BAB II KAJIAN TEORI & KERANGKA BERFIKIR
2.1 Kajian Teori 2.1.1
Partisipasi politik
2.1.1.1 Pengertian Partisipasi Politik Di negara-negara demokratis pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politik ialah bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat, yang dilaksanakan melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat itu dan untuk menentukan orang-orang yang akan menduduki kursi kekuasaan. Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan Negara dan, secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kemudian dijelaskan pula bahwa kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok
kepentingan,
mengadakan
hubungan
(contacting)
dengan pejabat pemerintahan atau anggota parlemen, dan sebagainya (Budiardjo, 1998). Herbert McClosky menjelaskan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari masyarakat melalui mana
7
mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, serta dalam proses kebijakan umum (Budiardjo, 1998). Norman H. Nie dan Sidney Verba mengungkapkan bahwa partisipasi politik adalah semua aktivitas yang sah oleh semua warga Negara yang kurang lebih langsung dimaksudkan
untuk
mempengaruhi
pemulihan
pejabat
pemerintahan dan atau tindakan-tindakan yang mereka ambil (Macridis dan Brown, 1996). Partisipasi politik adalah kegiatan warga Negara yang bertindak
sebagai
pribadi-pribadi,
yang
dimaksud
untuk
mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, sinambung atau sporadis, secara damai atau kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif (Huntington dan Nelson, 1994). Partisipasi politik ialah kegiatan warga Negara biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan umum dan dalam ikut menentukan pemimpin pemerintahan (Surbakti, 1992). Sehingga dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa partisipasi politik merupakan implementasi atau pengejawantahan dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah oleh rakyat. Dalam demokrasi yang menekankan pada partisipasi politik masyarakat, partisipasi politik warga masyarakat itu sendiri
8
dimaksimalkan melalui berbagai cara di berbagai tingkat dan bukan semata dalam proses politik seperti pemilihan umum, walaupun penekanan dalam karya ilmiah ini lebih menekankan pada partisipasi politik masyarakat kaitannya dengan pemilihan kepala daerah secara langsung, dalam hal ini pemilihan kepala daerah kabupaten Wonosobo tahun 2010. Anggota masyarakat yang berpartisipasi dalam proses politik, misalnya melalui pemberian suara atau kegiatan lain, terdorong oleh keyakinan bahwa melalui kegiatan bersama itu akan tersalur ataupun setidaknya akan diperhatikan, dan bahwa mereka dapat mengaplikasikan hak mereka yang berupa kewenangan untuk membuat keputusan yang mengikat. Hal tersebut merupakan salah satu contoh dari penerapan demokrasi partisipatif yang berada pada lingkup pemilu atau Pilkada. Dalam Negara yang demokratis umumnya dianggap lebih banyak partisipasi masyarakat, lebih baik. Tingginya tingkat partisipasi politik menunjukkan bahwa warga Negara mengikuti dan memahami masalah politik dan ingin melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan itu. Sebaliknya tingkat partisipasi yang rendah pada umumnya dianggap sebagai tanda yang kurang baik, karena berarti bahwa banyak warga Negara tidak menaruh perhatian terhadap masalah ketatanegaraan. Dalam hal ini jika rakyat kurang berpartisipasi dalam kehidupan politik dan bernegara maka akan
9
timbul kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa atau pemegang kekuasaan pemerintah. Rendahnya partisipasi politik ini salah satuya diakibatkan oleh rendahnya kesadaran politik masyarakat sebagai efek langsung ataupun tidak langsung dari belum optimalnya proses pendidikan politik. Sekarang ini ketika Negara Indonesia sedang membangun Negara yang demokratis sudah seharusnya pendidikan politik juga harus berjalan dengan optimal. partai politik, pers, dan lembagalembaga swadaya masyarakat harus memainkan peran memberikan pendidikan politik pada masyarakat. Hal ini diharapkan mampu meningkatkan partisipasi politik masyarakat secara optimal. Diantara perangkat pendidikan politik masyarakat yang memiliki efek signifikan terhadap proses demokratisasi adalah berjalannya roda komunikasi politik diantara komponen-komponen sosial yang menjadi bagian penting dari proses tersebut (Muhtadi, 2008). 2.1.1.2 Unsur-unsur Partisipasi Politik Dari berbagai ulasan tentang definisi partisipasi politik diatas, dapat dilihat beberapa unsur-unsur partisipasi politik sebagai berikut, sebagai mana juga yang telah di jelaskan oleh Samuel P.Huntington dan Joan M.Nelson dalam bukunya mengenai “Partisipasi Politik di Negara Berkembang” (1994): a. Kegiatan-kegiatan akan tetapi tidak sikap-sikap atau perilaku politik individu yang nyata.
10
b. Dilakukan oleh warga negara biasa (preman) bukan pejabat yang tengah menjalankan fungsinya, c. Kegiatan itu bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah, d. Semua kegiatan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pemerintah , tak peduli apakah kegiatan itu benar-benar mempunyai efek itu, bisa ada dampaknya bisa juga tidak berdampak, e. Kegiatan itu bisa bersifat atas kemampuan sendiri (otonom) maupun diarahkan oleh pihak lain (dimobilisasi). Begitu pentingnya partisipasi politik masyarakat dalam kehidupan bernegara, sehingga sangat disayangkan sekali apabila masyarakat tidak ikut dalam partisipasi baik partisipasi aktif maupun pasif. Karena, fungsi partisipasi politik itu sendiri sebenarnya untuk menyalurkan aspirasi rakyat baik yang berupa tuntutan maupun dukungan kapada pemerintah. Selain itu partisipasi politik juga berfungsi untuk menyatakan kontrol rakyat terhadap kinerja pemerintah. 2.1.1.3 Saluran Partisipasi Politik Masyarakat Dalam kehidupan bernegara, masyarakat memerlukan sarana untuk partisipasi politik mereka. Di antaranya yaitu ;
11
1. Partai Politik Salah satu sarana partisipasi politik masyarakat yaitu partai politik, partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir, yang anggota-anggotanya memiliki orientasi, nilai-nilai, dan citacita yang sama (Budiardjo, 1998). Carl Friedrich memberi batasan partai politik sebagai kelompok manusia yang terorganisasikan secara stabil dengan tujuan untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan
bagi
pemimpin
partainya,
dan
berdasarkan
kekuasaan itu akan memberikan kegunaan materiil dan idiil kepada para anggotanya. Soltau memberikan definisi partai politik sebagai kelompok warga Negara yang sedikit banyak terorganisasikan , yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan dengan memanfaatkan kekuasaanya untuk memilih, bertujuan untuk menguasai pemerintahan dan menjalankan kebijakan umum yang mereka buat (Surbekti, 1992). Menurut Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik Bab I pasal 1 ayat 1, di kemukakan bahwa partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita–cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta pemeliharaan keutuhan Negara Kesatuan Republik
12
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dari penjelasan diatas dapat penulis simpulkan bahwa partai politik adalah organisasi yang menghimpun orang – orang yang memiliki kesamaan tujuan, cita – cita, pandangan, ide atau gagasan, dan landasan perjuangan. Sebagai organisasi, partai politik berusaha mewujudkan tujuan, cita – cita, pandangan, ide atau gagasan tersebut dengan menempatkan pemimpin – pemimpin dalam pemerintahan dan jabatan – jabatan publik melalui pemilu. Perbedaan antara partai politik dan organisasi – organisasi sosial kemasyarakatan lain terletak pada jalur perjuangan yang dipilih, partai politik berusaha mewujudkan cita – cita dengan menjadi peserta pemilu (Institute for Policy and Community Development Studies, 2001). Fungsi utama partai politik ialah mencari dan mempertahankan kekuasaan guna mewujudkan program – program yang disusun berdasarkan ideologi tertentu. Cara yang digunakan suatu partai politik dalam sistem politik demokrasi untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan ialah ikut serta dalam pemilihan umum, sedangkan cara yang digunakan partai tunggal dalam sistem politik totaliter berupa paksaan fisik dan psikologis oleh suatu diktatorial kelompok (komunis) maupun oleh ditatorial individu (Surbekti, 1992).
