BAB II LANDASAN TEORI
II. A. Pemaafan II. A. 1. Definisi Pemaafan Menurut Jampolsky (2001) pemaafan adalah merasakan penghayatan tentang apa yang dialami orang lain, merasakan kelembutan, kerentanan, dan kepedulian, dan semuanya itu selalu ada di dalam hati kita, tak peduli bagaimana keadaan dunia yang ada. Rela memaafkan adalah jalan menuju tempat kebahagiaan dan kedamaian, jalan menuju jiwa kita. Jampolsky (2001) menyebut istilah pemaafan adalah sama dengan rela memaafkan. Dengan rela memaafkan berarti kita bersedia untuk menanggalkan masa lalu yang menyakitkan. Suatu keputusan untuk tidak lagi menderita, untuk menyembuhkan hati dan jiwa. Suatu pilihan untuk tidak lagi mencari-cari nilai dalam amarah dan kebencian. Dan ini berarti menepis keinginan untuk menyakiti orang lain atau diri kita sendiri atas suatu hal yang telah terjadi (Jampolsky, 2001). Memaafkan juga berarti memutuskan untuk tidak meghukum atas ketidakadilan yang kita terima, yang kita tunjukkan dalam aksi nyata dan mengalami reaksi emosional yang hadir setelahnya (Affinito, 1999). Enright dan kelompok studi Human Developmentnya (dalam Konstam, 2001) merumuskan pemaafan sebagai menghindari munculnya afeksi dan penilaian negatif yang ditujukan kepada orang yang telah berbuat salah pada kita,
Universitas Sumatera Utara
bukannya dengan menolak diri kita sendiri sebagai pembenaran atas afeksi dan penilaian tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan berusaha keras untuk melihat orang yang telah berbuat salah pada kita dengan kebaikannya, perasaan sayang, dan bahkan dengan cinta, ketika kita mengakui bahwa orang tersebut sebenarnya memang bersalah. Studzinski (dalam Wilson, 1994) mendefinisikan pemaafan sebagai suatu proses yang penuh kemauan dimana orang yang disakiti lebih memilih untuk merespon orang yang telah berbuat salah pada kita dengan cara yang lebih baik, bahkan dengan cara mencintainya, daripada memusuhinya. Dengan memaafkan kesalahan orang lain, maka ini adalah cara yang efektif untuk mengurangi perasaan marah, cemas dan takut (Cerney, dkk dalam Konstam, 2001). Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemaafan adalah menghilangkan perasaan dan penilaian negatif yang muncul karena ketidakadilan yang kita terima, terhadap orang lain yang telah menyakiti kita dengan cara-cara yang baik dan tidak menghukumnya.
II. A. 2. Komponen-komponen Pemaafan Menurut Affinito (1999) ada lima komponen dalam pemaafan, yaitu: a. Memutuskan Memaafkan adalah masalah pilihan. Inidvidu akan diarahkan dengan pikirannya sendiri melalui proses ini, menggunakan kemampuan untuk berpikir dan menyelesaikan masalah sehingga dapat ditemukan solusi terbaik untuk mengurangi rasa sakit yang dialami. Individu membuat suatu keputusan
Universitas Sumatera Utara
dan kemudian bertindak. Tapi bila kemudian iniduvidu memutuskan untuk mengubah pikirannya, mungkin karena tindakan tersebut telah mengubah situasi, atau mungkin inidvidu telah belajar suatu hal baru tentang orang yang telah menyakitinya. Inidvidu juga mungkin menemukan sesuatu yang baru tentang moralitas dan keadilan yang ada dalam diri individu itu sendiri. b. Menghukum Individu akan dihadapkan pada pilihan akan menghukum atau tidak orang yang telah menyakiti kita. Hal ini akan lebih ditekankan pada bagaimana individu menghukum orang yang telah menyakitinya, bukan pada apakah orang yang telah menyakiti itu akan dihukum. Tugas inidvidu disini bukanlah memutuskan apa dan bagaimana orang yang telah menyakiti tersebut akan dihukum, melainkan individu harus memutuskan apa dan bagaimana individu secara personal akan menghukum. Individu harus menyelesaikan masalahnya. Individu juga perlu mempertimbangkan apa yang didapatkan dan apa yang akan hilang dengan menghukum orang yang telah menyakiti tersebut, dan bagaimana keputusan yang telah diambil akan berdampak pada masalah adiltidak adil. Sekalipun individu memiliki kekuatan dan kekuasaan atas orang yang telah menyakiti itu, menghukum hanya bersifat sementara. c. Menerima Ketidakadilan Hal pertama yang harus dilakukan adalah apakah individu menyadari apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Kebanyakan orang ketika merasakan sakit atau melindungi dirinya dari pengalaman-pengalaman buruk yang dialaminya, individu sering menggunakan mekanisme pertahanan diri. Ketika merasa
Universitas Sumatera Utara
sedih, marah atau terluka, maka semacam ada sense yang memperingatkan diri bahwa ada yang salah, mungkin akan membutuhkan waktu untuk melihat ketidakadilan apa yang sebenarnya terjadi. d. Mengambil Tindakan Setelah keputusan diambil, maka individu perlu bertindak, untuk diri individu sendiri dan juga situasinya. Inidvidu akan diarahkan dampak-dampak apa saja yang mungkin terjadi dari tindakan yang diambil dan apa yang dapat membantu individu untuk melakukan tindakan-tindakan yang dirasa perlu untuk diambil. Semua itu dilakukan tentu saja dalam konteks moralitas individu sendiri. Satu hal yang mungkin individu ingin hindari adalah membiarkan dirinya dalam posisi harus memaafkan dirinya atas tindakan yang mungkin bertentangan dengan standar moral yang selama ini dianutnya. Individu harus yakin dengan keputusan yang telah diambil dan bertindaklah. e. Menurunkan Emosi ke Kondisi Awal Membuat keputusan untuk memaafkan atau tidak adalah seperti memilih untuk meminum obat sakit kepala untuk menghilangkan pusing. Sekali keputusan telah dibuat, inidvidu akan bertindak. Tentu saja dalam memaafkan juga diperlukan waktu. Pada beberapa orang proses ini bisa berlangsung cepat tapi ada juga yang membutuhkan waktu yang lama. Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa ada lima komponen dalam pemaafan yaitu; memutuskan, menerima ketidakadilan, mengambil tindakan dan menurunkan emosi ke kondisi awal.
