2 BAB II LANDASAN TEORI DAN DATA
2.1 Pasut Laut Fenomena pasang dan surutnya muka air laut biasa disebut sebagai pasut laut (ocean tide). Pasut terjadi dikarenakan oleh perbedaan gaya gravitasi dari pergantian posisi bulan dan matahari yang relatif pada suatu titik di permukaan bumi. Menurut Poerbandono & Djunarsjah, 2005, pasut laut adalah fenomena naik dan turunnya permukaan air laut secara periodik yang disebabkan oleh pengaruh gravitasi benda-benda langit terutama bulan dan matahari. Sedangkan menurut Pariwono, 1989, fenomena pasut diartikan sebagai naik turunnya muka laut secara berkala akibat adanya gaya tarik benda-benda angkasa terutama matahari dan bulan terhadap massa air di bumi. Bulan dan matahari memberikan pengaruh yang besar terhadap proses terjadinya fenomena pasut dibandingkan benda angkasa lainnya karena jaraknya yang lebih dekat dengan bumi. Akan tetapi, meskipun bulan memiliki ukuran yang lebih kecil daripada matahari, gaya tarik gravitasi bulan dua kali lebih besar daripada gaya tarik matahari dalam membangkitkan pasut karena jarak bulan yang lebih dekat ke bumi dibandingkan dengan jarak matahari ke bumi. Karena itulah gaya tarik terbesar dihasilkan oleh bulan. Fenomena pasut dijelaskan dengan โteori pasut setimbangโ yang dikemukakan oleh Sir Isaac Newton pada abad ke-17. Teori ini menganggap bahwa bumi berbentuk bola sempurna dan dilingkupi air dengan distribusi massa yang seragam. Pada teori ini, pengaruh kelembaman (Inertia) pada bumi diabaikan. Teori kesetimbangan menunjukkan bahwa naik-turunnya permukaan laut sebanding dengan gaya pembangkit pasut (King, 1966). Pembangkitan pasut dijelaskan dengan โteori gravitasi universalโ, yang menyatakan bahwa pada sistem dua benda dengan massa m1 dan m2 akan terjadi gaya tarik menarik sebesar F di antara keduanya yang besarnya sebanding dengan perkalian massanya dan berbanding terbalik dengan kuadrat jaraknya. Teori tersebut juga dapat dinyatakan dengan: ๐น=๐บ
๐โ๐โ ๐ยฒ
(1)
Gaya pembangkit pasut akan menimbulkan air tinggi pada dua lokasi dan air rendah pada dua lokasi (Gross,1987). Kedudukan matahari, bumi, dan bulan berada dalam satu garis pada saat spring. Pada saat kedudukan seperti itu, terjadi pasut maksimum pada titik 6
di permukaan bumi yang berada di sumbu kedudukan relatif bumi, bulan, dan matahari (Gambar 2.1). Kekuatan gaya tarik bulan dan matahari berkumpul menjadi satu dan menarik titik di permukaan bumi tersebut secara maksimal. Saat tersebut terjadi ketika bulan baru dan bulan purnama. Fenomena pasut pada kedudukan demikian disebut dengan spring tide atau pasut perbani. Gaya Pembangkit Pasut
BUMI
BULAN
MATAHARI
Gambar 2.1 Posisi Bumi-Bulan-Matahari pada saat Pasut Perbani (Diadaptasi dari Poerbandono & Djunarsjah, 2005)
Sementara itu, kedudukan matahari tegak lurus (90ฬ) dengan sumbu bumi-bulan berada pada saat neap. Pada saat tersebut, terjadi pasut minimum pada titik di permukaan bumi yang tegak lurus sumbu bumi-bulan (Gambar 2.2). Gaya tarik bulan dan matahari terhadap bumi saling berlawanan arah sehingga hasilnya menjadi saling melemahkan. Saat tersebut terjadi di perempat bulan awal dan perempat bulan akhir. Fenomena pasut pada kedudukan demikian disebut dengan neap tide atau pasut mati. Tunggang pasut (jarak vertikal kedudukan permukaan air tertinggi dan terendah) saat spring lebih besar dibanding saat neap. BULAN
Gaya Pembangkit Pasut
BUMI
MATAHARI
Gambar 2.2 Posisi Bulan-Bumi-Matahari pada saat Pasut Mati (Diadaptasi dari Poerbandono & Djunarsjah, 2005)
Pada suatu lokasi pengamatan, pasut dibagi menjadi beberapa tipe, antara lain pasut diurnal, pasut semi-diurnal, dan pasut campuran. Pasut diurnal memiliki satu kedudukan 7