13
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pilkada dinyatakan bahwa: ” Partai politik adalah partai politik peserta pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD ”. Pembahasan diatas memberikan gambaran bahwa partai politik peserta pemilihan kepala daerah mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama selama melaksanakan pemilihan dan kegiatan kampanye tanpa membedakan status sosialnya. 2. Media Massa Hubungan antara media massa dengan sistem politik sangatlah tergantung terhadap budaya politik suatu suatu bangsa. Media massa masuk dalam sarana partisipasi politik masyarakat karena media massa berfungsi menyebarluaskan ide-ide, buah fikir atau perasaan seseorang atau sekelompok orang maupun kejadiankejadian, baik dengan kata-kata tertulis maupun lisan, kepada massa yaitu orang banyak atau khalayak ramai. Media massa lisan misalnya yaitu televisi dan radio, sedang media massa tertulis atau media massa cetak adalah surat kabar, tabloid, dan lain sejenisnya. Media massa atau cetak inilah yang pada mulanya disebut sebagi pers. Pers sendiri terjemahan dari kata press yang berarti mesin pencetak. Dalam Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers mendefinisikan
pers
sebagai
14
lembaga
sosial
dan
wahana
komunikasi yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Dari definisi diatas nampak bahwa pers adalah sama dengan media massa, sehingga media massa hakikatnya sama dengan pers. Dalam negara demokrasi media massa amat diperlukan untuk mewujudkan
jaminan
atas
kebebasan
mengekpresikan
/
menyatakan diri sendiri. Ekspresi atau pernyataan diri seseorang bisa dilakukan secara lisan dan isyarat atau gerakan tubuh maupun secara
tertulis,
sehingga
media
yang
diperlukan
untuk
mengekspresikan diri seseorang juga dapat berupa media lisan maupun media tulis atau cetak. Bila ekspresi diri ini dimaksudkan untuk disebarluaskan kepada orang banyak atau massa maka diperlukan media massa lisan maupun media massa tulis atau cetak. Media massa lisan diperlukan untuk menjamin perwujudan keabsahan berbicara sedang media cetak diperlukan untuk mewujudkan jaminan atas kebebasan memberitakan sesuatu secara tertulis. Media massa oleh sebagian orang dijadikan ajang pertarungan politik. Hal ini juga dijelaskan oleh Charlotte Ryan, menurutnya
15
seperti di kutip Komarudin bahwa media adalah suatu ajang perang simbolik antara pihak-pihak yang berkepentingan. Mereka saling mengajukan pemaknaan terhadap suatu persoalan agar lebih diterima khalayak ( Muhtadi, 2008). Media massa memiliki pengaruh penting dalam proses pembentukan cara berpikir dan berperilaku politik masyarakat. Media massa juga dapat menyediakan informasi terbaru tentang berbagai peristiwa di masyarakat, memberikan ruang kesadaran sosial bagi eksekutif untuk membaca lebih jauh opini publik yang berkembang di masyarakat. 3. Kelompok Penekan Kelompok penekan adalah kelompok terorganisir yang para anggotanya secara sengaja mengelompokkan diri untuk satu tujuan khusus tertentu, yaitu mempengaruhi dan menekan para pejabat pemerintah untuk menyetujui tuntutan mereka. Berbeda dengan kelompok kepentingan yang relatif permanen, kelompok penekan akan segera membubarkan diri jika tujuan khusus yang menjadi alasan pembentukan kelompok itu telah atau tidak tercapai. Di Jepang kelompok penekan melakukan berbagai cara untuk mempengaruhi
jalannya
pemerintahan,
diantaranya
melakukan demonstrasi (Mas’oed dan MacAndrews, 2006)
16
dengan
4. Kelompok Kepentingan Kelompok kepentingan adalah sejumlah orang yang memiliki kesamaan dan sifat, sikap, kepercayaan dan atau tujuan, yang sepakat mengorganisasikan diri untuk melindungi dan mencapai tujuan. Sebagai kelompok yang terorganisasi mereka memiliki sistem keanggotaan yang jelas, pola kepemimpinan, sumber keuangan untuk membiayai kegiatan, dan pola komunikasi baik dalam maupun luar organisasi. Dengan kata lain , kelompok kepentingan adalah organisasi yang para anggotanya menyadari akan karakteristik bersamannya, dan yang dalam batas-batas tertentu mengarahkan perilaku mereka untuk memajukan nilai-nilai atau kepentingan–kepentingan yang muncul dari karakteristik bersama itu. Di Amerika Latin kelompok kepentingan sama pentingnya dengan partai politik Roy C Macridis (1986) menyatakan ”dalam sistem-sistem yang lebih besar dan yang lebih di lembagakan, partai dan kelompok kepentingan sering kali penting dan mempunyai fungsi yang sama dengan partai yang dijumpai di Amerika Utara atau Eropa”. Kelompok kepentingan lebih memusatkan perhatiannya pada bagaimana merumuskan kepentingan tertentu kepada pemerintah sehingga pemerintah menyusun kebijakan yang menampung kepentingan kelompok.
