BAB II LANDASAN TEORI DAN DATA
2.1.
Merek dan Pencitraan Banyak dan beragam definisi dari merek (brand) dan pencitraan (branding). Tidak ada definisi pasti dari keduanya, namun pengertiannya dapat ditarik dari beberapa teori yang diulas dalam beberapa literatur. Dilihat dari sejarahnya, merek adalah identitas dari suatu benda kepemilikan, atau hari ini, produk komersil. Hal ini berawal sejauh sejarah manusia ketika peradaban menuntut untuk menandai hak milik untuk hewan peliharaannya. Dalam perkembangannya, seiring dengan industralisasi di dunia barat dan kemudian kapitalisme, kebutuhan akan identitas menjadi sangat penting. Lahirnya ilmu desain grafis mempermudah proses identifikasi produk dagangan dan meningkatkan peran visualisasi dalam komunikasi merek. Berkembangnya demokrasi, kapitalisme, individualisme dan kebebasan berekspresi pasca Perang Dunia ke-II memunculkan orientasi baru dalam kehidupan manusia di dunia. Teknologi yang menunjang turut membantu terlahirnya konsep globalisasi dan pasar yang lebih luas. Jika tadinya suatu produk hanya dijual di tempat dan waktu yang terbatas, sekarang produk tersebut dapat merambah pasar yang lebih luas di dalam negeri, dan bahkan lintas batas negara. Kecenderungan ekonomi kapitalis yang ekspansif memudahkan peluncuran produk baru dan pemasarannya, memunculkan beragam produk yang bersaing memenangkan pasar. Identifikasi yang tadinya bersifat rasional, mulai bergeser menjadi sesuatu yang lebih perseptif dan emosional. Proses memenangkan pasar tidak hanya dilakukan dengan peningkatan kualitas dan kuantitas produk, tetapi juga oleh pembangunan merek. Dengan memiliki merek saja dianggap tidak memadai untuk bersaing. Lalu muncullah istilah citra merek (brand image) yang didasari oleh ilmu yang menentukan bagaimana suatu produk dapat dipersepsi oleh konsumen secara berbeda dari yang lainnya, walau jenis produknya sama, yang disebut dengan positioning (penempatan, pemetaan). David Ogilvy dari agensi periklanan Ogilvy & Mathers memunculkan isu pentingnya citra merek pada tahun 1951. Walter Landor, pendiri Landor Associates, perusahaan pencitraan terkemuka dari Amerika Serikat pernah berujar, “Produk dibuat di pabrik, citra (brand) dibuat di pikiran manusia”. Hal ini langsung mematok kenyataan bahwa produk dan citra adalah dua hal
7
berbeda, yang dapat menimbulkan efek berbeda jika diperlakukan dengan caracara tertentu. Produk yang dibuat bisa sama, tetapi positioning dan kemudian branding-lah yang membedakan. Adalah hal yang memungkinkan, produk yang sama dengan merek yang berbeda dapat dipersepsikan sebagai dua hal yang berbeda dengan adanya branding. Baru pada tahun 1990-an merek dianggap sebagai sebuah aset dan dirasa harus ada manajemen yang konkrit untuk mengelolanya. Hal ini berarti perusahaanperusahaan di dunia semakin menyadari bahwa merek adalah sebuah komoditas yang semakin dibeli masyarakat, dan mereka pun berusaha meningkatkan persepsi masyarakat terhadap mereknya. Perusahaan lambat laun akan membutuhkan perhatian serius terhadap pembangunan citra mereknya, jika ingin tetap eksis di benak konsumen dan produknya terus dibeli/dikonsumsi. Definisi merek modern menurut pemerintah Republik Indonesia ada pada UU Merek No. 15 Tahun 2002 pasal 1 ayat 1, yang menyebutkan merek sebagai “tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.” Sedangkan menurut American Marketing Association, merek adalah “nama, istilah, tanda, simbol atau desain, atau kombinasi di antaranya, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang dan jasa dari satu penjual atau sekelompok penjual dan membedakannya dari barang dan jasa para pesaingnya.” (kedua definisi dikutip dalam Fandy Tjiptono, 2005). Walaupun demikian, merek tidak terbatas pada produk komersial, tetapi pada perkembangannya juga termasuk entitas dan kegiatan lain yang tidak komersial sifatnya, seperti organisasi atau kampanye sosial. Sebuah merek memiliki banyak komponen, secara garis besar ia dapat terdiri dari nama, simbol/lambang, hingga aplikasinya. Menurut Tjiptono, 2005, merek pada zaman sekarang memiliki beberapa elemen, yakni: No.
