola ini dinamakan dengan metode pengkreditan (credit method). Mekanisme pemungutan Pajak Pertambahan Nilai juga mutlak memerlukan Faktur Pajak sebagai dokumen yuridis untuk membuktikan kebenaran jumlah Pajak Masukan dan Pajak Keluaran, sehingga metode ini juga dapat dinamakan invoice method. e. Pajak atas Konsumsi Umum Dalam Negeri. Pajak Pertambahan Nilai hanya dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan di dalam negeri. Oleh karena itu, komoditi impor juga dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dengan persentase yang sama dengan produk domestik. f. Bersifat Netral. Netralitas Pajak Pertambahan Nilai dibentuk oleh beberapa faktor yaitu: 1. Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas konsumsi baik barang maupun jasa. 2. Adanya prinsip pemungutan berdasarkan tempat asal (origin principle) . 3. Dalam hal perdagangan internasional, Pajak Pertambahan Nilai menganut prinsip pemungutan yaitu prinsip tempat tujuan (destination principle). g. Tidak Menimbulkan Pengenaan Pajak Berganda. 13
Dampak pengenaan pajak berganda dapat dihindari karena Pajak Pertambahan Nilai dipungut atas nilai tambahnya saja. Adapun yang dimaksud dengan nilai tambah (added value) adalah suatu nilai yang merupakan hasil penjumlahan biaya produksi atau distribusi yang meliputi penyusutan, bunga modal, gaji atau upah yang dibayarkan, sewa telepon, listrik, serta
pengeluaran lainnya, dan laba yang
diharapkan oleh pengusaha. Secara sederhana nilai tambah di bidang perdagangan dapat juga diartikan sebagai selisih antara harga jual dengan harga beli barang dagangan.
II.2.4 Kelebihan dan Kekurangan Pajak Pertambahan Nilai Dari karakteristik yang ada, dapat dikemukakan bahwa Pajak Pertambahan Nilai memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh Pajak Penjualan. Namun sebagai suatu sistem, ternyata di dalam mekanisme Pajak Pertambahan Nilai juga terdapat kekurangan. Sukardji (2006) menerangkan, Kelebihan dan kekurangan Pajak Pertambahan Nilai diantaranya: 1. Kelebihan Pajak Pertambahan Nilai : a. Mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda. b. Bersifat netral dalam perdagangan dalam dan luar negeri. c. Membantu likuiditas perusahaan, karena Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan barang modal dapat diperoleh kembali pada bulan perolehan sesuai dengan tipe konsumsi (consumption type VAT) dan metode pengurangan tidak langsung (indirect subtraction method). d. Ditinjau dari sumber pendapatan negara, Pajak Pertambahan Nilai mendapat predikat sebagai money maker karena konsumen selaku pemikul beban pajak 14
tidak merasa dibebani oleh pajak tersebut sehingga memudahkan fiskus untuk memungutnya. 2. Kekurangan Pajak Pertambahan Nilai : a. Biaya Administrasi relatif tinggi bila dibandingkan dengan Pajak Tidak Langsung Lainnya, baik di pihak administrasi maupun di pihak Wajib Pajak. b. Menimbulkan dampak regresif, yaitu semakin tinggi tingkat kemampuan konsumen, semakin ringan beban pajak yang dipikul, sebaliknya semakin rendah kemampuan konsumen semakin berat beban pajak yang dipikul. Dampak ini timbul sebagai konsekuensi karakteristik Pajak Pertambahan Nilai sebagai pajak objektif. c. Pertambahan Nilai relatif rentan dari upaya penyelundupan pajak. Kerentanan ini ditimbulkan sebagai akibat dari mekanisme pengkreditan yang merupakan upaya memperoleh kembali pajak yang dibayar oleh pengusaha dalam bulan yang sama tanpa terlebih dahulu melalui prosedur administrasi fiskus. d. Pajak Pertambahan Nilai menuntut tingkat pengawasan yang lebih cermat dari administrasi pajak terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.
