BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI
2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan penelitian sebelumnya yang telah berhasil dikumpulkan, diketahui bahwa terdapat beberapa penelitian yang dapat dijadikan acuan dalam melakukan penelitian ini. Adapun penelitian tersebut adalah sebagai berikut. Saleha (2008) mengadakan penelitian berjudul “Citra Wanita Pekerja dalam Masyarakat Jepang Pada Novel Taigan No Kanojo karya Mitsuyo Kakuta (Suatu Analisis Wacana Kritis)”. Penelitian ini menganalisis citra wanita pekerja melalui sudut pandang masyarakat Jepang. Pandangan masyarakat tersebut mengontruksi citra wanita bekerja, baik yang melajang maupun sudah menikah. Wanita Jepang tradisional memiliki citra yang anggun dan merupakan ibu rumah tangga yang baik, wanita tidak seharusnya bekerja di luar rumah. Namun, pada saat terjadinya modernisasi banyak wanita Jepang yang mulai bekerja membantu pembiayaan keluarganya. Dalam penelitian itu, Saleha menggunakan teori sosiologi sastra dan kritik sastra feminis sebagai teori dalam menganalisis masalah yang ada. Hasil penelitian Saleha menunjukkan bahwa ada perbedaan pandangan masyarakat terhadap wanita bekerja yang masih melajang dengan yang telah menikah. Wanita bekerja yang telah menikah ataupun yang masih melajang memiliki kesan yang negatif di dalam masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat memandang citra wanita yang baik adalah wanita yang bekerja di wilayah domestik atau lingkungan rumah tangga saja.
12
13
Dalam penelitian itu Saleha mengawali dengan menganalisis unsur intrinsik novel tersebut. Penganalisisan unsur intrinsik dibagi menjadi dua berdasarkan bab yang ada di dalam novel tersebut. Pembagian berdasarkan bab ini membuat penelitian Saleha menjadi lebih terperinci. Penelitian Saleha juga membahas citra wanita pekerja secara terperinci sehingga mendapatkan hasil yang mengkhusus pada citra wanita pekerja. Namun, Saleha hanya terfokus pada citra wanita pekerja, bukan citra wanita secara umum yang mungkin dapat membingungkan para pembaca. Saleha sudah menganalisis dengan baik, tetapi Saleha tidak menjelaskan terlebih dahulu mengenai citra wanita secara umum. Dia langsung menjelaskan citra wanita secara mengkhusus, yaitu citra wanita bekerja saja. Hal ini dapat menimbulkan pertanyaan pada pembaca karena hasil penelitian tersebut langsung mengkhusus. Selain itu, juga tidak disebutkan kondisi sosial yang memengaruhi tokoh sehingga timbul citra tertentu mengenai wanita pekerja. Oleh karena itu, dalam penelitian ini diteliti citra wanita secara umum untuk lebih menjelaskan citra wanita Jepang yang ada di dalam masyarakat Jepang. Tujuannya adalah agar kekurangan dalam penelitian Saleha terjawab dalam penelitian ini. Di samping itu, diteliti pula mengenai kondisi sosial yang memengaruhi citra tersebut terbentuk. Adapun hubungan penelitian Saleha dengan penelitian ini adalah diharapkan mampu menjadi referensi dalam pengaplikasian teori penelitian ini.
Mandrastuty (2010) meneliti citra wanita dan perjuanganya hak-haknya sebagai wanita dalam penelitian berjudul “Novel Tarian Bumi Karya Oka
14
Rusmini:
Kajian Feminisme”.