Elemen Tangible* dan
Elemen Intangible**
Referensi
Identitas, merek
Aaker (1992)
Visual 1.
Simbol dan slogan
korporat, komunikasi terintegrasi, relasi pelanggan 2.
Nama, logo, warna, brandmark, dan slogan
---
Bailey & Schechter (1994)
8
iklan 3. 4.
Nama, merek dagang
Positioning, komunikasi
Biggar & Selame
merek
(1992)
Kapabilitas fungsional,
Nilai simbolis, layanan,
De Chernatony
nama, proteksi hukum
tanda kepemilikian,
(1993)
shorthand notation 5.
Fungsionalitas
Representasionalitas
De Chernatony & McWilliam (1989)
6. 7.
Kehadiran dan kinerja Nama unik, logo, desain
Relevansi, keunggulan,
Dyson, Farr & Hollis
ikatan khusus (bond)
(1996)
---
Grossman (1994)
Kepribadian, relasi,
Kapferer (1997)
grafis dan fisik 8.
Bentuk fisik
budaya, refleksi, citra diri 9.
Nilai fungsional
Nilai sosial dan personal
O’Malley (1991)
*Tangible adalah sesuatu yang memiliki bentuk fisik, dapat dilihat, diraba dan disentuh **Intangible adalah sesuatu yang tidak memiliki bentuk fisik, sifatnya lebih pada pikiran dan perasaan manusia
Menurut Keller (2003) seperti dikutip Tjiptono (2005), merek memiliki beberapa manfaat, antara lain:
Sarana identifikasi
Bentuk proteksi hukum
Sinyal tingkat kualitas bagi para pelanggan yang puas
Saran menciptakan asosiasi dan makna unik yang memberikan perbedaan dari produk pesaing
Sumber keunggulan kompetitif
Sumber kembalinya investasi (financial returns)
Sedangkan menurut Whitwell (2003) seperti dikutip Tjiptono (2005), ada beberapa tipe merek, yakni:
Attribute brands, yaitu citra merek yang mengkomunikasikan keyakinan/kepercayaan terhadap atribut fungsional suatu produk. Merek-merek semacam ini memperkenalkan keunggulan fungsional dari produknya dalam citra mereknya, contohnya adalah asosiasi tangguh untuk sepada motor Bajaj.
9
Aspirational brands, yaitu citra merek yang mengkomunikasikan karakter konsumennya. Contoh mudah adalah produk kelas atas yang ingin mensasar komunitas menengah ke atas. Misalnya produk telepon seluler Vertu, atau jam tangan Rolex yang mengindikasikan elegan dan royal.
Experience brands, citra merek yang mengkomunikasikan pengalaman yang ditawarkan jika menggunakan merek tersebut. Sifatnya lebih bersifat asosiasi terhadap pengalaman dan emosi tertentu. Misalnya sikap “Just Do It” dari Nike, Marlboro dengan maskulinitas atau Qantas Airways dengan “The Spirit of Australia”.
Pencitraan erat kaitannya dengan disiplin ilmu desain grafis. Terutama berkaitan eksekusi visual dari sebuah citra atau merek. Tentu saja, pencitraan dari sebuah entitas tidak hanya bergantung pada visualisasi tetapi juga hal-hal non-teknis seperti kultur perusahaan dan strategi lainnya. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa visualisasi adalah ‘wajah’ dari seluruh kultur dan strategi itu. Beberapa poin penting yang dapat diambil dari teori-teori di atas adalah bahwa merek merupakan tanda atau identitas yang membedakan suatu produk atau entitas dari produk-produk dan entitas-entitas lainnya. Positioning adalah proses memetakan produk/entitas di benak konsumen, sedangkan branding atau pencitraan adalah proses pembuatan merek berdasarkan positioning tersebut. Brand atau merek adalah hasil/bentuk dari proses tersebut. Brand image adalah citra atau persepsi yang dihasilkan dari suatu merek, sesuatu yang mulai dianggap sebagai komoditas atau aset tersendiri sejak kurun dekade 1990-an. 2.2.
