BAB II KONSEP, KERANGKA TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA 2.1 Konsep 2.1.1 Kearifan Lokal Kearifan lokal (local wisdom) dalam disiplin antropologi dikenal juga dengan istilah local genius. Local genius ini merupakan istilah yang mula pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales. (Ayatrohaedi, 1986). Para antropolog membahas secara panjang lebar pengertian local genius ini. Antara lain Haryati Soebadio mengatakan bahwa local genius adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19). Sementara Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986:40-41) mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Ciri-ciri kearifan lokal tersebut adalah sebagai berikut: 1. mampu bertahan terhadap budaya luar, 2. memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar, 3. mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli, 4. mempunyai kemampuan mengendalikan, 5. mampu memberi arah pada perkembangan budaya. Dalam Sibarani (2012: 112-113) juga dijelaskan bahwa kearifan lokal adalah kebijaksanaan atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur
Universitas Sumatera Utara
tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat. Kearifan lokal juga dapat didefinisikan sebagai nilai budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara arif atau bijaksana. Jadi, dapat dikatakan bahwa kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat berkaitan dengan kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. Kearifan lokal merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak sekadar sebagai acuan tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat yang penuh keadaban. Secara substansial, kearifan lokal itu adalah nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah-laku sehari-hari masyarakat setempat. Oleh karena itu, sangat beralasan jika dikatakan bahwa kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Hal itu berarti kearifan lokal yang di dalamnya berisi unsur kecerdasan kreativitas dan pengetahuan lokal dari para elit
Universitas Sumatera Utara
dan masyarakatnya adalah yang menentukan dalam pembangunan peradaban masyarakatnya. Dalam masyarakat kita, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyanyian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilainilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari. Pengertian kearifan lokal (tradisional) menurut Keraf (2002) adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Pengertian di atas memberikan cara pandang bahwa manusia sebagai makhluk integral dan merupakan satu kesatuan dari alam semesta serta perilaku penuh tanggung jawab, penuh sikap hormat dan peduli terhadap kelangsungan semua kehidupan di alam semesta serta mengubah cara pandang antroposentrisme ke cara pandang biosentrisme dan ekosentrisme. Nilai-nilai kerarifan lokal yang terkandung dalam suatu sistem sosial masyarakat, dapat dihayati, dipraktikkan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke genarasi lainnya yang sekaligus membentuk dan menuntun pola perilaku manusia sehari-hari, baik terhadap alam maupun terhadap alam.
Universitas Sumatera Utara
Nababan (2003) menyatakan bahwa masyarakat adat umumnya memiliki sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal yang diwariskan dan ditumbuhkembangkan terus-menerus secara turun temurun. Pengertian masyarakat adat disini adalah mereka yang secara tradisional tergantung dan memiliki ikatan sosio-kultural dan religius yang erat dengan lingkungan lokalnya. Menurut Ataupah (2004) kearifan lokal bersifat historis tetapi positif. Nilainilai diambil oleh leluhur dan kemudian diwariskan secara lisan kepada generasi berikutnya lalu oleh ahli warisnya tidak menerimanya secara pasif dapat menambah atau mengurangi dan diolah sehingga apa yang disebut kearifan itu berlaku secara situasional dan tidak dapat dilepaskan dari sistem lingkungan hidup atau sistem ekologi/ekosistem
yang harus dihadapi orang-orang
yang memahami dan
melaksanakan kearifan itu. Dijelaskan lebih lanjut bahwa kearifan tercermin pada keputusan yang bermutu prima. Tolok ukur suatu keputusan yang bermutu prima adalah keputusan yang diambil oleh seorang tokoh/sejumlah tokoh dengan cara menelusuri berbagai masalah yang berkembang dan dapat memahami masalah tersebut. Kemudian diambil keputusan sedemikian rupa sehingga yang terkait dengan keputusan itu akan berupaya melaksanakannya dengan kisaran dari yang menolak keputusan sampai yang benar-benar setuju dengan keputusan tersebut. 2.1.2
Kesantunan Berbahasa Dalam komunikasi, penutur dan petutur tidak hanya dituntut menyampaikan
kebenaran, tetapi harus tetap berkomitmen untuk menjaga keharmonisan hubungan. Keharmonisan hubungan penutur dan petutur tetap terjaga apabila masing- masing peserta tutur senantiasa tidak saling mempermalukan. Dengan perkataan lain, baik
Universitas Sumatera Utara
penutur maupun petutur memiliki kewajiban yang sama untuk menjaga muka. Dengan menggunakan bahasa manusia menjalin kebersamaan dalam keteraturan hidup kemasyarakatan dan kebudayaan serta saling bekerja sama. Kebersamaan dan kerjasama sangat ditentukan oleh fungsi bahasa. Bahasa tutur atau bahasa lisan yang digunakan dalam suatu masyarakat untuk berkomunikasi dalam interaksi sehari-hari memerankan hal yang sama, yaitu menciptakan
kebersamaan
dan
mendorong
terciptanya
kerjasama.
