BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Manajemen Sumber Daya Manusia (Human Resource Management) 2.1.1.1 Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia Manajemen sumber daya manusia adalah utilisasi dari individuindividu untuk mencapai tujuan dari organisasi. (Mondy, 2010, p4). Menurut Mathis dan Jackson (2006, p3). Manajemen Sumber Daya Manusia - SDM (human resource - HR management) adalah rancangan sistem-sistem formal dalam sebuah organisasi untuk memastikan penggunaan bakat manusia
secara
efektif
dan
efisien
guna
mencapai
tujuan-tujuan
organisasional. Sedangkan menurut Rue dan Byars (2006, p4), manajemen sumber daya manusia adalah aktivitas-aktivitas yang didesain untuk menyediakan dan mengkoordinasikan sumber daya manusia di dalam suatu organisasi. Jadi, dapat disimpulkan bahwa manajemen sumber daya manusia adalah pengelolaan potensi manusia di dalam suatu organisasi secara maksimal yang betujuan untuk dapat mencapai tujuan organisasi tersebut.
8
2.1.1.2 Kinerja Organisasi dan Manajemen Sumber Daya Manusia Menurut Byars dan Rue (2006, p10-11), tidak diragukan bahwa manajer sumber daya manusia menghabiskan waktu yang besar dalam menangani masalah dan keprihatinan yang berhubungan dengan sisi kemanusiaan dari organisasi. Oleh karena hal ini, banyak orang yang mempersepsikan manajer sumber daya manusia hanya memperhatikan persoalan-persoalan yang berhubungan secara langsung kepada sisi kemanusiaan dari organisasi. Kontras dengan pandangan ini, manajer sumber daya manusia dapat memiliki dampak langsung kepada kinerja organisasi dalam beberapa cara spesifik : 1.
Mengurangi biaya-biaya lembur yang tidak perlu dengan meningkatkan produktivitas selama hari biasa
2.
Menjaga tingkat absensi pada tingkat tertingginya dan melembagakan program-program yang dirancang untuk mengurangi uang yang dihabiskan untuk waktu tidak bekerja.
3.
Menghilangkan waktu yang terbuang oleh karyawan melalui design pekerjaan yang jelas
4.
Meminimalisir biaya turnover karyawan dan sokongan untuk pengangguran dengan mengimplementasi relasi manusia yang jelas dan menciptakan suatu atmosfir pekerjaan yang mempromosikan kepuasan kerja.
9
5.
Memasang dan memonitor program keselamatan dan kesehatan yang efektif untuk mengurangi kecelakaan-kecelakaan yang menguras waktu dan menjaga biaya kompensasi medis dan pekerja tetap rendah.
6.
Pelatihan dan pengembangan yang tepat bagi seluruh karyawan sehingga mereka dapat meningkatkan nilai mereka bagi perusahaan dan melakukan pekerjaan yang lebih baik dalam memproduksi dan menjual produk dan jasa berkualitas tinggi pada biaya yang serendah mungkin.
7.
Mengurangi biaya limbah dengan mengeliminasi kebiasaan dan sikap kerja yang buruk dan kondisi kerja yang buruk yang mengarah pada kecerobohan dan kesalahan
8.
Mempekerjakan orang-orang terbaik yang tersedia pada tiap level dan menghindari kelebihan pegawai.
9.
Menjaga praktek pembayaran kompetitif dan program tunjangan untuk membantu perkembangan suasana motivasional bagi karyawan
10. Mendorong karyawan, yang mungkin mengetahui lebih tentang serbaserbi dari pekerjaan mereka daripada orang lain, untuk menyampaikan ide-ide untuk meningkatkan produktivitas dan mengurangi biaya. 11. Memasang
sistem
informasi
sumber
daya
manusia
untuk
mempersingkat dan mengotomatisasikan banyak fungsi-fungsi sumbersumber daya manusia.
2.1.1.3 Aktivitas SDM
10
Menurut Mathis dan Jackson, manajemen SDM terdiri atas beberapa kelompok aktivitas yang saling berhubungan yang terjadi dalam konteks organisasi. Selain itu, semua manajer yang memiliki tanggung jawab SDM harus mempertimbangkan pengaruh lingkungan eksternal – hukum, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, dan teknologi – ketika menyampaikan aktivitas ini. Berikut adalah tinjauan tujuh aktivitas SDM (Mathis dan Jackson, 2006, p43-46): Perencanaan dan Analisis SDM. Lewat perencanaan SDM, manajermanajer berusaha untuk mengantisipasi kekuatan yang akan memengaruhi persediaan dan tuntutan para karyawan di masa depan. Kesetaraan Kesempatan Kerja. Pemenuhan hukum dan peraturan tentang kesetaraan dan kesempatan kerja (EEO) mempengaruhi semua aktivitas sumber daya manusia dan integral dengan manajemen internal. Pengangkatan Pegawai. Tujuan dari pengangkatan pegawai adalah memberikan persediaan yang memadai atas individu-individu yang berkualifikasi untuk mengisi lowongan kerja di sebuah organisasi. Dengan mempelajari apa yang dilakukan para pekerja, analisis pekerjaan merupakan dasar untuk fungsi pengangkatan pegawai. Pengembangan Sumber Daya Manusia. Dimulai dari orientasi karyawan baru, pengembangan sumber daya manusia juga meliputi pelatihan keterampilan pekerjaan. Ketika pekerjaan-pekerjaan berkembang dan berubah, diperlukan adanya pelatihan ulang yang dilakukan terus-
11
menerus
untuk
menyesuaikan
perubahan
teknologi.
Mendorong
perkembangan semua karyawan, termasuk para supervisor dan manajer, juga penting untuk mempersiapkan organisasi-organisasi agar dapat menghadapi tantangan masa depan. Perencanaan karir menyebutkan arah dan aktivitas untuk karyawan individu ketika mereka berkembang di dalam organisasi tersebut. Kompensasi dan Tunjangan. Kompensasi memberikan penghargaan kepada karyawan atas pelaksanaan pekerjaan melalui gaji, insentif, dan tunjangan. Kesehatan, Keselamatan, dan Keamanan. Jaminan atas kesehatan fisik dan mental serta keselamatan para karyawan adalah hal yang sangat penting. Secara global, berbagai hukum keselamatan dan kesehatan telah menjadikan organisasi lebih responsif terhadap persoalan kesehatan dan keselamatan. Hubungan Karyawan dan Buruh/Manajemen. Hubungan antara para manajer dan karyawan mereka harus ditangani secara efektif apabila karyawan dan organisasi ingin sukses bersama.
2.1.1.4 Tantangan SDM Menurut Mathis dan Jackson (2006, p46-50), lingkungan yang dihadapi oleh manajemen sumber daya manusia merupakan lingkungan
12
yang menantang. Beberapa perubahan signifikan yang dihadapi oleh manajemen sumber daya manusia adalah sebagai berikut. Perubahan Ekonomi dan Teknologi. Beberapa perubahan ekonomi telah mengubah pola pekerjaan atau jabatan secara global. Tekanan dari pesaing global dan pertumbuhan teknologi informasi, terutama yang berhubungan dengan internet, telah menimbulkan banyak perubahan di semua jenis organisasi (2006, p46-47). Ketersediaan dan Kualitas Angkatan Kerja. Di banyak bagian dunia pada saat ini kekurangan angkatan kerja yang signifikan muncul karena kurangnya persediaan pekerja yang memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan yang ditambahkan (2006, p47). Menurut Rue dan Byars (2006, p8-9) pendekatan teknologi dan manajemen baru telah menambah tantangan yang dihadapi manajer sumber daya manusia. Ketika perubahan teknologi yang mempengaruhi manajer sumber daya manusia semakin membesar, tidak ada yang lebih dramatis dari hal-hal yang berkaitan dengan sistem informasi. Pertumbuhan Dalam Angkatan Kerja yang Tidak Tetap. Di masa lalu, pekerja temporer digunakan untuk menggantikan staff yang sedang cuti tahunan, cuti bersalin atau ketika perusahaan sedang menghadapi beban kerja yang tinggi. Sekarang, “pekerja yang tidak tetap” atau karyawan lepas (pekerja temporer, kontraktor lepas, karyawan kontrak dan pekerja paruh waktu) mewakili lebih dari 20 persen angkatan kerja. Banyak pemberi kerja beroperasi dengan sekelompok karyawan reguler inti dari keterampilan yang
13
penting dan kemudian memperluas dan mengontrak karyawan lepas (Mathis dan Jackson, 2006, p47-48). Demografi dan Perbedaan. Angkatan kerja global telah berubah secara dramatis. Akibat dari perubahan ini, manajemen sumber daya manusia di organisasi harus menyesuaikan diri dengan angkatan buruh yang lebih bervariasi baik secara eksternal maupun internal. (2006, p48). Menurut Rue dan Byars (2006, p7-8), setiap orang tidak akan berpandangan dan bertindak sama. Penyusunan Ulang Organizational, Merger/Akuisisi. Banyak organisasi telah melakukan penyusunan ulang dalam beberapa tahun terakhir agar lebih menjadi kompetitif. Selain itu, merger dan akuisisi perusahaan-perusahaan dalam industri yang sama dilakukan untuk, menjamin daya saing global. Sebagai bagian dari perubahan-perubahan organisasional ini, banyak organisasi “mengubah ukuran” dengan: (1) Menghapuskan lapisan manajer, (2) Menutup fasilitas, (3) Melakukan merger dengan organisasi lain dan (4) Membantu para pekerja mendapatkan pekerjaan baru. (Rue dan Byars, 2006, p48-50). Tantangan lain menurut Rue dan Byars (2006, p8) adalah perubahan regulasi. Arus regulasi pemerintah dan hukum-hukum telah menempatkan beban yang luar biasa pada manajer sumber daya manusia. Organisasi menghadapi regulasi baru yang diterbitkan secara rutin pada area
14
keselamatan dan kesehatan, kesetaraan kesempatan kerja, pensiun, lingkungan, dan kualitas dari kehidupan pekerjaan. Selain itu perubahan struktural pada organisasi juga menjadi tantangan manajemen sumber daya manusia menurut Rue dan Byars (2006, p8). Kini organisasi telah mengalami banyak perubahan struktural yang menghadirkan tantangan bagi manajer-manajer sumber daya manusia – dan mereka terus menghadapi perubahan seperti ini.
