BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS
2.1 Pengertian Hasil Belajar Hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi dan keterampilan. Merujuk pemikiran Gagne (dalam Suprijono, 2009:5-6), hasil belajar berupa: (1). Informasi verbal yaitu kapabilitas mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis. Kemampuan merespons secara spesifik
terhadap
rangsangan
spesifik.
Kemampuan
tersebut
tidak
memerlukan manipulasi simbol, pemecahan masalah maupun penerapan aturan. (2). Keterampilan intelektual yaitu kemampuan mempresentasikan konsep dan lambang. Keterampilan intelektual terdiri dari kemampuan mengategorisasi, kemampuan analitis-sintesis fakta konsep dan mengembangkan prinsipprinsip keilmuan. Keterampilan intelektual
merupakan
kemampuan
melakukan aktivitas kognitif bersifat khas. (3). Strategi kognitif yaitu kecakapan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas kognitifnya sendiri. Kemampuan ini meliputi penggunaan konsep dan kaidah dalam memecahkan masalah.
(4). Keterampilan motorik yaitu kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani dalam urusan dan koordinasi, sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani. (5). Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak objek berdasarkan penilaian
terhadap
menginternalisasi
dan
objek
tersebut.
eksternalisasi
Sikap nilai-nilai.
berupa Sikap
kemampuan merupakan
kemampuan menjadikan nilai-nilai sebagai standar perilaku. Hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Dari sisi guru, tindak mengajar diakhiri dengan proses evaluasi hasil belajar. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan berakhirnya penggal dan puncak proses belajar, Dimyati (2006:3). Hasil Belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Kingsley (dalam Sudjana, 2008:22) membagi tiga macam hasil belajar, yakni (a) keterampilan dan kebiasaan, (b) pengetahuan dan pengertian, (c) sikap dan cita-cita. Masing-masing jenis hasil belajar dapat diisi dengan bahan yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan instruksional, menggunakan klasifikasi hasil belajar dari
Bloom (dalam Sagala 2011:33-34) yang secara garis besar
membaginya menjadi tiga ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotor. Yang harus diingat, hasil belajar adalah perubahan perilaku secara keseluruhan bukan hanya salah satu aspek potensi kemanusiaan saja. Artinya,
hasil pembelajaran yang dikategorisasi oleh para pakar pendidikan sebagaimana tersebut di atas tidak dilihat secara fragmentaris atau terpisah, melainkan komprehensif. Kaitannya dengan proses pembelajaran, maka hasil belajar merupakan sasaran yang ingin dicapai setelah proses belajar mengajar berlangsung, tentunya hasil belajar yang diinginkan adalah hasil belajar yang maksimal, untuk mencapai hasil belajar yang maksimal sangat diperlukan kesiapan mental siswa. Kesiapan mental ini dalam wujud kemauan serta rasa ingin tahu terhadap materi yang diberikan. Hasil belajar akan maksimal bila didasari oleh rasa keingintahuan terhadap materi yang dipelajarinya, siswa akan selalu bertanya tentang segala sesuatu yang mereka tidak mengerti. Pertanyaan tersebut akan selalu hadir didalam benaknya, sehingga ia termotivasi untuk aktif belajar mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Rooijakkers (dalam Usman, 1993:3) mengemukakan bahwa “Hasil belajar itu di sama artikan dengan kemampuan atas pengetahuan yang dimiliki seseorang sebagai hasil dari proses belajar, yang diperoleh melalui tes, berupa penguasaan ilmu pengetahuan, keterampilan dan sikap. Senanda dengan itu Dimyati dan Mudjiono (1994:26), berpendapat bahwa “ hasil belajar adalah sebuah kegiatan belajar mengajar yang menghendaki tercapainya tujuan pengajaran di mana hasil belajar siswa ditandai dengan skala nilai, hasil yang diperoleh dari test yang akan dilakukan setelah melaksanakan pembelajaran, berupa nilai seperti nilai 9-10 dengan kriteria sangat baik, nilai 7,9-8,9 dengan kriteria baik, nilai 6,5-7,8 dengan kriteria cukup baik, dan nilai 4,0-6,4 dengan kriteria kurang, uraian di atas
