BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Standard Precautions Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), Standard Precautions dikembangkan dari universal precautions dengan menggabungkan dan menambah tahapan pencegahan yang dirancang untuk melindungi petugas kesehatan gigi dan pasien dari patogen yang dapat menyebar melalui darah dan cairan tubuh yang lain. Standar ini harus dilakukan untuk semua pasien ketika melakukan tindakan yang melibatkan kontak dengan darah, semua cairan tubuh, sekresi, ekskresi (kecuali keringat), kulit dengan luka terbuka dan mukosa. Standard Precaution merupakan langkah-langkah yang perlu diikuti ketika melakukan tindakan yang melibatkan kontak dengan darah, semua cairan tubuh dan sekrsesi, ekskresi (kecuali keringat), kulit dengan luka terbuka dan mukosa. Prosedur standard precaution bertujuan untuk melindungi dokter gigi, pasien dan staf dari paparan objek yang infeksius selama prosedur perawatan berlangsung. Pencegahan yang dilakukan adalah evaluasi pasien, perlindungan diri, sterilisasi instrumen, desinfeksi permukaan, penggunaan alat sekali pakai dan penanganan sampah medis (Center for Disease Control and Prevention, 2003). 2.1.1 Evaluasi Pasien Harus diketahui riwayat kesehatan yang lengkap dari setiap pasien dan diperbaharui pada setiap kunjungan yaitu nama, usia, jenis kelamin, suku, status
Universitas Sumatera Utara
perkawinan, pekerjaan, alamat dan nomor telepon. Riwayat penyakit yang pernah diderita maupun yang sedang diderita, adanya penyakit keturunan harus dicatat, demikian pula keadaan sosial ekonominya, pendidikannya, apakah ia pengguna narkoba atau peminum minuman keras, semua hal-hal tersebut harus diketahui. Hal ini karena dari data tersebut dapat juga diperoleh informasi bahwa pasien tersebut merupakan orang yang beresiko tinggi terkena penyakit infeksi, seperti orang yang bekerja dibidang kesehatan. 2.1.2 Perlindungan Diri Yang termasuk perlindungan diri adalah mencuci tangan, pemakaian baju praktek, penggunaan sarung tangan, penggunaan kaca mata pelindung, penggunaan masker, penggunaan rubber dam dan imunisasi. 1. Cuci Tangan Mencuci tangan dengan sabun perlu dilakukan setiap sebelum dan sesudah merawat pasien. Setiap kali selesai perawatan, sarung tangan harus dibuang dan tangan harus dicuci lagi sebelum mengenakan sarung tangan yang baru. Prosedur mencuci tangan yang benar adalah sebagai berikut : a. Tangan dibasahkan dengan air di bawah kran atau air mengalir. b. Sabun cair yang mengandung zat antiseptik dituang ketangan dan digosok sampai berbusa. c. Kedua telapak tangan digosok sampai ke ujung jari. Selanjutnya, kedua bagian punggung tangan digosok. Jari dan kuku serta pergelangan tangan juga dibersihkan. Semua ini dilakukan selama sekitar 10-15 detik.