Komponen Pencitraan pada Maskapai Penerbangan Niaga Menurut Aerobrand, LLC, sebuah perusahaan pencitraan perusahaan penerbangan dari New York, Amerika Serikat, ada beberapa aplikasi pencitraan sebuah maskapai penerbangan, antara lain: 1.
Identitas korporat (corporate identity) Aplikasi visual identitas dan sistemnya yang terwujud dalam manual identitas
2.
Livery Livery adalah aplikasi sistem identitas pada kendaraan operasi dan armada pesawat, atau rancangan grafis yang ada di kendaraan/armada tersebut
3.
Desain interior kabin Antara aspek yang termasuk di dalamnya adalah desain pada dinding/sekat, jok, karpet dan detil lainnya
10
4.
Seragam pegawai Termasuk seragam pilot, pramugara dan pramugari, serta pegawai ground dan kantor-kantor di luar bandara
5.
Lingkungan di bandara Termasuk kaunter check-in, executive lounge, sistem marka dan ruangan lain yang berhubungan dengan kegiatan perusahaan di bandara
6.
Visualisasi produk Termasuk kolateral grafis seperti pada tiket, brosur, buku/buklet, majalah, menu, kartu informasi, sampai pada visualisasi elektronik seperti in-flight entertainment
7.
Desain dan pengembangan web Untuk menjalin hubungan dengan mitra dan melayani konsumen dengan cepat dan mudah, termasuk di dalamnya situs web internet dan intranet (intra perusahaan)
2.3.
Livery Armada 2.3.1. Jenis Livery, terutama livery pada armada (pesawat terbang) merupakan aplikasi utama dari sistem identitas visual untuk sebuah maskapai penerbangan4. Beragam sumber menyimpulkan bahwa peran aplikasi livery antara lain: 1.
Identifikasional Sebagai identitas fisik yang membedakan armada tersebut dari armada lainnya, karena kesamaan jenis pesawat yang digunakan maskapaimaskapai lain sehingga membutuhkan identifikasi langsung yang kasat mata. Identifikasi diperlukan oleh para konsumen maupun mereka yang bekerja di bandara dan ketika pesawat tersebut sedang di udara maupun ketika di darat. Biasanya livery untuk setiap maskapai penerbangan/perusahaan lain (kargo) tunduk pada sistem identitas visual perusahaannya masing-masing.
2.
Promosional Dengan ditemukannya teknologi supergraphic dengan teknologi cetak super besar dan dengan beragam aplikasi berbeda seperti vinyl, stiker 3M dan pengecatan, badan pesawat menjadi media efektif dalam
Wawancara dengan Henricus Kusbiantoro, pakar branding, melalui e-mail pada 3 Maret 2007. Henricus pernah mengerjakan sistem identitas visual yang salah satu aplikasinya adalah livery untuk Japan Airlines pada tahun 2002. 4
11
menyampaikan pesan tertentu di luar penyampaian identitas. Ada beberapa jenis aplikasi livery sebagai media promosi hari ini: a.
Promosi/kampanye maskapai Banyak maskapai yang menggunakan badan pesawatnya untuk menyampaikan kampanye yang sedang diusungnya. Sebagai contoh, Qantas Airways pernah menampilkan tiga buah karya seni lukis aborijin pada tiga armadanya, yang memperkuat kampanye atau slogan “The Spirit of Australia”.
b.
Promosi/kampanye pihak ketiga Tren terkini adalah menggunakan badan pesawat untuk periklanan atua kampanye non-profit dari pihak ketiga, seperti pemerintah, organisasi atau perusahaan komersil. Ada beberapa kasus dimana maskapai penerbangan tersebut sama sekali menghilangkan livery identifikasionalnya untuk menampilkan pesan pihak ketiga secara menyeluruh. Untuk yang terakhir ini, sering disebut “flying billboard”. Contohnya adalah Korean Air yang menampilkan logo Workd Cup 2002 dan Atlas Air yang menampilkan livery total untuk produk Coca-Cola.
Sumber: http://www.liladesign.com/liladesign/airlinebranding/airlinebrandi ng/Fleet%20Advertising/atlasjetcocacola.html
2.3.2. Ketentuan Livery dan Keterbacaan Dalam manual identitas Garuda Indonesia tidak terdapat panduan yang spesifik mengenai pemasangan livery di badan pesawat yang sebenarnya, namun ada panduan untuk menampilkan armada pada media cetak atau elektronik (misalnya untuk iklan), dan pada model pesawat terbang.
