BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Aspek Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis Penularan TB tergantung dari lamanya kuman TB berada dalam suatu
ruangan, konsentrasi kuman TB di udara serta lamanya menghirup udara, kondisi ruangan tempat udara terkontaminasi kuman TB dan derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak penderita. Menurut WHO dan Centers for Disease Control and Preventive (CDC, 2014) penularan TB dapat melalui udara yang terkontaminasi kuman TB oleh penderita TB dengan cara bersin, batuk, berbicara dan tidak mmenular melalui bersalaman, berbagi makanan atau minuman, berbagi sikat gigi dan berciuman. Gejala utama adalah batuk selama 2 minggu atau lebih (Riskesdas, 2013). Berdasarkan hasil survei prevalensi yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan, proporsi penderita TB paru tertinggi terjadi pada laki-laki (Riskesdas, 2013). Angka kejadian tuberkulosis (semua kasus/100.000 penduduk/tahun) di Indonesia sudah mengalami penurunan selama empat tahun terakhir yaitu 187/100.000 penduduk (2011), 185/100.000 penduduk (2012), 185/100.000 penduduk (2013) dan 183/100.000 penduduk (2014) (Laporan TB, Global Report WHO, 2013). Meskipun demikian, berbagai tantangan baru yang masih perlu menjadi perhatian yaitu kekambuhan pasien TB yang dapat menyebabkan meningkatnya TB-MDR, TB-HIV dan masyarakat rentan lainnya.
8
9
2.2
Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis Paru Klasifikasi pasien tuberkulosis paru berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya menurut Depkes RI (2008), dibagi dalam 2 bagian yaitu 1) kasus baru; 2) kasus yang pernah diobati (kambuh, putus obat, gagal, pindahan).
2.3
Diagnosa Penyakit Tuberkulosis Diagnosa penyakit TB yang digunakan di Indonesia dilakukan berdasarkan
Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis yang dibedakan sesuai dengan letak penyakit TB. Beberapa kriteria diagnosa penyakit TB yaitu 1) diagnosa TB paru dengan pengambilan spesimen dahak selama dua hari kunjungan berurutan dengan waktu pengambilan Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS); 2) diagnosa TB ekstra paru; 3) diagnosa TB pada orang dengan HIV-AIDS.
2.4
Pengobatan TB Tujuan pengobatan tuberkulosis antara lain penyembuhan pasien serta
mengembalikan produktifitas dan kualitas hidup, pemutusan rantai penularan, pencegahan kekambuhan, pencegahan timbulnya resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan penularannya serta pencegahan kematian (Kemenkes RI, 2011; TB Fact.org, 2014). Panduan pengobatan TB yang berlaku di dunia dan Indonesia saat ini yaitu pengobatan dengan sistem DOTS (Directly Observed Treatment Short course chemotherapy). Pengobatan TB dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap intensif yang kemudian diikuti dengan tahap lanjutan.
10
Gambar 2.1 Alur Diagnosa TB Paru (Kemenkes, 2014)
11
2.5
Kekambuhan Tuberkulosis Kuman TB sangat mudah resisten terhadap obat sehingga dalam
pengobatan TB selalu digunakan beberapa macam obat bersamaan untuk mencegah resistensi terhadap satu jenis obat dan beberapa populasi kuman TB juga dapat menjadi dorman (tidak aktif). Kuman dalam fase demikian tidak dapat dibunuh oleh obat anti TB. Dalam keadaan tertentu antara lain daya tahan tubuh menurun, kuman tersebut dapat aktif kembali. Faktor risiko medis yang diketahui berperan pada TB relaps dan gagal pengobatan antara lain infeksi HIV, Diabetes Mellitus (DM), berat badan kurang, kavitas pada foto thorak, beban bakteri yang tinggi, durasi pengobatan yang singkat, resistensi OAT, dan hasil kultur positif setelah 2 bulan pengobatan. Faktor sosiodemografi yang berhubungan dengan TB relaps dan gagal pengobatan yaitu pengangguran, penyalahgunaan obat, alkohol, merokok dan rendahnya tingkat kepatuhan terhadap pengobatan (Kelly, et al. 2011). Adanya penderita kambuh ini dapat meningkatkan sumber penularan TB di lingkungan masyarakat dan dapat menghambat tercapainya tujuan pengobatan dan pengendalian TB. 2.6
Faktor Risiko Kekambuhan Tuberkulosis Teori roda terdiri atas manusia dengan substansi genetik dan host pada
bagian intinya dan komponen lingkungan biologi, sosial, fisik mengelilingi penjamu (Murti, 1995). Beberapa penelitian terkait faktor yang mempengaruhi kekambuhan TB terdapat faktor yang berpengaruh terhadap kekambuhan TB dan tidak berpengaruh terhadap kekambuhan TB. Berikut merupakan hasil analisis penelitian tentang TB kambuh.
