BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Waralaba Dalam UUD no 42 tahun 2007 menyatakan “waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam memasarkan barang atau jasa yang terbukti berhasil dan dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba” (pasal 1, ayat 1). Menurut IFA waralaba adalah sebuah metode untuk memperluas bisnis dan mendistribusikan barang dan jasa melalui hubungan perizinan. Dalam waralaba pemberi waralaba tidak hanya menentukan produk dan jasa yang ditawarkan kepada penerima waralaba, tetapi juga menyiapkan sistem operasional, merek dan dukungan. Secara khusus IFA mendefinisikan waralaba sebagai sebuah lisensi yang menggambarkan hubungan antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba termasuk penggunaan merek dagang, dukungan, biaya dan kontrol. Rachmadi (2007:7) Merumuskan Franchise (waralaba) sebagai suatu bentuk sinergi usaha yang ditawarkan oleh suatu perusahaan yang sudah memiliki kinerja unggul karena
didukung oleh
sumber daya
berbasis
pengetahuan
dan
orientasi
kewirausahaan yang cukup tinggi dengan governance structure (tata kelola) yang baik, dan dapat dimanfaatkan oleh pihak lain dengan melakukan hubungan kontraktual untuk menjalankan bisnis dibawah format bisnisnya dengan imbalan yang telah disepakati. Halim (2013) mendefinisikan waralaba sebagai salah satu strategi sukses untuk ekspansi bisnis. Berdasarkan pendapat para ahli diatas, penulis menyimpulkan bahwa waralaba adalah sebuah sistem bisnis unik yang dimiliki oleh perseoranan maupun badan usaha, dan sistem bisnis tersebut dapat dimanfaatkan dan diaplikasikan oleh pihak lain dengan perjanjian kontrak yang telah disepakati oleh kedua pihak. Selain pengertian waralaba, perlu dijelaskan pula apa yang dimaksud dengan Franchisor dan Franchisee menurut UUD no 42 tahun 2007.
11
12 a. Franchisor adalah orang perseorangan atau badan usaha yang memberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan Waralaba yang dimilikinya kepada Penerima Waralaba (pasal 1 ayat 2). b. Franchisee adalah orang perseorangan atau badan usaha yang diberikan hak oleh Pemberi Waralaba untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan Waralaba yang dimiliki Pemberi Waralaba (Pasal 1 Ayat 3).
Sedangkan menurut Sumarsono (2009) adalah a. Franchisor atau pemberi waralaba, adalah badan usaha atau perorangan yang memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau cirri khas usaha yang dimilikinya. b. Franchisee atau penerima waralaba, adalah badan usaha atau perorangan yang diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas yang dimiliki pemberi waralaba. Penerima waralaba (franchisee) dalam menjalankan usahanya memakai sistem usaha yang diberikan oleh pemberi waralaba (franchisor) berdasarkan suatu perjanjian. Perjanjian antara pemberi waralaba dan penerima waralaba berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat. Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu dasar yang harus dipatuhi oleh masing-masing pihak.
Istilah umum Waralaba menurut IFA (2015) adalah sebagai berikut : a. Perjanjian waralaba (franchise Agreement) adalah hukum, kontrak tertulis antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba yang berisi tanggung jawab dari masing-masing pihak. b. Penerima Waralaba (franchisee) yaitu orang atau perusahaan yang mendapatkan hak dari pemberi waralaba untuk melakukan bisnis di bawah merek dagang atau nama dagang pemberi waralaba. c. Pemberi Waralaba (franchisor) yaitu orang rang atau perusahaan yang memberikan penerima waralaba hak untuk melakukan bisnis dibawah nama merek dagang atau perdagangan mereka.
13 d. Royalti yaitu Pembayaran secara rutin yang dilakukan oleh penerima waralaba kepada pemberi waralaba, biasanya berdasarkan persentase dari penjualan kotor penerima waralaba. e. Trademark adalah tanda atau merek dan logo yang berlisensi yang mengidentifikasi pemberi waralaba dan untuk diberikan kepada penerima waralaba.
2.1.1 Jenis – Jenis waralaba Menurut Dewanti (2008:100) terdapat beberapa jenis waralaba yaitu : 1.
Distributorship (waralaba distributor) : yang mana dealer boleh menjual produk yang dihasilkan oleh manufaktur.
2.
Chain Style Business (waralaba gaya rantai) : waralaba menggunakan nama dagang franchisor dengan mengikuti petunjuk yang berhubungan dengan harga dan penjualan produk.
3.
Manufacturing arrangement (waralaba manufaktur) : adalah waralaba yang menggunakan formula produk untuk menghasilkan produk yang sama.
Menurut Muhammad (2010:556-557) franchise atau bisnis eceran (retail) yang melibatkan penjualan produk atau jasa kepada konsumen umumnya dikategorikan menjadi 3 macam, yaitu :
1. Penyaluran Melalui Perwakilan, Peragenan (distributorship) Dalam hubungan ini pemberi waralaba melisensikan kepada penerima waralaba untuk menjual produknya, baik secara eksklusif maupun bersama dengan produk lain. Penerima waralaba sering menggunakan hak eksklusif untuk menjual produk disuatu daerah atau wilayah negara yang ditunjuk.
2. Bisnis Secara Berantai (Chain-style Business) Dalam hubungan ini franchisee menjalankan bisnisnya bernaung dibawah nama dagang franchisor yang diidentifikasi sebagai anggota kelompok pilihan dari penjual dalam bisnis tertentu. Sebagai franchise holder, biasanya franchisee harus mengikuti metode kerja standar atau yang telah ditetapkan dan ditunjuk
14 pada pengawasan (control) mengenai bahan yang digunakan dalam pembuatan produk, pemilihan tempat, desain fasilitas, waktu kerja bisnis dan kualifikasi karyawan.
3. Pabrikasi atau pabrik Pengolahan (Manufacturing or Processing Plants) Dalam hubungan ini franchisor memberikan informasi kepada franchisee mengenai bahan baku dasar (essential ingredients or formula) untuk pembuatan suatu produk. Kemudian, franchisee memasarkan produk, baik secara grosir maupun eceran sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh franchisor.
