BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN
2.1
Studi Pembelajaran (Lesson Study) Menurut catatan perkembangan pendidikan di Jepang yang di ungkapkan oleh
para ahli pendidikan di Jepang, kegiatan studi pembelajaran (lesson study) atau jugyokenkyu (istilah Jepang) telah dimulai sejak 1890-an atau kurang lebih 100 tahun yang lalu. Studi pembelajaran merupakan sebuah gerakan pendidikan yang dilakukan para guru dimaksudkan untuk mengimplementasikan “pengajaran berpusat pada siswa” (Syamsuri dan Ibrohim, 2008). Menurut Syamsuri dan Ibrohim dalam perkembangannya studi pembelajaran telah mengalami perubahan dan perkembangan hingga banyak diterapkan saat ini di Jepang dan Negara-negara lain. Implementasi kegiatan studi pembelajaran dan komunitas belajar di Jepang telah diteliti oleh Prof. Kiyomi Akita dari Universitas Tokyo. Menurutnya hal penting yang harus diperhatikan dalam studi pembelajran ini adalah (1) Pembelajaran harus selalu menempatkan siswa sebagai fokus utama dan hubungannya dengan motivasi, dunia nyata, diri sendiri, kelompok, guru, buku pelajaran, media, aktivitas belajar, dan pemahaman bahan ajar; (2) Studi pembelajaran dapat mengubah pengetahuan dan kepercayaan guru serta mengubah pola praktik pembelajaran di kelas, sehingga dapat mengubah luaran siswa menjadi lebih baik; (3) Kepemimpinan kepala sekolah merupakan satu faktor yang menentukan keberhasilan studi pembelajaran di sekolah.
2.2
Kegiatan Pembelajaran Lesson Study Menurut Syamsuri (2008) studi pembelajaran (Lesson Study) merupakan
sebuah sistem kegiatan yang terdiri beberapa tahapan. Didalam perkembangannya ada beberapa ahli yang menuliskan dalam beberapa tahapan kegiatan yang bervariasi. Menurut Fernandez dan Yoshida (2004) dalam Syamsuri (2008) terdapat 6 langkah dalam proses pelaksanaan suatu studi pembelajaran yaitu: (1) Merencanakan pembelajaran secara kolaboratif (bersama-sama), (2) Melaksanakan pembelajaran : seorang guru ditunjuk sebagai pengajar sementara yang lain menjadi pengamat. (3) Melakukan diskusi refleksi tentang pembelajaran yang diamati. (4) Merevisi rencana pembelajaran. (5) Melakukan pembelajaran di masing-masing kelas berdasarkan hasil revisi. (6) Melakukan sharing tentang hasil pembelajaran masing-masing. Lewis (2002) dalam Syamsuri (2008) juga menyarankan ada enam tahapan dalam awal mengimplementasikan studi pembelajaran disekolah, yaitu : (1) Membentuk kelompok studi pembelajaran. (2) Memfokuskan studi pembelajaran. (3) Merencanakan rencana pembelajaran (Research Lesson). (4) Melaksanakan pembelajaran dikelas dan mengamatinya (observasi). (5) Mendiskusikan dan menganalisis pembelajaran, yang telah dilaksanakan. (6) Merefleksikan pembelajaran dan merencanakan tahap-tahap selanjutnya. Sementara itu, Richardson (2006) dalam Syamsuri (2008) menuliskan ada 7 tahap atau langkah yang termasuk dalam studi pembelajaran, yakni : (1) Membentuk sebuah tim Studi Pembelajaran. (2) Memfokuskan Studi Pembelajaran. (3)
Merencanakan
rencana
pembelajaran.
(4)
Persiapan
untuk
observasi.
