BAB II LANDASAN TEORI II.1.
Pengantar Pajak
II.1.1. Pengertian Pajak Pengertian pajak dapat diterangkan melalui beberapa definisi, yaitu : Pajak menurut undang-undang adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum. Menurut Liberty Pandiangan, S.E, M.Si (2002) Pajak adalah sebagai berikut “pembayaran (pengalihan) sebagian harta kekayaan yang dimiliki oleh masyarakat kepada
negara
yang
dapat
dipaksakan
berdasarkan
undang-undang,
namun
pembayaranya tidak mendapatkan suatu balas jasa secara langsung, untuk digunakan membiayai pengeluaran negara guna meningkatkan kualitas masyarakatnya”. Menurut Adriani P.J.A “Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.”
7
Dari definisi tersebut dapat diketahui ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak, yaitu: a. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaanya. b. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontraprestasi secara individu oleh Pemerintah. c. Pajak dipungut oleh Negara (Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah). d. Pajak diperuntukkan untuk membiayai pengeluaran Pemerintah dan apabila pemasukannya
masih
surplus,
dipergunakan
untuk
membiayai
“public
investment”. II.I.2. Pengelompokan Pajak Menurut Untung Sukardji
(2009) “Pengelompokan Pajak terdiri dari pajak
langsung dan tidak langsung : − Pajak Langsung adalah pajak yang beban pajaknya tidak bisa diserahkan /dialihkan kepada pihak lain. − Pajak
Tidak
langsung
adalah
pajak
yang
beban
pajaknya
dapat
dipindahkan/dialihkan kepada pihak lain.
8
II.1.3. Sistem Pemungutan Pajak Prof. Dr. Mardiasmo, MBA., Ak. (2011) mengemukakan “ Sistem pemungutan pajak” adalah: 1. Official Assesment Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak; 2. Self Assesment Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang; 3. With Holding System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. II.2.
Pajak Pertambahan Nilai
II.2.1. Pengertian Pajak Pertambahan Nilai Dilihat dari sejarahnya, Pajak Pertambahan Nilai merupakan pengganti dari Pajak Penjualan. Alasan dari penggantian ini karena Pajak Penjualan dirasa sudah tidak lagi memadai untuk menampung kegiatan masyarakat dan belum mencapai sasaran kebutuhan pembangunan, antara lain untuk meningkatkan penerimaan negara, mendorong ekspor, dan pemerataan pajak, Sehingga Pajak Pertambahan Nilai. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam bahasa 9
Inggris, PPN disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST). PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung. II.2.2. Dasar Hukum Pajak Pertambahan Nilai Untung Sukardji. (2009) Menjelaskan “Dasar Hukum Pajak Pertambahan Nilai adalah : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang dikenal dengan nama UU Pajak Pertambahan Nilai 1984 merupakan salah satu produk reformasi sistem perpajakan nasional (tax reform) 1983. Sebagai pengganti UU Nomor 19 Tahun 1951 Drt. Jo UU Nomor 35 tahun 1953 tentang Pajak Penjualan, UU PPN 1984 ini mulai berlaku pada 1 April 1954. Dalam kurun waktu 27 tahun sejak mulai berlaku, Undang-Undang ini mengalami tiga kali perubahan. Perubahan yang pertama dilakukan dengan UndangUndang Nomor 11 Tahun 1994 yang mulai berlaku pada 1 januari 1995, sedangkan perubahan yang kedua dilakukan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 dan ketiga yaitu Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Berikut adalah beberapa ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 yang mengalami perubahan berbunyi sebagai berikut : 1. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara diatasnya serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontingen tentang Kepabean; 2. Barang adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak dam barang tidak berwujud; 10
3. Barang Kena Pajak adalah sebagaimana dimaksud dalam angka 2 yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini. 4. Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak; 5. Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan atas petunjuk pemesanan; 6. Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini; 7. Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak; 8. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; 9. Impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean; 10. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; 11. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud adalah setiap kegiatan mengeluarkan Barang Kena Pajak Berwujud dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean; 12. Perdagangan adalah kegiatan usaha membeli dan menjual, termasuk kegiatan tukar-menukar barang tanpa mengubah bentuk dan/atau sifatnya; 13. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik 11
negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap; 14. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
II.2.3. Sifat dan Prinsip Pemungutan PPN Menurut Prof. Dr. Mardiasmo, MBA., Ak. (2011) pemungutan Pajak Pertambahan Nilai mempunyai beberapa sifat: 1. PPN sebagai pajak objektif Pungutan PPN ini mendasarkan objeknya tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak. 2. PPN sebagai Pajak tidak langsung Sifat ini menjelaskan bahwa secara ekonomis beban PPN dapat dialihkan kepada pihak lain. Namun dari segi yuridis tanggung jawab penyetoran pajak tidak berada pada penanggung pajak(pemikul beban).