menunjukan bahwa hasil belajar dapat diartikan sebagai perolehan siswa setelah menjalani kegiatan belajar, namun dapat juga diartikan sebagai prestasi yang dihadapi, dilaksanakan maupun dikerjakan yang ditandai dengan nilai. Selanjutnya belajar menurut Watson (dalam Budiningsih, 2005 : 22) bahwa belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus berbentuk tingkah laku yang dapat diamati (observabel) dan dapat diukur. Geoch (dalam Suprijono, 2009 : 2) learning is change in performance as a result of practice. (Belajar adalah perubahan performance sebagai hasil latihan). Slameto, (1991:2) mendefinisikan belajar sebagai proses perubahan dalam diri seseorang pada tingkah laku sebagai akibat hasil interaksi dengan lingkungannya dengan memenuhi kebutuhan. Berdasarkan pendapat di atas, belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang ditandai dengan perubahan tingkah laku pada diri seseorang sebagai hasil dan proses pembelajaran yang diperoleh melalui interaksi antara individu dengan lingkungannya. Dengan demikian setiap individu yang melakukan proses belajar pasti menginginkan suatu output yang disebut hasil belajar. Hasil belajar merupakan salah satu faktor penting untuk mengukur keberhasilan siswa dalam belajar. Terkait dengan pengertian belajar, Hamalik (1983:56) mengemukakan bahwa hasil belajar seseorang merupakan perilaku yang dapat dievaluasi dengan menggunakan standar tertantu baik berdasarkan kelompok atau norma yang telah ditetapkan.
Purwanto (1990:113) menyebutkan faktor-faktor yng mempengaruhi hasil belajar, yaitu faktor individual, seperti kematangan atau pertumbuhan, kecerdasan, ulangan, test dimana dengan memberikan test secara terus-menerus, maka kecakapan dan pengetahuan yang dimiliki dapat menjadi makin dikuasai dan makin mendalam dan faktor sosial, seperti faktor keluarga, guru dan cara mengajar, alat-alat yang dipergunakan dalam proses belajar mengajar, lingkunagan, kesempatan yang tersedia serta motivasi sosial.
2.2 Pengertian Pembelajaran Kooperatif Cooperative learning berasal dari kata cooperative yang artinya mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu kelompok atau tim. Salvin (dalam Isjoni, 2009:15) mengemukakan, “In cooperative learning methods, students work together in four member teams to master material initially presented by the teacher”. Dari uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa cooperative learning adalah satu model pembelajaran dimana sistem belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil yang berjumlah 4-6 orang secara kolaboratif sehingga dapat merangsang siswa lebih bergairah dalam belajar. Cooperative learning adalah suatu model pembelajaran yang saat ini banyak digunakan untuk mewujudkan kegiatan belajar mengajar yang berpusat pada siswa (studend oriented), terutama untuk mengatasi permasalahan yang ditemukan guru dalam mengaktifkan siswa, yang tidak dapat bekerja sama dengan orang lain, siswa yang agresif dan tidak peduli pada yang lain.
Tarigan (dalam Bahri, 2000:11) mengemukakan bahwa ”pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang menekankan aktivitas, dimana siswa belajar bersama dalam kelompok kecil untuk mempelajari materi dan mengerjakan tugas. Lie (dalam Isjoni, 2009:16) menyebutkan cooperative learning dengan istilah pembelajaran gotong royong, yaitu sistem pembelajaran yang memberi kesempatan kepada pesrta didik untuk bekerjasama dengan siswa lain dalam tugas-tugas yang terstruktur. Lebih jauh dikatakan, cooperative learning hanya berjalan kalau sudah terbentuk suatu kelompok atau suatu tim yang di dalamnya siswa bekerja secara terarah untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan dengan jumlah anggota kelompok pada umumnya terdiri dari 4-6 orang saja. Menurut
Nur
(1996:2)
bahwa
pembelajaran
kooperatif
adalah
pembelajaran dimana seseorang dalam belajar harus memiliki partner belajar yang memiliki tanggung jawab terhadap hasil siswa lainnya dalam kelompoknya. Isjoni, (2009:17) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif (cooperative learning) merupakan sistem pengajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerja sama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas terstruktur. Pembelajaran kooperatif dikenal dengan pembelajaran secara berkelompok. Tetapi belajar kooperatif lebih dari sekedar belajar kelompok atau kerja kelompok karena dalam belajar kooperatif ada struktur dorongan atau tugas yang bersifat kooperatif sehingga memungkinkan terjadinya interaksi secara terbuka dan hubungan yang bersifat interdepedensi efektif di antara anggota kelompok.
