BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN
2.1 Pengertian Berbicara Berbicara adalah bercakap, berbahasa, mengutarakan isi pikiran, melisankan sesuatu yang dimaksudkan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007:165). Sedangkan Djago Tarigan (2008:15), mengungkapkan bahwa berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan. Selanjutnya menurut Iskandarwassid (2009:241) menyatakan bahwa keterampilan berbicara pada hakikatnya merupakan keterampilan mereproduksi arus sistem bunyi artikulasi untuk menyampaikan kehendak, kebutuhan perasaan, dan keinginan kepada orang lain. Dalam hal ini, kelengkapan alat ucap seseorang merupakan persyaratan ilmiah yang memungkinkannya untuk memproduksi suatu ragam yang luas bunyi artikulasi, tekanan, nada, kesenyapan dan lagu bicara. Sehubungan dengan hal itu Asla (dalam Abdurrahman, 2008:183) menyatakan ada tiga komponen dalam berbicara, yaitu (1) artikulasi, (2) suara, dan (3) kelancaran. Berdasarkan tiga macam komponen tersebut maka kesulitan berbicara juga mencakup kesulitan dalam artikulasi, penyaraan, dan kelancaran. Komponen artikulasi berkenaan dengan nada, kenyaringan, dan kualitas bicara, serta komponen kelancaran berkenaan dengan kecepatan berbicara. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata secara lisan untuk 8
mengekspresikan, menyatakan serta
menyampaikan pikiran, gagasan dan
perasaan untuk menyampaikan pesan. Menurut Iskandarwassid (2009:241) mengemukakan bahwa Keterampilan berbicara pada hakikatnya bunyi artikulasi untuk
merupakan keterampilan mereproduksi arus sitem
menyampaikan kehendak, kebutuhan perasaan, dan
keinginan kepada orang lain. Dalam hal ini, kelengkapan alat ucap seseorang merupakan persyaratan alamiah yang memungkinkannya untuk memproduksi suatu ragam yang luas bunyi artikulasi, tekanan, nada, kesenyapan dan lagu bicara. Keterampilan ini juga didasari oleh kepercayaan diri untuk berbicara secara wajar, jujur, benar, dan bertanggung jawab dengan menghilangkan masalah psikologis seperi rasa malu, rendah diri, ketegangan, berat lidah, dan lain-lain. Rancangan program pengajaran untuk mengembangkan keterampilan berbicara dapat memberikan pemenuhan kebutuhan yang berbeda. Kegiatankegitan tersebut antara lain: a) Aktivitas mengembangkan keterampilan bicara secara umum; b) Aktivitas mengembangkan bicara secara khususnya untuk membentuk model diksi dan ucapan, dan mengurangi penggunaan bahasa nonstandar; c) Aktivitas mengatasi masalah yang meminta perhatian khusus. Program pengajaran keterampilan berbicara harus mampu memberikan kesempatan kepada setiap individu mencapai tujuan yang dicita-citakan. Tujuan keterampilan berbicara akan mencakup pencapaian hal-hal berikut; (a) Kemudahan Berbicara, (b) Kejelasan, (c) Bertanggung jawab, (d) Membentuk pendengaran yang kritis, (e) membentuk kebiasaan. Sunendar (2009:286)
menegaskan bahwa tujuan pembelajaran keterampilan berbicara terdiri atas beberapa hal, antara lain:
1) melafalkan bunyi-bunyi bahasa, 2)
menyampaikan informasi, 3) menyatakan setuju atau tidak setuju, 4) menjelaskan identitas diri, 5) menceritakan kembali hasil simakan atau bacaan, 6) menyatakan ungkapan rasa hormat, 7) bermain peran. Dengan
demikian
keterampilan
berbicara
merupakan
proses
menyampaikan sebuah kata atau kalimat yang berhubungan dengan keinginan dan kebutuhan kepada orang lain. 2.1.1 Unsur Dasar Berbicara Colinawati (2010 : Online) di dalam kegiatan berbicara terdapat lima unsur yang terlibat yaitu: a.
Pembicara.
b.
Isi pembicaraan.
c.
Saluran.
d.
Penyimak, dan
e.
Tanggapan penyimak Terdapat pula delapan konsep dasar berbicara,yaitu:
1.
Membutuhkan paling sedikit dua orang, tentu saja pembicaraan dapat dilakukan oleh satu orang dan hal ini sering terjadi misalnya oleh orang yang sedang mempelajari banyak bunyi-bunyi bahasa serta maknanya.
2.
Menggunakan salah satu sandi linguistic yang dipahami bersama, bahkan andai katapun dipergunakan dua bahasa namun sating pengertian, pemahaman bersama itu tidak kurang pentingnya.
3.
Menerima atau mengakui satu daerah referensi umum, daerah referensi yang umum mungkin tidak selalu mudah kenal, ditentukan, namun pembicara menerima kecenderungan untuk menentukan satu diantaranya.