Menurut International Franchise Asociation (IFA) (dalam Sudarmiatin: 2011). Ada 4 (empat) jenis franchise mendasar yang digunakan di Amerika Serikat :
1.
Product Franchise Produsen memberikan hak kepada pemilik toko untuk mendistribusikan barangbarang milik pabrik dan mengijinkan pemilik toko untuk menggunakan nama dan merek dagang pabrik. Dan pemilik toko harus membayar sejumlah biaya atau membeli persediaan minimum sebagai timbal balik dari hak-hak ini.
2.
Manufacturing Franchises Jenis waralaba ini memberikan hak pada suatu badan usaha untuk membuat suatu produk dan menjualnya pada masyarakat, dengan menggunakan merek dagang dan merek franchisor. Jenis waralaba ini sering kali ditemukan dalam industri makanan dan minuman.
3.
Business Opportunity Ventures Bentuk ini mengharuskan pemilik bisnis untuk membeli dan mendistribusikan produk-produk dari suatu perusahaan tertentu. Perusahaan harus menyediakan pelanggan atau rekening bagi pemilik bisnis, dan sebagai timbal baliknya pemilik bisnis harus membayarkan suatu biaya atau prestasi sebagai kompensasinya.
15 4.
Business Format Franchising Ini merupakan bentuk waralaba yang paling populer didalam praktek, dimana perusahaan menyediakan sebuah metode yang telah terbukti kesuksesannya untuk dioperasikan oleh pemilik bisnis dengan menggunakan nama dan merek dagang perusahaan. Dalam hal ini perusahaan menyediakan sejumlah bantuan tertentu kepada pemilik bisnis untuk memulai dan mengatur perusahaan, sebaliknya pemilik bisnis membayar sejumlah biaya atau royalty.
2.1.2 Kriteria Waralaba Menurut UUD No 42 Tahun 2007 Sebuah bisnis yang bisa dikatakan sebagai bisnis waralaba apabila memiliki kriteria sebagai berikut : a. Memiliki ciri khas usaha b. Terbukti sudah memberikan keuntungan c. Memiliki standar atas pelayanan barang dan jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis d. Mudah diajarkan dan diaplikasikan e. Adanya dukungan yang berkesinambungan f. Hak kekayaan intelektual yang telah terdaftar.
2.1.3 Persyaratan Bisnis Waralaba Persyaratan bisnis waralaba menurut Muhammad (2010:571-574) adalah sebagai berikut : 1.
Mengutamakan Produk dalam negeri Pemberi waralaba dan penerima waralaba harus mengutamakan penggunaan barang dan bahan hasil produksi dalam negeri sebanyak banyaknya sepanjang memenuhi standar mutu barang dan jasa yang disediakan atau dijual berdasarkan perjanjian waralaba. pemberi waralaba harus melakukan pembinaan serta memberi bimbingan dan pelatihan kepada penerima waralaba. Hal ini diatur dalam pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997. Ketentuan pasal ini diatur lagi dalam pasal 16 Keputusan Menteri Perindag Nomor 259 Tahun 1997 dengan rumusan yang sama.
16 2.
Mengutamakan Pengusaha Kecil dan Menengah Pemberi waralaba harus mengutamakan pengusaha kecil dan menengah sebagaimana penerima waralaba atau penerima waralaba lanjutan atau pemasok dalam rangka penyediaan atau pengadaan barang atau jasa. Dalam hal ini penerima waralaba dan penerima waralaba lanjutan bukan merupakan pengusaha kecil dan menengah tetapi penerima waralaba dan penerima waralaba lanjutan wajib mengutamakan kerjasama dan atau pemasokan barang serta menggunakan jasa dari pengusaha kecil atau menengah (pasal 17 Keputusan Menteri Perindag Nomor 259 Tahun 1997).
3.
Penyelenggaraan Waralaba Secara Bertahap Bisnis waralaba dapat diselenggarakan diseluruh wilayah indonesia dan pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dengan memerhatikan perkembangan sosial dan ekonomi dalam rangka pengembangan usaha kecil dan menengah (Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997). Penyelenggaraan waralaba pada dasarnya dilakukan secara bertahap terutama di ibu kota provensi. Penyelenggaraan waralaba yang dilakukan diluar ibu kota provensi seperti ibu kota kabupaten/kota dan tempat-tempat tertentu lainnya yang memerlukan kehadiran jasa waralaba yang dilakukan secara bertahap dengan tetap memerhatikan keseimbangan antara kebutuhan usaha dan tingkat pertumbuhan sosial dan ekonomi usaha kecil dan menengah diwilayah yang bersangkutan. Penyelenggaraan waralaba diatur dalam Keputusan Menteri Perindag Nomor 259 Tahun 1997. Bisnis waralaba dapat dilakukan disemua ibu kota provensi dan kota/tempat tertentu lainnya di daerah kabupaten yang ditetapkan dari waktu ke waktu Menteri (Pasal 18 ayat (1) Keputusan Menteri Perindag Nomor 259 Tahun 1997). Lokasi bisnis waralaba di ibu kota provensi yang berada dipasar tradisional dan di luar pasar modern (mall, supermarket, department store, dan shopping center) hanya dibolehkan bagi bisnis waralaba yang diselenggarakan oleh pengusaha kecil (pasal 18 ayat (3) keputusan Menteri Perindag Nomor 259 Tahun 1997). Bisnis waralaba dikota/tempat tertentu lainnya didaerah kabupaten ditetapkan oleh Menteri secara bertahap dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat, tingkat perkembangan sosial dan ekonomi dan dalam rangka pengembangan usaha kecil dan menengah diwilayah yang bersangkutan (pasal
17 18 ayat (2) keputusan Menteri Perindag Nomor 259 Tahun 1997). Bisnis waralaba dikota/tempat tertentu lainnya didaerah kabupaten hanya dibolehkan bagi bisnis waralaba yang diselenggarakan oleh pengusaha kecil. (pasal 18 ayat (4) keputusan Menteri Perindag Nomor 259 Tahun 1997). Bisnis waralaba di kota/tempat tertentu lainnya didaerah kabupaten sepanjang berada dipasar modern (mall, supermarket, department store, dan shopping
center) dapat
diselenggarakan oleh bukan pengusaha kecil setelah mendapatkan persetujuan dari menteri atau pejabat lain ditunjuk (pasal 18 ayat (5) keputusan Menteri Perindag Nomor 259 Tahun 1997). Dikecualikan oleh ketentuan pasal 18 tersebut adalah kegiatan bisnis waralaba yang memperdagangkan khusus barang/makanan/minuman dan jasa tradisional khas indonesia dapat diselenggarakan diseluruh wilayah indonesia oleh usaha kecil dan menengah atau mengikut sertakan usaha kecil dan menengah (pasal 20 keputusan Menteri Perindag Nomor 259 Tahun 1997).
