BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Teori Regulasi Teori regulasi lahir diakhir tahun 1970-an, dimana situasi ekonomi sedang dilanda resesi, setelah mengalami masa kejayaan sekitar 20-30 tahun. Pada masa tersebut, perekonomian Eropa dan Amerika tengah memasuki masa politik sulit sejak
krisis
hebat
di
Amerika
tahun
1930-an
(Boyer,
http://regulationschool.blogspot.com/2007/11/sejarah-teori-regulasi.html?m=1). Pengertian lain terkait teori regulasi adalah peraturan khusus yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam mendukung terjalinnya hubungan yang serasi, seimbang, sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, budaya masyarakat setempat, untuk mewujudkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungannya (http://id.wikipedia.org/wiki/teoriregulasi). Regulasi merupakan hasil dari tindakan penekanan kelompok yang menghasilkan hukum dan kebijakan untuk mendukung kalangan bisnis serta melindungi konsumen, pekerja, dan lingkungan (Stigler 1971 dalam Nugroho dan Wrihatnolo 2008). Sedangkan menurut Badan Standardisasi Nasional, regulasi di Indonesia diartikan sebagai sumber hukum formil berupa peraturan perundang-undangan yang memiliki beberapa unsur, yaitu merupakan suatu keputusan yang tertulis, dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang, dan mengikat umum. Regulasi umumnya diasumsikan untuk dirancang dan dioperasikan demi kepentingan industri yang ada. Teori regulasi dalam industri dibagi menjadi dua,
10
11
yaitu teori kepentingan publik dan teori kepentingan kelompok. Teori kepentingan publik berpandangan bahwa regulasi diperlukan untuk menanggapi permintaan publik terhadap perbaikan praktik pasar yang tidak efisien dan tidak adil. Sedangkan teori kepentingan kelompok memiliki pandangan bahwa regulasi disediakan sebagai tanggapan atas permintaan kelompok tertentu untuk memaksimumkan pendapatan mereka(Belkaoui, 2006). Regulasi pada sektor publik perlu diciptakan sebagai bentuk pengawasan penyelenggaraan pemerintahan. Dalam manajemen pemerintahan modern, salah satu bentuk pengawasan adalah sistem pengendalian intern, yang merupakan suatu hal yang mutlak harus dibangun dan dilaksanakan pada setiap unit organisasi pemerintahan, yang tidak terbatas pada tingkat departemen dan lembaga negara saja, melainkan pemerintahan secara keseluruhan. Sistem pengendalian intern pemerintahan yang baik akan memberikan jaminan terhadap kualitas dan kinerja pemerintahan secara keseluruhan, sehingga penyelenggaraan pemerintahan dapat memenuhi prinsip-prinsip good governace dan terhindar dari tuntutan hukum dan administrasi (BPKP, 2008). Penilaian risiko merupakan salah satu dari lima unsur dalam SPIP, merupakan salah satu wujud regulasi. Sesuai pasal 13 ayat (1) PP 60 Tahun 2008, tentang SPIP, disebutkan bahwa pimpinan instansi wajib melakukan penilaian risiko. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008
juga mewajibkan
menteri/pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/walikota untuk melakukan pengendalian atas kegiatan penyelenggaraan pemerintahan melalui SPIP, yang bertujuan untuk memberikan keyakinan yang memadai bagi tercapainya
12
efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan negara, keandalan laporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga pengelolaan keuangan negara akan efektif, efisien, transparan, dan akuntabel dapat tercapai. 2.2 Kinerja Kinerja merupakan hal penting yang mendominsi dalam diskusi terkait NPM, sebagaimana disampaikan bahwa kinerja merupakan konsep yang luas yang memiliki arti dan makna yang beragam, untuk audiens yang berbeda, dan konteks yang berbeda (Wynn dan Williams, 2005; Brownet al. 2003; Jr dan sommer. 2002). Kinerja merupakan kondisi yang harus diketahui dan diinformasikan kepada pihak-pihak tertentu untuk mengetahui tingkat pencapaian hasil suatu instansi dihubungkan dengan visi yang diemban suatu organisasi serta mengetahui dampak positif dan negatif suatu kebijakan operasional yang diambil. Dalam kamus besar bahasa Indonesia dinyatakan bahwa kinerja berarti: (1) sesuatu yang dicapai, (2) prestasi yang diperlihatkan, (3) kemampuan kerja. Kinerja pada dasarnya dapat dilihat dari dua segi, yaitu kinerja pegawai (individu) yang merupakan hasil kerja perseorangan dalam suatu organisasi dan kinerja organisasi, yaitu totalitas hasil kerja yang dicapai suatu organisasi (Gibert dalam Moullin, 2004; Northcott dan Taulapapa, 2012). Sedangkan Kinerja program berhubungan dengan akuntabilitas publik, karena pemerintah sebagai pengemban amanat masyarakat bertanggungjawab atas kinerja yang telah dilakukannya, hal tersebut karena pemerintah berkewajiban untuk mengelola
13