4.
Merupakan suatu pertukaran antara partisipan, kedua pihak partisipan yang memberi dan menerima dalam pembicaraan sating bertukar sebagai pembicara dan penyimak.
5.
Menghubungkan setiap pembicara dengan yang lainnya dan Iingkungan dengan segera. Perilaku lisan sang pembicara selalu berhubungan dengan responsi yang nyata atau yang diharapkan, dan sang penyimak dan sebaliknya. Jadi hubungan itu bersifat timbal balik antara dua arah.
6.
Berhubungan atau berkaitan dengan masa kini. Hanya dengan bantuan berkas grafik material, bahasan dapat luput dan kekirian kesegaran bahwa pita atau berkas itu telah mungkin berbuat demikian, tentu saja merupakan salah satu kenyataan keunggulan budaya manusia.
7.
Hanya melibatkan aparat atau perlengkapan yang dengan suara atau bunyi bahasa dan pendengar. Walaupun kegiatan-kegiatan dalam pita audio atau lingual dapat melepaskan gerak visual dan gerak material namun sebaliknya tidak akan terjadi terkecuali pantornim atau gambar, takan ada pada gerakan dan grafik itu yang tidak berdasar dan dan bergantung pada audio lingual dapat berbicara terus menerus dengan orang-orang yang tidak kita lihat, dirumah, ditempat bekerja dan dengan telpon percakapan percakapan seperti ini merupakan pembicaraan yang khas dalam bentuknya yang paling asli.
8.
Secara tidak pandang bulu mengharap serta memperlakukan apa yang nyata dan apa yang diterima sebagai dalil. Keseluruhan lingkungan yang dapat dilambangkan oleh pembicaraan mencangkup bukan hanya dunia nyata yang mengelilingi para pembicara tetapi juga secara tidak terbatas dunia gagasan yang lebih luas, yang harus mereka masuki karena mereka dan manusia berbicara sebagai titik pertemuan kedua wilayah ini tetap memerlukan penelaahan serta uraian yang lebih lanjut dan mendalam.
2.1.2 Aspek Konsep Dasar Berbicara Keberhasilan berbicara, dapat dilihat pertama kali pada penyimak atau pendengar. Cara yang digunakan adalah dengan menganalisis situasi dan kebutuhan tingkat pendidikan, pendengar. Dengan cara ini akan menghindarkan dari kesalahan-kesalahan dalam berbicara. Ada beberapa bidang analisis, yakni: 1)
Harapan dan tujuan dari orang yang berbicara
2) Harapan dan keinginan/kebutuhan pendengar 3) Organisasi pada umumnya dan tempat berbicara (maksudnya ketepatan dalam memulai dan menutup pembicaraan). Sebelum
pembicaraan
berlangsung,
maka
pembicara
seharusnya
mempersiapkan apa yang akan dibicarakan Tarigan (dalam Dewirohma, 2009: Online). Diantaranya: 1) Menentukan materi/topik Materi atau pembicaraan yang dimaksud adalah menarik, bermanfaat, dan aktual. 2) Menguasai materi
Penguasaan materi dapat ditempuh dengan cara mempelajari, memahami, dan berusaha menguasi materi pembicaraan. Yaitu dengan menelaah berbagai sumber acuan yang berkaitan dengan topik pembicaraan. 3) Memahami khalayak Pembicaraan disesuaikan dengan jumlah, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, minat/ kebiasaan, agama/kepercayaan yang dianut. 4) Memahami situasi Mengetahui situasi pada saat pembicaraan berlangsung (lokasi, ruangan, waktu, sarana penunjang, dan suasana pembicaraan) 5) Merumuskan tujuan yang jelas Pembicaraan harus mempunyai tujuan yang jelas. Apakah bertujuan menghibur,
menginformasikan,
menstimuli,
meyakinkan,
atau
menggerakkan. Pembicaraan dapat disampaikan dengan lebih menarik jika didukung dengan memberikan ilustrasi yang tepat, dan menggunakan alat bantu yang tepat. Misalnya menggunakan kaset, computer, gambar, dsb.