4.
Larangan Lebih dari Satu Waralaba pemberi waralaba dilarang menunjuk lebih dari satu penerima waralaba dilokasi tertentu yang berdekatan untuk barang dan/jasa yang sama dan menggunakan merek yang sama apabila diketahui atau patut diketahui bahwa penunjuk lebih dari satu penerima waralaba itu akan mengakibatkan ketidaklayakan bisnis waralaba dilokasi tersebut. Larangan ini berlaku juga bagi penerima waralaba utama untuk menunjuk lebih dari satu penerima waralaba lanjutan. Apabila di suatu lokasi yang berdekatan sudah ada bisnis waralaba yang dilakukan oleh penerima waralaba atau penerima waralaba lanjutan, dilokasi tersebut dilarang didirikan usaha yang merupakan cabang dari pemberi waralaba yang bersangkutan dengan merek yang sama, kecuali untuk barang atau jasa yang berbeda (pasal 19 keputusan Menteri Perindag Nomor 259 Tahun 1997).
2.1.4 Keuntungan dan Kerugian Waralaba Keuntungan dan kerugian waralaba menurut IFA (2015) adalah sebagai berikut :
18 2.1.4.1 Keuntungan waralaba 1. Waralaba memberikan penerima waralaba tingkatan independensi tersendiri, sehingga mereka dapat mengelola atau mengoperasikan bisnis mereka sendiri. 2. Waralaba memberikan produk atau layanan
yang sudah mapan dan
dimungkinkan sudah memiliki merek yang di kenal luas. Hal ini memberikan keuntungan
bagi penerima waralaba dari basis pelanggan pra-jual yang
biasanya memakan bertahun-tahun untuk mapan. 3. Waralaba meningkatkan kesempatan untuk sukses berbisnis karena telah terasosiasi dengan produk dan metode yang sudah terbukti. 4. Waralaba mungkin menawarkan konsumer suatu daya tarik tersendiri terhadap tingkatan kualitas dan konsistensi karena telah disepakati dalam perjanjian waralaba. 5. Waralaba menawarkan dukungan yang berkelanjutan seperti prosedur pelatihan operasional iklan secara national & regional serta bantuan operasional pengawasan dan dukungan manajemen peningkatan daya beli dan akses ke pasar grosir.
2.1.4.2 Kerugian Waralaba 1. Waralaba tidak seutuhnya bebas, karena penerima waralaba harus mengoperasikan bisnis mereka sesuai dengan prosedur dan larangan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pemberi waralaba didalam perjanjian waralaba. Larangan-larangan ini biasanya termasuk produk atau jasa yang ditawarkan, harga, dan daerah geografis. Dan bagi beberapa orang ini merupakan kerugian yang serius untuk menjadi penerima waralaba. 2. Selain membayar biaya waralaba awal, penerima waralaba juga harus membayar royalti berjalan dan biaya iklan. 3. Penerima waralaba harus berhati-hati untuk menyeimbangkan antara larangan dan bantuan yang disediakan oleh pemberi waralaba dengan kemampuan mereka sendiri untuk mengatur bisnis mereka.
19 4. Citra yang buruk bisa terjadi apabila penerima waralaba lain melakukan bisnisnya dengan buruk atau pemberi waralaba menghadapi masalah yang tidak terduga. 5. Durasi dari perjanjian waralaba biasanya terbatas dan penerima waralaba mungkin hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak ada pembahasan tentang pembatalan perjanjian. 2.2 Pendidikan Dalam Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan national, menyatakan bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Jalur pendidikan ini dapat diselenggarakan dalam 3 jalur yaitu jalur pendidikan formal, pendidikan nonformal dan pendidikan informal. 1.
Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
2.
Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
•
Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.
•
Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.
•
Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, 8 pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
20 •
Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.
•
Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
•
Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.
•
Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
3.
Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan sekitar. Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Hasil pendidikan informal juga diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.
2.2.1 Pendidikan anak usia dini Dalam UUD no 20 tahun 2003 (pasal 1, ayat 14), Pendidikan anak usia dini didefinisikan sebagai suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. •
Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.
•
Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal.
•
Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk taman kanakkanak (TK), raudatul athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.
21 •
Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk kelompok bermain (KB), taman penitipan anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.
•
Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.