(5)
Melaksanakan pengajaran dan observasinya. (6) Melaksanakan Tanya-jawab/diskusi pembelajaran. (7) Melakukan refleksi dan merencanakan tahap selanjutnya. Namun pengenalan studi pembelajaran dan implementasinya di Indonesia oleh tenaga ahli Jepang dalam program IMSTEP JICA di tiga Universitas (UPI, UNY, dan UM) pada tahun 2004/2005
digunakan tahapan yang lebih sederhana. Hal ini
dimaksudkan agar lebih mudah diterapkan dan menghilangkan kesan bahwa study pembelajaran adalah sesuatu yang rumit. Tiga tahap utama studi pembelajaran, yakni: Tahap pertama, yaitu Perencanaan (Plan), yang bertujuan untuk merancang pembelajaran
yang dapat
membelajarkan siswa, bagaimana
supaya
siswa
berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. Tahap kedua, yaitu Pelaksanaan (Do), yang bertujuan untuk menerapkan rancangan pembelajaran yang telah dirumuskan dalam perencanaan. Dalam perencanaan telah disepakati siapa guru yang akan mengimplementasikan pembelajaran dan sekolah yang akan menjadi tuan rumah. Langkah ini bertujuan untuk mengujicoba efektifitas model pembelajaran yang telah dirancang. Tahap ketiga, yaitu Refleksi (See), pada tahap ini pihak-pihak yang berkolaborasi ditambah pengamat lainnya duduk bersama untuk melakukan diskusi mengenai apa-apa yang baru saja mereka tangkap dan amati dari implementasi lesson plan yang telah dilakukan. Selanjutnya member saran-saran untuk perbaikan pembelajaran berikutnya. Kegiatan dalam masing tahapan tersebut dapat juga dilihat pada Gambar 1 berikut ini.
PERENCANAAN (PLAN)
- Penggalian akademik - Perencanaan pembelajaran - Penyiapan alat
PELAKSANAAN (DO)
- Pelaksanaan pembelaharan - Pengamatan oleh rekan sejawat
REFLEKSI (SEE)
Refleksi dengan rekan sejawat
Gambar 1. Daur Studi Pebelajaran yang Terorientasi pada Praktik (Diadaptasi dari Saito, et dalam Syamsuri dan Ibrohim, 2008).
Sebelumnya, pakar JICA memperkenalkan istilah Lesson Study dalam 3 tahapan juga yaitu plan, do, see, yang agaknya kurang tepat menggambarkan tahapan tersebut. Banyak guru mengartikan plan adalah perencanaan, do adalah pelaksanaan, dan see adalah refleksi, padahal see seharusnya diartikan melihat, yakni melihat pada waktu proses pembelajaran dan menyajikan hasil apa yang dilihat itu untuk bahan refleksi. Jadi pemberian istilah plan, do, see, ini membingungkan seolah see tidak dikenal. Refleksi menurut versi Amerika adalah debriefing yang arti harfiahnya pendalaman. Jadi sebaiknya untuk Indonesia tahapan Studi Pembelajaran digunakan istilah Perencanaan, Pelaksanaan, dan Refleksi disingkat PPR ( Syamsuri dan Ibrohim, 2008).
2.3
Pengertian Pendekatan Inquiri Pendekatan Inkuiri adalah suatu strategi pembelajaran dimana guru dan murid
mempelajari peristiwa-peristiwa ilmiah dengan pendekatan yang dipakai oleh ilmuwan. Arti inkuiri adalah proses penemuan dan penyelidikan masalah-masalah, menyusun hipotesa, merencanakan eksperimen, mengumpulkan data, dan menarik kesimpulan tentang hasil pemecahan masalah (Mahmudin, 2009). Menurut Gulo dalam Awad, (2012) menyatakan bahwa inquiri berarti suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri. Menurut beberapa ahli (dalam Wapung, 2012), pendekatan inkuiri memiliki kelebihan maupun kelemahan dalam pelaksanaannya. Kelebihan pendekatan inkuiri menurut Sanjaya (2008) dalam Wapung (2012) adalah (1) Menekankan kepada pengembangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor secara seimbang, sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna; (2) Dapat