BAB II LANDAS AN TEORI
II.1
Pengantar Pajak
II.1.1. Pengertian Pajak Pengertian pajak dapat diterangkan melalui beberapa definisi :
Definisi pajak yang terkenal dalam dunia akademik dikemukakan oleh Prof. Rochmat Soemitro dalam buku M ardiasmo (2009:1) yaitu :
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Dari definisi di atas terlihat bahwa pajak harus berdasarkan Undang-undang yang disusun dan dibahas bersama antara pemerintah dan DPR sehingga pajak merupakan ketentuan berdasarkan kehendak rakyat, bukan kehendak penguasa semata. Pembayar pajak tidak akan mendapat imbalan langsung. M anfaat dari pajak akan dirasakan oleh seluruh masyarakat baik yang membayar pajak maupun yang tidak membayar pajak.
M enurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani dalam buku Surkadji (2005:9), pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh wajib pajak membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan baik tidak mendapatkan prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah membiayai pengeluaran-pengeluaran
umum
berhubungan
dengan
tugas
negara
untuk
menyelenggarakan pemerintahan. 6
M enurut Fieldman yang diterjemahkan oleh Waluyo (2005:8), pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut normanorma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum.
Undang-undang perpajakan sendiri tidak memberikan definisi pajak sampai dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007, definisinya sebagai berikut :
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Definisi versi Undang-undang Ketetapan Umum Perpajakan (KUP) Undangundang Nomor 28 Tahun 2007, ini nyaris hampir sama dengan definisi Rochmat Soemitro. Kata-kata “iuran” diganti dengan kata “kontribusi” yang nadanya lebih bersifat positif karena mengandung makna partisipasi masyarakat. Kemudian ada tambahan “bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat” yang membuat kata pajak lebih bernilai positif karena untuk tujuan kemakmuran rakyat melalui penyediaan barang dan jasa publik seperti pertahanan, keamanan, pendidikan, kesehatan, jalan raya, dan fasilitas umum lainnya.
M enurut Erly, S (2009: 11) Dari definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki ciri-ciri:
7
1. Pajak peralihan dari orang/badan ke pemerintah. 2. Pajak dipungut berdasarkan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksaannya, sehingga dapat dipaksakan. 3. Dalam Pembayaran pajak, tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi lansung secara individual yang diberikan pemerintah. 4. Pajak dipungut Negara, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. 5. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai investasi public. 6. Pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dari pemerintah. 7. Pajak dapat dipungut secara lansung atau tidak langsung.
II.1.2. Azas Pengenaan Pajak
M enurut Suhartono (2007: 75) Terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh negara sebagai asas dalam menentukan wewenangnya untuk pengenaan pajak, khususnya untuk pengenaan pajak penghasilan. Asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai landasan untuk pengenaan pajak adalah:
Asas domisili, atau disebut juga asas kependudukan berdasarkan asas ini negara mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan penduduk atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan berkedudukan di negara itu. Dalam kaitan ini, tidak dipersoalkan darimana penghasilan 8
yang dikenakan pajak itu berasal. Itulah sebabnya bagi negara yang menganut asas ini, dalam sistem pengenaan pajak terhadap penduduknya akan menggabungkan asas domisli (kependudukan) dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan baik yang diperoleh Negara itu maupun penghasilan yang diperoleh di luar negeri.
Asas sumber, negara menganut asas sumber akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya apabila penghasilan yang dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari sumber-sumber dari negara itu.
Dalam asas ini, tidak terjadi persoalan mengenai siapa dan apa status dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan tersebut sebab yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah objek pajak yang timbul atau berasal dari negara itu.
Contoh : Tenaga kerja asing bekerja di Indonesia maka dari penghasilan yang didapat di Indonesia akan dikenakan pajak oleh pemerintah Indonesia.