•
Ketentuan mengenai pendidikan anak usia dini sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. 1.3 Theory of Attitude (Teori Tentang Sikap) Fishbein dan Ajzen (1975) dalam Halim (2015) menyatakan bahwa sikap adalah kecenderungan yang ditujukan secara konsisten dalam merespon keadaan yang disukai maupun tidak disukai terhadap suatu objek tertentu baik yang negatif maupun yang positif. Sikap juga didefinisikan sebagai ekspresi menyukai atau tidak menyukai suatu objek seperti orang, tempat, benda ataupun peristiwa. 2.4 Theory of Reasoned Action (TRA) Theory Reasoned Action, dikembangkan oleh Fishbein sebagai teori yang berakar pada teori sikap, memfokuskan perhatian pada belief, sikap dan tingkah laku dalam upayanya menjelaskan tingkah laku. Theory of Reasoned Action (Ajzen dan Fishbein 1969, 1980 dalam Southey, 2011) menyediakan sebuah model yang memiliki manfaat untuk memprediksi intensi yang menuju pada tingkah laku yang berdasarkan sikap individual dan kepercayaan normatif. Southey (2011) juga menyatakan bahwa Theory of Reasoned Action ini sangat cocok untuk penelitian usaha kecil. Menurut teori ini, determinan dari tingkah laku individu adalah intensinya untuk menampilkan tingkah laku tersebut. Intensi seseorang dapat diprediksi melalui 2 hal utama, yaitu sikap (Attitude toward the Behaviour) dan norma subjektif. Sikap individu terhadap perilaku dapat dilihat atau timbul melalui keyakinan (Belief) yang dimiliki dan dihubungkan dengan evaluasinya terhadap keyakinan tersebut. Sedangkan norma subjektif terbentuk melalui persepsi subjek tentang harapan orang lain yang dianggap penting (normative belief) dan kemudian dihubungkan dengan bagaimana keinginan untuk memenuhi harapan orang lain tersebut (Motivation to Comply). Norma subjektif juga didefinisikan sebagai persepsi seseorang terhadap norma sosial yang ada untuk menunjukan atau tidak menunjukan suatu perilaku yang
22 baik dengan latar belakang orang lain maupun kelompok tertentu (Vallerand et al,. 1992 dalam halim,2015)
Gambar 2. 1 Diagram Model Theory of Reasoned Action (TRA) Sumber : Ajzen (1975) dalam Halim (2015)
2.5 Theory of Planned Behaviour (TPB) Teori Planned Behaviour yang selanjutnya disebut TPB merupakan pengembangan dari Theori of Reasoned Action (Ajzen, 1991) yang selanjutnya disebut dengan TRA. TPB merupakan kerangka berpikir konseptual yang paling populer pada saat ini untuk menjelaskan tentang determinan tertentu. TPB ini sengaja dibuat karena adanya keterbatasan model asli dalam menangani perilaku dimana tidak adanya kendali terhadap kehendak dalam model yang lama, karena setelah dilakukan meta analisis oleh Ajzen ternyata diperoleh kesimpulan bahwa TRA hanya berlaku bagi tingkah laku yang berada dibawah kontrol penuh individu, namun tidak sesuai untuk menjelaskan tingkah laku yang tidak sepenuhnya dibawah kontrol individu, karena ada faktor lain yang dapat menghambat atau memfasilitasi realisasi intensi ke dalam tingkah laku. Berdasarkan analisis ini lalu pada 1988 Ajzen menambahkan satu faktor bagi intensi yang berkaitan dengan kontrol individu ini, yaitu Perceived Behaviour Control. Perceived Behaviour Control mencerminkan kemampuan individu dan kepercayaan diri dalam melakukan suatu perilaku (Rafiq 2012 dalam halim 2015). Dengan adanya penambahan inilah yang mengubah TRA menjadi TPB.
23
Gambar 2. 2 Diagram Model Theory of Planned Behaviour (TPB) Sumber : Ajzen (1991) dalam Halim (2015)
Dalam Halim (2015) menyatakan bahwa Theory of Planned Behaviour sangat sesuai digunakan untuk menjelaskan berbagai perilaku yang membutukan perencanaan. Dalam model TPB menyatakan bahwa intensi seseorang untuk menunjukan atau tidak menunjukan suatu perilaku adalah faktor yang paling penting dan menentukan apakah suatu perilaku terjadi atau tidak. 2.6 Model DeLone dan McLean Model DeLone dan McLean (1992) yang selanjutnya disebut D&M model merupakan salah satu model keberhasilan sistem informasi. Model yang diusulkan oleh DeLone dan McLean pada tahun 1992 adalah sebuah model yang memfokuskan pada kesuksesan implementasi di tingkat organisasi yang didasarkan pada proses hubungan kausal dari elemen-elemen pengukuran keberhasilan sistem informasi yang terdapat dalam model ini. Gambar awal model ini adalah sebagaimana gambar dibawah ini.
24
Gambar 2. 3 D&M IS Success Model 1992 Sumber : DeLone dan McLean (2003)
Dari gambar diatas, maka dapat dijelaskan secara singat bahwa keberhasilan sistem informasi ditunjukan dengan enam dimensi, yakni kualitas sistem (System Quality), kualitas informasi (information system), kepuasan pemakai (user statisfaction), penggunaan (use), dampak individu (individual impact) dan dampak organisasi (organizational impact). Model yang diusulkan ini merefleksikan ketergantungan dari kualitas sistem dan kualitas
informasi
yang
kemudian
secara
mempengaruhi elemen penggunaan dan
independen
dan
bersama-sama
kepuasan pemakai. Besarnya elemen
penggunaan dapat mempengaruhi besarnya nilai kepuasan pemakai secara positif dan negatif. Dan penggunaan dan kepuasan pemakai mempengaruhi dampak individu dan selanjutnya mempengaruhi dampak organisasi. Banyak artikel yang sudah menguji model ini, dan beberapa artikel telah mempublikasikan tantangan dan kritikan tentang D&M model. Karena itu DeLone dan McLean kemudian melakukan revisi modelnya menjadi Model Update Kesuksesan Sistem Informasi DeLone dan McLean (2003). Pada model revisi ini, DeLone dan McLean menambahkan dimensi kualitas layanan (Service Quality) dan menggabungkan dua dimensi : pengaruh individu dan pengaruh organisasi menjadi Net Benefit sehingga model berubah menjadi seperti gambar dibawah ini
25
Gambar 2. 4 Update D&M IS Success Model 2003 Sumber : DeLone dan McLean (2003)
Model update diatas dibangun dari tiga komponen, yaitu pembuatan sistem, pemakaian sistem dan dampak dari pemakaian sistem. Komponen-komponen tersebut disusun dengan urutan pengukuran sbb: 1. Sistem informasi dibuat dan diukur kualitasnya dengan tiga dimensi kualitas yaitu : •
Kualitas Informasi
•
Kualitas Sistem
•
Kualitas Layanan
2. Sistem informasi dipakai dan pengalaman pemakainya diukur dengan dua dimensi yaitu : •
Penggunaan
•
Kepuasan Pengguna
3. Dampak dari pemakaian yang diukur dengan dua dimensi yaitu : •
Pengaruh individu
•
Pengaruh organisasi
2.7 Kualitas Situs Web Situs web adalah halaman informasi yang disediakan melalui jalur internet sehingga bisa di akses dimana dan kapan saja selama perangkat yang kita gunakan terkoneksi dengan jaringan internet. Situs web juga merupakan komponen atau
26 kumpulan komponen yang terdiri dari teks, gambar, suara, animasi, sehingga lebih merupakan media informasi yang menarikuntuk dikunjungi (Adelheid, 2015:11). Dalam Nilasari (2014:2) mendefinisikan Situs web sebagai kumpulan halaman web yang dijalankan dari satu alamat web domain, situs web ini digunakan untuk menampilkan informasi teks, gambar diam atau bergerak, suara, animasi, atau gabungan dari semuanya.