Universitas Sumatera Utara
d. Tangan dibilas bersih dengan air mengalir. e. Tangan dikeringkan dengan menggunakan tisu. Mengeringkan tangan dengan kertas
tisu
adalah
lebih
baik
dibandingkan
mengeringkan
tangan
menggunakan mesin pengering tangan, karena mesin pengering tangan umumnya menampung banyak bakteri. 2. Pemakaian Jas Praktek Dokter gigi dan stafnya harus memakai jas praktek yang bersih dan sudah dicuci. Jas tersebut harus diganti setiap hari dan harus diganti saat terjadi kontaminasi. Jas praktek harus dicuci dengan air panas dan deterjen serta pemutih klorin, bahkan jas yang terkontaminasi perlu penanganan tersendiri. Bakteri patogen dan beberapa virus, terutama virus hepatitis B dapat hidup pada pakaian selama beberapa hari hingga beberapa minggu. 3. Penggunaan Sarung Tangan Semua dokter gigi dan stafnya harus memakai sarung tangan lateks atau vinil sekali pakai. Hal ini untuk melindungi dokter gigi, staf dan pasien. Tujuan penggunaan sarung tangan adalah untuk mencegah bersentuhan langsung dengan darah, saliva, mukosa, cairan tubuh, atau sekresi tubuh lainnya dari penderita. Sarung tangan vinil dapat dipakai untuk mereka yang alergi terhadap lateks. Sarung tangan harus diganti setiap selesai perawatan pada setiap pasien. Ada tiga macam sarung tangan yang dipakai dalam bidang kedokteran gigi, diantaranya :
Universitas Sumatera Utara
a. Sarung tangan lateks yang bersih harus digunakan pada saat dokter gigi memeriksa mulut pasien atau merawat pasien tanpa kemungkinan terjadinya perdarahan. b. Sarung tangan steril harus digunakan saat melakukan tindakan bedah atau mengantisipasi kemungkinan terjadinya perdarahan pada perawatan. c. Sarung tangan heavy duty harus dipakai saat membersihkan alat, permukaan kerja atau saat menggunakan bahan kimia. 4. Penggunaan Masker Pemakaian masker seperti masker khusus untuk bedah sebaiknya digunakan pada saat menggunakan instrumen berkecepatan tinggi untuk mencegah terhirupnya aerosol yang dapat menginfeksi saluran pernafasan atas dan bawah. Efektifitas penyaringan dari masker tergantung pada bahan yang dipakai (masker polipropilen lebih baik dari masker kertas) dan lama pemakaian (efektif 30 – 60 menit). Sebaiknya menggunakan satu masker untuk satu pasien. 5. Penggunaan Kacamata Pelindung Kacamata pelindung harus dipakai dokter gigi dan stafnya untuk melindungi mata dari debris yang diakibatkan oleh high speed handpiece dan pembersihan karang gigi baik secara manual maupun ultrasonik. Perlindungan mata dari saliva, mikroorganisme, aerosol dan debris sangat diperlukan untuk dokter gigi maupun staf. 6. Penggunaan Rubber Dam Rubber dam harus digunakan pada operasi untuk menghindari terjadinya aerosol karena tidak terjadi pengumpulan saliva diatas rubber dam. Selain untuk
Universitas Sumatera Utara
mengurangi kontak instrumen dengan mukosa, rubber dam juga berguna untuk mengurangi terjadinya luka dan perdarahan. 7. Imunisasi Pelindung yang paling mudah digunakan dan yang paling jarang digunakan sebagai sumber perlindungan untuk dokter gigi dan staf adalah imunisasi, misalnya heptavax-B untuk perlindungan terhadap hepatitis B. Imunisasi hepatitis B terdiri atas tiga tahap, pertama pada hari yang ditentukan, tahap kedua pada satu bulan kemudian, dan tahap ketiga pada enam bulan kemudian. CDC sangat menganjurkan agar personil gigi diimunisasi hepatitis B. Imunisasi lain yang juga dianjurkan antara lain adalah imunisasi terhadap penyakit mumps, measles dan rubella (MMR), difteri, pertusis, dan tetanus (DPT), infuenza, poliomyelitis dan TBC (BCG). 2.1.3 Sterilisasi Instrumen Sterilisasi adalah setiap proses (kimia atau fisik) yang membunuh semua bentuk hidup terutama mikroorganisme termasuk virus dan spora bakteri. Sterilisasi dilakukan dalam 4 tahap, yaitu : 1. Pembersihan sebelum Sterilisasi Sebelum disterilkan, alat-alat harus dibersihkan terlebih dahulu dari debris organik, darah dan saliva. Dalam kedokteran gigi, pembersihan dapat dilakukan dengan cara pembersihan manual atau pembersihan dengan ultarsonik. Pembersihan dengan memakai alat ultrasonik dengan larutan deterjen lebih aman, efisien dan efektif dibandingkan dengan penyikatan. Gunakan alat ultrasonik yang ditutup selama 10 menit. Setelah dibersihkan, instrumen tersebut dicuci dibawah aliran air dan
Universitas Sumatera Utara