program pembangunan dalam rangka menjalankan pemerintahannya(Mardiasmo, 2009). Kinerja merupakan gambaran mengenai sejauh mana keberhasilan atau kegagalan organisasi dalam menjalankan tugas dan fungsi pokoknya dalam rangka mewujudkan sasaran, tujuan, visi, dan misinya. Dengan kata lain, kinerja merupakan prestasi yang dapat dicapai oleh organisasi dalam periode tertentu. Kinerja (performance) diartikan sebagai suatu tingkatan dimana karyawan memenuhi atau mencapai persyaratan kerja yang ditentukan (Milkovich dan Boudreau dalam Wahyuningsih, 2003). Pengertian kinerja menurut Samsudin (2006), adalah tingkat pelaksanaan tugas yang dapat dicapai oleh seseorang, unit, atau divisi dengan menggunakan kemampuan yang ada dan batasan-batasan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan organisasi/perusahaan. Kinerja juga merupakan sebuah proses manajemen atau suatu organisasi secara keseluruhan dimana hasil kerja tersebut dapat ditunjukan buktinya secara konkrit dan dapat diukur (Sudarmayanti, 2010). Berdasarkan beberapa pengertian mengenai kinerja di atas, kinerja merupakan hasil-hasil fungsi pekerjaan kegiatan seseorang dalam suatu organisasi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor untuk mencapai tujuan organisasi dalam periode waktu tertentu, dan dapat dipahami bahwa pengertian kinerja tidak terbatas pada kinerja individu saja, tetapi juga kinerja kelompok/tim dan kinerja organisasi, yang pada dasarnya bersumber dari kinerja individu. Salah satu urusan wajib yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah adalah urusan bidang kesehatan. Pelaksanaan urusan bidang kesehatan bertujuan
14
untuk mewujudkan derajat kesehatan masyarakat sebagai upaya untuk meningkatkan
keadaan
kesehatan
yang
lebih
baik
dari
sebelumnya.
Penyelenggaraan urusan wajib bidang kesehatan dilakukan berdasarkan standar pelayanan minimal yang telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan RI yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 741/MENKES/PER/VII/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota. SPM ini merupakan tolok ukur kinerja pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah, yang meliputi jenis pelayanan beserta indikator kinerja dan target tahun 2010-2015. 2.3 Manajemen Risiko Manajemen risiko dapat didefinisikan sebagai; risk management is a rational attempt to reduce or avoid the consequences of loss or injury (William et al., 1998). Sedangkan CIMA dalam Collier et al. (2006) mendefinisikan manajemen risiko sebagai; process of understanding and managing the risk that organization is inevitability subject to attempting to achieve its corporate objectives. Selanjutnya Institute of Risk management (2002) dalam Collier et al. (2007)
mendefinisikan
manajemen
risiko
sebagai;
the
process
which
organizations methodically address the risk to their activities with the goal of achieving sustained benefit within and across the portfolio of all activities. COSO (2004) dalam Moeller dan Robert (2007) mendefinisikan manajemen risiko sebagai; a process, affected by an entity’s board of directors, management and other personnel, applied strategy setting and accros the enterprise,designed to identify potential events that may affect the entity, and manage risk to be within
15
its risk appetite, to provide reasonable assurance regarding the achievement of entity objectives. Manajemen risiko pada awalnya, lebih banyak menekankan pada sektor perbankan. Kerangka kerja manajemen risiko untuk lembaga keuangan bank pada umumnya meliputi empat komponen manajemen risiko yaitu identifikasi risiko, pengukuran risiko, mitigasi risiko, dan pengawasan dan pelaporan risiko (Bessis, 2002). Standar dan praktik manajemen risiko bagi industri perbankan disampaikan oleh Basle (1997) dan Bessis (1998) menyampaikan pendekatan manajemen risiko bank komersial cenderung bersifat enterprise risk management. COSO (2004) dalam Collier & Ampomah (2006) dan Moeller (2007) menyampaikan model manajemen risiko yang memiliki 8 komponen yaitu: Internal environment, Objective setting, Event identification, Risk assessment, Risk Response, Control activities, Information and Communication dan Monitoring. COSO Enterprise Risk Management Framework dirancang guna mendukung persepsi yang konsisten mengenai risiko dan pengendalian dalam organisasi dan menciptakan model yang dapat diterima luas untuk menilai proses manajemen risiko. Ditinjau dari kepentingan perusahaan, menurut D’arcy (2001), terdapat tiga urusan pendekatan manajemen risiko. Pada perusahaan yang fokus pada financial risk, peran manajemen risiko terutama melakukan sharing atau transfering risiko melalui asuransi dan hedging bagi risiko-risiko finansial yang teridentifikasi. Elemen dari manajemen risiko menurut Institute of Risk management (2002) dalam Collier et al. (2007) antara lain Risk Assessment, merupakan proses
16