17
2.1.1.4 Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik Partisipasi politik dalam suatu masyarakat tidak hanya dalam satu bentuk, tetapi dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Partisipasi politik masyarakat dapat berbentuk konvensional maupun nonkonvensional. Bentuk partisipasi politik konvensional yaitu pemberian suara (voting), diskusi politik, kegiatan kampanye, membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan, serta mengadakan komunikasi individual dengan pejabat politik dan administrative (Mas’oed dan MacAndrews, 2006). Partisipasi politik konvensional dalam bentuk pemberian suara (voting) merupakan bentuk partisipasi aktif yang banyak dilakukan masyarakat. Dewasa ini pemberian suara terdapat di hampir semua sistem politik, baik yang demokratik maupun otoriter. Mohtar Mas’oed dan Colin MacAndrews (2006) menyatakan di Uni Soviet misalnya semua warga negaranya diharapkan berpartisipasi dalam pemilihan umum, meskipun hanya ada satu partai politik dan semua calon untuk jabatan politik dan pemerintahan harus disetujui oleh partai. Adapun definisi dari asas – asas pemungutan suara pada Pilkada tersebut adalah sebagaimana, dijelaskan oleh Moh. Mahfud M D (2011) yaitu ” Asas langsung artinya pemilihan dilakukan sendiri secara langsung oleh yang berhak dan tidak dapat diwakilkan, masyarakat memilih secara langsung tanpa perantara siapapun, jika
18
yang berhak itu tidak dapat menggunakan hak pilihnya, maka lebih baik suara itu terbuang dari pada diwakilkan kepada orang lain. Asas umum artinya bahwa pada pemilu dilaksanakan secara menyeluruh. Asas ini diberikan pada semua warga Negara yang telah memenuhi syarat. Asas bebas menurut adanya suasana dan jaminan bahwa seseorang dapat dengan bebas menentukan pilihannya, sangatlah bertentangan dengan hakikat pemilihan jika pemilihan tidak diberi kebebasan menentukan pilihannya. Asas jujur berarti bahwa pemilu harus dilaksanakan secara benar tanpa disertai kecurangan – kecurangan dan rekayasa. Asas adil ini berisi bahwa setiap warga Negara harus mendapatkan perlakukan yang sama tanpa membedakan derajat sosial, ekonomi, jenis kelamin, warna kulit dan sebagainya.” Meskipun pemberian suara merupakan bentuk aktivitas politik yang paling umum di hampir semua sistem politik, bentuk-bentuk partisipasi konvensional lain juga dijalankan oleh sejumlah kecil warganegara dalam sistem politik otoriter maupun demokratik, dan dalam hampir semua kebudayaan politik. Tanpa memperhatikan kecenderungan ideologis dari suatu masyarakat atau nilai-nilai yang timbulkarena kebudayaan politiknya. Partisipasi lainnya selain pemberian suara biasanya melibatkan biaya yang lebih besar dalam artian waktu, tenaga dan uang seperti halnya kegiatan kampanye. Kampanye sendiri menurut Muhtar Haboddin (2009) adalah
19
”upaya untuk memperkenalkan suatu produk kepada konsumen (pemilih) agar mereka mau membeli produk tersebut berdasarkan informasi – informasi yang mereka terima. Kampanye juga dilihat sebagai usaha untuk mengepung lawan dengan taktik dan strategi yang tepat, sistematis dan terencana. Kampanye adalah pertempuran demokrasi.” kaitannya dengan Pilkada menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa “ Kampanye pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah kegiatan dalam rangka meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program dari masing-masing pasangan calon .” Partisipasi politik masyarakat dalam bentuk non-konvensional yaitu pengajuan petisi, berdemonstrasi, konfrontasi, mogok, melakukan tindakan kekerasan politik terhadap harta-benda (perusakan, pengeboman, pembakaran), dan melakukan tindakan kekerasan politik terhadap manusia (penculikan, pembunuhan), serta mengadakan perang gerilya dan revolusi (Mas’oed dan MacAndrews, 2006). Partisipasi politik masyarakat yang terjadi di masyarakat tersebut membentuk perilaku memilih masyarakat dalam Pemilihan Kepala Daerah. Berdasarkan yang diungkapkan oleh Gabriel A Almond & Sidney Verba (1965) di Amerika Serikat, orang yang lebih sering berpolitik lebih sering memberikan suara pada saat
20
Pemilu. Namun untuk perilaku politik masyarakat di negara yang sedang berkembang, terkadang ditentukan oleh pemimpin negara dalam
menggerakkan
dan
membuat
masyarakatnya
untuk
berpolitik. Julius Nyerere dari Tanzania dan Fidel Castro dari Kuba adalah dua pemimpin kharismatik negara yang sedang berkembang yang menggerakkan massa kedalam kegiatan politik. 2.1.1.5 Cara–cara Partisipasi Politik Masyarakat Samuel
P.Huntington
dan
Joan
M.Nelson
(1994)
menjelaskan bahwa masyarakat biasanya menyampaikan aspirasi atau melakukan partisipasi politik kurang lebih sebagai berikut : a) Kegiatan Pemilihan mencakup memberikan suara dalam pemilu, sumbangan kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan. b) Terlibat dalam kampanye, c) Lobbying mencakup upaya-upaya perorangan atau kelompok untuk menghubungi pejabat pemerintah atau pimpinan politik dengan maksud mempengaruhi keputusan mereka. d) Membentuk dan bergabung dalam berbagai organisasi, e) Mencari koneksi (contacting), melakukan diskusi politik, melakukan komunikasi pribadi dengan pimpinan politik atau pejabat pemerintahan, f) Demontrasi, mogok/boikot, pembangkangan sipil, partisipasi politik dengan cara tersebut disebut pula sebagai cara partisipasi non-konvensional.
