BAB II KAJIAN PUSTAKA A. KAJIAN TEORI 1. Model Pembelajaran Permasalahan yang dialami guru dalam pembelajaran cukup banyak. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka perlu adanya model pembelajaran yang diterapkan dalam proses belajar mengajar untuk membantu guru dalam proses pembelajaran. Model dirancang untuk mewakili realitas sesungguhnya, walaupun model itu sendiri bukanlah realitas dari dunia sebenarnya. Berdasarkan kamus bahasa Indonesia model adalah ragam, cara yang terbaik. Model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang dapat dimanfaatkan seorang guru agar dapat melaksanakan pembelajaran dengan efektif, model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai diri penerapan suatu pendekatan, metode, dan teknik (Kokom Komulasari.2010:57). Model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Menurut (Tim Pengembangan Ilmu pendidikan FIP–UPI.2007:137) Pembelajaran sebagai usaha memperoleh perubahan perilaku. Prinsip ini mengandung makna bahwa ciri utama proses pembalajaran ialah adanya perubahan perilaku dalam diri individu. Seseorang yang sudah mengalami pembelajaran akan berubah perilaku. Tetapi tidak semua perubahan perilaku adalah hasil pembelajaran. Knirk & Gustafson (2005) menjelaskan bahwa pembelajaran merupakan setiap kegiatan yang dirancang oleh guru untuk membantu seseorang mempelajari suatu kemampuan dan atau nilai yang baru dalam suatu proses yang sistematis melalui tahap rancangan, pelaksanaan, dan evaluasi dalam konteks kegiatan belajar (Saifuddin, 2014: 3). Pembelajaran dapat diartikan suatu proses perubahan, yaitu perubahan dalam perilaku sebagai hasil interaksi antara dirinya dengan lingkungannya. Sehingga pembelajaran adalah suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu perubahan
11
12
perilaku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Dahlan dalam N Nurlaela (2001: 1) berpendapat bahwa “suatu model mengajar dapat diarturkan sebagai suatu rencana atau pola yang digunakan dalam penyusunan kurikulum, mengatur materi pelajaran dan memeberi petunjuk kepada pengajar di kelas. Model pembelejaran merupakan rencana dalam mengajar yang direkayasa sedemikian rupa untuk mencapai tujuan tertentu dalam pengajaran. Rencana pengajaran ini meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pengajaran.” Menurut E. Rohimah dalam Adi Maulana (2002: 9) bahwa Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi perancang pengajaran. Sehingga dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah pola yang menggambarkan urutan alur tahap-tahap kegiatan keseluruhan yang pada umumnya disertai dengan rangkaian kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru dan siswa. Ciri-ciri model pembelajaran menurut Rusman (2012: 136) adalah 1) Berdasarkan teori pendidikan dan teori belajar dari para ahli tertentu. Model ini dirancang untuk melatih partisipasi dalam kelompok secara demokratis; 2) Mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu, misalnya model berpikir induktif dirancang mengembangkan proses berpikir induktif; 3) Dapat dijadikan pedoman untuk perbaikan kegiatan belajar mengajar di kelas, misalnya model contextual dirancang untuk meningkatkan kualitas dalam pembelajaran gambar bentuk; 4) Memiliki bagian bagian model (urutan langkah–langkah pembelajaran, daya prinsip–prinsip reaksi, sistem social, dan sistem pendukung. Keempat bagian tersebut merupakan pedoman praktis bila guru akan melaksanakan suatu model pembelajaran); 5) Memiliki dampak sebagai akibat terapan model pembelajaran. (Dampak tersebut meliputi: dampak pembelajaran, yaitu hasil belajar yang dapat diukur, dampak pengiring, yaitu hasil belajar jangka panjang); 6) Membuat
13
Persiapan mengajar (desain intruksioanl) dengan pedoman model pembelajaran yang dipilihnya. Terdapat berbagai macam model pembelajaran, setiap model memiliki porsi berbeda-beda yang penggunaannya disesuaikan dengan kebutuhan. Beberapa contoh jenis model tersebut antara lain : a. Belajar Kolaboratif (Collaborative Learning) Pembelajaran kolaboratif (collaborative learning) sebagai sebuah upaya intelektual yang dilakukan bersama antara belajar dan juga pembelajaran secara bersama-sama, saat kedua pihak saling memaham, mencari solusi permasalahan atau membuat sebuah produk. b. Model contextual teaching and learning (CTL) Pembelajaran kontextual adalah pembelajaran yang memungkinkan peserta didik memperkuat, memperluas, dan menerangkan pengetahuan dan keteramilan akademiknya dalam berbagai lingkungan baik di dalam maupun di luar kelas untuk memecahkan masalah–masalah yang disimpulkan maupun yang terjadi di dunia nyata (Sri Anitah,2009:49). c. Belajar Memecahkan Masalah dan Penemuan (problem solving, discovery inquiry) Belajar Pemecah Masalah (problem solving) merupakan pemecahan masalah diajarkan dengan tujuan menyiapkan peserta didik untuk memecahkan
masalah
dalam
kehidupan
sehari-hari.