12
Sumber: Manual Identitas Visual Garuda Indonesia – Model Aircraft
Pada contoh di atas dapat dilihat aplikasi identitas visual livery armada Boeing 747-200. Ukuran pesawat adalah lebar 68,6 m dan tinggi 19,4 m. Daftar warna di bawahnya adalah kombinasi 5-warna dari sistem identitas visual Garuda Indonesia, yang turut digunakan dalam contoh livery di atas. Ketentuan ini berlaku di seluruh aplikasi livery Garuda. Dalam perancangan livery untuk pesawat terbang, aspek keterbacaan/legibilitas dan faktor manusia berlaku sangat relatif, karena sifat dari pesawat terbang yang berpindah-pindah dan jarak pandang/sudut pandang yang bervariasi. Tidak ada panduan spesifik dari manual identitas Garuda Indonesia mengenai aspek keterbacaan dari aplikasi livery khususnya, namun untuk teori keterbacaan dasar adalah sebagai berikut:
Sumber: Manual Identitas Visual Garuda Indonesia - Signing
13
Dalam sinar matahari normal di hari yang normal, atau dalam ruangan yang cukup diterangi, dan mata yang normal/sehat, maka rumusan antara jarak pandang dan ukuran huruf atau suatu gambar adalah setiap 10 meter mata manusia dapat melihat elemen yang tingginya minimum 40 mm. Untuk kekurangan dan kelebihannya, berlaku kelipatannya, sehingga jika jarak pandang adalah 40 meter maka tinggi elemen adalah minimal 160 mm (empat kalinya). Untuk keterbacaan pada livery, dapat dipelajari lebih lanjut pada Bab III di bawah hasil observasi. 2.4.
Data dan Fakta 2.4.1. Topik Tema dari promosi ini berkisar antara mengangkat citra Garuda selama ini yang menjadi pionir di bidangnya, memanifestasikannya dalam kemasan yang komunikatif serta relevan. Aplikasi utama direncanakan pada livery. Konsep perancangan livery akan dibawahi oleh wadah promosi lebih besar yang turut menjadi tema dari ilustrasi atau bentuk grafis yang ada di livery. Perancangan livery ini tidak bersifat identifikasional melainkan promosional. Akan ada aplikasi penunjang di media-media lain untuk memperkuat kampanye tersebut. Alasan memilih livery karena ia merupakan aplikasi utama dari pencitraan sebuah maskapai penerbangan dan belum pernah dilakukan sepanjang sejarah mata kuliah Tugas Akhir Desain Grafis di Institut Teknologi Bandung. 2.4.2. Profil Perusahaan Terkait Garuda Indonesia adalah perusahaan negara berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang didirikan pada tanggal 26 Januari 1949. Ia telah menjadi maskapai penerbangan nasional (flag carrier) Republik Indonesia hampir 60 tahun lamanya. Sepanjang sejarahnya, Garuda Indonesia telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan perjuangan bangsa dan negara Indonesia sendiri. Ia turut membantu perjuangan kemerdekaan bersama Presiden Soekarno. Ia lalu menjadi agen pembangunan yang membantu menggerakkan perekonomian. Dengan negara yang berbentuk kepulauan, transportasi udara menjadi sarana vital untuk menghubungkan satu tempat
14
dengan tempat yang lainnya. Pada tahun 2005, Garuda Indonesia menerbangkan sekitar 8,7 juta penumpang dengan load factor 68.73%. Garuda Indonesia memegang peran penting sebagai penghubung antarpulau di nusantara. Dengan puluhan ribu pulau tersebar di nusantara, Garuda menjadi maskapai utama dengan tujuan terbanyak di dalam negeri. Di pasar internasional, Garuda berperan sebagai pendorong pariwisata dengan membawa turis-turis ke lokasi-lokasi di Indonesia. Pada dekade 80-an dan 90-an Garuda membuka banyak rute dari dan ke Eropa, Amerika, Australia dan Asia. Bahkan dekade 80-an menyaksikan keuntungan Garuda mayoritas datang dari penjualan luar negeri. Ketika itu, Indonesia sedang berusaha