Pembicara adalah unsur penting yang menentukan efektifitas retorik Hendrikus (dalam Dewirohma, 2009: Online). 1) Memiliki pengetahuan yang luas 2) Kepercayaan diri yang cukup
3) Berpenampilan yang sesuai 4) Memiliki artikulasi yang jelas 5) Jujur, ikhlas, kreatif dan bersemangat 6) Tenggang rasa dan sopan santun 2.1.3 Tujuan Berbicara Menurut
Nasuprawoto
(2012:Online)
Seorang
pembicara
dalam
menyampaikan pesan kepada orang lain pasti mempunyai tujuan,
ingin
mendapatkan responsi atau reaksi. Responsi atau reaksi itu merupakan suatu hal yang menjadi harapan. Tujuan atau harapan pembicaraan sangat tergantung dari keadaan dan keinginan pembicara. Secara umum tujuan pembicaraan adalah sebagai berikut: a. Mendorong atau menstimulasi, b. Meyakinkan, c. Menggerakkan, d. Menginformasikan dan, e. Menghibur. Tujuan atau uraian dikatakan mendorong atau menstimulusi apabila pembicara berusaha memberi semangat dan gairah hidup kepada pendengar. Reaksi yang diharapkan adalah menimbulkan inspirasi atau membangkitkan emosi para pendengar. Tujuan
suatu uraian atau ceramah dikatakan meyakinkan apabila
pembicara berusaha mempengaruhi keyakinan, pendapat atau sikap para pendengar. Alat yang paling penting dalam uraian itu adalah argumentasi. Untuk
diperlukan bukti, fakta, dan contoh konkret yang dapat memperkuat uraian untuk meyakinkan pendengar. Reaksi yang diharapkan adalah adanya persesuaian keyakinan, pendapat atau sikap atas persoalan yang disampaikan. 2.1.4 Jenis-Jenis Kegiatan Berbicara Djago Tarigan (2005:47) merangkum jenis-jenis berbicara berdasarkan kriteria-kriteria sebagai berikut. 1) Simulasi Situasi terbagi menjadi dua, menjadi: a. Situasi formal, jenis-jenis berbicara pada situasi formal adalah sebagai berikut: Ceramah, Penilaian, Wawancara, Prosedur parlementer, Bercerita b. Situasi informal, situasi informal sebagai berikut: Tukar pengalaman, Percakapan, Menyampaikan berita atau memberi petunjuk, Bertelepon. 2. Tujuan Tujuan berbicara pada umumnya adalah untuk menghibur, menginformasikan, meyakinkan, atau menggerakkan pendengaran. 3. Metode penyampaian Ada empat cara yang bisa digunakan seorang dalam berbicara. a.
Penyampaian secara mendadak;
b.
Penyampaian berdasarkan catatan kecil;
c.
Penyampaian berdasarkan hafalan;
d.
Penyampaian berdasarkan naskah;
4. Pesan yang merupakan pokok komunikasi
Berbicara berdasarkan pesan pokok komunikasi, terbagi menjadi dua, yaitu. a.
Pendengar memahami pesan dari pembicara tanpa memberikan reaksi, misalnya: MC, Pidato, dan pembacaan teks berita.
b. Pendengar memahami pesan pembicara kemudian memberikan reaksi, misalnya diskusi, debat, dan seminar. 2.1.5 Prinsip-Prinsip Berbicara Prinsip umum yang diungkapkan Brooks (dalam Tarigan, 2005:16) mengemukakan beberapa prinsip
umum yang mendasari kegiatan
berbicara, yaitu: 1) Membutuhkan paling sedikit dua orang; 2) Mempergunakan suatu sandi linguistik yang dipahami bersama; 3) Menerima atau mempengaruhi suatu referensi umum; 4) Merupakan suatu pertukaran antara partisipan; 5) Menghubungkan setiap pembicaraan dengan y ang
lainnya
dan
kepada lingkungannya dengan segera; 6) Berhubungan atau berkaitan dengan masa kini. 2.1.6 Teknik Berbicara dan Etiketnya Menurut Iyor (2010) etiket adalah aturan sopan satun dalam pergaulan yang berdasarkan rasa hormat terhadap orang lain. Pengetahuan tentang etikek sangat bermaafat dalam kehidupan kita sehari-hari. Dengan kita mengetahui etiket, kita dapat lebih mudah berinteraksi dengan orang lain. Selain itu, kita juga
akan lebih dihargai, dihormat dan disenangani oleh orang-orang disekitar kita. Secara lebih rinci, manfaat etiket dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Untuk menciptakan suasana yang menyenangkan dengan rekan maupun kenalan dan teman-teman kita. 2. Untuk dapat lebih percaya diri dalam menghadapi orang-orang dari berbagai lapisan masyarakat. 3. Untuk meningkatkan citra pribadi. Cara berbicar adalah sangat penting, baik dalam pergaulan sehari-hari maupun dalam dunia bisnis. Karena itu, pada saat berbicara kita perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut. 1. Melihat/ menatap lawan bicara 2. Suara harus jelas terdengar 3. Ekspresi wajah yang ceria 4. Mengunakan tata bahasa yang baik 5. Memberikan penjelasan yang singkat dan mudah di fahami 6. Mengusahakan pembicara yang menarik Yang harus di hindari dalam pembicaraan ada hal-hal yang harus di hindari karena dapat menghambat atau bahkan merusak jalannya pembicaraan tersebut, hal-hal di maksud adalah : 1. Memotong pembicaraan orang (sabarlah mendengarkan) 2. Memonopoli pembicaraan (usahakan berbicara secara bergiliran) 3. Membicarakan diri sendiri (cukup 4 sampai 5 kalimat saja) 4. Membicarakan hal yang buruk sensitif agama, suku, ras ataupun politik