Terdapat dua jenis situs web berdasarkan sifatnya yaitu : 1. Website Statis Merupakan jenis website yang halamannya statis dan tidak berubah-ubah atau jarang di ubah, website ini biasanya digunakan untuk profil pribadi atau organisasi. Hanya pemilik website dapat merubah isi website secara periodik namun dengan proses yang manual. 2. Website dinamis Merupakan jenis website yang sering diubah-ubah kontennya. Dan jenis website ini tidak hanya fokus pada satu halaman sederhana saja tapi bisa pada banyak halaman.
Sedangkan jenis situs web berdasarkan fungsinya yaitu : 1.
Personal Website, yaitu web yang berisi informasi pribadi seseorang.
2.
Commercial website, yaitu web yang digunakan untuk bisnis dan dimiliki oleh sebuah perusahaan.
3.
Government website, yaitu web yang dimiliki oleh pemerintah.
4.
Not-profit organizational website yaitu web yang dimiliki organisasi dan tidak ditunjukan untuk bisnis.
Menurut Rachmanto (2015:5) ada beberapa tujuan seseorang membuat situs web yaitu : 1.
Sebagai Kegiatan Jual Beli, dimana website ini khusus dibuat untuk untuk melakukan kegiatan jual beli. Website ini biasa digunakan untuk toko online layaknya mall online.
27 2.
Sebagai Kegiatan Membangun Komunitas, website dibuat agar kita sebagai pengguna dapat lebih banyak mengenal dan bersosialisasi dengan sesama komunitas lainnya.
3.
Sarana Berbagi Informasi, website ini digunakan untuk membagi berbagai informasi bermanfaat.
4.
Sebagai Media Promosi, website ini dibuat sebagai tujuan promosi agar produk atau jasa semangkin dikenal luas dan semangkin banyak orang tahu keberadaannya.
2.7.1 Definisi Kualitas Situs Web Dalam (Chang dan Chen, 2008, ms.821) kualitas situs web didefinisikan sebagai "evaluasi dari pengguna situs web, apakah fitur-fitur yang ada sudah memenuhi kebutuhan pengguna dan mencerminkan keunggulan secara keseluruhan dari sebuah situs web". Para peneliti sebelumnya (Chang, Kuo, Hsu dan Cheng, 2014:256) juga menyatakan bahwa kualitas situs web merupakan faktor kunci dalam perdagangan elektronik karena persepsi pelanggan atas kualitas situs web berdampak positif pada niat mereka untuk mengunakan situs web dan secara langsung juga mempengaruhi intensi untuk membeli. Kualitas situs web adalah sebuah multi dimensi yang terdiri dari kualitas informasi, kualitas sistem, dan kualitas layanan. Dan menurut skala model dari 3 (tiga) dimensi kualitas website, kualitas informasi dan kualitas sistem didefinisikan dari perspektif teknik, sedangkan kualitas layanan didefinisakan dari perspektif pelanggan.
2.7.1.1 Kualitas Sistem Kualitas
sistem
menunjukan
kualitas
dari
sistem
informasi
yang
pengolahannya dilakukan sendiri (Chen:2010). Kualitas Sistem biasanya berfokus pada karakteristik kinerja sistem. Menurut DeLone dan McLean dalam Risdiyanto (2014) kualitas sistem merupakan ciri
28 karakteristik kualitas yang diinginkan dari sistem informasi itu sendiri dan kualitas informasi yang diinginkan informasi karakteristik produk. Kualitas sistem dalam situs web ini menyangkut keterkaitan fitur dalam sistem termasuk performa sistem dan user interface. Berikut merupakan indikator yang digunakan untuk mengukur kualitas sistem dari sebuah situs web. 1) Kemudahan Penggunaan Sistem informasi, dapat dikatakan berkualitas jika sistem tersebut dirancang untuk memenuhi kepuasan pengguna, salah satunya melalui kemudahan dalam penggunaan sistem tersebut. Hal ini berarti dengan penggunaan sistem informasi maka biMBA akan lebih mudah untuk memberikan informasi dan calon investor juga akan lebih mudah untuk memperoleh informasi. 2) Kemudahan Dipelajari, Selain memudahkan pengguna dalam memberikan dan memperoleh informasi, sistem informasi yang baik juga diharapkan untuk mudah dipelajari, mudah dipahami dan tidak memerlukan waktu yang dalam dalam mempelajarinya. Dalam hal ini adalah kemudahan dipelajari oleh pengguna yang baru menggunakan sistem informasi atau pun pengguna yang beralih dari sistem informasi serupa. 3) Keandalan Sistem Keandalan sistem dalam hal ini adalah ketahanan sistem informasi dari kerusakan dan kesalahan. Keandalan sistem informasi dapat juga dilihat dari mampu atau tidaknya sistem informasi untuk melayani kebutuhan pengguna tanpa adanya masalah berarti. 4) Waktu respon dalam hal ini adalah adanya respon atau tanggapan yang cepat dari sistem informasi tersebut. 5) Kecepatan Akses suatu sistem informasi merupakan salah satu kualitas sistem informasi. Jika kecepatan akses sistem informasi cepat, maka sistem informasi tersebut memiliki kualitas yang baik
2.2.1.2 Kualitas Informasi
Kualitas informasi adalah bagaimana pengguna merasakan nilai output yang dihasilkan oleh sebuah website. DeLone dan McLean (2003) menyatakan bahwa kualitas informasi mengukur kualitas output dari sistem informasi, yaitu kualitas yang dihasilkan oleh sistem
29 informasi, terutama dalam bentuk laporan laporan (reports). Berikut merupakan indikator yang digunakan untuk mengukur kualitas informasi dari sebuah situs web (Risdiyanto, 2014:30-31). 1. Format (Bentuk) Format/bentuk penyajian informasi yang dihasilkan oleh sistem informasi, menggambarkan kualitas informasi sistem informasi tersebut. Jika penyajian informasi dalam bentuk yang tepat maka informasi yang dihasilkan dianggap berkualitas sehingga memudahkan pengguna untuk memahami informasi yang dihasilkan. 2. Kelengkapan menurut Bailey dan Pearson dalam Diana Garcia Smith (2007) menyatakan bahwa kelengkapan dari kualitas informasi adalah kelengkapan isi dari informasi yang dihasilkan oleh sistem informasi. Informasi yang lengkap adalah informasi yang mencakup seluruh informasi yang dibutuhkan oleh pengguna sistem informasi tersebut 3. Ketepatan Waktu Kualitas informasi dari sistem informasi dapat dikatakan baik jika informasi yang dihasilkan tepat waktu, bila informasi yang dibutuhkan terlambat, maka hal ini akan berpengaruh dalam kecepatang pengambilan keputusan, dan bila pengambilan keputusan terlambat maka akan berakibat fatal terhadap pengguna maupun organisasi. 4. Akurasi Bailey dan Pearson dalam Diana Garcia Smith (2007) menyatakan bahwa akurasi merupakan kebenaran dari informasi yang dihasilkan oleh sistem informasi. Informasi yang dihasilkan oleh sistem informasi harus akurat karena sangat berperan bagi pengambilan keputusan (DeLone dan McLean, 1992). Informasi yang akurat berarti harus bebas dari kesalahan dan bebas dari bias.