12
3. Pemungutan PPN multistage tax Pemungut PPN dilakukan setiap mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi dari pabrikan, pedagang besar sampai dengan pengecer. 4. PPN dipungut dengan menggunakan bukti Faktur Pajak. Credit method sebagai metode yang digunakan dengan konsekuensi Pengusaha Kena Pajak harus menerbitkan Faktur Pajak sebagai Bukti pemungutan PPN. 5. PPN bersifat netral Netralisasi ini dapat dibentuk karena adanya 2 (dua(faktor): a. PPN dikenakan atas konsumsi barang atau jasa, b. PPN dipungut menggunakan prinsip tempat tujuan. 6. PPN tidak menimbulkan pajak ganda 7. PPN sebagai pajak atas konsumsi dalam negeri penyerahan BKP atau JKP dilakukan atas konsumsi dalam negeri. Dasar mekanisme Pemungutan PPN Prof. Dr. Mardiasmo, MBA., Ak. (2011), terdapat 2(dua) prinsip yaitu: 1. Prinsip Tempat Tujuan (Destination Principles) Pada prinsip ini PPN dipungut ditempat barang dan jasa tersebut dikonsumsi. 2. Prinsip Tempat Asal (Origin Principles) Pada prinsip ini tempat asal diartikan bahwa PPN dipungut ditempat asal barang atau jasa yang dikonsumsi.
13
II.2.4. Syarat pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Menurut Untung Sukardji (2009) syarat Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas: 1. Penyerahan BKP didalam Daerah Pabean yanng dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak, syarat-syaratnya adalah: a. Barang berwujud yang diserahkan merupakan BKP. b. Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan BKP tidak berwujud. c. Penyerahan dilakukan dalam Daerah Pabean. d. Penyerahan
dilakukan
dalam
rangka
kegiatan
usaha
atau
pekerjaannya. 2. Impor BKP. 3. Penyerahan JKP yang dilakukan di Daerah Pabean oleh Pengusaha Kena Pajak, syarat-syaratnya adalah: a. Jasa yang diserahkan merupakan JKP. b. Penyerahan dilakukan di Daerah Pabean. c. Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaanya. 4. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari diluar Daerah Pabean didalam Daerah Pabean. 5. Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. 6. Ekspor BKP pleh Pengusaha Kena Pajak.
