BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR A. Kajian Pustaka 1. Perkembangan Teori Pilihan Rasional Memahami makna dan tujuan suatu tindakan individu dalam masyarakat merupakan salah satu kajian yang cukup menarik dalam ilmu sosial. Ternyata suatu tindakan yang dilakukan oleh individu bukan tanpa maksud dan tujuan, melainkan terdapat tendensi yang mendasarinya. Dalam perspektif teori pilihan rasional yang dipopulerkan oleh James S Coleman ini menyatakan bahwa tindakan seseorang sebagai sesuatu yang purposive (Huber dalam Wirawan, 2012:191). Tindakan purposive merupakan suatu tindakan yang didasarkan keinginan memperoleh keuntungan atas pilihannya (Coleman, 1992:23). Suatu tindakan purposive memerlukan optimalisasi. Sebagai teori yang banyak dipengaruhi oleh ekonomi maka prinsip optimalisasi ini hampir sama dengan prinsip ekonomi. Rasional di bidang ekonomi mendefinisikan perilaku rasional tidak hanya sebagai bertindak dalam pelayanan preferensi untuk menghasilkan suatu hasil yang bermanfaat, tetapi sebagai memaksimalkan keuntungan (Coleman, 1992:23). Secara keseluruhan, esensi dari pendekatan ekonomi terdiri dari gabungan asumsi memaksimalkan perilaku, keseimbangan pasar, dan stabilitas preferensi (Becker dalam Krstic, 2015:2). Preferensi atau kepentingan dalam perilaku individu dipengaruhi oleh kepentingan sosial. Keuntungan yang diperoleh individu tidak hanya terbatas pada keuntungan material, melainkan secara psikologis maupun sosial seperti prestise atau perilaku yang diterima masyarakat (Wittek, 2013:689). Jadi individu menentukan suatu pilihan didasarkan pada suatu tujuan tertentu. Tujuan tersebut mengarah pada suatu upaya memperoleh keuntungan yang semaksimal mungkin atas pilihannya. Inti dari pemikiran teori pilihan rasional adalah individu melakukan tindakan
didasarkan
untuk
memaksimalkan
keuntungannya (Coleman,
1992:23). Dalam kaitannya terhadap optimalisasi keuntungan, Becker mencoba mejelaskannya melalui kasus pengambilan keputusan dalam suatu keluarga. 6
7
Pilihan siapa yang harus bekerja di dalam suatu keluarga didasarkan atas perhitungan siapa yang lebih “layak jual” yakni ia yang memiliki keterampilan bekerja seperti pengalaman dan ijazah. Sementara itu anggota keluarga yang tidak “marketable” atau “layak jual” ditempatkan pada urusan domestik rumah tangga. Apabila yang bekerja adalah pasangan yang tidak “layak jual” maka hasil yang mereka dapat tidak maksimal (Agger, 2007:316). Artinya pengambilan keputusan dalam keluarga pun diperhitungkan secara matang untuk memperoleh keuntungan atau hasil yang semaksimal mungkin. Termasuk dalam konteks pemilihan lembaga pendidikan bagi anak. Orang tua telah menghitung berbagai keuntungan dan kerugian dari sekian banyak jenis sekolah hingga akhirnya meyakini bahwa pesantren merupakan pilihan yang paling menguntungkan. Pilihan rasional dirangsang oleh stimulus tertentu, dan pilihan yang ditawarkan sifatnya terbatas. Stimulus dari setiap pilihan antar individu berbeda-beda tergantung sistem dimana individu-individu itu berada (Agger, 2007:315). Maksudnya, alternatif pilihan yang ditawarkan pada individu sifatnya terbatas, oleh karenanya individu menggunakan informasi yang dimiliki untuk menentukan alternatif pilihan yang paling tepat dan memberikan keuntungan yang maksimal. Pemilihan tersebut juga seringkali dipengaruhi oleh nilai yang berkembang di masyarakat. Apa yang dipilih oleh individu cenderung mengikuti apa yang dianggap baik oleh masyarakat. Jadi, dapat disimpulkan bahwa teori pilihan rasional memandang suatu tindakan individu sebagai sesuatu yang purposive atau bertujuan. Tujuan dari tindakan tersebut adalah memperoleh keuntungan yang semaksimal mungkin dan berusaha meminimalkan resiko yang mungkin akan diperoleh jika tidak melakukan tindakan tersebut. Dalam melakukan tindakannya, individu dipengaruhi oleh berbagai informasi yang dimiliki dan nilai yang berkembang dalam masyarakat. Individu mempergunakan informasi tersebut untuk memperhitungkan secara matang alternatif pilihan yang akan mendatangkan keuntungan atau manfaat yang besar. Keuntungan tidak selalu berkaitan
8
dengan masalah ekonomi melainkan dapat berupa manfaat psikologis maupun sosial seperti prestise atau perilaku yang diterima masyarakat. 2. Pesantren Sebagai Suatu Pilihan Rasional Teori pilihan rasional juga dikenal dengan istilah “rational choice theory”. Elemen-elemen kunci dari teori ini adalah preferensi individu, keyakinan, dan kendala. Tiga asumsi yang penting dalam pilihan rasional adalah: (1) individu memiliki preferensi egois, (2) mereka memaksimalkan manfaat dan (3) mereka bertindak secara bebas berdasarkan informasi penuh yang dimiliki (Wittek, 2013:688). Preferensi egois yang dimaksudkan dalam teori ini adalah individu melakukan tindakan atas dasar memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dengan
biaya
atau
usaha
seminimal
mungkin.