Moore
(2005)
mengatakan bahwa dengan problem solving dimaksudkan “peniadaan ketidak tentuan yang disengaja melalui pengalaman langsung”. Sekolah perlu menyiapkan peserta didik sebagai problem solving, yang melibatkan peserta didik dalam kegiatan belajar mandiri. Belajar penemuan atau Discovery learning merupakan suatu pembelajaran yang melibatkan peserta didik dalam pemecahan masalah untuk pengembangan pengetahuan dan keterampilan. Melalui penemuan, peserta didik belajar secara intensif dengan mengikuti
14
metode investigasi ilmiah di bawah supervise guru. Jadi belajar dirancang, disupervisi, diikuti metode investigasi (Sri Anitah,2009: 54-55). d. Belajar Melalui Pengalaman (Experiential Learning) Paradigma yang mendasari jenis belajar melalui pengalaman (experiential learning) adalah kontruktivistik. Dengan paradigma ini peserta didik belajar dengan mencocokkan pengetahuan dan pengalaman baru, dengan mengganti dan memperluas pengetahuan lama. Dengan experiential learning, pengalaman seseorang bertambah melalui kehidupan, pendidikan, dan bekerja. Ide-ide dibentuk kembali melalui pengalaman melalui proses yang berkelanjutan, dalam suatu siklus implikasinya, belajar ide-ide, dan keyakinan sendiri pada tingkat elaborasi yang berbeda (Sri Anitah,2009:58). e. Pembelajaran Terpadu (integrated learning) Pembelajaran
terpadu
adalah
metode
pengorganisasian
isi
pembelajaran dengan memanfaatkan bidang-bidang study atau mata pelajaran yang sesuai untuk mengembangkan konsep-konsep yang dipilih oleh guru (Sri Anitah,2009:62). f. Quantum Learning Pembelajaran
ini
mengajak
anak
untuk
mengaktifkan
dan
memaksimalkan semua potensi yang dimilikinya, sehingga hal ini menjadikan anak sebagai pribadi dengan daya juang tinggi namun dengan basis kekuatan diri yang kuat pula. Quantum Learning akan bisa mengajak anak untuk memiliki kemauan dan kemampuan meningkatkan dan bahan memunculkan bakat-bakat luar biasanya. Hal ini karena memang memprovokasi anak, pendidikan, dan orang tua ikut berperan dalam “lingkaran edukasi”, dengan pendar-pendar cahaya yang selalu benderang dan hal ini bisa termanifestasi dengan kemampuan anak dalam mengenali serta memaksimalkan kecerdasan majemuknya (Asef dan Fitri,2012:31).
15
g. Resource-Based Learning Resource-Based Learning merupakan sistem belajar yang berorientasi pada siswa yang diatur sangat rapi untuk kemandirian belajar. Sehingga memungkinkan keseluruhan kegiatan belajar dilakukan dengan menggunakan sumber belajar, baik manusia maupun belajar non manusia dalam situasi yang diatur secara afektif (Sudjarwo, 1988: 124). Dari macam-macam model pembelajaran diatas akan dibahas tentang model contextual leanrning and teaching (CTL). 2. Model Contextual Teaching and Learning Kata contextual berasal dari kata contex, yang berarti “hubungan, konteks, suasana atau keadaan”. Dengan contextual diartikan “yang berhubungan dengan suasana (konteks)”. Sehingga contekxtual teaching and learning (CTL) dapat diartikan sebagai suatu pembelajaran yang berhubungan dengan suasana tertentu (Hosnan, 2014: 267). Pembelajaran kontextual adalah pembelajaran yang memungkinkan peserta didik memperkuat, memperluas, dan menerangkan pengetahuan dan keteramilan akademiknya dalam berbagai lingkungan baik di dalam maupun di luar kelas untuk memecahkan masalah–masalah yang disimpulkan maupun yang terjadi di dunia nyata (Sri Anitah, 2009: 49). Menurut pendapat Sanjaya (2006: 109) bahwa model contextual teaching and learning (CTL) adalah salah satu pendekatan pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka. Pembelajaran Kontekstual atau dikenal sengan istilah contextual teaching and learning (CTL) menurut Mulyasa (2006: 102) merupakan konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan siswa secara nyata, sehingga mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari. Siswa
16
akan merasakan pentingnya belajar dan akan memperoleh makna yang mendalam terhadap apa yang dipelajarinya. Model contextual teacing and learning (CTL) didasarkan pada hasil penelitian John Dewey (1916) yang meyimpulkan bahwa siswa akan belajar dengan baik jika apa yang dipelajari terkait dengan apa yang telah diketahui dan dengan kegiatan atau peristiwa yang terjadi disekelilingnya. Sehingga model contextual teaching and learning adalah konsep guru menghadirkan dunia myata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapnnya alam kehidupan mereka sehari-hari, sementara siswa memperoleh pengetahuan dan ketrampilan sedikit demi sedikit dan dari proses mengkonstruksi sendiri sebagai bekal untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat. Dalam pembelajaran Model contextual teacing and learning (CTL) tugas guru adalah memberikan
kemudahan belajar pada siswa dengan menyediakan
sarana dan
sumber
pembelajaran
yang
memadai.
berbagai
Guru bukan
hanya
menyampaikan materi pembelajaran berupa hafalan tetapi mengatur lingkungan dan strategi pembelajaran. Lingkngan belajar yang kondusif sangat penting dan menunjang pembelajaran contextual teaching and learning (CTL). Sementara itu menurut Nurhadi (2004; 148-149) kunci dalam model contextual teaching and learning (CTL) adalah: 1) real word learning; 2) mengutamakan pengalaman nyata; 3) berpikir tingkat tinggi; 4) berpusat pada siswa; 5) siswa aktif, kritis, dan kreatif; 6) pengetahuan bermakna dalam kehidupan; 7) pendidikan atau education bukan pengajaran atau instruction; 8) memecahkan masalah; 9) siswa acting, guru mengarahkan, bukan guru acting, siswa menonton; dan 10) hasil belajar diukur dengan berbagai cara bukan hanya dengan tes. Dengan demikian model contextual teaching and learning (CTL) yang mempunyai cirri harus ada kerja keras, saling menunjang, gembira, belajar dengan bergairah, pembelajaran terintegrasi, menggunakan berbagai sumber, siswa aktif, menyenangkan, tidak membosankan, sharing dengan teman, siswa kritis dan guru kreatif. Proses kegiatan pembelajaran dapat lebih bermakna jika kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan berangkat
17
dari pengalaman belajar siswa dan guru yaitu kegiatan siswa dan guru yang dilakukan secara bersama dalam situasi pengalaman nyata, baik pengalaman dalam kehidupan sehari-hari maupun pengalaman dalam lingkungan. a. Landasan Filosofis Model Contextual Teacing And Learning (CTL) Landasan Fisosofis contextual teacing and learning (CTL) adalah kontruktivisme,
yaitu
pembelajaran
mengkontruksi
(membangun)
sendiri
informasi yang diterima. Dalam pendekatan contextual teacing and learning (CTL), proses pembelajaran berlangsung secara alamiah dalam bentuk kegiatan peserta didik yang bekerja dan mengalami. Pendekatan ini bertitik tolak dari pragmatism yang pernah dicetuskan oleh John Dewey, yaitu bahwa belajar sebaiknya “melakukan sesuatu” (learning by doing) dan menekankan pada minat serta pengalaman. Dengan mengalami sesuatu, maka peserta didik akan memahami makna belajar, mengapa harus belajar, dan bagaimana mencapainya. Dengan demikian akan mendorong peserta didik untuk giat belajar karena apa yang dipelajari berguna bagi kehidupannya. b. Komponen Model Contextual Taching and Learning (CTL) Menurut Sanjaya dalam Sugiyanto (2009:17) ada tujuh asas yang mendasari model contextual teaching and learning (CTL). Sebuah kelas dikatakan melakukan pembelajaran jika menerapkan tujuh pokok tersebut. Penerapan tujuh asas tersebut : 1) Kontruktivisme (Constructivism) Kontruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Siswa perlu dikondisikan untuk terbiasa memecahkan masalah menemukan hal-hal yang berguna bagi dirinya dan bergelut dengan gagasan-gagasan (Kesuma, dkk, 2010:62-63). Siswa harus mengkontruksi pengetahuan dibenak mereka sendiri. Makna dari teori kontruktivisme adalah bahwa siswa harus menemukan dan
18
mentranformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain. Hal ini relevan dengan Kesuma, dkk dalam (Sanjaya: 2006) pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkontruksi bukan menerima pengetahuan. Ketika proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses pembelajaran. Pembelajaran melalui contextual teaching and learning (CTL) medorong siswa agar dapat mengkontruksi pengetahuannya melalui proses pengamatan dan pengalaman. Menurut Sanjaya (2005: 118) pengetahuan hanya akan fungsional manakala dibangun oleh individu. Pengetahuan yang diberikan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna. Menurut dasar tersebut, maka penerapan asas kontruktivisme dalam pembelajaran melalui contextual teaching and learning (CTL), siswa di dorong untuk mampu mengkontruksi pengetahuan sendiri melalui pengalam nyata. 2) Menemukan (Inquiry) Proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Pengetahuan bukanlah sejumlah fakta hasil dari mengingat, akan tetapi hasil dari proses menemukan sendiri (Sanjaya, 2005: 119). Dengan demikian dalam proses perencanaan, guru bukanlah mempersiapkan sejumlah materi yang harus dihafal, akan tetapi merancang pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat menemukan sendiri materi yang harus dipahaminya. Belajar pada dasarnya merupakan proses mental seseorang yang tidak terjadi secara mekanis. Melalui proses mental itulah, diharapkan siswa berkembang secara baik intelektual, mental emosional maupun kepribadiannya. Konsep dalam pembelajaran melewati suatu siklus mengamati, bertanya, menganalisis dan merumuskan teori baik secara individu maupun secara bersamasama (Endang, 2005: 35). Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri, guru harus merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan yang menemukan, apapun materi yang diajarkannya siklus inquiry terdiri dari: a)
19
Proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman; b) Siswa belajar menggunakan keterampilan berfikir kritis; c) Observasi; d) Mengajukan dugaan; e) Bertanya, f) Mengumpulkan data; g) Menyimpulkan (Amri dan Khoiru, 2010: 29) 3) Bertanya (Questioning) Belajar
pada hakekatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan.