14
7. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilanya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain (kegiatan membangun sendiri). Penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang PPn yanng dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan II.2.5. Subjek Pajak Pertambahan Nilai 1. Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c huruf f, huruf g, dan huruf h, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang; 2. Pengusaha kecil memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; 3. Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang yang penghitungan dan tata caranya diatur dengan peraturan menteri keuangan, II.2.6. Objek Pajak Pertambahan Nilai Menurut Untung Sukardji. (2009), Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang No.42 Tahun 2009. 15
Menurut Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 Pasal 4, Barang kena pajak terdiri dari: UU No.42 Tahun 2009 : 1. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak; 2. Impor Barang Kena Pajak; 3. Penyerahan Jasa Kena Pajak yang dilakukan di dalam Daerah Pabean oleh Pengusaha Kena Pajak; 4. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; 5. Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean 6. Ekspor Barang Kena Pajak berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; 7. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; 8. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak. Ketentuan mengenai batasan kegiatan dan jenis Jasa Kena Pajak yang atas ekspornya dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. II.2.7. Kelebihan dan Kekurangan Pajak Pertambahan Nilai Menurut Untung Sukardji. (2009) Pajak Pertambahan Nilai memiliki kelebihan maupun kekurangan sebagai berikut: Beberapa kelebihan Pajak Pertambahan Nilai
16
1. Mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda; 2. Netral dalam perdagangan dalam dan luar negeri; 3. Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan barang modal dapet diperoleh kembali pada bulan perolehan, dengan demikian sangat membantu likuiditas perusahaan; 4. Pajak Pertambahan Nilai mendapat predikat money maker karena konsumen selaku pemikul beban pajak tidak merasa terbebani oleh pajak tersebut sehingga memudahkan fiskus untuk memungutnya. Beberapa kekurangan Pajak Pertambahan Nilai 1. Biaya administrasi relative lebih tinggi, di pihak wajib pajak; 2. Menimbulkan dampak regresif; 3. Pajak Pertambahan Nilai sangat rawan dari upaya penyelundupan pajak; 4. Pajak Pertambahan Nilai menuntut tingkat pengawasan yang lebih cermat oleh administrasi pajak. II.2.8. Saat dan Tempat Terhutangnya Pajak Pertambahan Nilai Berdasarkan Prof. Dr. Mardiasmo, MBA., Ak. (2011) Pajak Pertambahan Nilai akan terutang pada saat: 1. Penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak; 2. Impor Barang Kena Pajak; 3. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; 4. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean; 5. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud; 17
6. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; 7. Ekspor Jasa Kena Pajak; 8. Pembayaran, pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum peyerahan Jasa Kena pajak atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean. Tempat Terutang Pajak 1. Untuk Penyerahan BKP/JKP a. Tempat tinggal. b. Tempat kedudukan. c. Tempat kegiatan usaha d. Tempat lain. Apabila Pengusaha kena Pajak terutang pajak pada lebih dari 1 (satu) tempat kegiatan usaha, Pengusaha Kena Pajak tersebut dalam pemenuhan kewajiban pajaknya dapat menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jendral Pajak untuk memilih 1 (satu) tempat atau lebih sebagai tempat terutangnya pajak. 2. Dalam hal impor, terutangnya pajak terjadi di tempat Barang Kena pajak dimasukan dan dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. 3. Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar daerah Pabean di dalam daerah
18
Pabean terutang pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha. 4. Untuk kegiatan membangun sendiri oleh PKP yang dilakukan tidak dalam lingkungan perusahaan atau bukan PKP, di tempat bangunan tersebut didirikan.
II.2.9.Penyerahaan Kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai Dasar Hukum dan Pemungutan oleh Bendahara dan Badan-Badan tertentu. Dasar Hukum yang digunakan dalam Pemungutan PPN oleh Bendahara Pemerintah, Badan-Badan tertentu dan Instansi Pemerintah tertentu yaitu Keputusan Menteri Keuangan Nomor. 563/KMK.03/2003 Tanggal 24 November 2003. Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah dipungut oleh Kantor Perbendaharaan Negara yang melakukan pembayaran kepada Pemerintah. Pemungutan Pajak tersebut dilakukan pada saat Pembayaran, dengan cara Pemotongan secara langsung dan tagihan rekanan Pemerintah, Pada Surat Perintah Membayar (SPM) yang berkenaan. Pemungutan PPN yang melakukan pembayaran atas penyerahan BKP dan atau JKP oleh Pengusahan Kena Pajak Rekanan Pemerintah, wajib memungut, menyetoran dan pelaporan PPN yang terutang. Pemungut PPN dilakukan pada saat dilakukan pembayaran oleh Bendahara Pemerintah atau KPPN kepada PKP Rekanan Pemerintah .(Mardiasmo 2011)
19
II.2.10.Mekanisme Pengkreditan Pajak Pertambahan Nilai Djoko Muljono. (2008)
mengemukakan “Pengkreditan Pajak menurut
penjelasan Pasal 9 Undang-undang PPN ayat (2)“ : Pembeli BKP, penerima JKP, pengimpor BKP, pihak yang memanfaatkan BKP tidak berwujud dari luar Dareah Pabean, atau Pihak yang memanfaatkan JKP dari luar Daerah Pabean wajib membayar PPN dan berhak menerima bukti pungutan pajak. PPN yang seharusnya sudah dibayar tersebut merupakan Pajak Masukan bagi pembeli BKP, atau penerima JKP, atau pengimpor BKP, atau pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan JKP dari luar Daerah Pabean yang berstatus PKP. Pajak Masukan yang wajib dibayar tersebut di atas oleh PKP dapat dikreditkan dengan Pajak Masukan yang dipungutnya dalam Masa Pajak yang sama.