Asas kebangsaan, atau asas nasionalitas dan disebut juga asas kewarganegaraan. Dalam asas ini, yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan. Berdasarkan asas ini, tidaklah menjadi persoalan darimana penghasilan yang dikenakan pajak berasal. Seperti halnya dalam asas domisili, sistem pengenaan pajak berdsarkan asas nasionalitas ini dilakukan dengan cara menggabungan asas nasionalitas dengan konsep pengenaan pajak atas luar negeri.
9
Perbedaan di Indonesia yaitu ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam Undangundang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, dan perubahan terakhir yaitu Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 khususnya yang mengatur mengenai subjek pajak dan objek pajak, dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut asas domisili dan asas sumber sekaligus dalam sistem perpajakannya.
M enurut Wirawan,B,I (2009:30) Indonesia juga menganut asas kewarganegaraan yang parsial, yaitu khusus dalam ketentuan yang mengatur mengenai pengecualian subjek pajak untuk orang pribadi.
II.1.3. Pengelompokan dan Tarif Pajak
Safri, N (2005:23) mendefinisikan Pengelompokkan Pajak terdiri dari Pajak Tidak Langsung dan Pajak Tidak Langsung :
Pajak
Langsung
adalah
pajak
yang
beban
Pajak
yang
pajaknya
tidak
bisa
diserahkan/dialihkan kepada pihak lain.
Contoh : Pajak Penghasilan (PPh).
Pajak
Tidak
Langsung
adalah
beban
pajaknya
dapat
dipindahkan/dialihkan kepada pihak lain.
Contoh : Pajak pertambahan Nilai (PPN).
Sukardji (2006:25), dalam hal ini perbedaan pajak langsung dan pajak tidak langsung, dapat dibedakan menjadi tiga yaitu : 10
a. Penangung jawab pajak (‘taxpayer’), adalah orang yang secara formil yuridis diharuskan melunasi pajak, bila padanya terdapat faktor/kejadian yang menimbulkan sebab dikenakan pajak. b. Pemikul beban pajak adalah orang yang menurut maksud pembuat Undangundang harus memikul beban pajak (‘destinaris’). c. Penanggung pajak adalah orang yang dalam faktanya dalam arti ekonomis memikul beban pajak.
Jika ketiga unsur tersebut terdapat pada seseorang atau badan, maka pajak tersebut adalah pajak langsung. Kemudian jika terpisah, artinya unsure-unsur tersebut terdapat dari lebih satu orang, maka pajak tersebut adalah pajak tidak langsung.
Dengan demikian, secara ekonomi pajak langsung menurut pengertian ekonomi adalah pajak yang beban pajaknya tidak bisa digeserkan/dialihkan kepada pihak lain dan pajak tidak langsung adalah pajak yang beban pajaknya dapat dipindahkan/dialihkan kepada pihak lain.
Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton (2009:17) mengemukakan tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah tarif Proporsional adalah tarif pemungutan pajak yang menggunakan persentase tetap tanpa memerhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, semakin besar jumlah pajak terutang (yang harus dibayar).
Tarif ini diterapkan dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 7 ayat 1 tentang tarif
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang menggunakan tarif proporsional
yaitu10% (sepuluh persen), dan menurut Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 7 11
ayat 3 tetang tarif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat diubah menjadi paling rendah 5 % (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Contoh tarif proporsional : Tuan Alex melakukan suatu transaksi (penjualan) suatu Barang Kena Pajak (BKP) sebagai berikut :
Jumlah Penjualan
Tarif
BesarnyaPajak
Rp. 500.000
X
10%
Rp. 50.000
Rp. 1.000.000
X
10%
Rp. 100.000
Rp. 5.000.000
X
10%
Rp. 500.000
Rp. 10.000.000
X
10%
Rp. 1.000.000
II.1.4. Fungsi Pajak
M enurut Supramono (2008:12), pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu: •
Fungsi anggaran (budgetair) Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas 12
rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja
barang,
pembiayaan
pemeliharaan,
pembangunan,
dan
uang
lain
sebagainya.