2.1.1.5 Peran Manajemen SDM Menurut Mathis dan Jackson (2006, p 50-56), terdapat empat tingkat peran sumber daya manusia yang berbeda. Peran Administratif untuk SDM. Di tingkat yang paling dasar, aktivitas SDM yang penting dalam sebuah perusahaan ditangani oleh manajer operasi atau “dikontrakkan keluar” (outsourced) berdasarkan kontrak-kontrak kepada vendor-vendor khusus. Pada tingkat ini, manajemen SDM sebagian besar merupakan operasi bantuan administrasi dan administratif. Peran Penasihat Karyawan untuk SDM. Pada umumnya, SDM dipandang sebagai “penasihat karyawan” dalam organisasi. Ketika manajemen SDM berubah, keharusan SDM untuk menyeimbangkan perannya sebagai penasihat para karyawan dan kontributor bisnis menjadi
15
sangat jelas. Idealnya, profesional SDM harus menjadi kontributor yang strategis, beroperasi secara efisien dan efektif dalam hal biaya. Peran Operasional untuk SDM. Biasanya, peran operasional dalam SDM untuk menyebutkan dan mengimplementasikan program dan kebijakan yang dibutuhkan di organisasi yang bekerja sama dengan manajer-manajer operasi. Peran Strategis untuk SDM. Supaya SDM dapat memainkan peran strategis, ia harus fokus pada implikasi jangka panjang dari persoalan SDM, tetapi membutuhkan tingkat pengetahuan profesional dan bisnis yang tinggi. Berikut adalah komponen penting dari pendekatan strategis itu. •
Meningkatkan kinerja organisasional.
•
Terlibat dalam perencanaan strategis.
•
Membuat keputusan tentang merger, akuisisi dan pengecilan perusahaan.
•
Merancang ulang organisasi dan proses kerja.
•
Menjamin akuntabilitas finansial untuk hasil-hasil SDM.
Tabel 2.1 Tabel Tinjauan Peran Manajemen SDM Peran
Peran Operasional
Administratif
dan Penasihat
Peran Strategis
16 Pemrosesan Fokus
administratif dan penyimpanan
Dukungan operasional mewakili karyawankaryawan
catatan Jangka pendek Pemilihan Waktu
Jangka panjang
(1-2 tahun)
(2-5 tahun)
tahun)
tunjangan
Aktivitas Khusus
organisasi, global
Jangka menengah
(kurang dari 1
• Memberikan
Seluruh
• Mengatur programprogram kompensasi
karyawan
• Merekrut dan
• Mengadakan
menyeleksi
orientasi
lowongan sekarang
karyawan baru
ini
• Mengevaluasi tren dan persoalan angkatan kerja • Terlibat dalam perencanaan
• Menginterpretasi
• Mengadakan
pengembangan
kan kebijakan
pelatihan
angkatan kerja
dan prosedur
keselamatan
masyarakat
SDM. • Mempersiapkan laporan pekerjaan yang sama
• Menyelesaikan
• Membantu
keluhan-keluhan
restrukturisasi
karyawan
dan pengecilan
• Mengemukakan kekhawatiran karyawan
organisasional • Menganjurkan merger atau akuisisi • Merencanakan strategi kompensasi
Sumber : Mathis dan Jackson; (2006, p57).
2.1.1.6 Fungsi-Fungsi Manajemen SDM
17
Ada 5 area fungsional menurut Mondy (2010, p5-8) yang terasosiasi dengan keefektivan sumber daya manusia yakni: 1.
Staffing Staffing adalah proses di dalam sebuah organisasi yang memastikan organisasi tersebut memiliki ketepatan jumlah karyawan dengan keahlian yang tepat, untuk mencapai tujuan organisasi.
2.
Human Resource Development (HRD) Human Resource Development adalah fungsi manajemen sumber daya manusia
yang
utama
mencakup
tidak
hanya
pelatihan
dan
pengembangan tetapi perencanaan karir dan kegiatan pengembangan, pengembangan organisasi, dan manajemen kinerja dan penilaian. 3. Compensation Kompensasi mengacu pada total dari semua penghargaan yang diberikan kepada karyawan atas jasa pelayanannya. 4. Safety and Healthy Safety mencakup kegiatan yang melindungi karyawan dari kecelakaan kerja. Health mencakup kegiatan yang melindungi karyawan dari penyakit fisik dan emosional. 5. Employee and Labor Relations Hubungan antara karyawan dan pekerja-pekerja lain dahulu dianggap sebagai jalan hidup banyak karyawan. Kebanyakan perusahaan akan lebih menginginkan sebuah lingkungan yang mempunyai hubungan kuat.
18
Sedangkan menurut Byars dan Rue (2006, p4-6), fungsi sumber daya manusia mengacu pada tugas dan kewajiban yang dilakukan baik dalam organisasi besar maupun kecil untuk menyediakan dan mengkoordinasikan manajemen sumber daya manusia. Fungsi sumber daya manusia telah mencakup berbagai aktivitas yang mempengaruhi semua area dari suatu organisasi secara signifikan. “The Society for Human Resource Management (SHRM)” telah mengidentifikasi enam fungsi mayor dari manajemen sumber daya manusia: 1.
Perencanaan, Perekrutan dan Penyeleksian Sumber Daya Manusia
2.
Pengembangan Sumber Daya Manusia
3.
Kompensasi dan Benefit
4.
Keselamatan dan Kesehatan
5.
Relasi Karyawan dan Tenaga Kerja
6.
Penelitian Sumber Daya Manusia
2.1.2 Penilaian Kinerja (Performance Appraisal) 2.1.2.1 Pengertian Penilaian Kinerja Byars dan Rue (2006, p223) mengungkapkan bahwa penilaian kinerja adalah proses mengevaluasi dan mengkomunikasikan bagaimana karyawan melakukan pekerjaan dan menyusun rencana pengembangan kepada para karyawan itu sendiri. Saat dilakukan secara tepat, penilaian kinerja tidak hanya memungkinkan karyawan mengetahui seberapa baik mereka
19
berkinerja tetapi juga mempengaruhi tingkat usaha dan arahan tugas mereka di masa depan. Sedangkan, menurut Mathis dan Jackson (2006, p382), penilaian kinerja adalah proses mengevaluasi seberapa baik karyawan melakukan pekerjaan mereka jika dibandingkan dengan seperangkat standar, dan kemudian mengkomunikasikan informasi tersebut kepada karyawan. Penilaian kinerja juga disebut pemeringkatan karyawan, evaluasi karyawan, tinjauan kinerja, evaluasi kinerja dan penilaian hasil. Konklusinya, penilaian kinerja adalah proses pengevaluasian tingkat kinerja
karyawan,
penyusunan
rencana
pengembangan
dan
pengkomunikasian hasil proses tersebut kepada karyawan itu sendiri.
2.1.2.2 Penggunaan-Penggunaan dalam Penilaian Kinerja Salah satu penggunaan yang paling umum dari penilaian kinerja adalah untuk membuat keputusan administratif terkait dengan promosi, pemecatan, pemberhentian sementara, dan peningkatan pembayaran. Sebagai contoh, kinerja karyawan kini sering menjadi pemikiran yang paling signifikan untuk menentukan apakah seseorang dapat dipromosikan atau tidak. (Byars dan Rue, 2006, p223). Informasi penilaian kinerja juga dapat menyediakan input yang diperlukan untuk menentukan baik kebutuhan pelatihan dan pengembangan secara individual atau organisasional. Sebagai contoh, informasi ini dapat
20
digunakan untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan karyawan (Byars dan Rue, 2006, p223). Penggunaan lain dari penilaian kinerja adalah untuk mendorong peningkatan kinerja. Dalam hal ini, penilaian kinerja digunakan sebagai sarana untuk menkomunikasikan pada karyawan akan bagaimana keadaan mereka dan menyarankan kebutuhan akan perubahan dalam perilaku, sikap, keahlian atau pengetahuan. Jenis umpan balik ini menjelaskan harapan pekerjaan dari manajer kepada para karyawan. Umpan balik ini sering harus diikuti dengan pelatihan oleh manajer untuk memandu usaha kerja karyawan (Byars dan Rue, 2006, p223-224). Selain itu, dua penggunaan penting lain dari informasi yang diambil dari penilaian kinerja adalah (1) input bagi validasi prosedur-prosedur kerja yang dipilih dan (2) input bagi perencanaan sumber daya manusia (Byars dan Rue, 2006, p224). Sedangkan menurut Mathis dan Jackson, organisasi biasanya menggunakan penilaian kinerja dalam dua peran yang memiliki potensi konflik. Peran pertama untuk mengukur kinerja dalam memberikan imbalan kerja atau keputusan administratif lainnya mengenai karyawan. Promosi atau pemecatan dapat tergantung pada peran ini, di mana sering kali menciptakan tekanan bagi para manajer untuk melakukan penilaian. Peran kedua berfokus pada pengembangan individu. Dalam peran ini, manajer lebih berperan sebagai seorang penasihat dibandingkan dengan seorang hakim, yang akan mengubah atmosfer hubungan. Peran kedua tersebut
21
menekankan dalam mengidentifikasi potensi dan merencanakan kesempatan pertumbuhan dan arah karyawan. (Mathis dan Jackson, 2006, p383)
2.1.2.3 Penilaian Informal vs Sistematis Penilaian kerja dapat terjadi dalam dua cara: secara informal atau secara sistematis. Seorang supervisor akan melakukan penilaian informal kapan pun saat diperlukan. Hubungan kerja sehari-hari antara manager dan karyawan membuka peluang pada kinerja karyawan untuk dievaluasi. Penilaian informal khususnya sesuai jika menyangkut permasalahan waktu, karena adanya penundaan dalam memberikan umpan balik akan melemahkan pengaruh motivasinya. Umpan balik informal yang sering dilakukan juga akan mencegah kejutan selama evaluasi formal. (Mathis dan Jackson, 2006, p385) Penilaian sistematis digunakan ketika hubungan antara manajer dan karyawan adalah formal, dan di mana ada sistem untuk melaporkan kesan dan observasi manajerial pada kinerja karyawan. Satu survei menunjukkan bahwa hampir 90% dari pemberi kerja mempunyai satu sistem atau proses manajemen kinerja formal (Mathis dan Jackson, 2006, p386).