Universitas Sumatera Utara
II. A. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemaafan Menurut McCullough (2000) ada beberapa faktor yang mempengaruhi pemaafan pada seseorang. Faktor-faktor tersebut dapat dilihat dalam tiga kategori, yaitu: a. Proses emosional dan kognitif Adapun hal yang termasuk dalam proses emosional dan kognitif adalah empati, perspektif saling menerima, ruminasi dan supresi. Empati dan perspektif saling menerima cukup berperan dalam kualitas prososial seseorang seperti keinginan untuk menolong orang lain, hal ini akan tampak jelas dalam memaafkan. Perasaan empati yang berdampak kepada orang yang telah menyakiti kita dan memahami perspektif kognitifnya mempunyai korelasi yang tinggi dalam pengukuran memaafkan yang dilakukan oleh McCullough secara umum. Ruminasi diartikan sebagai sulitnya untuk melupakan orang yang telah menyakiti. Karena pikiran, perasaan dan gambaran buruk tentangnya selalu muncul dan mengganggu diri individu. Hal-hal tersebut muncul karena peristiwa buruk yang pernah dialami karena kesalahan orang lain tersebut ditekan, dan dalam hal ini individu melakukan supresi. b. Kualitas dari suatu hubungan Faktor-faktor hubungan – seperti kedekatan, komitmen dan kepuasan—juga merupakan faktor yang menentukan dalam memaafkan. Orang-orang yang cenderung lebih bisa memaafkan dalam suatu hubungan dikarakteristikkan
Universitas Sumatera Utara
dengan adanya kedekatan, komitmen dan kepuasan. Banyak penelitian yang dilakukan oleh para ahli. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan terhadap 100 pasangan, baik itu sebagai orang yang memaafkan maupun sebagai orang yang sudah menyakiti pasangannya. Kedua-duanya melaporkan adanya tingkatan kedekatan, komitmen maupun kepuasan yang dihubungkan dengan tingkatan memaafkan. c. Faktor situasi Variabel lainnya yang memiliki pengaruh terhadap memaafkan adalah keberadaan faktor apology. Faktor ini sering dihubungkan dengan negoisasi. Kemunculan apology ini dianggap sebagai faktor yang berpotensi bagi kontrol orang yang telah menyakiti individu dan bagaimana hubungan akan terus berlanjut ketika pemaafan sudah dilakukan. Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi pemaafan pada seseorang yang dapat dilihat dalam tiga kategori yaitu; proses emosional dan kognitif (seperti empati, perspektif saling menerima, ruminasi dan supresi); kualitas dari suatu hubungan (seperti kedekatan, komitmen dan kepuasan); dan faktor situasi (yaitu apology).
II.A.4. Proses dalam Pemaafan Enright dan Coyle (1998) mengembangkan suatu model proses dari pemaafan. Model tersebut meliputi aspek kognitif, afektif, dan perilaku yang terjadi dalam proses pemaafan. Proses tersebut dibagi kedalam empat fase yaitu: fase membuka kembali (uncovering phase), fase memutuskan (decision phase),
Universitas Sumatera Utara
fase bekerja (work phase), dan fase pendalaman (deepening phase). Secara rinci Enright & Coyle (1998) menjelaskan dalam bentuk tabel: Tabel 1. Proses Pemaafan Unit
Cognitive, Behavioral, and Affective Phases Fase Membuka Kembali
1
Memeriksa mekanisme pertahanan diri yang digunakan.
2
Konfrontasi dengan kemarahan: intinya adalah bukan menyembunyikan kemarahan, melainkan disalurkan.
3
Menerima rasa malu.
4
Menyadari adanya katarsis.
5
Kesadaran bahwa orang diaskiti berulangkali memikirkan peristiwa yang menyakitkan.
6
Korban membandingkan dirinya dengan orang yang telah menyakitinya.
7
Menyadari akan adanya perubahan yang menetap akibat peristiwa yang menyakitkan tersebut.
8
Individu yang disakiti menyadari bahwa pandangannya tentang keadilan telah berubah. Fase Memutuskan
1
Perubahan dalam hati, adanya insight baru bahwa strategi yang lama untuk mengatasi masalahnya tidak membawa hasil yang diharapkan.
2
Keinginan untuk mempertimbangkan pemaafan sebagai suatu pilihan.
3
Komitmen untuk memaafkan orang yang telah menyakiti tersebut. Fase Bekerja dalam Pemaafan
1
Reframing, mulai mengambil peran, dengan memaknai peristiwa menyakitkan yang dialami dengan cara memposisikan bila dirinya yang telah menyakiti.
2
Mengembangkan empati terhadap pelaku.