dikeluarkan
dari
Untuk
tabungan
pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak. •
Fungsi mengatur (regulerend)
Pemerintah
bisa
mengatur
pertumbuhan
ekonomi
melalui
kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri. •
Fungsi stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan
13
mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien. •
Fungsi redistribusi pendapatan
Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan
umum,
termasuk
juga untuk
membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat
II.1.5. Sistem Pemungutan Pajak
M ardiasmo (2008 :25) mengemukakan “ Sistem Pemungutan Pajak “ adalah •
Self Assesment
Adalah suatu sistem pemungutan pajak dimana wajib pajak menetukan sendiri jumlah pajak yang terutang.
Contohnya : Dalam sistem ini masyarakat (Wajib Pajak) bersifat pasif dan menunggu dikeluarkannya suatu ketetapan pajak oleh fiskus. Besarnya utang pajak seseorang baru dikeluarkan, misalnya Pajak Petambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh), dan Pajak Penjualan atas Barang mewah (PPnBM ).
14
•
Official Assesment System
Adalah suatu sistem pemungutan yang memiliki wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menetukan besarknya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
Dalam sistem ini pihak fiskus masih cukup dominan untuk menghitung dan menetapkan utang pajak. Sistem ini umumnya diterapkan terhadap jenis pajak yang melibatkan masyarakat luas di mana masyarakat selaku subyek pajak atau wajib pajak dipandang belum mampu disertahi tanggung jawab untuk menghitung dan menetapkan pajak. Contoh pajak yang masih menggunakan sistem ini adalah Pajak Bumi dan Bangunan. •
With Holding System
Adalah system pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menetukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
Tanggung jawab ada pada pihak ketiga (hal ini dapat dilihat dalam Pajak Penghasilan (PPh) dimana pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, dana pensiun, dan sebagainya yang kepadanya diserahi tanggung jawab untuk memotong pajak terhadap penghasilan yang mereka bayarkan).
15
II.2.
Pengantar Pajak Pertambahan Nilai
II.2.1. Pengertian Pajak Pajak Pertambahan Nilai M enurut M ardiasmo (2008:270) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah
Pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam bahasa Inggris, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST).
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung.
M enurut Rusdji (2007:95) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dipungut berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1983 merupakan pajak yang dikenakan terhadap pertambahan nilai (Value Added) yang timbul akibat dipakainya faktor-faktor produksi setiap jalur.
M enurut B.Ilyas dan Suhartono (2007:115), Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan terhadap nilai tambah suatu barang atau jasa dari kegiatan ekonomi di suatu Negara, yang didalam Undang-undang disebut daerah pabean.
M ekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ada pada pihak pedagang atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang disingkat PKP. Dalam perhitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang harus disetor oleh Pengusaha kena Pajak (PKP), dikenal istilah pajak keluaran dan pajak 16
masukan. Pajak keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dipungut ketika Pengusaha Kena Pajak (PKP) menjual produknya, sedangkan pajak masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dibayar ketika Pengusaha Kena Pajak (PKP) membeli, memperoleh, atau membuat produknya.
Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yaitu sebesar 10% (sepuluh persen) . Dasar hukum utama yang digunakan untuk penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia adalah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 berikut revisinya, yaitu Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, dan terakhir revisi Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009.
Bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penjualan eceran di mana penjualan dilakukan kepada komsumen akhir yang tidak diketahui identitasnya dan biasanya jumlah transaksinya banyak dengan volume kecil, maka sangat tidak efektif untuk membuat faktur pajak sesuai ketentuan dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN di mana faktur pajak paling sedikit harus memuat :
1. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang menyerahkan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak (BKP/JKP). 2. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pembeli Barang Kena Pajak / Jasa Kena Pajak (BKP/JKP). 3. jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga 4. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dipungut. 5. kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak. 17
6. nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
Selama ini, Pengusaha Kena Pajak (PKP) pedagang pengecer ini bisa menggunakan Faktur Pajak sederhana tanpa harus memuat semua informasi di atas. Nah, mulai 1 April 2010 nanti tidak ada lagi Faktur Pajak sederhana dan PKP pedagang eceran terpaksa membuat faktur pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (5) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Bagi pembeli, hal ini tidak ada masalah karena pembeli dari pedagang eceran biasanya adalah konsumen akhir dan bukan Pengusaha Kena Pajak (PKP) sehingga tidak perlu untuk mengkreditkan pajak masukannya
II.2.2. Dasar Hukum Pajak Pertambahan Nilai M enurut Pandiangan (2003:86), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang merupakan pajak tidak langsung di Indonesia yang dikelola Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan, mulai berlaku sejak 1 April 1985. Dasar hukum pengenaannya adalah berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka Pajak Penjualan Pajak 1951 digantikan oleh Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau disebut juga Pajak Konsumsi. sejak diberlakukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) melalui Undang-undang Tahun 1998, telah dilakukan dua kali perubahan yaitu Undangundang Nomor 11 Tahun 1994 dan terakhir Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000. Dalam Ketentuan pasal 1 Undang-undang Nomor 18 tahun 2000 dan versi treakhir yaitu Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 yang dimaksud : 1. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara diatasya serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen tentang Kepabeanan. 18
2.
Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak dan barang tidak berwujud.
3. Barang Kena Pajak (BKP) adalah barang sebagaimana dimaksud dalam angka 2 yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini. 4.
Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak
5. Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk pemesanan. 6.
Jasa kena Pajak (JKP) adalah jasa yang dikenakan pajak berdasarkan Undangundang ini.
7.
Perdagangan adalah kegiatan usaha membeli dan menjual, termasuk kegiatan menukar barang, tanpa mengubah bentuk dan/atau sifatnya.
8.
Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha M ilik Negara atau daerah dengan nama dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap.
9. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang,
mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak
19
berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa di luar Daerah Pabean, 10. Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak (PKP) yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini. 11. M enghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk atau sifat suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya guna baru, atau kegiatan mengolah sumber daya alam termasuk menyuruh orang pribadi atau badan lain melakukan kegiatan tersebut. 12. Dasar Pengenaan Pajak adalah Jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lainnya yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang. 13. Pembeli adalah Orang Pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan yang membayar atau seharusnya membayar harga Barang Kena Pajak (BKP) tersebut. 14. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP).
II.2.3. Subjek pajak Pertambahan Nilai M enurut Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 dan versi terakhir Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 3A sebagai berikut: Pasal 3A ayat (1) :
20
Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g dan huruf h, kecuali pengusaha kecil yang abtasannya ditetapkan oleh menteri keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena pajak dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang M ewah yang terutang Pasal 3 Ayat (1a) : Pengusaha kecil sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Pasal 3 ayat (2) : Pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak wajib melaksanakan ketenutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 3 ayat (3) : Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d dan/atau yang memanfaatkan Jasa kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e wajib memungut, menyetor, dan mealporkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang yang perhitungan dan tata caranya diatur dengan Peraturan M enteri keuangan.
II.2.4. Objek Pajak Pertambahan Nilai Herlina, R (2008:24) mengemukakan “ Objek Pajak Pertambahan Nilai “ adalah: Objek atau sasaran dalam pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah “Penyerahan”, yang biasanya dikatakan penjualan, namun tidak semua proses penjualan 21
dikenakan pajak. Dalam Pasa 4 Undang-undang No. 42 Tahun 2009 menjelaskan tentang objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenakan atas: a. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha. b. Impor Barang Kena Pajak. c. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha. d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; f. Ekspor Barang Kena Pajak berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak. g. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak. h. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
II.2.5. Barang dan Jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai M enurut Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 4A : Ayat (2) yaitu Jenis barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut : a. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil lansung dari sumbernya b. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak c. M akanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makan dan minuman baik yang dikonsumsi di temapt 22
maupun tidak, termasuk makan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau catering d. Uang, emas batangan, dan surat berharga. Ayat (3) yaitu : Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut : a. Jasa Pelayanan kesehatan medis. b. Jasa Pelayanan sosial. c. Jasa pengiriman surat dengan perangko. d. Jasa keuangan. e. Jasa Asuransi. f. Jasa keagamaan. g. Jasa pendidikan. h. Jasa kesenian dan hiburan.