2.1.2.4 Subyek yang Melakukan Penilaian Penilaian kinerja dapat dilakukan oleh siapapun yang mengetahui dengan baik kinerja dari karyawan secara individual. Kemungkinannya adalah sebagai berikut (Mathis dan Jackson, 2006, p387) :
22
Supervisor Menilai Bawahan. Penilaian secara tradisional atas karyawan didasarkan pada asumsi bahwa supervisor langsung adalah orang yang paling memenuhi syarat untuk mengevaluasi kinerja karyawan secara realistis dan adil (Mathis dan Jackson, 2006, p388). Karyawan Menilai Atasan. Sejumlah organisasi di masa sekarang meminta para karyawan atau anggota kelompok untuk memberi nilai pada kinerja supervisor dan manajer (Mathis dan Jackson, 2006, p389). Anggota Tim Menilai Sesamanya. Penggunaan rekan kerja dan anggota tim sebagai penilai adalah jenis penilaian lainnya yang berpotensi baik untuk membantu ataupun sebaliknya. (Mathis dan Jackson, 2006, p389-390). Karyawan Menilai Diri Sendiri. Menilai diri sendiri dapat diterapkan dalam situasi-situasi tertentu. Sebagai alat pengembangan diri, hal ini dapat memaksa para karyawan untuk memikirkan mengenai kekuatan dan kelemahan mereka dan menetapkan tujuan untuk peningkatan. (Mathis dan Jackson, 2006, p390). Penilai dari Luar. Penilaian juga dapat dilakukan oleh orang-orang (penilai) dari luar yang dapat diundang untuk melakukan tinjauan kinerja. Salah satu contoh dari penilaian ini adalah ketika dimana suatu tim peninjau mengevaluasi seorang direktur perguruan tinggi. Selain itu, pelanggan dan klien dari sebuah organisasi juga adalah sumber nyata untuk penilaian dari luar (Mathis dan Jackson, 2006, p391).
23
Penilaian dari Multisumber (Umpan Balik 360o). Popularitas penilaian ini semakin meningkat. Dalam umpan balik dari multisumber, manajer tidak lagi menjadi sumber tunggal dari informasi penilaian kinerja. Berbagai rekan kerja dan pelanggan dapat memberikan umpan balik mengenai karyawan kepada manajer. Hal ini memungkinkan manajer untuk mendapatkan masukan dari berbagai sumber. Tetapi, manajer tetap menjadi titik pusat untuk menerima umpan balik dari awal dan untuk terlibat dalam tindak lanjut yang diperlukan, bahkan dalam sistem multisumber. Jadi, persepsi manajer mengenai kinerja karyawan masih berpengaruh dalam jalannya proses tersebut (Mathis dan Jackson, 2006, p391-392). Penilaian dari multi sumber juga disebut multi-rater assessment. Dalam penilaian ini, manajer, rekan kerja, pelanggan pemasok atau kolega diminta untuk menyelesaikan kuesioner tentang karyawan yang dinilai. Departemen sumber daya manusia menyediakan hasilnya bagi karyawan. (Byars dan Rue, 2006, p225).
2.1.2.5 Metode Penilaian Kinerja : Metode Penilaian Kategori Metode yang paling sederhana untuk menilai kinerja adalah metode penilaian kategori. Metode penilaian kategori yang paling umum adalah skala penilaian grafis dan checklist. (Mathis dan Jackson, 2006, p392-393). Skala Penilaian Grafis (Graphic Rating Scale). Skala penilaian grafis memungkinkan penilai untuk menandai kinerja karyawan pada rangkaian
kesatuan.
Karena
kesederhanaannya,
metode
ini
sering
24
digunakan. Ada dua jenis skala penilaian grafis yang digunakan di masa kini. Jenis yang pertama dan yang paling umum memberikan daftar kriteria pekerjaan seperti kuantitas kerja, kualitas kerja, kehadiran dan lain-lain. Jenis kedua menilai aspek-aspek perilaku, seperti pengambilan keputusan, pengembangan karyawan dan lain-lain, disertai daftar perilaku spesifik dan efektivitas dari masing-masing hal yang dinilai (Mathis dan Jackson, 2006, p392-394). Daftar Periksa (Checklist). Checklist adalah alat penilaian kinerja yang menggunakan daftar pernyataan atau kata-kata. Penilai memberi tanda pernyataan yang paling representatif dari karakteristik dan kinerja karyawan. Checklist dapat dimodifikasi sehingga beragam bobot dapat diterapkan pada pernyataan atau kata-kata tersebut. Hasilnya kemudian dijumlahkan (Mathis dan Jackson, 2006, p396).
2.1.2.6 Metode Penilaian Kinerja : Metode Komparatif Dalam metode komparatif, para manajer membandingkan kinerja karyawan mereka terhadap satu sama lain secara langsung. Dua contoh dari metode ini adalah metode penentuan peringkat (ranking) dan metode distribusi paksa (forced distribution) (Mathis dan Jackson, 2006, p396-397). Penentuan Peringkat (Ranking). Dengan metode penentuan peringkat, kinerja semua karyawan diurutkan dari yang tertinggi sampai yang terendah (Mathis dan Jackson, 2006, p391-392).
25
Distribusi Paksa (Forced Distribution). Dengan menggunakan metode distribusi paksa, sebagai contoh, seorang kepala perawat akan menentukan
peringkat
personel
perawat
sepanjang
skala,
dengan
menempatkan suatu persentase tertentu dari karyawan pada setiap tingkat kerja (Mathis dan Jackson, 2006, p397-398).
2.1.2.7 Metode Penilaian Kinerja : Metode Naratif Metode-metode ini menguraikan tindakan karyawan dan juga dapat mengindikasikan penilaian aktual dengan memberi informasi penilaian tertulis. Dokumentasi dan deskripsi adalah inti dari metode kejadian penting, esai, dan tinjauan lapangan. (Mathis dan Jackson, 2006, p398). Kejadian Penting. Dalam metode kejadian penting, manajer menyimpan catatan tertulis mengenai tindakan dalam kinerja karyawan baik yang menguntungkan maupun yang merugikan selama periode penilaian. Ketika kejadian penting yang melibatkan karyawan terjadi, manajer menuliskannya. (Mathis dan Jackson, 2006, p398). Esai. Esai, atau metode penilaian “bentuk bebas,” mengharuskan seorang manajer untuk menuliskan esai pendek yang menguraikan kinerja setiap karyawan selama periode penilaian. (Mathis dan Jackson, 2006, p399). Tinjauan Lapangan. Tinjauan lapangan lebih berfokus pada siapa yang melakukan evaluasi dalam penggunaan metode ini. Pendekatan ini
26
dapat memasukan departemen sumber daya manusia sebagai peninjau, atau suatu peninjau yang independen dari luar organisasi. Dalam tinjauan lapangan, peninjau dari luar berperan sebagai rekanan aktif dalam proses penilaian dan berasumsi bahwa pihak luar tersebut cukup mengetahui tentang keadaan pekerjaan tersebut untuk membantu para supervisor memberikan penilaian yang lebih akurat dan menyeluruh. (Mathis dan Jackson, 2006, p399).
2.1.2.8 Metode Penilaian Kinerja : Metode Perilaku/Tujuan Dalam usaha untuk mengatasi beberapa kesulitan dari metode yang baru saja dibahas, pendekatan penilaian perilaku (behavioral rating approaches) lebih berusaha untuk menilai perilaku karyawan dibandingkan karakteristik yang lainnya. Beberapa dari pendekatan perilaku yang berbeda adalah skala penilaian perilaku yang diharapkan (behaviorally anchored rating scales-BARS), skala observasi perilaku (behavioral observation scales-BOS, dan skala perilaku yang diharapkan (behavioral expectation scales-BES). Behaviorally Anchored Rating Scales (BARS) membandingkan apa yang dilakukan karyawan terhadap kemungkinan perilaku yang ditunjukan pada suatu pekerjaan. Behavioral Observation Scales (BOS) menghitung jumlah
beberapa
kali
perilaku
tertentu
diperlihatkan.
Behavioral
Expectation Scales (BES) mengurutkan perilaku pada rangkaian kesatuan
27
untuk mendefinisikan kinerja yang menonjol, rata-rata, dan tidak dapat diterima (Mathis dan Jackson, 2006, p399-400).
2.1.2.9 Manajemen
Berdasarkan
Tujuan
dan
Kombinasi
dari
Berbagai Metode Istilah lain untuk MBO adalah penilaian dari hasil, bimbingan target, perencanaan dan tinjauan kerja, tujuan kinerja, dan penentuan tujuan bersama. Manajemen berdasarkan tujuan menentukan tujuan kinerja yang telah disepakati oleh seorang karyawan dan manajernya untuk dicapai dalam jangka waktu tertentu (Mathis dan Jackson, 2006, p401). Tidak ada metode penilaian terbaik untuk semua situasi. Oleh karena itu, sistem pengukuran kinerja yang menggunakan kombinasi dari berbagai metode yang telah kita bahas sebelumnya mungkin akan sesuai dalam keadaan tertentu. Penggunan kombinasi dapat menyeimbangkan keuntungan dan kerugian dari masing-masing metode (Mathis dan Jackson, 2006, p403).
