BAB II. Landasan Teori dan Data 2.1 Pemahaman Dan Teori Dasar
2.1.1 Pengertian Folklor Dan Dongeng Berdasarkan buku Folklor Indonesia yang ditulis oleh James Danandjaja, dongeng tradisional adalah termasuk dalam satu disiplin atau cabang ilmu yang berdiri sendriri di Indonesia dan belum lama dikembangkan orang, yaitu folklor. Kata folklor sendiri adalah penyerapan dari kata Bahasa Inggris folklore. Menurut Alan Dundes1 folklore berasal dari kata folk ; sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan. Isitilah lore merupakan tradisi yang dimiliki oleh folk, yaitu sebagian kebudayaan yang diwariskan secara turun temurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device2). Cara lisan dan aksi ini disebut budaya yang diwariskan secara tutur. (Pindi, 2002) Definisi folklor berarti sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.. Ciri-ciri pengenal utama folklor pada umumnya yaitu sebagai berikut 1. Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut (atau dengan suatu contoh yang disertai gerak isyarat, dan alat pembantu pengingat) dari satu generasi ke generasi berikutnya. 2. Bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar. Disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit dua generasi) 3. Tersedia dalam versi-versi bahkan varian yang berbeda. Hal ini diakibatkan oleh cara penyebarannya
yang
lisan
sehngga secara alamiah mengalami
proses
interpolasi
(penambahan atau pengisian unsur-unsur baru pada bahan folklor; bisa karena ada unsur
1
Dalam buku “Brown Country Superstitions”, Midwest Folklore. XI. Hlm 25-26 Istilah dari majalah ilmiah folklor Belanda; De Vries, J. ‘Het Oost Indische Sprookje van den Gulzigaard’ Nederlandsch Tijdshrift voor Volkskund. XXX. Uthrecht. Hlm. 97-108 dan lihat pula definisi Jan Harold Brunvand ; Folklore may be defined as those materials in culture that circulate traditionally among members of any group in different versions, wheter in oral or by means of customary example. (Brunvand, 1968 : 5) 2
II-1
budaya yang tidak sesuai atau lain hal), walaupun demikian bentuk dasarnya dapat tetap bertahan. 4. Bersifat anonim, yaitu penciptanya sudah tidak diketahui orang lagi. 5. Memiliki bentuk berumus atau berpola. Sering menggunakan kata-kata klise dan sarat akan penggunaan majas bahasa maupun penggunaan istilah tradisional. 6. Memiliki kegunaan dalam kehidupan bersama suatu masyarakat. Cerita rakyat misalnya mempunyai kegunaan sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam. 7. Bersifat pralogis; yaitu berarti mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum. Ciri pengenal ini terutama berlaku bagi folklor lisan dan sebagian lisan. 8. Merupakan milik bersama (collective) dari suatu masyarakat tertentu. 9. Pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali berkesan kasar atau terlalu spontan. Makna folklor tidak bergeser apabila telah diterbitkan dalam bentuk media, baik cetakan atau rekaman. Identitas sebagai folklor akan tetap ada selama diketahui bahwa ia berasal dari peredaran lisan. Menurut ahli folklor Swedia, Carl Wilhelm von Sydow, orang (folk) yang mengetahui suatu bentuk folklor dibagi menjadi: ¾
Pewaris pasif adalah pewaris folklor yang sekadar mengetahui dan dapat menikmati suatu bentuk folklor, namun tidak dapat atau tidak berminat untuk menyebarkannya secara aktif. Golongan ini adalah merupakan kalangan mayoritas dalam suatu masyarakat.
¾
Pewaris aktif adalah pewaris folklor yang dapat menghafal detail suatu kumpulan peribahasa dan cerita folklor dari masyarakatnya, mampu membawakannya secara lengkap dan cepat, serta memiliki tanggung jawab serta minat untuk menyebarkannya secara aktif, baik di masyarakat maupun di kalangannya sendiri sebagai sesama pewaris aktif ke generasi pewaris aktif berikutnya. Golongan ini adalah kalangan sangat minoritas dalam masyarakat karena tidak banyak.
Menurut ahli folklor AS Jan Harold Brunvand3, bentuk-bentuk folklor dapat digolongkan menjadi tiga kelompok besar berdasarkan tipenya, yaitu ; 1. Folklor lisan (verbal folklore)
3
Dalam buku Folklor Indonesia, James Danandjaja.
II-2
Folklor yang bentuknya memang murni lisan, dimana dongeng tradisional termasuk di dalamnya. Yang termasuk dalam golongan ini antara lain ¾
Bahasa rakyat (folk speech) seperti logat, julukan, pangkat tradisional, atau titel kebangsawanan
¾
Ungkapan tradisional, seperti peribahasa, pepatah, pemeo
¾
Pertanyaan tradisional; seperti teka-teki atau adat berupa tanya jawab dalam suatu prosesi pernikahan
¾
Puisi rakyat seperti pantun, gurindam, syair
¾
Cerita prosa rakyat, seperti mite (myth) legenda, dan dongeng
¾
Nyanyian rakyat
2. Folklor sebagian lisan Folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Misalnya kepercayaan rakyat yang oleh orang modern seringkali disebut dengan takhayul; terdiri dari pernyataan yang bersifat lisan ditambah dengan gerak isyarat yang dianggap mempunyai makna gaib. Bentuk-bentuk folklor yang tergolong dalam kelompok besar ini selain kepercayaan rakyat, adalah permainan rakyat, teater rakyat, tari rakyat, adat istiadat, upacara, pesta rakyat, dan lain sebagainya 3. Folklor bukan lisan Bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Terbagi lagi menjadi dua subkelompok, yakni material dan bukan material. Bentuk yang tergolong material antara lain berupa arsitektur rakyat (bentuk rumah asli daerah, bentuk lumbung, dsb), kerajinan tangan rakyat, pakaian dan perhiasan tubuh adat, makanan dan minuman tradisional, serta obat-obatan tradisional. Sedangkan yang termasuk bukan material antara lain gerak-gerik isyarat tradisional (gesture), bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat (misalnya kentongan atau gendang untuk mengirim berita) dan musik rakyat. Dongeng adalah salah satu jenis bentuk dari folklor lisan (verbal folklore). Pengertian dongeng adalah cerita pendek kolektif kesusasteraan lisan. Atau dalam pengertian lain dongeng adalah cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga yang menggunakannya untuk melukiskan kebenaran, memberikan pelajaran moral terutama untuk anak-anak, atau bahkan sindiran, biasanya mempunyai kalimat pembukaan dan penutup yang bersifat klise
II-3
Di dunia internasional kata yang menggambarkan istilah dongeng ada bermacam-macam, seperti fairytales, nursery tales, marchen, aeventyr, spookje, dan lain-lain Jenis-jenis dongeng terbagi ke dalam empat golongan besar4 yaitu ; ¾
Dongeng binatang.
Adalah dongeng yang ditokohi binatang, baik peliharaan maupun binatang liar, seperti burung, ikan, serangga, mamalia, dan lain-lain. Binatang dalam cerita jenis ini digambarkan dapat berbicara dan memiliki akal seperti manusia. Si kancil adalah tokoh paling terkenal dalam dongeng binatang di Indonesia. Suatu bentuk khusus dongeng binatang adalah fabel. Pengertian fabel adalah dongeng binatang yang mengandung moral., yakni ajaran baik buruk perbuatan dan kelakuan. Jenis dongeng ini yang paling sering diceritakan kepada anak-anak sebagai salah satu sarana proses pendidikan moral bagi mereka. ¾
Dongeng biasa
Adalah dongeng yang ditokohi manusia dan biasanya adalah kisah suka duka seseorang tokoh utamanya. Biasanya terdapat persamaan genre atau motif dalam cerita yang terkenal dengan penggambaran cukup universal yang terdapat dalam satu kawasan tertentu meskipun berbeda dalam penuturannya. Penyerapan budaya kadangkala terlihat dengan sangat jelas disini. Dongeng Mundinglaya Di Kusumah termasuk dalam kategori ini. ¾
Lelucon dan anekdot
Adalah dongeng yang dapat menimbulkan rasa geli di hati, sehingga menghasilkan tawa bagi yang mendengarnya, maupun yang menceritakannya. Anekdot digolongkan ke dalam dongeng karena anekdot bersifat fiktif, walaupun diceritakan seperti benar-benar terjadi. Perbedaan antara lelucon dan anekdot adalah pada subjek dalam cerita. Lelucon menyangkut kisah fiktif lucu suatu masyarakat (atau suku bangsa, ras, golongan) sedangkan anekdot menyangkut kisah fiktif lucu perseorangan atau beberapa tokoh yang benarbenar ada. ¾
Dongeng-dongeng dengan rumus (formula tales)
Strukturanya terdiri dari pengulangan, dan memiliki beberapa sub-bentuk antara lain: 4
Berdasarkan buku The Types of the Folktale (a Classification and Bibliography) oleh Anti Aarne dan Stith Thompson. Helsinki, 1964.