Kepuasan
individu
dimaksimalkan sampai pada tingkat penawaran barang berharga yang dikuasai oleh seorang individu termaksimalkan, dan kebutuhan atau permintaan barang berharga itu terminimalkan. Dalam teori rasionalitas, total biaya untuk memperoleh keuntungan dipertahankan nol (Wirawan, 2012:226-227). Asumsi kedua dari teori pilihan rasional adalah tatanan preferensi didasarkan pada prinsip “memaksimalkan manfaat” dan “meminimalkan resiko”. Jadi individu cenderung melakukan tindakan yang sedikit mengandung resiko dan justru menghasilkan keuntungan baginya. Prinsip ini menjadikan individu mengambil keputusan melalui preferensi yang telah ditata berdasarkan urutan skala prioritas. Hal ini dapat dijelaskan melalui kasus dilema tahanan yang disampaikan Coleman sebagai berikut: Dua orang tahanan yang diduga bekerja sama melakukan kejahatan ditempatkan dalam sel terpisah. Polisi berkata pada masing-masing tahanan kalau dia akan dibebaskan (a) jika dia melaporkan satu tahanan lainya dan teman itu tidak melaporkan dia. (b) Jika mereka saling melaporkan, keduanya akan dihukum tiga tahun. (c) Jika dia tidak melaporkan temannya, tetapi temannya melaporkan dia, dia akan dipenjara lima tahun. (d) Jika keduanya tidak saling melaporkan, polisi punya bukti yang cukup untuk menghukum masing-masing tahanan (Wirawan, 2012:229-230).
9
Berdasarkan kasus yang telah dipaparkan, maka untuk menghasilkan keuntungan yang maksimal seharusnya skala prioritas yang ditentukan pada dilema tahanan tersebut adalah (a), (d), (b), (c). Sedikit saja individu melakukan kesalahan maka resiko yang ia tanggung semakin besar. Oleh karena itu dalam menentukan pilihan diperhitungkan secara matang. Asumsi ketiga adalah individu menentukan pilihan atas dasar informasi yang diperolehnya. Coleman menyebutkan bahwa manusia termotivasi untuk mencapai kesenangan dan menghindari rasa sakit sehingga motivasi ini membawa mereka untuk bertindak dalam batas informasi yang mereka miliki. Informasi tersebut
digunakan untuk memprediksi masa depan sehingga
diharapkan dapat memperoleh hasil atau keuntungan yang lebih besar dari biaya atau usaha yang dilakukan (Coleman, 1992: 23). Jika informasi yang diperoleh tidak tepat maka akan mempengaruhi hasil akhir dari suatu pilihan. Namun demikian, terkadang individu bertindak atas dasar “asumsi salah” yang menyatakan bahwa apa yang bermanfaat bagi individu dalam lingkungan tertentu bermanfaat pula pada individu dalam lingkungan tertentu (Wirawan, 2012:210). Asumsi salah ini tergambar pada suatu contoh kasus “penggundulan hutan” yang diberikan oleh Sartre. Pada dasarnya petani berkeinginan untuk memiliki lahan yang luas dengan cara melakukan penebangan pohon, tetapi tanpa disadari hal itu mengakibatkan terjadinya penggundulan hutan dan erosi yang pada akhirnya justru petani hanya akan memperoleh hasil yang sedikit (Wirawan, 2012:219). Dalam konteks permasalahan pemilihan pesantren sebagai lembaga penidikan anak, orang tua meyakini jika memasukkan anak ke pesantren merupakan pilihan terbaik. Pesantren memberikan keuntungan yang lebih besar daripada sekolah umum. Menyekolahkan anak di pesantren bukan suatu perkara mudah bagi orang tua karena mereka harus berpisah dengan anak untuk beberapa waktu. Hanya sebagian orang tua yang mampu merelakan anaknya sekolah di pesantren. Tentu tindakan tersebut bukan tanpa maksud, di dalamnya terdapat tujuan untuk memperoleh keuntungan yang maksimal dan
10
meminimalkan resiko yang mungkin terjadi terhadap anaknya jika tidak disekolahkan di pesantren. Seringkali orang tua merasa khawatir akan kehidupan di masyarakat yang dirasa memiliki banyak pengaruh negatif. Kesibukan orang tua membuat mereka tidak memiliki banyak waktu untuk mengurus anak secara intensif. Sementara itu orang tua juga memiliki tanggung jawab untuk memperoleh penghasilan bagi keluarga. Namun, jika banyak waktu orang tua digunakan untuk mengurus anak akan mengurangi penghasilan mereka. Pesantren menjadi pilihan yang rasional bagi orang tua untuk tetap memperoleh penghasilan maksimal tanpa direpotkan oleh urusan anak. Disisi lain, pesantren dipercaya akan mampu membentuk anak berkepribadian baik. Tanpa harus mendidik anak secara ekstra, anak telah terbentuk kepribadiannya selama di pesantren. Selain itu anak yang keluar dari pesantren secara sosial keagamaan ia akan berada pada posisi atas dibandingkan anak yang sekolah di sekolah biasa. Secara otomatis orang tua akan memperoleh prestige karena mampu menyekolahkan anaknya di pesantren. Ia akan memperoleh posisi yang diperhitungkan dalam masyarakat karena
dianggap
memiliki
kualitas
keagamaan
yang
bagus
dengan
menyekolahkan anak di pesantren. 3. Perkembangan Pondok Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Dalam kehidupan bermasyarakat, keyakinan terhadap suatu agama menjadi sesuatu yang sangat penting. Agama menjadi pedoman yang dapat mempengaruhi tingkah laku dan pemikiran seseorang (Karim, 1994:78). Seringkali individu bertindak berdasarkan apa yang diperboleh dan dilarang oleh agamanya. Realitas agama menunjukkan sesuatu yang menarik karena agama dapat menjelaskan keberadaan dan posisi individu di dalam masyarakat. Semakin tinggi ketaatan agama seseorang semakin tinggi posisinya di dalam masyarakat. Geertz membagi masyarakat jawa menjadi 3 golongan berdasarkan agamanya. Golongan tersebut adalah abangan, santri, dan priyayi. Abangan
11
menitikberatkan pada aspek animistis dari sinkretisme jawa yang dihubungkan dengan petani, santri menitikberatkan pada aspek Islam dari sinkretisme yang dihubungkan dengan elemen dagang, sedangkan priyayi menekankan pada aspek hindu dan hubungannya dengan elemen birokratik (Geertz, 1960:8). Kenyataan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat abangan dan santri menjadi cukup menarik untuk dikaji. Pasalnya, meskipun kedua golongan tersebut menganut agama yang sama, seolah terjadi perbedaan antara keduanya. Kaum abangan menjalankan ajaran agama Islam dengan tetap percaya dan menjalankan ritual adat keupacaraan seperti berbagai jenis selametan. Sementara itu, santri merupakan kaum yang menitikberatkan doktrin Islam yang secara tegas menolak kepercayaan terhadap praktek kejawen (Geertz, 1960:172-173). Kaum santri menganggap bahwa ritual peribadatan yang tidak diajarkan di dalam Qur’an dan Hadits merupakan tindakan yang tidak tepat. Kaum santri dipandang sebagai mereka yang taat terhadap agama seperti menjalankan sholat 5 waktu dengan tekun dan tepat waktu. Sementara itu kaum abangan dianggap sebagai kelompok yang kurang peduli terhadap agama (Dirdjosanjoto, 1999:95). Jadi kaum santri menganggap apa yang mereka lakukan adalah ajaran agama Islam yang benar sementara kaum abangan dianggap kurang tepat. Pembicaraan mengenai kaum santri tidak terlepas dari sistem pendidikan pesantren. Pesantren adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional dimana para siswa tinggal bersama dan belajar ilmu keagamaan dibawah bimbingan kiai, asrama berada dalam kompleks pesantren dimana kiai tinggal (Zubaedi, 2005:142). Umumnya pesantren memiliki pondok atau asrama untuk tempat tinggal santri, masjid untuk beribadah, ruang untuk belajar dan kegiatan keagamaan (Dhofier, 1984:44). Pesantren mulai dikembangkan sejak abad ke 13. Pada saat itu, pesantren merupakan satu-satunya lembaga yang terstruktur, sehingga pendidikan jenis ini dianggap bergengsi (Mutohar, 2013:178). Pesantren mulai tumbuh di Jawa dibawa oleh para walisongo yang menyebarkan Islam di Jawa pada abad 15-16.