3
Penerimaan terhadap luka (peristiwa menyakitkan) yang dialami.
4
Pemaafan sebagai hadiah moral bagi orang yang telah menyakiti.
Universitas Sumatera Utara
Fase Pendalaman 1
Menemukan makna baru dalam diri dengan melakukan pemaafan.
2
Menyadari bahwa dirinya memiliki kebutuhan untuk dimaafkan pada masa yang lalu.
3 4 5
Menyadari bahwa dirinya tidak sendiri. Menemukan tujuan hidup yang baru karena peristiwa ini. Kesadaran bahwa perasaan negatif yang dimiliki dugantikan dengan perasaan positif dan perasaan positif tersebut membebaskan serta menguntungkan bagi individu yang telah disakiti. Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam pemaafan terdapat
empat fase yang dapat dilalui oleh individu yang telah disakiti, yaitu fase membuka kembali, fase memutuskan, fase bekerja dalam pemaafan, dan fase pendalaman. Empat fase yang dikemukakan oleh Enriht & Coyle (1998) tersebut akan menjadi acuan bagi peneliti dalam bentuk pedoman wawancara untuk melihat bagaimana dinamika pemaafan pada remaja yang orangtuanya bercerai.
II.B. Remaja II.B.1. Definisi Remaja Masa remaja merupakan masa transisi dalam rentang kehidupan manusia, menghubungkan masa kanak-kanak dan dewasa. Adolescence atau remaja berasal dari kata Latin adolescere yang berarti ”tumbuh” atau ” tumbuh menjadi dewasa”. Secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orangorang yang lebih tua (Hurlock, 1990). Santrock (1998) mengatakan bahwa remaja
Universitas Sumatera Utara
adalah periode perkembangan transisi dari anak-anak ke dewasa awal yang melibatkan perubahan biologis, kognitif, dan sosioemosional. Gunarsa (1995) mengatakan bahwa pada umumnya permulaan masa remaja ditandai oleh perubahan-perubahan fisik yang mendahului kematangan seksual, kurang lebih bersamaan dengan perubahan fisik ini, juga akan melepaskan diri dari ikatan dengan orangtuanya, kemudian terlihat perubahan kepribadian yang berwujud dalam cara hidup untuk menyesuaikan diri dalam masyarakat. Menurut Monks (1996) masa remaja berlangsung antara usia 12 dan 21 tahun terbagi dalam tiga fase, yaitu: remaja awal (12 hingga 15 tahun), remaja tengah/madya (15 hingga 18 tahun) dan remaja akhir (18 hingga 21 tahun). Sedangkan menurut Hurlock (1990) masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dimulai saat anak matang secara seksual dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum. Berdasarkan pendapat dari beberapa tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa remaja adalah individu yang berusia 12-21 tahun yang sedang mengalami masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang, mencakup perubahan fisik, sosial, kognitif, dan mental.
II.B.2. Ciri-ciri Masa Remaja Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1990) ciri-ciri masa remaja antara lain: a. Masa remaja sebagai periode yang penting
Universitas Sumatera Utara
Pada masa remaja terjadi perkembangan fisik dan mental yang cepat dan penting dimana semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan pembentukan sikap, nilai dan minat baru. b. Masa remaja sebagai periode peralihan Peralihan tidak berarti terputus dengan atau berubah dari apa yang telah terjadi sebelumnya. Tetapi peralihan merupakan perpindahan dari satu tahap perkembangan ke tahap perkembangan berikutnya. Dengan demikian dapat diartikan bahwa apa yang terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekas pada apa yang telah terjadi sekarang dan yang akan datang, serta mempengaruhi pola perilaku dan sikap yang baru pada tahap berikutnya. Ketika seorang remaja yang dalam masa tumbuh-kembang harus menghadapi masalah perceraian orangtua, hal ini tentu saja akan membekas dalam dirinya dan mempengaruhi tahap perkembangan selanjutnya. Hetherington dan koleganya (dalam Dagun, 2002) mengadakan tes pada kelompok anak yang belum usia sekolah saat terjadinya perceraian. Penelitian ini dilakukan pada waktu anak bermain dan pada saat berinteraksi sosial dengan teman. Hetherington menemukan bahwa konflik keluarga itu menimbulkan pengaruh terhadap sikap bermain anak. Pengaruh yang lain adalah terganggunya pergaulan dengan teman sebaya. Akibat yang lebih jauh lagi dapat menjadi alasan penting terhambatnya perkembangan anak. Anak berkembang tidak stabil terutama ketika bergaul dengan teman-temannya. Pengaruh itu akan terus berlanjut sampai anak menginjak masa remaja dan interaksi sosial terganggu pada masa dewasa.