mengandalkan pariwisata sebagai industri baru penopang ekonomi negara setelah produksi minyak bumi mulai kurang dapat diandalkan. Selain kedua skop bisnis tersebut, salah satu pasar Garuda adalah jemaah haji dan umrah. Keduanya adalah captive market, yaitu pasar yang benar-benar dapat dipegang kuat dari tahun ke tahun. Pasar ini menyumbang 10% dari total keuntungan perusahaan tiap tahunnya dengan 80.000 jemaah tiap tahun. Sepanjang sejarahnya Garuda mengalami banyak titik waktu yang sangat penting, terutama berkaitan pertumbuhannya menjadi maskapai yang mandiri. Dimulai dari bantuan maskapai nasional Belanda sampai kepemimpinan putra bangsa, Garuda menjadi salah satu pencapaian besar bangsa di era 80-an dan awal 90-an ketika menjadi salah satu maskapai terbesar di Asia. Garuda juga membagi kepiawaian dan fasilitasnya dengan maskapai lain dengan dibukanya Garuda Maintenance Facility (terbesar di masanya) di Cengkareng dan Garuda Indonesia Training Center di Kosambi, Tangerang. Bahkan, pada awal 1992, Garuda berminat untuk membeli sebagian saham dua maskapai Australia yakni Qantas dan Australian Airlines.
Armada Garuda Indonesia dengan logo Visit Indonesia Year 1991 Sumber: Dokumentasi Garuda Indonesia
15
Garuda juga mendukung program pariwisata pemerintah “Visit Indonesia Year 1991” dengan menempelkan logo kampanye tersebut di pesawatpesawatnya. Hal ini mendukung komitmen Garuda sebagai agen pembangunan terutama bidang pariwisata. Pada saat itu Garuda membuka paket-paket pariwisata dengan tujuan-tujuan yang belum populer, terutama di daerah yang masih belum terjamah alamnya. Garuda baru saja hendak mengembangkan bisnisnya secara agresif pada tahun 1996 dengan menambah armada baru dari Boeing, sebelum diterpa oleh krisis ekonomi Asia. Dengan nilai mata uang Rupiah yang jatuh dan biaya operasional yang naik tajam, Garuda terpaksa membatalkan pesanan, bahkan menjual 20 pesawat dan beberapa aset lainnya. Wacana privatisasi mencuat pada tahun 1997 yang kemudian tidak diteruskan pada tahun 1998. Penghentian hubungan kerja (PHK) dilakukan terhadap 3.000 karyawan dari total 13.000 karyawan pada masa itu. Tarif penerbangan juga terpaksa dinaikkan. Setelah semua usaha itu, Garuda masih mengalami utang sebesar USD1,8 milyar. Bagaimana pun, Garuda berhasil meraih keuntungan pertamanya sejak krisis ekonomi pada tahun 1999 dan banyak pihak memuji usaha perbaikan tersebut. Beberapa isu menjadi pertimbangan bagi pertumbuhan Garuda setelah itu. Pada kurun waktu 2000 hingga 2001 pemerintah Indonesia menerbitkan regulasi yang mendorong masuknya/didirikannya perusahaan penerbangan baru. Sekitar selusin maskapai baru muncul di Indonesia. Serangan 11 September 2001 di World Trade Center, New York, Amerika Serikat membuat negara adidaya tersebut mengeluarkan Travel Warning. Lalu pada tahun 2003, endemi SARS, bom Bali, perang Irak mengguncang industri penerbangan, tidak luput pada Garuda. Garuda mencoba melihat ulang opsi privatisasi dan memandirikan bisnis maintenancenya. Persaingan maskapai dalam negeri masih terjadi hingga saat ini dan bertambah sengit. Walaupun Garuda menguasai sekitar 50% pasar domestik, marjin operasionalnya hanya setengah porsi dari sebelumnya. Garuda masih berusaha meraih pasar domestik seperti halnya sebelum 1996. Pada September 2003, Garuda menandatangani kesepakatan dengan Malaysia Airlines untuk menggunakan Kuala Lumpur International Airport sebagai basis kedua, serta menggunakan fasilitas pengelolaan di sana. Selain itu, Garuda juga sepakat untuk joint flight route dengan Malaysia Airlines ke rute-rute Eropa.