II.2.5 Mekanisme Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Gunadi (2002) menulis, “Mekanisme
pemungutan Pajak Pertambahan Nilai
berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 adalah: 1. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai dari pembeli/penerima Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bersangkutan sebesar 10% dari harga 15
jual/penggantian, sebagai bukti pemungutan Pajak Pertambahan Nilai, Pengusaha Kena Pajak tersebut membuat Faktur Pajak. 2. Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalam Faktur Pajak tersebut merupakan Pajak Keluaran (output tax), yang merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dan wajib dipungut oleh penjual Barang Kena Pajak/ Jasa Kena Pajak. 3. Pada waktu Pengusaha Kena Pajak di atas melakukan pembelian/perolehan Barang Kena Pajak/ Jasa Kena Pajak, Pengusaha Kena Pajak tersebut akan dipungut Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10% dari jumlah yang dibayar atau seharusnya dibayar, Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar tersebut bagi Pengusaha Kena Pajak pembeli merupakan Pajak Masukan (input tax). 4. Dalam setiap masa pajak (setiap bulan), jumlah Pajak Masukan yang dibayar diperhitungkan dengan Pajak Keluaran
dipungut. Selisih yang terjadi (Pajak
Keluaran lebih besar dari Pajak Masukan) harus disetor ke Kas Negara selambatlambatnya tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak. Sebaliknya, apabila jumlah Pajak Masukan yang dibayar lebih besar dari Pajak Keluaran yang dipungut, maka selisih tersebut harus dimintakan kembali (restitusi) atau dikompensasikan ke masa pajak berikutnya. 5. Pengusaha Kena Pajak wajib menyampaikan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai sebagai sarana pelaporan perhitungan dan pembayaran pajak Pajak Pertambahan Nilai ke Kantor Pelayanan Pajak dimana Pengusaha Kena Pajak tersebut terdaftar selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak” (h.1).
16
II.2.6 Subjek dan Objek Pajak Pertambahan Nilai Subjek PPN Sukardji (2006) mengemukakan “ Subjek Pajak Pertambahan Nilai” dapat dikelompokan menjadi 2 : 1. Pengusaha Kena Pajak a. Melakukan penyerahan BKP dan/ atau JKP yang dapat dikenakan PPN adalah Pengusaha Kena Pajak (Pasal 4 huruf a dan huruf c jo Pasal 1 angka 15 UU PPN 1984 jo Pasal 2 ayat 1 PP Nomor 143 Tahun 2000). b. Mengekspor BKP yang dapat dikenakan PPN adalah Pengusaha Kena Pajak (Pasal 4 huruf f UU PPN 1984). c. Menyerahkan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan adalah Pengusaha Kena Pajak (Pasal 16D UU PPN 1984). d. Bentuk kerja sama operasi yang apabila menyerahkan BKP dan/atau JKP dapat dikenakan PPN adalah Pengusaha Kena Pajak (Pasal 2 ayat 2 PP Nomor 143 Tahun 2000). 2. Bukan Pengusaha Kena Pajak a. Mengimpor BKP (Pasal 4 huruf b UU PPN 1984), b. Memanfaatkan BKP tidak berwujud dan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean (Pasal 4 huruf e UU PPN 1984) c. Membangun sendiri tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaanya (Pasal 16C UU PPN 1984). Objek PPN Sukardji (2006) mengemukakan “ Objek Pajak Pertambahan Nilai “ adalah: Objek atau sasaran dalam pengenaan PPN adalah “Penyerahan”, yang biasanya 17
dikatakan penjualan, namun tidak semua proses penjualan dikenakan pajak. Dalam Pasal 4 Undang-undang No.18 Tahun 2000 menjelaskan tentang objek PPN dikenakan atas: a. Penyerahan BKP yang dilakukan di Daerah Pabean dalam lingkungan atau pekerjaan oleh Pengusaha. b. Penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;. c. Impor Barang Kena Pajak d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; f. Ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak; g. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya akan digunakan sendiri atau digunakan oleh pihak lain; h. Penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan.