5. Menanyakan soal-soal yang sifatnya pribadi 6. Bergunjing/bergosip Keberhasilan suatu pembicaraan selain karena topiknya menarik, terutama karena pembicaraan tersebuut efektif. Kita bisa mebuat suatu pembicaraan menjadi efektif apabila kita: 1. Luwes dalam bergaul 2. Memiliki percaya diri tidak gugup 3. Mengetahui arah pembicaraan apa yang di harapkan dari pembicara). Lain halnya yang dikemukakan oleh Mansoer Pateda (2005:254) yang menyatakan bahwa agar pembicaraan akan dihargai oleh peserta yang lain, maka teknik pembicaraan dan etiket berbicara harus dipahami. Teknik berbicara, antara lisan disebutkan berikut ini. Tenang, tidak terburu-buru, tidak perlu kaku dan malu, tidak gugup dan tidak merasa harga diri kurang. 1. Menggunakan bahasa yang benar, jelas, komunikatif, singkat dan terarah. 2. Bernalar, maksudnya apa yang dikemukakan harus sistematis dan logis. 3. Mengemukakan pendapat mutkhir atau mengemukakan pendapat sendiri yang
didukung
oleh
pakar
lain,
dan
mengemukakan
alternatif
pemecahaman masalah. 4. Menaati ketentuan waktu yang telah ditetapkan, misalnya tidak melenihi waktu yang telah digariskan. Hal ini perlu diperhatikan oleh karena masih banyak peserta yang ingin mengemukakan pendapat. 5. Berbicara langsung ke inti, tidak terbelit-belit atau hanya memberikan komentar yang tidak terkait dengan masalah.
Etiket yang perlu diperhatikan, antara lain disebutkan berikut ini. 1. Menghargai pendapat orang lain. 2. Tidak menggunakan kata-kata kasar, memaki atau menghina. 3. Meminta izin kepada pimpinan sidang jika henda berbicara. 4. Segera berhenti jika waktu yang telah ditentukan habis. 5. Tidak terkesan menggurui atau menceramahi khalayak. 6. Permintaan maaf kalau salah, dan tidak menggunakan kata-kata yang dapat menyinggung perasaan orang lain. 2.1.7 Hambatan dalam Kegiatan Berbicara Berbicara masih menjadi sesuatu yang sulit bagi sebagian orang. Keterampilan untuk berbicara sebenarnya dimiliki oleh semua orang, hanya terkadang ada beberapa faktor yang menghambat sehingga orang tersebut tidak mengetahui keterampilannya. Faktor penghambat tersebut menurut Rusmini (Elly, 2009:21) terbagi menjadi dua yaitu: 1) Faktor Internal Faktor internal adalah faktor hambatan yang muncul dari dalam diri pembicara. Faktor hambatan internal tersebut terdiri dari : a) Pengetahuan pembicara; b) Kesiapan pembicara; c) Pengalaman pembicara; d) Kelelahan dan kesehatan pembicara, baik fisik maupun mental;
Seorang pembicara yang tidak mengendalikan atau menghilangkan hambatan-hambatan yang muncul dari dalam dirinya, tidak akan terampil dalam berbicara. 2) Faktor Eksternal Faktor eksternal adalah faktor hambatan yang muncul dari luar pembicara. Faktor-faktor tersebut, terkadang muncul tanpa disadari oleh pembicara. Faktor hambatan eksternal adalah: Suara atau bunyi yang berasal dari luar pembicara; Kondiri ruangan; Media. 2.1.8 Strategi Pembelajaran Keterampilan Berbicara Strategi kompetensi disebut juga dengan strategi komunikasi atau communication strategies Thornburry (dalam Dewirohma, 2009: Online). Ada beberapa hal yang yang harus diperhatikan dalam strategi komunikasi yakni: -
Menggunakan kata-kata yang banyak/tidak langsung (tidak to the point)
-
Pembentukan kata baru (pilihan kata yang baru)
-
Mengubah kata-kata baru agar lebih dikenal (penyerapan kata asing), contoh: karpet.
-
Menggunakan kata yang saling berhubungan atau kata-kata alternatif (Menyederhsiswaan kata-kata yang masih khusus). Contoh: meja kerja
-
Menggunakan kata-kata yang umum atau sudah dikenal.
-
Menggunakan ekspresi atau alih kode, contoh:menggunakan bahasa jawa karma pada orang yang lebih tua.
-
Menggunakan gerak tubuh atau mimik untuk meyakinkan maksud yang kita inginkan. Terdapat beberapa aktivitas yang mempermudah seorang siswa untuk
belajar keterampilan berbicara, seperti mengubah topik, merespon atau menolak atau dapat dikenal dengan Awareness-Raising Activities. untuk itu ada beberapa hal yang perlu dilakukan yakni: 1) Attention (memperhatikan) 2) Noticing ( mengenali) 3) Understanding (memahami) Strategi pembelajaran berbicara merujuk pada prinsip stimulus- respons, yakni memberi dan menerima informasi. Rancangan program pengajaran untuk mengembangkan keterampilan berbicara antara lain: a)
Aktivitas mengembangkan keterampilan bicara secara umum
b) Aktifitas mengembangkan bicara secara khusus untuk membentuk model diksi dan ucapan, dan mengurangi penggunaan bahas nonstandard c) Aktifitas mengatasi masalah yang meminta perhatian khusus: -
Siswa menggunakan bahasa ibunya sangat dominan
-
Siswa yang mengalami problema kejiwaan, pemalu dan tertutup
-
Siswa yang menderita hambatan jasmani yang berhubungan dengan alatalat bicaranya. Program pengajaran keterampilan berbicara harus mampu memberikan
kesempatan kepada setiap individu mempunyai tujuan yang dicita-citakan. Tujuannya, meliputi:
1)
Kemudahan berbicara
2)
Kejelasan
3)
Bertanggung jawab
4)
Membentuk pendengaran yang kritis
5)
Membentuk kebiasaan
Pemilihan strategi atau gabungan metode dan teknik pembelajaran terutama didasarkan pada tujuan dan materi yang telah ditetapkan pada satuan-satuan kegiatan belajar. Dalam hal tersebut keterlibatan intelektual peserta didik dapat dilatihkan dalam kegiatan antara lain: bermain peran, berbagai bentuk diskusi, wawancara, bercerita, pidato, laporan lisan, membaca nyaring, merekam bicara, bermaian drama. 2.1.9 Teknik-teknik Pembelajaran Keterampilan Berbicara Menurut Dewirohma (2009: Online) dalam pelaksanaan pembelajaran keterampilan berbicara terdapat beberapa teknik diantaranya:
1) Berbicara terpimpin -
Frase dan kalimat
-
Satuan paragraph
-
Dialog
-
Pembacaan puisi
2) Berbicara semi terpimpin -
Reproduksi cerita
-
Cerita berantai
-
Menyusun kalimat dalam pembicaraan
-
Melaporkan isi bacaan secara lisan
3) Berbicara bebas -
Diskusi
-
Drama
-
Wawancara
-
Berpidato
-
Bermain peran Berdasarkan tingkatan berbicara, teknik pembelajaran untuk :
-
tingkat pemula dapat digunakan:
2.2 Hakikat Metode Bermain Peran 2.2.1 Pengertian Bermain Peran Dalam pola pendidikan modern murid dipandang sebagai pusat titik pusat proses terjadinya belajar. Murid sebagai subjek yang berkembang melalui pengalaman belajar. Guru lebih berperan membantu dan memberikan kemudahan agar murid mendapatkan pengalaman belajar yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya sehingga terjadilah suatu interaksi aktif. Murid belajar sedangkan guru mengelolah sumber-sumber belajar guna memberikan pengalaman belajar kepada murid. Dalam proses belajar mengajar demikian agar membuahkan hasil sebagaimana diharapkan, maka kedua belah pihak baik murid maupun guru perlu memiliki sikap, kemampuan, dan keterampilan yang mendukung proses belajar mengajar, untuk mencapai tujuan tertentu.
Sudirman (2001:96) metode bermain peran adalah cara mengajar yang dilakukan oleh guru dengan jalan menirukan tingkah laku dari sesuatu situasi sosial. Metode bermain peran lebih menekankan pada keikutsertaan pada murid untuk bermain peran/sandiwara dalam hal menirukan masalah-masalah sosial. Hal ini ditegaskan kembali oleh Oemar Hamalik (2009:214) yang menyatakan bahwa bermain peran memungkinkan para siswa mengidentifikasi situasi-situasi dunia nyata dan dengan ide-ide orang lain. Identifikasi tersebut mungkin cara untuk mengubah perilaku dan sikap sebagaimana siswa menerima karakter orang lain. Metode ini sering dilakukan dalam pembelajaran, sehingga siswa-siswa lebih menghayati pelajaran yang diberikan. Menurut Allice (2011:Online) bahwa metode bermain peran tepat digunakan : (1) apabila ingin memperjelas gambaran suatu peristiwa dari pelajaran yang diberikan yang di dalamnya menyangkut orang banyak dan atas pertimbangan didaktis lebih baik didramatisasikan dari pada hanya diceritakan saja; (2) apabila dimaksudkan untuk melatih siswa-siswa agar mampu menyelesaikan masalah-masalah sosial mereka kemudian hari; (3) apabila dimaksudkan untuk melatih siswa-siswa agar mudah bergaul, mempunyai tenggang rasa serta kemungkinan pemahaman terhadap orang lain dengan berbagai permalahannya. 2.2.2 Langkah-Langkah Penerapan Bermain Peran dalam Pembelajaran 1.