muka air tertinggi dan satu kedudukan muka air terendah. Pasut semi-diurnal memiliki dua kedudukan muka air tertinggi dan dua kedudukan muka air terendah. Sedangkan pasut campuran merupakan gabungan antara tipe pasut diurnal dan pasut semi-diurnal. Pasut yang terjadi di suatu titik di permukaan bumi merupakan gabungan dari jarak dan kedudukan bulan dan matahari terhadap bumi yang selalu berubah secara berkala. Fenomena ini dinyatakan dengan superposisi dari persamaan-persamaan gelombang pasut karena bulan, matahari, dan kedudukan-kedudukan relatifnya. Pergerakan pasut itu sendiri dapat dimodelkan dengan persamaan: yB = AB cos(ฯt + ฯ)
(2)
dengan yB = tinggi muka air saat t, AB = amplitudo pasut, ฯ = kecepatan sudut = 2ฯf, t = waktu, dan ฯ = keterlambatan fase. Perbandingan amplitudo dan fase akibat hubungan dengan bulan dan matahari pada pola pasut dinyatakan dengan konstanta-konstanta pembanding dengan simbol dan nilai tertentu untuk menjelaskan akibat dari hubungan tersebut terhadap tinggi muka air. Konstanta-konstanta tersebut disebut sebagai konstanta harmonik. Tabel 2.1 dan Tabel 2.2 memperlihatkan konstanta-konstanta harmonik yang seringkali muncul pada suatu fenomena pasut. Tabel 2.1 berisi konstanta harmonik utama yang bersifat diurnal dan semi-diurnal. Tabel 2.2 berisi konstanta harmonik lainnya yang terdiri dari konstanta pasut gabungan dan konstanta periode panjang. Pengamatan pasut dilakukan untuk memperoleh data tinggi muka air laut di suatu lokasi. Hasil pengamatan pasut dapat digunakan untuk menetapkan datum vertikal yang sesuai untuk keperluan tertentu pada lokasi tertentu. Pengamatan pasut dilakukan dengan mencatat atau merekam data tinggi muka air laut setiap interval waktu tertentu. Interval waktu perekaman data tinggi muka air laut biasanya adalah 15, 30, atau 60 menit. Menurut Poerbandono & Djunarsjah, 2005, rentang pengamatan pasut sebaiknya dilakukan selama selang waktu keseluruhan periodisasi benda-benda langit yang mempengaruhi terjadinya pasut telah kembali pada posisinya semula. Dengan melakukan analisis terhadap hasil pengamatan pasut, dapat dilakukan prediksi pasut. Prediksi pasut dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh informasi tinggi muka air laut di masa mendatang pada saat dan lokasi tertentu. Hasil prediksi ditampilkan dalam tabel berisi jam dan tinggi muka air. Prediksi pasut dilakukan dengan menurunkan atau mencari konstanta-konstanta harmonik pasut dari data pasut dengan rentang pengamatan tertentu. Pendekatan yang dipakai untuk mendapatkan konstanta-konstanta 8
harmonik pasut adalah analisis harmonik. Cara yang lazim dipakai adalah metode Admiralty (Hydrografisch Bureau, 1949) atau kuadrat terkecil (Grant, 1988). Metode kuadrat terkecil cukup efektif dipakai untuk mendapatkan konstanta-konstanta harmonik dari data pengamatan pasut. Tabel 2.1 Konstanta-Konstanta Harmonik Pasut Utama (Sumber : Doodson, 1921) Diurnal Species
Semi-diurnal
Simbol Darwin
Perioda (Jam)
Species
K1
23.93447
Principal lunar semidiurnal
O1
25.81934
OO1
22.30608
S1
24.00000
M1
24.84120
J1
Simbol Darwin
Perioda (Jam)
M2
12.42060
S2
12.00000
N2
12.65835
ฮฝ2
12.62601
Variational
MU2
12.87176
23.09848
Lunar elliptical semidiurnal secondorder
2"N2
12.90537
ฯ
26.72305
Smaller lunar evectional
ฮป2
12.22177
Q1
26.86835
Larger solar elliptic
T2
12.01645
Larger elliptic diurnal
2Q1
28.00621
Smaller solar elliptic
R2
11.98360
Solar diurnal
P1
24.06589
Shallow water semidiurnal
2SM2
11.60695
Smaller lunar elliptic semidiurnal
L2
12.19162
Lunisolar semidiurnal
K2
11.96724