Melalui
penggunaan bahasa tutur yang baik, benar dan sesuai dengan konteks sosial, pada akhirnya, rasa kebersamaan akan semakin meningkat, yang menghasilkan peningkatan kerjasama. Hal ini karena, secara lisan, penggunaan bahasa tutur mengandung etika dalam komunikasi interpersonal, tahu dan paham akan kondisi psikologis mitratutur. Konsekuensinya, terciptalah penguatan silaturahmi, interaksi, kebersamaan, kerjasama, dan saling ketergantungan. Singkatnya, terjalinnya harmonisasi dalam berkomunikasi, berhubungan dan bekerjasama sebagai sebuah solidaritas sosial. Untuk itu dalam bahasa tutur seharusnya tidak lepas dari kesantunan untuk menjaga harmonisasi dalam berkomunikasi. Kesantunan (kesopansantunan) sama dengan tata karma atau etika. Kesantunan atau etiket adalah tata cara, adat atau kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat beradab untuk memelihara hubungan baik antara sesama manusia. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi persyaratan yang disepakati dalam perilaku sosial (Sibarani, 2004: 170).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Yule (2006:104) kesantunan berbahasa dapat diartikan sebagai sebuah penunjukan mengenai kesadaran terhadap wajah orang lain. Wajah seseorang akan mengalami ancaman ketika seorang penutur menyatakan sesuatu yang mengandung ancaman terhadap harapan-harapan individu yang berkenaan dengan nama baiknya sendiri Wujud kesantunan dapat dilihat dari dua cara, yaitu cara verbal dan cara nonverbal. Kesantunan verbal merupakan aktivitas berbahasa yang di dalamnya tercermin nilai- nilai kesopanan/ kesantunan berdasarkan nilai sosial dan budaya penutur. Kesantunan berbahasa verbal merujuk kepada percakapan, lisan dan pertuturan. Kesantunan nonverbal adalah tindakan nonkebahasaan yang dianggap lazim menurut tolak ukur nilai sosial dan budaya. Yang termasuk ke dalam kesantunan nonverbal di antaranya adalah unsur suprasegmental, paralinguistik dan proksemika. Unsur suprasegmental seperti tekanan, nada dan tempo senantiasa melekat pada unsur segmental. Unsur paralinguistik seperti airmuka, gerakan tubuh dan sikap badan adalah sistem tanda yang menyertai tuturan verbal, terutama tuturan bersemuka. Unsur paralinguistik ini dapat diamati langsung saat komunikasi terjadi. Proksemika adalah unsur nonverbal yang tidak termasuk dalam unsur paralinguistik. Misalnya, saling menjaga jarak atau tidak saling menjaga jarak antara penutur dan petutur. Pada penelitian ini penulis hanya memperhatikan dari proses verbal (kebahasaannya)
saja
tanpa
mempertimbangkan
faktor
nonverbal
yang
mempengaruhi. Kartomiharjo (1981) menyatakan bahwa dalam menggunakan bahasa, penutur tidak bisa lepas dari norma-norma sosial dan budaya yang dimilikinya. Kesantunan
Universitas Sumatera Utara
ataupun kesopanan dalam berbahasa dapat terefleksi pada kepatuhan penutur terhadap norma-norma sosial dan budayanya. Dalam budaya Jawa norma-norma kesantunan mengacu pada tiga nilai, yakni: (1) Empan papan, menerangkan bahwa dalam berinteraksi penutur hendaknya menyatakan segala sesuatu secara wajar dan benar sesuai dengan tataran masyarakat, (2) Urip mapan, menerangkan bahwa tututran itu hendaknya digunakan secara layak sesuai dengan harkat dan martabat, (3) Mapanake wong tuwo, mengacu pada konsep bahwa yang lebih tua itu selayaknya dituakan. Sementara itu Gunarwan (1998, dalam Gunarwan 2007) menjabarkan normanorma kesantunan budaya Jawa dalam empat bidal, yaitu: (1) Kurmat atau (hormat), (2) Andaphasor (rendah hati), (3) Ampan-papan (sadar akan tempat), dan (4) Tepaslira (tenggang rasa). 2.2 Kerangka Teori 2.2.1 Teori Kesantunan Beberapa pakar yang membahas kesantunan berbahasa diamtaranya adalah Lakoff (1973), Leech (1983) dan Brown & Levinson (1987). Teori ketiga pakar ini beranjak dari kenyataan bahwa ternyata Prinsip Kerja Sama Grice lebih sering dilanggar oleh penutur dalam komunikasi pada umumnya. Berikut akan dijelaskan mengenai teori ketiga pakar tersebut mengenai kesantunan berbahasa.
(1)
Teori Kesantunan Lakoff
Universitas Sumatera Utara
Menurut Lakoff (1973) ada tiga kaidah kesantunan yaitu: 1) formalitas (formality), ), 2) ketidaktegasan ((hesitancy)) dan persamaan atau kesekawanan ((equality or camaraderie). ). Kaidah yang pertama, formalitas bermakna tidak memaksa atau angkuh; yang kedua, ketidaktegasan berarti memberikan pilihan kepada lawan tutur menganggap dan yang ketiga, persamaan atau kesekawanan berarti me nganggap penutur dan lawan tutur sama. Dengan demikian, menurut Lakoff, kesantunan berbahasa akan tercapai jika penutur menggunakan tuturan yang tidak memaksa, memberikan pilihan kepada lawan tutur dan membuat lawan tutur merasa tenang. Kaidah Kesantunan Lakoff
Formalitas (Formality)
Tidak memaksa
Ketidaktegasan (Hesitancy)
Persamaan atau Kesekawanan (Equality or Camaraderie)
Memberikan pilihan
Menganggap sama
Gambar 2.1 Kaidah Kesantunan Lakoff (1973) (2)
Teori Kesantunan Leech Menurut Leech (1983) prin prinsip sip kesopanan dapat dijabarkan menjadi enam
maksim: (1) Maksim Kebijaksanaan menyatakan : (a) buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin, dan (b) buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin. (2) ndiri sekecil mungkin, Maksim Kemurahan menyatakan (a) buatlah keuntungan diri se sendiri (b) buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin. (3) Maksim Penerimaan
Universitas Sumatera Utara
menyatakan : (a) minimalkan ketidakhormatan terhadap orang lain, (b) maksimalkan rasa hormat terhadap orang lain. (4) Maksim Kerendahan Hati menyatakan : (a) pujilah diri sendiri sesedikit mungkin, (b) kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin. (5) Maksim Kesepakatan menyatakan : (a) usahakan agar ketidaksepakatan antara diri sendiri dan orang lain terjadi sesedikit mungkin, (b) usahakan agar kesepakatan antara diri sendiri dan orang lain terjadi sebanyak mungkin. (6) Maksim Simpati menyatakan : (a) kurangilah rasa antipati antara diri sendiri dengan orang lain, (b) tingkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri sendiri dengan orang lain. Leech menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan dengan memanfaatkan setiap maksim interpersonal. Kelima macam skala pengukur kesantunan Leech dijelaskan sebagai berikut. 1) Cost- benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap tidak santunlah tuturan itu. 2) Optionality scale atau skala pilihan, menunjuk pada banyak atau sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap makin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, apabila pertuturan itu sama sekali tidak
Universitas Sumatera Utara
memberikan kemungkinan memilih bagi si penutur dan si mitra tutur, tuturan tersebut akan dianggap tidak santun. 3) Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung maksud sebuah tuturan, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. 4) Authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial (rank rating) antara penutur dan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak status sosial diantara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur itu. 5) Social distance scale atau skala jarak sosial menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial di antara keduanya, akan menjadi semakin kurang santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan yang digunakan itu. Dengan perkataan lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dengan mitra tutur sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur.
Universitas Sumatera Utara
Skala Kesantunan Leech
Cost-Benefit
KerugianKeuntungan
Optionality
Pilihan
Indirectness
Ketidaklangsungan
Authority
Social Distance
Keotoritasan
jarak Sosial
Gambar 2.2 Skala Kesantunan Leech (1993) (3)
Teori Kesantunan antunan Brown dan Levinson Brown dan Levinson (1987) menggagas teori kesantunan yang lebih
komprehensif. Mereka menyatakan bahwa kesantunan berbahasa muncul sebagai sebuah penyimpangan dari hakikat pertuturan yang rasional dan efisien. Melalui kajian menyeluruh luruh terhadap kesantunan berbahasa, mitra tutur akan memahami alasan bagi ketidakrasionalan dan inefisiensi ungkapan penutur. Teori tersebut dilandaskan oleh Brown dan Levinson (1987: 62) pada konsep muka ((face), yang didefinisikan sebagaii gambaran diri dihadapan publik yang dimiliki dan harus dipedomani oleh setiap individu dewasa yang rasional ketika dia berinteraksi dalam pertuturan. Muka mencakup dua aspek yang saling berhubungan: muka positif dan muka negatif. Muka positif adalah keinginan kei semua penutur agar wajah mereka disenangi lawan bicara. Sedangkan muka negatif merupakan keinginan semua penutur agar tindakan mereka tidak dihambat oleh lawan bicara.