12
1.
Umur Umur mempunyai hubungan dengan besarnya risiko terhadap penyakit TB
paru dan sifat resistensi pada berbagai kelompok umur tertentu. Berdasarkan hasil penelitian Triman (2002), umur penderita yang mengalami kekambuhan berkisar 25-50 tahun 71,4%, sedangkan umur > 50 tahun 28,6%. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ubon (2010) 64,7% penderita yang mengalami kekambuhan TB paru adalah pada usia 25-44 tahun. 2.
Jenis Kelamin Insiden berbagai penyakit diantara jenis kelamin dapat berbeda. Hal ini
dapat disebabkan karena pajanan terhadap agent bagi setiap jenis kelamin berbeda. Kebiasaan laki-laki merokok, minum alkohol dan keluar malam hari dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh hal ini menyebabkan laki-laki lebih rentan mengalami kekambuhan TB (Dhewi 2011). Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Aulia (2009) menyatakan bahwa perempuan memiliki risiko lebih tinggi untuk kambuh dibanding laki-laki. 3.
Status sosial ekonomi Sosial ekonomi yang rendah berpengaruh pada kekambuhan TB paru.
Hasil penelitian Triman (2002) menyatakan bahwa sosial ekonominya rendah berpengaruh terhadap kekambuhan TB paru. 4.
Pengetahuan penderita Pengetahuan dan pemahaman penderita memegang peranan penting dalam
keberhasilan pengobatan TB paru. Penelitian yang dilakukan oleh Ruslantri (2013) menemukan bahwa pengetahuan berhubungan dengan kekambuhan TB paru (OR=17,3; p=0,0001).
13
5.
Sikap penderita Sikap merupakan salah satu komponen perilaku, dimana perilaku yang
mempengaruhi status kesehatan anggota masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh Ruslantri (2013) menemukan bahwa sikap berhubungan dengan kekambuhan TB paru. 6.
Kepatuhan minum obat Kepatuhan minum obat adalah suatu perilaku dari seseorang yang tetap
melakukan aktivitasnya. Pengobatan TB di Kota Denpasar dapat diperoleh di Rumah Sakit, klinik, dokter praktik swasta dan puskesmas. Berdasarkan hasil wawancara awal yang dilakukan oleh peneliti dengan pemegang program TB tidak ada masalah dalam penyediaan obat TB. Hasil penelitian Ika (2015) menyatakan bahwa angka insiden ketidakteraturan minum obat TB menggunakan analisis repeated event sebesar 5,1 per 1.000 orang hari dengan memperhitungkan pasien yang mengalami lebih dari sekali ketidakteraturan selama masa pengobatan. Selama pengamatan dalam periode pengobatan TB, sebanyak 58,7% pasien mengalami ketidakteraturan minum obat dan 72,7% puskesmas di Kota Denpasar memberikan obat kepada pasien dengan dosis maksimal untuk 1 minggu pada fase intensif sedangkan pada fase lanjutan 63,6% puskesmas memberikan obat kepada pasien dengan dosis maksimal untuk 2 minggu. Berdasarkan kesepakatan di Dinas Kesehatan Kota Denpasar, durasi pemberian obat dilakukan setiap 1 minggu, namun beberapa puskesmas memiliki kebijakan lokal sesuai dengan kebutuhan setempat. Terkait dengan pemberian obat pada fase peralihan kepada pasien apabila terjadi keterlambatan hasil pemeriksaan dahak pada akhir
14
fase intensif sebanyak 36,4% puskesmas tetap memberikan obat fase sisipan tanpa menunggu hasil dahak, 27,3% memberikan obat fase lanjutan tanpa menunggu hasil dahak, 27,3% tidak memberikan obat hingga hasil dahak diketahui, dan 9,1% puskesmas menyatakan tidak pernah mengalami keterlambatan tersebut. Sedangkan untuk pemberian obat apabila terjadi keterlambatan hasil pemeriksaan dahak pada akhir fase sisipan dan bulan kelima, semua puskesmas telah menerapkan cara yang sama yaitu dengan tetap memberikan obat fase lanjutan. OAT harus diminum teratur sesuai jadwal, terutama pada fase pengobatan intensif untuk menghindari terjadinya kegagalan pengobatan serta terjadinya kekambuhan (Supriyono, et al. 2007). Hasil penelitian di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta ada hubungan antara riwayat minum obat dengan kejadian tuberkulosis relaps. Pada tingkat kepercayaan 95% diketahui odds ratio sebesar 2,27 hal ini berarti penderita TB paru berisiko kambuh karena riwayat minum obat tidak teratur sebesar 2,27 kali dibandingkan dengan penderita yang teratur meminum obat. Penelitian yang dilakukan di India Selatan menemukan bahwa riwayat minum obat tidak teratur merupakan faktor risiko kekambuhan (Gopi, 2001). Angka insiden ketidakteraturan minum obat TB di Puskesmas Kota Denpasar menggunakan analisis repeated event sebesar 5,1 per 1.000 orang hari dengan
memperhitungkan
pasien
yang
mengalami
lebih
dari
sekali
ketidakteraturan selama masa pengobatan dan sebanyak 58,7% pasien mengalami ketidakteraturan minum obat (Ika, 2015). Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengetahui faktor risiko kepatuhan minum obat terhadap kekambuhan pasien tuberkulosis paru di Kota Denpasar.