memberikan peluang kepada siswa untuk belajar sesuai dengan gaya belajar mereka; (3) Sesuai dengan perkembangan psikologi belajar modern yang menganggap belajar adalah proses perubahan tingkah laku berkat adanya pengalaman; (4) Dapat melayani kebutuhan siswa yang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Artinya siswa yang memiliki kemampuan belajar bagus tidak akan terhambat oleh siswa yang lemah dalam belajar. Kelebihan Inquiri menurut Lubis (2008) dalam Wapung (2012) adalah (1) Dianggap membantu siswa mengembangkan atau memperbanyak persediaan dan
penguasaan ketrampilan dan proses kognitif siswa; (2) Strategi penemuan membangkitkan gairah siswa; (3) Memberi kesempatan pada siswa untuk bergerak maju sesuai dengan kemampuannya; (4) Siswa dapat mengarahkan sendiri cara belajarnya; (5) Membantu memperkuat pribadi siswa; (6) Strategi berpusat pada anak; (7) Membantu perkembangan siswa menuju skeptisisme yang sehat dan menemukan kebenaran akhir dan mutlak. Kemudian kelebihan Inquiri menurut Kunandar (2007) dalam Wapung (2012) adalah (1) Memacu keinginan siswa untuk mengetahui, memotivasi mereka untuk melanjutkan pekerjaannya sehingga mereka menemukan jawabannya; (2) Siswa dapat belajar memecahkn masalah secara mandiri dan memiliki keterampilan berpikir kritis karena mereka harus menganalisis dan menangani informasi. Sedangkan kelemahan pendekatan inkuiri menurut para ahli diantaranya menurut Sanjaya (2008) dalam Wapung (2012) adalah (1) Sulit mengontrol kegiatan dan keberhasilan siswa; (2) Pendekatan inkuiri sulit dalam merencanakan pembelajaran oleh karena terbentur dengan kebiasaan siswa dalam belajar; (3) Kadang-kadang dalam mengimplementasikannya, memerlukan waktu yang panjang sehingga sering guru sulit menyesuaikannya dengan waktu yang telah ditentukan; (4) Selama kriteria keberhasilan belajar ditentukan oleh kemampuan siswa menguasai materi pelajaran, maka akan sulit diimplementasikan oleh setiap guru. Sedangkan kelemahan inquiri menurut Lubis (2008) dalam Wapung (2012) adalah (1) Dipersyaratkan keharusan adanya persiapan mental untuk cara belajar ini; (2) Metode ini kurang berhasil untuk mengajar di kelas besar; (3) Harapan yang
ditimpahkan pada strategi ini mungkin mengecewakan guru dan siswa yang sudah terbiasa dengan perencanaan dan pengajaran secara tradisional; (4) Metode ini dianggap terlalu mementingkan perolehan pengertian dan kurang diperhatikan diperolehnya sikap dan ketrampilan (5) Fasilitas untuk mencoba ide–ide mungkin belum lengkap. 2.4
Prosedur Pelaksanaan Inquiri Menurut Trianto (2009) dalam Awad, (2012), langkah-langkah model
pembelajaran Inquiri adalah (a) Menyajikan pertanyaan atau masalah; guru membimbing siswa mengidentifikasi masalah dan masalah di tuliskan di papan tulis, dan membagi dalam kelompok. (b) Membuat Hipotesis; guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk curah pendapat dalam bentuk hipotesis. Guru membimbing siswa dalam menentukan hipotesis yang relevan dengan permasalahan dan memprioritaskan hipotesis mana yang menjadi prioritas penyelidikan. (c) Merancang percobaan; guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menentukan langkah-langkah yang sesuai dengan hipotesis yang akan dilakukan. Guru membimbing siswa untuk mengurutkan langkah-langkah percobaan. (d) Melakukan percobaan untuk memperoleh informasi; guru membimbing siswa mendapatkan informasi melalui percobaan. (e) Mengumpulkan dan menganalisis data; guru memberi kesempatan pada tiap kelompok untuk menyampaikan hasil pengolahan data yang terkumpul. (f) Membuat kesimpulan; guru membimbing siswa dalam membuat kesimpulan. 2.5