21
2.1.1.6 Rambu-rambu Partisipasi Politik Masyarakat Di Negara demokrasi rakyatlah yang berdaulat, untuk itu sudah semestinya rakyat meyakini dan menjunjung tinggi nilai-nilai kewarganegaraan kewarganegaraan
demokratis, demokratis
dan
ketrampilan-ketrampilan pengetahuan-pengetahuan
kewarganegaraan demokratis. Semua itu sesungguhnya menjadi prasyarat yang harus dipenuhi oleh setiap masyarakat agar mampu berpartisipasi politik secara bertanggungjawab. Masyarakat dalam melakukan partisipasi politik haruslah dilakukan berdasarkan rambu-rambunya yaitu sesuai dengan yang dituliskan Sulasmono (2010), sebagai berikut; a) Partisipasi politik hendaknya dilakukan secara beradab. Artinya bahwasanya partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat harus berlaku sopan, berlaku baik dan tidak dilakukan dengan biadap. b) Mengutamakan penalara. Partisipasi
politik
seharusnya
dilaksanakan
dengan
mengutamakan pemikiran yang logis, bukan dengan perasaan ataupun pengalaman. c) Selalu dalam koridor norma atau patuh norma. Jadi partisipasi politik dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang mengikat dan berlaku di masyarakat yang dijadikan tolak ukur dalam pelaksanaan partisipasi politik. Berkaitan dengan
22
Pilkada maka sesuai dengan Undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah. 2.1.1.7 Tipe-tipe Budaya Politik dan Implikasinya terhadap Partisipasi Politik Berdasarkan sikap, nilai-nilai dan kecakapan politik yang dimiliki warga negara, dapat digolongkan kebudayaan politiknya sebagai berikut: 1. Budaya politik parokial (Parochial political culture) Budaya politik parokial ini adalah orang-orang yang sama sekali tidak menyadari atau mengabaikan adanya pemerintahan dan politik. Mereka ini mungkin buta huruf, tinggal di desa yang terpencil atau mungkin nenek-nenek tua yang tidak tanggap terhadap hak pilih dan mengungkung diri dalam kesibukan keluarga ( Mas’oed dan MacAndrews, 2006). Budaya politik ini cenderung berada didaerah-daerah yang terpencil, masyarakatnya tidak begitu minat terhadap politik praktis yang ada. Sulasmono dkk (2011) menjelaskan bahwasannya ” budaya politik parokial ini terbatas pada satu wilayah atau lingkup yang kecil atau sempit, ini pada umumnya terdapat dalam masyarakat yang tradisional dan sederhana dalam masyarakat seperti ini, spesialisasi sangat kecil, belum banyak berkembang. Pada kebudayaan parokial anggota masyarakatnya cenderung tidak menaruh minat terhadap
23
obyek-obyek yang luas, kecuali dalam batas tertentu di tempat dimana mereka tinggal, itupun terbatas pada kesadaran anggota masyarakat akan adanya pusat kewenangan/ kekuasaan politik dalam masyarakat”. Jadi pada budaya ini masyarakatnya tidak berpartisipasi secara pasif maupun aktif dalam kegiatan politik dan dalam menanggapi kebijakan-kebijakan pemerintah. 2. Budaya politik subyek (subjecty political culture) Budaya politik subyek ini, menurut Mochtar Masoed dan Colin MacAndrews (2006) budaya politik ini menunjuk pada “masyarakat sebagai subyek yang pasif, mengakui pemerintah dan tunduk pada hukumnya, tetapi tidak melibatkan diri dalam urusan pemerintahan.” Jadi pada budaya politik
ini masyarakatnya sudah
paham akan politik praktis dan peduli akan adanya hukumhukum yang dibuat oleh pemerintah, namun masyarakat disini belum mampu terlibat secara aktif dalam pemerintahan dan hanya cenderung sebagai subyek yang pasif. Masyarakat disini memiliki budaya yang hanya bisa menerima kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Sehingga masyarakat pada budaya ini belum begitu mampu berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan politik.
24
3. Budaya politik partisipan (participant political culture) Budaya politik partisipan di jelaskan oleh Almond dan Verba
sebagai
suatu
bentuk
kultur
dimana
anggota
masyarakatnya cenderung diorientasikan secara eksplisit terhadap sistem sebagai keseluruhan dan terhadap struktur dan proses politik serta administrartif (Sulasmono dkk, 2011). Dijelaskan lebih lanjut oleh Sulasmono dkk (2011) bahwa ” budaya politik ini ditandai oleh adanya kesadaran bahwa dirinya ataupun orang lain sebagai anggota aktif dalam kehidupan politik. Ini menunjuk pada orang-orang yang melibatkan diri dalam kegiatan politk, paling tidak dalam kegiatan memberikan suara (voting) dan memperoleh informasi yang cukup banyak tentang kehidupan politik. Jadi dalam budaya politik ini masyarakat sudah mampu merealisasikan
dan menggunakan hak dan menangggung
kewajibannya, selain percaya terhadap pemerintahan yang ada dan tunduk terhadap hukum yang berlaku, masyarakatnya juga sudah mampu menilai kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, sehingga berkemungkinan mampu dengan penuh berpartisipasi aktif dalam sistem politik. Menurut Gabriel A. Almond & Sidney Verba (1984) Ketiga klasifikasi kebudayaan politik ini tidak menyimpulkan bahwa orientasi yang satu akan menggantikan yang lain. Budaya politik
25
disetiap negara dan daerah berbeda-beda, seperti yang telah diungkapkan diatas. Budaya politik yang ada di masyarakat juga mempengaruhi perilaku memilih masyarakat dalam Pemilu maupun Pilkada, seperti halnya bentuk partisipasi politik masyarakat.
Budaya politik bukanlah budaya modern, tetapi
merupakan suatu kombinasi antara modernitas dengan tradisi (Almond & Verba, 1984). Inggris memberikan suatu contoh bagaimana kebudayaan ini dapat dikembangkan. Sedangkan Amerika
Serikat
dan
negara
persemakmurannya
baru
mengembangkan budaya politiknya setelah mengatasi peperangan besar. Masyarakat yang memiliki budaya politik parokial mungkin tidak mempedulikan persolan politik praktis dalam negara. Kepasifan mereka dalam berpolitik sebenarnya merupakan pemancaran peran-peran yang bersifat politis-ekonomis. Keadaan budaya politik yang seperti ini menimbulkan adanya golongan putih di suatu masyarakat. Golongan putih (Golput) yang ada di masyarakat bisa saja timbul karena ketidakpahaman mereka terhadap
hak-hak
mereka
dalam
suatu
negara
maupun
kepeduliannya terhadap peraturan atau kebijakan yang di buat oleh pemerintah. Golongan putih juga mulai muncul di indonesia sejak era kepemimpinan Soeharto, dan mulai hangat diperbincangkan
26
kembali semenjak munculnya pernyataan dari Abdurahman Wahid (Gus Dur) yang mengajak golput di pemilu 2009 (Wahid, 2009). Bagi masyarakat yang memiliki budaya subyek, mereka cenderung memiliki kepercayaan terhadap pemerintah, seperti yang dijelaskan di atas bahwa mereka cenderung memilki sikap tanggap terhadap pemerintah dan kebijakkannya tetapi tidak ikut serta terhadap kegiatan dan urusan politik. Mereka hanya menjadi subyek dari kebijakan pemerintahan dan masyarakat yang cenderung memiliki kebudayaan subyek cenderung memilki orientasi yang tinggi terhadap sistem politik tetapi bisa pula menjadi partisipan yang aktif mendekati nol (Almond & verba, 1984). Mendekati nol disini berarti bisa saja mereka tidak mengikuti kegiatan politik secara aktif. Kebudayaan politik partisipan yang ada di masyarakat menempatkan anggota-anggota pemerintahan yang partisipatif dapat secara menyenangkan atau sebaliknya diarahkan kepada berbagai obyek politik yang beragam. Hal ini menimbulkan perilaku politik mereka yang cenderung aktif dalam sistem politik dan kegiatan politik lainnya. Meraka cenderung diarahkan kepada peranan pribadi sebagai aktivis masyarakat, sekalipun perasaan dan evaluasi mereka terhadap peranan yang demikian bisa saja bersifat menerima maupun menolaknya (Almond & Verba, 1984).