dikeringkan dengan baik sebelum disterilkan. Hal ini penting untuk mendapatkan hasil sterilisasi yang sempurna dan untuk mencegah terjadinya karat. 2. Pembungkusan Setelah dibersihkan, instrumen harus dibungkus untuk memenuhi prosedur klinik yang baik. Instrumen yang digunakan dalam kedokteran gigi harus dibungkus untuk sterilisasi dengan menggunakan nampan terbuka yang ditutup dengan kantung sterilisasi yang tembus pandang, nampan yang berlubang dengan penutup yang dibungkus dengan kertas sterilisasi, atau dibungkus secara individu dengan bungkus untuk sterilisasi yang dapat dibeli. 3. Proses Sterilisasi Sterilisasi dapat dicapai melalui metode berikut: a. Pemanasan basah dengan Tekanan Tinggi (Autoclave) Cara kerja autoclave sama dengan Pressure cooker. Uap jenuh lebih efisien membunuh mikroorganisme dibandingkan dengan maupun pemanasan kering. Instrumen tersebut dapat dibungkus dengan kain muslin, kertas, nilon, aluminium foil, atau plastik yang dapat menyalurkan uap. b. Pemanasan Kering (Oven) Penetrasi pada pemanasan kering kurang baik dan kurang efektif dibandingkan dengan pemanasan basah dengan tekanan tinggi. Akibatnya, dibutuhkan temperatur yang lebih tinggi 1600C atau 1700C dan waktu yang lebih lama (2 atau 1 jam) untuk proses sterilisasi. Menurut Nisengard dan Newman suhu
Universitas Sumatera Utara
yang dipakai adalah 1700C, selama 60 menit, untuk alat yang dapat menyalutkan panas adalah 1900C, sedangkan untuk instrumen yang tidak dibungkus 6 menit. c. Uap Bahan Kimia (Chemiclave) Kombinasi dari formaldehid, alkohol, aseton, keton, dan uap pada 138 kPa merupakan cara sterilisasi yang efektif. Kerusakan mikroorganisme diperoleh dari bahan yang toksik dan suhu tinggi. Sterilisasi dengan uap bahan kimia bekerja lebih lambat dari autoclave yaitu 138-176 kPa selama 30 menit setelah tercapai suhu yang dikehendaki. Prosedur ini tidak dapat digunakan untuk bahan yang dapat dirusak oleh bahan kimia tersebut maupun oleh suhu yang tinggi. Umumnya tidak terjadi karatan apabila instrumen telah benar-benar kering sebelum disterilkan karena kelembaban yang rendah pada proses ini sekitar 7-8%. Keuntungan sterilisasi dengan uap bahan kimia adalah lebih cepat dibandingkan dengan pemanasan kering, tidak menyebabkan karat pada instrumen atau bur dan setelah sterilisasi diperoleh instrumen yang kering. Namun instrumen harus diangin-anginkan untuk mengeluarkan uap sisa bahan kimia. 4. Penyimpanan yang Aseptik Setelah sterilisasi, instrumen harus tetap steril hingga saat dipakai. Penyimpanan yang baik sama penting dengan proses sterilisasi itu sendiri, karena penyimpanan yang kurang baik akan menyebabkan instrumen tersebut tidak steril lagi. Lamanya sterilitas tergantung pada tempat dimana instrumen itu disimpan dan bahan yang dipakai untuk membungkus. Daerah yang tertutup dan terlindung dengan aliran udara yang minimal seperti lemari atau laci merupakan tempat penyimpanan
Universitas Sumatera Utara
yang baik. Pembungkus instrumen hanya boleh dibuka segera sebelum digunakan, apabila dalam waktu satu bulan tidak digunakan harus disterilkan ulang. 2.1.4 Disinfeksi Permukaan Disinfeksi adalah membunuh organisme-organisme patogen (kecuali spora kuman) dengan cara fisik atau kimia yang di lakukan terhadap benda mati. Disinfeksi dapat mengurangi kemungkinan terjadi infeksi. Disinfeksi permukaan dilakukan pada dental unit, kabinet, tuba dan pipa, serta handpiece dan instrumen tangan. Disinfektan yang tidak berbahaya bagi permukaan tubuh dapat digunakan dan bahan ini dinamakan antiseptik. Antiseptik adalah zat yang dapat menghambat atau menghancurkan mikroorganisme pada jaringan hidup, sedangkan disenfeksi digunakan pada benda mati. Disinfektan dapat pula digunakan sebagai antiseptik atau sebaliknya tergantung dari toksisitasnya. Sebelum dilakukan disinfeksi, penting untuk membersihkan alat-alat tersebut dari debris organik dan bahan-bahan berminyak karena dapat menghambat proses disinfeksi. Macam-macam disinfektan yang digunakan di kedokteran gigi, antara lain adalah: 1. Alkohol Larutan etil alkohol atau propil alkohol digunakan untuk mendesinfeksi kulit. Alkohol yang dicampur dengan aldehid digunakan dalam bidang kedokteran gigi untuk mendesinfeksi permukaan, tetapi American Dental Association (ADA) tidak menganjurkan pemakaian alkohol untuk mendisinfeksi permukaan oleh karena cepat menguap tanpa meninggalkan efek sisa.