II.2.7 Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak Barang Kena Pajak Pengertian Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak didefinisikan: Sukardji (2006) mengemukakan, “Barang Kena Pajak”, menurut pasal 1 huruf c dan huruf b lama UU No 18 Tahun 2000 sebelum 1 Januari 1995, pengertian Barang Kena Pajak dirumuskan sebagai berikut :
18
“Barang Kena Pajak adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak sebagai hasil proses pengolahan barang (pabrikasi) yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang ini”(h.66). Sedangkan dalam Pasal 1 angka 3 dan angka 2 UU No 18 Tahun 2000, pengertian Barang Kena Pajak dirumuskan sebagai berikut: “Barang Kena Pajak adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak maupun barang tidak berwujud yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang”(h.66). Dari rangkaian pengaturan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu penyerahan barang dapat dikenakan PPN apabila memenuhi unsur-unsur: a. Penyerahan Barang Kena Pajak b. Daerah Pabean c. Dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaan d. Yang melakukan harus Pengusaha Kena Pajak. Jasa Kena Pajak Sukardji (2006) mengemukakan “Jasa Kena Pajak” diuraikan menurut UU Nomor 18 Tahun 2000, didefinisikan sebagai berikut: “Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau pembuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan, yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang ini”(h.83). Berdasarkan Pasal 4 huruf c jo Pasal 1 angka 14 dan angka 15 UU No 18 Tahun 2000, kegiatan penyerahan jasa dapat dikenakan PPN sepanjang memenuhi unsur-unsur: 19
a. Penyerahan Jasa Kena Pajak b. Di dalam Daerah Pabean c. Dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya d. Penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak Dalam Pasal 4A ayat (3) Undang-undang Nomor 18 tahun 2000 jo Pasal 5 sampai Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 144 tahun 2000 ditetapkan jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai adalah : a. Jasa di bidang pelayanan kesehatan medik, meliputi: 1. Jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi 2. Jasa dokter hewan 3. Jasa ahli kesehatan seperti akupuntur, ahli gizi, fisioterapi dan sejenisnya 4. Jasa kebidanan, dukun bayi dan sejenisnya 5. Jasa paramedis, perawat dan sejenisnya b. Jasa di bidang pelayanan sosial, meliputi : 1. Jasa pelayanan Panti Asuhan dan Panti Jompo 2. Jasa pemadam kebakaran kecuali yang bersifat komersial 3. Jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan 4. Jasa lembaga Rehabilitasi 5. Jasa pemakaman termasuk krematorium 6. Jasa dibidang olahraga kecuali yang bersifat komersial. 7. Jasa pelayanan sosial lainnya kecuali yang bersifat komersial c. Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko. d. Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi, seperti :
20
1. Jasa perbankan, kecuali jasa penyediaan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga, jasa penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak (perjanjian), jasa wali amanat, serta anjak piutang 2. Jasa asuransi, tidak termasuk broker asuransi 3. Jasa sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi. e. Jasa di bidang keagamaan, meliputi : 1. Jasa pelayanan rumah-rumah ibadah 2. Jasa pemberian khotbah atau dakwah 3. Jasa lainnya di bidang keagamaan. f. Jasa di bidang pendidikan, meliputi ; 1. Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesional 2. Jasa penyelenggaraan pendidikan di luar sekolah seperti kursus-kursus. g. Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang tidak dikenakan Pajak Tontonan termasuk jasa di bidang kesenian yang tidak bersifat komersial h. Jasa di bidang penyiaran meliputi jasa penyiaran radio dan baik yang dilakukan oleh instansi Pemerintah maupun swasta yang bukan bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial. i. Jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air, seperti : jasa angkutan umum di darat, di laut, di danau, dan di sungai yang dilakukan oleh Pemerintah atau swasta.
21
j. Jasa di bidang tenaga kerja, meliputi : Jasa tenaga kerja; Jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut; Jasa penyelengaraan latihan bagi tenaga kerja. k. Jasa di bidang perhotelan, seperti : 1. Jasa persewaan kamar termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, hotel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang mengina 2. Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, hostel, losmen, dan hotel. l. Jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum meliputi jasa-jasa yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah, seperti: pemberian Izin Mendirikan Bangunan, Pemberian Izin Usaha Perdagangan, pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, pembuatan Kartu Tanda Penduduk.
II.2.8 Saat dan Tempat Terutang Pajak Pertambahan Nilai Saat terutang Pajak Pertambahan Nilai diatur dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, yang dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 jo Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002. Berdasarkan dasar hukum tersebut saat terutang Pajak Pertambahan Nilai dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1.
Saat terutang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang bergerak: a. Pada saat barang diserahkan secara langsung kepada pembeli, atau
22
b. Pada saat barang diserahkan secara langsung kepada pihak ketiga atas nama pembeli, atau c. Pada saat barang diserahkan kepada juru kirim atau pengusaha jasa angkutan. 2.
Saat terutang Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang tidak bergerak ditentukan oleh salah satu dari dua perbuatan hukum yang lebih dulu terjadi : a. Pada saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai Barang Kena Pajak secara yuridis, atau b. Pada saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai Barang Kena Pajak secara nyata.
3.
Saat terutang Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud. Pajak terutang pada saat terjadi lebih dahulu dari peristiwa hukum di bawah ini, yaitu: a. Pada saat harga penyerahannya dinyatakan sebagai piutang, atau b. Pada saat dilakukan penagihan, atau c. Pada saat diterima pembayaran baik untuk sebagian maupun seluruhnya termasuk apabila pembayaran diterima sebelum pemanfaatan, atau d. Pada saat ditandatangani kontrak apabila saat terjadinya a sampai dengan c diketahui.
4.