27
2.1.2 Politik Aliran di Indonesia 2.1.2.1 Sejarah Aliran dalam Pemikiran Politik di Indonesia Secara tradisi istilah aliran digunakan sebagai alat untuk menerangkan
perilaku
politik
di
Indonesia.
Asal
muasal
penggunaan istilah ini biasanya ditarik dari ilmu antropologi dengan ranah kajian di daerah Jawa. Namun demikian konsep aliran sudah lama juga digunakan sebagai alat penjelasan di dunia perpolitikan di Indonesia. Misalnya sering dicatat dulu bahwa basis dukungan politik dari kaum santri diarahkan pada kekuatan politik di kubu NU dan Masyumi sedangkan dari kaum abangan dukungan diarahkan pada kekuatan politik PNI dan PKI pada tahun 1950-an. Membicarakan tentang aliran pemikiran politik di Indonesia kita megacu pada lima aliran politik di Indonesia ada Nasionalisme Radikal, Tradisionalisme Jawa, Islam, Sosialisme Demokratis, dan Komunisme . Namun pada awal kemerdekaan presiden Soekarno berpendapat bahwa ada tiga aliran politik yaitu Nasionalis, Islam dan Marxisme. Seiring berjalannya demokrasi terpimpin, tiga aliran ini diberi status resmi dengan bentuk baru. Koalisi partaipartai propemerintah disebut NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Akan tetapi penafsiran tidak resmi dari singkatan ini menampilkan
adanya
kelompok
keempat
yang
tidak
pro
pemerintah yaitu Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia yang menentang demokrasi terpimpin (Budiardjo, 1998).
28
Kenyataan bahwa empat partai besar ini tidak cukup mewakili pengelompokan pemikiran di Indonesia maka lima aliran ini yang masuk bisa dikelompokkan lebih sempit lagi. Pertama dengan ranah Islami yaitu Nahdatul Ulama dan Masyumi, kemudian yang masuk Jawa Hindu yaitu Nasionalisme Radikal dan Komunis serta yang memasuki segala ranah yaitu Sosialis Demokrasi ( tidak termasuk komunis). Dari kelima aliran politik inilah muncul berbagai partai politik yang mengikuti Pemilu dan menempatkan kader-kadernya sampai di parlemen. Sampai tumbangnya orde lama dan diganti orde baru dengan tokohnya Soeharto munculah kekuatan baru dalam dunia politik di Indonesia. Kekuatan militer sebagai kekuatan baru mampu menutupi dan menghabisi beberapa aliran politik di Indonesia. Kemudian dari berbagai partai politik yang ada di orde lama pada tahun 1973 disederhanakan hanya menjadi dua partai politik dan satu Golongan Karya. Sehingga banyak partai yang kehillangan identitas dirinya atau ditiadakan sama sekali jika tidak mengelompokkan diri. Pengelompokan ini mencakup Golongan Nasional yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Golongan Spiritual
yaitu Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) dan (Golkar) Golongan Karya (Budiardjo, 1998). Dengan demikian sejak Pemilu 1977 sampai 1997 hanya ada tiga organisasi sosial politik yaitu PDI, PPP, dan
29
Golkar, dan ketiga-tiganya tersebut memiliki azas yang sama. Mulai Pemilu 1982 sampai 1987 Golkar selalu mengalami kenaikan hasil suara dan pada 1997 Golkar menang besar-besaran dalam Pemilu. Kemenangan ini antara lain disebabkan karena diberlakukannya intervensi aparatur Negara secara berlebihan. Namun setelah orde baru tumbang, kembalilah sistem partai di Indonesia menjadi multi partai dan banyak partai yang muncul dengan jati diri dan ideologi mereka masing-masing sehingga dari 1999 sampai 2009 banyak Pemilu diikuti oleh banyak partai dan sudah tidak ada lagi Golongan Karya karena juga sudah menjadi Parpol. Sebelumnya dua Parpol tersebut disebut sebagai kubu kanan dan kubu kiri dan Golongan Karya disebut sebagai Golongan Tengah. Golongan kanan ini yaitu PPP yang merupakan gabungan dari Nahdatul Ulama, Partai Muslim Indonesia, Partai Sarekat Islam Indonesia, dan Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiayah). Sedangkan di kubu kiri yaitu PDI gabungan dari Partai Nasional Indonesia, Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, Partai Murba, dan
Partai
Ikatan
Pendukung
Kemerdekaan
Indonesia
(Muhtadi,2008). Setelah reformasi sampai dengan Pemilu 2009 bahkan sampai sekarang (2012) kubu kiri mempunyai sikap yang sangat tidak ingin terhadap potensi munculnya perbedaan kewarganegaraan
30
berdasarkan latar belakang agama atau peletakan khusus untuk agama Islam dalam tatanan konstitusional Negara. Contoh partai ini adalah PDIP dan PDS. Pada sayap kanan terdapat aliran politik yang menilai bahwa agama Islam harus merupakan bagian tak terpisah dari roh dan semangat kebangsaan Indonesia. Contoh partai ini adalah PPP, PKS, PBB dan PBR. Namun demikian pada zaman modern nampak bangsa Indonesia berhasil mengembangkan visi menengah di antara kedua visi tradisional. Secara singkat aliran
menengah
ini
hanya
menginginkan
Negara
yang
berketuhanan. Kekuatan politik di aliran tengah ini menilai agama Islam beserta agama lain sebagai sumber pemikiran yang dapat mengilhami kebijakan publik, walau tidak sebagai penentu atau dasar. Contoh partai di ranah tengah ini yaitu Partai Demokrat, PAN, PKB, dan Partai Golkar. Namun walaupun demikian adanya perpecahan politik atau ideologi antar aliran politik ataupun partai politik selalu hidup di dunia perpolitikan di Indonesia, hal ini menyebabkan timbulnya berbagai kebijakan pemerintah yang dirasa hanya berpihak pada salah satu kelompok saja. Sejarah sudat mencatat bagaimana dahsyatnya perpecahan antara kedua ideologi kebangsaan ini. 2.1.2.2 Islam dan Aliran Politik di Indonesia Wacana Islam
politik di Indonesia hampir selalu menarik
perhatian banyak kalangan. Alasannya sederhana, selain Islam
31
merupakan agama yang dipeluk mayoritas penduduk Indonesia, Islam juga memberikan perhatian penuh dalam siyasah (Politik). Karena