Bertanya dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu, sedangkan menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam berfikir (Kesuma, dkk, 2010: 65). Bertanya merupakan strategi utama yang berbasis kontekstual. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berfikir siswa kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam pembelajaran yang berbasis inquiry (Amri dan Khoiru, 2010: 29). Proses pembelajaran melalui contextual teaching and learning (CTL), guru tidak menyampaikan informasi begitu saja, akan tetapi memancing siswa dapat menemukan sendiri, karena itu peran bertanya sangat penting sebab melalui pertanyaan-pertanyaan, guru dapat membimbing dan mengarahkan siswa untuk menemukan setiap materi. Menurut Kesuma, dkk (2010: 65) dalam pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk: a) menggali informasi baik administrasi maupun akademis; b) Mengecek pemahaman siswa; c) Membangkitkan respon siswa; d) Mengetahui sejauh mana keinginan siswa, e) Mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa; f) Memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru; dan f) Membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa. 4) Masyarakat Belajar (Learning Community) Konsep masyarakat belajar (Learning Community) dalam model contextual teaching and learning (CTL) menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh malelui kerja sama dengan orang lain. Kerja sama itu dapat dilakukan dalam berbagai bentuk baik dalam kelompok belajar secara formal maupun dalam
20
lingkungan yang terjadi secara alamiah. Hasil belajar dapat diperoleh dari hasil sharing dengan orang lain, antar teman, antar kelompok yang sudah tahu memberitahu pada yang belum tahu, yang pernah memiliki pengalaman membagi pengalamannya pada orang lain. Istilah hakikat dari masyarakat belajar, masyarakat yang saling membagi (Sanjaya, 2005: 120-121). 5) Pemodelan (Modeling) Asas modeling adalah proses pembelajaran dengan
memperagakan
sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa (Kesuma, dkk, 2010: 67). Tujuan yang akan dicapai dalam pemodelan adalah siswa untuk berkompetensi sehingga dalam pembelajaran sifatnya inovasi (Endang, 2005: 35). Proses modeling tidak terbatas dari guru saja, akan tetapi dapat juga memanfaatkan siswa yang diangga memiliki kemampuan. Modeling merupakan asas yang cukup penting alam model contextual teaching and learning (CTL), sebab melalui modeling siswa dapat terhindar dari pembelajaran yang teoritisabstrak yang dapat memungkinkan terjasinya verbalisme. 6) Refleksi (Reflection) Refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya (Sanjaya, 2005: 122), sedangkan menurut Kesuma, dkk (2010: 68) refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa yang sudah dilakukan di masa lalu. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas atau pengalaman yang baru diterima. Refleksi adalah salah satu pembeda pendekatan kontekstual dengan pendekatan tradisional yang bertbentuk cara-cara berpikir tentang sesuatu yang telah dipelajari siswa (Endang, 2005: 35). Proses berpikir itu, siswa dapat merevisi dan merespon kejadian, aktivitas dan pengalaman mereka. Siswa
21
mencatat butir-butir materi yang telah dipelajari, siswa dilatih untuk mengenali ide-ide baru yang muncul. 7) Penilaian Nyata (Authentic Assessment) Keberhasilan pembelajaran
model contextual teaching and learning
(CTL) tidak hanya ditentukan oleh perkembangan kemampuan intelektual saja, akan tetapi perkembangan seluruh aspek (Kesuma, dkk, 2010: 69). Oleh sebab itu, penilaian keberhasilan tidak hanya ditentukan oleh aspek hasil belajar seperti tes, akan tetapi juga proses belajar melalui dunia nyata. Melalui model contextual teaching and learning (CTL), proses belajar akan lebih kongkret, realistis, actual, nyata dan lebih menyenagkan, serta lebih bermakna. Proses belajar mengajar berpendekatan ini diharapkan dapat meningkatkan
belajar
(kualitas,
kreatifitas,
produktivitas,
efesiensi
dan
efektifitas). Hasil belajar meningkat, karena dalam model contextual teaching and learning (CTL) semua panca indera siswa diaktifkan dan dimanfaatkan secara serentak dalam proses belajar mengajar melalui kegiatan pembelajarannya (Nurhasanah, 2009: 19). Penilaian nyata adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembagan belajar yang dilakukan siswa. Penilaian ini dilakukan untuk mengetahui apakah siswa benar-benar belajar atau tidak, apakah pengalaman
belajar
siswa
memiliki
pengaruh
yang
positif
terhadap
perkembangannya. c. Karakteristik Model Contextual Teacing And Learning (CTL) Menurut Priyatni (2002:2), Model Contextual Teacing And Learning (CTL) memiliki karakteristik sebagai berikut, yaitu : 1) Pembelajaran dilaksanakan dalam konteks yang auntekntik, artinya pembelajaran
diarahkan
agar
siswa
memiliki
keterampilan
dalam
memecahkan masalah dalam konteks nyata atau pembelajaran diupayakan dilaksanakan dalam lingkungan yang alamiah (learning in real life setting).
22
2) Pembelajaran memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengerjakan tugas–tugas yang bermakna (meaningful learning). 3) Pembelajaran dilaksanakan dengan memberikan pengalaman bermakna kepada siswa melalui proses mengalami (learning by doing). 4) Pembelajaran dilaksanakan melalui kerja kelompok, berdiskusi, saling mengoreksi (learning in a group). 5) Kebersamaan, kerja sama saling memahami dengan yang lain secara mendalam merupakan aspek penting untuk menciptakan pembelajaran yang menyenangkan (learning to knot each other deeply). 6) Pembelajaran dilaksanakan secara aktif, kreatif dan mementingkan kerja sama (learning to ask, to inquiry, to York together). 7) Pemeblajaran dilaksanakan dengan cara yang menyenagkan (learning as an enjoy activity) (Hosnan,2014:278). d. Langkah-Langkah Model Contextual Teacing And Learning (CTL) Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan guru pada penerapan model contextual teacing and learning (CTL) dalam proses kegiatan belajar mengajar sebagai berikut, yaitu: 1) Guru mengarahkan siswa untuk sedemikian rupa dapat mengembangkan pemikirannya untuk melakukan kegiatan belajar yang bermakna, berkesan, baik dengan cara meminta siswa untuk bekerja sendiri dan mencari serta menemukan sendiri jawabannya, kemudian memfasilitasi siswa untuk mengkontruksi sendiri pengetahuannya dan keterampilannya yang baru saja ditemui. 2) Dengan bimbingan guru, siswa diajak untuk melakukan suatu fakta dari permasalahan yang disajikan guru dari materi yang diberikan guru. 3) Memancing reaksi siswa untuk melakukan pertanyaan-pertanyaan dengan tujuan untuk mengembangkan rasa ingin tahu siswa. 4) Guru membentuk kelas menjadi beberapa kelompok untuk melakukan diskusi, dan Tanya jawab.