12
Perkembangan pesantren tersebut karena kepercayaan dan keinginan masyarakat. Pesantren memiliki integritas yang tinggi dengan masyarakat sekitarnya dan menjadi rujukan moral bagi kehidupan masyarakat umum, sesuai dengan aliran yang dibawanya (Abdullah, 2008:41). Bahkan keberadaan santri hingga kini tetap diperhitungkan oleh masyarakat. Hal ini sesuai dengan penelitian Hendra Kurniawan (2015) yang berjudul “Pendidikan Pesantren dan Pengembangan Ajaran Moderasi Islam di Indonesia”. Dalam penelitianya tersebut ia menjelaskan bahwa kiprah kaum terpelajar dari kalangan santri, baik yang berada di pedesaan maupun perkotaan telah membawa dampak positif dalam model pendidikan dan pengembangan ajaran moderasi Islam di berbagai kalangan dan kelas sosial masyarakat. Masyarakat telah merasakan peran nyata para santri dibidang keilmuan, pendidikan, konsultasi serta penyelesaian berbagai masalah sosial menjadi lebih baik dari sebelumnya. Masyarakat mengharapkan adanya penyebaran tenaga pendidik keagamaan yang moderat ke daerah pelosok-pelosok. Pada dasarnya pesantren merupakan pendidikan berbasis masyarakat yang tumbuh atas inisiatif masyarakat muslim yang tujuan utamanya adalah mendidik generasi muda agar memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam dengan baik. Adapun nilai-nilai yang diimplementasikan dalam pesantren antara lain
ukhuwah (persaudaraan), ta’awun (kerjasama), jihad
(berjuang), taat, sederhana, mandiri, dan ihklas (Zubaedi, 2005:140-141). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kamin Sumardi (2012) dengan judul “Potret Pendidikan Karakter di Pondok Pesantren Salafiah”. Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa pendidikan karakter di pondok pesantren salafiah dilakukan melalui pembiasaan. Dalam kesehariannya santri telah diberikan aturan dan tanggung jawab, baik dalam hal belajar maupun dalam kehidupan keseharian. Nilai-nilai yang ditanamkan kepada santri diantaranya kemandirian, kebersamaan dan gotong royong, toleransi, tanggung jawab dan kepatuhan. Selain itu, Kiai selalu mengingatkan santri untuk belajar
13
serta memberikan contoh dalam menjalankan taqorub kepada Allah, jika santri melanggar aturan akan diberlakukan sanksi. Selama di dalam pesantren, santri mempelajari kitab-kitab agama Islam secara bertahap. Namun, dalam pelaksanaannya tidak semua santri setiap hari berada di dalam pesantren. Santri yang berasal dari dalam desa atau desa tetangga dan tidak suka tinggal di pondok diperbolehkan tinggal dirumah dan hanya datang pada saat pengajian (Dirdjosanjoto, 1999:145). Pada akhirnya terdapat dua jenis santri, yakni santri mukim dan santri kalong. a. Santri mukim: santri yang berdatangan dari tempat-tempat yang jauh yang tidak memungkinkan dia untuk pulang kerumahnya, maka ia mondok tinggal) di pesantren. Sebagai santri mukim mereka memiliki kewajibankewajiban tertentu. b. Santri kalong: siswa-siswa yang berasal dari daerah sekitar yang memungkinkan mereka pulang ke tempat tinggal masing-masing. Santri kalong ini mengikuti pelajaran dengan cara pulang-pergi antara rumahnya dengan pesantren. (Daulay 2001: 15) Eksistensi pesantren sebagai lembaga pendidikan dikarenakan terdapat potensi yang dimilikinya. Pertama, pendidikan di asrama berlangsung 24 jam baik sebgai lembaga pendidikan kegamaan, sosial kemasyarakatan, atau pengembangan potensi umat dapat diterapkan secara tuntas, optimal dan terpadu. Kedua,