Saat terutang Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Jasa Kena Pajak a. Jasa Pemborong bangunan atau barang tak bergerak lainnya. Pajak terutang pada saat penyerahan Jasa Kena Pajak, sedangkan tahap-tahap (termin) pembayaran diperlakukan sebagai pembayaran diterima sebelum dilakukan penyerahan. 23
b. Jasa Kena Pajak lainnya (selain pemborong bangunan atau barang tak gerak lain) pajaknya terutang saat: 1. Tersedianya barang atau fasilitas untuk dipakai, baik sebagian maupun seluruhnya, atau 2. Dilakukan penagihan pembayaran atau penggantian, atau 3. Pembayaran, dalam hal pembayaran diterima sebelum dilakukan penyerahan. 5.
Saat terutang Pajak Pertambahan Nilai atas impor Barang Kena Pajak Pajak terutang pada saat Barang Kena Pajak dimasukkan ke dalam Daerah Pabean.
6.
Saat terutang Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor Barang Kena Pajak Pajak terutang pada saat Barang Kena Pajak dikeluarkan ke dalam Daerah Pabean.
7.
Pemindahtanganan
aktiva
yang
menurut
tujuan
semula
tidak
untuk
diperjualbelikan dan persediaan Barang Kena Pajak yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, pajak terutang saat ditandatangani akte pembubaran, diketahui bahwa perusahaan tersebut nyata-nyata sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau sudah dibubarkan, berdasarkan hasil pemeriksaan, atau perusahaan tersebut sudah bubar berdasarkan dokumen yang ada. Tempat pajak terutang berdasarkan Pasal 12 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 ditetapkan: a. Tempat tinggal atau tempat kedudukan; b. Tempat kegiatan usaha dilakukan; c. Tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak; d. Tempat Barang Kena Pajak dimasukkan, dalam hal impor; 24
e. Tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha dilakukan dalam hal pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; f. Satu tempat atau lebih yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak sebagai tempat pemusatan pajak terutang atas permohonan tertulis Pengusaha Kena Pajak.
II.2.9 Pemungut Pajak Pertambahan Nilai Pasal 1 angka 27 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 merumuskan pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah Bendaharawan Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak kepada Bendaharawan Pemerintah, badan atau instansi Pemerintah tersebut. Kemudian dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
563/KMK.03/2003,
menunjuk
Bendaharawan
Pemerintah
dan
Kantor
Perbendaharaan dan Kas Negara sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai. Dan Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 11/PMK.03/2005 menunjuk kontraktor perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan minyak gas bumi sebagai pemungut, menyetorkan dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai terutang
II.2.10 Faktur Pajak Berdasarkan Pasal 1 angka 23 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Penyerahan Jasa Kena Pajak atau bukti pungutan pajak karena impor Barang Kena Pajak yang digunakan oleh Direktorat 25
Jenderal Bea dan Cukai. Berdasarkan memori penjelasan Pasal 13 ayat (1) Undangundang Nomor 18 Tahun 2000, Faktur Pajak berfungsi sebagai: a. Bukti pungutan pajak bagi Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dan bagi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; b. Bukti pembayaran pajak ditinjau dari sisi pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak atau orang pribadi atau badan yang mengimpor Barang Kena Pajak; c. Sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan. Berdasarkan memori penjelasan Pasal 13 ayat (1) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, bahwa Faktur Pajak terdiri dari : 1. Faktur Pajak Standar. Berdasarkan Pasal 13 ayat (5) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 disebutkan bahwa dalam Faktur Pajak Standar harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat: a. Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak; b. Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak yang membeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak; c. Jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan harga; d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut; e. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut; f. Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan g. Nama, jabatan, dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
26