II-4
o
Dongeng bertimbun banyak (cummulative tales)
Disebut juga dongeng berantai (chain tales) adalah dongeng yang dibentuk dengan cara menambah keterangan lebih terperinci pada setiap pengulangan inti cerita. o
Dongeng perdaya (catch tales)
Cerita fiktif yang diceritakan khusus untuk memperdayai orang karena akan menyebabkan pendengarnya mengeluarkan pendapat yang bodoh. Dimulai dengan sebuah cerita dan mengandung unsur pertanyaan yang membuat pendengarnya bingung, biasanya memiliki akhir cerita yang tak disangka-sangka oleh pendengar. o
Dongeng tanpa akhir (endless tales)
Dongeng yang jika diteruskan tidak akan sampai pada batas akhir. Dan biasanya memang dirancang supaya tidak memiliki penutup sama sekali. Sering juga disebut dengan dongeng menggantung.
2.1.2 Pengertian Novel Visual Berdasarkan sumber Answers.com, pengertian novel visual adalah ‘A visual novel is an interactive fiction game featuring mostly static graphics, usually with anime-style art. As the name might suggest, they resemble mixed-media novels or tableau vivant stage plays. Visual novels are also called novel games or sound novels, and games that are not interactive and consist of following a set story are sometimes referred to as kinetic novels (a term coined by publisher VisualArt's.) Visual novels are distinguished from other game types by their extremely minimal gameplay. Typically the majority of player interaction is limited to clicking to keep the text, graphics and sound moving (most recent games offer 'play' or 'fast-forward' toggles that make even this unnecessary). Most visual novels have multiple storylines and many endings; the gameplay mechanic in these cases typically consists of intermittent multiple-choice decision points, where the player selects a direction in which to take the game. This style of gameplay has been compared to the Choose Your Own Adventure novels. Most, however, strive for a higher level of plot and character depth than the aforementioned series of interactive children's books. These can be more closely compared to story-driven interactive fiction. While the plots and storytelling of mainstream video games is often criticized, many fans of visual novels hold them up as exceptions and identify this as a strong point of the genre.’
II-5
Pada novel visual secara standar, tampilan terdiri dari satu set latar belakang generik5, penggambaran karakter yang disebut dengan sprite6. Pada beberapa adegan penting bisa diberi tampilan efek spesial tertentu, bisa berupa penggambaran karakter dengan lebih detail ataupun menggunakan sudut pandang yang tidak biasa untuk menambah keasyikan bermain. Novel visual adalah istilah untuk game fiksi interaktif yang sudah berkembang. Dimana menurut Answers.com, kata fiksi interaktif memiliki pengertian ; ‘An adventure game that has been created or modified for the computer. It has multiple story lines, environments and endings, all of which are determined by choices the player makes at various times. The term "interactive fiction" is also occasionally used to refer to hypertext fiction, collaborative fiction, or even a participatory novel, according to the New York Times. It is also used to refer to literary works that are not read in a linear fashion, but rather the reader is given choices at different points in the text; the reader's choice determines the flow and outcome of the story. The most famous example of this form of interactive fiction is the Choose Your Own Adventure book series’
Fiksi interaktif versi digital dimainkan di komputer, dengan versi paling sederhana berupa text adventure game dimana pemain cukup mengetikkan kata-kata untuk dapat melanjutkan ke babak berikutnya. Fiksi interaktif menggunakan teks yang terdapat pada layar monitor sebagai alat interaksi utama, meski banyak pula yang menggunakan suara secara jelas dan sederhana untuk memungkinkan para penyandang tuna netra untuk turut bermain. Sekarang ini game fiksi interaktif telah berkembang pesat seiring bertumbuhnya macam-macam media baru yang memungkinkan untuk digabungkan menjadi satu sehingga menghasilkan jenis lebih maju dari fiksi interaktif biasa yang kini lazim disebut novel visual.