II.2.6. Kelemahan dan Kelebihan Pajak Pertambahan Nilai M enurut M ardiasmo (2008:269) Kelemahan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah : 1.
Adanya Pajak Berganda.
2. Tidak mendorong ekspor, dan belum dapat mengatasi penyelundupan. Kelebihan pajak Pertambahan Nilai : 1. M encegah terjadinya pengenaan pajak berganda. 2. Netral dalam perdagangan dalam dan luar negeri. 3. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas perolehan Barang M odal dapat diperoleh kembali pada bulan perolehan, sesuai dengan tipe konsumsi (‘consumption 23
type VAT’) dan metode pengurangan tidak langsung (‘indirection subtraction method’). Dengan demikian sangat membantu likuiditas perusahaan. 4. Ditinjau dari masuk pendapatan negara, Pajak Pertambahan Nilai mendapat predikat sebagai “ money maker” karena konsumen selaku pemikul beban pajak tidak merasa dibebani oleh
pajak
tersebut
sehingga memudahkan
fiskus
untuk
memungutnya.
II.2.7. S aat dan Tempat Terutang Pajak Pertambahan Nilai Saat Terutang Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 11 ayat (1) yaitu : a. Penyerahan Barang Kena Pajak. b. Impor Barang Kena Pajak. c. Penyerahan Jasa Kena Pajak. d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean. M aksudnya adalah Orang pribadi atau badan memanfaatkan barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean atau memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, terutangnya pajak terjadi pada saat orang pribadi atau badan tersebut mulai memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut di dalam Daerah Pabean. e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean. f. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, atau g. Ekspor Jasa Kena Pajak.
24
II.3.
Perhitungan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai
II.3.1. Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan Dasar Pengenaan Pajak. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan M enteri Keuangan yangdipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang. a. Harga Jual Harga jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak (BKP),
tidaktermasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dipungut
menurut Undang-undang dan potongan harga dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur. b. Pembeli Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima tau seharusnya menerima penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan yang membayar atau seharusnya membayar harga Barang Kena Pajak (BKP). c. Penggantian Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP), tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-undang dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. 25
d. Penerima Jasa Penerima jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) dan yang membayar atau seharusya membayar penggantian atas Jasa Kena Pajak (JKP). e. Nilai Impor Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambahkan pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Pabean untuk impor Barang Kena Pajak (BKP), tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dipungut Undang-undang. f. Nilai Ekspor Nilai ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atas seharusya diminta oleh eksportir. g. Nilai Lain Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dapat ditetapkan dengan Keputusan M enteri Keuangan hanya untuk menjamin rasa keadilan dalam hal: a. Harga Jual, Nilai Penggantian, Nilai Impor, dan Nilai Ekspor sukar ditetapkan. b. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak,seperti air minum, listrik dan sejenisnya.
26
Berdasarkan Keputusan M enteri Keuangan Nomor 75/PM K.03/2010 tanggal 31 maret 2010 telah menetapkan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak untuk beberapa penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak, yaitu: 1. Untuk pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak adalah Harga Jual atau Penggantian, setelah dikurangi laba kotor. 2. Untuk pemberian cuma-Cuma Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak adalah Harga Jual atau penggantian setelah dikurangi harga laba kotor. 3. Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga jual rata-rata. 4. Untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film. 5. Untuk Penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran. 6. Untuk Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, adalah harga pasar wajar. 7. Untuk penyerahan Barang kena Pajak dari pusat ke cabang adalah harga pokok penjualan atau ahrga perolehan. 8. Untuk penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang adalah harga lelang. 9. Untuk penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang adalah harga lelang.