Pajak Masukan Yang Tidak Dapat Dikreditkan Djoko Muljono (2008) mengemukakan “ Pajak Masukan yang Tidak Dapat Dikreditkan” antara lain: 1. Pajak Masukan diperoleh sebelum menjadi PKP. 2. Pajak Masukan yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha. 3. Pajak Masukan atas sedan, Jeep, Station Wagon, Van, dan Kombi kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan. 4. Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar pabean sebelum menjadi PKP. 5. Pajak Masukan yang bukti pungutanya berupa Faktur Pajak Sederhana. 20
6. Perolehan BKP atau JKP yang Faktur Pajaknya tidak sesuai yang ditentukan DJP. 7. Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar pabean yang Faktur Pajaknya tidak sesuai dokumen yang ditentukan DJP. 8. Pajak Masukan yang ditagih dengan Ketetapan Pajak 9. Pajak Masukan yang tidak dilaporkan pada SPT yang ditemukan pada pemerikasaan.
II.2.11. Pajak Masukan Dan Pajak Keluaran II.2.11.1.Pajak Masukan Berdasarkan Pasal 1 ayat (24) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan / atau penerimaan Jasa Kena Pajak dan/ atau pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean dan/ atau pemanfaat Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan atau impor Barang Kena Pajak.
II.2.11.2.Pajak Keluaran
Menurut Joko Muljono (2008) Pajak Keluaran Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan Penyerahan Barang Kena Pajak, Penyerahan Jasa Kena Pajak, Ekspor Barang Kena Pajak.
21
II.3.
Penghitungan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai
II.3.1. Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Prof. Dr. Mardiasmo, MBA., Ak (2011) mengemukakan “Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai” sebagai berikut: 1.
Jumlah Harga Jual Adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan BKP, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut UUD PPN 1984 dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
2.
Nilai Penggantian Adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan JKP, ekspor JKP, atau ekspor BKP Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut UUD PPN 1984 dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan JKP dan/atau oleh penerima manfaat BKP Tidak Berwujud karena pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
3.
Nilai Impor Adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang
22
mengatur mengenai kepabean dan cukai untuk impor BKP, tidak termasuk PPN dan PPn BM yang dipungut menurut Undang-Undang PPN 1984. 4.
Nilai Ekspor Adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh Eksportir.
5.
Nilai Lain Adalah nilai yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang. Nilai lain tersebut diatur oleh Keputusan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK. 03/2010 tanggal 31 maret 2010
a. Untuk pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi dengan laba kotor; b. Untuk pemberian Cuma-Cuma Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak adalah Harga Jual atau penggantian setelah dikurangi harga laba kotor; c. Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga jual rata-rata; d. Untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film; e. Untuk Penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran; f. Untuk persedian Barang Kena Pajak berupa berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan adalah harga pasar wajar; g. Untuk penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau Barang Kena Pajak antar cabang adalah harga pokok penjualan atau harga perolehan; 23
h. Untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui pedagang perantara adalah harga yang disepakati pedagang perantara dan pembeli; i. Untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang adalah harga lelang; j. Untuk jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.