Faktur Pajak Standar dibuat paling sedikit dua lembar, lembar pertama merupakan Faktur Pajak Masukan yang diberikan kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak, sedangkan lembar kedua merupakan Faktur Pajak Keluaran sebagai arsip Pengusaha Kena Pajak Penjual atau Pengusaha Kena Pajak pengusaha jasa. 2. Faktur Pajak Gabungan. Berdasarkan Pasal 13 ayat (2) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, Pengusaha Kena Pajak dapat membuat satu faktur pajak yang meliputi seluruh penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak untuk pembeli atau penerima yang sama selama satu Masa Pajak. 3. Faktur Pajak Sederhana. Pasal 1 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-524/PJ./2000, Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dilakukan secara langsung kepada konsumen akhir dan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang tidak diketahui identitasnya dapat membuat Faktur Pajak Sederhana. Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP524/PJ./2000, tanda bukti penyerahan atau pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak sepanjang memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Pasal 2 ketentuan ini dapat diperlakukan sebagai Faktur Pajak Sederhana, yaitu bon kontan, faktur penjualan, segi cash register, kuitansi, atau tanda bukti penyerahan atau pembayaran lain yang sejenis. Menurut Pasal 5 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-524/PJ./2000, Faktur Pajak Sederhana tidak dapat digunakan 27
oleh pembeli Barang Kena Pajak dan atau penerima Jasa Kena Pajak sebagai dasar pengkreditan Pajak Masukan. 4. Dokumen-dokumen tertentu yang ditetapkan sebagai Faktur Pajak Standar oleh Direktur Jenderal Pajak. Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-312/PJ./2001 tanggal 23 April 2001, dokumen yang diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar adalah: a. Pemberitahuan Impor Barang (PIB) dan Surat Setoran Pajak (SSP) untuk Impor Barang Kena Pajak b. Pemberitahuan Ekspor Barang yang telah difiat muat oleh pejabat yang berwenang dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan dilampiri invoice; c. Surat Perintah Pengiriman Barang (SPPB) dari BULOG/ DOLOG untuk penyaluran gula pasir dan tepung terigu; d. Faktur Nota Bon Penyerahan (FNBP) yang dibuat atau dikeluarkan oleh PERTAMINA untuk penyerahan BBM dan/atau bukan BBM; e. Tanda pembayaran atau kuitansi atas penyerahan jasa telekomunikasi; f. Tiket dan surat muatan udara (air waybill), delivery bill, yang dibuat atau dikeluarkan untuk penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri; g. Surat Setoran Pajak untuk pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar daerah Pabean; h. Nota Penjualan Jasa yang dibuat atau dikeluarkan untuk penyerahan jasa kepelabuhanan; i. Tanda pembayaran atau kuitansi listrik.
28
II.3
Penghitungan Pajak Pertambahan Nilai
II.3.1 Tarif Pajak Muljono (2008) mengemukakan besarnya tarif Pajak Pertambahan Nilai dapat dibedakan menjadi : 1. Tarif Umum Tarif yang dikenakan terhadap transaksi Barang Kena Pajak maupun Jasa Kena Pajak secara umum adalah sebesar 10 %. 2. Tarif Ekspor Tarif yang dikenakan terhadap transaksi Barang Kena Pajak maupun Jasa Kena Pajak pada ekspor adalah sebesar 0 %. 3. Tarif Minimal dan Maksimal Tarif PPN dapat diubah minimal 5 % dan maksimal 15 %, Dengan Peraturan Pemerintah tergantung kebutuhan dana dari pemerintah. 4. Tarif Efektif Tarif PPN yang merupakan hasil perkalian tarif umum PPN dengan tarif yang digunakan dalam menentukan DPP PPN. Tarif efektif dikenakan pada berbagai Barang Kena Pajak maupun Jasa Kena Pajak tertentu seperti industri rokok. Atas penyerahan hasil tembakau yang dibuat di dalam negeri oleh Pengusaha Pabrik hasil tembakau atau hasil tembakau yang dibuat di luar negeri oleh importir hasil tembakau dikenakan tarif efektif sebesar 8,4 %.
II.3.2 Dasar Pengenaan Pajak Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 ditetapkan bahwa Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan mengalikan tarif 29
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dengan Dasar Pengenaan Pajak. Menurut Pasal 1 angka 17, angka 18, angka 19, angka 20, dan angka 26 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, Dasar Pengenaan Pajak terdiri dari: 1. Harga Jual. Pasal 1 angka 18 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 memberikan rumusan Harga Jual adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. 2. Penggantian. Pasal 1 angka 19 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 mendefinisikan Penggantian sebagai nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000. 3. Nilai Impor. Pasal 1 angka 19 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 memberikan batasan tentang Nilai Impor sebagai Dasar Pengenaan Pajak adalah nilai berupa uang, yang menjadi dasar perhitungan bea masuk ditambah pungutan-pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan Pabean
untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000. 4. Nilai Ekspor.
30
Nilai ekspor sebagai Dasar Pengenaan Pajak dirumuskan dalam Pasal 1 angka 26 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 sebagai nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau yang seharusnya diminta oleh eksportir. 5. Nilai Lain. Adalah suatu nilai berupa uang yang digunakan sebagai Dasar Pengenaan Pajak bagi penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang memenuhi kriteria tertentu.
II.3.3 Pajak Keluaran Terutang Berdasarkan Pasal 1 angka 25 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak atau ekspor Barang Kena Pajak. Dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 dengan Dasar Pengenaan Pajak yang diatur pada Pasal 1 angka 17, angka 18, angka 19, angka 20 dang angka 26 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000.