2.1.2.10 Kesalahan Penilai Terdapat banyak kemungkinan sumber-sumber kesalahan dalam proses penilaian kinerja. Salah satu sumber utama adalah kesalahan yang dibuat oleh penilai (Mathis dan Jackson, 2006, p403). Standar yang beragam. Sewaktu menilai karyawan, seorang manajer harus menghindari penerapan standar dan pengharapan yang berbeda untuk
28
karyawan yang melakukan pekerjaan yang serupa (Mathis dan Jackson, 2006, p403) Efek Ke-terakhir-an/Ke-pertama-an. Recency effect terjadi jika seorang penilai memberikan bobot lebih pada kejadian-kejadian terakhir ketika menilai kinerja seorang individu. Kebalikannya adalah efek kepertama-an (primacy effect), di mana informasi yang diterima pertama mendapat bobot paling besar (Mathis dan Jackson, 2006, p404). Kesalahan Tendensi Sentral, Kelunakan, dan Kekakuan. Para penilai yang menilai semua karyawan dalam jarak yang sempit (misalnya : semua orang dinilai rata-rata) melakukan sebuah kesalahan tendensi sentral (central tendency error), di mana bahkan orang-orang yang berkinerja buruk menerima penilaian rata-rata. Pola-pola penilaian juga dapat menunjukan kelunakan atau kekakuan. Kesalahan kelunakan (leniency error) terjadi ketika penilaian semua karyawan jatuh pada ujung tinggi dari skala. Kesalahan kekakuan (strictness error) terjadi ketika seorang manajer dalam menilai karyawan menggunakan hanya bagian rendah dari skala. (Mathis dan Jackson, 2006, p404-406). Bias Penilai. Rater bias terjadi ketika nilai atau prasangka seorang penilai menimbulkan distorsi penilaian. Bias seperti ini bisa dilakukan secara tidak sadar atau secara disengaja. (Mathis dan Jackson, 2006, p406). Efek Halo. Halo effect terjadi ketika seorang manajer menilai tinggi seorang karyawan pada semua kriteria pekerjaan karena kinerja dalam satu
29
area. Efek “kerucut” adalah kebalikannya, di mana satu karakteristik dapat menyebabkan penilaian rendah secara keseluruhan (Mathis dan Jackson, 2006, p406). Kesalahan Kontras. Contrast error adalah kecenderungan untuk menilai orang secara relatif terhadap orang lain dan bukannya terhadap standar kinerja rata-rata, seseorang yang berkinerja sedikit lebih baik dapat dinilai baik sekali karena efek kontras (Mathis dan Jackson, 2006, p406). Mirip
Saya/Berbeda
dengan
Saya.
Kadang-kadang
penilai
terpengaruh oleh apakah orang-orang menunjukan karakteristik yang sama atau berbeda dengan penilai. Sekali lagi kesalahan disebabkan karena pengukuran seseorang terhadap orang lain dan bukan pada seberapa baik individu tersebut memenuhi harapan dalam pekerjaan (Mathis dan Jackson, 2006, p406). Kesalahan Penarikan Contoh (Sampling). Jika penilai hanya melihat sebagian kecil contoh dari pekerjaan seseorang, maka penilaiannya mungkin mempunyai kesalahan penarikan contoh. (Mathis dan Jackson, 2006, p407).
2.1.2.11 Umpan Balik Penilaian Setelah
menyelesaikan
penilaian,
para
manajer
harus
mengomunikasikan hasilnya untuk memberi penjelasan kepada karyawan mengenai posisi mereka di mata atasan langsung dan organisasi. Organisasi-
30
organisasi biasanya mengharuskan para manajer untuk mendiskusikan penilaian dengan karyawan (Mathis dan Jackson, 2006, p407). Wawancara Penilaian. Wawancara penilaian dapat memberikan baik kesempatan maupun bahaya. Hal ini dapat menjadi pengalaman yang emosional bagi para manajer dan karyawan, karena manajer harus mengomunikasikan baik pujian maupun kritik yang membangun. Masalah utama untuk para manajer adalah bagaimana menekankan aspek-aspek positif dari kinerja karyawan, sambil tetap mendiskusikan cara-cara untuk melakukan peningkatan yang diperlukan. Jika wawancara tersebut ditangani dengan
buruk,
karyawan
dapat
merasakan
ketidaksukaan
yang
mengakibatkan terjadinya konflik, dan kelak tercermin dalam pekerjaannya di masa depan (Mathis dan Jackson, 2006, p407). Umpan Balik Sebagai Sistem. Tiga komponen sistem umpan balik yang dikenal secara umum meliputi data, evaluasi dari data tersebut, dan sejumlah tindakan yang berdasarkan pada evaluasi. Data adalah potongan informasi faktual berkenaan dengan tindakan atau konsekuensi yang diobservasi. Evaluasi merupakan cara sistem umpan balik bereaksi terhadap fakta, dan hal ini memerlukan standar kinerja. Agar umpan balik dapat membuahkan perubahan, beberapa keputusan harus diambil mengenai tindakan berikutnya (Mathis dan Jackson, 2006, p408-409). Reaksi Manajer. Para manajer dan supervisor yang harus menyelesaikan penilaian karyawan mereka sering kali menentang proses
31
penilaian. Banyak manajer merasa bahwa peran mereka memanggil untuk membantu, mendorong, melatih, dan membimbing karyawan guna meningkatan kinerja. Tetapi, menjadi seorang hakim di satu sisi serta seorang pelatih dan pembimbing di sisi lain dapat menyebabkan konflik internal dan kebingungan bagi banyak manajer (Mathis dan Jackson, 2006, p409-410) Reaksi Karyawan yang Dinilai. Para karyawan sangat mungkin melihat proses penilaian sebagai ancaman dan merasa bahwa satu-satunya cara untuk mendapat penilaian yang tinggi adalah orang lain harus mendapat penilaian yang rendah. Persepsi menang/kalah ini didorong oleh metode komparatif. Tetapi kedua pihak dapat sama-sama menang dan tidak ada yang harus kalah. Penekanan pada peningkatan diri dan aspek pengembangan dari penilaian tampaknya menjadi cara yang paling efektif untuk mengurangi reaksi persaingan dari mereka yang berpartisipasi dalam proses penilaian (Mathis dan Jackson, 2006, p410). Manajemen Kinerja yang Efektif Apa pun metode yang digunakan, para manajer harus memahami hasil yang diharapkan dari manajemen kinerja. Ketika manajemen kinerja digunakan untuk mengembangkan karyawan sebagai sumber daya, biasanya akan berhasil dengan baik. Ketika manajemen menggunakan satu bagian utama dari manajemen kinerja, yaitu penilaian kinerja, untuk menghukum karyawan, atau ketika penilai gagal untuk memahami batasannya, manajemen kinerja menjadi kurang efektif.
32
Agar dapat efektif, sistem manajemen kinerja haruslah (Mathis dan Jackson, 2006, p410-411): ‐ Konsisten dengan misi strategis sebuah organisasi ‐ Bermanfaat sebagai alat pengembangan ‐ Berguna sebagai alat administratif ‐ Sesuai dengan hukum dan berkaitan dengan pekerjaan ‐ Dipandang adil secara umum oleh para karyawan ‐ Efektif dalam mendokumentasikan kinerja karyawan
2.1.2.12 Menghindari Kesalahan dalam Penilaian Kinerja Salah satu pendekatan untuk menghindari kesalahan-kesalahan dalam penilaian kinerja adalah dengan membuat penyaringan pada design dari metode penilaian. Sebagai contoh, sesorang dapat berargumen bahwa metode distribusi paksa dari penilaian kinerja berusaha untuk menghindari kelonggaran dan tendensi sentral. Sebagai tambahan, metode BARS dirancang untuk mengurangi efek halo, kelonggaran dan tendensi sentral karena mereka menyediakan contoh kinerja yang spesifik terhadapa apa yang akan dievaluasi dari karyawan kepada para manajer. (Byars dan Rue, 2006, p231). Suatu pendekatan lain yang lebih menjanjikan untuk menghindari kesalahan dalam penilaian kinerja adalah dengan meningkatkan keahlian dari penilai. Ajuan atas pelatihan yang spesifik perlu diberikan kepada evaluator terkadang tidak jelas, tetapi mereka biasanya menekankan bahwa
33
evaluator harus terlatih untuk mengobservasi perilaku secara lebih akurat dan menilai itu secara lebih adil. (Byars dan Rue, 2006, p231-232).
2.1.3 Stres (Stress) 2.1.3.1 Apa Itu Stres Menurut Robbins dan Judge (2007, p597), stres adalah suatu kondisi yang dinamik dimana suatu individu diperhadapkan dengan kesempatan, tuntutan atau sumber daya yang berhubungan dengan apa yang diinginkan individu tersebut dan hasilnya diperkirakan sebagai tidak pasti dan penting. Moorhead (2010, p167) menyatakan bahwa stres telah didefinisikan dalam berbagai cara, tetapi kebanyakan definisi menyebutkan bahwa stres disebabkan oleh suatu stimulus, stimulus tersebut dapat bersifat fisik maupun psikis, dan bahwa individu merespon stimulus tersebut dengan cara-cara tertentu. Menurutnya, stres adalah respon adaptif seseorang kepada suatu stimulus yang memberikan tuntutan fisik atau psikis yang terlalu besar baginya. (Moorhead, 2010, p167). Sebagai kesimpulan, stres dapat didefinisikan sebagai suatu respon adaptif seseorang terhadap suatu kondisi atau stimulus yang membuatnya tertekan secara fisik dan psikis.
2.1.3.2 Proses Stres
34
Menurut Moorhead (2010, p167-168), kebanyakan stres yang diketahui kini dapat ditemukan dari pekerjaan pertama dari Dr. Hans Selye. Beberapa kontribusi penting dari Selye adalah General Adaptation Syndrome (GAS) dan konsep dari eustres dan distres. General Adaptative Syndrome (GAS). Menurut model ini, setiap orang memiliki tingkat daya tahan terhadap kejadian-kejadian yang penuh stres. Sebagian orang dapat mentolerir stres yang besar dan orang-orang lain kurang dapat mentolerirnya, namun semua orang memiliki ambang batas dimana stres akan mulai mempengaruhinya.
Sumber : Moorhead; (2010, p168) Gambar 2.1 General Adaptation Syndrome
35
GAS dimulai ketika seseorang menemui suatu stressor. Tingkat pertama disebut “Alarm”. Pada titik ini, seseorang mungkin merasakan panik pada tingkat tertentu dan memulai memikirkan bagaimana untuk beradaptasi. Jika stressor terlalu ekstrim, orang tersebut mungkin tidak akan mampu untuk beradaptasi dengan hal itu. Akan tetapi, dalam kebanyakan kasus, seseorang mengumpulkan kekuatannya (fisik atau emosional) dan memulai untuk menahan efek negatif dari stressor. Seringkali, tingkat penahanan mengakhiri GAS. Di sisi lain, kontak yang lebih panjang dengan stressor tanpa resolusi akan menimbulkan tingkat ketiga dari GAS: kelelahan. Distres dan Eustres. Selye juga menyatakan bahwa sumber-sumber dari stres tidak selalu dari sebab yang buruk. Sebagai contoh, menerima bonus dan menentukan apa yang akan dilakukan dengan uangnya dapat menyebabkan stres. Begitu pula dengan mendapatkan promosi, membuat pidato sebagai bagian dari memenangkan penghargaan, menikah dan hal-hal baik lainnya. Selye menyebut tipe stres ini sebagai eustres. Eustres dapat mengarah pada hasil-hasil positif bagi individu. Dan tentu saja, terdapat stres negatif yang disebut distres. Distres merupakan apa yang kebanyakan orang pikirkan ketika mereka mendengar kata stres. Tekanan yang berlebihan, tuntutan yang tak masuk akal pada waktu seseorang dan berita buruk masuk dalam kategori ini. Bentuk stres ini biasanya menghasilkan konsekuensi yang negatif bagi individu.
36
2.1.3.3 Perbedaan Individual dan Stres Perbedaan yang paling berkembang yang secara spesifik berhubungan dengan stres dan merupakan pembeda antara profil kepribadian tipe A dan tipe B (Moorhead, 2010, p168-170). Kepribadian Tipe A dan Tipe B. Kepribadian tipe A dan tipe B, pertama kali diobservasi oleh dua orang kardiologis, yakni Meyer Friedman dan Ray Rosenman. Individu
tipe
A
yang
ekstrim sangatlah
kompetitif,
sangat
mendedikasikan diri pada pekerjaan, dan mempunyai indra yang kuat terhadap keterdesakan waktu. Terlebih lagi, orang ini cenderung bersifat agresif, tidak sabar dan sangat berorientasi pada pekerjaan. Dia memiliki banyak motivasi dan dorongan serta kemauan untuk menyelesaikan pekerjaan sebanyak mungkin yang dia bisa di dalam waktu yang sesingkat mungkin. Sebaliknya, individu tipe B yang ekstrim kurang kompetitif, kurang mendedikasikan diri pada pekerjaannya, dan mempunyai indra yang lebih lemah terhadap keterdesakan waktu. Orang ini jarang merasakan konflik kepada orang lain atau waktu serta lebih memiliki keseimbangan, pendekatan yang lebih santai terhadap hidup. Dia memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan mampu untuk bekerja secara konstan.
37
Friedman dan Rosenman menunjukkan bahwa kebanyakan orang tidak sepenuhnya bertipe A atau B; tetapi, orang-orang cenderung menuju tipe-tipe tersebut. Contohnya, orang yang kelihatannya mempunyai karakteristik tipe A, di sisi lain juga terkadang dapat santai dan pada saat tertentu dapat melupakan waktu. Di sisi lain, orang yang kelihatannya bertipe
B,
dapat
terkadang
menghabiskan
waktu
terobsesi
pada
pekerjaannya. Hardiness dan Optimism.
Hardiness merupakan kemampuan
seseorang untuk bertahan di dalam stres. Optimism adalah tingkat dimana seseorang melihat hidup relatif dalam keadaan lebih positif atau negatif. Dua perbedaan individu yang lain yang berhubungan dengan stres adalah ketabahan hati dan optimisme. Penelitian memperkirakan bahwa sebagian orang memiliki kepribadian yang lebih tabah dibandingkan yang lain. Orang-orang dengan kepribadian yang tabah memiliki locus of control internal, yang sangat berkomitmen pada aktivitas yang mereka jalankan di dalam kehidupan dan melihat perubahan sebagai kesempatan untuk pengembangan dan pertumbuhan. Orang seperti itu relatif terlihat sebagai orang yang tidak mengidap penyakit apa-apa jika mereka mengalami tekanan dan stres dengan level yang tinggi. Di sisi lain, orang-orang dengan ketabahan yang rendah mungkin lebih mengalami kesulitan bertahan di dalam stres. Perbedaan individual lain yang potensial adalah optimisme. Secara umum, orang-orang optimis cenderung untuk menangani stres lebih baik.
38
Mereka akan mampu untuk melihat karakteristik positif dari situasi dan menyadari bahwa hal-hal tersebut pada akhirnya akan bertambah baik. Secara kontras, orang yang kurang optimis akan lebih fokus pada karakteristik negatif dari situasi dan menduga bahwa hal-hal tersebut akan bertambah buruk, tidak lebih baik.
2.1.3.4 Sumber-Sumber Potensial dari Stres Terdapat tiga kategori dari penyebab stres secara potential menurut Robbins dan Judge (2007, p598-599). Penyebab stres yang pertama adalah faktor-faktor dari lingkungan. Faktor-faktor ini meliputi ketidakpastian ekonomi, ketidakpastian politik, perubahan teknologi dan terrorisme. Dari segi ketidakpastian ekonomi, ketika ekonomi suatu negara berguncang, maka masyarakat akan menjadi khawatir dengan jaminan pekerjaan mereka. Ketidakpastian politik akibat pemilihan umum, dapat menyebabkan terganggunya keamanan yang dapat menimbulkan stres dalam negara tersebut. Perubahan teknologi seperti dengan inovasi baru dapat menjadikan keahlian dan pengalaman karyawan menjadi tidak terpakai lagi dalam jangka waktu yang singkat. Komputer, robotik, automatisasi dan bentuk serupa dari inovasi teknologi menjadi ancaman bagi banyak orang yang dapat menimbulkan stres bagi mereka. Terorisme adalah sumber stres dari lingkungan yang meningkat intensitasnya pada abad ke-21.
39
Penyebab stres yang kedua adalah faktor-faktor organisasional. Faktor-faktor ini meliputi tuntutan tugas, tuntutan peran dan tuntutan interpersonal. Tuntutan tugas adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan pekerjaan seseorang. Hal-hal ini meliputi design pekerjaan individual, kondisi kerja dan tata ruang pekerjaan secara fisik. Tuntutan peran berhubungan dengan tekanan seseorang sebagai suatu fungsi dalam peran tertentu yang dia mainkan dalam suatu organisasi. Konflik peran menciptakan pengharapan yang mungkin sulit untuk direkonsiliasi atau dipuaskan. Peran yang melebihi kemampuan dialami ketika karyawan diharapkan untuk melakukan hal-hal yang lebih daripada seizin waktu. Ambiguitas peran dibentuk ketika ekpektasi peran tidak dimengerti secara jelas dan karyawan tidak yakin dengan apa yang harus dilakukan. Tuntutan interpersonal adalah tekanan-tekanan yang diciptakan oleh karyawan lain. Kurangnya dukungan sosial dari kolega dan hubungan interpersonal yang buruk dapat menyebabkan stres, khususnya diantara karyawan yang memiliki kebutuhan sosial yang tinggi. Penyebab stres yang ketiga adalah faktor-faktor personal. Faktorfaktor ini meliputi faktor keluarga, ekonomi serta kepribadian. Dari segi keluarga: masalah dalam pernikahan, pemutusan suatu hubungan dan masalah kedisiplinan dengan anak-anak adalah contoh dari problema hubungan yang menciptakan stres bagi karyawan. Problema-problema ekonomi yang dibentuk oleh individu-individu yang menggunakan sumber daya keuangan mereka secara berlebihan adalah sekumpulan masalah
40
personal yang dapat membuat stres karyawan dan mengalihkan perhatian mereka dari pekerjaan mereka. Selain itu, gejala-gejala stres yang diekpresikan pada pekerjaan mungkin berasal dari kepribadian orang tersebut. Di sisi lain, menurut Moorhead (2010, p171-177) dari banyak hal yang
dapat
menyebabkan
stres,
terdapat
dua
kategori:
stressor
organisasional dan stressor kehidupan. Stressor organisasional adalah bermacam-macam faktor di dalam tempat kerja yang dapat menyebabkan stres. Empat kelompok dari stressor organisasional adalah tuntutan tugas, tuntutan fisik, tuntutan peran dan tuntutan interpersonal. Tuntutan tugas adalah stressor yang diasosiasikan dengan pekerjaan spesifik yang dilakukan oleh seseorang. Beberapa pekerjaan pada dasarnya lebih penuh tekanan dibandingkan lainnya. Tuntutan fisik dari suatu pekerjaan adalah keperluan fisik dari pekerja; tuntutan ini adalah suatu fungsi karakteristik fisik dari letak dan tugas yang ada di dalam pekerjaan. Salah satu elemen yang penting dari hal ini adalah temperatur. Design kantor juga dapat menjadi masalah. Design kantor yang buruk dapat mempersulit orang-orang untuk memiliki privasi atau mendorong interaksi sosial yang terlalu besar atau terlalu sedikit. Demikian juga, pencahayaan yang buruk, tempat kerja yang kurang luas dan defisiensi yang serupa dapat menimbulkan stres. Dan kerja shift dapat menyebabkan gangguan bagi
41
orang-orang karena pengaruh hal itu terhadap aktivitas istirahat dan waktu luang mereka. Tuntutan peran juga dapat penuh tekanan bagi orang-orang dalam organisasi. Suatu peran adalah suatu kumpulan dari perilaku yang diharapkan diasosiasikan dengan suatu posisi tertentu di dalam suatu grup atau organisasi. Orang-orang di dalam suatu organisasi atau grup kerja mengharapkan seseorang pada suatu peran tertentu untuk juga bertindak dalam cara tertentu. Masalah-masalah yang mendorong stres yang menyangkut peran adalah ambiguitas peran, konflik peran dan kelebihan peran. Ambiguitas peran meningkat saat suatu peran tidak jelas. Konflik peran muncul saat pesan dan isyarat dari orang lain jelas tentang suatu peran namun bertentangan atau menguntungkan sebagian pihak. Kelebihan peran muncul saat ekpektasi dari suatu peran melebihi kapabilitas suatu individu. Tuntutan interpersonal terdiri dari tiga bagian: tekanan grup, kepemimpinan dan konflik interpersonal. Stressor kehidupan merupakan penyebab stres dalam organisasi yang dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar organisasi. Stressor kehidupan dapat dikategorikan dalam perubahan kehidupan dan trauma kehidupan. Gagasan bahwa perubahan kehidupan sebagai salah satu penyebab stres pertama kali dikembangkan dan dipopulerkan pertama kali oleh
42
Holmes dan Rahe. Suatu perubahan kehidupan adalah perubahan apapun yang bermakna di dalam keadaan personal atau pekerjaan seseorang. Holmes dan Rahe memberi alasan bahwa perubahan besar dari kehidupan seseorang dapat mengarah pada stres dan pada akhirnya kepada penyakit.