pesantren berkembang atas tuntutan dan kebutuhan
masyarakat Ketiga, kepercayaan masyarakat menyekolahkan anaknya di pesantren (Zubaedi, 2005: 146-147). Orang tua menganggap pesantren sebagai tempat yang aman untuk menghindarkan anak dari lingkungan pergaulan yang tidak kondusif (Abdullah, 2008:109). Sebagai
lembaga
pendidikan,
pesantren
harus
memiliki
sistem
managemen yang jelas. Pertama perencanaan, salah satu elemen pokok pesantren adalah kiai, ia merupakan orang yang berpengaruh dalam keberlangsungan pesantren. Perencanaan pengembangan pesantren banyak dipengaruhi oleh pemikiran kiainya. Keberhasilan pesantren tergantung
14
eksistensi kiai didalam masyarakat. Kedua pengorganisasian, perlu adanya pembagian kerja yang jelas di pesantren sesuai dengan keahlian pada bidangnya masing-masing. Ketiga, pesantren menjalankan fungsi pengawasan. Kiai, pengasuh asrama atau ustadzah berperan dalam mengawasi setiap kegiatan santri agar tidak menyimpang. Keempat, sebagai lembaga yang jelas pesantren harus mampu mengelola keuangan yang tepat. Kelima evaluasi, setiap periode tertentu pesantren perlu melakukan evaluasi bersama agar pengelolaan kedepan menjadi lebih baik (Zubaedi, 2005:156-162). Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan berbasis keagamaan tertua yang tumbuh di Indonesia. Pesantren merupakan lembaga pendidikan kemasyarakatan yang berkembang karena keinginan dan kebutuhan masyarakat. Beberapa orang tua merasa pesantren merupakan sarana yang tepat untuk menghindarkan anak dari pengaruh negatif. Selama di dalam pesantren anak diajarkan ilmu agama Islam dan pembiasaan kehidupan dengan nilai-nilai keIslaman. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren telah memiliki sistem managemen yang jelas diantaranya perencanaan yang sedikit banyak tergantung pemikiran sang kiai, struktur kerja yang jelas, melakukan pengawasan terhadap santri, memiliki sistem keuangan yang tepat dan melakukan evaluasi kinerja setiap periode tertentu. 4. Modernisasi Pendidikan Pesantren Ciri khas yang membedakan pesantren dengan sekolah pada umumnya adalah sistem pengajarannya. Sistem pengajaran pesantren menggunakan sistem pendidikan tradisional sorogan dan bandongan atau weton. Sistem sorogan bersifat individual yang umumnya dilakukan pada santri yang tertinggal dalam mengikuti pelajaran dan dilakukan oleh santri senior untuk membantu santri yang baru masuk. Sementara itu bandongan adalah sistem dimana kiai membacakan salah satu kitab, menerjemahkanya dalam bahasa Jawa kemudian memberi keterangan pada kata-kata yang sulit (Dirdjosanjoto, 1999:149).
15
Saat ini pesantren telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Perkembangan tersebut dimulai sejak abad ke-19 seiring berkembangnya sistem pendidikan Barat di Indonesia. Keberadaan sistem pendidikan Barat yang memberikan jaminan pekerjaan di bidang yang strategis, membuat banyak
pemuda
meninggalkan
pesantren
tradisional.