Universitas Sumatera Utara
2. Aldehid Aldehid merupakan salah satu desinfektan yang populer dan kuat, baik dalam bentuk tunggal maupun kombinasi. Glutaraldehid 2% dapat dipakai untuk mendesinfeksi alat-alat yang tidak dapat disterilkan. Alat yang selesai didisinfeksi, diulas dengan kasa steril kemudian diulas kembali dengan kasa steril yang dibasahi dengan aquades karena glutaraldehid yang tersisa pada instrumen dapat mengiritasi kulit atau mukosa. Operator harus memakai masker, kacamata pelindung dan sarung tangan heavy duty. 3. Biguanid Klorheksidin termasuk biguanid yang digunakan secara luas dalam bidang kedokteran gigi sebagai antiseptik dan kontrol plak. Misalnya, 0,4% larutan pada deterjen digunakan pada surgical scrub (Hibiscrub), 0,2% klorheksidin glukonat pada larutan air digunakan sebagai bahan antiplak (Corsodyl) dan pada konsentrasi lebih tinggi yaitu 2% digunakan sebagai disinfeksi gigi tiruan. Zat ini sangat aktif terhadap bakteri gram (+) maupun gram (-). 4. Senyawa Halogen Hipoklorit dan povidon iodin adalah zat oksidasi dan melepaskan ion halida seperti chloros, domestos dan betadine. Walaupun murah dan efektif zat ini dapat menyebabkan karat pada logam dan cepat diinaktifkan oleh bahan organik. 5. Fenol Fenol merupakan larutan jernih, tidak mengiritasi kulit, dan dapat digunakan untuk membersihkan alat yang terkontaminasi karena tidak dapat dirusak oleh zat
Universitas Sumatera Utara
organik. Zat ini bersifat virusidal dan sporosidal yang lemah. Namun, karena sebagian besar bakteri dapat dibunuh oleh zat ini, banyak digunakan di rumah sakit dan laboratorium. 6. Klorsilenol Klorsilenol merupakan larutan yang tidak mengiritasi dan banyak digunakan sebagai antiseptik seperti Dettol. Aktifitasnya rendah terhadap banyak bakteri dan penggunaannya terbatas sebagai desinfektan. 2.1.5 Penggunaan Alat Sekali Pakai / Disposible Sterilitas dapat dengan mudah dipastikan dengan menggunakan alat –alat sekali pakai/ disposible . Yang paling penting adalah penggunaan jarum suntik yang digunakan untuk anestesi lokal atau bahan lain. Jarum tersebut terbungkus sendirisendiri dan disterilkan, sehingga dijamin ketajaman dan sterilitasnya. Selain jarum suntik, benang dan jarum jahit juga tersedia dalam bentuk sekali pakai. Bilah skalpel dan kombinasi bilah tangkai juga tersedia dalam bentuk steril untuk sekali pemakaian. Disamping itu, cara terbaik untuk mencegah terjadinya penularan penyakit antar pasien adalah menggunakan alat sekali pakai/disposible seperti sarung tangan, masker, kain alas dada, ujung saliva ejektor dan lain-lain. 2.1.6 Penanganan Sampah Medis Pembuangan barang-barang bekas pakai seperti sarung tangan, masker, tisu bekas, dan penutup permukaan yang terkontaminasi darah dan cairan tubuh harus ditangani secara hati-hati dan dimasukkan ke dalam kantung plastik yang kuat dan tertutup rapat untuk mengurangi kemungkinan orang kontak dengan benda-benda
Universitas Sumatera Utara
tersebut. Benda-benda tajam seperti jarum atau pisau skalpel harus dimasukkan dalam tempat yang tahan terhadap tusukan sebelum dimasukkan dalam kantung plastik. Jaringan tubuh juga harus mendapat perlakuan yang sama dengan benda tajam.