itu
kaitan
memperlihatkan
antara
catatan
Islam
penting
dan
politik
khususnya
senantiasa
dalam
sejarah
perpolitikan Indonesia. Islam sebagai agama memiliki peran yang besar mulai abad ke-15, sejak penyebaran agama Islam di Indonesia, agama memainkan peran penting bahkan pada abad ke20 Islam tetap tampil sebagai ideologi walaupun sudah bercampur dengan ideologi-ideologi lain seperti nasionalisme, komunisme, sosialisme (Muhtadi, 2008). Hal ini bisa dilihat, sejak dibukanya kembali pintu kebebasan mendirikan partai politik menjelang pemilu 1999, dalam waktu singkat lahir tidak kurang dari dua puluh lima partai politik yang secara
eksplisit
maupun
implisit
memperlihatkan
identitas
keislamannya. Bahkan sebagian besar menjadikan Islam sebagai azas partainya. Partai-partai Islam ini mengklaim sebagai jelmaan dari Masyumi yang Berjaya pada Pemilu 1955. Jika dikatagorisasi modernis-tradisionalis para pengikut Muslim, maka dari kaum modernis lahir Partai Bulan Bintang (PBB) yang lebih dikesani sebagai perwujudan baru kekuatan Masyumi. Pimpinannya sendiri Yusril Ihza Mahendra disebut-sebut sebagai Natsir “Muda” karena gairah politiknya yang kuat membangkitkan memori politik Masyumi. Namun, setelah timbul konflik ditubuh PBB sebagian
32
pimpinan partai mendirikan Partai Bintang Reformasi (PBR) menjelang Pemilu 2004. Hal ini berdampak pada kemrosotan jumlah suara PBB pada Pemilu 2004 dan 2009. Kemudian ada yang secara eksplisit menyebutkan kata Masyumi sebagai nama baru seperti Partai Politik Islam Indonesia Masyumi Baru pimpinan Abdulah Hehamahua. Kemudian Partai Masyarakat Muslim Indonesia Baru (Partai Masyumi Baru) pempinan Ridwan Saidi. Masih dari kalangan modernis Deliar Noer juga mendirikan Partai Umat Islam (PUI), partai ini masuk dalam jajaran modernis karena motor utama dan jajaran kepengurusannya berasal dari kalangan dimaksud, seperti Harun Alrasid, Mochtar Effendi, Abdurahman Gunadirdja, Mursalin Dahlan, dan lain sebagainya di jajaran pimpinan (Muhtadi, 2008). Nuansa saling ingin berkuasa cenderung menimbulkan konflik tersendiri diantara sesama partai Islam. Kemunculan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan PSII 1905 adalah diantara contoh partai yang memiliki akar sejarah yang sama. Sejak saat fusi tahun 1973 PSII merupakan salah satu faksi yang melebur menjadi PPP yang pada saat itu hanya ada satu PSII yang bergabung dengan dua partai lainnya diluar NU yaitu Permusi dan Perti. Dari kalangan tradisional Islam muncul pula sederetan Parpol, namun berbeda dengan Pemilu 1955 dimana NU tidak tampil
33
sebagai Parpol, NU tetap pada posisinya sebagai Ormas sesuai Khittah yang diputuskan lima belas tahun sebelumnya. Namun untuk
meyalurkan
aspirasi
politik
komunitas
Nahdliyin,
dimunculkanlah sejumlah Parpol dengan basis konstituen yang terikat pada organisasi NU (Muhtadi, 2008). Khittah NU sendiri memiliki makna sebagaimana yang dijelaskan oleh Martin Van Bruinessen (1994) yaitu kembalinya pola dasar dan bertindak NU 1926, yang muncul pada Munas Situbondo 1983. Maksud dari apa yang diungkapkan Van Bruinessen yaitu bahwa pendirian NU sejatinya tidak didirikan oleh para pendirinya untuk kepentingan politik namun untuk kepentingan dan memperjuangkan pendidikan dan sosial lainnya. Hal ini sama dengan sikap Muhamadiyah yang sejak satu dasa warsa tidak mendukung Masyumi dan menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Menurut Asep Saeful Muhtadi (2008) setidaknya ada empat partai politik berbasis NU yang tampil sebagai Organisasi Peserta Pemilu (OPP) pada pemilu pertama sejak tumbangnya Orde Baru yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dibawah pimpinan Matori Abdul Jalil, Partai Solidaritas Uni Nasional (SUNI) dibawah pimpinan Abu Hasan, Partai Kebangkitan Umat (PKU) dibawah pimpinan Yusuf Hasyim paman dan “musuh” lama Gus Dur, dan Partai Nahdhatul Umat (PNU) dibawah pimpinan Syukron
34
Ma’mun da’i bereprutasi yang sering mengkritik sayap progresif NU. Sebenarnya ada satu Parpol yang berbau NU namun tidak begitu terikat dengan Ormas NU yaitu PPP di bawah pimpinan Hamzah Haz yang telah mengalahkan kader MI, AM Saefudin dalam Muktamarnya. PPP merupakan wadah aspirasi warga Nahdliyin yang tidak begitu suka dengan konflik yang terjadi di NU karena kemunculan empat partai tersebut, apalagi setelah jelas adanya keberpihakan PBNU kepada salah satu parpol saja yaitu PKB yang di kampanyekan pula oleh Gus Dur, sehingga waktu itu mantan ketua Gerakan Pemuda Anshor Yusuf Effendi menilai Gus Dur sebagai sosok demokrat yang belum bisa menerima pluralisme. Namun hal itu segera ditepis oleh Khatib Syuriah NU Said Agil Siradj yang menyebutkan bahwa PKB adalah leburan dari NU dan tiga Parpol diatas adalah sempalan, separatis PKB. Perebutan dukungan para elit Parpol berbasiskan NU ini karena perkirakan NU memiliki massa kurang lebih 30-40 juta orang (Muhtadi, 2008). Diluar dari katagorisasi modernis dan tradisionalis lahir Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan. PAN sendiri digagas oleh Majelis Amanat Rakyat (MARA) yang lahir pada 14 Mei 1998. PAN sebelumnya bernama Partai Amanat Bangsa. Kemudian oleh para penggagasnya diganti dengan PAN yang di
35
ketuai oleh Amien Rais sendiri pada 23 Agustus 1998 (Muhtadi, 2008). Sebenarnya PAN sendiri memiliki basis massa dari kalangan Muhammadiyah, namun hal itu tidak diungkapkan secara terbuka oleh para petinggi parpol guna menjaga konsep pluralitas partai. Dukungan massa tersebut timbul karena Amin Rais sendiri adalah orang nomor satu Ormas Muhammadiyah. Namun dengan keberpihakan
Ketua
Dewan
Syuro