Universitas Sumatera Utara
Brown dan Levinson mendefinisikan kesantunan bahasa sebagai strategi menghindari mengancam muka orang lain yang dikenal dengan Face-Threatening Act (FTA). Untuk itulah pentingnya kesantunan dalam berkomunikasi, sebab ada dua sisi muka yang terancam yaitu muka positif dan muka negatif. Brown dan Levinson (1987) menyebutkan bahwa wajah merupakan atribut pribadi yang dimiliki oleh setiap insan dan bersifat universal. Dalam teori ini, wajah kemudian dipilah menjadi dua jenis: wajah dengan keinginan positif (positive face), dan wajah dengan keinginan negatif (negative face). Wajah positif terkait dengan nilai solidaritas, ketakformalan, pengakuan, dan kesekoncoan. Sementara itu, wajah negatif bermuara pada keinginan seseorang untuk tetap mandiri, bebas dari gangguan pihak luar, dan adanya penghormatan pihak luar terhadap kemandiriannya itu (Aziz, 2008:2). Melihat bahwa wajah memiliki nilai seperti yang telah disebutkan, maka nilai-nilai itu patut untuk dijaga, dan salah satu caranya adalah melalui pola berbahasa yang santun, yang tidak merusak nilai-nilai wajah itu. Muka positif mengacu ke diri setiap orang (yang rasional), yang berkeinginan agar apa yang dilakukan dan diyakininya, diakui orang lain sebagai sesuatu yang baik. Sedangkan muka negatif mengacu ke citra diri setiap orang (yang rasional), yang berkeinginan agar ia dihargai dengan jalan memberikannya kebebasan dari keharusan melakukan sesuatu (Sibarani, 2004: 180-181). Karena ada dua sisi muka yang terancam, maka kesantunan pun dibagi menjadi dua, yaitu kesantunan positif (untuk menjaga muka positif) dan kesantunan negatif (untuk menjaga muka negatif). Brown dan Levinson
merinci strategi kesantunan positif ke dalam 15
subkategori: 1) memberi perhatian (notice); 2) melebihkan dalam memberi komentar
Universitas Sumatera Utara
atau pujian (exaggerate); 3) menegaskan (intensify); 4) menggunakan penanda sebagai anggota kelompok yang sama (use in-group identity markers); 5) mengupayakan kesepakatan (seek agreement); 6) menghindari perbedaan pendapat (avoid disagreement); 7) mengisyaratkan kesamaan pandangan (presuppose common ground); 8) menggunakan lelucon (joke); 9) menampilkan pengetahuan penutur dan mempertimbangkan keinginan penutur (assert S’knowledge and concern for H’s wants); 10) menawarkan, berjanji (offer, promise); 11) bersikap optimis (be optimistic); 12) menyertakan penutur dan petutur dalam kegiatan (include both S and H in the activity); 13) memberi atau meminta alasan (give reasons); 14) menerima atau menampilkan sikap timbal balik atau saling (assume or assert repciprocity); 15) memberi hadiah pada petutur (give gifts to H). Ke lima belas strategi kesantunan positif tersebut dikelompokkan menjadi 3, yaitu: (1) mengungkapkan “kesamaan pijaan” (common ground), misalnya dengan memperhatikan minat, keinginan, keperluan petutur; mengungkapkan kesamaan keanggotaan dengan petutur, seperti menggunakan permarkah identitas yang menunjukkan bahwa penutur dan petutur termasuk ke dalam kelompok yang sama atau mempunyai kesamaan pandangan, pendapat, pengetahuan atau empati, semuanya diungkapkan
dengan
mencari
kesetujuan;
menghindari
ketidaksetujuan;
meningkatkan kesamaan pijaan; dan berseloroh; (2) mengungkapkan bahwa penutur dan petutur adalah kooperator, misalnya dengan menunjukkan bahwa penutur mengetahui apa yang diinginkan petutur, misalnya dengan menunjukkan adanya refleksivitas (menawarkan, menjanjikan, memberikan/meminta alasan); dan (3)
Universitas Sumatera Utara
memenuhi apa yang diinginkan petutur, misalnya dengan memberikan sesuatu kepadanya (barang, simpati, pengertian, kerja sama). Sementara strategi kesantunan linguistik negatif terdiri dari 10 strategi, yakni: 1) menggunakan ujaran tidak langsung (be conventionally indirect); 2) pertanyaan, kalimat berpagar (question, hedge); 3) bersikap pesimis (be pessimistic); 4) meminimalkan tekanan (minimize imposition); 5) memberikan penghormatan (give deference); 6) meminta maaf (apologize); 7) menghindarkan penggunaan kata ‘saya’ dan ‘kamu’ (impersonalize S and H: avoid the pronoun I and You); 8) menyatakan tindakan pengancaman muka sebagai aturan yang bersifat umum (state the FTA as a general rule); 9) nominalisasi (nominalize); 10) menyatakan terus terang penutur berhutang budi kepada petutur (go on records). Kesantunan negatif yang dijabarkan Brown dan Levinson menjadi 10 strategi dikelompokkan menjadi 5, yaitu: (1) menggunakan strategi tidak langsung konvensional, yang intinya adalah jangan memaksa petutur untuk melakukan sesuatu; (2) jangan berasumsi mengenai apa yang dimaui petutur, misalnya dengan menggunakan pagar (hedge) atau kalimat tanya; (3) jangan memaksa penutur, misalnya dengan jalan memberinya opsi, antara lain dengan mengasumsikan bahwa petutur mungkin tidak bersedia melakukan sesuatu-jadi penutur perlu bersikap pesimistik; penutur meminimalkan ancaman dengan cara: (a) mengurangi keterpaksaan dan (b) menunjukkan hormat; (4) mengomunikasikan bahwa penutur tidak menghendaki memaksa petutur, misalnya dengan meminta maaf (termasuk menunjukkan keengganan), dengan memisahkan penutur dan petutur dari
Universitas Sumatera Utara