2.2 Perilaku Perilaku adalah apa yang apa yang dikerjakan oleh organisme, baik dapat diamati secara langsung atau secara tidak langsung. Menurut Ensiklopedi Amerika, perilaku diartikan sebagai suatu aksi dan reaksi organisme terhadap lingkungannya. Perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari (Robert Kwick, 1974). Menurut Bloom (1908) yang dikutip Notoatmodjo, perilaku dibagi ke dalam 3 domain (ranah/kawasan) yang dilakukan untuk kepentingan tujuan pendidikan. Bahwa dalam tujuan suatu pendidikan adalah mengembangkan atau meningkatkan ketiga domain perilaku tersebut, yang terdiri dari: 1. Ranah kognitif (cognitive domain), 2. Ranah afektif (affective domain), dan 3. Ranah psikomotor (psychomotor domain). Ketiga domain ini dapat diukur dari : 1. Pengetahuan peserta didik terhadap materi pendidikan yang diberikan (knowledge) 2. Sikap atau tanggapan peserta didik terhadap materi pendidikan yang diberikan (attitude) 3. Praktek atau tindakan yang dilakukan oleh peserta didik sehubungan dengan materi pendidikan yang diberikan (practice).
Universitas Sumatera Utara
2.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku Menurut Green (2000), perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu : faktor predisposisi (predisposing factor), faktor pemungkin (enabling factor), dan faktor penguat (reinforcing factor) (Notoatmodjo, 2003; Green, 2000). 1. Faktor Predisposing (Predisposing Factor) terdiri atas: a. Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2003). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2006) kata “tahu” berarti mengerti sesudah melihat (menyaksikan, mengalami atau diajar). Sedangkan arti dari pemahaman adalah hal mengetahui sesuatu, segala apa yang diketahui serta kepandaian. Dalam hal ini, dapat dikatakan efektif bila penerima pesan dapat memperoleh pengetahuan yang didapatnya dari pesan yang disampaikan oleh sumber pengetahuan dan berkenaan dengan sesuatu hal (disiplin ilmu). Pengetahuan dapat diperoleh dari proses belajar yang dapat membentuk keyakinan tertentu sehingga seseorang berperilaku sesuai dengan keyakinan yang diperoleh, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin besar kemampuan menyerap, menerima dan mengadopsi informasi yang didapat (Notoatmodjo, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Sementara Soekamto (1997) berpendapat, pengetahuan merupakan hasil dari tahu setelah melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu yang diperoleh dari pendidikan, pengalaman sendiri maupun orang lain, media massa maupun lingkungan sekitarnya. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya suatu tindakan seseorang (over behaviour). Adanya perubahan perilaku baru pada seseorang merupakan suatu proses yang kompleks dan memerlukan waktu relatif lama di mana tahapan yang pertama adalah pengetahuan, sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru maka harus tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku tersebut bagi dirinya maupun terhadap keluarga atau orang lain (Soekamto, 1997). Kemampuan seseorang dapat dipengaruhi oleh pengetahuan dan ketrampilan, sedangkan pengetahuan dapat diperoleh melalui latihan, pengalaman kerja maupun pendidikan, dan ketrampilan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya sejenis pendidikan, kurikulum, pengalaman praktek dan latihan (Gibson.et al, 2001). Pengetahuan terdiri atas fakta, konsep generalisasi dan teori yang memungkinkan manusia dapat memahami fenomena dan memecahkan masalah. Menurut Gibson.et al, (2001) ada empat cara memperoleh pengetahuan yaitu : 1) Melalui pengalaman pribadi secara langsung atau berbagai unsur sekunder yang memberi berbagai informasi yang sering kali berlawanan satu dengan yang lain;
Universitas Sumatera Utara
