Hubungan Pemeriksaan Dahak Dengan Kelainan Radiologis Pada Penderita TBC Paru Dewasa Hilaluddin Sembiring Bagian Paru Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
I.
PENDAHULUAN Tuberkulose paru adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman mycobacterium TBC. Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat terutama di negara yang sedang berkembang. (3) Di Indonesia, berbagai upaya telah ditempuh dalam penyakit ini, salah satu diataranya adalah penemuan kasus secara aktif atau pasif dan mengobatinya. Dalam penemuan syarat mutlak untuk menegakkan diagonose. Salah satau diantaranya adalah dengan memeriksa dahak penderita. Namun tidak semua penderita TBC Paru mengandung kuman mycobacterium dalam dahaknya. Menurut K. Toman, untuk menemukan 1 kuman pada rata–rata lapangan pandang pada pemeriksaan mikroskop diperlukan jumlah kuman sebanyak 10/ml dahak (8). Pemeriksaan radiografis dapat menujukkan bahwa tranmisi basil tuberkulose pada penderita telah berhasil menyerbankan kelainan specifik (7). Tapi gambaran radiologis tidak dapat menilai apakah proses aktif atau tidak, sehingga dalam menilai suatu kasus yang dicurigai TBC perlu kombinasi antara ke 2 pemeriksaan ini ditambah pemeriksaan lainnya. Bertitik tolak dari keterangan di atas penulis berminat untuk meneliti hubungan antara pemeriksaan dahak dan kelainan radiologis pada penderita TBC Paru dewasa di UPF. Para RS. Dr. Pringadi Medan. Hasil penelitian ini natinya mengkin dapat menambah bahan dalam meniali kasus–kasus penderita TBC paru dewasa sehingga dapat diberi terapy yang terapy yang tepat guna dan berhasil guna, sehingga dapat mengurangi rantai penularan dan angka kesakitan penderita TBC pada umumnya. II.
BAHAN DAN CARA KERJA Dari hasil April s/d Juli 1988 dikumpulkan penderita baru yang belum pernah diobati, yang datang berobat ke Poliklinik lab. Paru FK.USU / RS. Dr. Pringadi / BP4 Medan. Dari penderita baru tersebut didapat 68 orang penderita KP, berarti ditemukannya basil tahan asam. Kemudian dicatat hasil pemeriksaan radiologisnya. Direct smaar dibuat secara Kinyoun–Gabbet Methode, dan hasilnya dibaca menurut Ala Scale (American Lung Association in USA). (2) Negatif (-) Ragu-ragu Positip (+) Positip (++) Positip (+++)
: tak ada basil : berarti 1-2 basil / sediaan : berarti ditemukan 3-9 basil dalam satu sediaan : berarti ditemukan lebih 10 basil dalam 1 sediaan. : berarti ditemukan lebih dari satu basil tiap lapangan pandang. 1
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
Kelainan radiologis gambaran paru menurut klasifikasi The National Tuberculosis Assosiation of the USA (1961). (1) adalah sebagai berikut : 1. Minimal lesion : a. Infiltrat kecil tanpa kaverne b. Mengenai sebahagian kecil dari satu paru atau keduanya. c. Jumlah keseluruhan paru yang ditemui tanpa memperhitungkan distribusi tidak lebih dari luas antara persedian chondrosternal ke-II sampai copus “vertebra th.v. 2. Moderately advanced lesion Dapat mengenai sebelah paru atau kedua paru tetapi tidak melebihi ketentuan sebagai berikut: a. Bercak inflitrat tersebar tidak melebihi volume sebelum paru. b. Infiltrat yang mengelompok yang luasnya tidak melebihi 1/3 volume sebelum paru. c. Diameter kaverne kalau ada tidak melebihi dari 4 cm. 3. Fax advanced lesion Lesi melewati moderately advanced lesion, atau ada kaverne yang sangat besar.
III.
HASIL PEMERIKSAAN Distribusi umur : yang termuda : 16 tahun yang tertua : 70 tahun
Tabel I Umur 15 – 24 25 – 34 35 – 44 45 – 54 55 – 64 65 Jumlah
Pria 6 18 11 8 7 3 53 77,9%
Wanita 2 6 3 1 2 1 15 22%
Jumlah 8 24 14 9 9 4 68
% 11,7 35,2 20,5 13,2 13,2 5,8
Dari tabel I dapat dilihat bahwa penderita terbanyak di jumpai pada umur 25 – 44 tahun, 38 orang 55%. Hal ini berarti para penderita TBC Paru banyak dijumpai dikalangkan usia produktif. Tabel II Lesi Minimal Mod. Far. Adv.
+ 10 55,5% 4 20% 1 3,3%
Derajat kepositi ++ +++ 5 27, 7% 3 16, 6% 10 50% 6 30% 14 40% 15 50%
Jumlah
%
18 20 30
26, 4 29, 4 44,1 2
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
Dari tabel II ini dapat kita lihat bahwa : 1. Pada kelainan dengan minimal lesion di dapatkan : 10 orang penderita dengan pemeriksaan BTA (+) : 55, 5% 5 orang penderita dengan pemeriksaan BTA (+) : 27, 7% 3 orang penderita dengan pemeriksaan BTA (+) : 16, 6% 2.