kepada
PAN
maka
Muhammadiyah di bawah pimpinan Din Syamsudin mendirikan Parpol sendiri menjelang Pemilu 2004 yaitu Partai Matahari Bangsa (PMB). Partai Keadilan yang seiring berjalannya dunia perpolitikan nasional berganti nama Partai Keadilan Seahtera (PKS) pada pemilu 2004, juga mengundang banyak perhatian publik. Partai ini lahir dan didirikan oleh sebagian besar alumnus Timur Tengah di bawah pimpinan mudanya Nur Mahmudi Isma’il. PKS di bawah Hidayat Nur Wahid (ketua MPR-RI 2004-2009) terus melaju kencang. PKS memilki basis massa yang sangat loyal dan kaderkadernya sangat militan, basis massa PKS adalah Ikhwanul Muslimin yang sangat kuat mengusung Islam dalam platform mereka. Ikwanul Muslimin (IM) merupakan organisasi yang lahir di Mesir dengan tokohnya yaitu Hasan Albana (Mujahid,2011). Organisasi ini merupakan aliran Islam semi moderat yaitu dengan mengusung demokrasi dan syariat Islam sebagi asasnya. IM
36
berkembang dengan pesat dikawasan Asia Timur terkhusus Indonesia sejak 1998. Menurut Abu Mujahid (2011) pula “IM menginginkan adanya Negara yang berlandaskan Islam maka hal itu untuk menjembatani visinya maka para kader IM mendirikan PKS seperti halnya yang terjadi di Palestina dengan Hamas, Mesir dengan IM, Malaysia dengan Partai Keadilannya”. Karena hal itulah PKS terbentuk dari kader-kader pilihan sehingga tak salah jika PKS disebut sebagai satu-satunya Partai Kader di Indonesia saat ini. Di Negara lain IM selalu menjadi oposisi yang kuat dan tak sering memberontak pada pemimpin Parpol yang berkuasa. Namun hal seperti di Indonesia sekarang ini PKS masuk koalisi Parpol penguasa. Dibandingkan PPP, PKB, dan PAN yang selalu mengalami penurunan konstituen PKS selalu mengalami peningkatan jumlah suara nasioanl disetiap Pemilu. IM dalam berdakwah selalu menjurus pada PKS sehingga para santri Tarbiyahnya sangat segan dengan tokoh-tokoh PKS karena mereka berangkat dari bawah. Namun di Wonosobo sendiri PKS tidak begitu memiliki massa yang banyak, Bahkan hasil rekapitulasi KPUD kabupaten Wonosobo pada Pemilu 2009 di antara Parpol Islam yaitu PKS, PKB, PAN, PKNU, PBB, PPP, PBR, PPNUI, dan PMB, pemeroleh suara terbanyak adalah PKB, disusul PAN dan PKNU baru PKS di urutan nomor empat disusul PBB dan PMB (KPUD Kab.
37
Wonosobo, 2010). Hal ini dikarenakan memang sebagian warga masyarakat Wonosobo berdasarkan tinjauan langsung beragama Islam dengan aliran Nahdliyin, baru Muhammadiyah, kemudian yang lainnya adalah Ikhwanul Muslimin, Ahmadiyah, Salafi (FKAWJ), Syiah, dan Khowarij (JAT/MMI). 2.1.3 Tahap – Tahap Pemilihan Kepala Daerah 2.1.3.1 Tahap Persiapan Pemilihan Kepala Daerah Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 6 Pasal 2 tahap persiapan pemilihan kepala daerah sebagai berikut : a. Pemberitahuan DPRD mengenai berakhirnya masa jabatan kepala daerah. b. Perencanaan penyelenggaraan meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah. c. Pembentukan panitia pengawas, PPK, PPS dan KPPS. d. Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau pemilihan. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tahap persiapan pemilihan kepala daerah merupakan tahap atau rencana yang paling mendasar karena tanpa adanya persiapan terlebih dahulu tidak akan berjalan dengan lancar. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 pasal 14 yang berbunyi ” Panitia pengawas adalah panitia pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dibentuk oleh DPRD dalam
38
melakukan pengawasan terhadap seluruh tahapan pelaksanaan pemilihan”. Penjelasan di atas menerangkan bahwa panitia pengawas peranannya sangat penting bagi kelangsungan proses pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah supaya berjalan dengan lancar dan tidak disertai kecurangan – kecurangan. Dalam Undang – Undang Nomor 32 tahun 2004 pasal 166 ayat 4 bahwa panitia pengawasan pemilihan mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut: a. Mengawasi semua tahapan penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. b. Menerima
laporan
pelanggaran
peraturan
perundang –
undangan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. c. Menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelengaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. d. Meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan instansi yang berwenang. e. Mengatur hubungan koordinasi antara panitia pengawas pada semua tingkatan. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 yang dimaksud pemantau pemilihan yaitu pelaksana pemantauan pemilihan yang telah tercatat dan memperoleh akreditasi dari KPUD yang berfungsi untuk memantau jalannya proses pemilihan 39
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dibentuknya tim pemantau pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pada saat pelaksanaan pencoblosan terutama di kalangan masyarakat sebagai tim pemantau diharapkan dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Adapun kewajiban Komisi Pemilihan Umum yaitu : a. Memperlakukan pasangan calon secara adil dan setara. b. Menetapkan standarisasi sera kebutuhan barang dan jasa yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berdasarkan peraturan perundang – undangan. c. Menyampaikan laporan pada DPRD untuk setiap tahap pelaksanaan
pemilihan
dan
menyampaikan
informasi
kegiatannya kepada masyarakat. d. Memelihara arsip dan dokumen serta mengelola barang inventaris milik KPUD berdasarkan peraturan perundang – undangan. e. Mempertanggungjawabkan
penggunaan
anggaran
kepada
DPRD. f. Melaksanakan semua tahapan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara tepat waktu.