2) Mencari dan menerima penjelasan-penjelasan dari orang tertentu yang mempunyai penguasaan atau yang dipandang berwenang; 3) Penalaran deduktif; 4) Pencarian pengetahuan yang dimulai dengan melakukan observasi terhadap hal-hal khusus atau fakta yang nyata (induktif). Menurut Rogers dalam Notoatmodjo (2003) mengatakan bahwa pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya suatu sikap seseorang. Pengetahuan tersebut mempunyai 6 tingkatan sebagai berikut : 1) Awareness (kesadaran), orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek). 2) Interest, orang mulai tertarik kepada stimulus. 3) Evaluation, orang sudah mulai menimbang-nimbang terhadap baik tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya 4) Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru 5) Adoption, subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus. b. Sikap Menurut Rogers dalam Notoatmodjo (2003) sikap merupakan reaksi yang masih tertutup tidak dapat dilihat secara langsung sehingga sikap hanya bisa ditafsirkan dari perilaku yang nampak. Pengertian lain sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu obyek dengan cara tertentu serta merupakan respons evaluatif terhadap pengalaman kognitif, reaksi afeksi, kehendak dan perilaku
Universitas Sumatera Utara
berikutnya. Sikap merupakan respons evaluatif berdasarkan pada proses evaluasi diri disimpulkan berupa penilaian positif atau negatif kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap obyek. Menurut Gibson, et al, (2001) sikap adalah determinan perilaku sebab sikap berkaitan dengan kepribadian dan motivasi. Sebuah sikap adalah perasaan positif atau negatif atau keadaan mental yang selalu disiapkan, dipelajari, dan diatur melalui pengalaman yang diberikan pengaruh khusus pada respons seseorang terhadap orang, obyek-obyek, dan keadaan. Defenisi sikap mempunyai implikasi tertentu pada seseorang yaitu : 1. Sikap dapat dipelajari, 2. Sikap mendefinisikan predisposisi terhadap aspek-aspek yang diberikan, 3. Sikap memberikan dasar perasaan bagi hubungan antar pribadi dan identifikasi dengan yang lain, 4. Sikap diatur dan dekat dengan inti kepribadian. Sikap dapat dirumuskan sebagai kecenderungan untuk merespons secara positif atau negatif terhadap orang, obyek atau situasi tertentu. Sikap mengandung sesuatu penilaian emosional / afektif, kognitif dan perilaku. Sedangkan Rogers dalam Notoatmodjo (2003) membagi sikap dalam 4 tingkatan yaitu : 1) Menerima
(Receiving)
diartikan
sebagai
manusia
(subyek)
mau
memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek) 2) Merespons (Responding) artinya memberikan suatu tanggapan apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan bahwa menunjukkan suatu sikap terhadap ide yang diterima. Karena dengan suatu
Universitas Sumatera Utara
upaya untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan program yang diberikan. Terlepas dari benar dan salah, berarti manusia menerima ide tersebut. 3) Menghargai (Valuing) mengandung arti mengajak orang lain untuk ikut mengerjakan
atau
mendiskusikan
suatu
masalah
dengan
mengukur
kemampuan. 4) Bertanggung jawab (Responsible) bersedia bertanggung jawab atas sesuatu yang sudah dipilih dengan segala resikonya. Sikap (attitude) adalah suatu pernyataan evaluatif positif ataupun negatif terhadap suatu obyek, orang atau peristiwa (Robbins, 1996). Sementara Azwar (1998) membagi sikap menjadi tiga komponen yaitu : a. Keyakinan ide dan konsep terhadap suatu obyek, b. Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu obyek, dan c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave). Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Di dalam penentuan sikap yang utuh pengetahuan, berfikir, berkeyakinan dan emosi memegang peranan sangat penting. Faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap diantaranya adalah: pengalaman pribadi, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama serta faktor emosi dalam diri individu untuk seseorang bereaksi (Azwar, 1998). c. Nilai-nilai Nilai-nilai atau norma yang berlaku akan membentuk perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai atau norma yang telah melekat pada diri seseorang (Green, 2000).