16
Tahun 2005, perusahaan mencanangkan program pemulihan bisnis yang berorientasi pada revitalisasi positioning menjadi customer-centric company, yaitu perusahaan yang selain membawa citra bangsa, juga handal dalam bisnis dan pelayanan. Hal ini diwujudkan melalui program yang dinamakan “New Direction 2005 – 2010” yang dapat dirinci menjadi tiga tahap:
-
Tahap Survival (2005 – 2006), diarahkan untuk menata ulang kegiatan operasi dengan tujuan utama menjadikan Garuda tepat waktu dan layanan prima
-
Tahap Turnaround (2007 – 2008), diarahkan untuk memperbaiki organisasi dan manajemen internal untuk menyejajarkan dengan maskapai internasional lain
-
Tahap Growth (2009 – 2010), diarahkan untuk meningkatkan operasi dan bisnis agar dapat melayani beragam tujuan penerbangan di dunia.
Saat ini, Garuda Indonesia menjadi maskapai nasional dengan rute internasional terbanyak di antara maskapai-maskapai nasional lainnya. Ia juga memiliki armada terbesar di antara maskapai domestik, dan unggul (posisi pertama untuk kategori perusahaan angkutan udara berpenumpang 30 ke atas) dalam audit Departemen Perhubungan Republik Indonesia mengenai Penilaian Kinerja Operasional Perusahaan Angkutan Udara Niaga dalam Pengoperasian Pesawat Udara yang diterbitkan di situs web resminya tanggal 23 Maret 2007. Garuda Indonesia merupakan full service carrier, atau maskapai berlayanan penuh yang ciri-cirinya adalah tariff yang diberikan mencakup layanan menyeluruh dan optimal, mulai dari kemudahan reservasi, fasilitas di bandara, suasana kabin yang lebih nyaman dan layanan kabin yang penuh (makanan, minuman, dan layanan lain diberikan termasuk dalam harga) hingga sampai tujuan. Untuk ini, Garuda Indonesia memang memasang tarif rata-rata lebih mahal dari maskapai domestik nasional lain, seperti yang digambarkan dalam cuplikan tabel dari situs agen perjalanan Plasa.com:
17
Sumber: Plasa.com
Dari segi okupasi penumpang, Garuda Indonesia mengalami peningkatan cukup signifikan sejak lima tahun terakhir, baik domestik maupun internasional.
Sumber: Garuda Magazine, Annual Report 2003 dan 2004, materi cetak lain
2.4.3. Sasaran/Target Target primer yang dipikirkan sampai tahap ini adalah warga negara Indonesia, di mana pun mereka tinggal, baik di dalam maupun luar negeri. Diutamakan mereka yang berdomisili di kota-kota yang dihubungkan oleh Garuda Indonesia. Profil konsumennya adalah mereka yang menjadi target konsumen Garuda Indonesia, yakni mereka yang memiliki kekuasaan dalam mengambil keputusan baik untuk keluarga maupun kelompok yang lebih besar. 2.4.4. Media yang Digunakan Livery, seperti dikatakan pada bagian sebelumnya, menjadi aplikasi utama dari pencitraan sebuah maskapai penerbangan. Pada kenyataannya, banyak sekali maskapai penerbangan, baik flag carrier maupun tidak, yang sudah
18
menggunakan livery armadanya untuk kebutuhan promosi baik untuk perusahaan sendiri maupun pihak ketiga. Media-media yang lain, yang sifatnya lebih konvensional, akan digunakan untuk mendukung media livery, agar pesan yang ingin disampaikan lebih tersebar dan eksis. 2.4.5. Tinjauan terhadap Proyek/Program Sejenis 2.4.5.1. British Airways British Airways didirikan tahun 1924 dengan nama Imperial Airways. Sejak tahun 1974, armadanya memiliki livery yang menampilkan bendera Inggris, “Union Jack”, yang diaplikasikan pada ekor (tailfin) dari setiap pesawat. Pada tahun 1997, Bob Ayling, CEO British Airways pada saat itu melaksanakan sebuah program pencitraan ulang yang aplikasi utamanya pada livery. Program kampanye ini bernama Utopia atau disebut juga World Images, yang mengaplikasikan beragam motif etnik dari beragam belahan dunia/budaya pada setiap ekor unit-unit armadanya, menunjukkan budaya-budaya dari