27
10. Untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau jumlah syang seharusnya ditagih atau 11. Untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa pariwisata adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau jumlah syang seharusnya ditagih
II.3.2. Tarif Pajak Pertambahan Nilai M enurut Djoko M uljono (2008:6) : Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang berlaku saat ini adalah 10% (sepuluh persen). Sedangkan Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas ekspor Barang Kena Pajak (BKP) adalah 0% (nol persen). Pengenaan tarif 0% (nol persen) bukan berarti pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), tetapi Pajak M asukan yang telah dibayar dari barang yang diekspor dapat dikreditkan. Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, dengan Peraturan Pemerintah tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dapat diubah serendah-rendahnya 5% (lima persen) dan setinggi-tingginya 15% (lima belas persen) dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal.
II.3.3. Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai Pembayaran atau penyetoran Pajak Pertambahan Nilai dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). M enurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-148/PJ./2007 tentang Pelaksanaan M odul Penerimaan Negara, pengertian Surat Setoran Pajak (SSP) adalah Surat yang oleh Wajib Pajak (WP) digunakan untuk melakukan pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang ke kas negara melalui 28
Kantor Pos atau Bank Pemerintah atau Bank Swasta atau tempat pembayaran lain sesuai dengan Keputusan Direktorat Jenderal Pajak, dan ditunjuk oleh M enteri Keuangan. Berdasarkan
Peraturan
M enteri
Keuangan
Nomor
184/PM K.103/2007,
penyetoran Pajak Pertambahan Nilai paling lambat dilakukan tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
II.3.4. Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Pajak Pertambahan Nilai dihitung sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP), harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) M asa dan disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak setempat selambat-lambatnya 20 hari setelah M asa Pajak berakhir. Surat Pemberitahuan M asa Pajak Pertambahan Nilai (SPT M asa PPN) berfungsi sebagai sarana bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) untuk melaporkan dan mempertanggung jawabkan perhitungan jumlah pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang sebenarnya terutang dan sarana untuk melaporkan tentang pengkreditan Pajak M asukan terhadap Pajak Keluaran dan untuk
melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak
dalam suatu M asa Pajak. Surat Pemberitahuan M asa Pajak Pertambahan Nilai (SPT M asa PPN) bentuk Formulir 1107 pada tahun 2007 dan 2008, namun pada tahun 2009 yang digunakan adalah sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER29/PJ/2008 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan M asa Pajak Pertambahan Nilai (SPT M asa PPN) dalam Bentuk Formulir Kertas (Hard Copy)
29
dengan formulir 1108 bagi Pengusaha Kena Pajak yang Dikukuhkan di Kantor Pelayanan Pajak Dalam Rangka Pengolahan Data dan Dokumen di Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan, maka untuk PKP yang dikukuhkan di Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, SPT M asa PPN bentuk Formulir 1108 wajib digunakan bagi PKP yang menyampaikan SPT dalam bentuk formulir kertas (‘hard copy’).
II.3.5. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai M enurut Winston, M (2009:96) Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 yang terdapat pada
Pasal 1 angka 27 merumuskan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai
adalah Bendaharawan Pemerintah, Badan, atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh M enteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak terutang oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau Jasa Kena Pajak (JKP) kepada Bendaharawan Pemerintah, badan atau instansi pemerintah tersebut.
II.4.