Pada kelinan moderately advanced didapatkan : BTA + : 1 orang 3,3% BTA ++ : 14 orang 46,6% BTA +++ : 15 orang 50%
Dari data tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa detajat kepositipan akan liebih besar pada paru dengan kelainan yang lebih besar atau lebih luas. Jumalah penderita yang banyak dijumpai adalah kelompok far advanced lesion sebanyak 30 orang, 44, 1% sedangkan minimal lesion 18 orang 26, 4% dan moderately advanced 20 orang 29, 4%. Kemungkinan ini disebabkan oleh karena penderita datang berobat setelah parah atau pun jarang memriksakan diri untuk pemeriksaan kesehatan sehingga tidak menyangka bahwa dirinya telah di hinggapi suatu penyakit. Tabel III Kelainan Kaverne (-) Kaverne (+)
+ 17 56,6% 3 7,8%
Derajat kepositipan ++ +++ 13 43,3% 11 28,9% 24 15%
Jumlah
%
30 38
44, 1% 55, 1%
Dari tabel III dapat dilihat bahwa : Pada kelainan paru tanpa kaverne, pemeriksaan dengan : BTA (+) : 17 orang : 56, 6% BTA (++) : 13 orang : 43, 3% BTA (+++) : Pada kelainan paru dengan caverna, dijumpai pemeriksaan sputum dengan : BTA (+) : 3 orang : 7, 8% BTA (++) : 11 orang : 28, 9% BTA (+++) : 24 orang : 63,15% Pada kelainan paru tanpa kaverne di dapat jumlah penderita dengan BTA (+) hampir sama dengan BTA (++). Sedangkan kelianan paru dengan kaverne didapatkan jumlah penderita dengan pemeriksaan BTA (+++) lebih banyak dijumpai bila dibandingkan dengan hasil pemeriksaan sputum BTA (++) dan jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan hasil pemeriksaan BTA sputum (+). Dari gambaran tersebut diatas dapat diambil kesimpulan bahwa derajat kepositipan lebih besar dijumpai pada kelainan paru dengan kaverne.
3 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
IV.
PEMBAHASAN Pemeriksaan sputum dan foto thoraks merupakan jalinan yang sangat logis untuk dikerjakan pada seorang penderita dengan gejala yang mencurigakan akan tuberculosis (6) . Dengan kedua pemeriksaan tersebut juga dapat dinilai sejumlah mana kerusakan yang telah timbul pada paru sehingga perlu ditetapkan sikap dalam menetukan program therapy. Pada penelitian ini ternyata dari 68 orang pederita TBC paru 18 orang (26, 4%) dengan kelainan dengan minimal lesion, 20 orang (29, 4%) dengan kelainan moderately advanced dan kelainan dengan far advanced lesion 30 orang (44, 1%). Dari penelitian ini ternyata bahwa pada tabel II kelainan minimal sekalipun masih dijumpai pemeriksaan sputum dengan BTA (+++), 3 orang (16,6) dan pada kelianan far advanced lesion hasil pemeriksaan BTA sputum (+) 1 orang (3, 3%). Banyak factor yang mempengaruhi hasil pemeriksaan dahak antara lain : Waktu perawatan tepat Pengambilan bagian dahak yang respresentatif Waktu pemeriksaan mikroskopik (15 menit) Sediaan yang positip haus dibuang (tidak boleh di pakai lagi). Dari 68 penderita TBC paru ternyata, umur yang paling banyak dikenai adalah 25-44 tahun (usia produktif) yaitu berkisar 55, 7 dan ini sesuai dengan literature (1,3,4). Pada kelainan dengan kaverne, dijumpai pada pemeriksaan sputum BTA (++) 11 orang dan BTA (+++) 24 orang. Bila kedua kelompok ini digabung dan dibandingkan dengan kelinan kaverne dengan BTA (+) akan terdapat perbandingan 35:3. Jadi lebih 11 kali lebih banyak dari BTA (+). Dari gambaran tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa derajat kepositipan lebih besar pada kelainan paru dengan adanya caverne. AW Susilo dalam naskah lengkap kongres I DPI I edisi II mendapat bahwa derajat kepositipan dahak pada pemeriksaan mikroskop lebih dapat mencerminkan luas kelainan radiologis dari pada besarnya ukuran kaverne (7). KESIMPULAN : 1. Telah dilakukan pemeriksaan becteriologis dan radiologis pada 68 orang penderita TBC paru 2. Derajat kepositipan pada pemeriksaan dahak dijumpai pada kelainan yang lebih luas atau dengan adanya kaverne. VII.
KEPUSTAKAAN
1. Crofton, J and Douglas, A: Respiratory diseases, 3 rd ed Blackwell Scientifc Publication, Oxford, p. 272, 1984. 2. Bujika, A: Minimum Essentials of laboratory procedure For Tuberculosis Controle. The Japan International Cooperation Agency, r.38, 1986. 3. Hinshaw, H.C: Disease of Chest, 4th ed, Saunders, Tokyo p. 306, 1984. 4. Julianti, Barus, AP dan Tarigan, HMM: Pederita Tuberkulosis tersangka di BP4 Medan, Kumpulan Naskah Konas III I DPI, Medan, hal. 171. h 1983.
4 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
5. Peetoustan, E : Arti Pemeriksaan Bakteriologis pada Tuberkulosis Paru. Tuberkulosis Paru: Pedoman Penataran Diagnostik dan Terapi, hal.17, FKUI, Jakarta, 1985. 6. Suryatenggara, W.: Gambaran Radiologis Tuberkulosis Paru. Tuberkulosis Paru: Pedoman Penataan Diagnostik dan Terap, FK UI Jakarta, hal. 21. 1981. 7. Susilo, AW.: Hubungan antara Pemeriksaan dahak dan kelainan Radiografi penderita Tuberkulosis Paru sebelum Penggobatan specifik, kumpulan Naskah Lengkap Kongres I DPI Edisi II hal.213-214. 8. Toman. K.: Tuberculosis, Case Finding and Chemotherapy, page 7, WHO, Geneva, 1979.
5 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara