9
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN
2.1 Kajian Teoritis 2.1.1 Hakikat Kemampuan Sehubungan dengan pengertian kemampuan, Spencer (dalam TheSustainable Development.com,
2012:1)
mengemukakan
bahwa
kemampuan
merupakan
karakteristik mendasar dari seseorang yang merupakan hubungan kausal dalam referensi kriteria yang efektif atau penampilan terbaik dalam pekerjaan pada suatu situasi. Sedangkan menurut Gagne (dalam Arifin, 2009:5) memberikan pengertian bahwa kemampuan adalah kecakapan untuk melakukan suatu tugas khusus dalam kondisi yang telah ditentukan. Apabila dikaitkan dengan pembelajaran, tugas khusus yang dimaksud adalah kemampuan siswa dalam menyelesaikan tugas dari guru, misalnya kemampuan mengerjakan tugas kelompok (LKS) maupun tes individu (Evaluasi). Dalam pembelajaran, kemampuan siswa diwujudkan dengan nilai yang diperoleh siswa untuk mengukur tingkatan psikomotornya. Menurut Munandar (dalam Sofi dkk, 2012: 11) menyatakan bahwa ”kemampuan merupakan daya untuk melakukan sesuatu tindakan sebagai hasil dari pembawaan dan latihan”. Dari beberapa pengertian kemampuan diatas, maka yang dimaksud dengan kemampuan dalam bahasan ini adalah kempetensi mendasar yang dimiliki siswa kelas I SDN 8 Bulango Utara dalam menyelesaikan soal cerita penjumlahan bilangan cacah.
9
10
Kompetensi dasar yang dimaksud yaitu (1) dapat menyelesaikan soal cerita dengan benar, (2) memahami pertanyaan yang diajukan dan dapat menjelaskan kembali dalam bentuk matematika, (3) dapat menghubungkan antara soal cerita yang diberikan dengan kehidupan nyata, dan (4) dapat menjelaskan kembali jawaban yang diperoleh dengan baik dan benar. Sedangkan indikator kemampuan siswa dalam komunikasi matematis pada pembelajaran matematika dapat dilihat dari : 1) Kemampuan mengekspresikan ide-ide matematika melalui lisan, tertulis, dan mendemonstrasikannya serta menggambarkannya secara visual, 2) Kemampuan memahami, menginterpretasikan, dan mengevaluasi ide-ide matematika baik secara lisan maupun dalam bentuk visual lainnya, dan 3) Kemampuan dalam menggunakan istilah-istilah, notasi-notasi matematika dan struktur-strukturnya
untuk
menyajikan
ide,
menggambarkan
hubungan-
hubungan dan model-model situasi. 2.1.2 Soal Cerita penjumlahan Bilangan Cacah 2.1.2.1 Pengertian Soal Cerita Menurut Walle (dalam UPI, 2008:38) soal cerita dalam matematika adalah sebarang tugas atau latihan dimana siswa belum memiliki aturan atau model pemecahan soal atau siswa belum melihat metode pengerjaan soal ”yang benar”. Menurut Walle soal merupakan pintu gerbang menuju pada pembelajaran matematika yang baru dan bukan hanya sekedar untuk menerapkan rumus. Menurut Hudoyo (dalam Lambertus, 2005:75) menjelaskan bawa soal cerita adalah soal yang dalam penyelesaiannya membutuhkan suatu kaidah atau aturan-
11
aturan tertentu yang telah disepakati bersama. Cerita ini merupakan masalah matematika yang di jelaskan dan disajikan dalam bentuk soal cerita yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Menurut Walle (dalam UPI, 2008:39) soal-soal cerita matematika yang digunakan sebagai alat untuk mengukur pengetahuan baru memiliki ciri-ciri sebagai berikut. a. Soal harus disesuaikan dengan kondisi siswa, soal yang diberikan harus sesuai dengan pemahaman terakhir siswa. Siswa harus memiliki ide-ide dan mampu menganggap bahwa soal tersebut merupakan tantangan dan bersifat menarik. b. Soal harus dikaitkan dengan matematika yang akan dipelajari (berdasarkan materi
yang
diberikan),
sehingga
siswa
merasa
terlibat
dengan
pengembangan pemahaman terhadap ide-ide mereka. c. Jawaban dan metode penyelesaian soal harus memiliki penjelasan sehingga siswa merasa memiliki tanggung jawab untuk mengetahui apakah hasil yang dia peroleh (jawaban) benar atau tidak benar. Penyelesaian dan pembenaran datang dari siswa dan bukan dari guru. Pada umumnya soal cerita terbagi atas dua bagian utama yakni soal rutin dan soal nonrutin. Soal rutin adalah soal cerita biasa yang bisa jawab dengan prosedur yang diberikan di kelas. Soal non rutin adalah soal cerita yang dalam pengerjaannya membutuhkan pemikiran yang lebih/ analisis yang mendalam karena metode penyelesaiannya tidak jelas atau tidak sesuai dengan prosedur yang diberikan di kelas.
12
Berdasarkan pengertian kemampuan dan pengertian soal cerita di atas, peneliti dapat
mengambil
benang
merah
dan
menyimpulkan
bahwa
kemampuan
menyelesaikan soal cerita matematika adalah segala daya upaya, kekuatan dan kesanggupan siswa dalam menyelesaikan soal yang disajikan dalam bentuk paparan kalimat yang mendeskripsikan suatu pengalaman atau peristiwa dalam kehidupan sehari-hari dimulai dari memahami masalah, menyelesaikan masalah, mengecek kebenaran hasil penyelesaian masalah mulai dari pemahaman sampai pada pemecahan masalah yang telah dilakukan. 2.1.2.2 Bilangan Cacah Menurut kamus besar bahasa indonesia (1990:116) ”bilangan cacah adalah satuan dalam sistem matimatis yang abstrak dan dapat diunitkan, ditambah atau dikalikan”. Himpunan bilangan cacah adalah himpunan yang semua unsur-unsurnya bilangan cacah {0,1,2,3,4.5,....}. Menurut Karim (dalam Ian, 2010:1) mengemukakan bahwa bilangan cacah dapat didefinisikan sebagai bilangan yang digunakan untuk menyatakan cacah anggota suatu himpunan. Jika suatu himpunan yang karena alasan tertentu tidak mempunyai anggota sama sekali, maka cacah anggota himpunan itu dinyatakan dengan “nol” dan dinyatakan dengan lambang “0”. Jika anggota suatu himpunan hanya terdiri atas satu anggota saja, maka cacah anggota himpunan tersebut adalah “satu” dan dinyatakan dengan lambang “1”.Demikian seterusnya sehingga kita mengenal barisan bilangan hasil pencacahan himpunan yang dinyatakan dengan lambang sebagai berikut : 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, . . .
13
Berdasarkan definisi di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa bilangan cacah adalah semua bilangan yang dimulai dari angka “0,1,2,3,4,…. dan seterusnya. Bilangan cacah merupakan bilangan positif selain “nol”. 2.1.2.3 Penjumlahan Bilangan Cacah Penjumlahan adalah operasi matematika yang menggabungkan suatu bilangan dengan bilangan lainnya sehingga menghasilkan hasil yang baru. Simbol untuk operasi penjumlahan adalah tanda plus (+). Dengan menggunakan konsep himpunan, pengertian penjumlahan bilangan cacah dapat dijelaskan sebagai berikut. A
3
B
+
2
=
5
2.1.3.4 Menyelesaikan Soal Cerita Penjumlahan Polya (dalam Wibowo, 2010:5) mengajukan empat langkah fase penyelesaian masalah yaitu memahami masalah, merencanakan penyelesaian, menyelesaikan masalah dan melakukan pengecekan kembali semua langkah yang telah dikerjakan. Fase memahami masalah tanpa adanya pemahaman terhadap masalah yang diberikan, siswa tidak mungkin menyelesaikan masalah tersebut dengan benar, selanjutnya para siswa harus mampu menyusun rencana atau strategi. Penyelesaian masalah, dalam fase ini sangat tergantung pada pengalaman siswa lebih kreatif dalam menyusun penyelesaian suatu masalah, jika rencana penyelesaian satu masalah telah dibuat baik tertulis maupun tidak. Langkah selanjutnya adalah siswa mampu
14
menyelesaikan masalah, sesuai dengan rencana yang telah disusun dan dianggap tepat. Dan langkah terakhir dari proses penyelesaian masalah menurut polya adalah melakukan pengecekan atas apa yang dilakukan. Mulai dari fase pertama hingga fase ketiga. Dengan model seperti ini maka kesalahan yang tidak perlu terjadi dapat dikoreksi kembali sehingga siswa dapat menemukan jawaban yang benar-benar sesuai dengan masalah yang diberikan. Tingkat kesulitan soal pemecahan masalah harus disesuaikan dengan tingkat kemampuan siswa. Polya (dalam Wibowo, 2010:2) mengemukakan ada 4 tahap penyelesaian masalah yang dalam hal ini dikaitkan dengan soal cerita, yakni: a.
Memahami isi soal cerita Langkah pertama adalah siswa dapat mengungkap apa yang diketahui dan apa
yang di tanya. b.
Mengubah soal cerita ke dalam kalimat matematika Mencari hubungan antara informasi tentang apa yang di ketahui dan apa yang
di tanya. Memungkinkan kita untuk menghitung variabel atau nilai yang tidak di ketahui dalam soal cerita. c.
Menyelesaikan kalimat matematika Dalam melaksanakan rencana yang tertuang pada langkah kedua, kita harus
memeriksa tiap langkah dalam rencana dan menuliskannya secara detail untuk memastikan bahwa tiap langkah sudah benar. d.
Menguji kembali hasil penyelesaian
15
Menguji solusi yang telah didapatkan dan Mengkritisi hasilnya. Melihat kelemahan dari solusi yang didapatkan (seperti ketidak konsistenan atau ambiguitas atau langkah yang tidak benar). Mengoperasionalkan suatu kegiatan tidaklah mudah, guru sebagai pendidik harus mampu memilih strategi dan metode yang tepat untuk mengajarkan penjumlahan pada siswa. Contoh 1. Satria dibelikan ibunya 3 buah rambutan di pasar Sampai di rumah satria diberikan lagi 3 buah rambutan oleh temannya Berapa banyak rambutan milik satria sekarang. Jawab: Dik:
Rambutan yang dibeli ibu
= 3 buah
Rambutan yang diberi temannya
= 3 buah
Ditanya
= berapa buah rambutan Satria sekarang?
Peny.
+
=
= rambutan yang diberi ibu + rambutan yang diberi teman = 3 + 3 = 6 Jadi, rambutan satria sekarang ada 6 buah. 2.
Dian membeli 9 buah buku di toko Ibu menambahkan 4 buku lagi
16
Berapa buah buku Dian sekarang. Jawab: Dik:
Buku yang dibeli Dian = 9 buah Buku yang diberi Ibu
Ditanya
=4 buah
=berapa buah buku Dian sekarang?
Peny.
+
=
=buku yang dibeli Dian + buku yang diberi Ibu = 9 + 4 = 13 Jadi, buku Dian sekarang ada 13 buah. 3.
Di kebun Ayah ada 5 pohon kelapa Ayah menanam lagi 4 pohon Berapa pohon kelapa di kebun Ayah sekarang.
Jawab: Dik:
Pohon kelapa Ayah di kebun
=5 pohon
Ayah menanam lagi
=4 pohon
Ditanya
=berapa pohon kelapa Ayah sekarang.
Peny.