Faktur Pajak, Pajak Masukan dan Pajak Keluaran
II.4.1. Faktur Pajak Untuk melakukan
pemungutan Pajak
Pertambahan
Nilai (PPN) harus
menggunakan sarana Faktur Pajak. Faktur pajak merupakan bukti pungutan pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP), bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau 30
penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP), bukti atau pungutan pajak karena impor Barang Kena Pajak (BKP) yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea Cukai, dasar hukum dari Faktur Pajak adalah Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 Pajak Pertambahan Nilai Pasal 13 sebagai berikut : Faktur Pajak dibedakan menjadi tiga jenis yaitu : 1. Faktur Pajak Sederhana Faktur Pajak Sederhana diatur dalam Pasal 13 Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 Pajak pertambahan Nilai, dan Keputusan Direktorat jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ/2006 tentang saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan, Tata Cara Penyampaian, dan Tata Cara Pembetulan faktur Pajak Sederhana. Sesuai dengan Pasal 13 ayat 5 Faktur Pajak Standar memuat beberapa hal yaitu : a. Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang menyerahkan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena pajak (JKP). b. Nama. Alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pembeli Barang Kena Pajak (BKP) dan atau penerima Jasa Kena pajak (JKP). c. Jenis barang dan jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan harga; d. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dipungut; e. Pajak Penjualan barang M ewah (PPNBM ) yang dipungut; f. Kode, Nomor Seri, dan tanngal pembuatan Faktur Pajak, dan g. Nama, jabatan, dan tanda tangan, yang berhak menandatatangani Faktur Pajak. Faktur Pajak harus diisi dengan lengkap, jelas, dan benar baik formal maupun materiil dan ditandatangani oleh pejabat yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) untuk ditandatanganinya. 31
M enurut Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 13, Saat Pembuatan Faktur Pajak Standar, paling lambat : 1. Akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan dalam hal pembayaran diterima setelah akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan. 2. Saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan : 3. Pada saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan : 4. Pada saat Pengusaha Kena Pajak (PKP) rekanan menyampaikan tagihan kepada Bendaharawan Pemerintah sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dokumen lain sebagai Faktur Pajak Standar : 1. Faktur Pajak Sederhana Faktur Pajak Sederhana diatur dalam KEP-524/PJ/2000 yang telah diubah terakhir dengan PER-97/PJ/2005. Faktur Pajak Sederhana paling sedikit harus memuat : Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), yang menyerahkan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak (BKP/JKP). Jenis dan kuantum Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak (BKP atau JKP) yang diserahkan. Jumlah Harga Jual atau Penggantian yang sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau besarnya Pajak pertambahan Nilai (PPN) yang dicantumkan secara terpisah, Tanggal Pembuatan Faktur pajak Sederhana.
32
2. Faktur Pajak Gabungan Faktur Pajak Gabungan merupakan faktur Pajak Sederhana yang cara penggunaanya diperkenankan kepada Pengusaha Kena Pajak (PKP) atas beberapa kali penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak (BKP/JKP) kepada pembeli atau penerima jasa yang sama dilakukan dalam satu M asa Pajak, dan ahrus dibuat selambat-lambatnya pada akhir bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak (BKP/JKP). Dalam hal pembayaran sebelum Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak (BKP/JKP) atau terdapat pembayaran sebelum Faktur Pajak Gabungan tersebut dibuat, maka untuk pembayaran tersebut dibuat faktur Pajak tersendiri pada saat diterima pembayaran. Tanggal penyerahan/pembayaran pada Faktur Pajak diisi dengan tanggal awal penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak (BKP/JKP) sampai dengan tanggal terakhir dari M asa Pajak yang dibuat Faktur Pajak Gabungan, dengan melampirkan daftar tanggal penyerahan masing-masing Faktur Penjualan.
II.4.2. Pajak masukan dan Pajak Keluaran Pengertian Pajak M asukan dan Pajak Keluaran Berdasarkan pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, Pajak M asukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean dan atau pemanfaatan Jasa kena Pajak di luar Daerah Pabean dan atau impor Barang Kena Pajak.