Untuk penyerahan jasa biro perjalanan/ parawisata adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih; II.3.2. Tarif Pajak Pertambahan Nilai Menurut Ketentuan Pasal 7 UU No 42 Tahun 2009 Tarif Pajak Pertambahan Nilai Sebagai Berikut: 1. Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen) 2. Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas: a. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud; b. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan c. Ekspor Jasa Kena Pajak. 3. Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
24
II.3.3. Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai
Berdasarkan Undang – Undang No. 18 Tahun 2000, penyetoran Pajak Pertambahan Nilai dilakukan selambat – lambatnya 15 (lima belas) hari setelah Masa Pajak berakhir sedangkan dalam Undang – Undang PPN yang paling baru yakni UU Nomor 42 Tahun 2009, muncul ketentuan formal dalam UU yang bersifat material ini yakni tepatnya di Pasal 15 A sebagai berikut:
1. Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai oleh Pengusahan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat(3) harus dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan. 2. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak. II.3.4. Tata Cara Pelaporan SPT Pajak Pertambahan Nilai Pengusaha Kena Pajak selain dikukuhkan dan memiliki wewenang untuk memungut PPN dan dapat mengkreditkannya PKP harus memiliki NPWP dan memiliki kewajiban Menyampaikan SPT Masa PPN yang dibuat paling lambat akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor : PER – 147/PJ/2006 Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi pemungut Pajak Pertambahan Nilai Surat pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak yang terutang menurut ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan. 25
Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa) adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran pajak yang terutang dalam suatu Masa Pajak atau suatu saat biasanya merupakan laporan bulanan yang harus disampaikan oleh Pengusaha Kena Pajak mengenai perhitungan pajak masukan dan pajak keluraran yang berasal dari kegiatan operasional perusahaannya. Kewajiban melaporkan pajak terutang dari Pengusaha Kena Pajak didasari oleh hukum: 1. Pasal 3 ayat (6) UU No 6 Tahun 1983 stdtd UU No 16 Tahun 2009 (UU KUP) 2. UU No 18 Tahun 2000 stdtd UU No 42 Tahun 2009 (UU PPN dan PPnBM) 3. PMK 181/PMK.03/2007 stdd 152/PMK.03/2009 4. Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-44/PJ/2010 Salah satu fungsi SPT yang berkaitan dengan PPN adalah SPT Masa PPN. SPT Masa PPN tersebut memiliki fungsi sebagai berikut: a.
Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggung jawabkan perhitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang untuk melaporkan tentang. a.
Pengkredi tan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran
b.
Pembayar an atas pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha
26
Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. b.
Pambayar an dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1(satu)
Masa Pajak sesuai dengan
perundang-undangan yang berlaku. Mulai Masa Pajak Januari 2007, SPT Masa PPN semula menggunakan 1195 kemudian diganti menjadi Formulir 1107 berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-146/PJ/2006 tanggal 29 september 2006., SPT Masa PPN formulir 1107 berlaku sampai dengan Masa Desember 2010. SPT Masa PPN formulir 1107 terdiri dari: 1.
Induk SPT – Formulir 1107
2.
Lampiran 1 Daftar Pajak Keluaran dan PPnBM – Formulir 1107 A;
3.
Lampiran 2 Daftar Pajak Masukan dan PPnBM – Formulir 1107 B.
Penyetoran SPT Masa PPN dilakukan paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya. Penyampaian SPT Masa PPN memiliki batas waktu penyampaian paling lama 20(dua puluh) hari Masa Pajak Berikutnya dan disampaikan pada pada hari kerja sebelumnya. Apabila SPT terlambat disampaikan atau tidak menyampaikan SPT
27
dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 500.000,00- (lima ratus ribu rupiah).
II.3.5. Restitusi PPN
Tata Cara pengembalian kelebihan pembayaran PPN dan PPnBM ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72/PMK.03/2010 tanggal 31 Maret 2010 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Dalam ketentuan ini diatur antara lain adalah:
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan Pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.
Pengusaha Kena Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud di atas pada akhir tahun buku.
Dikecualikan dari ketentuan mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pajak hanya pada akhir tahun buku. PKP dapat mengajukan permohonan pengembalian pada setiap Masa Pajak yaitu oleh:
1. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud; 2. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai;
28
3. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang Pajak Pertambahan Nilainya tidak dipungut; 4. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; 5. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Jasa Kena Pajak; dan/atau 6. Pengusaha Kena Pajak dalam tahap belum berproduksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2a) Undang-Undang PPN.
Bagi Pengusaha Kena Pajak Orang Pribadi yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan, pengertian tahun buku sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tahun kalender.
Jadi mulai 1 April 2010 ini, kelebihan pembayaran PPN tidak dapat dimintakan untuk direstitusikan setiap masa pajak dan hanya dapat diminta untuk direstitusikan pada akhir tahun buku, kecuali untuk keenam jenis PKP yang disebutkan di atas.
Permohonan pengembalian kelebihan Pajak dapat diproses melalui penelitian atau pemeriksaan.
II.3.6. Pembetulan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 28 tahun 2007 Wajib Pajak dapat melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) atas kemauan sendiri dengan menyampaikan pernyataan tertulis dalam jangka waktu dua(2) tahun sesudah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau
29
tahun Pajak, dengan ketentuan belum dilakukan pemeriksaan oleh Direktorat Jendral Pajak Walaupun telah dilakukan pemeriksaan namun belum sampai ke tahap penyidikan mengenai ketidakbenaran perbuatan wajib pajak dengan kemauan sendiri terungkap dengan disertai pelunasan kekurangan jumlah kurang bayar yang sebenarnya beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah pajak yang terutang. Walaupun Dirjen pajak telah melakukan pemeriksaan namun belum menerbitkan Surat ketatapan pajak wajib pajak dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri, dimana pengungkapan tersebut terbatas pada: 1.
Pajakpajak yang masih harus dibayar lebih besar
2.
Rugi berdasarkan ketentuan pajak menjadi lebih kecil
3.
Jumlah harta menjadi lebih besar
4.
Jumlah modal menjadi lebih besar
Pajak yang kurang dbayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ini beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50%(lima pulih persen) dari pajak yang kurang bayar dan harus dilunasi sebelum disampaikan.
II.4. Faktur Pajak
30
Muljono,J (2008) mengemukakan “ Faktur Pajak ” adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak, atau bukti pungutan pajak karena impor Barang Kena Pajak yang digunakan oleh Direktorat Jendral Bea dan Cukai. Pengadaan Faktur Pajak Pengadaan Faktur Pajak Standar dilakukan Pengusaha Kena Pajak, dan paling sedikit dibuat dalam rangkap 2 yang peruntukanya masing-masing sebagai berikut: a. Lembar ke-1, disampaikan kepada Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak. b. Lembar ke-2, untuk arsip Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak Standar Dalam hal Faktur Pajak Standar dibuat lebih dari 2 rangkap, maka harus dinyatakan secara jelas peruntukanya dalam lembar Faktur Pajak Standar yang bersangkutan. Bentuk Faktur Pajak Standar Berdasarkan Pasal 13 ayat (5) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai No 42 Tahun 2009. Dalam Faktur Pajak Standar harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat: a. Nama, alamat, NPWP, serta nomor dan tanggal pengukuhan PKP yang menyerahkan BKP atau JKP; b. Nama, alamat dam NPWP pembeli BKP atau Penerima BKP;
31
c. Jenis Barang atau Jasa, Jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga; d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut; e. Kode, Nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; f. Nama, Jabatan, dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak Saat Pembuatan Faktur pajak Menurut pasal 13 ayat 1A UU No.42 Tahun 2009. Saat pembuatan faktur pajak disesuaikan dengan saat terutang pajak sebagaimana diatur dalam pasal 11, yaitu pada saat pembayaran (dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahaan). Namun untuk lebih rinci adalah sebagai berikut: a. Faktur Pajak harus dibuat pada saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak b. saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak c. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan atau d. saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan e. pada saat PKP rekanan menyampaikan tagihan kepada Bendaharawan Pemerintah sebagai Pemungut PPN. II.5.