Tabel 2.2 Life Change Units
Sumber: Moorhead; (2010, p176)
Trauma kehidupan serupa dengan perubahan kehidupan, namun hal ini memiliki fokus yang lebih sempit, terarah dan berjangka pendek. Trauma kehidupan adalah pergolakan apapun di dalam kehidupan suatu individu
43
yang mengubah sikap, emosi atau perilakunya. Sebagai ilustrasi, menurut pandangan perubahan kehidupan, suatu perceraian meningkatkan potensi masalah kesehatan seseorang pada tahun berikutnya (setelah perceraian). Pada saat yang sama, orang itu tentunya akan juga mengalami guncangan emosional selama proses aktual perceraian itu sendiri. Guncangan ini adalah salah satu bentuk dari trauma kehidupan dan jelas akan menyebabkan stres, yang mungkin akan merambat ke tempat kerja. Trauma kehidupan besar yang mungkin menyebabkan stres meliputi masalah pernikahan, kesulitan keluarga dan masalah kesehatan yang mungkin pada awalnya tidak berhubungan dengan stres.
2.1.3.5 Konsekuensi dari Stres Stres menunjukkan gejalanya dalam tiga kategori umum : gejala fisiologis, psikologis dan perilaku (Robbins dan Judge, 2007, p601-602). Kebanyakan kekhawatiran awal atas stres berasal dari gejala fisiologis. Hal ini didasarkan pada banyaknya spesialis dalam ilmu kesehatan dan medis yang meneliti topik ini. Penelitian tersebut mengarah pada kesimpulan dimana stres dapat menyebabkan perubahan pada metabolisme tubuh, meningkatkan detak jantung dan intensitas nafas, meningkatkan tekanan darah, menyebabkan sakit kepala dan menimbulkan serangan jantung. Stres yang berhubungan dengan pekerjaan dapat menyebabkan ketidakpuasan akan pekerjaan tersebut. Ketidakpuasan akan pekerjaan,
44
faktanya merupakan efek psikologis yang paling sederhana dan jelas atas stres itu sendiri. Namun, stres juga menunjukkan dirinya dalam keadaankeadaan psikologis yang lain, sebagai contoh : ketegangan, kekhawatiran, sifat lekas marah, kebosanan dan penundaan. Terdapat bukti-bukti yang mengindikasikan bahwa ketika orang-orang ditempatkan pada pekerjaan yang menimbulkan penuntutan ganda dan penuntutan yang berkonflik atau dimana terdapat ketidakjelasan atas tugas-tugas, otoritas dan tanggung jawab dari orang yang berkepentingan, maka baik stres dan ketidakpuasan kerja akan meningkat. Gejala-gejala stres yang berhubungan dengan perilaku meliputi perubahan dalam produktivitas, absensi dan turnover, sebagaimana juga perubahan pada pola makan, peningkatkan perilaku merokok atau konsumsi alkohol, berbicara secara cepat, kegelisahan dan gangguan tidur. Moorhead (2010, p177-179) juga mengungkapkan bahwa stres dapat memiliki banyak konsekuensi. Jika stresnya positif, hasilnya adalah energi, antusiasme dan motivasi yang berlebih. Namun, tentu saja juga terdapat akibat negatif dari stres. Stres juga dapat menghasilkan konsekuensi negatif bagi individu, konsekuensi negatif bagi organisasi dan burnout. Konsekuensi Individu. Konsekuensi individu stres adalah akibat stres yang
mempengaruhi
seseorang.
Organisasi
juga
mungkin
dapat
merasakannya, baik secara langsung maupun tidak langsung, namun individu itu sendirilah yang membayar harga sesungguhnya dari
45
konsekuensi itu. Stres mungkin menghasilkan konsekuensi perilaku, psikologis dan medis. Konsekuensi perilaku dari stres mungkin dapat melukai orang yang di bawah stres itu atau orang lain. Salah satu contoh perilakunya adalah merokok. Penelitian telah mendokumentasikan secara jelas bahwa orangorang cenderung untuk lebih merokok ketika mereka mengalami stres. Terdapat juga bukti bahwa alkohol dan penyalahgunaan obat terlarang berkaitan dengan stres, walaupun hubungan ini kurang didokumentasikan dengan baik. Konsekuensi perilaku lain adalah kecendrungan untuk mengalami kecelakaan, agresi dan kekerasan, serta gangguan nafsu makan. Konsekuensi psikologis dari stres berhubungan dengan kesejahteraan dan kesehatan mental dari seseorang. Ketika orang-orang mengalami stres yang terlalu besar pada pekerjaannya, mereka mungkin menjadi depresi atau menemukan diri mereka sendiri tidur terlalu lama atau tidak cukup tidur. Stres juga dapat mengarah pada masalah keluarga dan kesulitan stres. Konsekuensi medis dari stres mempengaruhi kesehatan fisik seseorang. Penyakit jantung dan stroke, di antara penyakit lainnya, telah dihubungkan dengan stres. Masalah medis lain yang umum yang dihasilkan dari stres yang terlalu besar meliputi sakit kepala, sakit punggung, berbagai gangguan perut dan usus, serta kondisi kulit seperti jerawat dan pembengkakan.
46
Konsekuensi Organisasional. Telah jelas bahwa konsekuensi medis apapun dapat mempengaruhi organisasi. Akibat lain dari stres bahkan dapat memiliki konsekuensi yang lebih terarah pada organisasi. Hal-hal ini meliputi penurunan pada kinerja, penarikan diri dan perubahan negatif pada sikap. Salah satu konsekuensi organisasional yang jelas dari terlalu besarnya stres adalah penurunan pada kinerja. Bagi pekerja, penurunan ini dapat diterjemahkan ke dalam kualitas kerja yang buruk atau kemerosotan produktivitas. Bagi manajer, hal itu dapat berarti pembuatan keputusan yang salah atau gangguan dalam hubungan kerja karena orang-orang menjadi lekas marah dan sulit untuk diajak bergaul. Perilaku penarikan diri juga dapat diakibatkan dari stres. Untuk organisasi, dua bentuk yang paling signifikan dari perilaku penarikan diri adalah ketidakhadiran (absenteeism) dan pemberhentian diri. Orang-orang yang sulit dalam beradaptasi dengan stres pada pekerjaan mereka cenderung untuk “menelepon dalam keadaan sakit” atau mempertimbangkan untuk meninggalkan organisasi untuk selamanya. Stres juga dapat menghasilkan bentuk lain yang lebih halus dari penarikan diri. Seorang manajer mungkin mulai melewati deadline atau mengambil waktu yang lebih lama dalam istirahat makan siang. Seorang karyawan mungkin dapat menarik diri secara psikologis dengan berhenti peduli tentang organisasi dan pekerjaannya. Seperti yang dinyatakan sebelumnya, kekerasan karyawan adalah salah satu potensi konsekuensi stres individual. Hal ini juga memiliki implikasi
47
organisasional, khususnya jika kekerasan diarahkan pada suatu karyawan atau suatu organisasi secara umum. Salah satu konsekuensi organisasional lain dari stres karyawan berhubungan dengan sikap. Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya, kepuasan kerja, moral dan komitmen organisasional dapat dirasakan semuanya, bersama-sama dengan motivasi untuk dapat menampilkan kinerja pada tingkat tinggi. Sebagai hasilnya, orang-orang mungkin akan lebih cenderung untuk mengeluh tentang hal-hal yang tidak penting, melakukan pekerjaan yang seperlunya saja dan sebagainya. Burnout. Burnout sebagai salah satu konsekuensi lain dari stres, memiliki implikasi yang jelas baik bagi orang-orang maupun organisasi. Burnout adalah perasaan umum dari kelelahan yang berkembang ketika seseorang mengalami tekanan yang terlalu besar secara berkelanjutan dan memiliki sumber kepuasan yang terlalu sedikit. Burnout biasanya berkembang dalam cara berikut ini. Pertama, orang-orang dengan aspirasi yang tinggi dan motivasi yang kuat untuk menyelesaikan hal-hal tertentu adalah kandidat utama bagi burnout di bawah kondisi tertentu. Mereka terutama rentan ketika organisasi menekan atau membatasi inisiatif mereka ketika mereka menuntut secara terus-menerus bahwa mereka melayani kepentingan organisasi itu sendiri. Pada situasi seperti ini, seseorang akan cenderung untuk memaksakan dirinya pada pekerjaan. Dengan kata lain, orang tersebut mungkin akan terus mencoba untuk memenuhi agendanya sambil mencoba untuk memenuhi ekpektasi organisasi secara konstan. Efek
48
yang mungkin terjadi atas situasi ini adalah adalah stres yang berkepanjangan, keletihan, frustasi dan ketidakberdayaan di bawah beban dari tuntutan yang besar sekali. Orang tersebut secara literal kehabisan aspirasi dan motivasi, sebagaimana halnya membakar dirinya. Kehilangan kepercayaan diri dan penarikan diri secara psikologis mengikuti akibat tersebut. Dan pada akhirnya, burnout dapat menjadi hasilnya. Pada titik ini, individu mulai untuk ketakutan untuk pergi bekerja pada pagi hari, mungkin butuh waktu yang lebih lama namun mencapai hasil yang lebih rendah dari sebelumnya dan juga mungkin secara umum menampilkan kelelahan mental dan fisik.