15
7.
Status konversi Luasnya lesi bakteriologis TB paru juga ditemukan terkait dengan
kemungkinan kekambuhan. Tidak terjadinya konversi sputum pada akhir fase intensif dapat mengindikasikan rendahnya tingkat kepatuhan pasien dalam pengobatan, rendahnya kualitas OAT, penggunaan OAT dengan dosis yang tidak sesuai dengan yang diresepkan, lambatnya penyembuhan akibat luasnya kavitas dan tingginya
beban bakteri TB sejak awal pengobatan,
terdapatnya
Mycobacterium tuberculosis yang resisten OAT dan tidak merespon terhadap pengobatan lini pertama. Kegagalan konversi dahak setelah dua bulan pengobatan TB menyebabkan penderita TB bersifat infeksius pada waktu yang lebih lama dibandingkan penderita yang mengalami konversi. Pasien yang tidak mengalami konversi sputum pada tahap pengobatan intensif, kemudian tidak juga mengalami konversi pada tahap lanjutan semakin meningkatkan risiko untuk mengalami kekambuhan dan menjadi suspekTB MDR (Babalik, et al. 2012). Hasil penelitian di Korea oleh Kyung (2014) menemukan dahak yang tetap positif pada 2 bulan pengobatan merupakan faktor risiko kekambuhan tuberkulosis (OR=15,56, 95% CI 2,56 - 98,71, p = 0,003). Hasil penelitian yang dilakukan di Atlanta oleh The Tuberculosis Trials Consortium (2002) menemukan bahwa dahak yang tetap positif setelah 2 bulan pengobatan merupakan prediktor signifikan dari kekambuhan tuberkulosis. Hasil penelitian yang dilakukan di India Selatan oleh Gopi (2001) menemukan bahwa kegagalan konversi bukan merupakan faktor risiko kekambuhan pasien TB paru (OR=1,0, 95% CI 0,6-1,8).
16
8.
Status gizi Kekurangan gizi dapat disebabkan karena asupan gizi yang tidak
seimbang. Sebuah penelitian yang dilakukan di Semarang menunjukkan bahwa ada hubungan antara status gizi dengan kekambuhan TB paru (Ruslantri, 2013). Umumnya orang yang berpengahasilan rendah tidak dapat memenuhi kebutuhan gizinya dengan baik. Padahal orang yang tidak dapat memenuhi gizinya dengan baik dapat mengalami penurunan daya tahan tubuh. Kondisi demikian kalau dibiarkan dan tidak mendapatkan perhatian yang serius dapat menyebabkan kondisi penderita dari hari ke hari makin lemah, sehingga lebih rentan terinfeksi Mycobacterium tuberculosis kembali. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengetahui faktor risiko status gizi terhadap kekambuhan pasien tuberkulosis paru di Kota Denpasar. 9.
Penyakit penyerta DM Adanya penyakit lain yang menyertai seperti Diabetes Mellitus (DM) dan
infeksi HIV-AIDS dapat menyebabkan kegagalan pengobatan TB paru (Laporan PPTI, 2012). Diabetes Mellitus dapat meningkatkan frekuensi maupun tingkat keparahan suatu infeksi. Hal tersebut disebabkan oleh adanya abnormalitas dalam imunitas yang diperantarai oleh sel dan fungsi fagosit berkaitan dengan hiperglikemia, termasuk berkurangnya vaskularitas. Penyakit penyerta DM merupakan faktor risiko kekambuhan TB paru (Pedro, 2007). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ruslantri (2013) bahwa penyakit penyerta tidak berhubungan dengan kekambuhan TB paru (p=0,725).
17
10.