+
=
17
=pohon kelapa Ayah + pohon kelapa yang baru di tanam = 5 + 4 = 9 Jadi, pohon kelapa Ayah sekarang ada 9 pohon. 4.
Di atas meja ada 8 buah gelas Kemudian Ibu menyiapkan lagi 6 gelas Berapa gelas yang ada di atas meja sekarang.
Jawab: Dik:
Di atas meja ada
=8 gelas
Ibu menyiapkan lagi
=6 gelas
Ditanya
=berapa jumlah gelas sekarang.
Peny.
+
=
=gelas yang ada di atas meja + gelas yang disiapkan lagi oleh Ibu = 8 + 6 = 14 Jadi, gelas yang ada sekarang 14 buah. 2.1.3. Hakekat Model Pembelajaran Kontekstual 2.1.3.1 Pengertian Model Pembelajaran Kontekstual Penerapan pembelajaran kontekstual pertama kali diterapkan di Amerika Serikat (AS). Model pembelajaran ini muncul berdasarkan pandangan ahli pendidikan klasik John Dewey pada tahun 1916 mengajukan teori kurikulum dan metologi pengajaran yang berhubungan dengan pengalaman dan minat siswa. Filosofi pembelajaran kontekstual berakar dari paham Progresivisme John Dewey.
18
Intinya, siswa akan belajar dengan baik apabila apa yang mereka pelajari berhubungan dengan apa yang telah mereka ketahui, serta proses belajar akan produktif jika siswa terlibat aktif dalam proses belajar di sekolah. Pokok – pokok pandangan progresivisme antara lain : 1) Siswa
belajar
dengan
baik
apabila
mereka
secara
aktif
dapat
mengkronstruksi sendiri pemahaman mereka tentang apa yang diajarkan oleh guru 2) Anak harus bebas agar bisa berkembang wajar, 3) Penumbuhan minat melalui pengalaman langsung untuk merangsang belajar 4) Guru sebagai pembimbing dan peneliti 5) Harus ada kerjasama antara sekolah dan masyarakat 6) Sekolah progresif, harus merupakan laboratorium untuk melakukan eksperimen. Dewasa ini pembelajaran kontekstual telah berkembang di negara-negara maju, dengan berbagai negara yang bersangkutan menyebut pembelajaran ini sesuai dengan istilah yang mereka gunakan. Di negara Belanda berkembang dengan apa yang disebut dengan Realistic Mathematic Education (RME) yang menjelaskan bahwa pembelajaran matematika harus dikaitkan dengan kehidupan nyata siswa, di Amerika Serikat berkembang apa yang disebut dengan Contekstual Teaching and Learning (CTL) yang intinya membantu guru untuk mengaitkan pengetahuan yang dipelajarinya dengan kehidupan mereka.
19
Johnson (dalam Rusman, 2010:187) mengatakan “pembelajaran kontekstual adalah sebuah sistem yang merangsang otak untuk menyusun pola-pola yang mewujudkan makna. Lebih lanjut Johnson mengatakan bahwa pembelajaran kontekstual adalah suatu sistem pembelajaran yang cocok dengan otak yang menghasilkan makna dengan menghubungkan muatan akademis dengan konteks dari kehidupan sehari-hari siswa. Nurhadi (dalam Rusman, 2010:189) menyatakan bahwa “Pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar mengajar yang membantu guru untuk menghubungkan isi pelajaran, dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membawa hubungan-hubungan antara pengetahuan dan aplikasinya dalam kehidupan siswa sebagai anggota keluarga, anggota masyarakat dan bekerja serta meminta ketekunan belajar. Sementara itu, Keneth (dalam Rusman, 2010:189) mendefinisikan CTL sebagai berikut. “Contextual teaching is learning that enable learning in wich student employ their academic understanding and abilities in a variety of in-and out of school context to solve simulated or real world problems, both alone and with others” (CTL adalah pembelajaran yang memungkinkan terjadinya proses belajar di mana siswa menggunakan pemahaman dan kemampuan akademiknya dalam berbagai konteks dalam dan luar sekolah untuk memecahkan masalah yang bersifat simulative ataupun nyata, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama). Sejalan dengan pendapat diatas, maka disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar dimana guru menghadirkan dunia nyata ke dalam
20
kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan mereka sehari-hari.