Sebagai
upaya
mempertahankan eksistensi, beberapa pesantren besar pada tahun 1950-an memasukkan pendidikan umum di dalam pesantren. Saat ini banyak pesantren yang menyelenggarakan SMP dan SMA, maupun universitas yang membuka cabang pengetahuan umum (Dhofier, 1982:38-41). Pada akhirnya pesantren terbagi menjadi 2 kelompok besar yakni pesantren salafi (tradisional) dan pesantren khalafi (modern). Pesantren salafi merupakan pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. (Dhofier, 1984:41). Pesantren salafi masih mempertahankan kurikulum serta sistem pendidikan khas pesantren. Bahan ajar yang digunakan meliputi ilmu-ilmu agama Islam dengan menggunakan kitab-kitab klasik berbahasa Arab sesuai dengan tingkatan kemampuan masing-masing santri (Mutohar, 2013:204). Pesantren jenis ini sudah tidak terlalu banyak berkembang. Namun beberapa pesantren masih mempertahankan sistem ini seperti pesantren Al-Fattah Temboro Magetan. Sementara itu, pesantren khalafi merupakan pesantren yang memasukkan pelajaran-pelajaran umum atau membuka tipe sekolah umum dalam lingkungan pesantren (Dhofier, 1984:41). Pondok pesantren khalafi mengadopsi sistem madrasah atau sekolah dengan kurikulum disesuaikan dengan kurikulum pemerintah baik dengan Departemen Agama (Depag) maupun Departemen Pendidikan
Nasional
(Depdiknas)
(Mutohar,
2013:204).
Jadi
siswa
mempelajari materi pelajaran umum di sekolah setelah itu mempelajari ajaran agama Islam di dalam asrama. Penerapan modernisasi pesantren ini telah terlihat pada Pesantren Assalam Surakarta. M Uripto Yunus dan Kadarusman (2015) dalam penelitiannya yang berjudul “Ijtihad Pengembangan Pesantren
16
Modern (Kasus Pesantren Assalam Surakarta)” menjelaskan bahwa PPMI Assalam menjadi contoh proses adaptasi terhadap kemodernan. PPMI Assalam telah mengadaptasi aspek-aspek modernitas seperti pada konsep manajemen, proses belajar-mengajar, struktur kurikulum dan sistem kepemimpinan. Pesantren dengan sistem dan model “boarding school” tersebut diyakini mampu menyelesaikan persoalan pada negara modern seperti saat ini seperti korupsi, dekadensi moral, dan sebagainya. Salah satu perbedaan yang menonjol dalam pendidikan pesantren adalah pada sistem pengajarannya. Pesantren modern tidak lagi menggunakan sistem bandongan dan sorogan. Saat ini pesantren telah menggunakan metode pengajaran yang diterapkan di sekolah umum seperti: tanya jawab, hafalan, sosio-drama, widyawisata, ceramah, hingga sistem modul. Pesantren juga telah mengaplikasikan sistem informasi dan komunikasi dalam pembelajarannya (Tuanaya, 2007:10). Selain itu, kepemilikan pesantren tidak secara turun menurun dari seorang kiai melainkan telah mengembangkan kelembagaan yayasan yang pada dasarnya merupakan kepemimpinan kolektif (Tuanaya, 2007:11). Berbagai jenis yayasan maupun organisasi keagamaan mendirikan pesantren untuk mengajarkan ajaran agama Islam sesuai tuntunannya masingmasing. Beberapa diantaranya adalah Pondok Pesantren Imam Syuhodo dibawah naungan Muhammadiyah, Pondok Pesantren Jamsaren dibawah naungan Nahdhatul Ulama (NU) dan SMP & SMA MTA dibawah naungan Majlis Tafsir Qur’an (MTA). Modernitas pesantren juga dialami oleh SMP MTA Gemolong, salah satu jenis pesantren khalafi atau pesantren modern dibawah naungan yayasan MTA. Modernitas
ditunjukkan
dalam
metode
pembelajarannya
yakni
telah
menggunakan metode ceramah, diskusi, tanya-jawab, dan sebagainya. Selain itu, sebagai pesantren modern SMP MTA mengajarkan ilmu umum dan Ilmu agama Islam seperti tahfidzul Qur’an, taksin, hafalan hadits dan ayat pilihan, hafalan sholat, do’a-do’a harian, khitobah serta pengembangan Bahasa Arab dan Inggris (Sumber: Profil SMP MTA Gemolong).