2.2.1.3 Kualitas Pelayanan
Dalam Risdiyanto (2014:32) Kualitas layanan merupakan kualitas dukungan yang didapatkan oleh pengguna dari sistem informasi dalam sebuah situs web. Beberapa indikator kualitas layanan diantaranya adalah responsiveness (kecepatan respon), technical competence (kemampuan teknik), dan empathy (empati) dari pihak pengembang sistem informasi klinik (Stacie, 2008).
30
2.8 Percaya Dalam Adji dan Semuel (2014:4), Moorman et al mendefinisikan “percaya adalah kesediaan individu untuk menggantungkan dirinya pada pihak lain yang terlibat dalam pertukaran karena individu mempunyai keyakinan kepada pihak lain. Sementara itu, Mowen dan Minor (2002) menyatakan bahwa “percaya merupakan semua pengetahuan yang dimiliki konsumen dan semua kesimpulan yang dibuat tentang objek, atribut, dan manfaatnya. Yunus (2006), juga menyatakan bahwa percaya adalah kekuatan “daya tarik” luar biasa untuk mengundang peluang dalam bertransaksi. Selain itu percaya juga didefinisikan sebagai keinginan untuk bergantung pada partner kerjasama yang telah diyakini (Anderson and Narus (1990).
Menurut McKnight, Kacmar, dan Choudry (dalam Adji dan Semuel, (2014:4), percaya dibangun antara pihak-pihak yang belum saling mengenal baik dalam interaksi maupun proses transaksi. McKnight et al (2002a) menyatakan bahwa ada dua dimensi kepercayaan konsumen, yaitu: a. Trusting Belief adalah sejauh mana seseorang percaya dan merasa yakin terhadap orang lain dalam suatu situasi. Trusting belief adalah persepsi pihak yang percaya (konsumen) terhadap pihak yang dipercaya (penjual toko maya) yang mana penjual memiliki karakteristik yang akan menguntungkan konsumen. McKnight et al (2002a) menyatakan bahwa ada tiga elemen yang membangun trusting belief, yaitu kebajikan, integritas dan kompetensi.
b. Trusting Intention adalah dimana seseorang sengaja bergantung pada orang lain dalam suatu situasi, ini terjadi secara pribadi dan mengarah langsung kepada orang lain. Trusting intention didasarkan pada kepercayaan kognitif seseorang kepada orang lain. McKnight et al (2002a) menyatakan bahwa ada dua elemen yang membangun trusting intention yaitu willingness to depend dan subjective probability of depending.
Dari definisi di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa trust adalah kepercayaan antara satu pihak dengan pihak yang lain dalam melakukan hubungan transaksi berdasarkan suatu keyakinan bahwa orang yang dipercayainya tersebut akan
31 memenuhi segala kewajibannya secara baik, sesuai yang diharapkan nya. Oleh sebab itu kepercayaan antara konsumen dan penjual sangat penting untuk menjaga hubungan jangka panjang.
Dalam Lee (2005) Palmer, Bailey, dan Faraj (2000) juga berpendapat bahwa membangun kepercayaan konsumen pada Web sangat penting untuk pertumbuhan B2C e-commerce. Jarvenpaa dan Tractinsky (1999) menyatakan bahwa percaya memiliki pengaruh langsung dan signifikan pada niat pembelian konsumen dalam beberapa budaya. Keen (1999) mengusulkan bahwa percaya adalah dasar dari EC yang berfokus pada implikasi strategis kepercayaan untuk hubungan konsumenmarketer.
2.8.1 Faktor yang mempengaruhi Percaya Percaya tidak terjadi begitu saja, ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kepercayaan tersebut. Dalam Rahatullah (2014:93), Nicholson et al., (2001) menyatakan bahwa percaya dalam hubungan bisnis adalah ketika salah satu pihak memiliki emosi integritas, kebajikan dan kredibilitas terhadap yang lain. Dalam Rahatullah (2014:93) aspek lain yang mempengaruhi percaya adalah kredibilitas, integritas dan kebajikan, yang mana : Kredibilitas menurut (Ganesan, 1994) adalah kemampuan dan keahlian dari mitra untuk melakukan tujuan dari hubungan. Mayer et al., (1995) menunjukkan bahwa kredibilitas tidak hanya menunjukkan harapan bahwa pasangan dapat melakukan dengan standar tertentu, tetapi juga memiliki cukup kompetensi dan karakteristik untuk melakukannya. Integritas adalah ketika mitra mematuhi standar etika dan menepati janji, (Nicholson et al., 2001). Menurut Ganesan (1994), komponen kebajikan kepercayaan mengacu pada fakta bahwa pasangan yang baik hati akan bertindak, mengadopsi dan beradaptasi dengan kondisi baru seperti yang diminta dan pasangan memiliki kemauan untuk melakukan lebih dari yang diharapkan. Jika situasi tujuan yang saling bertentangan muncul antara mitra, kebajikan menyiratkan bahwa salah satu pasangan akan menempatkan kepentingan mitra mereka di atas mereka sendiri (Sako 2000). Coletti et al., (2005) menunjukkan bahwa jika Kebajikan meningkat, maka mitra akan mengembangkan kewajiban moral dan
32 tanggung jawab untuk menempatkan perhatian untuk kepentingan orang lain di atas mereka sendiri. Menurut Rahatullah (2014:93) Percaya dan aspek terkait tersebut penting dalam hubungan bisnis. Dianggap penting khususnya dalam hubungan franchise yang mana ada ketergantungan simbiosis kepercayaan pada mitra. Meskipun kepercayaan penting dalam hubungan bisnis, bagaimanapun, sedikit informasi yang tersedia dapat membantu untuk mengidentifikasi tindakan strategis yang harus mitra (dalam hubungan waralaba) ambil untuk mendapatkan dan mewujudkan kepercayaan dan komitmen mereka satu sama lain.