Guru menyusun/ menyiapkan skenario yang akan ditampilkan;
2.
Menunjuk beberapa siswa untuk mempelajari skenario dua hari sebelum
KBM; 3.
Guru membentuk kelompok siswa yang anggotanya 5 orang;
4.
Memberikan penjelasan tentang kompetensi yang ingin dicapai;
5.
Memanggil para siswa yang sudah ditunjuk untuk melakonkan skenario yang sudah dipersiapkan;
6.
Masing-masing
siswa
duduk
di
kelompoknya,
masing-masing
sambil memperhatikan mengamati skenario yang sedang diperagakan; 7.
Setelah
selesai
dipentaskan,
masing-masing
siswa
diberikan
kertas
sebagai lembar kerja untuk membahas; 8.
Masing-masing kelompok menyampaikan hasil kesimpulannya;
9.
Guru memberikan kesimpulan secara umum;
10. Evaluasi; 11. Penutup; Sumber: http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/19/model-pembelajaraninovatif-html. Diakses Tanggal 6 Februari 2012
2.2.3 Manfaat Bermain Peran dalam Pembelajaran Asahasuh (2008:Online) mengemukakan bahwa bagi kita orang dewasa, permainan ini tampak sepele, biasa dan wajar. Tetapi tidak bagi siswa. Melalui bermain peran ini mereka belajar banyak hal yang dapat mengembangkan perkembangan optimal siswa diantaranya: a. Imajinasi Melalui permainan ini mereka berimajinasi. Imajinasi akan memacu daya kreativitas siswa. Mereka bisa merubah kardus menjadi kamar
mandi. Merubah sehelai kertas menjadi pedang-pedangan. Mengubah guling menjadi motor-motoran. Sungguh kreativitas yang sering tidak terpikir oleh kita orang dewasa. b.
Perkembangan Bahasa dan Intelektual Simak obrolan mereka saat bermain peran. Kita akan terkejut dan terpesona karena ternyata banyak kosakata baru yang mereka kuasai. Mereka berbicara layaknya orang yang sedang mereka tiru. Biasanya mereka meniru kita orangtuanya atau orang yang terdekat dengan mereka. Pengalaman baru juga akan menjadi peran baru bagi mereka lengkap dengan kosa katanya. Informasi baru yang mereka peroleh akan mereka olah menjadi sebuah cerita dalam permainan mereka. Dari sanalah kita akan mengetahui pemaknaan mereka terhadap lingkungan dan informasi yang mereka terima.
c. Rasa Percaya Diri Memainkan peran orang dewasa, membuat mereka merasa sudah mampu melakukannya. Rasa mampu inilah yang akan memupuk konsep diri positif pada Siswa. Konsep diri membangun rasa percaya diri. Tampak sederhana saat siswa berpura-pura menjadi seorang Ayah, seorang Ibu, seorang Guru, dan lain sebagainya. Tetapi amati ekspresi wajah mereka, lihatlah betapa mereka bangga saat menjadi Ayah, Ibu, Guru ataupun sosok lainnya. d. Sosial dan Emosi
Jika bermain peran ini dilakukan bersama teman-temannya. Maka akan tumbuh kemampuan untuk berkomunikasi, kepemimpinan dan kemampuan mengelola emosi. e. Perkembangan Motorik Saat siswa bermain peran mereka akan lincah bergerak ke sana kemari. Tak ada bermain peran yang hanya duduk diam memandang seperti saat mereka meonton tv. Bermain peran adalah permainan yang sangat aktif. Melibatkan seluruh anggota tubuh dan indera mereka. Saat mereka merasa perlu mencipta benda-benda yang diperlukan, otot motorik halus juga akan mereka pergunakan. Melipat, menggunting, merobek, menempel, dan lain sebagainya.
Banyaknya manfaat dari bermain peran ini, maka sebagai orangtua sebaiknya: 1.
Memberi kesempatan bagi siswa untuk bermain. Rumah akan sedikit banyak tampak berantakan, tetapi dengan manfaat yang begitu besar bagi Siswa.
2.
Sediakan kotak khusus dimana siswa akan mudah menemukan benda-benda yang lazim mereka perlukan untuk bermain. Telepon bekas, kain, kertas, kardus, panci bekas, alat masak-masakan, alat dokter-dokteran, mainan peralatan bengkel, dan lain-lain, bisa kita sediakan untuk kemudahan mereka bermain. Kotak ini juga memudahkan siswa untuk membereskan kembali alat-alat permainan mereka.
3.
Gunakan pertanyaan terbuka untuk memancing terbentuknya ide.
4.