keterpaksaan, yaitu dengan: (a) menghindari pronominal “saya” dan “kamu/Anda”; (b) mengungkapkan FTA sebagai hal yang umum; dan (c) menominalkan kata kerja sehingga efek gaya bahasanya lebih formal; (5) memberikan kompensasi bagi keinginan lain petutur, yang berasal dari muka negatif, misalnya dengan mengatakan bahwa tindakan on record adalah tindakan terpaksa yang merupakan “utang” penutur atau bahwa petutur tidak “berutang” kepada penutur. Terdapat tiga skala penentu tinggi rendahnya peringkat kesantunan sebuah tuturan. Ketiga skala tersebut ditentukan secara kontekstual, sosial dan kultural. 1) Skala peringkat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur (social distance between speaker and hearer) banyak ditentukan oleh parameter perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural. 2) Skala peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur (the speaker and hearer relative power) didasarkan pada kedudukan asimetrik antara penutur. 3) Skala peringkat tindak tutur (rank rating) didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur lainnya. Misalnya menelpon seseorang lewat jam 10 malam akan dianggap tidak sopan dan bahkan melanggar norma kesantunan. Namun hal yang sama dapat dianggap santun pada situasi genting seperti mengabarkan berita duka cita, musibah, sakit, dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
Skala Kesantunan Brown & Levinson
Jarak sosial (Social distance)
Perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural
Kekuasaan relatif (Relative power)
Kedudukan asimetrik antara penutur
Peringkat (Rank rating)
Kedudukan relatif tindak tutur
Gambar 2.3 Skala Kesantunan Brown & Levinson (1987) 2.2.2 Pembentukan kesantunan Dalam Sibarani (2004) dinyatakan bahwa kesantunan berbahasa sedikitnya dapat dilakukan dengan tujuh cara, yakni 1) menerapkan prinsip kesopanan (politeness principle), ), 2) menghindarkan kata-kata kata kata tabu, 3) menggunakan eufemisme, 3) menggunakan kata honorifik, 5) menerapkan tindak tutur tidak langsung, 6) menggunakan konstruksi berpagar, 7) memperhatikan aspek aspek-aspek aspek nonlinguistik yang mempengaruhi kesantunan tunan berbahasa. Berdasarkan teori-teori teori teori yang dibahas sebelumnya maka dapat disimpulkan kerangka teori yang diterapkan dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.4 berikut.
Universitas Sumatera Utara
Menghindari Kata Tabu
Menggunakan Honorifik
Memberi Pilihan
Menggunakan Eufemisme
Pembentukan Kesantunan Berbahasa
Mengutamakan Keuntungan Mitra Tutur
Tidak Memaksa
Menggunakan Ujaran Tidak Langsung
Menggunakan Kalimat Berpagar
Gambar 2.4 Rangkuman Kerangka Teori
Berdasarkan rangkuman dari teori Lakoff (1973), Leech (1993) dan Brown & Levinson (1987) serta pembentukan kesantunan menurut Sibarani (2004), kerangka teori yang diterapkan dalam penelitian ini merumuskan delapan strategi pembentukan kesantunan, yakni 1) menghindari kata tabu, 2) menggunakan honorifik, 3) menggunakan eufemisme, 4) tidak memaksa, 5) memberi pilihan, 6) menggunakan
Universitas Sumatera Utara
ujaran tidak langsung, 7) menggunakan kalimat berpagar, dan 8) mengutamakan keuntungan mitra tutur. Ke delapan strategi pembentukan kesantunan tersebut satu persatu dijelaskan sebagai berikut. Pertama, kata-kata yang dianggap tabu berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Tetapi, secara umum kata-kata tabu merupakan kata-kata yang menyebutkan bagian tubuh yang seharusnya ditutupi. Kata ‘jaya’ adalah salah satu kata yang pantang diucapkan karena merupakan salah satu kata-kata yang tabu diucapkan bagi masyarakat Pasisi Barus. Kedua, menggunakan honorifik berarti menggunakan kata-kata yang menunjukkan hormat kepada mitra tutur yang salah satunya dengan menggunakan sapaan yang sesuai untuk mitra tutur tersebut. Contohnya pada tuturan ‘Nandak pulang, Angku?’, kata angku (kakek) merupakan kata honorifik yang menunjukkan penghormatan penutur kepada mitra tuturnya yang sudah tua. Ketiga, menggunakan eufemisme berarti memilih kata yang lebih halus untuk mengungkapkan sesuatu kepada mitra tutur. Contohnya dapat dilihat pada tuturan ‘Nandak pai pulo ambo bekko’ (Saya hendak pergi pula). Pada tuturan tersebut, penutur memilih menggunakan kalimat yang lebih halus untuk menolak permintaan mitra tuturnya yang ingin datang berkunjung ke rumah penutur. Keempat, memberi pilihan bermakna bahwa tuturan yang digunakan penutur memberikan pilihan yang sebanyak mungkin kepada mitra tutur. Contohnya pada tuturan ‘Yang tadi tu sajo ndak Tiya?’ (Apa tidak yang itu saja, Tiya?). Pada tuturan tersebut penutur memberikan pilihan kepada mitra tutur untuk melakukan atau tidak melakukan yang diinginkan penutur.
Kelima, tidak memaksa berarti penutur
menggunakan tuturan yang tidak memaksa mitra tutur seperti pada contoh tuturan
Universitas Sumatera Utara
‘Rancaknyo jangan lai pakke itu’ (Sebaiknya jangan pakai lagi itu). Tuturan tersebut menunjukkan penutur tidak memaksa mitra tutur untuk melakukan yang diinginkan penutur. Keenam, menggunakan ujaran tidak langsung bermakna penutur tidak menyampaikan maksud tuturannya secara langsung. Contohnya penutur yang memerintahkan cucunya untuk mengambilkan air hangat pada tuturan ‘Ado ai hangek, Pia?. Alih-alih menggunakan kalimat imperatif, sang nenek menggunakan kalimat interogatif. Ketujuh, menggunakan kalimat berpagar (hedges) yang biasanya menggunakan pemarkah pengandaian, seperti jika, kalau, dan sebagainya seperti yang terdapat pada tuturan ‘Kok sampat bekko, lalukan kepeng ko da’. Pada tuturan tersebut, penutur bermaksud meminta mitra tuturnya untuk mengantarkan uang kepada seseorang. Konstruksi kalimat berpagar yang digunakan penutur merupakan salah satu bentuk kesantunan dalam berbahasa. Kedelapan, mengutamakan keuntungan mitra tutur berarti penutur berusaha memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya kepada mitra tutur. Contohnya pada tuturan ‘Diantekkanla Angku?’ yang merupakan tindak tutur menawarkan untuk diantarkan pulang yang menunjukkan penutur mengutamakan keuntungan bagi mitra tuturnya. 2.2.3 Tindak Tutur Tindak tutur atau tindak ujar (speech act) merupakan entitas yang bersifat sentral dalam pragmatik sehingga bersifat pokok di dalam pragmatik. Tindak tutur merupakan dasar bagi analisis topik-topik pragmatik lain seperti praanggapan, prinsip kerja sama, dan prinsip kesantunan. Tindak tutur memiliki bentuk yang bervariasi untuk menyatakan suatu tujuan.