tempat-tempat yang ada di jaringan tujuannya. Tidak seluruh badan pesawat digarap, kampanye ini hanya memberi motif pada ekor pesawat saja. Latar belakang pelaksanaan kampanye ini adalah meremajakan citra British Airways yang dinilai terlalu arogan dengan bendera Union Jack yang dibawanya. Hingga tahun 1999, British Airways sudah mengecat ekor dari sekitar 170 armadanya. Namun program kampanye ini bukannya tanpa kritik. Ketika itu, terjadi revisi akibat kritik dari dalam negeri, terutama oleh konsumen loyal yang sangat bangga dengan kebangsaan Inggris mereka. Perdana Menteri Inggris Raya pada saat itu, Margaret Thatcher, pernah menunjukkan ketidaksukaannya terhadap desaindesain etnik tersebut. Ia menganggap maskapainya terlihat seperti maskapai dunia ketiga. Kebanyakan kritik menilai bahwa seharusnya British Airways bangga dengan membawa simbol Inggris. Pada tahun 2001, Rod Eddington, CEO baru yang menggantikan Bob Ayling, mulai mengembalikan seluruh motif etnik menjadi livery baru yang seragam dan menampilkan bendera Inggris yang dimodifikasi sehingga terlihat lebih dinamis. Hal ini seiring dengan rebranding British Airways secara keseluruhan.
19
2.4.5.2. Qantas Airways Qantas Airways, dengan slogan “The Spirit of Australia”, berupaya mengusung semangat nasionalnya dalam program livery yang menampilkan tiga buah lukisan aborijin, hasil karya masyarakat aborijin sendiri yang menyiratkan berbagai filosofi dari penghuni asli benua Australia.
Sumber: Qantas.com
Dengan konsultasi dan desain biro desain Balarinji Designs, pada tahun 1994, satu unit Boeing 747-400 dicat dengan lukisan kontemporer yang berjudul “Wunala Dreaming”. Motif ini menampilkan keindahan alam Australia, terutama Ayers Rock, sebuah gunung batu terbesar di dunia yang terletak di tengah benua dan berwarna merah-jingga. Pada tahun 1995, Qantas kembali menggambari satu unit 747-300 dengan “Nalanji Dreaming”. Dalam filosofi aborijin, “nalanji” berarti “tempat”. Lukisan yang ditampilkan mengisahkan keseimbangan alam dan manusia di Australia, menggunakan warnawarna dan motif yang cenderung bertema tropis.
Sumber: Qantas.com
Memasuki abad ke-20, satu lagi unit pesawat, Boeing 737-800 membawa lukisan berjudul “Yananyi Dreaming”, bermakna “bepergian”, berkisah tentang Uluru, sebuah daerah dengan
20
keindahan alam luar biasa di tengah Australia, yang menjadi tempat sakral bagi beberapa kelompok masyarakat aborijin. Secara teknis, keseluruhan rancangan menggunakan cat setelah sebelumnya dipolakan dengan cetakan-cetakan sesuai motif. 2.4.5.3. DragonAir DragonAir adalah maskapai regional swasta dari Republik Rakyat Cina dengan basis di Hong Kong. Maskapai ini beroperasi di ranah Asia – oriental, dengan 22 destinasi di dalam Cina maupun regional. Dalam rangka merayakan ulang tahun ke-20-nya, DragonAir menginginkan rancangan livery spesial. Briefnya cukup sederhana dan unik: menampilkan livery yang menyenangkan sekaligus memberi pesan kebudayaan dari negaranya.
Sumber: Brandchannel.com
Biro desain lokal Orijen pun kemudian memutuskan untuk menampilkan livery yang bercerita tentang folktale atau cerita rakyat dari masyarakat Cina. Livery baru ini menampilkan seekor naga (simbol keagungan) yang panjangnya mencapai jarak antara daerah utara Cina hingga ke Hong Kong. Kepala naga yang berada di Hong Kong, melindungi keberuntungan warga Hong Kong, yang terkenal sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat. Secara teknis, rancangan livery ulang tahun ini memakan waktu selama 14 bulan. Rancangan di setiap sisinya berbeda, dengan satu sisi menampilkan ikon-ikon Hong Kong (bangunan, bentukan alam) dan sisi lainnya ikon-ikon Cina daratan. Rencananya rancangan livery ini akan dipertahankan selama 5 tahun. 21