23
5) Guru mendemonstrasikan ilustrasi atau gambaran materi dengan model atau media yang sebenarnya. 6) Guru bersama siswa melakukan refleksi atas kegiatan yang telah dilakukan. 7) Guru melakuakn evaluasi, yaitu menilai kemampuan siswa yang sebenarnya. e. Perbedaan Model Contextual Teacing And Learning (CTL) dengan Pemebelajaran Konvesioanl Menurut Depdiknas (2002:5) mengemukakan perbedaan antara Model Contextual Teacing And Learning (CTL) dengan konvensional sebagai berikut: Tabel 2.1. Perbedaan antara Model contextual teacing and learning (CTL) dengan
konvensional Contextual
Konvensioanal
Pemilihan informasi kebutuhan individu Pemilihan informasi ditentukan siswa oleh guru Cinderung mengintegrasikan bidang (disiplin)
beberapa Cinderung terfokus pada satu bidang (disiplin) tertentu
Selalu mengaitkan informasi dengan Memberikan tumpukan pengetahuan awal yang telah dimiliki siswa informasi kepada siswa sampai pada saatnya diperlukan Menerapkan penilaian autentik melalui Penilaian hasil belajar hanya penerapan praktis dalam pemecahan melalui kegiatan akademik masalah berupa ujian / ulangan.
f. Kelebihan dan Kelemahan Model Contextual Teacing And Learning (CTL) 1) Kelebihan model contextual leanrning and teaching (CTL) adalah a) Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah
24
dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajari akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah dilupakan; b) Pembelajaran lebih produktif, pembelajaran menumbuhkan
contextual
teacing
penguatan
konsep
and
learning
kepada
siswa
(CTL) karena
mampu model
pembelajaran contextual teacing and learning (CTL) menganut aliran kontruktivisme,
yang
mengarahkan
siswa
untuk
menemukan
pengetahuan sendiri. Melalui landasan filosofis kontruktifisme siswa diharapkan dapat belajar melalui, mengalami bukan menghafal. 2) Kekurangan model contextual teacing and learning (CTL) diantaranya adalah orientasi yang melibatkan siswa sehingga guru harus memahami secara mendasar tentang perbedaan potensi individu tiap siswa. Pembelajaran ini pada dasarnya membutuhkan berbagai sarana dan media yang variatif. Untuk mengatasi kelemahan tersebut maka baik guru maupun siswa perlu melakukan upaya berikut a) Guru harus memiliki kemampuan untuk memahami secara mendalam tentang konsep pembelajaran itu sendiri, potensi perbedaan individu siswa dikelas, beberapa pendekatan pembelajaran yang berorientasi kepada aktivitas siswa dan sarana, media, alat bantu serta kelengkapan pembelajaran yang menunjang aktivitas siswa dalam belajar; b) Bagi siswa diperlukan inisiatif dan kreativitas dalam belajar, diantaranya: memiliki wawasan pengetahuan yang memadai dari setiap mata pelajaran, adanya perubahan sikap dalam menghadapi persoalan dan memiliki tanggung jawab yang tinggi dalam menyelesaikan tugas-tugas. 3. Kualitas Pembelajaran Istilah kualitas berasal dari bahasa Inggris (Quality) dan sepadan dengan kata mutu dalam bahasa Indonesia, merupakan istilah yang sudah tidak asing atau
25
dikenal dalam kehisupan sehari–hari. Kata ini biasanya didahului dengan kata lain, seperti kualitas keimanan, kualitas kecerdasan, guru yang berkualitas, siswa yang berkualitas dan lain sebagainya. Jadi kualitas adalah tingkatan atau baik buruknya sesuatu baik yang berupa benda atau manusia. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kualitas adalah ukuran buruk, mutu, taraf, kadar, atau derajat dari kecerdasan, kepandaian dan sebaginya (DEPDIKBUD,1983:179). Menurut Nana Sudjana (1989:87), pengertian secara umum dapat diartikan suatu gambaran yang menjelaskan mengenai baik buruknya hasil yang dicapai para siswa dalam proses pendidikan yang dilaksanakan. Kualitas pembelajaran (ukuran), baik buruk suatu benda, taraf atau derajat (kepandaian, kecerdasan). Menurput Sudarmawan Danim (2007), mengemukakan bahwa mutu atau kualitas mengandung
makna derajat keunggulan suatu produk atau hasil kerja, baik
berupa barang dan jasa. Sedangkan dalam dunia pendidikan barang dan jasa itu bermakna dapat dilihat dan tidak dapat dilihat, tetapi dapat dirasakan. Sedangkan menurut pendapat Sallis dalam Deni Koswara (2009:295) mutu atau kualitas adalah gambaran dan karakteristik manyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang diharapkan oleh pelanggan. Dalam pandangan Zamroni (2007:2), dikatakan bahwa peningkatan mutu atau kualitas sekolah adalah suatu proses yang sistematis yang terus menerus meningkatkan kualitas proses belajar mengajar dan faktor–faktor yang berkaitan dengan itu, dengan tujuan agar menjadi target sekolah dapat dicapai dengan lebih efektif dan efisien. Berdasarkan pendapat Cepi Riyani dalam artikel hakikat kualitas pembelajaran, kualitas dapat dimaknai dengan istilah mutu atau keefektifan. Menurut Etzioni (1964) yang dikutip oleh Cepi Riyani, secara definitive efektivitas dapat dinyatakan sebagai tingkat keberhasilan dalam mencapai tujuan atau sasarannya. Efektivitas ini sesungguhnya merupakan suatu konsep yang lebih luas mencakup berbagai faktor di dalam maupun di luar diri seseorang. Dengan demikian efektivitas tidak hanya dapat dilihat dari sisi produktivitas, akan tetapi juga dapat pula dilihat dari sisi persepsi atau sikap orangnya. Di samping itu,
26