17
Jadi, saat ini banyak pesantren salah satunya SMP MTA Gemolong telah mengalami proses modernisasi. Modernisasi tersebut terjadi pada sistem pengajarannya. Beberapa pesantren yang berkembang saat ini tidak lagi hanya mengajarkan kitab-kitab agama Islam secara bertahap. Akan tetapi telah memasukkan materi pelajaran umum seperti Ilmu Alam, Ilmu Sosial, Bahasa Indonesia, dan sebagainya sesuai dengan kebutuhan masyarakat saat ini. Sistem pengajaran di pesantren juga tidak lagi menggunakan sistem sorogan dan bandongan melainkan ceramah, diskusi, tanya jawab, dan sebagainya. Modernisasi sistem pengajaran di pesantren mengingat kebutuhan masyarakat saat ini. Individu tidak hanya membutuhkan pemahaman terhadap kitab melainkan perlu memiliki pengetahuan yang luas dan skill sebagai bekal memperoleh pekerjaan dan menghadapi persaingan dalam masyarakat yang semakin kompetitif. 5. Karakteristik Remaja Awal Masa remaja merupakan masa peralihan individu dari masa anak-anak menuju kedewasaan. Masa remaja ini seringkali dianggap rentan terhadap permasalahan. Hal ini disebabkan oleh perkembangan emosinya menunjukkan sifat yang sensitif dan reaktif yang sangat kuat terhadap berbagai peristiwa atau situasi sosial, emosinya bersifat negatif dan temperamental (Yusuf, 2008:197). Kondisi emosional yang belum matang pada diri remaja tersebut akan beresiko terjadinya kenakalan. Dalam sebuah studi psikologi, kejahatan seksual, tindak merampok, menipu, menjambret, dan kejahatan lain banyak terjadi pada usia remaja (Kartono, 2014:7). Oleh karena itu dalam proses pencapaian emosional remaja, orang tua berperan untuk mengendalikan dan mengarahkan perilakunya. Pada umumnya, masa remaja terbagi menjadi 2 fase yakni masa remaja awal dan masa remaja akhir. Masa remaja awal dimulai ketika anak telah genap berusia 12 atau 13 tahun, dan berakhir pada usia 17 atau 18 tahun. Sementara itu WHO menggolongkan remaja awal pada usia 10 – 14 tahun (Mighwar, 2006:68). Pada usia remaja awal, secara umum mereka sedang
18
menempuh pendidikan jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pada masa ini, remaja sedang mengalami masa perkembangan yang tersulit yakni berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dan harus menyesuaikan diri dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah. Dalam hal ini yang terpenting dan tersulit adalah penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok teman sebaya (Hurlock dalam Nisfianoor, 2014: 160-161) Pada masa perkembangan sosial remaja, ia memiliki kebutuhankebutuhan untuk kasih sayang, kepuasan hubungan dengan individu-individu lainnya, untuk diterima, pengakuan, dan status di grup sosial (Rice dalam Nissfianoor, 2004:160). Pada masa ini remaja membutuhkan orang-orang yang secara emosional dekat dengan dirinya agar mampu mengarahkan pada arah perkembangan yang baik. Pada masa remaja juga menjadi masa yang cukup penting dalam pembentukan kepribadian. Keluarga merupakan tempat yang sempurna untuk melangsungkan pendidikan ke arah pembentukan kepribadian yang utuh, tidak hanya saat anakanak melainkan juga remaja (Tirtarahardja, 2005:169). Orang tua memberikan tuntunan, ajaran, serta contoh dalam berperilaku, sehingga suasana keluarga menjadi tempat yang sebaik-baiknya dalam melakukan pendidikan individual maupun sosial. Keberadaan keluarga menjadi sangat penting dalam pelaksanaan pendidikan kepribadian maupun pendidikan sosial. Umumnya penanaman watak dilakukan oleh keluarga. Dalam studi yang dilakukan oleh Decroly 70 % anak-anak yang terlibat kejahatan karena kehidupan keluarga yang rusak (Tirtarahardja, 2005:170). Saad juga mengemukakan bahwa kualitas komunikasi antarpribadi memberi pengaruh yang besar terhadap perilaku anak dan remaja. Komunikasi yang jarang dilakukan antara orang tua dan anak menjadikan anak merasa teralineasi (Saad, 2003:26). Remaja yang merasa tidak dihargai dan tidak dipahami serta tidak diterima oleh lingkungan terutama orang tua, maka akan cenderung lari melakukan tindakan yang tidak jelas arah dan tujuannya. Remaja yang sedang