Lunar diurnal
Solar diurnal
Smaller lunar elliptic diurnal Larger lunar evectional diurnal Larger lunar elliptic diurnal
Principal solar semidiurnal Larger lunar elliptic semidiurnal Larger lunar evectional
9
Tabel 2.2 Konstanta-Konstanta Harmonik Pasut Lainnya (Sumber : Doodson, 1921) Pasut Gabungan Species
Shallow water overtides of principal lunar
Shallow water terdiurnal
Shallow water overtides of principal solar
Lunar terdiurnal
Shallow water quarter diurnal
Shallow water eighth diurnal
Simbol Darwin
Periode Panjang Perioda (Jam)
Species
Simbol Darwin
Perioda (Jam)
M4
6.21030
Lunar monthly
Mm
661.3112
M6
4.14020
Solar semiannual
Ssa
4383.0763
MK3
8.17714
Solar annual
Sa
8766.1527
2"MK3
8.38630
Lunisolar synodic fortnightly
Msf
354.3671
S4
6.00000
Lunisolar fortnightly
Mf
327.8599
S6
4.00000
M3
8.28040
MN4
6.26917
MS4
6.10334
M8
3.10515
2.2 Kuadrat Terkecil (Least-Square) Pada penelitian ini, pendekatan yang digunakan untuk mendapatkan konstanta harmonik pasut adalah dengan menggunakan metode kuadrat terkecil (Least-Square). 10
Metode kuadrat terkecil adalah salah satu metode pendekatan yang dapat digunakan untuk regresi ataupun pembentukan persamaan dari titik titik data diskritnya, dan untuk analisis kesalahan pengukuran. Metode kuadrat terkecil termasuk dalam metode pendekatan kesalahan terdistribusi, berdasarkan karakterisik penerapannya yang dapat melakukan pengurangan kesalahan menyeluruh (global error) yang terukur berdasarkan interval pendekatan keseluruhan. Metode kuadrat terkecil adalah salah satu metode yang paling populer dalam menyelesaikan masalah hitung perataan. Perataan kuadrat terkecil berdasar pada pemaksaan suatu kondisi matematis, yaitu jumlah kuadrat kesalahan dikalikan berat/bobotnya adalah minimum: ๐ฃยฒ = ๐๐๐
(3)
dengan v adalah residu pengamatan. Semua jenis pengamatan, baik pengamatan jarak, sudut datar, sudut tegak, azimuth, zenith, beda tinggi, koordinat, pengamatan GPS, pun dapat diikutsertakan dalam hitungan perataan (Meilano, 2010). Perataan kuadrat terkecil merupakan suatu prosedur hitungan untuk mendeteksi adanya kesalahan-kesalahan dalam pengukuran dan untuk meningkatkan ketelitian hasil hitungan akhir parameter-parameter yang dicari. Setelah selesai proses perataan, seluruh pengukuran akan terkoreksi sehingga memiliki kualitas yang konsisten di seluruh jaring. Hal tersebut berarti bahwa nilai suatu parameter yang dicari (unknown parameter) akan bernilai sama walaupun dihitung melalui (jalur) pengamatan yang berlainan. Beberapa alasan penggunaan metode kuadrat terkecil dalam hitung perataan, antara lain: 1. Metode perataan terkecil merupakan suatu proses perataan yang paling ketat (rigorous). 2. Mudah diaplikasikan dibanding metode-metode lainnya. 3. Bisa diterapkan analisis pasca-perataan. 4. Bisa digunakan untuk proses perencanaan (optimisasi) sebelum survei sesungguhnya. Penyelesaian kuadrat terkecil dilakukan dengan melakukan pendekatan matrik. Pendekatan matrik tersebut dituliskan dengan persamaan: ๐ = (๐ดโฒ ๐ด)โปยน๐ดโฒ๐ฟ
(4)
dengan X adalah matrik parameter yang dicari, A adalah matrik desain pengamatan, dan L adalah matrik kondisi. 11
Sementara itu, untuk persamaan yang linier, terjadi linierisasi dalam perataan kuadrat terkecil. Dalam hal tersebut yang digunakan hanya turunan pertama saja, karena semakin tinggi derajat fungsinya, kontribusinya semakin kecil. Persamaan linierisasi dalam kuadrat terkecil adalah sebagai berikut: ๐๐ฟ
๐๐ฟ
๐ฟ = ๐ ๐ฅ, ๐ฆ = ๐(๐ฅโ, ๐ฆโ) + (๐๐ฅ )โ๐๐ฅ + (๐๐ฆ )โ๐๐ฆ
(5)
dengan x dan y adalah nilai yang dicari, xโ dan yโ adalah nilai awalnya, dan L adalah nilai kondisi yang ada.