2.1.3.2 Prinsip Penerapan Model Pembelajaran Kontekstual Berkaitan dengan faktor kebutuhan siswa, untuk menerapkan kontekstual guru perlu memegang prinsip-prinsip yang ada di dalamnya. Menurut Sanjaya (2005:1) bahwa prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut : 1) Merencanakan pembelajaran sesuai dengan kewajaran perkembangan mental siswa. Hubungan antara isi kurikulum dan metodologi yang digunakan untuk mengajar harus didasarkan pada kondisi emosional dan perkembangan emosional siswa. 2) Membentuk kelompok belajar yang saling tergantung dan siswa saling belajar dari sesamanya di dalam kelompok-kelompok kecil dan bekerja sama dalam kelompok yang lebih besar. 3) Menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri 4) Mempertimbangkan keragaman siswa 5) Memperhatikan keragaman siswa 6) Menggunakan teknik-teknik bertanya untuk meningkatkan pembelajaran siswa perkembangan pemecahan masalah dan keterampilan berfikir tingkat tinggi 7) Menerapkan penilaian
21
2.1.3.3 Ciri-ciri Model Pembelajaran Kontekstual Pembelajaran kontekstual menempatkan siswa di dalam konteks bermakna yang menghubungkan pengetahuan awal siswa dengan yang sedang dipelajari dan sekaligus memperhatikan faktor kebutuhan individu siswa dan peranan guru. Sehubungan dengan makna pengajaran kontekstual harus menekankan pada hal-hal berikut : 1) Belajar berbasis masalah, yaitu suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah vaktual sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar berfikir kritis dan dalam pemecahan masalah. 2) Belajar berbasis inquiri, yaitu belajar dengan pendekatan pengajaran menggunakan strategi pembelajaran yang mengikuti metodologi sains dan menyediakan kesempatan untuk pembelajaran bermakna. 3) Belajar berbasis proyek, yaitu belajar dengan pendekatan pengajaran yang komprehensif. 4) Belajar
berbasis
kerja,
yaitu
belajar
dengan
pendekatan
yang
memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari materi pelajaran. 5) Belajar jasa layanan, yaitu belajar yang memerlukan penggunaan metodologi pengajaran yang mengkombinasikan jasa layanan masyarakat dengan struktur berbasis sekolah. 6) Belajar komprehensif yaitu belajar dengan pendekatan pengajaran melalui kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar dan mencapai tujuan belajar.
22
2.1.3.4 Langkah-langkah Pembelajaran Kontekstual Sehubungan dengan langkah-langkah pelaksanaan pembelajaran kontekstual (Rusman, 2009:192) menguraikan sebagai berikut. 1) Mengembangkan pemikiran siswa untuk melakukan kegiatan belajar lebih bermakna, apakah dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru yang akan dimilikinya. 2) Melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiry untuk semua topik yang diajarkan. 3) Mengembangkan sifat ingin tahu siswa melalui memunculkan pertanyaanpertanyaan. 4) Menciptakan masyarakat belajar, seperti melalui kegiatan kelompok berdiskusi, tanya jawab, dan lain sebagainya. 5) Menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran, bisa melalui ilustrasi, model, bahkan media yang sebenarnya. 6) Membiasakan anak untuk melakukan refleksi dari setiap kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan. 7) Melakukan penilaian secara objektif, yaitu menilai kemampuan yang sebenarnya pada setiap siswa.
2.1.3.5 Keunggulan dan Kelemahan Pembelajaran Kontekstual Adapun beberapa keunggulan dari pembelajaran kontekstual menurut Rusman (2010: 180) adalah:
23
1) Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil. Artinya siswa dituntut untuk dapat menagkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sihingga tidak akan mudah dilupakan. 2) Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep kepada siswa karena metode pembelajaran kontekstual menganut aliran konstruktivisme, dimana seorang siswa dituntun untuk menemukan pengetahuannya sendiri. Melalui landasan filosofis konstruktivisme siswa diharapkan belajar melalui ”mengalami” bukan ”menghafal”. 3) Kontekstual adalah model pembelajaran yang menekankan pada aktivitas siswa secara penuh, baik fisik maupun mental 4) Kelas dalam pembelajaran kontekstual bukan sebagai tempat untuk memperoleh informasi, akan tetapi sebagai tempat untuk menguji data hasil temuan mereka di lapangan 5) Materi pelajaran dapat ditemukan sendiri oleh siswa, bukan hasil pemberian dari guru 6) Penerapan
pembelajaran
kontekstual
dapat
menciptakan
suasana
pembelajaran yang bermakna Sedangkan kelemahan dari pembelajaran kontekstual adalah sebagai berikut:
24
1) Diperlukan waktu yang cukup lama saat proses pembelajaran Kontekstual berlangsung 2) Jika guru tidak dapat mengendalikan kelas maka dapat menciptakan situasi kelas yang kurang kondusif 3) Guru
lebih
intensif
dalam
membimbing.
Karena
dalam
model
pembelajaran kontekstual, guru tidak lagi berperan sebagai pusat informasi. Tugas guru adalah mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan pengetahuan dan ketrampilan yang baru bagi siswa. Siswa dipandang sebagai individu yang sedang berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat perkembangan dan keluasan pengalaman yang dimilikinya. Dengan demikian, peran guru bukanlah sebagai instruktur atau ”penguasa” yang memaksa kehendak melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai dengan tahap perkembangannya. 4) Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide–ide dan mengajak siswa agar dengan menyadari dan dengan sadar menggunakan strategi–strategi mereka sendiri untuk belajar. Namun dalam konteks ini tentunya guru memerlukan perhatian dan bimbingan yang ekstra terhadap siswa agar tujuan pembelajaran sesuai dengan apa yang diterapkan semula. 2.1.4
Penerapan Model Pembelajaran Kontekstual dalam Menyelesaikan Soal Cerita Bentuk Penjumlahan Bilangan Cacah
25
Model pembelajaran kontekstual dapat diterapkan pada penyelesaian soal cerita. Dengan memahami langkah-langkah pembelajaran kontekstual, maka soal cerita akan lebih mudah dan lebih bermakna. Adapun langkah-langkah penyelesaian soal cerita melalui pembelajaran kontekstual dijelaskan sebagai berikut (Rusman, 2009 : 192) : (1) Siswa diajak untuk melakukan kegiatan belajar yang lebih bermakna, (2) Guru menjelaskan materi soal cerita secara umum dan menjelaskan media yang akan digunakan untuk menyelesaikan soal cerita, (3) Siswa dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil dan diberikan tugas untuk menyelesaikan soal yang diberikan. Penyelesaian soal cerita mengikuti aturan Polya yang diawali dari pemahaman terhadap soal sampai pada merefleksi/mengkaji kembali jawaban yang diperoleh, (4) Guru membagikan LKS kepada setiap kelompok dan menyiapkan media pembelajaran yang dalam hal ini adalah benda/ buah-buahan, (5) Siswa secara berkelompok bekerja sama mengerjakan masalah yang diberikan guru, dan (6) Guru memberikan penghargaan kepada siswa secara individu dan kelompok.