2.8.2 Percaya Terhadap Pemberi Waralaba Keberhasilan waralaba sangat bergantung pada kepercayaan antara pemberi waralaba dan penerima waralaba. Dalam istilah praktis, pemberi waralaba bergantung pada penerima waralaba untuk tampil di tingkat yang diharapkan dalam pedoman yang sudah ditentukan, sedangkan penerima waralaba bergantung pada pemberi waralaba untuk dua dukungan yaitu promosi (merek) dan dukungan manajerial (pelatihan). kepercayaan dalam fungsi konteks waralaba merupakan ikatan yang memperkuat keselarasan kontrak kepentingan antara relasional pihak waralaba, sehingga memastikan hasil yang saling menguntungkan. Kepercayaan
dapat
meningkatkan
keyakinan
penerima
waralaba
terhadap
kompetensi dan integritas pemberi waralaba, yang mengarah pada perilaku yang lebih koperatif dan kepuasan terhadap hubungan kerjasama waralaba (Davies et al, 2011) Dalam Halim (2015) kepercayaan terhadap pemberi waralaba dapat di ukur melalui 3 indikator yaitu percaya pada pemilik perusahaan, percaya pada perusahaan dan kompetensi dari perusahaan itu sendiri.
33 2.9 Kendali Perilaku Perceived behavior control menurut Ajzen dan Fishben (dalam Albarracin, Johnson, & Zanna: 2005) adalah persepsi individu mengenai memiliki atau tidak memiliki kapasitas dalam melaksanakan perilaku. Kendali perilaku aktual (Actual behavior Control) merupakan derajat sejauh mana seseorang memiliki keterampilan, sumber-sumber daya, dan prasyaratprasyarat lain yang dibutuhkan untuk menampilkan suatu perilaku. Kesuksesan untuk perilaku tidak hanya bergantung pada intensi yang baik (favorable), tetapi juga bergantung pada tingkat kendali perilaku yang cukup (sufficient).
2.9.1 Faktor yang mempengaruhi Kendali Perilaku Menurut Ajzen dan Fishben (dalam Albarracin, Johnson, & Zanna, 2005), Perceived behavioral control dipengaruhi oleh Control beliefs yaitu keyakinan mengenai ada atau tidak adanya faktor yang membuat kinerja perilaku lebih mudah atau lebih sulit. Berikut indikator yang digunakan untuk mengukur kendali perilaku dalam membeli bisnis waralaba adalah ketersediaan keuangan seseorang, keyakinan akan kemampuan mengelola bisnis yang dibeli dan ketertarikan pada bidang bisnis yang dibeli (Justis dan Judd, 2002 dalam halim, 2015)
2.10 Intensi Membeli Dalam Kreithner dan Kinichi (2007) Intensi dibagi menjadi 2 jenis yaitu intensi yang terukur dan intensi yang tidak terukur dan untuk sebuah riset intensi yang digunakan adalah intensi yang terukur dalam tindakan, dalam penelitian ini intensi yang terukur dalam tindakan adalah intensi membeli bisnis waralaba dan indikator yang digunakan untuk mengukur intensi membeli bisnis waralaba adalah datang keundangan seminar bisnis waralaba, bersedia disurvei lokasi dan melakukan kesepakatan untuk dapat melihat perjanjian kontrak (Halim,2015).
34 Dalam Chi, Yet, dan Tsai (2011). Menurut Fishbein & Ajzen (1975), Dodds et al (1991), dan Schiffman & Kanuk (2000) Intensi membeli adalah kemungkinan bahwa pelanggan akan membeli produk tertentu. Dalam Wang dan Tsai (2014:29) Sebuah keinginan yang besar untuk membeli suatu produk kemungkinan untuk membelinya juga lebih tinggi, tetapi belum tentu benarbenar akan membelinya. Sebaliknya, lebih rendahnya kesediaan untuk membeli tidak berarti mustahil untuk membeli. Bagozzi dan Burnkrant (1979) mendefinisikan niat beli sebagai kecenderungan perilaku pribadi untuk produk tertentu. Jamalludin (2013) dan Chang, Kuo, Hsu & Cheng (2014), juga mendefinsikan "Intensi membeli sebagai situasi yang menunjukan dirinya ketika sebagai konsumen bersedia dan berniat untuk terlibat dalam transaksi online. Menurut Spears dan Singh (2004) intensi membeli sebagai "rencana sadar individu untuk melakukan upaya untuk membeli suatu merek". Intensi membeli ditentukan oleh konsumen ketika merasakan manfaat dan nilainya (Wang & Tsai, 2014, Page 29). Intensi membeli menunjukkan bahwa konsumen akan mengikuti pengalaman mereka, preferensi dan lingkungan eksternal untuk mengumpulkan informasi, evaluasi alternatif, dan membuat keputusan pembelian (Zeithaml, 1988;. Dodds et al, 1991; Schiffman & Kanuk, 2000; Yang, 2009) dalam Chi, Yet, dan Tsai (2011). Dalam Jaafar, Lalp dan Mohamed (2012:75) mengatakan keputusan pembelian konsumen sangat kompleks. Biasanya niat pembelian terkait dengan perilaku konsumen, persepsi dan sikap mereka. Perilaku pembelian merupakan kunci penting bagi konsumen selama mempertimbangkan dan mengevaluasi produk tertentu (Keller, 2001). Ghosh (1990) menyatakan bahwa intensi membeli adalah penggunaan alat yang efektif dalam memprediksi proses pembelian. Ketika konsumen memutuskan untuk membeli produk di toko tertentu, itu berarti mereka telah didorong oleh niat mereka. Namun, menurut Zeithaml, (1988) dan Grewal et al (1998) niat pembelian mungkin saja berubah karena dipengaruhi oleh Perceived Price, Perceived Quality dan Perceived Value.