Universitas Sumatera Utara
c. Masa remaja sebagai periode perubahan Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat, perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung pesat. Ketika perubahan fisik menurun, maka perubahan sikap dan perilaku juga menurun. d. Masa remaja sebagai usia bermasalah Setiap periode mempunyai masalahnya sendiri-sendiri, namun masalah masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki maupun anak perempuan. Ada dua alasan bagi kesulitan ini, yaitu: 1) Sepanjang
masa
kanak-kanak,
masalah
anak-anak
sebagian
diselesaikan oleh orang tua dan guru-guru, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah. 2) Karena para remaja merasa diri mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan orang tua dan guruguru. e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas Pencarian identitas dimulai pada akhir masa kanak-kanak, penyesuaian diri dengan standar kelompok lebih penting daripada bersikap individualistis. Pada awal masa remaja, penyesuaian diri dengan kelompok masih tetap penting bagi anak laki-laki dan perempuan. Namun lambat laun mereka mulai mendambakan identitas diri dengan kata lain ingin menjadi pribadi yang berbeda dengan orang lain. Peran orang tua dalam hal pencarian identitas ini tentulah mempunyai peranan yang cukup penting. Sebagaimana yang
Universitas Sumatera Utara
dikatakan oleh Hetherington (dalam Hughes & Noppe, 1985) bahwa ayah berpartisipasi dalam memelihara anak secara langsung dengan mendisplinkan anak, mengajar mereka dan menyediakan model dewasa. Anak laki-laki memiliki kebutuhan akan model pria yang kuat sebagai self-control seperti halnya orang tua dengan disiplin yang keras. Setelah perceraian anak laki-laki kehilangan model pria tersebut sehingga perceraian kemudian ditandai lebih besar pada anak laki-laki daripada anak perempuan (Hetherington dkk dalam Hughes & Noppe, 1985). f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan Anggapan stereotype budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak rapih, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak dan berperilaku merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja muda takut bertanggung jawab dan bersikap tidak simpatik terhadap perilaku remaja yang normal. g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistic Pada masa ini, remaja melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita. Semakin tidak realistis cita-citanya ia semakin menjadi marah. Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila orang lain mengecewakannya atau kalau ia tidak berhasil mencapai tujuan yang ditetapkannya sendiri. Bagi para remaja yang orangtuanya bercerai akan timbul perasaan bersalah bahwa mereklah yang menjadi penyebab perceraian orangtuanya. Tentu saja hal itu tidak benar. Sebagaimana yang dikatakan oleh MacGregor (2005) bahwa perceraian itu sesungguhnya bukanlah tentang anak
Universitas Sumatera Utara
remaja, melainkan adalah tentang orangtuanya. Jadi bisa dikatakan ada semacam perasaan tidak realistik yang muncul pada diri seorang remaja. h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa Dengan semakin mendekatnya usia kematangan, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa, remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, yaitu merokok, minum minuman keras, menggunakan obat-obatan dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberi citra yang mereka inginkan. Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa ada tujuh hal yang menjadi ciri-ciri masa remaja yaitu; masa remaja sebagai periode yang penting, masa remaja sebagai periode peralihan, masa remaja sebagai periode perubahan, masa remaja sebagai usia bermasalah, masa remaja sebagai masa mencari identitas, masa remaja sebagai masa yang tidak realistic dan masa remaja sebagai ambang masa dewasa.
II.C. Perceraian II.C.1. Definisi Perceraian Menurut Biro Pusat Statitsik (2002), perceraian adalah berpisahnya suamiistri dan belum menikah lagi. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003) dinyatakan bahwa perceraian adalah perpisahan antara suami-istri selagi keduaduanya masih hidup. Hurlock (1990) mengemukakan perceraian adalah kulminasi
Universitas Sumatera Utara
dari penyesuaian perkawinaan yang buruk dan terjadi apabila antar suami dan istri sudah tidak mampu lagi mencari cara penyelesaian masalah yang dapat memuaskan bagi kedua belah pihak. Berdasarkan definisi yang dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa perceraian adalah suatu keadaan terputusnya ikatan pernikahan antara suami-istri selagi kedua-duanya masih hidup.
II.C.2. Faktor-faktor Penyebab Perceraian Menurut Fauzi (2006) ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya perceraian, yaitu: a. Ketidakharmonisan dalam rumah tangga Alasan tersebut adalah alasan yang paling kerap dikemukakan oleh pasangan suami-istri yang akan bercerai. Ketidakharmonisan bisa disebabkan oleh berbagai hal antara lain; ketidakcocokan pandangan, perbedaan pendapat yang sulit disatukan, krisis keuangan, krisis akhlak, adanya orang ketiga, bahkan tidak berjalannya kehidupan seksual sebagaimana mestinya. b. Krisis moral dan akhlak Selain ketidakharmonisan dalam rumah tangga, perceraian juga sering memperoleh landasan berupa krisis moral dan akhlak, yang dapat dilalaikannya tanggung jawab baik oleh suami ataupun istri, poligami yang tidak sehat, penganiayaan (kerap juga disebut sebagai Kekerasan dalam Rumah Tangga/KDRT), pelecehan, dan keburukan perilaku lainnya yang
Universitas Sumatera Utara