Universitas Sumatera Utara
Tindak tutur atau tindak ujar (speech act) merupakan entitas yang bersifat sentral dalam pragmatik sehingga bersifat pokok di dalam pragmatik. Tindak tutur merupakan dasar bagi analisis topik-topik pragmatik lain seperti praanggapan, perikutan, implikatur percakapan, prinsip kerja sama, dan prinsip kesantunan. Kajian pragmatik yang tidak mendasarkan analisisnya pada tindak tutur bukanlah kajian pragmatik dlm arti yang sebenarnya (Rustono, 1999: 33). Leech (1993) menyatakan bahwa pragmatik mempelajari maksud ujaran (yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan), menanyakan apa yang seseorang maksudkan dengan suatu tindak tutur, dan mengaitkan makna dengan siapa berbicara kepada siapa, dimana, bilamana, bagaimana. Searle (dalam Rahardi, 2005:36) menggolongkan tindak tutur ilokusi itu ke dalam lima macam bentuk tuturan yang masing-masing memiliki fungsi komunikatif. Kelima macam bentuk tuturan yang menunjukkan fungsi itu dapat dirangkum sebagai berikut: 1.
Asertif (Assertives), yakni bentuk tuturan yang mengikat penutur pada kebenaran proposisi yang diungkapkan, misalnya menyatakan (stating), menyarankan (suggesting), membual (boasting), mengeluh (complaining), menolak, (declining), dan mengklaim (claiming).
2.
Direktif (Directives), yakni bentuk tuturan yang dimaksudkan penuturannya untuk membuat pengaruh agar si mitra tutur melakukan tindakan, misalnya, memesan
(ordering),
(requesting),
melarang
memerintah
(commanding),
(prohibiting),
menasehati
memohon/meminta (advising),
dan
merekomendasi (recommending).
Universitas Sumatera Utara
3.
Ekspresif (Expressives) adalah bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, misalnya berterima kasih (thanking), memberi selamat (congratulating), meminta maaf (pardoning), menyalahkan (blaming), memuji (praising), berbelasungkawa (condoling).
4.
Komisif (Commissives), yakni bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran, misalnya berjanji (promising), bersumpah (vowing), dan menawarkan sesuatu (offering).
5.
Deklarasi (Declarations), bentuk tuturan yang menghubungkan isi tuturan dengan kenyataan, misalnya berpasrah (resigning), memecat (dismissing), menbaptis (chistening), memberi nama (naming), mengangkat (appointing), mengucilkan (excommicating), dan menghukum (sentencing). Teori tindak tutur atau bentuk ujaran mempunyai lebih dari satu fungsi.
Kebalikan dari kenyataan tersebut adalah kenyataan di dalam komunikasi yang sebenarnya bahwa satu fungsi dapat dinyatakan, dilayani atau diutarakan dalam berbagai bentuk ujaran. Contoh: A: lampu ini terang sekali. (sambil menutup mata) B: akan ku matikan. Tuturan tersebut diucapkan seseorang kepada temannya ketika berada di rumah mitra tutur. Ujaran “lampu ini terang sekali” tersebut berfungsi sebagai perintah, sama seperti “ matikan lampunya”. Seseorang mungkin juga menyatakan
Universitas Sumatera Utara
perintah dalam bentuk pernyataan kebiasaan dengan mengatakan “aku tidak bisa tidur kalau lampunya terlalu terang”. Wijana (1996) menjelaskan bahwa tindak tutur dapat dibedakan menjadi tindak tutur langsung dan tindak tutur tindak langsung, tindak tutur literal dan tidak literal. a. Tindak tutur langsung dan tak langsung Secara formal berdasarkan modusnya, kalimat dibedakan menjadi kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya (interogatif) dan kalimat perintah (imperatif). Secara konvensional kalimat berita (deklaratif) digunakan untuk memberitahukan sesuatu (informasi); kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu, dan kalimat perintah untuk menyatakan perintah, ajakan, permintaaan atau permohonan. Apabila kalimat berita difungsikan secara konvensional untuk mengadakan sesuatu, kalimat tanya untuk bertanya dan kalimat perintah untuk menyuruh, mengajak memohon dan sebagainya, maka akan terbentuk tindak tutur langsung (direct speech). Sebagai contoh : Yuli merawat ayahnya. Siapa orang itu? Ambilkan buku saya! Ketiga kalimat tersebut merupakan tindak tutur langsung berupa kalimat berita, tanya, dan perintah. Tindak tutur tak langsung (indirect speech act) ialah tindak tutur untuk memerintah seseorang melakukan sesuatu secara tidak langsung. Tindakan ini dilakukan dengan memanfaatkan kalimat berita atau kalimat tanya agar orang yang diperintah tidak merasa dirinya diperintah. Misalnya seorang ibu menyuruh anaknya mengambil sapu, diungkapkan dengan “Upik, sapunya dimana?” Kalimat tersebut selain untuk bertanya sekaligus memerintah anaknya untuk mengambilkan sapu.