II.3.4 Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan Sukardji (2006) menulis, Kriteria umum suatu Pajak Masukan dapat dikreditkan adalah apabila memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut : 1. Memenuhi persyaratan formal yaitu :
31
a. Tercantum dalam Faktur Pajak Standar atau dalam dokumen yang diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; b. Belum dilakukan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 jo Pasal 12 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 jo Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2002. 2. Memenuhi persyaratan materiil yaitu : a. Berhubungan langsung dengan kegiatan usaha melakukan penyerahan kena pajak sebagaimana diataur dalam Pasal 9 ayat (5) jo ayat (8) huruf b Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 ; b. Belum dibebankan sebagai biaya.
II.3.5 Pajak Masukan yang Tidak Dapat Dikreditkan Nasution & Marsyahrul (2008) menjelaskan kriteria Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan berdasarkan Pasal 9 ayat (8) Undang-undang PPN terdiri dari : 1. Pajak Masukan bagi pengeluaran untuk perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. 2. Pajak Masukan bagi pengeluaran untuk perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha. 3. Pajak Masukan bagi pengeluaran untuk pembelian atau pemeliharaan kendaraan bermotor berbentuk sedan, jeep, station wagon, van dan kombi kecuali sebagai barang dagangan atau disewakan.
32
4. Pajak Masukan atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. 5. Pajak Masukan yang tercantum dalam Faktur Pajak Sederhana 6. Pajak Masukan yang tercantum dalam Faktur Pajak Standar yang tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan Pajak Pertambahan Nilai. 7. Pajak Masukan yang pembayarannya ditagih menggunakan surat ketetapan pajak. 8. Pajak Masukan yang tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang ditemukan dalam pemeriksaan. 9. Pajak Masukan untuk perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk kegiatan usaha yang menghasilkan penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan pajak.
II.3.6 Pengkreditan Pajak Masukan Terhadap Pajak Keluaran Dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran dirinci secara garis besar sebagai berikut: 1. Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang sama. (Pasal 9 ayat 2). 2. Dalam hal belum ada Pajak Keluaran dalam suatu Masa Pajak, maka Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan. (Pasal 9 ayat 2a). 3. Apabila dalam suatu Masa Pajak, jumlah Pajak Keluaran lebih besar daripada jumlah Pajak Masukan, maka selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang wajib dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak. (Pasal 9 ayat 3).
33
4. Apabila dalam suatu Masa Pajak, jumlah Pajak Masukan lebih besar daripada jumlah Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan Pajak Masukan yang dapat dimintakan kembali atau dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya. (Pasal 9 ayat 4). 5. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang tertutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak. 6. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang tertutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan. 7. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa pajak yang bersangkutan, sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
34
II.4
Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai Berdasarkan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000, tata cara pembayaran,
penyetoran pajak, dan pelaporannya serta tata cara mengangsur dan menunda pembayaran pajak diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan. Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 541/KMK.04/2000, pembayaran dan penyetoran pajak dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak paling lambat tanggal 15 bulan takwim berikutnya setelah bulan Masa Pajak. Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-01/PJ./2006 jo PER102/PJ./2006, Surat Setoran Pajak (SSP) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke Kas Negara melalui Kantor Penerima Pembayaran. Pasal 1 ayat (1) peraturan ini menjelaskan bahwa Kantor Penerima Pembayaran adalah Kantor Pos dan atau bank Badan Usaha Milik Negara atau bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan sebagai penerima pembayaran atau setoran pajak. Berdasarkan Pasal 3 ayat (2) peraturan yang sama, Surat Setoran Pajak Standar dibuat dalam rangkap 5 (lima), dengan perincian sebagai berikut: a. Lembar ke-1
: untuk arsip Wajib Pajak.
b. Lembar ke-2
: untuk Kantor Pelayanan Pajak melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN).
c. Lembar ke-3
: untuk dilaporkan oleh Wajib Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak
d. Lembar ke-4
: untuk arsip Kantor Penerima Pembayaran. 35
e. Lembar ke-5
: untuk arsip Wajib Pungut atau pihak lain sesuai dengan ketentuan perundangan perpajakan yang berlaku.
II.5
Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai
II.5.1 Dasar Hukum Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Dasar hukum dari pelaporan pajak terutang adalah : 1. Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-undang Nomor 6 1983 jo Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000. 2. Pasal 3A Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000. 3. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-12/PJ./1995 tanggal 6 Februari 1995 jo Nomor KEP-386/PJ./2002 tanggal 13 Agustus 2002. 4. Petunjuk Pelaksanaanya adalah Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE04/PJ.53/1995 tanggal 16 Februari 1995.