33
Perubahan terakhir Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 Angka 24 memiliki perbedaan yang tidak diubah pengertiaannya atau sama. Sedangkan Pengertian Pajak Keluaran berdasarkan pasal 1 angka 25 Undangundang Nomor 18 Tahun 2000, Pajak Keluaran merupakan Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak. Perubahan terakhir Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 Angka 25 memiliki perbedaan dalam arti Pajak Keluaran merupakan Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Berwujud , dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak. M ekanisme Pengkreditan Pajak M asukan Pada dasarnya semua pajak masukan dikreditkan, antara lain yaitu : a. Pajak M asukan dalam suatu M asa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk M asa Pajak yang sama. b. Dalam hal belum ada Pajak Keluaran dalam suatu M asa Pajak, maka Pajak M asukan tetap dapat dikreditkan. c. Apabila dalam suatu M asa Pajak, jumlah Pajak Keluaran lebih besar daripada jumlah Pajak M asukan, maka selisihnya merupakan Pajak pertambahan Nilai (PPN) yang wajib dibayar Pengusaha Kena Pajak (PKP). d. Apabila dalam suatu M asa Pajak, jumlah Pajak M asukan lebih besar daripada jumlah Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan Pajak M asukan yang dapat diminta atau dikompensasikan ke M asa Pajak berikutnya.
34
e. Pajak M asukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak M asukan untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha melakukan penyerahan kena pajak. M eskipun berhubungan
langsung dengan kegiatan usaha menghasilkan
penyerahan kena pajak, dalam hal-hal tertentu tidak tertutup kemungkinan Pajak M asukan tersebut tidak dapat dikreditkan, misalnya : •
Transaksi menggunakan Faktur Pajak Sederhana.
•
Transaksi menggunakan Faktur Pajak standar namun tidak memenuhi ketentuan (Faktur Pajak Cacat).
•
M asa pengkreditan Pajak M asukan telah melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak berakhirnya M asa Pajak diterbitkannya Faktur Pajak. Terdapat Pajak M asukan yang tidak dapat dikreditkan, Kriteria Pajak M asukan
yang tidak dapat dikreditkan diatur dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 9 ayat 8 dan pasal 16B ayat 3 Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai, rinciannya sebagai berikut : 1. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. 2. Perolehan barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha. 3. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, dan van kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan.
35
4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. 5. Perolehan barang Kena Pajak atua Jasa Kena Pajak yang bukti pungutannya berupa Faktur Pajak Sederhana. 6. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak ayng Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai (Faktur Pajak Cacat). 7. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 Pajak Pertambahan Nilai Pasal 13 ayat 6 (Faktur Pajak Cacat). 8. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak M asukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak. 9. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak M asukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan M asa Pajak Pertambahan Nilai, yang ditemukannya pada waktu pemeriksaan. 10. Pajak M asukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
36
II.4.3 Perbandingan S urat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (S PT PPN) 1107 dengan S urat Pemberitahuan (S PT) 1108 Bentuk penyajian, dan cara pengisian Surat Pemberitahuan M asa Pajak Pertambahan Nilai (SPT M asa PPN) 1107 lebih mudah/sederhana jika dibandingkan dengan pengisian, dan pembuatan Surat Pemberitahuan M asa Pajak Pertambahan Nilai (SPT M asa PPN) 1108. Perbandingan efisiensi pembuatan laporan jga jauh lebih efisiensi Surat Pemberitahuan 1107 dibandingkan Surat Pemberitahuan 1108. Cara pengisian Surat Pemberitahuan 1108 dan cara pelaporannya mewajibkan seluruh lembaran harus dilaporkan, walaupun dalam lembaran tidak ada transaksi Pajak Pertambahan nilai (PPN) yang dilaporkan. Ketentuan-ketentuan SPT PPN 1108 jauh lebih sulit dilaksanakan seperti ketentuan Ukuran Kertas, Lebar, penggunaan Huruf dan Besarnya Garis di SPT PPN 1108 bisa diterima/ditolak suatu SPT yang dilaporkan yang semestinya tidak terlalu dipermasalahkan sepanjang bentuk dan isinya tidak dirubah.
37