Penelitian
Mandrastuty ini
pertama-tama
menganalisis unsur intrinsik novel Tarian Bumi Karya Oka Rusmini. Selanjutnya menganalisis citra wanita dan perjuangan tokoh wanita mewujudkan kesetaraan gender. Metode dan teknik yang digunakan dalam penelitian Mandrastuty adalah teknik studi pustaka, teknik deskriptif analisis, dan metode informal. Hasil penelitian Mandrastuty mendeskripsikan unsur intrinsik, figur tokoh wanita, dan perjuangan tokoh wanita dalam mewujudkan feminisme. Unsur intrinsik pada novel tersebut, seperti tema, penokohan dan perwatakan, latar, alur, dan amanat diharapkan mampu membantu dalam menjawab rumusan masalah selajutnya. Penganalisisan mengenai unsur intrinsik juga membantu penelitian Mandrastuty untuk lebih memahami isi novel tersebut. Mandrastuty juga membahas citra tokoh wanita dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini, yaitu penggambaran citra wanita Bali. Citra wanita yang terdapat dalam novel ini adalah citra wanita bangsawan yang berbeda dengan citra wanita biasa. Citra wanita bangsawan digambarkan ayu, santun, dan menjadi wanita teladan, sedangkan wanita biasa digambarkan dengan kehidupan sulit, sabar, dan kurang cantik. Penelitian Mandrasuty ini mampu menggambarkan citra wanita Bali. Di samping itu, juga mampu menggambarkan mengenai perjuangan tokoh wanita dalam memperjuangkan hak-haknya sebagai wanita. Meskipun Mandrastuty berhasil menggambarkan citra wanita Bali yang terdapat dalam novel tersebut, Mandrastuty tidak terperinci dalam memaparkan hasil analisisnya. Hal ini disebabkan oleh banyaknya tokoh wanita yang dimunculkan dalam penelitian. Oleh karena itu, pada penelitian ini dianalisis citra
15
wanita yang lebih terperinci. Di samping itu, juga diteliti keadaan sosial yang memengaruhi terbentuknya citra tersebut. Penelitian Mandrastuty diharapkan dapat menjadi acuan dalam penggunaan teori kritik sastra feminis sehingga memberikan gambaran untuk penelitian yang dilakukan ini. Sulistyorini (2005) dalam penelitian berjudul “Citra Wanita dalam Kumpulan Cerpen Lakon di Kota Kecil Karya Ratna Indraswari Ibrahim” menganalisis citra wanita yang dimunculkan dalam setiap judul cerpen yang terdapat dalam kumpulan cerpen Lakon di Kota Kecil. Selain itu, juga citra dalam kaitannya dengan budaya patriarki yang ada di Indonesia. Dalam penelitian itu Sulistyorini menggunakan teori feminisme dan teori gender. Dari hasil penelitian Sulistyorini ditemukan delapan citra wanita, yaitu wanita sebagai objek laki-laki, wanita yang memanfaatkan kecantikan, wanita yang percaya tradisi, wanita yang terpengaruh globalisasi, wanita yang menentang diskriminasi, wanita yang tersubordinasi, wanita sebagai korban ideologi gender, wanita sebagai penganut budaya, dan wanita sebagai individu. Dalam penelitian Sulistyorini dibahas juga hubungan wanita dengan budaya patriarki yang ada di masyarakat. Sulistyorini mampu menyajikan delapan citra wanita yang berbeda dari tiap-tiap cerpen. Namun, hal ini juga menyebabkan Sulistyorini kurang terfokus dalam penelitiannya karena mengambil semua judul cerita untuk diteliti. Oleh karena itu, dalam penelitian kali ini hanya diambil empat judul yang dianggap dapat mewakili citra wanita Jepang saat itu agar hasil analisis lebih terfokus.
16
Hayati (2012) dalam jurnal berjudul “Dunia Perempuan dalam Karya Sastra Perempuan Indonesia” menggunakan teori feminis dan teori strukturalisme sebagai pendukung. Hayati membahas karya-karya sastrawan perempuan Indonesia dan citra wanita yang dimasukkan ke karya-karyanya. Adapun hasil penelitian Hayati adalah para pengarang wanita di Indonesia sering kali menggambarkan tokoh wanita yang memiliki citra ibu, citra wanita setia, citra wanita sukses, citra wanita kedua, dan citra wanita ideal dalam karya sastranya. Dalam penelitian ini Hayati mampu menggambarkan citra wanita berdasarkan pengarang wanita yang ada di Indonesia. Dalam jurnalnya Hayati mampu menggambarkan citra wanita oleh pengarang wanita. Namun, Hayati tidak meneliti kondisi sosial yang memengaruhi munculnya citra tersebut. Hayati hanya terfokus pada citra dan pengarang ceritanya sehingga dalam penelitian ini diteliti kondisi sosial dan citra wanita dari sudut pandang pengarang laki-laki. Diharapkan jurnal ini juga dapat membantu memberikan gambaran penggunaan teori yang tepat untuk menjawab permasalahan yang ada.