Unsur-unsur dasar dalam cooperative learning menurut Lungdren (dalam Isjoni, 2009:13) sebagai berikut:
a. Para siswa harus memiliki persepsi bahawa mereka “tenggelam atau berenang bersama”. b. Para siswa harus memiliki tanggung jawab terhadap siswa atau peserta didik lain dalam kelompoknya, selain tanggung jawab terhadap diri sendiri dalam mempelajari materi yang dihadapi; c. Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semua memiliki tujuan yang sama; d. Para siswa membagi tugas dan berbagi tanggung jawab di antara para anggota kelompok; e. Para siswa diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berpengaruh terhadap evaluasi kelompok; f. Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh keterampilan bekerja sama selama belajar; g. Setiap siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif. Isjoni (2009:20) mengemukakan beberapa ciri-ciri dari cooperative learning antara lain : a.) setiap anggota memiliki peran; b.) terjadi hubungan interaksi langsung di antara siswa; c.) setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga teman-teman sekelompoknya; d.) guru membantu mengembangkan keterampilan-keterampilan interpersonal kelompok; e.) guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan.
2.3 Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together (NHT) Teknik
belajar
mengajar
Kepala
bernomor
(Numbered
Heads)
dikembangkan oleh Kangan (dalam Lie, 2010:29 ) dimana teknik ini memberikan kesempatan
kepada
siswa
untuk
saling
membagikan
ide-ide
dan
mempertimbangkan jawaban yang paling tepat. Selain itu teknik ini juga mendorong siswa untuk meningkatkan semangat kerja sama mereka. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi pembelajaran yang mengutama kan adanya kerjasama antar siswa dalam kelompok untuk mencapai tujuan pembelajaran. Para siswa dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil dan diarahkan untuk mempelajari materi pelajaran yang telah ditentukan. Tujuan dibentuknya kelompok kooperatif adalah untuk memberikan kesempatan kepada siswa agar dapat terlibat secara aktif dalam proses berpikir dan dalam kegiatankegiatan belajar. Dalam hal ini sebagian besar aktifitas pembelajaran berpusat pada siswa, yakni mempelajari materi pelajaran serta berdiskusi untuk memecahkan masalah. Pembelajaran
kooperatif
tipe
NHT
merupakan
salah
satu
tipe
pembelajaran kooperatif yang menekankan pada struktur khusus yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan memiliki tujuan untuk meningkatkan penguasaan akademik. Tipe ini dikembangkan oleh Kangan (dalam Ibrahim 2000: 28) dengan melibatkan para siswa dalam menelaah bahan yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut.
Tiga tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran kooperatif dengan tipe NHT yaitu: 1) hasil belajar akademik struktural, bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik; 2) pengakuan adanya keragaman, bertujuan agar siswa dapat menerima teman-temannya yang mempunyai berbagai latar belakang; 3) pengembangan keterampilan sosial, bertujuan untuk mengembangkan keterampilan siswa. Keterampilan dimaksud antara lain berbagi tugas, aktif bertanya, menghargai pendapat orang lain, maupun menjelaskan ide atau pendapat, bekerja dalam kelompok dan sebagainya. (http//heardy07.wordpress.com/2009/04/22/model-model-pembelajaran-nhtnumbered-head-together/). Penerapan pembelajaran kooperatif tipe NHT menunjuk pada konsep Kangan (dalam Ibrahim 2009:29) dengan tiga langkah yaitu : 1) pembentukan kelompok; 2) diskusi masalah; 3) tukar jawaban antar kelompok. Langkahlangkah tersebut kemudian dikembangkan oleh Ibrahim (2009:29) menjadi enam langkah sebagai berikut : Langkah 1. Persiapan Dalam tahap ini guru mempersiapkan rancangan pelajaran dengan membuat Skenario Pembelajaran (SP), Lembar Kerja Siswa (LKS) yang sesuai dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT.