Jika siswa sedang kehabisan ide, kita boleh mengajukan beberapa pilihan. Namun saat siswa sudah nyaman dan memiliki ide sendiri, biarkanlah mereka berimajinasi sesuka hati, tidak perlu “ikut campur” dalam permainan mereka.
5.
Saat ada kesempatan, libatkan diri kita dalam permainan mereka, dan ikutilah ide-ide kreatif mereka. Hal ini selain memperkuat ikatan (bonding) kita dengan mereka, juga menambah rasa percaya diri mereka.
2.2.4
Tahapan Pembelajaran dengan Metode Bermain Peran Dengan mengutip dari Shaftel dan Shaftel, E. Mulyasa (dalam sharing,
2011: Online) mengemukakan tahapan pembelajaran bermain peran meliputi: 1. Menghangatkan suasana dan memotivasi peserta didik. Menghangatkan suasana kelompok termasuk mengantarkan peserta didik terhadap masalah pembelajaran yang perlu dipelajari. Hal ini dapat dilakukan dengan mengidentifikasi masalah, menjelaskan masalah, menafsirkan cerita dan mengeksplorasi isu-isu, serta menjelaskan peran yang akan dimainkan. Tahap ini lebih banyak dimaksudkan untuk memotivasi peserta didik agar tertarik pada masalah karena itu tahap ini sangat penting dalam bermain peran dan paling menentukan keberhasilan. Bermain peran akan berhasil apabila peserta didik menaruh minat dan memperhatikan masalah yang diajukan guru. 2. Memilih peran
Memilih peran dalam pembelajaran, tahap ini peserta didik dan guru mendeskripsikan berbagai watak atau karakter, apa yang mereka suka, bagaimana mereka merasakan, dan apa yang harus mereka kerjakan, kemudian para peserta didik diberi kesempatan secara sukarela untuk menjadi pemeran. 3. Menyusun tahap-tahap peran Menyusun tahap-tahap baru, pada tahap ini para pemeran menyusun garis-garis besar adegan yang akan dimainkan. Dalam hal ini, tidak perlu ada dialog khusus karena para peserta didik dituntut untuk bertindak dan berbicara secara spontan. 4. Menyiapkan pengamat Menyiapkan pengamat, sebaiknya pengamat dipersiapkan secara matang dan terlibat dalam cerita yang akan dimainkan agar semua peserta didik turut mengalami dan menghayati peran yang dimainkan dan aktif mendiskusikannya. 5. Pemeranan Pada tahap ini para peserta didik mulai beraksi secara spontan, sesuai dengan peran masing-masing. Pemeranan dapat berhenti apabila para peserta didik telah merasa cukup, dan apa yang seharusnya mereka perankan telah dicoba lakukan. Ada kalanya para peserta didik keasyikan bermain peran sehingga tanpa disadari telah mamakan waktu yang terlampau lama. Dalam hal ini guru perlu menilai kapan bermain peran dihentikan.
6. Diskusi dan evaluasi Diskusi akan mudah dimulai jika pemeran dan pengamat telah terlibat dalam bermain peran, baik secara emosional maupun secara intelektual. Dengan melontarkan sebuah pertanyaan, para peserta didik akan segera terpancing untuk diskusi. 7. Pemeranan ulang Pemeranan ulang, dilakukan berdasarkan hasil evaluasi dan diskusi mengenai alternatif pemeranan. Mungkin ada perubahan peran watak yang dituntut. Perubahan ini memungkinkan adanya perkembangan baru dalam upaya pemecahan masalah. Setiap perubahan peran akan mempengaruhi peran lainnya.
8. Diskusi dan evaluasi tahap dua Diskusi dan evaluasi tahap dua, diskusi dan evaluasi pada tahap ini sama seperti pada tahap enam, hanya dimaksudkan untuk menganalisis hasil pemeranan ulang, dan pemecahan masalah pada tahap ini mungkin sudah lebih jelas. 9. Membagi pengalaman dan mengambil kesimpulan Pada tahap ini para peserta didik saling mengemukakan pengalaman hidupnya dalam berhadapan dengan orang tua, guru, teman dan sebagainya. Semua pengalaman peserta didik dapat diungkap atau muncul secara spontan.
2.2.5 Kelebihan dan Kekurangan Metode Bermain Peran 2.2.5.1 Kelebihan Adapun kelebihan metode bermain peran antara lain : a. Memberikan kesempatan kepada siswa-siswa untuk berperan aktif mendramatisasikan suatu
masalah sosial
yang sekaligus
melatih
keberanian serta kemampuannya melakukan suatu adegan dihadapan orang banyak. b. Suasana kelas sangat hidup karena perhatian para murid semakin tertarik melihat adegan-adegan seperti melihat keadaan sesungguhnya. c. Para murid dapat menghayati suatu peristiwa, sehingga mudah memahami, membanding-banding,
menganalisa
serta
mengambil
kesimpulan
berdasarkan penghayatannya sendiri. d. Siswa-siswa menjadi terlatih berpikir dan sistematis.