2.2 Konsep Dalam penelitian ini dibutuhkan beberapa konsep untuk menunjang proses penelitian. Adapun konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 2.2.1 Citra Wanita Citra memberikan suatu gambaran visual yang diwarnai rasa dan penghayatan. Citra wanita berarti gambaran seseorang atau sekelompok orang
17
tentang wanita. Unsur-unsur yang membentuk dan membangun citra diri, antara lain pendidikan, pekerjaan, kepribadian, kehidupan keluarga, kehidupan sosial, lingkungan, dan gaya hidup. Contoh citra wanita modern adalah wanita yang berpendidikan tinggi, bekerja di sektor publik, berkepribadian mandiri, berpenampilan mutakhir, berkedudukan setara dengan laki-laki, dan bebas bergaul dengan orang lain. Jadi, citra ditegakkan berdasarkan unsur-unsur yang selalu dipandang penting sebagai penopang eksistensi manusia. Bangunan citra ini dianggap penanda eksistensi manusia yang bisa difungsikan sebagai pemandu, rujukan, tolok ukur ucapan dan tindakan manusia (Heraty, 1991: 21). Selain itu, terdapat pula citra sosial berupa aspek keluarga dan masyarakat. Citra wanita dalam aspek sosial dibagi lagi menjadi dua peran, yaitu peran wanita dalam keluarga dan wanita dalam masyarakat (Sugihastuti, 2000: 7). 2.2.2 Wanita Modern Wanita modern adalah perempuan dewasa yang sikap dan cara bertindak sesuai dengan tuntutan zaman. Wanita modern memiliki citra berpendidikan tinggi, bekerja di sektor publik, berkepribadian mandiri, berpenampilan terkini, bebas bergaul, dan berkedudukan setara dengan laki-laki (Heraty, 1991: 21). Hal ini tidak terlepas dari modernisasi yang terjadi. Modernisasi adalah konsep mengubah perekonomian terbelakang melalui perangkat industrialisasi, urbanisasi, transfer teknologi, bantuan keuangan, dan penyatuan perekonomian ke dalam sistem pasar kapitalis. Modernisasi menghasilkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam mengambil pekerjaan dan diupah sehingga wanita juga menjadi bagian yang penting dalam pembangunan (Mosse, 1996: 198). Wanita modern
18
digambarkan mudah frustrasi dan kehilangan pedoman. Wanita modern sering kali tidak bisa memilih antara mengikuti jati diri atau mengikuti citra wanita modern yang ideal. Citra ideal itu, seperti pintar, berpakaian menarik, dan bersikap dinamis. Citra ideal ini biasanya dibentuk oleh media informasi. Kebingungan ini akhirnya membuat wanita modern bertindak tidak berdasarkan prinsip, tetapi berdasarkan penilaian realistis yang ada. Hal ini membuat mereka terus bekerja demi pemenuhan kebutuhan material dan menunda pernikahan. Wanita modern sering kali digambarkan sebagai wanita yang kurang stabil dan terus mengejar pemenuhan aspek material untuk mengejar citra ideal. Selain itu, memiliki keluarga dianggap sebagai sesuatu yang dapat menghalangi hal tersebut (Iwao, 1993: 273--274). Citra wanita modern yang ideal sering kali digambarkan seperti maneken yang mengenakan pakaian terbaru, berbadan ramping, dan menggunakan tata rias yang cantik. Pakaian terbaru yang dimaksud adalah pakaian ala barat. Wanita Jepang mulai meninggalkan kimono dan menggantinya dengan pakaian ala barat sekitar tahun 1925. Mereka menggunakan kimono hanya pada momen-momen tertentu. Gaya rambut wanita pun berubah, yaitu pada zaman Meiji wanita dan pria wajib memusung rambutnya (chonmage), tetapi kini berubah menjadi potongan rambut pendek. Meskipun perubahan gaya rambut yang sangat drastis ini mendapat banyak kritik pada awalnya, semakin banyak saja wanita yang memotong rambutnya. Pada saat itu potongan rambut yang terkenal adalah potongan rambut bob, mengikuti gaya rambut ala wanita Inggris. Begitu pula dengan tata rias, artinya para wanita terus menggunakan tata rias yang sesuai
19
dengan zaman dan perkembangannya, menggunakan make up dengan merek yang terkenal merupakan suatu keharusan. Perubahan penampilan wanita Jepang terus mengalami perubahan hingga masa kini, yaitu tidak ada lagi batasan bagi perempuan untuk mengekspresikan penampilannya. Meskipun kebiasaan wanita dalam berpenampilan sering kali dikaitkan dengan tindakan konsumerisme, hal itu tidak menjadi masalah yang berarti karena wanita modern telah mampu menghasilkan uang sendiri (Sato, 2003: 50--58). 2.2.3 Gender Gender adalah perbedaan perilaku (behavioral differences) antara laki-laki dan wanita yang dikonstruksi secara sosial, yakni perbedaan yang diciptakan oleh manusia melalui proses sosial dan kultural yang panjang. Oleh karena itu, gender berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat, dan dari kelas ke kelas (Suharto, 2002: 23). Untuk memahami perbedaan gender yang menyebabkan ketidakadilan gender dapat dilihat sebagai berikut (Fakih, 2007: 12--13). 1. Gender dan Marginalisasi Perempuan Proses marginalisasi sesungguhnya banyak sekali terjadi dalam masyarakat. Terdapat bentuk marginalisasi atas satu jenis kelamin tertentu, dalam hal ini perempuan, yang disebabkan oleh gender. Dari segi sumbernya bisa berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsir agama, keyakinan tradisi, kebiasaan, bahkan asumsi ilmu pengetahuan (Fakih, 2007: 14). 2. Gender dan Subordinasi Pandangan gender bisa menimbulkan subordinasi terhadap perempuan.