Universitas Sumatera Utara
d. Kepercayaan Seseorang yang mempunyai atau meyakini suatu kepercayaan tertentu akan mempengaruhi perilakunya dalam meghadapi suatu penyakit yang akan berpengaruh terhadap kesehatannya (Green, 2000). Kepercayaan kesehatan (health belief) sebagaimana dikemukakan Anderson, mempunyai ruang lingkup yang cukup luas, yaitu meliputi: penilaian terhadap status sehat sakit, sikap terhadap pelayanan kesehatan dan pengetahuan tentang penyakit. e. Persepsi Persepsi merupakan proses yang menyatu dalam diri individu terhadap stimulus
yang
diterimanya.
Persepsi
merupakan
proses
pengoranisasian,
penginterpretasian terhadap rangsang yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan respons yang menyeluruh dalam diri individu. Orang yang mempunyai persepsi yang baik tentang sesuatu cenderung akan berperilaku sesuai dengan persepsi yang dimilikinya (Sunaryo, 2004; Notoatmodjo, 2003). 2. Faktor-faktor Pendukung (Enabling Factor) Faktor pendukung merupakan faktor pemungkin. Faktor ini bisa sekaligus menjadi penghambat atau mempermudah niat suatu perubahan perilaku dan perubahan lingkungan yang baik (Green, 2000). Faktor pendukung (enabling factor) mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas. Sarana dan fasilitas ini pada hakekatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya suatu perilaku, sehingga disebut faktor pendukung atau faktor pemungkin.
Universitas Sumatera Utara
3.Faktor-faktor Pendorong (Reinforcing Factor) Faktor-faktor pendorong merupakan penguat terhadap timbulnya sikap dan niat untuk melakukan sesuatu atau berperilaku. Faktor pendorong ini mencakup motivasi, program kesehatan, peraturan, undang-undang, kebijakan-kebijakan dan perilaku serta sikap petugas kesehatan yang lain. Perilaku seseorang sangat erat kaitannya dengan profesi yang dijalani, tidak terkecuali dengan profesi dokter gigi. Dalam Undang - Undang Rumah Sakit Nomor 44 Tahun 2009 Pasal 2 disebutkan rumah sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial. Dalam penjelasan lebih lanjut, yang dimaksud dengan “nilai keselamatan
pasien”
adalah
bahwa
penyelenggaraan
rumah
sakit
selalu
mengupayakan peningkatan keselamatan pasien melalui upaya manajemen risiko klinik. Pasal 3 dijelaskan juga yang dimaksud dengan keselamatan pasien (patient safety) adalah proses dalam suatu rumah sakit yang memberikan pelayanan pasien yang lebih aman. Termasuk didalamnya asesmen risiko, identifikasi, dan manajemen risiko terhadap pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan untuk belajar dan menindaklanjuti
insiden,
dan
menerapkan
solusi
untuk
mengurangi
serta
meminimalisir timbulnya risiko. Bagi pihak rumah sakit biasanya dengan membuat peraturan ataupun kebijakan mengenai pencegahan infeksi di rumah sakit dengan menerapkan standard operational prosedur pencegahan misalnya dengan standard precaution ataupun universal precaution.
Universitas Sumatera Utara
2.4 Landasan Teori Perilaku seseorang dipengaruhi oleh 3 faktor utama: faktor predisposisi (predisposing factor) meliputi pengetahuan, sikap, nilai, kepercayaan dan persepsi, faktor pemungkin (enabling factor) meliputi ketersediaan sarana, sumber daya/dana, ketrampilan dan keterjangkauan, dan faktor penguat (reinforcing factor) meliputi motivasi, sistem reward, supervisi, teman, kebijakan/aturan (Notoatmodjo, 2003; Green, 2000). Kajian dalam penelitian ini difokuskan pada faktor pengetahuan, kepercayaan, ketersediaan sarana, supervisi serta kebijakan dan aturan yang dihubungkan dengan perilaku dokter gigi dalam menerapkan standard precaution di rumah sakit.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1 Landasan Teori (Notoatmodjo, 2003; Green, 2000)
Universitas Sumatera Utara
2.5 Kerangka Konsep
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
Universitas Sumatera Utara