dilakukan baik oleh istri maupun suami, misalnya mabuk, berzina, terlibat tindak kriminal, bahkan hutang piutang. c. Perzinahan Masalah lain yang dapat mengakibatkan terjadinya perceraian adalah terjadinya perzinahan, yaitu hubungan seksual di luar nikah yang dilakukan baik oleh suami maupun istri. Sebagai umat beragama, sudah jelas adanya sanksi hukuman bagi mereka yang berzina. Di dalam hukum, perkawinan Indonesia, perzinahan dimasukkan ke dalam salah satu pasalnya sebagai yang dapat mengkibatkan berakhirnya sebuah perkawinan. d. Pernikahan tanpa cinta Alasan lainnya yang kerap dikemukakan baik oleh suami maupun istri untuk mengakhiri pernikahan adalah bahwa pernikahan mereka telah berlangsung tanpa dilandasi adnya cinta. Menjalani sebuah pernikahan tanpa cinta merupakan suatu keadaan yang sulit dan melelahkan, tapi itu tidak langsung dapat diartikan bahwa kita memerlukan sebuah perceraian. e. Adanya masalah-masalah dalam perkawinan Alasan perceraian tersebut kerap diajukan apabila kedua pasangan atau salah satunya merasakan ketimpangan dalam perkawinan yang sulit diatasi sehingga mendorong mereka untuk mempertimbangkan perceraian. Diantara masalahmasalah perkawinan itu adalah: kurangnya keintiman secara seksual; emosi yang meledak ketika terlibat perdebatan, menjadi terlalu terbawa emosi, dan membiarkan amarah menguasai diri; bersikap mementingkan diri sendiri; berlaku tidak jujur; menyindir secara keterlaluan; tidak menghargai pasangan;
Universitas Sumatera Utara
tidak perhatian kepada pasangan atau tidak mendengarkannya; dan masalahmasalah lainnya. Sedangkan menurut Newman & Newman (2006) dinyatakan ada empat hal yang berkontribusi terhadap terjadinya perceraian, yaitu: a. Umur saat menikah Kasus perceraian di Amerika Serikat tinggi pada pasangan yang menikah sebelum usia 18 tahun (sekitar 48%), dibandingkan dengan pasangan yang menikah di usia 25 tahun atau lebih (sekitar 24%). Untuk pasangan yang menikah muda ataupun usia yang lebih tua, ketidakpuasan terhadap penampilan
peran
adalah
faktor
yang
cukup
signifikan
terhadap
ketidakstabilan pernikahan. Untuk pasangan muda, ketidakpuasan ini biasanya lebih kepada masalah seksual dan kecemburuan. Untuk pasangan yang lebih tua, ketidakpuasan lebih disebabkan karena adanya konflik interpersonal, gaya dominasi daan melemahnya perasaan kebersamaan. Usia saat menikah biasanya juga dihubungkan dengan perbedaan kebutuhan perkembangan dan banyaknya ancaman terhadap ketidakstabilan pernikahan. b. Tingkat sosial ekonomi Konsep tingkat sosial ekonomi ini cukup kompleks, karena merupakan kombinasi dari faktor pendidikan, pekerjaan dan penghasilan. Laki-laki dan wanita dengan pekerjaan yang lebih tinggi memiliki angka rata-rata perceraian yang lebih rendah daripada mereka yang berpendidikan rendah. Dalam hal ini juga dikenal glick effect, yaitu laki-laki dan wanita yang dikeluarkan dari sekolah atau kampus memiliki angka rata-rata perceraian yang lebih tinggi
Universitas Sumatera Utara
daripada mereka yang telah menyelesaikan pendidikan sekolahnya. Angka rata-rata perceraian dan perpisahan umumnya lebih tinggi pada pasangan dengan pendidikan dan pendapatan yang rendah. Pendapatan total keduanya memiliki hubungan yang erat dengan perceraian. Laki-laki dengan pendapatan yang lebih tinggi, angka rata-rata perceraiannya lebih rendah. Sedangkan bagi wanita yang menyumbang lebih besar terhadap total pendapatan keluarga dan merasa kurang bahagia dengan perkawinan akan cenderung untuk bercerai. c. Perkembangan sosioemosional dari masing-masing pasangan Perkembangan sosioemosional dihubungkan dengan dimensi penerimaan diri, otonomi dan ekpsresi dari pasangan. Masalah-masalah dalam komunikasi dianggap sebagai penyebab utama perceraian, baik itu pada laki-laki maupun wanita. Secara umum wanita lebih cenderung untuk merasa stres dan memiliki masalah dalam penyesuaian perkawinan daripada laki-laki. Kestabilan identitas maskulin dari suami, tingkat pendidikan, status sosial dan kemampuan untuk menerima semua bentuk pengekspresian emosi berdampak terhadap kebahagiaan perkawinan. Kestabilan perkawinan juga tergantung pada bagaimana masing-masing pasangan mencapai perasaan dan identitas dirinya. Pencapaian ini akan membantu untuk membangun keseimbangan kekuatan dan saling menghormati yang menjadi pusat dari emosional dan keintiman intelektual. d. Sejarah keluarga yang bercerai Anak-anak dari orang tua yang bercerai lebih cenderung untuk mengalami perceraian pada pernikahan mereka nantinya kelak. Beberapa studi
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan
bahwa
orang
tua
yang
bercerai
akan
meningkatkan
kemungkinan pada pernikahan anak remaja berakhir dengan perceraian. Penjelasan lainnya adalah bahwa anak-anak dari orang tua tunggal dan keluarga yang orangtuanya menikah lagi biasanya cenderung untuk menikah pada usia muda daripada anak-anak dari keluarga pada umumnya, yang biasanya akan meningkatkan kemungkinan terjadinya perceraian. Dengan demikian terdapat beberapa faktor penyebab perceraian, antara lain: ketidakharmonisan dalam rumah tangga, krisis moral dan akhlak, perzinahan, pernikahan tanpa cinta, adanya masalah-masalah dalam perkawinan, umur saat menikah, tingkat sosial ekonomi, perkembangan soisoemosional dari masingmasing pasangan, dan sejarah dari keluarga yang bercerai. Namun dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan teori penyebab perceraian yang dikemukakan oleh Fauzi (2006), yaitu ketidakharmonisan dalam rumah tangga, krisis moral dan akhlak, perzinahan, pernikahan tanpa cinta, dan adanya masalahmasalah dalam perkawinan. Teori ini dipilih dengan alasan bahwa faktor-faktor penyebab perceraian tersebut lebih cocok untuk budaya masyarakat Indonesia.