2.1.3.6 Mengelola Stres di Tempat Kerja Menurut Moorhead (2010, p179-182) telah dikembangkan untuk membantu mengelola stres di tempat kerja. Beberapa diantaranya ditujukan bagi individu dan yang lain diperuntukan bagi organisasi. Strategi bagi Individu. Banyak strategi telah diajukan untuk membantu individu dalam mengelola stres. Beberapa diantaranya adalah olah raga, relaksasi, manajemen waktu, manajemen peran dan grup pendukung. Olah raga adalah salah satu metode untuk mengelola stres. Orangorang yang berolah-raga secara teratur kurang cenderung mengalami serangan jantung daripada orang-orang yang tidak aktif. Lebih lanjut,
49
penelitian telah menyatakan bahwa orang-orang yang berolah-raga secara teratur merasakan ketegangan dan stres yang lebih kecil, lebih percaya diri dan menunjukan optimisme yang lebih besar. Orang-orang yang tidak berolah-raga secara teratur merasakan stres yang lebih besar, cenderung untuk depresi dan mengalami konsekuensi negatif lainnya. Suatu metode lain yang terkait untuk mengelola stres adalah relaksasi. Adaptasi diperlukan untuk dapat menyesuaikan diri dengan stres. Relaksasi yang tepat adalah salah satu cara yang efektif untuk beradaptasi. Terdapat berbagai bentuk dari relaksasi. Salah satu cara untuk relaksasi adalah mengambil liburan secara berkala. Suatu pembelajaran menemukan bahwa sikap orang-orang terhadap berbagai karakteristik tempat kerja meningkat secara signifikan mengikuti liburan. Orang-orang dapat berelaksasi ketika mereka dalam pekerjaan. Sebagai contoh, telah direkomendasikan bahwa orang-orang sebaiknya beristirahat secara teratur dalam hari kerja mereka. Salah satu cara yang popular untuk relaksasi adalah dengan duduk tenang dengan mata tertutup selama sepuluh menit setiap siang hari Manajemen waktu sering direkomendasikan untuk mengelola stres. Idenya adalah banyak tekanan sehari-hari yang dapat dikurangi atau dieliminasi jika seseorang dapat mengatur waktunya dengan lebih baik. Salah satu pendekatan yang populer atas manajemen waktu adalah untuk membuat jadwal tiap pagi atas hal-hal yang harus dilakukan pada hari tersebut. Kemudian mengelompokkan hal-hal di dalam daftar tersebut ke dalam tiga kategori: aktivtias kritis yang harus dilakukan, aktivitas penting
50
yang seharusnya dilakukan dan aktivitas opsional atau trivial yang dapat didelegasikan atau ditunda. Dan tentu saja, seseorang melakukan hal-hal di dalam jadwal tersebut sesuai tingkat kepentingannya. Strategi ini membantu orang-orang untuk dapat menyelesaikan hal-hal penting setiap harinya. Hal ini juga mendorong delegasi dari aktivitas yang kurang penting kepada orang lain. Ide tentang manajemen peran berkaitan dengan manajemen waktu, dimana suatu individu secara efektif berusaha untuk menghindari beban kerja, ambiguitas dan konflik. Sebagai contoh, jika seseorang tidak mengetahui apa yang diharapkan kepada dirinya, dia tidak seharusnya duduk dan mengkhawatirkan hal tersebut. Sebaliknya, dia harus meminta klarifikasi dari bosnya. Salah satu strategi manajemen peran lainnya adalah belajar untuk mengatakan “tidak”. Banyak orang yang menciptakan masalah bagi diri mereka sendiri dengan selalu mengatakan “ya”. Di samping bekerja pada pekerjaan biasa, mereka setuju untuk melayani dalam komite, pekerjaan suka rela dan menerima tugas ekstra. Terkadang, tentu saja, mereka tidak punya pilihan selain untuk menerima kewajiban ekstra. Akan tetapi, dalam banyak kasus, berkata “tidak” adalah sebuah pilihan. Metode terakhir untuk mengatasi stres adalah untuk mengembangkan dan mempertahankan grup pendukung. Grup pendukung adalah sesederhana suatu grup dari anggota keluarga atau teman-teman yang dimana seseorang dapat menghabiskan waktunya. Pergi setelah bekerja dengan sekumpulan teman kerja untuk suatu pertandingan basket, sebagai contoh, dapat
51
mengurangi stres yang bertambah sepanjang hari. Keluarga dan temanteman pendukung dapat membantu orang-orang untuk menghadapi stres biasa secara berkelanjutan. Grup pendukung dapat berguna secara tertentu dalam waktu-waktu krisis. Sebagai contoh, anggaplah seorang karyawan baru saja mengetahui bahwa dia tidak akan mendapatkan promosi yang dia telah perjuangkan selama berbulan-bulan. Hal itu mungkin sangat membantunya jika dia memiliki teman-teman untuk bersandar, untuk berbicara atau mengeluh. Strategi bagi Organisasi. Organisasi juga makin sadar bahwa mereka seharusnya diikutsertakan dalam mengelola stres anggotanya. Terdapat dua pemikiran rasional untuk pandangan ini. Pertama adalah karena organisasi setidaknya turut bertanggung jawab untuk menciptakan stres tersebut, organisasi seharusnya membantu mengurangi hal itu. Pemikiran yang lain adalah bahwa pekerja mengalami tingkat stres yang lebih rendah akan berfungsi lebih efektif. Dua strategi dasar organisasional untuk membantu karyawan mengelola stres adalah program institusional dan program jaminan. Program institusional untuk mengelola stres diambil melalui menciptakan mekanisme organisasional. Sebagai contoh, desain pekerjaan dan jadwal kerja yang tepat dapat membantu mengurangi stres. Pekerjaan shift, secara umum, dapat menyebabkan masalah besar bagi karyawan, karena mereka harus menyesuaikan pola tidur dan relaksasi mereka secara konstan. Dengan demikian, design dan jadwal kerja harus menjadi fokus
52
dari usaha organisasional untuk mengurangi stres. Budaya organisasi juga dapat digunakan untuk membantu mengelola stres. Dalam beberapa organisasi, sebagai contoh, terdapat norma yang kuat terhadap mengambil waktu kosong atau pergi berlibur. Dalam jangka panjang, norma-norma dapat menyebabkan stres besar. Dengan demikian, organisasi seharusnya bekerja lebih keras untuk membantu pengembangan budaya yang mendorong suatu kombinasi yang sehat dari aktivitas pekerjaan dan aktivitas bukan pekerjaan. Akhirnya, pengawasan dapat memainkan suatu peran institusional yang penting dalam mengelola stres. Seorang pengawas dapat menjadi sumber utama dari kelebihan kerja (overload). Jika disadarkan akan potensi mereka untuk menugaskan sejumlah pekerjaan yang penuh tekanan, pengawas dapat melakukan usaha yang lebih baik untuk menjaga beban kerja tetap rasional. Sebagai tambahan atas usaha institusional yang ditujukan untuk mengurangi stres, banyak organisasi sedang beralih menuju program jaminan.
Suatu
program
jaminan
organisasional
adalah
program
organisasional yang secara spesifik diciptakan untuk membantu karyawan untuk menghadapi stres. Organisasi harus mengadopsi program manajemen stres, program promosi kesehatan dan program-program lain untuk tujuan ini. Semakin banyak perusahaan mengembangkan program mereka sendiri atau mengadopsi program yang tersedia untuk jenis ini. Banyak perusahaan kini juga memiliki program kebugaran (fitness). Program-program ini
53
menyerang stres secara langsung dengan mendorong karyawan untuk berolah raga, yang diperkirakan untuk mengurangi stres. Pada sisi negatif, usaha ini dianggap memiliki biaya yang lebih mahal daripada program manajemen stres karena perusahaan harus berinvestasi pada dalam fasilitas fisik. Tetap saja, semakin banyak perusahaan yang mengekplorasi pilihan ini. Akhirnya organisasi mencoba untuk membantu karyawan menyesuaikan diri dengan stres melalui program-program lain. Sebagai contoh, program pengembangan karir yang telah ada, seperti pada perusahaan General Electric, digunakan untuk tujuan ini. Perusahaan lain menggunakan program-program yang mempromosikan segala hal dari humor, pemijatan sampai yoga sebagai penangkal stres.
2.1.4 Kinerja (Performance) 2.1.4.1 Mengidentifikasi Kinerja Karyawan Menurut Ratundo dan Sackett (Ratundo dan Sackett dalam Umam, 2010, p188), kinerja adalah semua perilaku yang dikontrol bagi pencapaian tujuan organisasi. Robbins dan Coulter, (2005, p226) mendefinisikan kinerja sebagai hasil kerja individu atau kelompok dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan organisasi sesuai dengan periode waktu yang telah ditetapkan. Sedangkan kinerja (performance) menurut Mathis dan Jackson, (2006, p378) pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh
54
karyawan. Mereka (2006, p113-114) juga menjelaskan bahwa terdapat tiga faktor utama yang dapat mempengaruhi bagaimana individu yang ada di dalam organisasi memberikan kinerjanya. Kinerja individual ditingkatkan sampai tingkat dimana ketiga komponen tersebut ada dalam diri karyawan. Akan tetapi, kinerja berkurang apabila salah satu faktor ini dikurangi atau tidak ada. Faktor-Faktor tersebut adalah: 1.
Ability. Kemampuan individual untuk melakukan pekerjaan. Meliputi: motivasi, etika kerja, kehadiran dan rancangan tugas.
2.
Effort. Tingkat usaha yang dicurahkan melakukan pekerjaan. Meliputi: bakat, minat dan kepribadian.
3.
Support. Dukungan organisasi untuk melakukan pekerjaan. Meliputi: pelatihan dan pengembangan; peralatan dan teknologi; standar kinerja serta manajemen dan rekan kerja. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah semua
perilaku yang dilakukan dan hasil yang dicapai oleh karyawan dalam suatu periode tertentu yang telah ditetapkan bagi pencapaian tujuan organisasi.