Universitas Sumatera Utara
b. Tindak tutur literal dan tindak tutur tak literal Tindak tutur literal (literal speech act) adalah tindak tutur yang dimaksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya. Sedangkan tindak tutur tidak literal (nonliteral speech act) adalah tindak tutur yang dimaksudnya tidak sama dengan atau berlawanan dengan kata-kata yang menyusunnya. Sebagai contoh dapat dilihat kalimat berikut. 1. Penyanyi itu suaranya bagus. 2. Suaramu bagus (tapi kamu tidak usah menyanyi) Kalimat (1) jika diutarakan dengan maksud untuk memuji atau mengagumi suara penyanyi yang dibicarakan, maka kalimat itu merupakan tindak tutur literal, sedangkan kalimat (2) penutur bermaksud mengatakan bahwa suara lawan tuturnya jelek, yaitu dengan mengatakan “Tak usah menyanyi”. Tindak tutur pada kalimat (2) merupakan tindak tutur tak literal. Apabila tindak tutur langsung dan tak langsung diinteraksikan dengan tindak tutur literal dan tak literal, maka akan tercipta tindak tutur sebagai berikut : 1. Tindak tutur langsung literal (direct literal speech act), ialah tindak tutur yang diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama dengan maksud pengutaraannya. Maksud memerintah disampaikan dengan kalimat perintah, memberitakan dengan kalimat berita, dan menanyakan sesuatu dengan kalimat tanya. Misalnya : Ambilkan buku itu! Siti gadis yang cantik”, Berapa saudaramu, Mad? 2. Tindak tutur tidak langsung literal (indirect literal speech act) adalah tindak tutur yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud
Universitas Sumatera Utara
pengutaraannya, tetapi makna kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh penutur. Misalnya : “Lantainya kotor”. Kalimat itu jika diucapkan seorang ayah kepada anaknya bukan saja menginformasikan, tetapi sekaligus menyuruh untuk membersihkannya. 3. Tindak tutur langsung tidak literal (direct non literal speech) adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud dan tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya. Misalnya : “Sepedamu bagus, kok”. Penuturnya sebenarnya ingin mengatakan bahwa sepeda lawan tuturnya jelek. 4. Tindak tutur tidak langsung tidak literal (indirect non literal speech act) adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang ingin diutarakan. Untuk menyuruh seorang pembantu menyapu lantai kotor, seorang majikan dapat saja mengutarakannya dengan kalimat “Lantainya bersih sekali, Mbok.” 2.2.4 Konteks Tuturan selalu diwujudkan dalam konteks tertentu. Konteks memegang peranan penting dalam menafsirkan makna tuturan karena makna tuturan dapat berbeda-beda dalam konteks yang berbeda. Kemampuan menafsirkan makna tuturan tergantung pada kemampuan mitra tutur menghubungkan tuturan itu dengan konteks yang melingkupinya. Mulyana (2005: 21) menyebutkan bahwa konteks ialah situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi. Konteks dapat dianggap sebagai sebab dan alasan
Universitas Sumatera Utara
terjadinya suatu pembicaraan atau dialog. Segala sesuatu yang behubungan dengan tuturan, apakah itu berkaitan dengan arti, maksud, maupun informasinya, sangat tergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa tuturan itu. Penyimpangan dan pematuhan prinsip kesantunan berbahasa merupakan bagian dari peristiwa tutur. Peristiwa atau konteks tutur dibentuk oleh berbagai unsur, seperti: penutur, mitra tutur, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk amanat, kode, dan saluran. Unsur-unsur itu berhubungan pula dengan unsur-unsur yang terdapat dalam setiap komunikasi bahasa, antara lain dikemukakan oleh Hymes (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 48-49), bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, tercakup dalam akronim SPEAKING ( S: setting, P: participants, E: ends, A: act sequence K: key, I: instrumentalities, N: norm, G: genres). .Latar (setting) berkenaan dengan waktu dan tempat tuturan berlangsung. Peserta tutur (participants) adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima (pesan). Tujuan (ends) merujuk pada maksud dan tuturan pertuturan. Urutan tindakan (act sequence) mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaanya, dan hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan. Kunci (key) mengacu pada nada, cara, dan semangat dimana suatu pesan disampaikan, apakah dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan mengejek, dan sebagainya. Instrumen (instrumentalities) mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Norma (norm) mengacu pada norma
Universitas Sumatera Utara
atau aturan dalam berinteraksi. Genre (genres) mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa dan sebagainya. 2.2.5 Pragmatik Pragmatik (Pragmatics) merupakan kajian arti atau makna yang timbul dalam pemakaian bahasa. Definisi pragmatik telah banyak disampaikan para linguis yang menggeluti pragmatik, diantaranya adalah sebagai berikut. Levinson (1983: 9) mendefinisikan pragmatik sebagai studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya. Konteks yang dimaksud tergramatisasi dan terkodifikasi sehingga tidak dapat dilepaskan dari struktur bahasanya. Pragmatics is the study of those relations between language and context that are grammaticalized, or encoded in the structure of a language (Levinson, 1983: 9)
Studi pragmatik berpusat pada penggunaan bahasa dalam suatu situasi ujar yang berhubungan dengan retorika. Hal ini sejalan dengan pendapat Leech (1993: 22-24) yang menjelaskan bahwa retorika adalah keterampilan penggunaan bahasa dalam komunikasi sehari-hari. Salah satu dari bentuk retorika yang dikemukakan oleh Leech (1993: 205) adalah retorika interpersonal. Dalam retorik interpersonal terdapat prinsip-prinsip komunikasi , salah satu diantaranya adalah prinsip bertindak tutur yang berterima dalam suatu masyarakat, yang merupakan salah satu bentuk kesopanan. Namun, tingkat penggunaan maksim-maksim pada prinsip tindak tutur masing-masing kelompok masyarakat, seperti yang telah diutarakan sebelumnya, berbeda-beda dari suatu budaya ke budaya yang lain.
Beberapa definisi pragmatik menurut Yule (2006: 3- 4) sebagai berikut. 1. Pragmatik adalah studi tentang maksud penutur.
Universitas Sumatera Utara
Pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (atau pembaca). Sebagai akibatnya studi ini lebih banyak berhubungan dengan analisis tentang apa yang dimaksudkan orang dengan tuturan- tuturannya daripada dengan makna terpisah dari kata atau frasa yang digunakan dalam tuturan itu sendiri 2. Pragmatik adalah studi tentang makna kontekstual. Tipe studi ini melibatkan penafsiran tentang apa yang dimaksudkan orang didalam suatu konteks khusus dan bagaimana konteks itu berpengaruh terhadap apa yang dikatakan. Diperlukan suatu pertimbangan tentang bagaimana cara penutur mengatur apa yang ingin mereka katakana yang disesuaikan dengan orang yang mereka ajak bicara, dimana, kapan, dan dalam keadaan apa. 3. Pragmatik adalah studi tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan daripada yang dituturkan. Pendekatan ini juga perlu menyelidiki bagaimana cara pendengar dapat menyimpulkan tentang apa yang dituturkan agar dapat sampai pada suatu interpretasi makna yang dimaksudkan oleh penutur. Studi ini menggali betapa banyak sesuatu yang tidak dikatakan ternyata menjadi bagian yang disampaikan. Dapat dikatakan bahwa studi ini adalah studi pencarian makna yang tersamar. 4. Pragmatik adalah studi tentang ungkapan dari jarak hubungan. Pandangan ini menimbulkan pertanyaan tentang apa yang menentukan pilihan antara yang dituturkan dengan yang tidak dituturkan. Jawaban yang mendasar terikat pada gagasan jarak keakraban. Keakraban, baik keakraban fisik, sosial atau konseptual, menyiratkan adanya pengalaman yang sama. Pada asumsi tentang seberapa dekat atau
Universitas Sumatera Utara
jauh jarak pendengar, penutur menentukan seberapa banyak kebutuhan yang dituturkan. Beberapa defenisi pragmatik yang telah dikemukakan di atas memiliki kesamaan pengertian yakni sama-sama mendasarkan pijaan analisisnya pada konteks. Konteks yang dimaksud adalah segala latar belakang pengetahuan yang dimiliki bersama oleh penutur dan mitra tutur yang menyertai dan mewadahi sebuah pertuturan. 2.2.6 Antropolinguistik Antropolinguistik menurut Sibarani (2004: 50) adalah cabang linguistik yang yang mempelajari variasi dan penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan perkembangan waktu, perbedaan tempat komunikasi, sistem kekerabatan, pengaruh kebiasaan etnik, kepercayaan, etika berbahasa, adat istiadat dan pola-pola kebudayaan lain dari suatu suku bangsa. Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa antropolinguistik menitikberatkan pada hubungan antara bahasa dengan kebudayaan dalam suatu masyarakat. Antropolinguistik adalah cabang linguistik yang menaruh perhatian pada: a) pemakaian bahasa dalam konteks sosial dan budaya yang luas dan b) peran bahasa dalam mngembangkan dan mempertahankan aktifitas budaya serta struktur sosial. Sementara itu, Duranti mengenalkan konsep "linguistik-antropologi" yang ia gagas sebagai salah satu bentuk wilayah interdisipliner yang mempelajari "bahasa" sebagai sumber budaya dan ujaran sebagai bentuk kegiatan budaya. Duranti (1997) menyatakan:
Universitas Sumatera Utara
linguistic anthropology as an interdisciplinary field which studies language as a cultural resource and speaking as a cultural practice. Selanjutnya,
Kridalaksana
(1984)
menggunakan
istilah
kajian
antropolinguistik ini adalah kajian linguistik kebudayaan. Linguistik kebudayaan adalah cabang ilmu lingustik yang mempelajari variasi dan pemakaian bahasa dalam hubungannya dengan pola kebudayaan dan ciri-ciri bahasa yang berhubungan dengan kelompok sosial, agama, pekerjaan dan kekerabatan. Antropologi linguistik adakalanya disebut sebagai etnolinguistik menelaah bahasa bukan hanya dari struktur semata, tapi lebih pada fungsi dan pemakaiannya dalam konteks situasi sosial budaya. Kajian antropologi linguistik antara lain menelaah struktur dan hubungan kekeluargaan melalui istilah kekerabatan atau menelaah bagai mana anggota masyarakat saling berkomunikasi pada situasi tertentu seperti pada upacara adat lalu menghubungkan dengan konsep budayanya. Penelitian ini juga merupakan bagian dari kajian antropolinguistik karena meneliti kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus yang kemudian dikaitkan dengan kearifan lokal yang terkandung dalam kesantunan berbahasa sesuai dengan kebudayaan yang dimiliki masyarakat tersebut. Kesantunan berbahasa antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain berbeda menurut budaya yang dimiliki oleh masing-masing masyarakat tersebut. Pada masyarakat Mandailing di Tapanuli Selatan, merupakan hal yang wajar menggunakan sapaan orang kedua ho (kau) kepada mitra tutur yang lebih tua ataupun orang yang belum dikenal dekat. Sementara penggunaan sapaan orang kedua kau yang digunakan masyarakat Pasisi Barus untuk mitra tutur berjenis kelamin perempuan dan ang untuk mitra tutur
Universitas Sumatera Utara
berjenis kelamin laki-laki hanya digunakan untuk mitra tutur yang usianya lebih muda atau jarak sosialnya dekat. Penggunaan kedua sapaan tersebut kepada mitra tutur yang lebih tua akan dianggap tidak santun sesuai dengan budaya yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Oleh karena itulah kesantunan berbahasa juga merupakan bagian dari kajian antropolinguistik yang mengkaji bahasa berdasarkan konteks budaya masyarakat penutur bahasa tersebut. 2.2.7 Kerangka Teori yang Diterapkan Penelitian ini berpijak pada kajian antropolinguistik dan pragmatik karena mengkaji kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus yang dikaitkan dengan budaya masyarakat penutur bahasa tersebut. Penelitian ini tidak dapat hanya didasarkan pada teori pragmatik saja sebab kesantunan berbahasa beroperasi secara berbeda dalam kebudayaan-kebudayaan yang berbeda dan masyarakat bahasa yang berbeda (Leech, 1993: 15). Oleh karena itulah penelitian ini juga didasarkan pada kajian antropolinguistik yang mengkaji bahasa berdasarkan konteks budaya penutur bahasa tersebut. Teori pragmatik, dalam hal ini teori kesantunan, dipakai untuk menganalisis bahasa di dalam praktik penggunaannya dan memperkaya wawasan bagaimana bahasa digunakan oleh penuturnya di dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan pragmatik turut memberi sumbangan besar terhadap kajian antropolinguistik yang memberikan penekanan pemahaman budaya melalui kajian linguistik (Sibarani, 2004: 52).
Universitas Sumatera Utara
Tuturan-tuturan pada ranah keluarga dan tetangga masyarakat Pasisi Barus dalam interaksi sehari-hari dikelompokkan berdasarkan jenis tindak tuturnya berdasarkan teori Searle (1969) dan dianalisis berdasarkan strategi kesantunan Brown & Levinson (1987). Dari strategi-strategi yang digunakan masyarakat Pasisi Barus untuk menunjukkan kesantunan dalam berbahasa, didapat pola kesantunan berbahasa dan kearifan lokal yang tersirat dalam kesantunan berbahasa masyarakat tersebut. Kerangka teori yang diterapkan pada penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.5 berikut.