II.5.2 Surat Pemberitahuan Tambunan (2003) mengungkapkan, Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan objek pajak dan atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Undang-undang KUP No. 28 tahun 2007 pasal 3 ayat (1) dan ayat (1a) menyebutkan bahwa : Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan. Bagi Wajib Pajak yang telah 36
mendapat izin Menteri Keuangan untuk menyelanggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dan mata uang selain Rupiah yang diizinkan, yang pelaksanaannya diatur dengan Keputusan Meteri Keuangan. Fungsi SPT adalah sebagai berikut : a.
Bagi Wajib Pajak Pajak Penghasilan 1) Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang. 2) Untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan atau melalui pemotongan pajak atau pemungutan pajak lain dalam satu tahun pajak atau bagian tahun pajak. 3) Untuk melaporkan pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam satu Masa Pajak yang ditentukan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
b.
Bagi Pengusaha Kena Pajak 1) Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah PPN dan PPnBM yang sebenarnya terutang. 2) Untuk melaporkan pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran. 3) Untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan oleh PKP dan atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, yang telah ditentukan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
c.
Bagi Pemotong atau Pemungut Pajak
37
Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya. Secara garis besar SPT dibedakan menjadi dua, yaitu : a.
SPT – Masa, adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan atau pembayaran pajak yang terutang dalam suatu Masa Pajak atau pada suatu saat.
b.
SPT – Tahunan, adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak yang terutang dalam suatu Tahun Pajak.
II.5.3 SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai Berdasarkan Pasal 3 ayat 1 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000, PKP wajib mengisi,
menandatangani, dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai. Dalam Pasal 4 ayat 1 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 dijelaskan bahwa Wajib Pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, jelas dan menandatanganinya. Dalam hal SPT Masa ditandatangani oleh orang lain selain yang disebutkan di atas, harus dilampiri Surat Kuasa Khusus. (Surat Kuasa Khusus untuk SPT Masa PPN dibuat per Masa Pajak dengan menyebut bulan yang bersangkutan, jadi tidak dapat dibuat untuk satu tahun buku). Benar berarti, pengisian SPT sudah sesuai penghitungannya menurut undangundang material (Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000). Lengkap, berarti seluruh unsur dan lampiran yang disyaratkan telah diisi dengan lengkap dan SPT tersebut ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasanya. Jelas,
38
berarti baik tulisan maupun angka yang ada di dalam SPT harus jelas dan terang sehingga tidak dapat ditafsirkan lain. Berdasarkan penjelasan Pasal 3 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000, dalam mengisi SPT harus dinyatakan dalam mata uang rupiah (Rp) dan bahasa Indonesia dalam SPT induk dan lampirannya termasuk neraca dan daftar laba rugi. Penyajian angka-angka rupiah harus dinyatakan dan dibulatkan ke bawah dalam rupiah penuh. Wajib Pajak atas izin Menteri Keuangan dapat menggunakan pembukuan dengan bahasa Inggris dan mata uang US dollar ($), tetapi di dalam SPT harus menggunakan bahasa Indonesia dan mata uang rupiah. Bentuk SPT Masa PPN beserta lampirannya
ditetapkan dalam Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-12/PJ/1995 tanggal 6 Februari 1995 yang telah diubah dengan keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-386/PJ/2002 tanggal 13 Agustus 2002. Adapun bentuk SPT Masa PPN beserta lampirannya, adalah sebagai berikut : 1. Formulir 1195 - SPT Masa PPN induk 2. Fomulir 1195 A1 - Daftar Pajak Keluaran dan PPnBM 3. Formulir 1195 A2 - Daftar Pajak Keluaran dan PPnBM Yang Tidak Dipungut/ Ditunda/Ditangguhkan/Dibebaskan/Ditanggung Pemerintah. 4. Formulir 1195 A3 - Daftar Pajak Keluaran dan PPnBM kepada Pemungut PPN 5. Formulir 1195 B1 - Daftar Pajak Masukan Yang Dapat Dikreditkan 6. Formulir 1195 B2 - Daftar Pajak Masukan dan PPnBM Yang Memperoleh Pembayaran Pendahuluan dari BAPEKSTA Keuangan. 7. Formulir 1195 B3 - Hasil Penghitungan Kembali Pajak Masukan (PM) Yang Telah Dikreditkan/Tidak Dipungut/Ditangguhkan/Dibebaskan. 39
8. Formulir 1195 B4 - Daftar Pajak Masukan Yang Tidak Dapat Dikreditkan. 9. Formulir 1101 BM - SPT Masa Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Dalam Pasal 3 ayat (7) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000, SPT dianggap tidak disampaikan apabila tidak ditandatangani sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 atau tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan atau dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat 6. Berdasarkan Pasal 3 ayat 1 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000, SPT Masa PPN Induk diisi dalam rangkap 2 (dua): -
Lembar ke-1 : untuk Kantor Pelayanan Pajak.