2.3 T_TIDE T_TIDE merupakan suatu alat bantu yang dapat digunakan untuk melakukan analisis harmonik dengan koreksi nodal, kesimpulan, dan berbagai pilihan yang tergantung pada penggunanya. Dengan konstanta yang diperoleh dari analisis pasut, prediksi pasut pun dapat dilakukan. Prosedur yang digunakan untuk melakukan prediksi tersebut bukanlah perhitungan prediksi yang sesungguhnya, namun sesuai dengan perhitungan yang sesungguhnya. Prosedur tersebut secara manual berisi fungsi-fungsi umum yang dapat digunakan untuk melakukan prediksi pasut. Alat T_TIDE ini diterapkan di MATLAB berupa toolbox yang tersusun dari beberapa function. Dalam T_TIDE sendiri, terdapat banyak function yang kegunaannya terkait dengan analisis harmonik yang dilakukannya. Dalam pelaksanaan analisis dan prediksi pasut, function tersebut yang kemudian akan mengolah data pengamatan pasut yang diperintah melalui toolbox. Analisis pasut dilakukan dengan mengoperasikan script t_tide. Prediksi pasut, dengan menggunakan konstanta harmonik yang telah diperoleh dari analisis pasut, dilakukan dengan mengoperasikan script t_predict. Program ini bisa langsung dijalankan setelah menyesuaikan rentang waktu pengamatan pasut yang akan diprediksi. Fenomena pasut dihitung dengan menggunakan persamaan yang mengasumsikan pasut yang terjadi sebagai pasut setimbang. Sehingga frekuensi terjadinya pasut tersebut dapat menunjukkan fenomena yang terkait dengan lautan, karena keduanya bernilai sama. Dengan menggunakan kuadrat terkecil, fasa dan amplitudo relatif pada setiap frekuensi dapat ditentukan. Data fasa dan amplitudo ini yang kemudian dapat digunakan untuk memahami kriteria pergerakan pasut yang terjadi. Besarnya nilai fasa dan amplitudo
12
berubah-ubah setiap waktunya, namun perubahan yang terjadi sangatlah kecil sehingga dapat diasumsikan konstan. Persamaan pasut pada T_TIDE adalah sebagai berikut: ๐
๐ฝ=
๐จโฒ ๐โฒ ๐โฒ ๐โฒ ๐โฒ ๐โฒ ๐๐จ๐ฌ ๐๐
๐ฝโ
๐ฎ๐โฒ ๐ฝ ๐โฒ =๐
๐โฒ ๐โฒ ๐โฒ ๐โฒ ๐โฒ
๐ฉโฒ ๐โฒ ๐โฒ ๐โฒ ๐โฒ ๐โฒ ๐๐จ๐ฌ ๐๐
๐ฝโ
+ ๐ฎโฒ๐โฒ ๐ฝ ๐โฒ ๐โฒ ๐โฒ ๐โฒ ๐โฒ
(6) dengan G dan Gโ adalah fungsi geodetik dengan tipe i' (tipe pelan, diurnal, dan semidiurnal adalah 0, 1, 2) dan lintang ฮธ; Aโ dan Bโ sebagai angka Doodson; Va sebagai argumen astronomi; dan jโkโlโmโnโ sebagai angka Doodson dengan konstanta tertentu. Konstanta yang mewakili angka Doodson berjumlah 45 konstanta astronomis dan 101 konstanta perairan dangkal sudah tersimpan di dalam sistem, dan dapat dipanggil dengan menggunakan script t_getconsts (Pawlowicz et al., 2002). Pemilihan konstanta pada data pengamatan pasut dilakukan dengan menyesuaikan spektrum frekuensi pada hasil analisis pasut dan konstanta yang sudah tersimpan di dalam sistem. Hasil analisis data pengamatan pasut yang dilakukan dengan menggunakan script t_tide ialah konstanta harmonik pasut dengan data frekuensi, amplitudo, kesalahan amplitudo, fase, kesalahan fase, dan signal to noise ratio (SNR). Sehingga dengan menggunakan T_TIDE, dapat diketahui data-data tersebut yang terkandung pada suatu fenomena pasut tertentu. Frekuensi menunjukkan seberapa sering suatu konstanta harmonik terjadi dalam fenomena pasut tertentu. Amplitudo menunjukkan amplitudo pasut, dan kesalahan amplitudo merupakan nilai kesalahan dari kemungkinan amplitudo yang diperoleh. Sementara itu, data fase menunjukkan keterlambatan fase dan kesalahan fase merupakan nilai kesalahan dari kemungkinan keterlambatan fase yang diperoleh. Nilai SNR sendiri merupakan hasil akar dari perbandingan antara amplitudo dan kesalahannya (Pawlowicz et al., 2002). Hasil analisis data pengamatan pasut ini kemudian dapat digunakan untuk melakukan prediksi, dengan menggunakan script t_predict. Koreksi nodal pada t_predict dihitung sesuai kurun waktu tertentu sehingga prinsipnya sangat berbeda dengan t_tide. Analisis harmonik yang dilakukan T_TIDE tidak dihitung dengan menggunakan kriteria Rayleigh. Kriteria Rayleigh adalah suatu cara lain yang dapat digunakan untuk 13