Faktor-faktor penentu yang dapat merubah intensi membeli sesuai dengan studi Uskup (1984), dan Jacoby dan Olson (1985) dalam (Kittilertpaisan & Chanchitpreecha, 2013, page 173) membahas tiga faktor tersebut dengan didefinisikan dan dijelaskan secara rinci :
35
•
Perceived Price (PP): Grunert et al (2004) menyatakan bahwa intensi membeli konsumen dipengaruhi oleh harga. Selain itu, Munusamy dan Wong (2008) membuktikan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara harga dan motif konsumen terhadap pembelian produk private label. Oleh karena itu, sebagian besar konsumen akan membuat keputusan mereka dengan mengacu pada produk harga rendah (Boutsouki et al., 2008).
•
Persepsi Quality (PQ): Jin dan Yong (2005) membuktikan bahwa persepsi kualitas merupakan faktor penting untuk konsumen dalam pengambilan keputusan dengan membandingkan kualitas dengan harga dalam kategori tertentu Davis et al.(2003) fokus Perceived Quality secara langsung terkait dengan reputasi perusahaan yang memproduksi produk. Mutu Nasional Research Center (1995) mendefinisikan Perceived Quality dalam istilah produk atau layanan yang menyediakan kebutuhan utama pelanggan (Customization) dan memberikan persyaratan yang dapat dipercaya (Reliability). Konsumen sering menilai kualitas suatu produk atau jasa dalam pandangan berbagai isyarat informasi mereka dalam merespon produk. Beberapa isyarat ini intrinsik untuk produk, sedangkan yang lain ekstrinsik. Sesuai dengan studi Armstrong dan Kotler (2003) menyimpulkan bahwa persepsi kualitas memiliki dampak langsung terhadap intensi membeli.
•
Perceived Value (PV): Gan et al. (2005) mendefinisikan istilah "nilai" sebagai penilaian preferensi oleh konsumen. Menurut Cronin et al. (2000) Perceived Value berarti penilaian konsumen terhadap utilitas produk apa yang diterima dan apa yang diberikan. Sweeney dan Soutar (2001) Perceived Value didefinisikan sebagai preferensi yang dirasakan untuk dan mengevaluasi, atribut produk, atribut kinerja, dan hubungan konsekuensi target dan tujuan konsumen. Selanjutnya, Mokhtar dkk. (2005) Value didefinisikan sebagai "fungsi dari keseluruhan kualitas dan harga produk dan jasa perusahaan dibandingkan dengan kompetitor". Akibatnya, persepsi nilai dapat didefinisikan sebagai penghakiman konsumen terhadap produk.
Monroe dan krishnan (1985) ; Zeithami (1988) dalam (Chi, Yeh dan Tsai, 2011) menyampaikan bahwa Perceived Value dan Perceived quality yang dirasakan
36 akan mempengaruhi Purchase Intention, dan semangkin besar Perceived Value dan Perceived Quality yang dirasakan maka Puchase Intetion juga semangkin besar.
Pada penelitian sebelumnya Halim (2015) menyatakan bahwa terdapat 5 variabel yang mempengaruhi intensi dalam membeli waralaba. Kelima variabel itu terdiri dari : 1. Keunggulan waralaba yang merupakan kumpulan keunggulan yang dimiliki oleh perusahaan waralaba yang menjadi keuntungan yang dapat diambil oleh calon waralaba seperti dukungan dari pemberi waralaba dan keterbuktian bisnis. 2. Norma subjektif yang berisi tentang kumpulan norma-norma subjektif yang harus diketahui dan menjadi pertimbangan calon investor dalam memperoleh kepercayaan dari pemberi waralaba seperti dokumen pendukung perusahaan, informasi keuangan, kapasitas dari pemberi waralaba, dan rekomendasi. 3. Kendali perilaku yaitu kumpuan faktor kontrol dari sisi calon investor sewaktu ingin membeli bisnis waralaba, faktor kontrol tersebut seperti kapasitas keuangan, kesediaan waktu dan sumber daya dan keinginan berbisnis dalam sudatu bidang. 4. Percaya pada pemberi waralaba yaitu kumpulan faktor-faktor yang merupakan ukuran seorang calon investor dapat percaya pada sebuah bisnis waralaba seperti kepercayaan terhadap pemberi waralaba dan perusahaan waralaba tersebut. 5. Kualitas situs web merupakan kumpulan kualitas sistem informasi yang diberikan oleh pemberi waralaba kepada calon investor disaat calon investor mencari informasi mengenai bisnis waralaba yang ingin diketahui seperti kualitas dari sistem, kualitas dari informasi dan kualitas dari pelayanan yang akan diberikan pemberi waralaba kepada pencari informasi.
37 2.11 Kerangka Teoritis Berdasarkan teori yang telah diuraikan maka dapat disusun kerangka teoritis sebagai berikut :
Gambar 2. 5 Kerangka Teoritis Sumber : Peneliti, 2016
38 2.12 Uji Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini disajikan berdasarkan tujuan penelitian, hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Gambar 2. 6 Kerangka Pemikiran Sumber : Peneliti, 2016
H1 :
Kualitas Situs Web memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Intensi Membeli Bisnis Waralaba Pendidikan
H2 :
Percaya pada Pemberi waralaba memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Intensi Membeli Bisnis Waralaba Pendidikan
H3 :
Kendali Perilaku memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Intensi Membeli Bisnis Waralaba Pendidikan