-
Lembar ke-2 : sebagai pertinggal Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan. Pada lembar ke-2 ini akan dibubuhi cap tanda terima SPT oleh petugas Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak. Sedangkan lampiran SPT Masa PPN (Lampiran A1 s.d. B4) dan SPT Masa
PPnBM diisi dalam rangkap 3 (tiga): -
Lembar ke-1 dan ke-3
: untuk Kantor Pelayanan Pajak.
-
Lembar ke-2
: pertinggal Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan.
Berdasarkan Peraturan Direktur jenderal Pajak Nomor 146/PJ./2006 yang menetapkan SPT terdiri dari : 1. Induk SPT – Formulir 1107 (F.1.2.32..01) 2. Lampiran 1 Daftar Pajak Keluaran dan PPnBM – Formulir 1107 A (D.1.2.32.01) 3. Lampiran 2 Daftar Pajak Masukan dan PPnBM – Formulir 1107 B (D.1.2.32.02) SPT PPN dapat disampaikan dengan cara : -
Manual
-
Elektronik
40
Apabila SPT Masa PPN dikirimkan melalui Kantor Pos dan Giro, tanda bukti serta
tanggal pengiriman surat tercatat
dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal
penerimaan SPT oleh Kantor Pelayanan Pajak. Tanggal jatuh tempo penyampaian SPT Masa PPN adalah tanggal 20 Masa Pajak berikutnya. Jika terlambat menyampaikan SPT Masa PPN akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) setiap bulan. Apabila tanggal 20 jatuh pada hari Minggu atau hari libur, SPT Masa PPN harus disampaikan pada hari kerja sebelumnya.
II.5.4 Penyampaian SPT Masa PPN Melalui Media Elektronik Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-327/PJ./2002, Wajib Pajak dapat menyampaikan SPT dalam bentuk media elektronik. Penyampaian SPT PPN secara elektronik yaitu melalui E-Filing, melalui Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP). Atas penyampaian SPT tersebut diberikan Bukti Penerimaan secara elektronik. Penyampaian SPT secara elektronik dapat dilakukan selama 24 jam sehari dan 7 hari seminggu. SPT yang disampaikan secara elektronik pada batas akhir waktu penyampaian SPT yang jatuh pada hari libur, dianggap disampaikan tepat waktu. Setelah menyampaikan SPT, Wajib Pajak mencetak dan menandatangani induk SPT serta wajib menyampaikan induk SPT tersebut beserta bukti lainnya melalui Kantor Pos secara tercatat atau disampaikan secara langsung , paling lama : a. 14 (empat belas) hari sejak batas akhir pelaporan SPT dalam hal SPT disampaikan sebelum batas akhir penyampaian
41
b. 14 (empat belas) hari sejak tanggal penyampaian SPT secara elektronik dalam hal SPT disampaikan setelah lewat batas akhir penyampaian.
II.6
PPN atas Jasa Bidang Perhotelan Menurut Muljono (2008) terdapat beberapa kegiatan jasa perhotelan yang
dikenakan PPN antara lain : 1. Persewaan Apartemen Persewaan
ruangan untuk kepentingan perkantoran dan ruangan lainnya yang
penggunaannya tidak terkait dengan kegiatan pelayanan tamu hotel. 2. Jasa Binatu Penyerahan jasa binatu kepada perusahaan perhotelan atau tamu hotel, terutang PPN. 3. Penjualan Voucher Hotel 4. Penyediaan Karaoke Penyerahan jasa karaoke dikenakan PPN sepanjang tidak disediakan khusus untuk tamu hotel. 5. Penggantian Biaya Perjalanan dan Akomodasi Hotel Biaya perjalanan atau ongkos akomodasi menyatu dengan biaya jasa perawatan dalam satu paket kontrak, terutang PPN. 6. Persewaan Lapangan Golf Jasa Persewaan lapangan golf yang bukan merupakan bagian dari fasilitas hotel, sehingga atas penyerahannya terutang PPN. 7. Jasa telekomunikasi Penyerahan jasa telekomunikasi kepada pihak selain tamu hotel, terutang PPN.
42