efektivitas juga dapat dilihat dari bagaimana tingkat kepuasan yang dicapai oleh orang (Robbins,1997). Efektivitas suatu konsep yang sangat penting, karena mampu memberikan gambaran mengenai keberhasilan seseorang dalam mencapai sasarannya atau suatu tingkat pencapaian tujuan. Pada keseluruhan proses pendidikan di sekolah, pembelajaran merupakan aktivitas yang paling utama. Kegiatan pembelajaran harus dipersiapkan dengan baik agar hasil dari proses pembelajaran yang dicapai dapat maksimal. Ini berarti bahwa keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan banyak tergantung pada bagaimana proses pembelajaran dapat berlangsung secara efektif. Menurut La Iru & La Ode (2012:2) yang mengutip dari Muijis & Rinol (2005) menyebutkan bahwa terdapat enam elemen utama agar pembelajaran lebih efektif, yaitu : (1) mempunyai struktur yang jelas; (2) materinya dipresentasikan secara terstruktur dan jelas; (3) pembelajran dirancang untuk memberikan keterampilan dasar dengan kecepatan langkah yang ditentukan; (4) mendemonstrasikan model pembelajaran secara jelas dan terstruktur; (5) menggunakan pemetaan konseptual, dan (6) interaksi tanya jawab. Hal ini perlu dimaknai karena keberhasilan pembelajaran yang dilakukan oleh pendidik dan peserta didik ditentukan oleh efektivitasnya dalam
upaya pencapaian kompetensi belajar. Jadi, dari
pembehasan diatas kualitas pembelajaran dapat diartikan sebagai mutu yang diperoleh dari pembelajaran. Menurut Mulyasa (2002:101) kualitas pembelajaran dapat dilihat dari segi proses dan dari segi hasil. Dari segi proses, pembelajaran dikatakan berhasil dan berkualitas apabila seluruh atau setidak-tidaknya sebagian besar (75%) peserta didik terlihat aktif baik fisik, mental, maupun sosial dalam proses pembelajaran, disamping menunjukan kegairahan belajar yang tinggi, semangat belajar yang besar dan rasa percaya diri sendiri. Sedangkan dari segi hasil, pembelajaran dikatan berhasil apabila terjadi perubahan perilaku yang positif pada diri peserta didik seluruhnya atau setidak-tidaknya sebagian besar (75%). Perwujudan dari perubahan tingkah laku hasil pembelajaran adanya peningkatan kemampuan siswa sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
27
Menurut Anitah, dkk (2009: 16) perubahan perilaku sebagai hasil belajar dikelompokkan ke dalam tiga aspek yaitu: a) Pengetahuan (kognitif), hasil dari pegetahuan ini dapat dilihat dari nilai atau prestasi belajar sisiwa b) Keterampilan (Psikomotorik), yang dimaksud keterampilan motorik tidak hanya mencakup kegiatan fisik, tetapi juga digabung dengan keterampilan psikis c) Penguasaan nilai-nilai atau sikap (afektif), ranah yang satu ini merupakan salah satu ranah perilaku manusia atau siswa yang merupakan bagian dari tujuan pendidikan yang tidak dapat dipisahkan dari ranah kognitif dan psikomotorik. Sikap yang dimiliki seseorang mempengaruhi pilihan tindakan orang tersebut terhadap suatu objek atau peristiwa. Dari uraian diatas maka indikator kualitas pembelajaran dapat diukur dari segi proses yang dilihat dari keaktifan siswa selama proses pembelajaran dan dari segi hasil yang diukur dari ranah kogitif siswa yaitu nilai atau hasil belajar siswa. Model contextual teaching and learning (CTL) diharapkan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran seni rupa khususnya menggambar bentuk yang mana dengan model contextual teaching and learning (CTL) dengan adanya pemecahan masalah yang akan mengasah kemampuan berpikir siswa. Siswa dituntun memecahkan masalah, menganalisis permasalahan yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajaran akan lebih bermakna dengan siswa menemukan jawaban sendiri. Model contextual teacing and learning (CTL) dengan pembelajaran alamiah dengan menggali pengetahuan dan apa yang dipelajari dengan mengaitkan permasalahan dengan kehidupan sehari-hari dan diharapkan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran seni rupa khususnya menggambar bentuk.
28
4. Menggambar Bentuk a. Pengertian Menggambar Menggambar (drawing) adalah kegiatan membentuk imajinasi dengan mengguakan banyak pilihan teknik dan alat. Bisa pula berarti membuat tanda– tanda tertentu di atas permukaan dengan mengolah goresan dari alat gambar (Wikipedia). Menurut Veri Apriyanto (2004:4), menggambar merupakan unsur rupa paling mendasar dalam seni rupa dan merupakan bahasa yang paling universal yang sudah ada sebelum manusia menemukan bahasa tulisan. Gambar adalah informasi dan ekspresi. Menurut Firmanawaty Sutan & Setiyo Hartono (2010), menggambar adalah memadukan rasa, pikiran, keterampilan, ide, dan teknik. Menggambar atau drawing menurut Wallschlaeger dan Anyder (dalam Muharrar,2009:166) adalah suatu proses visual untuk menggambar atau menghadirkan figure dan bentuk pada sebuah permukaan dengan menggunakan pensil, pen atau tinta untuk menghasilkan titik, garis, nada warna, tekstur dan lain sebagagainya sehingga mampu memperjelas bentuk gambar. Menurut Ching dalam Syakir dan Mujiono,2007:4) menggambar adalah membuat goresan di atas permukaan yang secara grafis menunjukan kemiripan mengenai sesuatu. Kegiatan menggambar pada dasarnya memerlukan alat dan bahan yang sangat sederhana untuk dapat membuat tanda goresan. Beberapa garis digoreskan pada bidang datar memberikan suatu kesan simbol tentang bentuk yang ada di sekitar kita. Dengan demikian pikiran dan perasan dapat diungkapkan dalam bentuk visual melalui kegiatan menggambar, sehingga menggambar termasuk kegiatan mendasar dalam berkarya seni rupa. Berdasarkan pendapat–pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa menggambar adalah menuangkan ide, ekspresi, dan imajinasi melalui media alat dan bahan tertentu dengan menggunakan teknik atau cara tertentu, sehingga menghasilkan suatu karya gambar.