2.2 Kajian Penelitian Yang Relevan Astuti (2005) dalam penelitiannya yang berjudul peningkatan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal cerita matematika melalui pemberdayaan alat peraga pada siswa kelas II SD 1 Kuwukan Dawe Kudus menyimpulkan bahwa guru telah mampu meningkatkan kemampuan belajar Matematikan siswa kelas II SD Negeri I Kuwukan Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus Tahun Pelajaran 2004/2005 dan mata pelajaran Matematika dengan menunjukkan gambar dan mengefektifkan penggunaan alat peraga dalam pembelajaran. Hal ini buktikan dari perolehan rata –
26
rata hasil nilai ulangan siswa sebelum diadakan tindakan adalah 5,6 dan setelah dilakukan tindakan pada siklus II dan 7,0 pada siklus II. Setiap putaran/siklus selalu membawa dampak yang positif ke arah peningkatan perkembangan kemampuan dan prestasi belajar Matematikan siswa kelas II SD Negeri I Kuwukan Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus. Arifin (2009:24) dalam penelitiannya yang berjudul meningkatkan kemampuan siswa dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia tentang menulis puisi melalui metode kontekstual pada siswa kelas IV SD Sambirejo 3 Kecamatan Matingan Kab. Ngawi menyimpulkan bahwa penggunaan metode kontekstual dalam pembelajaran sastra dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis puisi berdasarkan idenya dengan menggunakan pilihan kata yang tepat hal ini dapat dilihat dari peningkatan nilai tes menulis puisi siswa dari 16 orang siswa yang mengikuti tes, 13 orang diantaranya mendapat nilai di atas rata-rata dengan persentase 81.25% sedangkan siswa yang memperoleh nilai di bawah rata-rata berkurang menjadi 3 anak dengan persentase sebesar 18.75% Wisnawati Usman (2008: 36) pada penelitiannya yang berjudul meningkatkan pemahaman konsep penjumlahan bilangan bulat melalui pendekatan kontekstual di kelas III SDN 85 Kota Tengah Kota Gorontalo mengemukakan bahwa dengan menggunakan pendekatan kontekstual dapat meningkatkan pemahaman siswa pada konsep penjumlahan bilangan bulat. Hal ini ditunjukkan dari data pada siklus I terdapat 11 orang siswa yang memperoleh nilai 6.5 ke atas atau 64,71 % dengan daya serap 69,41 %, sehingga belum mencapai indikator kinerja yang telah ditetapkan yakni 80 % siswa memperoleh nilai 6.5 ke atas dengan demikian masih ditindak
27
lanjuti ke siklus II. Pada siklus II terdapat 15 orang siswa yang memperoleh nilai 6.5 ke atas atau 88,24 % dengan daya serap 86,47 %, ini berarti indikator kinerja telah tercapai. Lanti usman (2008) dalam penelitiannya yang berjudul meningkatkan pemahaman belajar siswa pada materi pengurangan bilangan cacah melalui pendekatan kontekstual di kelas I SDN No. 60 Kota Timur kota Gorontalo mengemukakan bahwa Pada pelaksanaan tindakan siklus I dengan menerapkan pendekatan kontekstual pemahaman siswa belum mencapai indikator. Sehingga dilaksanakan siklus II sebagai refleksi dari siklus I. Pada siklus II terjadi peningkatan dari jumlah 37 orang siswa, siswa yang memperoleh nilai kurang dari 6.5 ada 12 orang atau 32.43 meningkat menjadi 81.08 % sedangkan daya serap dari 62.71 % meningkat menjadi 80.81 % dari jumlah 37 orang siswa. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan pendekatan kontekstual pada materi pengurangan bilangan cacah dapat meningkatkan pemahaman siswa. 2.3 Hipotesis Tindakan Hipotesis yang dapat diajukan dalam penelitian tindakan kelas ini adalah ”Jika melalui model pembelajaran kontekstual, maka kemampuan menyelesaikan soal cerita bentuk penjumlahan bilangan cacah pada siswa kelas I SDN 8 Bulango Utara Kabupaten Bone Bolango akan meningkat”. 2.4 Indikator Kinerja a.
Untuk hasil belajar minimal 80% dari seluruh siswa kelas I SDN 8 Bulango Utara yang dikenai tindakan memperoleh nilai 70 ke atas pada materi yang diberikan.