II.C.3. Dampak Perceraian pada Anak Reaksi anak terhadap perceraian berbeda-beda, tergantung pada tingkat usia anak tersebut. Menyalahkan diri sendiri (self-blame) hilang setelah anak berusia 6 tahun, perasaan takut ditinggalkan berkurang setelah 8 tahun, perasaan bingung dan takut pada anak kecil digantikan anak yang lebih dewasa dengan malu dan marah (Kelly & Wallerstein dalam Hughes & Noppe, 1985). Anak juga
Universitas Sumatera Utara
akan menunjukkan beberapa gejala emosional, seperti: penyangkalan (saat mereka tidak percaya akan apa yang diberitahukan pada mereka), shock, kemarahan, konflik/pertentangan, kecemasan, ketidakpastian, kesepian, rasa bersalah, malu dan kesengsaraan. Perasaan anak-anak biasanya terungkap dengan meningkatnya gaya hidup yang tidak beraturan, kurang memperhatikan tugas sekolah dan PR, tidur larut malam dan terlambat ke sekolah, serta berkembangnya penyakitpenyakit psikosomatik sehingga tidak masuk sekolah. Penyakit-penyakit psikosomatik ini lebih disebabkan oleh keadaan emosional ketimbang penyakit fisik (Charlish, 2003). Hetherington (dalam Sigelman & Rider, 2003) mengatakan bahwa anakanak yang dibesarkan dalam situasi perceraian akan mengalami kemarahan, ketakutan, depresi, dan merasa bersalah. Mereka menyalahkan diri sendiri dan merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi, karena mereka menganggap bahwa merekalah yang menjadi penyebab perceraian kedua orang tua mereka. Selain itu anak merasa bahwa perginya salah satu orang tua meninggalkan mereka dikarenakan orang tua sudah tidak menyayangi mereka lagi. Sering pula mereka berkhayal akan rujuknya kembali kedua orang tua mereka. Amato & Keith (dalam Kail & Cavanaugh, 2000) menemukan hal penting lain akibat dari perceraian pada anak, yaitu: Pertama, akibat perceraian sama pada anak laki-laki dan anak perempuan; Kedua, perceraian lebih berbahaya pada anak masa sekolah dan anak remaja dibandingkan pra-sekolah atau dibangku kuliah; Ketiga, prestasi sekolah, perilaku, penyesuaian masih dipengaruhi perceraian. Ketika anak yang berasal dari keluarga bercerai berada pada usia dewasa,
Universitas Sumatera Utara
pengaruh perceraian tetap ada. Sebagai orang dewasa, anak tersebut melaporkan kurang puas dengan kehidupan dan kelihatannya menjadi depresi serta mengalami perceraian juga (Furstenberg & Teitler dalam Kail & Cavanaugh, 2000). Kajian lain yang dilakukan Gluecks (dalam Ihromi, 1999) menyimpulkan bahwa perceraian memberikan kontribusi terhadap tingkat delikuensi di kalangan remaja. Kesimpulan ini didukung oleh Browning (dalam Ihromi, 1999) yang mengadakan penelitian di kalangan remaja delikuen dan non-delikuen di Los Angeles. Dikatakan bahwa temuannya mendukung hipotesis bahwa anak-anak delikuen cenderung berasal dari keluarga-keluarga yang tidak harmonis yang orangtuanya bercerai. Pada anak-anak yang orangtuanya bercerai, ternyata perilaku bermasalah tidak hanya mereka munculkan dirumah tetapi juga hubungan dengan temantemannya mulai menegang, masalah akademis dan kesulitan untuk menyesuaikan diri di sekolah (Amato, Hetherington et al, dalam Sigelman & Rider, 2003). Bumpass dan Rindfuss (dalam Ihromi, 1999) mengatakan bahwa dari beberapa studi diketahui,
anak-anak dari orang tua bercerai cenderung mengalami
pencapaian tingkat pendidikan dan kondisi ekonomi yang rendah serta mengalami ketidakstabilan dalam perkawinan mereka sendiri. Masalah kesulitan ekonomi ini khususnya dialami oleh anak-anak yang berada di bawah pengasuhan ibu yang berasal dari strata bawah. Menurut Amato (dalam Sigelman & Rider, 2003) efek perceraian tidak akan selesai setelah fase krisis itu terlewati. Perceraian akan meninggalkan bekas yang berupa dampak negatif untuk beberapa tahun setelahnya. Anak perempuan
Universitas Sumatera Utara
dan laki-laki yang mengalami perceraian, prestasi akademik mereka lebih rendah pada usia 16 tahun dibandingkan dengan teman-teman seusianya (Jonsson & Gahler dalam Sigelman & Rider, 2003). Dampak lain terhadap perceraian yang terlihat oleh Landis (dalam Ihromi, 1999) adalah meningkatnya ”perasaan dekat” anak dengan ibu serta menurunnya jarak emosional terhadap ayah. Ini terjadi bila anak berada dalam asuhan dan perawatan ibu. Selain itu anak-anak yang orangtuanya bercerai merasa malu dengan perceraian tersebut. Mereka menjadi inferior terhadap anak-anak lain. Tidak jarang pula mereka berbohong dengan mengatakan bahwa orang tua mereka tidak bercerai atau bahkan menghindari pertanyaan-pertanyaan tentang perceraian orang tua mereka. Dengan melihat begitu banyaknya dampak negatif akibat sebuah perceraian, maka perlu disampaikan beberapa hal yang dapat dilakukan orang tua kepada anak-anaknya untuik meminimalisir dampak perceraian itu. Menurut Subotnik & Harris (2005) panduan tersebut adalah : a. Anak-anak seharusnya diberitahukan secara bersama-sama oleh kedua orang tua tanpa kekerasan dan perasaan marah. b. Anak-anak seharusnya tidak berada di tengah konflik orang dewasa dengan mengatakan adanya perselingkuhan yang dilakukan oleh orang tua. c. Anak-anak perlu tahu bahwa mereka bukanlah penyebab retaknya perkawinan. d. Sampaikan pada anak-anak bahwa keputusan bercerai adalah keputusan orang tua mereka dan mereka tidak dapat merubahnya.
Universitas Sumatera Utara
e. Anak-anak perlu tahu bahwa meskipun keduanya berpisah, tetapi orang tua mereka akan selalu mencintai dan menyayangi mereka. f. Anak-anak seharusnya diberikan informasi yang akurat bahwa hidup mereka akan berubah. g. Bagi para orang tua, dengarkanlah anak-anak secara seksama dan cobalah untuk mengurangi masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan sehari-hari nantinya. h. Anak-anak seharusnya tidak menjadi perantara dan pembawa pesan antara orang tua yang telah berpisah. i. Anak-anak seharusnya diizinkan untuk mencintai dan menikmati hubungan dengan orang tua dan keluarga barunya. Cobalah untuk menemukan hal-hal yang positif tentang keluarga barunya itu untuk bisa disampaikan padanya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perceraian memberikan dampak yang buruk
bagi anak, baik itu bagi perkembangan fisik, kognitif,
maupun mental/.psikologisnya. Dan dengan beberapa saran yang sudah diberikan tadi diharapkan dapat menjadi panduan bagi para orang tua yang memutuskan untuk bercerai, agar dapat meminimalisir dampak-dampak buruk yang muncul akibat perceraian tersebut.
Universitas Sumatera Utara
II.D. Pemaafan pada Remaja yang Orangtuanya Bercerai Remaja yang orangtuanya bercerai akan mengalami masalah-masalah yang berkaitan dengan proses perkembangannya yang mereka munculkan dalam bentuk gangguan fisik, psikologis, dan emosional. Dari pemaparan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa komposisi terbesar akan dampak emosional yang muncul adalah kemarahan. Mereka menjadi marah karena terlalu sering melihat orangtua bertengkar. Kemarahan juga bisa muncul karena anak korban perceraian harus hidup
dalam
ketegangan
tetapi
tidak
suka
hidup
dalam
ketegangan
(http://www.telaga.org. Tanggal akses 22 April 2007). Hetherington (dalam Sigelman & Rider, 2003) mengatakan bahwa anakanak yang dibesarkan dalam situasi perceraian akan mengalami kemarahan, ketakutan, depresi, dan merasa bersalah. Mereka menyalahkan diri sendiri dan merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi, karena menganggap bahwa merekalah yang menjadi penyebab perceraian kedua orang tua mereka. Selain itu anak merasa bahwa perginya salah satu orang tua meninggalkan mereka dikarenakan orang tua sudah tidak menyayangi mereka lagi. Pada beberapa kasus perceraian, tidak jarang anak akan menyalahkan kedua orang tua, atau salah satunya, atas perceraian yang terjadi. Butuh waktu untuk meredakan kemarahan dan agar bisa menerima kenyataan akan perpisahan kedua orangtuanya (Charlish, 2003). Kendati demikian tentu saja dampak negatif ini harus segera diatasi agar tidak terbawa anak hingga tahapan perkembangan selanjutnya. Ketika kemarahan menjadi sesuatu yang sangat melekat, bisa saja ini mengubah kepribadian mereka
Universitas Sumatera Utara
sebelumnya. Anak-anak yang pada awalnya memiliki kepribadian bersahabat, pemaaf, baik, ceria dan karakter-karakter kepribadian lainnya berubah drastis. Hal ini akan mempengaruhi hubungannya dengan orang tua setelah perceraian terjadi. Penting bagi orang tua untuk mengingat bahwa inilah peran yang mereka miliki seumur hidup. Hubungan sebagai orang tua bukanlah sesuatu yang dapat dilepaskan di saat situasi secara pribadi tidak menyenangkan atau tidak memuaskan. Walaupun orang tua boleh memutuskan bahwa perkawinan tidak lagi dapat diteruskan, mereka perlu dibantu untuk memahami bahwa hubungan sebagai orang tua harus terus berlanjut seumur hidup (Charlish, 2003). Hubungan antara orang tua dan anak tidak dapat terjalin dengan baik jika salah satu pihak masih merasakan kemarahan dan kepedihan atas perceraian yang terjadi. Dalam hal ini anak adalah korban yang sangat dirugikan. Hal ini semakin ditegaskan dengan beberapa penelitian yang dilakukan, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Charlish (2003) mengatakan butuh waktu sekian tahun bagi anak untuk bisa menerima utuh dan memahami kehilangan salah satu orang tua setelah perceraian terjadi. Menurut Chase-Lansdale, dkk (dalam Berk, 2000) anak yang orangtuanya bercerai dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap perceraian tersebut selama 2 (dua) tahun perceraian terjadi. Pada beberapa anak yang orangtuanya bercerai akan mengalami kepedihan emosi, ketakutan dan kesepian selama 2 – 5 tahun, bahkan ada yang lebih dari 5 tahun (Charlish, 2003). Kemarahan dan ketakutan yang dirasakan anak-anak ini harus dicari upaya untuk meredakannya bahkan kalau bisa menghilangkannya.