29
b. Menggambar Bentuk Menggambar bentuk adalah kegiatan untuk mewujudkan kesan dari suatu bentuk benda yang dilihat atau diamati dengan tujuan untuk menggambarkan wujud benda yang menduduki suatu tempat atau ruangan. Hasil dari menggambar bentuk diharapkan memberikan kesan realistis–natural, yaitu kesan yang mirip seperti bentuk benda aslinya serta menampilkan unsur garis, bentuk, warna dan unsur seni rupa lainnya sesuai dengan perspektif, proporsi, dan kedudukannya (Sumanto,2011:83). Menurut Sunaryo (2009:24), dalam menggambar bentuk, tujuan utama ialah mempelajari dasar–dasar bentuk objek. Kegiatannya dilakukan dengan mengamati langsung objek yang digambar dengan menirunya semirip mungkin. Objek–objek yang digambar umumnya ialah benda–benda diam (still life). Objek yang digambar dalam menggambar bentuk disebut model. Tetapi dalam menggambar model, objek yang diamati dan digambar dapat merupakan sosok manusia. Hampir sama dengan pendapat diatas, menurut Kamaril (2006:2) menggambar bentuk adalah usaha mengungkapkan atau mengkomunikasikan ide tau gagasan, perasaan dalam wujud dua dimensi yang bernilai artistik dengan menggunakan garis dan warna. Dalam menggambar bentuk dituntut ketepatan bentuk benda yang digambar. Oleh sebab itu diperlukan pengetahuan tentang dasar–dasar ketepatan bentuk yakni proporsi atau ukuran perbandingan dan ketepatan tekstur yang menunjukan ketepatan jenis benda tersebut. Bagi orang yang masih belajar perlu mengetahui dasar-dasar proporsi tersebut, dengan menggunakan garis–garis potongan untuk membagi-bagi bentuk benda dalam ukuran perbandingan tertentu supaya gambarnya tepat. Pada dasarnya gambar bentuk merupakan gambar dengan objek yang nyata serta memiliki volume, efek, bahan, bayangan, maupun kelengkapan sebagai bentuk yang utuh. Objek gambar bentuk itu luas, mulai dari benda sehari–hari, tumbuhan, manusia, hewan, alam atau gambar imajinatif yang dikongkritkan. Gambar bentuk disebut juga skill life, yaitu gambar benda tak bernyawa atau gambar alam benda. Yang dimaksud menggambar benda disini, yaitu
30
menggambar bentuk–bentuk ala mini dengan sifat–sifat benda tersebut. Benda alam yang digambarkan tersebut antara lain bola, buku, sapu, tempat air, ember, meja, kursi, tempat bunga, bahkan juga bentuk–bentuk manusia, binatang dan sebagainya. Menurut Iriaji dkk (1991:1) mendefinisikan menggambar bentuk sebagai kegiatan menggambar yang mentransformasikan objek atau bentuk– bentuk alam yang ada di sekitar kita pada sebuah bidang gambar atau kertas. Alam sekeliling kita itu misalnya alam benda, tumbuhan, binatang, dan manusia. Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan menggambar bentuk adalah kegiatan melatih keterampilan tangan dalam menggambar suatu objek sekeliling kita yang dilihat lalu dipindahkan dalam bidang datar (kertas) dengan menggunakan media tertentu. Dalam penyusunan objek tersebut menggunakan prinsip–prinsip seni sehingga menghasilkan suatu bentuk gambar sesuai dengan yang dilihat atau diamati. c. Unsur–Unsur Pendukung Menggambar Bentuk 1) Garis Garis merupakan deretan yang berhimpitan secara teratur. Dalam seni rupa, garis merupakan unsur atau elemen yang paling dominan, karena garis merupakan dasar dari sebuah karya seni rupa dua dimensi. Darsono Sony Kartika
dan Nanang Ganda
Perwira (2004:102)
menjelaskan bahwa untuk melihat harus dapat merasakan lewat mata batin kita. Kita harus melatih daya sensitive kita untuk menangkap setiap getaran yang terdapat padas setiap goresan. Garis mempunyai sifat formal dan non formal, misalnya garis–garis non geometri bersifat tak resmi dan cukup luwes, lemah gemulai, lembut, acak–acakan, yang semuanya pada intensitas pembuat garis saat itu. 2) Bidang Bidang merupakan hasil perpotongan dari beberapa garis atau garis lengkung yang bertemu ujung pangkalnya sehingga merupakan siluet dari sesuatu bentuk.