menentukan konstanta harmonik pasut. Konstanta pasut yang dihasilkan pada T_TIDE ini merupakan gabungan spektrum frekuensi dari konstanta pasut utamanya. Sedangkan prinsip kriteria Rayleigh adalah membandingkan beda fase pada dua buah konstanta yang nilainya berdekatan. T_TIDE merupakan alat yang menyesuaikan dengan penggunanya, sehingga pengoperasiannya masih belum stabil. Meskipun menggunakan persamaan yang cukup kompleks, alat ini tidak dapat memisahkan energi pasut dengan energi non-pasut. Apabila kedua energi tersebut dapat dipisahkan, hasil estimasi yang lebih baik dapat diperoleh dan dapat dilakukan perbandingan kuantitatif dari analisis-analisis yang berbeda. Selain itu, T_TIDE merupakan alat yang masih berada pada tahap pengembangan. Oleh karena itu, masih terdapat perbaikan pada script-nya. Para pengguna yang masih belum mengerti adanya beberapa pengembangan pada T_TIDE tak jarang mengalami kondisi kesalahan pada saat menjalankan programnya dan juga kesulitan untuk mengatasi kondisi tersebut. Ini menunjukkan bahwa masih ada kesalahan yang harus diperbaiki pada T_TIDE. Hal tersebut tentunya dapat menjadi masukan yang baik untuk pengembangan T_TIDE. Namun perkembangan terbaru T_TIDE sendiri selalu dipaparkan oleh pengembangnya. Penjelasan mengenai T_TIDE yang sudah diupdate dapat dilihat pada internet, salah satu alamat websitenya adalah www2.ocgy.ubc.ca/~rich. Para pengguna yang mengaplikasikan T_TIDE seringkali membandingkan antara penggunaan alat ini dan Fourier Transform, atau Fast Fourier Transform (FFT) yang terdapat pada MATLAB. FFT adalah suatu algoritma yang digunakan untuk merepresentasikan sinyal yang bersifat diskrit, dari domain waktu ke domain frekuensi. Di dalam T_TIDE sudah diterapkan transformasi tersebut, karena T_TIDE juga dapat menerjemah data dalam domain waktu ke domain frekuensi. Jadi, Fourier Transform adalah salah satu unsur penyusun T_TIDE. Data yang diperoleh dari pengamatan atau pengukuran lapangan pada umumnya memiliki domain waktu yang berlangsung secara kontinu namun memiliki batasan awal dan akhir (diskrit). FFT memiliki peran dalam mengubah domain waktu tersebut. Bahasan mengenai FFT terkait juga dengan IFFT (Inverse Fast Fourier Transform), yang bekerja dengan prinsip berkebalikan dengan FFT (Wijaya, 2012). Selain itu, FFT juga terkait erat dengan DFT (Discrete Fourier Transform). DFT sendiri merupakan metode transformasi matematis untuk sinyal waktu diskrit ke dalam domain frekuensi. Perbedaan pada DFT dan FFT adalah apabila DFT merupakan metode transformasi matematis sinyal waktu diskrit, FFT adalah algoritma yang digunakan untuk melakukan transformasi 14
tersebut. FFT digunakan untuk mengurangi kompleksitas transformasi yang dilakukan oleh DFT. Fourier Transform diperlukan untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut: 1. Jumlah komponen periodik yang dominan. 2. Besarnya nilai komponen periodik tersebut. 3. Komponen mana saja yang dominan. 4. Komponen mana yang merupakan sinyal yang diharapkan. Hal-hal tersebut dapat dianalisis dari frekuensi yang ditunjukkan oleh suatu data. Untuk data berdomain waktu, frekuensi dapat diperoleh dengan menggunakan FFT.