Usaha Jasa Konstruksi
II.5.1. Pengertian Jasa Konstruksi
32
Jasa kontruksi menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2009 tentang penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi sebagai berikut. 1. Jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan kontruksi, layasanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi. 2. Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kergiata perencanaan dan atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masingmasing beserta kelengkapanya untuk mewujudkan sautu bangunana atau bentuk fisik lain. 3. Pekerjaan konstruksi adalah pemberian jasa orang pribadi atau atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mamapu menyelenggarakan kegiatanya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk di dalamnya pekerjaan konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan perencanaan, pengadaan, dan pembangunan (construction planning, procurement, dan construction) serta model penggabungan perencanaan dan pembangunanan (design an build). Tarif Pajak Penghasilan untuk usaha Jasa Konstruksi adalah sebagai berikut : a. 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil; b. 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha;
33
c. 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b; d. 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha; dan e. 6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha. Pajak Penghasilan Jasa Konstruksi bersifat final : a. Dipotong oleh pengguna Jasa pada saat pembayaran, dalam hal Pengguna Jasa merupakan pemotong pajak; b. Disetor sendiri oleh penyedia Jasa, dalam hal Pengguna Jasa bukan merupakan pemotong pajak. Besarnya Pajak Penghasilan atau disetor sendiri : a.
Jumlah
pembayaran,
tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai, dikalikan tarif Pajak Penghasilan, Pajak Penghasilan sesuai dengan tarif Pajak Penghasilan tersebut. b.
Jumlah
penerimaan
pembayaran, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai, dikalikan Pajak Penghasilan, dalam hal pembayaran Pajak Penghasilan disetor sendiri oleh penyedia Jasa.
II.5.2. Proses Bisnis Pada Perusahaan Konstruksi Bidang kegiatan jasa konstruksi pada umumnya meliputi perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pekerjaan konstruksi. Kategori dasar kegiatan dapat dibagi menjadi 2 (dua) kelompok umum. Pertama kegiatan primer atau utama (primary 34
activities) yang meliputi pemasaran, pelaksanaan proyek dan penyerahan proyek, kedua kegiatan penunjang (support activities) yaitu kegiatan yang menyediakan infrastruktur atau
dukungan
yang
dapat
membuat
kegiatan
utama
berlangsung
secara
berkesinambungan antara lain adalah pengembangan SDM, pengelolaan keuangan, pengendalian mutu dan pengembangan teknologi. Secara garis besar dapat digambarkan value
chain
perusahaan
konstruksi
adalah
sebagai
berikut
:
II.5.3. Ketentuan Pajak Pertambahan Nilai Pada Jasa Konstruksi Atas penyerahan Jasa Pemborong/Konstruksi ini akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, yaitu sebesar 10 % . Saat Terutang PPN Umumnya pekerjaan jasa pemborongan bangunan diselesaikan dalam suatu masa tertentu. Dan sebelum jasa pemborongan itu selesai dan siap untuk diserahkan telah diterima pembayaran di muka sebelum pekerjaan pemborongan dimulai atau pembayaran atas sebagian penyelesaian pekerjaan jasa sesuai dengan tahap atau kemajuan penyelesaian pekerjaan. Dalam hal ini PPN terutang pada saat pembayaran tersebut diterima oleh Pemborong atau Kontraktor.
35
Selanjutnya setelah bangunan atau barang tidak bergerak tersebut selesai dikerjakan, maka jasa pemborongan seluruhnya diserahkan kepada penerima jasa. Dalam hal ini PPN terutang pada saat penyerahan Jasa Kena Pajak itu dilakukan, meskipun pembayaran lunas jasa pemborongan tersebut belum diterima oleh Pemborong atau Kontraktor.
36