5 6
biasanya satu scene memiliki satu tampilan background lokasi kejadian berlangsung set karakter yang ada dalam cerita, baik berupa perseorangan maupun objek tersendiri
II-6
2.2 Data dan Analisis 2.2.1 Target Sasaran Dan Analisis Data Survey Sebagaimana telah dibahas pada bab I, target sasaran terbesar yang dibidik adalah anak-anak usia sekolah dasar yang berasal dari keluarga menengah atas dan sudah memiliki kemampuan dasar mengoperasikan komputer secara sederhana. Keterangan survey : 1. Responden anak-anak usia 7-12 tahun sebanyak ± 200 orang 2. Lokasi : SD BPI Gunung Halimun dan SD As Salaam Sasakgantung, Bandung pada tanggal 16, 17, dan 28 April 2007 3. Jenis pertanyaan : ¾
Judul dongeng yang mampu mereka sebutkan dan tahu isinya;
¾
Frekuensi membaca dongeng (atau dibacakan dongeng)
¾
Apakah mereka tahu mengenai dongeng Mundinglaya Di Kusumah
4. Responden remaja dan dewasa muda usia 13-22 tahun sebanyak ± 100 orang. 5. Lokasi : Institut Teknologi Bandung, SMPN 1 Bandung, warga kompleks Batu Indah Buah Batu Bandung, siswa ILP dan LIA Buah Batu, dan random. 6. Jenis pertanyaan (sama dengan pertanyaan untuk responden dewasa > 23 th): ¾
Judul dongeng yang mampu mereka sebutkan dan tahu isinya
¾
Frekuensi membaca dongeng (atau membacakan dongeng)
¾
Apakah mereka tahu mengenai dongeng Mundinglaya Di Kusumah
7. Responden dewasa > 23 tahun sebanyak 58 orang (hingga tanggal 14 Mei 2007 dan masih terus berlangsung) 8. Lokasi : SD BPI Gunung Halimun dan SD As Salaam Sasakgantung (16-18 April 2007), Institut Teknologi Bandung, warga kompleks Batu Indah Buah Batu Bandung, dan random. 9. Survey dilakukan secara on site dan grounded di kota Bandung, dan terbatas pada orangorang yang berasal dari suku Sunda, suku Jawa, dan suku lainnya yang telah lama berdiam di Bandung. Dengan pertimbangan bahwa Mundinglaya Di Kusumah adalah dongeng tradisional dari tanah Sunda. Untuk pertanyaan pertama, saya mendapat data sebagai berikut Usia Responden
0-3
>3
Tahu isinya
7-12 tahun
45%
55%
20%
13-22 tahun
8%
92%
85%
>23 tahun
12%
88%
75%
II-7
Dari sini saya mendapat data bahwa anak-anak usia sekitar 10-12 tahun (atau setara dengan kelas 4-6 SD) dapat menyebutkan lebih dari tiga judul dongeng. Rata-rata menjawab judul dongeng populer, dan saat ditanyai mengenai isinya mereka masih bisa menjawab dengan cukup baik. Pada anak-anak usia lebih muda (7-9 tahun) rata-rata hanya bisa menyebutkan kurang dari tiga judul; hanya beberapa yang bisa menyebut lebih dari itu; dan saat ditanya apakah mereka tahu mengenai ceritanya sebagian besar mengaku tidak tahu. Angka pengetahuan terhadap dongeng tertinggi ada pada kategori usia remaja dan dewasa muda. 90% dari kategori usia dewasa muda (18 tahun ke atas) sanggup memberikan lebih dari 5 judul dan tahu isinya dengan baik serta dapat menceritakan kembali saat diminta. Usia remaja (13-17 tahun) hanya 6 orang yang tidak bisa memberikan judul lebih dari tiga. Tingkat pengetahuan mengenai isi cerita terbilang tinggi. Rata-rata jawaban yang didapat adalah judul dongeng populer, meskipun ada beberapa juga yang menjawab judul-judul semi populer seperti Roro Jonggrang, atau Legenda Gunung Tengger. Kategori usia dewasa memiliki tingkat pengetahuan tinggi dalam dongeng. Persentase yang hanya bisa menyebutkan judul kurang dari tiga 100% berasal dari kalangan dewasa muda (8 orang) dengan rentang usia 23-28 tahun. Sedangkan dewasa menengah ke atas (>28 tahun dan senior) dapat menyebutkan lebih dari 5 judul dengan lancar dan mampu menceritakan kembali saat diminta. Akan tetapi para senior (dewasa > 45 tahun) beberapa mengaku sudah mulai lupa mengenai isi cerita pada saat ditanyakan. Judul yang saya dapat antara lain judul populer, dan dari responden yang bukan berasal dari suku Sunda tetapi sudah berdiam lama di Bandung saya mendapat beberapa judul lokal daerah lain seperti Si Anok Lumang, Legenda Batu Belah, Joko Kendil, dan Si Malin Kundang Untuk pertanyaan kedua, data yang saya dapat adalah sebagai berikut ; Usia Responden
Sering (± 5 kali
Jarang (< 3 kali
Tidak pernah.
perminggu)
perminggu)
7-12 tahun
18%
67%
15%
13-22 tahun
5%
73%
22%
>23 tahun
35%
50%
15%
Catatan: Kategori dongeng yang dimaksud bermacam-macam, tidak hanya dongeng tradisional Indonesia, tetapi juga dongeng secara universal.
II-8
Untuk kategori anak-anak, 36 orang menjawab sering dibacakan dongeng oleh orang tua mereka atau membaca sendiri buku dongeng yang dibelikan oleh orang tua mereka. 134 anak mengaku jarang dengan faktor penyebabnya lebih suka menonton televisi di waktu luang. Dan 30 orang anak mengaku tidak pernah sama sekali dengan faktor penyebab kedua orang tua bekerja. Akan tetapi seratus persen anak-anak mengaku pernah dibelikan buku dongeng bergambar oleh orang tuanya. Hanya saja kategori dongeng yang dibelikan adalah dongeng luar negeri seperti HC Andersen, cerita pengantar tidur, atau cerita keluaran Disney. Hanya 3 orang (6%) yang mengaku dibelikan buku dongeng tradisional Indonesia yang berjudul Si Kancil, atau Sangkuriang. Waktu mereka dibacakan dongeng adalah pada saat hendak tidur, atau kapan saja selama mereka meminta sendiri kepada orang tuanya. Kategori remaja dan dewasa muda memiliki tingkat paling rendah dalam hal frekuensi membaca atau membacakan dongeng. Hanya 5 orang yang mengaku senang membaca buku cerita dengan frekuensi membaca lebih dari lima kali dalam seminggu. 73 orang responden mengaku masih suka membaca buku dongeng atau buku cerita tapi dengan frekuensi tidak terlalu tinggi atau jarang. Sedangkan sisanya (22 orang) mengaku tidak pernah membaca dongeng sama sekali. Faktor penyebab yang umum dari rendahnya frekuensi membaca atau membacakan dongeng antara lain karena merasa sudah tidak pantas membaca dongeng, lebih suka menonton TV atau main internet, kesibukan sekolah / kuliah, dan tidak memiliki objek (adik atau anak kecil) yang bisa dibacakan dongeng. Untuk kategori usia dewasa, 24 orang yang terdiri dari orang tua muda yang memiliki anak kecil usia sekolah dasar mengaku sering membacakan dongeng untuk anak-anak mereka. Sedangkan 34 orang yang terdiri dari orang tua usia menengah dan para senior mengaku jarang membacakan dongeng untuk anak dan cucu mereka, sedangkan 10 orang lagi menjawab tidak pernah. Faktor penyebabnya antara lain kesibukan dalam pekerjaan, lebih suka menonton TV, jarang bertemu cucu (bagi para senior), dan (sedang) tidak memiliki objek untuk dibacakan dongeng karena anak-anaknya sudah beranjak remaja. Mengenai pertanyaan ketiga yaitu apakah mereka mengetahui dongeng Mundinglaya Di Kusumah, saya mendapatkan hasil dengan penggambaran sebagai berikut Usia Responden
Ya
Tidak
Pernah dengar tapi lupa
7 -12 tahun
0%
100%
0%
13- 22 tahun
2%
90%
8%
> 23 tahun
30%
20%
50%
II-9
Semua anak usia sekolah dasar yang ditanyai apakah mereka mengetahui dongeng Mundinglaya Di Kusumah menjawab tidak tahu sama sekali. Mereka bahkan masih menjawab tidak tahu saat ditanyai mengenai detail dongeng populer seperti Bawang Merah Bawang Putih, Si Malin Kundang, atau Jaka Tarub. Mereka tahu bahwa cerita itu ada, mengenal judulnya dengan baik, tetapi saat ditanyai lebih lanjut soal isi cerita, hanya beberapa orang yang bisa menceritakan kembali, itupun hanya garis besarnya saja dan tidak sampai pada detail. Pada remaja, hanya yang berusia di atas 18 tahun yang bisa menjawab tahu mengenai dongeng Mundinglaya Di Kusumah. Hanya 2 orang yang bisa menceritakan kembali dongeng tersebut dengan cukup baik, 8 orang mengaku pernah diceritakan dan pernah tahu tentang isinya tetapi tidak dapat mengingat kembali apa yang diceritakan. Sisanya yang terdiri dari remaja awal mengaku tidak tahu sama sekali Yang cukup menarik adalah pada saat saya menanyakan kepada sejumlah orang tua. Pada orang tua muda yang