2.4 Nowcasting Nowcasting didefinisikan sebagai suatu prediksi yang dilakukan berdasarkan penggabungan data pengamatan yang telah dilakukan sebelumnya (hindcast) dan data prediksi yang dilakukan (forecast). Nowcasting yang diaplikasikan pada data pasut dapat diartikan sebagai prediksi yang dilakukan berdasarkan data pengamatan dan data ramalan terhadap pasut tertentu. Dalam Cheng & Smith, 1998, dijelaskan mengenai pemodelan nowcasting. Pemodelan nowcasting tersebut didefinisikan sebagai suatu simulasi model yang mencakup hindcast untuk 24 jam terakhir dan forecast untuk 24 jam berikutnya dari pasut dan arus pasut di San Francisco Bay. Model numerik nowcasting dapat diterapkan untuk mengisi kesenjangan informasi yang terdapat pada data prakiraan ke depan (forecast). Hal tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan model numerik dengan resolusi tinggi, akurat, dan efisien, seperti model yang telah diterapkan pada sistem di San Francisco Bay. Akan tetapi pengamatan pasut yang dilakukan biasanya hanya berada pada lokasi dan rentang waktu tertentu. Hal tersebut mengakibatkan data hasil pengamatan seringkali terbatas dalam ruang dan waktu. Meskipun begitu, model yang dihasilkan tetap memungkinkan untuk pelaksanaan prediksi ke depan dengan domain yang relatif besar. Skala waktu yang relevan dalam pemodelan nowcasting adalah jam. Setiap prosedur memiliki jadwal yang tetap dan pengoperasian yang dilakukan secara otomatis. Karena itulah pemodelan nowcasting berbeda dari pemodelan yang ada secara konvensional. Semua kontrol dan kondisi pada pemodelan nowcasting harus diproses secara otomatis. Pada Cheng & Smith, 1998, pemodelan nowcasting dilakukan sebanyak sekali dalam satu jam. Model nowcasting pasut dioperasikan setiap jam secara kontinu mulai dari 24 jam yang telah lalu sebelum saat sekarang sehingga total simulasinya meliputi 48 jam 15
lamanya. Sedangkan pada Schoch et. al., 2011, pemodelan dilakukan dalam kurun waktu enam jam. Nowcasting kemudian dapat diartikan sebagai prakiraan muka air laut untuk kurun waktu kritis. Kurun waktu kritis ini merupakan kurun waktu beberapa jam ke depan yang dapat menjadi acuan untuk melakukan penyelamatan akan bahaya yang terjadi di lokasi setempat.
2.5 Data Penelitian ini merupakan simulasi tingkat kesalahan data dengan menggunakan toolbox T_TIDE. Dalam penelitian ini, data yang digunakan tidak harus merupakan data yang baru dihasilkan dari lapangan. Penelitian ini dapat tetap dijalankan dengan menggunakan data yang sudah ada. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah sampel yang merupakan data pengamatan pasut dengan selang waktu minimal 15 hari. Karena script MATLAB untuk proses pengolahan data tersebut dapat digunakan untuk data hingga satu tahun lamanya, data pengamatan pasutnya pun diupayakan memiliki selang waktu satu tahun. Data pengamatan pasut yang digunakan diasumsikan tidak mengandung faktor non-pasut. Sehingga faktor non-pasut tidak disertakan dalam penelitian ini. Selain itu, karena dapat terjadi perbedaan analisis pasut di lokasi yang berbeda, data yang akan diteliti pun diupayakan berasal dari dua tempat yang berbeda. Data yang kemudian digunakan pada penelitian ini adalah data pengamatan dari stasiun pasut di area Delta Mahakam. Data tersebut merupakan data tugas akhir Vidia Chandra Dewi, 2011, yang berjudul Analisis Penggunaan EGM2008 yang Disesuaikan dengan Muka Air Laut Rata-rata Setempat untuk Transfer Elevasi di Delta Mahakam. Data pengamatan pasut yang dilakukan di area Delta Mahakam tersebut merupakan hasil pengamatan pasut dengan menggunakan alat Tide Gauge. Prinsip kerja alat Tide Gauge ini berdasarkan naik turunnya permukaan air laut yang dapat diketahui melalui pelampung yang dihubungkan dengan alat pencatat. Data pasut dicatat setiap 15 menit oleh alat Tide Gauge yang berada pada suatu stasiun pengamatan pasut. Pengamatan pasut yang digunakan pada penelitian ini dilakukan pada tiga stasiun di area Delta Mahakam, antara lain stasiun CPU, stasiun NPU, dan stasiun Handil. Lokasi ketiga stasiun tersebut ditunjukkan pada Gambar 2.3.