Hasil Belajar
Dalam tahap belajar terjadi proses internal dalam pikiran siswa. Winkel (1996) dalam Zees (2012), menggambarkan tahapan proses tersebut terjadi karena (1) Siswa menerima rangsang dari reseptor; (2) Rangsang yang masuk ditampung dalam sensori register dan diseleksi, sehingga membentuk suatu kebulatan perceptual; (3) Pola perceptual tersebut masuk kedalam ingatan jangka pendek (Short Therm Memory / STM) dan tinggal disana selama 20 detik, kecuali bila informasi tersebut ditahan lebih lama melalui proses penyimpanan; (4) Penampung hasil pengolahan informasi yang berada dalam STM dan menyimpannya dalam ingatan jangka panjan (Long Term Memory / LTM) sebagai informasi yang siap pakai sewaktu-waktu pada saat diperlukan; (5) Pada saat diperlukan siswa menggali informasi yang telah dimasukkan dalam LTM untuk dimasukkan kembali kedalam STM dengan melihat proses internal yang terjadi dalam siswa, maka fase ke 3 dan ke 4 dimana ingatan dimasukkan dan ditahan dalam STM dan kemudian dimasukkan ke dalam LTM merupakan prose yang amat penting bagi retensi. Munurut Poerwodarminto (1991) dalam Paizaludin (2013), hasil belajar adalah hasil yang telah dicapai setelah siswa mendapat pengajaran dalam waktu tertentu. Hasil pengajaran dapat dikatakan berhasil apabila pengajaran itu mencapai tujuan yang ingin diraih yaitu tujuan belajar. Menurut Arifin (1998) dalam Paizaludin (2013), hasil belajar mempunyai fungsi diantaranya yaitu, (a) hasil belajar sebagai indikator kualitas dan kuantitas ilmu pengetahuan yang telah dikuasi peserta didik; (b) hasil belajar sebagai penguasaan hasrat ingin tahu; (c) hasil belajar sebagai bahan informasi dalam inovasi
pendidikan; (d) hasil belajar sebagai indikator intern dan ekstern dari suatu institusi pendidikan. Indikator intern dalam arti bahwa prestasi belajar dapat dijadikan indikator eksternal dalam arti bahwa prestasi belajar dijadikan indikator tingkat kesuksesan anak didik dalam masyarakat. Keberhasilan belajar yang berwujud prestasi dapat dilihat dari segi proses belajar mengajar, proses ini tidak hanya terjadi akibat interaksi antara guru dengan siswa saja tetapi meliputi semua proses yang disengaja untuk mengubah tingkah laku siswa dengan tujuan pengajaran yang telah dirumuskan. 2.6
Pengertian Sistem Koloid Sistem koloid adalah suatu bentuk campuran yang keadaannya terletak antara
larutan dan suspensi (campuran kasar). Cotohnya yaitu lem, jeli, dan santan. Nama koloid diberikan oleh Thomas Graham pada tahun 1861. Istilah itu berasal dari bahasa Yunani, yaitu “kola” dan “oid”. Kola berarti lem, sedangkan oid berarti seperti. Koloid merupakan sistem heterogen, dimana suatu zat “didispersikan” kedalam suatu media yang homogen (Purba, 2006). Ukuran zat yang didispersikan berkisar dari satu nanometer (nm) sampai satu mikrometer (µm). Ukuran partikel koloid berkisar antara 1 nm - 100 nm. Jadi, koloid tergolong campuran heterogen dan merupakan sistem dua
fase. Zat yang didispersikan disebut fase terdispersi,
sedangkan medium yang digunakan untuk mendispersikan disebut medium pendispersi. Fase terdispersi bersifat diskontinu (terputus-putus), sedangkan medium dispersi bersifat kontinu. Pada campuran susu dengan air, fase terdispersinya adalah lemak, sedangkan medium pendispersinya adalah air (Purba,2006).