19
mengalami pertumbuhan dan perkembangan memerlukan dorongan dari orang tuanya untuk menjadi pribadi yang mandiri, dihargai, dan diakui keberadaanya dimanapun berada (Saad, 2003:50). Oleh karena itu keberadaan orang tua sangatlah penting ketika anak memasuki masa remaja. Orang tua diharapkan dapat membantu remaja mencapai kematangan emosionalnya. Kondisi ini kemungkinan akan sulit ditemukan remaja yang menempuh pendidikan di pesantren. Sejak pagi hingga pagi kehidupannya telah diatur oleh pondok pesantren. Bahkan seorang santri tidak bisa bebas menghubungi kedua orang tuanya, begitu juga sebaliknya. Santri harus patuh terhadap semua aturan yang telah ditetapkan oleh pihak pesantren. Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa masa remaja awal merupakan masa ketika anak berada pada usia 10-14 tahun. Pada usia tersebut umumnya mereka sedang menempuh pendidikan jenjang SMP. Karakteristik yang khas pada diri remaja awal adalah perkembangan emosional yang belum stabil. Perkembangan emosional yang belum stabil tersebut beresiko mempengaruhi perilaku anak kearah yang negatif. Oleh karena itu pada perkembangannya, anak perlu didampingi orang tua agar perilakunya dapat terarah. Kasih sayang dan perhatian orang tua menjadi sangat penting agar anak merasa keberadaannya diakui di dalam masyarakat. B. Kerangka Berpikir Angka kenakalan remaja di Indonesia masih cukup tinggi. Hal ini menimbulkan kekhawatiran dari berbagai pihak utamanya orang tua. Upaya yang dilakukan orang tua dalam mengatasi masalah tersebut adalah dengan mengoptimalkan fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan di luar keluarga. Dewasa ini, terdapat berbagai jenis pendidikan diantaranya pendidikan umum seperti di sekolah dan pendidikan berbasis agama seperti pesantren. Dalam memilih jenis pendidikan tersebut orang tua mempertimbangkannya secara rasional. Coleman menyebutkan bahwa dalam teori pilihan rasional, tindakan individu merupakan suatu tindakan yang purposive. Suatu tindakan purposive memerlukan optimalisasi. Dalam teori pilihan rasional individu melakukan
20
suatu tindakan karena memiliki tujuan tertentu. Tujuan tersebut dalam rangka memaksimalkan keuntungan dan meminimalisasi resiko dari sekian banyak pilihan yang ditawarkan. Sama halnya dengan pilihan orang tua terhadap pesantren MTA sebagai lembaga pendidikan anak. Orang tua telah memperhitungkan
berbagai
jenis
sekolah
yang
mampu
memberikan
keuntungan yang maksimal. Orang tua menganggap pesantren jenis MTA mampu membentuk anak memiliki ahklak yang bagus, ekonomis, serta menunjukkan loyalitasnya sebagai anggota MTA. Disamping itu terdapat berbagai macam keuntungan yang ingin dimaksimalkan dan resiko yang ingin diminimalisir oleh orang tua. Keuntungan dan resiko tersebut erat kaitannya dengan ideologi MTA yang mereka pegang. Secara lebih jelas kerangka berpikir dapat dilihat pada Gambar 2.1.
21
Angka kenakalan remaja tinggi
Upaya Orang tua
Pemilihan Pendidikan Anak
Sekolah Umum
Sekolah berbasis agama/Pesantren MTA MTS
b. Sedikit nilai agama c. Banyak waktu luang anak setelah KBM d. Resiko pergaulan di luar sekolah
Perbedaan
a. Banyak nilai agama b. Kegiatan dipantau 24 jam c. Terhindar pengaruh negatif diluar sekolah
Bagaimana rasionalitas pilihan orang tua?
Pilihan Rasional James S Coleman
Tujuan
Maksimalisasi Keuntungan
Anak berakhlak sesuai MTA Menghemat pembiayaan Bukti loyalitas anggota MTA
Ekonomis Efisien waktu Kualitas agama bagus Aman dari pergaulan remaja yang negatif Prestise Bukti loyalitas anggota MTA
Gambar 2.1. Kerangka Berpikir
Minimalisasi Resiko
Boros Pekerjaan terganggu pengasuhan anak Kualitas agama anak rendah Pengaruh pergaulan remaja Pandangan negatif masyarakat Eksistensi organisasi