16
Gambar 2.3 Lokasi Stasiun Pengamatan di Area Delta Mahakam
Data pengamatan yang berasal dari stasiun CPU menjadi data pengamatan pertama yang diolah, karena secara geografis stasiun CPU terletak di antara stasiun NPU dan stasiun Handil. Data pengamatan yang berasal dari stasiun Handil menjadi data pengamatan kedua yang diolah, karena jarak stasiun Handil dan stasiun CPU lebih jauh dari jarak stasiun NPU dan stasiun CPU. Data pengamatan yang berasal dari stasiun NPU menjadi data pengamatan terakhir yang diolah. Pada penelitian ini, ketiga data tersebut kemudian dibandingkan hasil analisis dan prediksinya. Data pengamatan pasut yang diperoleh baik dari stasiun CPU, stasiun Handil, maupun stasiun NPU, yang digunakan untuk penelitian ini adalah data selama 15 hari (1 Januari 2011 00:00 โ 15 Januari 2011 23:45). Data tersebut kemudian digunakan untuk melakukan prediksi dimulai dari tanggal 16 Januari 2011 pukul 00:00 hingga beberapa waktu ke depan. Data pengamatan yang tersedia memiliki panjang satu tahun, meskipun data pengamatan yang digunakan hanya selama 15 hari, karena data tersebut akan
17
digunakan sebagai data perbandingan terhadap data prediksi yang dihasilkan dengan menggunakan T_TIDE. Berdasarkan data pengamatan pasut yang didapatkan dari stasiun pasut CPU, stasiun pasut Handil, dan stasiun pasut NPU, pasut yang terjadi di daerah tersebut merupakan pasut semi-diurnal. Tipe pasut tersebut dapat dilihat berdasarkan Gambar 2.5. 4
Tinggi Muka Air Laut (m)
3,5 3 2,5 CPU
2
Handil 1,5
NPU
1 0,5
0 01/01/2010 0:00
06/01/2010 0:00 11/01/2010 0:00 Waktu Pengamatan
16/01/2010 0:00
Gambar 2.4 Grafik Data Pengamatan Pasut
Penelitian ini dilakukan dengan asumsi awal data pengamatan pasut yang tersedia terbatas dan dibutuhkan prediksi pasut dalam rentang waktu beberapa jam ke depan dengan ketelitian terbaik. Data pengamatan pasut minimal yang dapat menghasilkan konstanta harmonik pasut pada T_TIDE berjumlah 15 hari pengamatan. Maka penelitian ini pun dimulai dengan menggunakan data pengamatan pasut selama 15 hari. Kriteria yang dilihat dalam penelitian ini adalah hal-hal yang terkait dengan pelaksanaan nowcasting dalam penelitian ini. Hal-hal tersebut antara lain adalah panjang data awal pengamatan pasut, konstanta harmonik yang diperoleh dari hasil analisis pasut, dan kurun waktu yang akan diprediksi. Data pengamatan yang berjumlah minimum dan kurun waktu prediksi yang cukup dengan tingkat kesalahan yang kecil akan memberikan keuntungan untuk tempat penyimpanan yang terbatas. Informasi mengenai jumlah konstanta harmonik yang berpengaruh pada suatu pengamatan pasut bermanfaat dalam melakukan prediksinya. Oleh karena itu, ketiga hal tersebut menjadi kriteria yang dilihat dalam penelitian ini. Ketiga kriteria tersebut kemudian dibandingkan tingkat 18
kesalahannya. Analisis dan prediksi pasut dilakukan dengan menggunakan T_TIDE, sedangkan perbandingan tingkat kesalahannya dilakukan di Microsoft Excel. Dalam penelitian ini, metode penentuan tingkat kesalahan adalah dengan menggunakan nilai variansi (Sยฒ), nilai root-mean-square (RMS), dan nilai kesalahan relatif rata-rata (e). Tingkat kesalahan yang dilihat dengan menggunakan ketiga nilai tersebut diterapkan pada sampel data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu data pengamatan pasut. Ketiga nilai tersebut dirumuskan sebagai berikut: Variansi: ๐ยฒ =
๐ โฒ ๐=1 (๐ฆแตขโ๐ฆแตข )ยฒ
(3)
๐ โ1
RMS: ๐
๐๐ = ๐ยฒ
Kesalahan Relatif Rata-rata: ฤ =
(4) โฒ ๐ |๐ฆ แตขโ๐ฆ แตข | ๐=1 ๐ฆ แตข
๐
(6)