Mengidentifikasi, mendeskripsikan dan mengestimasipengambilan keputusan tentang risiko yang signifikan yang harus diberi perlakuan, yangmerupakan proses pemilihan dan pengimplementasian, melalui Risk control, Risk avoidance, Risk transfer, Risk Reporting Australian and Newzealand Standard (AS/NZS 4360:1999) yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1995, memberikan panduan penyusunan dan implementasi proses manajemen risiko yang meliputi penentuan konteks, identifikasi, Analisis, evaluasi, perlakuan, monitoring, reviu, konsultasi, dan komunikasi. Risk Management Standard AIRMIC,ALARM,IRM (2002), Standar yang dikembangkan oleh organisasi-organisasi bidang manajemen risiko di Inggris, yaitu The Institute of Risk Management (IRM), The Association of Insurance and Risk Managers (AIRMIC), and ALARM The National Forum for Risk Management in the Public Sector. Standar tersebut diperlukan untuk menyepakati terminologi-terminologi yang digunakan, proses manajemen risiko dan struktur organisasi dari manajemen risiko serta tujuan manajemen risiko.Standar yang digunakan sebagai kerangka umum untuk mengembangkan standar pengamanan organisasi guna mewujudkan efektifitas praktik pengamanan manajemen (ISO 17799, 2005). 2.4 Penilaian Risiko Kata risk dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa Italia kuno yaitu riscare. Risiko memiliki berbagai definisi baik pengertian maupun interpretasi, tergantung dari cara orang memandangnya (Fraser et.al, 2008). Beberapa istilah penilaian risiko (risk assessment) mempunyai pengertian yang berbeda, tumpang tindih, dan
17
saling dipertukarkan dalam pemakaianny adalam literature pengelolaan risiko. Misalnya, istilah risk analysis, risk assessment, dan risk evaluation. Istilah penilaian risiko dalam PP Nomor 60 Tahun 2008 tentang SPIP adalah sama pengertiannya dengan risk assessment. Sesuai dengan PP Nomor 60 Tahun 2008, khususnya bagian ketiga, pasal 13 ayat (1) disebutkan bahwa pimpinan instansi wajib melakukan penilaian risiko. Penilaian risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiriatas (a) identifikasi risiko; dan (b) analisis risiko. Lebih lanjut dalam PP tersebut disebutkan bahwa penilaian risiko diawali dengan penetapan maksud dan tujuan instansi pemerintah yang jelas dan konsisten, baik pada tingkat instansi maupun pada tingkat kegiatan. Hal ini sejalan dengan proses pengelolaan risiko, baik menurut AS/NZS maupun COSO, bahwa sebelum melakukan penilaian risiko harus ditetapkan terlebih dahulu penetapan konteks atau tujuan organisasi/entitas. Penilaian risiko (risk assessment) diartikan sebagai the overall process of risk identification, risk analysis, and risk evaluation, dimana penilaian risiko merupakan bagian yang integral atau terpadu dari proses pengelolaan risiko (Handbook 436,2004). Menurut Australian Government, Department of the Environment and Heritage Australian Government Office (2006) penilaian risiko didefinisikan sebagai The set of tasks to here collectively as a risk assessment, consists of three central steps in the risk management process: identify the risks, analyze the risks, and evaluate the risks. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penilaian risiko merupakan proses yang dilakukan oleh suatu instansi atau organisasi dan merupakan bagian
18
yang integral dari proses pengelolaan risiko dalam pengambilan keputusan risiko dengan melakukan tahap identifikasi risiko, analisis risiko, dan evaluasi risiko. Proses penilaian risiko dilakukan setelah dilakukan penetapan tujuan organisasi. Jika dikaitkan dengan SPIP, penilaian risiko merupakan unsure atau komponen sistem pengendalian intern, dengan sub unsure identifikasi dan analisis risiko, sedangkan evaluasi risiko, dengan mempertimbangkan bahwa proses evaluasi sejatinya adalah proses menilai risiko yang akan diprioritaskan (setelah dianalisis, termasuk mempertimbangkan tingkat risiko yang dapat diterima) dan direspon, maka proses ini dapat digabungkan dalam proses analisis risiko. Identifikasi risiko adalah proses menetapkan apa, dimana, kapan, mengapa, dan bagaimana sesuatu dapat terjadi, sehingga dapat berdampak negatif terhadap pencapaian tujuan (BPKP, 2009). Tujuannya adalah untuk menghasilkan suatu daftar sumber-sumber risiko dan kejadian-kejadian yang berpotensi membawa dampak terhadap pencapaian tiap tujuan yang telah diidentifikasi dalam penetapan konteks/tujuan. Potensi kejadian-kejadian tersebut dapat mencegah, menghambat, menurunkan, mernperlambat atau justru meningkatkan pencapaian tujuan-tujuan tersebut (Wijayantini, 2012; Wijaya, 2014). Setelah
mengidentifikasi
apa
yang
dapat
terjadi,
maka
perlu
dipertimbangkan kemungkinan-kemungkinan penyebab dan skenario-skenario yang dapat terjadi. Terdapat banyak jalan untuk kemunculan suatu kejadian. Oleh karenanya adalah perlu agar jangan sampai ada penyebab-penyebab signifikan yang tertinggal (Soegiharto, 2012).