Antropolinguistik
Pragmatik
Universitas Sumatera Utara
Kesantunan Berbahasa
Teori Wajah (Face) Brown & Levinson (1987)
Teori Tindak Tutur Searle (1969)
Strategi Kesantunan Berbahasa Masyarakat Pasisi Barus
Pola Kesantunan Berbahasa Masyarakat Pasisi Barus
Kearifan Lokal Kesantunan Berbahasa Masyarakat Pasisi Barus
Gambar 2.5 Kerangka Pikir Penelitian
2.3 Kajian Pustaka Beberapa penelitian terdahulu yang memberi kontribusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Tesis Evizariza (2002) yang berjudul “Tindak Tutur Permintaan dalam Bahasa Indonesia Studi Kasus Penutur Bahasa Melayu Riau pada Ranah Keluarga di Pekan Baru” mengkaji tentang tindak tutur permintaan, cara mengungkapkan tindak tutur serta kesopanan yang direfleksikan dalam tindak tutur permintaan dalam bahasa Indonesia oleh penutur bahasa Melayu Riau pada ranah keluarga di Pekan Baru. Temuan dalan penelitian ini adalah bahwa bentuk tindak tutur permintaan dalam
Universitas Sumatera Utara
interaksi antara penutur dengan mitra tutur pada ranah keluarga di Pekan baru didapat sebelas pola tutur sebagai kinerja verbalnya. Beliau menyimpulkan bahwa interaksi kinerja verbal tindak tutur permintaan dalam ranah keluarga ini mempertimbangkan aspek kesopanan, Kesopanan direfleksikan dalam tuturan yang mengakibatkan orang lain melakukan sesuatu yang dimaksudkan penutur. Kontribusi penelitian beliau terhadap penelitian yang telah dilakukan ini adalah pemilihan ranah keluarga sebagai ruang lingkup penelitian sebab ranah keluarga merupakan ranah awal sebagai tempat pengajaran kesantunan dalam berbahasa. Dalam jurnal LOGAT volume 1 di halaman 87-95 yang berjudul “Perangkat Tindak Tutur dan Siasat Kesantunan Berbahasa (Data Bahasa Mandailing)” Namsyah Hot Hasibuan (2005) mengklasifikasikan tindak tutur data bahasa Mandailing berdasarkan sistematisasi Searle yang mengelompokkannya ke dalam lima jenis tindak tutur utama, yakni tindak tutur representatif, direktif, komisif, ekspresif dan deklaratif. Penelitian beliau memberi kontribusi terhadap penelitian yang telah dilakukan ini karena dalam penelitian mengenai kesantunan dan tindak tutur ini, beliau juga menggunakan teori kesantunan Brown dan Levinson. Dalam simpulan penelitian ini dinyatakan bahwa dalam masyarakat Mandailing, prinsip kesantunan diperoleh melalui pembelajaran agama dan norma adat setempat, baik formal maupun informal. Dalam jurnal PELLBA 18 yang berjudul “Implikatur dan Kesantunan Berbahasa: Beberapa Tilikan dari Sandiwara Ludruk”, Asim Gunarwan (2007) mencoba menunjukkan bahwa teori pragmatik, tepatnya teori kesantunan, dapat dipakai untuk menganalisis bahasa di dalam praktik penggunaannya. Bahasan beliau
Universitas Sumatera Utara
dalam tulisan tersebut didasarkan pada teori Brown dan Levinson. Beliau menganalisis ujaran-ujaran dalam lakon ludruk Jawa dengan memilih dialog-dialog yang potensial mengandung kesantunan, baik yang positif maupun yang negatif, atau ketiadaan kesantunan. Penelitian beliau memberikan kontribusi terhadap penelitian yang telah dilakukan ini dalam hal pemilihan tuturan yang mengandung kesantunan pada data-data bahasa yang didapat. Disertasi Sri Minda Murni (2009) yang berjudul “Kesantunan Linguistik dalam Ranah Sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara” berkenaan dengan kajian realisasi kesantunan linguistik dalam ranah sidang Dewan Perwakilan Rakyat daerah Provinsi Sumatera Utara. Penelitian beliau memberikan kontribusi terhadap penelitian ini dalam hal penggunaan teknik observasi partisipatoris yang bersifat pasif, teknik rekam dan teknik dokumentasi. Penelitian ini juga memberikan kontribusi dalam hal mengenai strategi kesantunan positif dan negatif yang didasarkan pada teori Brown dan Levinson. Hasil penelitian beliau menunjukkan bahwa dua tindak tutur yakni tindak tutur meminta penjelasan dan memberikan pendapat direalisasi melalui modus, pronomina, pemarkah kesantunan, kata berpagar (hedges), perujuk diri (committers), dan penurun (downtoner). Beliau juga menemukan bahwa kesantunan linguistik di dalam rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara ditandai dengan sifat ketidaklangsungan ujaran yang ditunjukkan melalui modus. Pada jurnal Bahasa dan Seni Tahun 40 Nomor 1, Syarifuddin Achmad (2012) dalam jurnalnya yang berjudul “Strategi Kesopanan Berbahasa Masyarakat Bugis
Universitas Sumatera Utara
Pinrang Provinsi Sulawesi Selatan” mengkaji tentang (1) bentuk dan ciri-ciri linguistik kesopanan berbahasa; (2) wujud strategi kesopanan berbahasa; (3) implikasi realisasi nilai makna budaya siri’ dalam masyarakat Bugis Pinrang. Penelitian ini menggunakan metode etnometodologi, dengan teknik analisis discourse analysis ditinjau dari pragmatik, semiotik dan konsep face want dari Brown dan Levinson (1987). Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) ciri dan bentuk linguistik kesopanan penggunaan afiksasi pemarkah kesopanan yaitu morfem proklitika t dan ta, enklitika pronomina ta, ki’, ni’ kosakata honorifik dan sebutan, leksikal iye, tabe, taddampenga, (2) ditemukan ragam pragmatik kesopanan bahasa dalam beberapa maksim yaitu maksim kebijakan, kemurahan, penerimaan, kerendahan hati/simpati, (3) ragam strategi perwujudan kesopanan dalam bald on record, kesopanan positif, kesopanan negatif, kesopanan off record, (4) realisasi dan implikasi budaya siri’ yang terwujud dalam konsepsi nilai dasaretika dan kesopanan berbahasa, aktualisasi diri, citra diri, keberanian, solidaritas, dan kerjasama. Nazaya Zulaikha (2013) dalam tesisnya yang berjudul “Analisis Partikel Pemarkah Emotif Bahasa Jepang: Satu Kajian Pragmatik” membahas partikel/joshi bahasa Jepang sebagai pemarkah makna emotif , makna emotif yang dibawa oleh partikel, dan hubungan makna emotif dengan konteks situasi percakapan. Penelitian ini menggunakan sumber data berupa komik “Gals!” karya Mihona Fujii jilid 1, 2, dan 3 dengan memberi penekanan analisis pada konteks situasi percakapannya. Landasan teori yang digunakan adalah studi pragmatik berdasarkan teori Leech, yakni studi yang mengkaji makna dengan mempertimbangkan konteks situasi percakapan, dan konteks situasi berdasarkan teori Sinar. Dengan demikian, makna emotif dapat diketahui. Dalam menganalisis data, dipertimbangkan
Universitas Sumatera Utara
leksikal yang merujuk pada makna emotif tertentu dan bagian-bagian dalam konteks situasi, yakni medan wacana, pelibat wacana, dan sarana wacana. Teknik analisis substitusi dan teknik delesi digunakan sebagai instrumen pembuktian keabsahan makna emotif yang dikaji. Hasil temuan menunjukkan, terdapat 17 partikel yang menunjukkan makna emotif yang kesemuanya berperan sebagai partikel akhir kalimat, 3 buah diantaranya memiliki makna emotif yang lebih dari satu. Selain itu, ditemukan bahwa medan wacana memiliki peran yang amat penting dalam menentukan makna emotif suatu partikel dan semua partikel tidak dapat disubstitusi maupun dilesapkan karena menyebabkan terjadi perubahan makna emotif dan kerancuan dalam penerjemahan. Kontribusi penelitian tersebut pada penelitian ini adalah mengenai teori yang menjelaskan kesantunan dengan partikel.
Universitas Sumatera Utara