20
Anggapan bahwa perempuan itu emosional sehingga perempuan tidak bisa memimpin berakibat pada munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting (Fakih, 2007: 16). 3. Gender dan Stereotipe Secara umum stereotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Akan tetapi, stereotipe selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Salah satu jenis stereotipe adalah yang bersumber dari pandangan gender. Banyak sekali ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan, yang bersumber dari penandaan (stereotipe) yang dilekatkan kepada mereka. Stereotipe menyebabkan wanita menjadi sulit mendapatkan pendidikan karena masyarakat beranggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani suami tidak belajar. Banyak peraturan pemerintah, aturan keagamaan, kultur dan kebiasaan masyarakat yang dikembangkan karena stereotipe tersebut (Fakih, 2007: 17). 4. Gender dan Kekerasan Kekerasan (violence) adalah serangan, baik terhadap fisik maupun integritas mental psikologi seseorang. Pada dasarnya kekerasan gender disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Banyak macam dan bentuk yang bisa dikategorikan sebagai kekerasan gender, di antaranya adalah pemerkosaan, pemukulan atau serangan, penyiksaan yang mengarah pada alat kelamin, dan prostitusi (Fakih, 2007: 18--20).
21
5. Gender dan Beban Kerja Anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin serta tidak cocok menjadi kepala rumah tangga. Mengakibatkan semua pekerjaan domestik
rumah
tangga
menjadi
tanggung
jawab
kaum
perempuan.
Konsekuensinya yaitu, banyak kaum perempuan yang harus bekerja keras untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangganya. Di kalangan keluarga miskin beban menjadi lebih berat jika perempuan juga harus bekerja (Fakih, 2007: 22-23). 2.3 Kerangka Teori Sebuah penelitian tidak akan mencapai hasil yang maksimal tanpa ada teori yang mendasarinya. Adapun landasan teori yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 2.3.1 Teori Sastra Feminis Teori sastra feminis berawal dari hasrat para feminis untuk mengkaji karya penulis perempuan. Di samping itu, juga untuk menunjukkan citra wanita dalam karya penulis laki-laki yang menampilkan perempuan sebagai makhluk yang ditekan, disalahtafsirkan, dan diremehkan oleh tradisi patriarki. Teori sastra feminis dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu teori sastra feminis ideologis yang melibatkan kaum perempuan sebagai pembaca, teori sastra feminis ginoteori yang mengkaji perbedaan antara tulisan perempuan dan tulisan laki-laki, dan teori sastra feminis sosialis yang mengkaji tokoh-tokoh perempuan dilihat dari sudut pandang sosial. Teori sastra feminis psikoanalitik mengkaji tulisan perempuan, yaitu pembaca wanita menempatkan dirinya sebagai tokoh
22
utama. Teori sastra feminis ras etnik menyoroti diskriminasi seksual dan teori sastra feminis lesbian adalah suatu teori sastra yang meneliti penulis serta karyakarya lesbian (Djajanegara, 2008: 28--39). Dalam penelitian ini, digunakan teori sastra feminis sosialis. Menurut feminis sosialis, perempuan merupakan aspek utama dari dua hal. Pertama, sama seperti feminisme lainnya. Dalam penelitian feminis sosialis penindasan terhadap wanita tetap merupakan topik utama untuk dianalisis. Kedua yang juga diperhatikan adalah posisi dan pengalaman perempuan terhadap dunia, yang menjadi sudut pandang mendasar mengenai dominasi. Dalam teori feminis sosialis digunakan materialisme historis sebagai strategi analisis. Materialisme historis adalah sebuah prisip dasar mengenai kondisi material atau kondisi dasar kehidupan manusia, termasuk aktivitas dan hubungan yang menciptakan hal itu, seperti kepribadian, gagasan, dan tatanan sosial yang selalu berubah sepanjang waktu karena adanya dinamika sosial. Sejarah juga merupakan