Dalam kehidupan sehari-hari kita dapat menemukan campuran yang tergolong larutan, koloid, atau suspensi. Contoh larutan : larutan gula, larutan garam, spritus, alcohol 70%, larutan cuka, air laut, udara yang bersih, dan bensin. Contoh koloid : sabun, susu, santan, jeli, selai, mentega, dan mayonaise. Contoh suspensi: air sungai yang keruh, campuran air dengan pasir, campuran kopi dengan air, campuran air dengan minyak. Perbandingan sifat antara larutan, koloid, dan suspensi disimpulkan dalam Tabel 1. Tabel 1. Perbandingan Sifat Larutan, Koloid, dan Suspensi Larutan (Dispersi Molekuler) Contoh : Larutan gula dalam air
Koloid (Dispersi Koloid) Contoh : Campuran susu dengan air
1) Homogen, tak dapat 1) Secara makroskopis dibedakan walaupun bersifat homogen menggunakan tetapi heterogen jika mikroskop ultra. diamati dengan mikroskop ultra. 2) Partikelnnya 2) Semua partikelnya berdimensi antara 1 berdimensi (panjang, nm – 100 nm lebar, atau tebal) kurang dari 1 nm 3) Satu fase 4) Stabil 5) Tidak dapat disaring 3) Dua fase 4) Pada umumnya stabil 5) Tidak dapat disaring
Suspensi (Dispersi Kasar) Contoh : Campuran tepung terigu dengan air 1) Heterogen
2) Salah satu atau semua partikelnya lebih besar dari 100 nm
3) Dua fase 4) Tidak stabil 5) Dapat disaring
kecuali dengan penyaringan ultra
2.6.1 Jenis-jenis koloid Koloid yang fase terdispersinya padat disebut sol. Jadi, ada tiga jenis sol, yaitu sol padat (padat dalam padat), sol cair (padat dalam cair), dan sol gas (padat dalam gas). Istilah sol biasa digunakan untuk menyatakan sol cair, sedangkan sol gas lebih dikenal sebagai aerosol (aerosol padat). Koloid yang fase terdispersinya cair disebut emulsi. Emulsi juga ada tiga jenis, yaitu emulsi padat (cair dalam padat), emulsi cair ( cair dalam cair), dan emulsi gas (cair dalam gas). Istilah emulsi biasa digunakan untuk menyatakan emulsi cair, sedangkan emulsi gas juga dikenal dengan nama aerosol (aerosol cair). Koloid yang fase terdispersinya adalah gas disebut buih. Hanya ada dua jenis buih, yaitu buih padat dan buih cair. Campuran antara gas dengan gas selalu bersifat homogen, jadi merupakan larutan, bukan koloid. Istilah buih biasa diguakan untuk menyatakan buih cair. Dengan demikian ada 8 jenis koloid, seperti yang tercantum pada tabel 2. Tabel 2. Perbandingan Sistem Koloid No
Fase Pendispersi Gas
Nama
Contoh
1.
Fase Terdispersi Padat
Aerosol
2.
Padat
Cair
Sol
3.
Padat
Padat
Sol padat
4.
Cair
Gas
Aerosol
Asap (smoke), debu di udara. Sol emas, sol belerang, tinta, cat Gelas berwarna, intan hitam Kabut (fog) dan awan
a.
5.
Cair
Cair
Emulsi
6. 7.
Cair Gas
Padat Cair
Emulsi padat Buih
8.
Gas
Padat
Buih padat
Susu, santan, minyak ikan Jeli, mutiara Buih sabun, krim kocok Karet busa, batu apung, stirofoam
Aerosol Sistem koloid dari partikel padat atau cair yang terdispersi dalam gas disebut
aerosol. Jika zat terdispersi berupa zat padat, disebut aerosol padat. Jika zat yang terdispersi berupa zat cair, disebut aerosol cair. Contoh aerosol padat yaitu asap dan debu dalam udara; contoh aerosol cair yaitu kabut dan awan. b.
Sol Sistem koloid dari partikel padat yang terdispersi dalam zat cair disebut sol.
Koloid jenis sol banyak kita temukan dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam industri. Contohnya yaitu air sungai (sol dari lempung dalam air), sol sabun, sol deterjen, sol kanji, tinta tulis, dan cat. c.
Emulsi Sistem koloid dari zat cair yang terdispersi dalam zat cair lain disebut emulsi.