dengan y = hasil prediksi tinggi pasut, yโ = data pengamatan tinggi pasut, dan n = jumlah data. Nilai variansi memiliki satuan meter persegi (mยฒ), nilai RMS dalam satuan meter (m), sedangkan nilai ฤ dinyatakan dengan satuan persen (%). Penelitian ini menggunakan nilai variansi dan nilai RMS disebabkan oleh kedua nilai tersebut menunjukkan nilai penyebaran suatu data. Dengan menggunakan nilai RMS, dapat dilihat kecocokan model yang baik pada suatu data tersebut. Nilai RMS yang baik adalah yang kurang dari atau sama dengan 0.05 satuan data. Sedangkan apabila nilai RMS berada kurang dari atau sama dengan 0.08 satuan data, maka nilai RMS tersebut masih tergolong cukup baik. Nilai variansi berfungsi seperti nilai RMS, namun nilai variansi merupakan nilai kuadrat dari nilai RMS. Sementara itu, nilai ฤ digunakan dalam penelitian ini dikarenakan nilai ฤ dapat digunakan untuk melihat ketidakpastian yang terdapat dalam suatu data. Tahapan pertama dari skenario yang dijalankan pada penelitian ini adalah melihat tingkat kesalahan berdasarkan konstanta harmonik pasut yang digunakan. Pemilihan konstanta harmonik pasut dilakukan berdasarkan nilai signal to noise ratio (SNR) yang didapatkan dengan menjalankan T_TIDE dan kemudian dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu pengolahan data menggunakan semua konstanta, pengolahan data menggunakan konstanta dengan nilai SNR lebih dari dua (SNR>2), dan pengolahan data menggunakan konstanta dengan nilai SNR lebih dari satu (SNR>1). Berdasarkan Pawlowicz et al., 2002, konstanta dengan nilai yang signifikan memiliki nilai SNR lebih dari satu dan terdapat 19
tanda bintang (*) setelah diproses dengan program T_TIDE. Sementara itu, pada kenyataannya setelah program dijalankan, tanda bintang tersebut terdapat pada konstanta dengan nilai SNR lebih dari dua. Oleh karena itu, pemilihan konstanta harmonik pasut yang dilakukan berdasarkan nilai SNR dikelompokkan menjadi tiga pada penelitian ini. Tahapan kedua dari skenario pada penelitian ini adalah perbandingan tingkat kesalahan berdasarkan selang waktu penerapan teknik nowcasting-nya. Data yang digunakan pada tahapan ini adalah data dengan jumlah konstanta harmonik pasut terbaik. Pada tahapan ini, pengolahan cukup dilakukan dengan mengisi formulir pada Excel. Selang waktu penerapan teknik nowcasting ini dilakukan mulai dari seperempat hari, setengah hari, satu hari, 15 hari, 30 hari, 60 hari, 120 hari, hingga 180 hari ke depan. Dalam hitungan jam menjadi 6 jam, 12 jam, 24 jam, 360 jam, 720 jam, 1440 jam, 2880 jam, dan 2880 jam. Namun karena penyajian dalam jam melibatkan lebih banyak angka sehingga menjadi rumit, maka dalam penelitian ini, waktu pengamatan ataupun penerapan nowcasting disajikan dalam hari. Uji coba dimulai dari selang waktu enam jam seperti pemodelan yang dilakukan oleh Schoch et al., 2011. Sementara itu, selang waktu 15 hari diambil sebagai uji coba karena angka tersebut merupakan panjang minimal dalam analisis data pengamatan pasut dengan menggunakan T_TIDE. Selang waktu selanjutnya yang dicoba adalah selang waktu 30 hari karena angka tersebut merupakan panjang data minimal dalam pelaksanaan pengamatan pasut menurut SP-44 Edisi ke-5 Tahun 2008. Tahapan terakhir dari skenario pada penelitian ini adalah perbandingan tingkat kesalahan berdasarkan panjang data awal untuk penerapan teknik nowcasting. Panjang data yang diuji coba dalam penelitian ini sesuai dengan selang waktu yang terdapat pada tahap kedua. Penelitian terhadap panjang data awal ini dimulai dari data sepanjang 15 hari, 30 hari, 60 hari, 120 hari, dan 180 hari.
20