Kebiasaan merokok Kebiasaan merokok dapat mengganggu kesehatan, tidak dapat dipungkiri
lagi banyak penyakit yang terjadi akibat dari kebiasaan merokok. Hasil penelitian Joanna et al. (2008) menyebutkan bahwa merokok berhubungan dengan kekambuhan TB paru (OR=2,53, 95% CI 1,23-5,21, p=0,016). Penelitian yang dilakukan oleh Sianturi (2013) menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kekambuhan TB paru di BKPM Semarang (p=1,000). Banyak fakta yang menyatakan bahwa perilaku merokok merupakan penyebab utama penyakit paru, termasuk tuberkulosis. Pajanan terhadap tembakau, baik secara aktif maupun pasif, meningkatkan risiko timbulnya kekambuhan tuberkulosis paru. Oleh karena itu menarik untuk dilihat lebih lanjut faktor risiko pajanan asap rokok terhadap kekambuhan pasien tuberkulosis paru di Kota Denpasar. 11.
Faktor resistensi Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT TB resisten bisa terjadi akibat pengobatan TB yang tidak tepat atau tidak
standar. Penelitian yang dilakukan di Vietnam oleh Quy (2000) menemukan bahwa resistensi obat primer merupakan faktor risiko untuk gagal dan kekambuhan tuberkulosis. Penelitian yang dilakukan di India Selatan oleh Gopi (2001) menemukan bahwa pasien yang resistensi obat awal terhadap isoniazid dan rifampisin memiliki risiko 4 kali untuk mengalami kekambuhan tuberkulosis (OR=4,8, 95% CI 2,0-11,6). TB MDR dan polyresistance obat berkontribusi terhadap tingginya tingkat kekambuhan dan kematian setelah pengobatan berhasil.
18
12.
Kontak serumah Khuram (2009) menyatakan bahwa orang yang pernah kontak dengan
penderita TB paru berisiko 3,74 kali untuk menderita TB paru dibandingkan dengan orang yang tidak pernah kontak dengan penderita TB paru. Hasil penelitian Ruslantri (2013) bahwa tidak ada hubungan kontak serumah dengan kekambuhan TB paru (p=0,248). Berdasarkan wawancara dengan petugas TB di puskesmas, kebanyakan pasien TB merupakan penduduk pendatang dengan tingkat mobilisasi yang cukup tinggi dan kondisi perumahan yang padat. Oleh karena itu menarik untuk dilihat lebih lanjut faktor risiko kontak serumah terhadap kekambuhan pasien tuberkulosis paru di Kota Denpasar. 13.
Pencahayaan Masuknya cahaya matahari ke dalam rumah diharapkan dapat membunuh
kuman TB yang dikeluarkan oleh penderita pada saat batuk, sehingga jumlah kuman dalam rumah dapat dikurangi dan penularan juga berkurang. Persyaratan pencahayaan rumah sehat menurut Kemenkes No. 829/Menkes/SK/VII/1999 adalah pencahayaan dengan intensitas penerangan minimal 60 lux dan tidak menyilaukan mata. Hasil penelitian Triman (2002) menyebutkan bahwa tidak ada hubungan antara pencahayaan dengan kekambuhan TB paru (p=1,000). 14.
Ventilasi Standar luas ventilasi sesuai Kepmenkes Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999
adalah 10% dari luas lantai. Hasil penelitian Sutiasih (2013) menyebutkan bahwa ventilasi tidak memenuhi syarat merupakan faktor risiko TB paru. Hasil penelitian Triman (2002) menemukan bahwa penderita tuberkulosis yang tinggal dengan
19
ventilasi tidak memenuhi syarat mempunyai kemungkinan 3 kali untuk kambuh dibanding penderita yang tinggal dengan ventilasi yang memenuhi syarat OR=2,9 (95%CI: 1,25-6,98). Ventilasi kamar yang memenuhi syarat memungkinkan adanya pergantian udara dalam kamar, sehingga dapat mengurangi kemungkinan penularan pada orang lain seiring dengan menurunnya konsentrasi kuman. Hasil penelitian tersebut di atas menunjukkan masih adanya perbedaan. Oleh karena itu menarik untuk dilihat lebih lanjut faktor risiko ventilasi terhadap kekambuhan pasien tuberkulosis paru di Kota Denpasar. 15.
Kepadatan hunian rumah Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Kepmenkes RI)
No.829/Menkes/SK/VII/1999 menyebutkan bahwa syarat perumahan sederhana sehat minimum 8 m²/orang. Untuk kamar tidur diperlukan minimum 2 orang. Hasil penelitian Rusnoto et al (2005) menemukan bahwa kepadatan rumah berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru (OR=5,983). Sebuah studi penelitian yang dilakukan oleh Gustafson (2003) menemukan bahwa kepadatan rumah merupakan faktor risiko untuk terjadinya kekambuhan tuberculosis. Hasil penelitian Ruslantri (2013) bahwa kepadatan hunian kamar tidak berhubungan dengan kekambuhan TB paru.