aspek penting yang menunjukkan catatan tentang perubahan kondisi dasar kehidupan manusia tersebut (Goodman & Ritzer, 2004:439). Analisis feminis sosialis mencakup dinamika ekonomi dan kondisi lain yang menciptakan dan mempertahankan kehidupan manusia, tubuh manusia, jenis kelaminnya, dan keterlibatannya dalam mencari nafkah dan mengasuh anak, pengurusan rumah tangga, dan rentetan tugas rumah tangga. Menurut feminis sosialis, kesadaran, motivasi, gagasan, definisi sosial, pengetahuan, idieologi, keinginan bertindak menurut kepentingan pribadi atau menyetujui kepentingan orang lain merupakan faktor yang sangat besar memengaruhi kepribadian,
23
tindakan manusia, yang ditunjukkan melalui tindakan (Goodman & Ritzer, 2004:440). Jadi, feminis sosialis adalah sebuah teori yang mengkaji tokoh-tokoh perempuan dari sudut pandang sosial dan segala aspek sosial yang memengaruhi suatu pribadi yang tumbuh dalam masyarakat tersebut. 2.3.2 Teori Citra Wanita Untuk mengetahui citra wanita, terdapat dua aspek yang harus diperhatikan, yaitu aspek fisis dan aspek psikis. Berikut dijelaskan kedua aspek tersebut. 2.3.2.1 Citra Diri Perempuan dalam Aspek Fisis Dalam sebuah karya sastra, citra fisis wanita bisa direpresentasikan dengan gambaran fisik wanita yang memiliki hubungan terhadap pengembangan tingkah lakunya. Dari penggambaran hubungan fisik ini yang tidak lepas juga dari penggambaran fisik laki-laki dalam karya sastra, maka sering terjadi adanya diskriminasi atau perbedaan dalam lingkungan sosial atau keluarga (Sugihastuti, 2000:82) 2.3.2.2 Citra Diri Perempuan dalam Aspek Psikis Selain aspek fisis, wanita juga dapat direpresentasikan melalui aspek psikisnya, karena perempuan termasuk makhluk yang psikologis, yaitu makhluk yang memiliki perasaan, pemikiran, aspirasi, dan keinginan. Dari citra psikis ini tergambar kekuatan emosional yang dimiliki oleh wanita dalam sebuah cerita. Dari aspek psikis ini, tampak bahwa citra perempuan juga tidak terlepas dari unsur feminitas.
24
Melalui pencitraan perempuan secara psikis, bisa dilihat rasa emosi yang dimiliki wanita, rasa penerimaan terhadap hal-hal di sekitar, cinta kasih yang dimiliki dan yang diberikan terhadp sesama atau orang lain, serta menjaga potensinya untuk dapat eksis dalam sebuah komunitas. Timbal balik antara citra fisik dan psikis perempuan dalam karya sastra tidak dapat dipisahkan satu sama lain (Sugihastuti, 2000:95) 2.3.3 Teori Citra Diri Teori mengenai citra diri (self image) yang dikemukakan oleh Burn. Menurut Burn, citra diri adalah konsep diri yang berkaitan dengan sifat-sifat fisik. Citra diri dipengaruhi oleh pemikiran mengenai keindahan atau kebugaran dan bentuk tubuh yang ideal menurut seseorang. Sifat seseorang dapat dipengaruhi oleh citra yang dimilikinya, baik citra positif maupun citra negatif. Seseorang yang memiliki citra diri positif mempunyai sifat percaya diri, menghargai diri sendiri, menerima diri sendiri, dan dapat mengembangkan potensinya seoptimal mungkin. Sebaliknya, seseorang yang memiliki citra diri negatif mempunyai sifat negatif, seperti rendah diri, membenci diri sendiri, pemalu, dan sifat-sifat lainnya yang menghambat penyesuaian sosial. Oleh karena itu, citra diri adalah gambaran individu mengenai penampilan fisik dan perasaan yang menyertainya yang dapat memengaruhi sifat orang tersebut ( Hadisubrata, 1990:50). Menurut Burn dalam Cash, aspek fisis dapat dibagi menjadi dua yaitu bagian tubuh dan keseluruhan tubuh. Bagian tubuh, yaitu wajah, rambut, gigi, hidung, lengan, perut, ukuran dan bentuk dada, pantat, pinggul, kaki, paha, leher, bentuk bibir, mata, dan pipi. Keseluruhan tubuh, yaitu mencakup berat badan,
25
tinggi badan, proporsi tubuh, penampilan fisik, tata rias dan bentuk tubuh termasuk juga model rambut dan pemakaian kosmetik ( Cash, 2002:405). .