Universitas Sumatera Utara
Dari pemaparan di atas dapat dilihat bahwa perceraian orang tua membawa dampak bagi anak-anak, yang dalam hal ini anak adalah sebagai korban. Dampak bagi anak bisa bersifat positif maupun negatif. Bagi anak-anak yang sering melihat orangtuanya bertengkar, perceraian mungkin bisa dianggap membawa dampak positif. Karena dengan bercerai maka anak-anak tidak akan melihat pertengkaran orangtuanya lagi. Namun kiranya dalam hal ini dampak negatif akan lebih banyak muncul. Baik itu secara fisik (anak akan terpisah dari salah satu orang tua), secara kogniitif (anak akan mengira bahwa kedua orangtuanya tidak mencintainya lagi) dan dampak psikologis (anak akan merasa tertekan dengan situasi sulit yang dihadapi sehubungan dengan perceraian orangtuanya). Ketiga dampak ini ini, baik fisik, kognitif maupun psikologisnya akan sangat mempengaruhi baik-tidaknya tumbuh-kembang seorang anak nantinya. Kemarahan yang dirasakan anak-anak akibat perceraian orangtuanya akan mempengaruhi kesehatan mentalnya kelak, dimana faktor kesehatan mental ini berperan dalam baik-tidaknya tumbuh-kembang seorang anak nantinya. Dengan demikian kemampuaan memaafkan menjadi sangat penting bagi anak. Dengan memaafkan orangtuanya atas situasi sulit yang dihadapi kiranya akan membantu anak-anak untuk bisa lebih baik nantinya, terutama dalam komunikasi dengan orang tua dan lingkungan. Juga lebih baik dalam tumbuh-kembangnya baik itu secara fisik, kognitif maupun psikologis.
Universitas Sumatera Utara
II.D. Kerangka Berfikir Setiap individu yang memasuki gerbang pernikahan tentunya memiliki tujuan untuk membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan sejahtera secara lahirbatin. Seiring berjalannya waktu setelah terbentuknya suatu keluarga tentu saja banyak hal yang akan merintangi jalannya, sehingga bagi keluarga yang bisa menghadapinya akan menjadi keluarga yang bahagia. Namun bagi yang tidak mampu menghadapinya, hal ini bisa menyebabkan ketidakbahagiaan suatu keluarga. Masalah-masalah yang bisa menyebabkan tidak bahagianya suatu keluarga, diantaranya: terjadinya KDRT, masalah anak maupun masalah sosialekonomi. Pada beberapa kasus keluarga yang tidak bahagia itu ada juga yang masih berusaha untuk tetap mempertahankan keutuhan keluarganya dengan berbagai alasan, meskipun kehidupan keluarga tersebut tidak lagi harmonis dan bahagia. Dan pada kasus yang lain, keluarga tersebut memilih untuk bercerai, karena keluarga tersebut tidak lagi harmonis dan bahagia. Perceraian bisa terjadi dalam suatu keluarga disebabkan oleh faktor-faktor, yaitu; ketidakharmonisan dalam rumah tangga, krisis moral dan akhlak, perzinahan, pernikahan tanpa cinta dan adanya masalah-masalah dalam perkawinan. Perceraian yang terjadi dalam suatu keluarga dapat memberikan dampak baik itu bagi pasangan suami-istri maupun anak-anak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh para ahli dapat disimpulkan bahwa anak-anak adalah pihak yang paling dirugikan ketika perceraian terjadi. Khususnya bagi anak yang masih remaja, perceraian orang tua dapat menjadi masalah yang cukup besar, mengingat
Universitas Sumatera Utara
dalam tahap perkembangan seorang remaja, segala sesuatunya masih bersifat tidak stabil baik itu ketidakstabilan emosi, sifat maupun karakter. Perlu juga diingat bahwa pembentukan karakter dan mental yang sehat sangat penting diperhatikan dalam tahap perkembangan remaja agar tidak mengganggu perkembangan tahap selanjutnya. Anak remaja yang orangtuanya bercerai akan menunjukkan reaksi-reaksi emosional, seperti kemarahan, malu, rasa bersalah, kesepian, kesengsaraan, shock, ketidakpastian, kecemasan, konflik/pertentangan dan penyangkalan, atas situasi yang terjadi. Dari semua reaksi emosional yang ditunjukkan remaja, kemarahan merupakan salah satu reaksi yang lebih mudah untuk dilihat dan ditampilkan dibandingkan reaksi-reaksi emosional lainnya. Ketika kemarahan terus dirasakan seorang remaja yang orangtuanya bercerai, hal ini akan menyebabkan perkembangan mental yang tidak sehat. Karena itu diperlukan suatu cara yang mengarahkannya untuk bisa memaafkan orangtuanya atas perceraian yang terjadi. Pemaafan pada remaja yang orangtuanya bercerai dipengaruhi oleh faktor-faktor, seperti; proses emosional dan kognitif, kualitas dari suatu hubungan dan faktor situasi. Terdapat4 fase yang dalam pemaafan, yaitu fase membuka kembali, fase memutuskan, fase bekerja dalam pemaafan dan fase pendalaman. Dengan fasefase dan faktor-faktor yang mempengaruhi pemaafan tersebut peneliti ingin mengetahui bagaimana dinamika pemaafan pada remaja yang orangtuanya bercerai.
Universitas Sumatera Utara
PARADIGMA PENELITIAN DAPAT DILIHAT PADA LEMBAR LAMPIRAN
Universitas Sumatera Utara