Langkah 2. Pembentukan kelompok Dalam pembentukan kelompok disesuaikan dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT. Guru membagi para siswa menjadi beberapa kelompok yang
beranggotakan 3-5 orang siswa. Guru memberi nomor kepada setiap siswa dalam kelompok dan nama kelompok yang berbeda. Kelompok yang dibentuk merupakan percampuran yang ditinjau dari latar belakang sosial, ras, suku, jenis kelamin dan kemampuan belajar. Langkah 3. Tiap kelompok harus memiliki buku paket atau buku panduan Dalam pembentukan kelompok, tiap kelompok harus memiliki buku paket atau buku panduan agar memudahkan siswa dalam menyelesaikan LKS atau masalah yang diberikan oleh guru. Langkah 4. Diskusi masalah Dalam kerja kelompok, guru membagikan LKS kepada setiap siswa sebagai bahan yang akan dipelajari. Dalam kerja kelompok setiap siswa berpikir bersama untuk menggambarkan dan meyakinkan bahwa tiap orang mengetahui jawaban dari pertanyaan yang telah ada dalam LKS atau pertanyaan yang telah diberikan oleh guru. Pertanyaan dapat bervariasi, dari yang bersifat spesifik sampai yang bersifat umum. Langkah 5. Memanggil nomor anggota atau pemberian jawaban Dalam tahap ini, guru menyebut satu nomor dan para siswa dari tiap kelompok dengan nomor yang sama mengangkat tangan dan menyiapkan jawaban kepada siswa di kelas.
Langkah 6. Memberi kesimpulan Guru bersama siswa menyimpulkan jawaban akhir dari semua pertanyaan yang berhubungan dengan materi yang disajikan. Ada beberapa manfaat pada model pembelajaran kooperatif tipe NHT terhadap siswa yang hasil belajar rendah yang dikemukakan oleh Lungdren (dalam Ibrahim 2000: 18), antara lain adalah :
1. Rasa harga diri menjadi lebih tinggi; 2. Memperbaiki kehadiran; 3. Penerimaan terhadap individu menjadi lebih besar; 4. Perilaku mengganggu menjadi lebih kecil; 5. Konflik antara pribadi berkurang; 6. Pemahaman yang lebih mendalam; 7. Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan dan toleransi; 8. Hasil belajar lebih tinggi.
(file:///E:/model-pembelajaran-nht-numbered-head-together.html).
Disamping itu juga model pembelajaran tipe Numbered Head Together (NHT) memiliki kelebihan dan kekurangan antara lain : a. Kelebihan Adapun kelebihan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) antara lain sebagai berikut:
Terjadinya interaksi antara siswa melalui diskusi/siswa secara bersama dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi; Siswa pandai maupun siswa lemah sama-sama memperoleh manfaat melalui aktifitas belajar kooperatif; Dengan bekerja secara kooperatif ini, kemungkinan konstruksi pengetahuan akan lebih besar/ kemungkinan untuk siswa dapat sampai pada kesimpulan yang diharapkan; Dapat
memberikan
kesempatan
kepada
siswa
untuk
menggunakan
keterampilan bertanya, berdiskusi dan mengembangkan bakat kepemimpinan.
b. Kekurangan Adapun kekurangan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) antara lain sebagai berikut: Siswa
yang
pandai
akan
cenderung
mendominasi
sehingga
dapat
menimbulkan sikap minder dan pasif dari siswa yang lemah; Proses diskusi tidak dapat berjalan dengan lancar jika ada siswa yang hanya menyalin pekerjaan siswa yang pandai tanpa memiliki pemahaman yang memadai; Pengelompokan siswa memerlukan pengaturan tempat duduk yang berbedabeda serta membutuhkan waktu khusus. (http://blog.tp.ac.id/tag/kelemahan-pembelajaran-kooperatif-tipe-nht-sd).