19
Analisis risiko adalah proses penilaian terhadap risiko yang telah teridentifikasi, dalam rangka mengestimasi kemungkinan munculnya dan besarnya dampak, untuk menetapkan level dan status risikonya (BPKP, 2009). Status
risiko
diperoleh
dari
kemungkinan
(frekuensi
atau
probabilitas
kemunculan) dan dampak (besarnya efek), jika risiko terjadi. Status risiko biasanya disajikan dalam bentuk tabel, guna memudahkan para pengambil kebijakan melakukan evaluasi. Analisis risiko dilaksanakan untuk menentukan dampak dari risiko yang telah diidentifikasi terhadap pencapaian tujuan instansi pemerintah. Pimpinan instansi pemerintah menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menentukan tingkat risiko yang dapat diterima, untuk kemudian disusun kegiatan pengendaliannya. 2.5 Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai risiko lebih banyak dilakukan oleh peneliti di sektor koorporasi dibandingkan dengan penelitian risiko di sektor publik. Manajemen risiko mendorong terjadinya perbaikan kinerja organisasi, khususnya dalam hal kesadaran akan risiko akan mempengaruhi profil risiko pasar modal yang rendah (Collier, 2006). Studi yang menunjukkan bahwa dengan pendekatan holistik yaitu manajemen risiko berakibat pada peningkatan kinerja pada perusahaan investasi (Andersen, 2008). Sebuah studi kasus terhadap sistem pengendalian manajemen risiko di sebuah organisasi sektor publik. Sejumlah variabel yang mempengaruhi sistem manajemen risiko pada level operasional kebijakan pemerintahan pusat, teknologi informasi dan komunikasi, dan ukuran organisasi. Sejumlah variabel penting
20
sangat ditentukan oleh kebijakan dan sumberdaya yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Hal ini sejalan dengan lembaga keuangan yang didorong oleh regulasi pemerintah dalam menjalankan sistem manajemen risiko (Woods, 2009). Kapasitas dalam pengambilan risiko merupakan elemen utama dalam dana pensiun Manfaat Pasti. Studi empirik menunjukkan manajemen risiko secara umum telah menjadi sesuatu pencapaian yang mutakhir tetapi hal tersebut sering terjadi dengan adanya dorongan yang kuat dari regulator (Franzen, 2010). Beberapa penelitian terkait dana pensiun dan lembaga keuangan lainnya menunjukkan bahwa telah menggunakan kerangka kerja dari manajemen risiko dalam meningkatkan kinerja perusahaan (Stewart, 2010). Keunggulan bersaing perusahaan dinyatakan sebagai mediator dalam efektivitas manajemen risiko untuk meningkatkan kinerja perusahaan yang bergerak pada bidang ekspor manufaktur (Nachailit et al., 2011). Peneliti lain juga menyampaikan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara manajemen risiko dan kinerja perusahaan. Penelitian ini dilakukan pada perusahaan inovasi yang bergerak dibidang aset (Jafari et al., 2011). Mengenai risiko disektor publik, terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa instansi sektor publik dibidang pendidikan dihadapkan pada risiko yang akan menghambat pencapaian tujuan. Oleh karena itu penting kiranya setiap instansi publik untuk melakukan penilaian risiko yang akan memberi informasi kepada pimpinan baik itu pimpinan instansi maupun pimpinan kegiatan. Hal itu dilakukan guna melakukan pendekatan yang tepat guna meminimalisir dampak dari risiko (Istiningrum, 2011).
21
Masih terbatasnya penelitian terkait pengaruh penilaian risiko terhadap kinerja pada sektor publik mendorong penelitian ini dengan menggunakan variabel sebelum dan sesudah melakukan penilaian risiko yang berpengaruh pada perbedaan kinerja dinas kesehatan.