memiliki anak usia balita dan sekolah dasar, hampir semua menjawab tidak tahu. Sedangkan pada orang tua yang memiliki anak usia remaja atau menjelang dewasa menjawab tahu dan beberapa dari mereka masih bisa menceritakan ulang mengenai detail dongeng tersebut meski sebagian besar mengaku lupa mengenai isi ceritanya sekalipun mereka tahu dongengnya. Dan pada orang tua yang memiliki anak berusia dewasa (kalangan senior, dan sudah memiliki cucu) sebagian besar mereka mengaku masih ingat dengan dongeng Mundinglaya Di Kusumah dan masih dapat menceritakannya kembali dengan cukup detail .
2.2.2 Media Media yang digunakan adalah komputer standar pada umumnya. Novel visual tidak memerlukan kriteria khusus untuk menjalankan programnya selama komputer yang digunakan masih memiliki keyboard dengan tombol enter dan memiliki speaker. Perancangan programnya disesuaikan dengan komputer standar yang biasa digunakan anak usia sekolah dasar untuk belajar di rumah. Dan penggunaannya juga disederhanakan sehingga bisa diakses dengan mudah oleh anak-anak. Untuk bisa dimainkan, syarat minimumnya, komputer yang dibutuhkan adalah Microsoft Windows XP ke atas, prosesor Pentium III, dan 128 MB RAM.
II-10
Aplikasi ini bisa diterapkan pada laptop, PDA, PC, dengan basis Windows, Linux, dan Mac OS. Juga bisa diterapkan pada beberapa perangkat lain seperti iPod 5G, Sony PSP, OS2/Warp, Net BSD, Sony PS3, dan console DreamCast.
2.2.3 Analisis Program Sejenis Berdasarkan survey on-site di toko buku besar di kota Bandung, saya menemukan beberapa jenis program pendidikan anak yang dinamakan Edu-Games atau Edutaintment; yang ditujukan untuk anak-anak mulai usia 5 tahun ke atas. Jenis program yang dijual antara lain program pembelajaran baca tulis, permainan berbasis petualangan, atau hanya berupa game arcade sederhana. Program edutaintment ini rata-rata menggunakan tampilan sederhana dengan pemilihan warna yang cerah, sesuai dengan selera anak-anak. Program-program ini sudah banyak yang menggunakan sistem interaktif dalam permainan, dimana anak-anak
bisa
meng-klik ikon
(icon)
atau
wimba
(image)
tertentu
untuk
menggerakkannya ataupun mendengarkan suara. Dan ada pula program yang mengajarkan anak-anak mengenai cara membaca dan mengenal tulisan atau mengenal warna bagi anak usia pra sekolah. Contohnya adalah pada game Divine Edu dimana anak-anak bisa bermain sebagai superhero, sambil belajar bahasa Inggris sekaligus belajar mengenali jenis-jenis buah dan warna. Akan tetapi di antara semua jenis program yang ada, belum ditemukan adanya program berbasis novel visual yang mengangkat cerita mengenai dongeng tradisional Indonesia. Sehingga dapat dikatakan bahwa novel visual yang berjudul Mundinglaya Di Kusumah adalah hal yang termasuk baru.
II-11
BAB II. Landasan Teori dan Data ...................................................................................... 1 2.1 Pemahaman Dan Teori Dasar ................................................................................... 1 2.1.1 Pengertian Folklor Dan Dongeng ...................................................................... 1 2.1.2 Pengertian Novel Visual .................................................................................... 5 2.2 Data dan Analisis ...................................................................................................... 7 2.2.1 Target Sasaran Dan Analisis Data Survey ......................................................... 7 2.2.2 Media ............................................................................................................... 10 2.2.3 Analisis Program Sejenis ................................................................................. 11
II-12