2.1.4.2 Jenis Informasi Kinerja Menurut Mathis dan Jackson (2006, p379), manajer menerima tiga jenis informasi berbeda mengenai bagaimana para karyawan melakukan pekerjaan mereka. Informasi berdasar-sifat mengidentifikasi sifat karakter subjektif dari karyawan – seperti sikap, inisiatif atau kreatifitas – dan
55
mungkin hanya mempunyai sedikit kaitan dengan pekerjaan tertentu. Informasi
berdasar-perilaku
berfokus
pada
perilaku
tertentu
yang
mendukung keberhasilan kerja. Meskipun lebih sulit untuk diidentifikasi, informasi perilaku secara jelas menentukan perilaku yang diinginkan manajemen. Informasi berdasarkan-hasil memperhitungkan pencapaian karyawan. Untuk pekerjaan-pekerjaan dimana pengukuran mudah dilakukan dan jelas, pendekatan berdasarkan hasil dapat diterapkan.
2.1.4.3 Relevansi dari Kriteria Kinerja Pengukuran kinerja membutuhkan penggunaan kriteria yang relevan yang berfokus pada aspek paling penting dari pekerjaan karyawan. Sebagai contoh, mengukur staf layanan pelanggan dalam pusat klaim asuransi pada “sikap” mereka mungkin kurang relevan dibandingkan dengan mengukur jumlah panggilan telepon yang ditangani dengan baik. Contoh ini menekankan bahwa kriteria pekerjaan yang paling penting harus diidentifikasi dan dihubungkan pada deskripsi pekerjaan karyawan. (Mathis dan Jackson, 2006, p379-380)
2.1.4.4 Masalah Potensial pada Kriteria Kinerja Ukuran kinerja yang menghilangkan beberapa kewajiban kerja penting dianggap kurang sempurna. Sebaliknya, memasukkan beberapa kriteria yang tidak relevan akan mencemarkan pengukuran. Para manajer
56
harus mencegah penggunaan kriteria yang kurang sempurna atau tercemar dalam mengukur kinerja (Mathis dan Jackson, 2006, p380). Ukuran kinerja juga dapat dikatakan objektif atau subjektif. Ukuranukuran objektif dapat secara langsung diukur atau dihitung. Sedangkan ukuran-ukuran subyektif membutuhkan penilaian pada bagian pengevaluasi dan lebih sulit untuk diukur. (Mathis dan Jackson, 2006, p380).
2.1.4.5 Standar Kinerja Menurut Mathis dan Jackson, (2006, p380-382), standar kinerja (performance standards) mendefinisikan tingkat yang diharapkan dari kinerja dan merupakan “pembanding kinerja” (benchmarks) atau “tujuan” atau “target” – tergantung pada pendekatan yang diambil. Standar-standar yang didefinisikan dengan baik memastikan setiap orang yang terlibat mengetahui tingkat pencapaian yang diharapkan. Baik standar numerik maupun non-numerik dapat digunakan. Perhatikan standar kinerja berikut yang menggambarkan kedua jenis tersebut.
Tabel 2.3 Dua Jenis Standar Kinerja Kriteria Pekerjaan, Memelihara Kemajuan Teknologi Pemasok Standar Kinerja: 1. Setiap empat bulan, mengundang pemasok untuk menyampaikan presentasi dari teknologi terbaru. 2. Mengunjungi pabrik pemasok dua kali dalam setahun. 3. Menghadiri pameran perdagangan
57
setiap tiga bulan Kriteria Pekerjaan, Melakukan Analisis Harga atau Biaya Seperlunya Standar Kinerja: Kinerja dianggap baik jika karyawan mengikuti semua persyaratan dari prosedur “Analisis Harga dan Biaya” Sumber : Mathis dan Jackson (2006, p381)
Seberapa baik para karyawan memenuhi standar yang ditetapkan sering kali dituliskan dengan angka (5, 4, 3, 2, 1) atau peringkat verbal, sebagai contoh “menonjol” atau “tidak memuaskan.” Jika lebih dari satu orang terlibat dalam penilaian, mereka mungkin menemukan kesulitan untuk mencapai kesepakatan pada tingkat presisi kinerja yang tercapai secara relatif terhadap standar. Tabel 2.3 mendefinisikan istilah yang digunakan perusahaan dalam mengevaluasi kinerja karyawan. Perhatikan bahwa
setiap
menggunakan
tingkat angka,
menentukan dengan
tujuan
standar untuk
kinerja,
bukan
hanya
meminimalkan
variasi
interpretasi terhadap standar.
Tabel 2.4 Istilah yang Mendefinisikan Standar pada Satu Perusahaan Menonjol. Orang tersebut sangat berhasil dalam kriteria pekerjaan ini sehingga harus diberi catatan khusus. Dibandingkan terhadap 5
standar biasa dan seluruh departemen, kinerja ini berada di peringkat 10% teratas
58
Sangat Baik. Kinerja pada tingkat ini adalah di atas rata-rata 4
dalam unit, dibandingkan dengan standar dan hasil unit yang umum Memuaskan. Kinerja ini ada pada atau lebih tinggi dari standar
3
minimum. Tingkat kinerja ini merupakan apa yang diharapkan dari kebanyakan karyawan yang berpengalaman dan kompeten. Marginal. Kinerja yang ada di bawah standar tingkat minimum
2
pada dimensi kerja tersebut. Tetapi, terdapat potensial untuk meningkatkan peringkat dalam kerangka waktu yang pantas. Tidak Memuaskan. Kinerja dalam hal ini jauh di bawah standar
1
pekerjaan. Apakah orang tersebut dapat meningkat untuk memenuhi standar minimum patut dipertanyakan.
Sumber : Mathis dan Jackson (2006, p381)
Seseorang yang berasal dari bagian eksternal suatu pekerjaan, seperti supervisor atau pengawas kendali mutu, sering kali menetapkan standar untuk pekerjaan tersebut. Tetapi, individu sering kali dapat berpartisipasi dalam menetapkan standar kinerja bersama manajer mereka.
2.1.5 Kajian Penelitian Terdahulu
59
Terdapat berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti akan hubungan serta pengaruh antara variabel penilaian
kinerja, stress dan
kinerja. Berikut adalah beberapa dari gambaran penelitian tersebut: 1.
Gilal, R.G., Jatoi, M.M., dan Soomro R.B. (2011). Examing The Impact Of Human Resources Management (HRM) Practices on Employees' Performance A Case Study of Pakistani Commercial Banking Sector. Journal of Contemporary Research in Business, 3.1, 865-877.
Peneltian ini meneliti bagaimana pengaruh praktek-praktek sumber daya manusia terhadap kinerja karyawan. Penelitian ini mengolah hasil dari respon 150 karyawan dari berbagai bank komersil yang berlokasi di UpperSindh, Pakistan. Penelitian ini menggunakan teknik Spearman Correlation dalam meneliti dampak praktek-praktek sumber daya manusia pada kinerja karyawan. Hasilnya, penilaian kinerja sebagai salah satu dari praktekpraktek sumber daya manusia tersebut ditemukan berkolerasi positif dengan kinerja karyawan. Hal ini menjelaskan bahwa karyawan sebagai responden penelitian ini merasa puas, walaupun tidak amat sangat puas, dengan teknik yang digunakan oleh organisasi yang mereka pedulikan untuk menilai dan menghargai mereka. Bahkan penilaian kinerja dianggap menjadi praktek sumber daya manusia yang terpenting untuk dilakukan oleh para respondennya.
60
2.
Agolla, J.E., dan Ongori, H. (2008). Occupational Stress in Organizations and Its Effects on Organizational Performance. Journal of Management Research 8.3, 123-135.
Penelitian ini menjelaskan bagaimana dampak stres kerja terhadap kinerja organisasi. Berdasarkan penelitian ini, stres kerja mempengaruhi turnover karyawan, produktivitas dan kinerja perusahaan. Data yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari sampling acak atas karyawan yang bekerja pada organisasi sektor publik di Botswana. Hasilnya, stres kerja mempengaruhi karyawan dalam berbagai cara dan hal tersebut merupakan salah satu sumber utama turnover karyawan dalam banyak organisasi. Selain itu, 72% dari responden setuju bahwa kurangnya sumber daya untuk dapat melakukan pekerjaan dengan benar adalah salah satu sumber dari stres dan stres tersebut mempengaruhi kinerja karyawan secara negatif.
2.2 Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran penulis atas penelitian ini adalah bagaimana tiap-tiap variabel bebas (penilaian kinerja dan stres) berhubungan dengan variabel terikat (kinerja), serta pengaruh kedua variabel bebas secara simultan terhadap variabel terikat.
61 PT. EDSIN LESTARI EXPRESS
Karyawan Perusahaan
Stres (Stress)
Penilaian Kinerja (Performance Appraisal)
Kinerja Karyawan (Employee Performance)
Kinerja Perusahaan PT. EDSIN LESTARI EXPRESS
Sumber : Penulis Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran
2.3 Hipotesis Hipotesis atas hubungan variabel penilaian kinerja dengan kinerja karyawan: H0 : Penilaian kinerja tidak berpengaruh terhadap kinerja karyawan
62
Ha : Penilaian kinerja berpengaruh terhadap kinerja karyawan
Hipotesis atas hubungan variabel stres dengan kinerja: H0 : Stres tidak berpengaruh terhadap kinerja karyawan Ha : Stres berpengaruh dengan variabel kinerja karyawan
Hipotesis atas hubungan variabel penilaian kinerja dan stres secara simultan dengan kinerja: H0 : Penilaian kinerja dan stres tidak berpengaruh
secara simultan terhadap
kinerja karyawan Ha : Penilaian kinerja dan stres berpengaruh secara simultan terhadap kinerja karyawan
Jawaban sementara atas masalah penelitian ini yang diturunkan dari kerangka pemikiran di atas adalah : •
Penilaian kinerja berpengaruh terhadap kinerja karyawan di PT. Edsin Lestari Express.
•
Stres berpengaruh terhadap kinerja karyawan di PT. Edsin Lestari Express.
•
Penilaian kinerja dan stres secara simultan berpengaruh terhadap kinerja karyawan di PT. Edsin Lestari Express.
63