2.4 Model Pembelajaran Konvensional Sanjaya (2006:259) mengemukakan model konvensional merupakan suatu cara pembelajaran dimana siswa ditempatkan sebagai objek belajar yang berperan sebagai penerima informasi secara pasif dan guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran. Adapun pelaksanaannya siswa lebih banyak belajar secara individual dengan menerima, mencatat, dan menghafal materi pelajaran yang diberikan oleh guru. Pembelajaran konvensional lebih bersifat abstrak dan teoritis dimana kemampuan diperoleh melalui latihan-latihan dan tujuan hasilnya adalah nilai atau angka. Menurut Winataputra (1993:130) model konvensional merupakan bentuk pembelajaran dimana peserta didik dinilai berdasarkan kemampuan yang diperoleh melalui latihan-latihan dan tijuan akhirnya adalah penguasaan terhadap materi pembelajaran. Dalam pembelajaran konvensional tindakan atau perilaku individu didasarkan oleh faktor dari luar dirinya, misalnya individu melakukan sesuatu disebabkan karena takutnya hukuman atau sekedar untuk memperoleh angka atau nilai dari guru. Dalam pembelajaran konvensional kebenaran yang dimiliki bersifat absolut dan final, karena pengetahuan lebih dikontruksi oleh orang lain.
2.5
Kerangka Berpikir Pembelajaran kooperatif (Cooperatif Learning) merupakan suatu model
pembelajaran dimana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya 4-6 orang dengan struktur kelompok heterogen. Pada model pembelajaran kooperatif siswa diberi kesempatan untuk
berkomunikasi dan berinteraksi sosial dengan teman-temanya untuk mencapai tujuan pembelajaran, sematara guru bertindak sebagai motivator dan fasilitator aktivitas siswa. Variasi model pembelajaran sangat diperlukan dalam proses belajar mengajar agar siswa tidak hanya datang, duduk, diam dan mendengarkan penjelasaan yang disampaikan oleh guru saja seperti halnya yang terjadi dalam kelas
yang
pembelajaran
menggunakan
model
pembelajaran
konvensional.
Melalui
kooperatif tipe NHT diharapkan dapat menciptakan
suasana
belajar yang nyaman dan menyenangkan di dalam kelas sehingga dalam interaksinya siswa menjadi lebih aktif, yang memungkinkan mereka mencintai proses belajar mengajar yang berdampak pada hasil belajar siswa itu sendiri. Selanjutnya dalam proses belajar mengajar dapat dilihat kemampuan siswa dalam melakukan kegiatan pembelajaran. Agar dapat melakukan proses belajar mengajar di sekolah dengan baik, maka peneliti menggambarkan rencana yang digunakan dalam penelitian yaitu dengan menggunakan model pembelajaran Numbered Head Together (NHT) dan konvensional yang mana terdapat dua kelas yakni kelas XI IS-5 sebagai kelas eksperimen yang menggunakan model pembelajaran NHT sedangkan kelas XI IS-4 menggunakan model konvensional. Dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT dan konvensional maka penulis dapat membandingkan perolehan hasil belajar siswa setelah memberikan tes tertulis.
Berikut adalah bagan yang digunakan peneliti :
MODEL NHT (X1) PEMBELAJARAN
HASIL BELAJAR KONVENSIONAL (X2)
Gambar 1 : Kerangka Berpikir
2.6 Hipotesis Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian yang diajukan. Menurut Arikunto (2007:55) bahwa alternatif dugaan jawaban yang dibuat oleh peneliti bagi problematika yang diajukan dalam penelitiannya. Dengan jawaban tersebut merupakan kebenaran yang sifatnya sementara, yang akan diuji kebenarannya dengan data yang akan dikumpul melalui penelitian. Dengan kedudukan itu maka hipotesis dapat berubah menjadi benar. Berdasarkan kajian teori di atas, maka hipotesis pada penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : “Terdapat Perbedaan Hasil Belajar Siswa Melalui Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT Dan Konvensionl Pada Mata Pelajaran Ekonomi di SMA Negeri 2 Gorontalo”.