40
2.1.3.2 Tahap Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah di jelaskan bahwa tahap pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah meliputi sebagai berikut : a. Penetapan Pemilihan Penetapan pemilihan yaitu warga negara Republik Indonesia yang sudah berumur 17 (tujuh belas Tahun) yang pada hari pemungutan suara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau sudah kawin dan mempunyai hak memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dimana warga negara Republik Indonesia itu terdaftar sebagai pemilih. Adapun syarat yang harus dipenuhi pemilih menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yaitu : 1. Nyata – nyata sedang tidak terganggu jiwa / ingaannya. 2. Tidak sedang dicabut hak pilihannya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penetapan seorang pemilih harus warga negara Indonesia yang telah memenuhi syarat dengan ketentuan apabila seseorang pemilih tidak dapat menggunakan hak pilihnya dan bila telah terdaftar sebagai peserta akan diberi tanda bukti untuk setiap pemungutan suara dengan catatan seorang pemilih hanya 41
didaftar satu kali dalam pemilih dan bila mempunyai lebih dari satu tempat tinggal maka pemilih tersebut harus menentukan satu untuk ditetapkan sebagai tempat tinggal yang dicantumkan dalam daftar pemilih. b. Pendaftaran dan Penetapan Pasangan Calon Dalam proses penetapan pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik wajib memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat. Hal ini sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam PP Nomor 6 Tahun 2005 pasal 36 ayat 1 yang berbunyi ” Peserta pemilihan adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan dari partai politik secara berpasangan.” Dengan demikian pasangan calon dapat mendaftarkan diri setelah
memenuhi
syarat-syarat
yang
telah
ditentukan
perolehan sekurang-kurangnya 15 % dari jumlah kursi DPRD atau 15% dari akumulasi perolehan suara yang sah dalam pemilihan anggota DPRD di daerah, dengan ketentuan partai politik atau gabungan dari partai politik hanya dapat mengusulkan satu pasangan calon dan tidak boleh dicalonkan lagi oleh partai politik atau gabungan partai politik lainnya. Dalam pendaftaran pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yaitu kepada komisi pemilihan umum paling 42
lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak pengumuman pendaftaran pasangan calon. c. Kampanye Kegiatan kampanye dilaksanakan sebagai bagian dari penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Kampanye dilakukan selama 14 (empat belas) hari dan berakhir 3 (tiga) sebelum hari pemungutan suara. Kampanye sendiri diselenggarakan oleh tim kampanye yang dibentuk oleh pasangan calon bersama-sama partai politik atau gabungan partai politik yang mengusulkan pasangan calon. Adapun jadwal kampanye ditetapkan oleh KPUD dengan memperhatikan usul dari masing-masing pasangan calon. Tim kampanye dibentuk secara berjenjang. Selama kampanye orang bebas mengekspresikan kepentingannya, aspirasi maupun pendapat secara bebas, dapat menghantarkan pasangan calon yang bersangkutan pada suasana dimana pasangan calon tersebut mencoba menarik simpatisan pemilih. Suasana kampanye yang dimobilisasi oleh masa yang banyak cenderung akan mendapatkan simpatisan publik dan cenderung pula masa melakukan tindakan – tindakan yang dilarang dalam rambu rambu kampanye.
43
d. Pemungutan Suara dan Perhitungan Suara Secara formal tata cara pemberian suara berupa memilih pasangan calon sudah menjamin penggunaan hak pilih serta kebebasan dan kerahasiaan, apabila disertakan dengan adanya hak bagi pasangan calon menyiapkan saksi dalam pilkada. Menurut pasal 70 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005
berbunyi
bahwa
pemungutan
suara
pemilihan
diselenggarakan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum masa jabatan kepala daerah berakhir. Dengan demikian pemungutan suara dimaksud yaitu dengan memberikan suara melalui surat suara yang berisi nomor, foto dan nama pasangan calon dan jadwal waktu pelaksanaan pemungutan suara dimulai pukul 07.00 dan berakhir 13.00 waktu setempat, dimana pemberian suara untuk pemilihan dilakukan dengan mencoblos salah satu pasangan calon yang ada dalam surat suara. e. Penetapan Calon Terpilih, Pengesahan Pengangkatan dan Pelantikan Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 pasal 9 ayat 1 yang berbunyi ” pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 50%
44
(lima puluh persen) jumlah suara sah ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih.” Apabila pasangan calon tidak memperoleh suara lebih dari 25 % dari jumlah sah maka calon yang memperoleh suara terbesar ditetapkan sebagai calon terpilih, dan pengesahan pengangkatan pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden paling lambat 30 hari, sebelum kepala daerah dan wakil kepala daerah memangku jabatan dilantik terlebih dahulu dengan mengucapkan sumpah atau janji yang dibimbing oleh pejabat yang melantik, adapun cara pelantikan disesuaikan dengan peraturan tata tertib DPRD. f. Tahap Evaluasi Sebagaimana yang dimaksud pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 bahwa tahap evaluasi merupakan tahap atau kegiatan penyelesaian yaitu sebagai berikut : (1) pembubaran panitia pemilihan ditingkat PPK, PPS, dan KPPS sesuai dengan tugas dan tingkatannya. (2) penghimpunan dan penyusunan hasil pemantauan pengawasan dan pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. (3) evaluasi pelaksanaan kegiatan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. (4) laporan pelaksanaan kegiatan dan
45
pertanggungjawaban anggaran pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. 2.2 Kerangka Berfikir Sebagai titik tolak dari penelitian ini adalah harus adanya kerangka berfikir yang penulis kemukakan sebagai berikut : a. Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang selanjutnya disebut Pimilukada adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah Provinsi dan/atau Kabupaten/kota berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 untuk
memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.(PP N0. 6 Tahun 2005). b. Proses dari pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diselenggarakan oleh KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) yang bertanggung jawab kepada DPRD dimana tugas utama dari KPUD dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yaitu merencanakan penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sesuai dengan tahapan-tahapan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan (UU No.32 Tahun 2004). c. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah merupakan pejabat negara yang mempunyai peranan yang sangat strategis dalam rangka pengembangan
kehidupan
demokrasi,
keadilan,
pemerataan,
kesejahteraan masyarakat, memelihara hubungan yang serasi antara
46
pemerintahan pusat dan daerah serta antar daerah. Sejalan dengan hal tersebut diatas, diperlukan figur Kepala Daerah yang mampu mengembangkan inovasi, berwawasan kedepan dan siap melakukan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik, dimana proses-proses pemilihan Kepala Daerah dilaksanakan melalui beberapa tahapan dimulai dari tahap pendaftaran, penyaringan, penetapan pasangan calon, rapat paripurna khusus, pengiriman berkas pemilihan, pengesahan, dan pelantikan.
47