Syarat terjadinya emulsi adalah bahwa kedua jenis zat ini tidak saling melarutkan. Emulsi dapat digolongkan kedalam dua golongan yaitu emulsi minyak dalam air (M/A), contoh: santan, susu, lateks. Dan air dalam minyak (A/M), contoh:
mayonnaise, minyak bumi, dan minyak ikan. Dalam hal ini minyak diartikan sebagai semua zat cair yang tidak tercampur dengan air. d.
Buih Sistem koloid dari gas yang terdispersi dalam zat cair disebut buih. Seperti
halnya dengan emulsi, untuk menstabilkan buih diperlukan zat pembuih misalnya sabun., deterjen dan protein. Buih digunakan pada berbagai proses, misalnya pada pengolahan bijih logam, pada alat pemadam kebakaran, kosmetik dan lain-lain. Zatzat yang dapat memecah/mencegah buih antara lain eter dan isoamil alkohol. Zat pemecah buih disebut agen antubuih (de-foaming agent). e.
Gel Koloid yang setengah kaku (antara padat dan cair) disebut gel. Contoh: agar-
agar, lem, kanji, selai, gelatin, gel sabun, dan gel silica. Gel dapat terbentuk dari suatu sol yang zat terdispersinya mengadsorpsi medium dispersinya sehingga terjadi koloid yang agak padat. 2.6.2 Sifat-sifat Koloid Sistem koloid mempunyai sifat-sifat khas yang berbeda dari sifat larutan ataupun suspensi. Pada bagian ini akan dibahas beberapa sifat khas system koloid. Antara lain:
a.
Efek Tyndall
Ahli fisika inggris John Tyndall (1820-1893) berhasil mempelajari koloid dan ia menemukan peristiwa yang disebut Efek Tyndall. Dalam hal ini Efek Tyndall merupakan penghamburan Cahaya oleh partikel-partikel koloid dalam lintasannya. Contohnya adalah: (1) Sorot lampu mobil pada malam hari yang berkabut; (2) Sorot lampu proyektor dalam gedung bioskop yang berasap/berdebu, dan (3) Berkas sinar matahari melalui celah daun pohon-pohon pada pagi hari yang berkabut.
a
b
Gambar 2. Efek Tyndall (a) larutan (b) koloid b.
Gerak Brown Telah disebutkan bahwa partikel koloid dapat menghamburkan cahaya. Jika
diamati dengan mikroskop ultra, akan terlihat partikel koloid senantiasa bergerak terus-menerus dengan gerak patah-patah (zig-zag). Gerak zig-zag partikel koloid ini disebut gerak Brown, sesuai dengan nama penemunya, Robert Brown, seorang ahli biologi berkebangsaan Inggris. Gerak Brown ini didefinisikan sebagai gerakan tak menentu atau acak dari partikel-partikel kecil dalam bentuk sistem koloid yang tersuspensi dalam zat cair atau gas.
Gambar 2. Gerak Brown dilihat dari mikroskop
Secara teoritis, Gerak Brown ini dapat terjadi karena adanya tumbukan partikelpartikel medium pendium pendispersi terhadap partikel-partikel terdispersi, yang mengakibatkan partikel-partikel tersebut terlontar dan menumbuk partikel-partikel terdispersi lain. Peristiwa tumbukan tersebut berlangsung teru-menerus, sehingga terjadi gerakan acak dari partikel-partikel terdispersi yang dikenal dengan Gerak Brown. 2.7
Hipotesis Tindakan Dengan menggunakan pendekatan Inquiri berbasis Lesson Study, maka dapat di
tingkatkan Hasil Belajaran Sistem Koloid pada siswa kelas XI-IPA SMA Muhammadiyah Batudaa. 2.8
Indikator Kinerja Sebagai tolak ukur penetapan terhadap keberhasilan siswa secara perorangan
dalam pembelajaran, maka peneliti menetapkan kriteria baik untuk tingkat keberhasilan siswa. Masing-masing siswa dikatakan berhasil jika tingkat capaian materinya minimal mencapai nilai 70 sesuai dengan kriteria ketuntasan maksimal (KKM) disekolah tersebut.