2.2.5.2 Kekurangan Adapun kekurangan metode bermain peran antara lain : a. Metode ini membutuhkan ketekunan, kecermatan dan waktu yang cukup lama. b. Guru yang kurang kreatif biasanya sulit berperan menyerukan suatu situasi/tingkah laku sosial yang berarti pula metode ini baginya sangat tidak efektif. c. Adakalanya para murid enggan memerankan suatu adegan karena merasa rendah diri atau malu. d. Apabila pelaksanaan dramatisasi gagal, maka guru tidak dapat mengambil suatu kesimpulan apapun yang berarti pula tujuan pengejaran tidak tercapai.
2.3 Kajian Penelitian yang Relevan Meis Yunus dengan judul Meningkatkan Kemampuan Berbicara Melalui Metode Bermain Peran pada Siswa Kelas III SDN I Biluhu Tengah Kecamatan Biluhu Kabupaten Gorontalo Tahun Ajaran 2009/2010. Simpulan dari penelitian tersebut bahwa metode bermain peran dapat meningkatkan kemampuan berbicara. Hal ini ditandai dengan presentase yang selalu meningkat dalam setiap siklus. Penerapan metode bermain peran dapat meningkat pada setiap siklus dengan presentase pada observasi awal berada pada nilai 57,73 % atau kategori kurang, pada siklus 1 meningkat menjadi 62,45 % atau berada pada kategori cukup. Pada kegiatan siklus 2 hasil capaian tersebut meningkat lagi menjadi 77,10 % atau kategori mampu. Penelitian yang dilakukan oleh Harsanti Arni Gemilang dengan judul penerapan metode bermain peran untuk meningkatkan kemampuan berbicara pada siswa kelas V di SDN Bandulan 5 Malang Tahun ajaran 2011/2012. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan berbicara siswa dapat ditingkatkan melalui penerapan metode bermain peran. Hal ini dibuktikan dengan hasil ketuntasan belajar pada siklus I yang hanya mencapai 47,25 % dari jumlah keseluruhan 17 orang siswa, pada siklus II presentase keberhasilan siswa meningkat menjadi 75 % kategori mampu. Perbedaan dari penelitian Meis Yunus dan penelitian Harsanti Arni Gemilang dengan penelitian yang saya lakukan adalah salah satu variabel yang diteliti oleh Meis Yunus yaitu terdapat pada subyek penelitiannya pada siswa kelas III di SDN I Biluhi Tengah Kecamatan Biluhu Kabupaten Gorontalo dan
variabel penelitian Harsanti Arni Gemilang pada siswa kelas V di SDN Bandulan 5 Malang. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Meis Yunus dan Harsanti Arni Gemilang lebih memfokuskan pada peningkatan kemampuan berbicara sedangkan penelitian yang saya lakukan memfokuskan pada peningkatan keterampilan berbicara pada siswa kelas V SDN No. 10 Kota Barat Kota Gorontalo Tahun Ajaran 2012/2013. Penelitiannya dilakukan dalam bentuk siklus, dan simpulan dari peneliti ini adalah metode bermain peran dapat meningkatkan kemampuan berbicara siswa. Sementara itu persamaan dari penelitian ini adalah salah satu variabelnya menggunakan metode yang sama yaitu metode bermain peran dan hasil dari penelitiannya adanya peningkatan yang signifikan dari apa yang diteliti. Berdasarkan hasil penelitian Meis Yunus dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan metode bermain peran berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Ada keterkaitan penelitian tersebut dengan penelitian yang peneliti lakukan, sehingga dapat dijadikan acuan oleh peneliti dalam penelitian kemampuan berbicara. Sehubungan dengan hasil penelitian tersebut, maka peneliti mengembangkan penelitian dalam pembelajaran Bahasa Indonesia dengan menerapkan metode bermain peran agar dapat meningkatkan kemampuan berbicara siswa. Oleh karena itu penulis merasa perlu untuk mengadakan penelitian dengan judul meningkatkan kemampuan berbicara siswa melalui metode bermain peran pada siswa kelas V SDN No. 10 Kota Barat Kota Gorontalo.
2.4 Hipotesis Tindakan Berdasarkan kerangka teoritis di atas, maka hipotesis tindakan dalam
penelitian
ini
adalah
“Jika guru menggunakan metode bermain peran maka
keterampilan berbicara siswa di kelas V SDN No. 10 Kota Barat Kota Gorontalo meningkat”.
2.5 Indikator Capaian Yang menjadi indikator kinerja keberhasilan dalam penelitian ini adalah “ apabila minimal 75 % siswa yang dikenai tindakan memperoleh nilai 70 ke atas dalam bermain peran”.