31
3) Warna Merupakan unsur seni rupa yang paling menonjol dan terlihat. Warna menjadikan benda dapat dilihat, dan melalui unsure warna seseorang dapat mengungkapkan perasaan dan watak atau karakter benda yang digambar. 4) Gelap Terang dan Value Gelap terang merupakan hasil pencahayaan sebuah benda yang terkena sinar matahari. Gelap terang dapat menimbulkan kesan tiga dimensi pada benda atau memberikan kesan benda terkena cahaya sehingga tidak kelihatan datar atau kaku. 5) Tekstur Tekstur merupakan unsur rupa yang menunjukan rasa permukaan bahan yang sengaja dibuat dan dihadirkan dalam susunan untuk mencapai bentuk rupa, sebagai usaha untuk memberikan rasa tertentu pada permukaan bidang pada perwajahan bentuk karya seni rupa pada permukaan kedalam tekstur secara nyata dan semu sebagai berikut : a) Tekstur nyata mempunyai kesan pandangan mata sesuai dengan yang kelihatan, bila permukaan kasar, setelah diraba benar–benar kasar; b) Tekstur Semu mempunyai kesan pandangan mata yang tidak sesuai dengan keadaan sesungguhnya. Sehingga permukaan yang terlihat kasar, tetapi setelah diraba ternyata halus. d. Prinsip–Prinsip dalam Menggambar Bentuk Menurut Haning Rosifah (2007:5), keterampilan menggambar bentuk adalah ketika dalam menggambar memenuhi ketentuan pokok dalam proses pembelajaran yaitu: 1) Ketepatan bentuk, yaitu menggambar sesuai objek yang digambar, ketepatan bentuk sangat diutamakan 2) Ukuran perbandingan yang tepat atau proporsi, yaitu perbandingan antara benda satu dengan benda yang lain
32
3) Pembagian bidang yaitu cara menempatkan benda-benda yang digambar ke dalam bidang gambar. Pembagian bidang yang baik bisa dilakukan dengan cara: ambil kertas karton yang dilubangi dengan skala kertas gambar yang digunakan setelah itu diarahkan lubang kertas kea rah objek yang digambar, seperti halnya melihat dengan alat potret melalui lensa. Amatilah betul-betul pengaturannya agar mendapat pengaruh bentuk yang baik 4) Komposisi yaitu pengaturan benda-benda yang akan digambar agar kelihatan baik komposisinya dalam bidang gambar 5) Terjemahan bahasa yaitu menterjemahkan dari bahan apa objek yang kita gambar, misalnya dari kayu, dari tanah liat atau dari bahan-bahan yang lainnya. Menurut
Syakir
dan
Mujiono
(2007:37),
prinsip–prinsip
dalam
menggambar bentuk diantaranya adalah sebagai berikut : 1) Model adalah objek gambar baik dua dimensi maupun tiga dimensi yang secara nyata dan faktual akan diaplikasikan ke dalam media gambar. Model atau objek dalam menggambar bentuk harus mutlak ada. 2) Perspektif sebuah sistem untuk mempresentasikan kesan ruang atau bentuk tiga dimensional pada media dua dimensional sehingga yang kita gambar itu nampak riil sebagimana yang kita lihat adalah dengan perspektif. Kesan ruang dan tiga dimensional ini bukanlah yang faktual, akan tetapi hanya visual semata–mata, dalam menggambarkan persepsi ruang ini, kita menciptkan ruang dalam gambar hanyalah ilusi ruang tersebut berada dalam permukaan dua dimensi. Dalam gambar bentuk prinsip perspektif dapat diaplikasikan pada bentuk–bentuk prismatis. 3) Struktur menggambarkan bentuk baik dua dimensi seperti lingkaran, elips, segi tiga, segi empat, maupun tiga dimensi seperti tabung, bola, piramida, kerucut, dan balok, tidak lepas dari bagian–bagian atau susunan garis–garis yang membentuk bangun tersebut. 4) Gelap Terang yaitu gambar yang telah dihasilkan secara linier dengan garis– garis kontur berupa sket, selanjutnya dapat diwujudkan, volume atau kualitas
33
material benda, warna maupun teksturnya dengan cara membuat nada gelap terang. Nada gelap terang tersebut dapat berfungsi sebagai penjelas rupa dari benda yang digambarkan. Teknik arsir searah, arsir silang, dan arsir pulasan merupakan cara yang umum dimana dengan cara tersebut kita dapat membuat nada gelap terang. 5) Cahaya dan Bayangan yaitu benda dapat terlihat warnanya, bentuk dan susunan, volume, serta bayangan karena adanya cahaya. Cahaya bisa bersumber dari matahari atau cahaya buatan seperti lampu dan api. 6) Teknik Menggambar Bentuk adalah cara–cara yang lazim diperlukan untuk menggambar. Setiap teknik karakter dan gaya khas masing–masing. Adapun teknik dalam menggambar bentuk adalah sebagai berikut : a) Linier, Menurut Syakir dan Mujiono (2007:27) teknik linier merupakan teknik yang paling elementer. Teknik ini biasanya lebih banyak menggunakan media pensil dan pena. Untuk dapat menghasilkan arsiran dengan garis yang kecil maka perlu menggunakan pensil yang agak runcing dan keras sedangkan untuk garis tebal maka pensil tidak usah diruncingkan. Tingkat kemiringan juga akan menghasilkan goresan yang bervariasi.
Gambar 2. 1. Teknik Linier Sumber. sen1budaya.blogspot.co.id2013 b) Blok, Menurut Syakir dan Mujiono (2007:19), gambar tipe blok adalah gambar yang dalam pemvisualannya berupa blok warna hitam
34
dan putih tidak berupa garis outline. Karena gambar ini merupakan terjemahan atau hasil dari interprensi dalam rangka mengungkap apa yang nampak sebuah benda maka gambar yang dihasilkan hanya menampilkan sebuah abstraksi dari esensi bentuk saja.
Gambar 2. 2. Teknik Blog Sumber. sen1budaya.blogspot.co.id,2013 c) Arsir / Crosshatching, Menurut Syakir dan Mujiono (2007: 53) Teknik arsir merupakan pengulangan garis baik teratur maupun acak dengan tujuan mengisi bidang gambar yang kosong atau disebut rendering.
Gambar 2. 3. Teknik Arsir Sumber. sandiprima.blogspot.co.id,2014
35
d) Dussel, Teknik Dussel merupakan cara menggambar yang penentuan gelap terang objek menggunakan pensil gambar yang digoreskan dengan posisi miring.
Gambar 2. 4. Teknik Dusel Sumber. sen1budaya.blogspot.co.id/2013 e) Pointilis, Teknik Pointilis merupakan cara menggambar yang dalam menggambar yang dalam menentukan gelap terang objek gambar dengan menggunakan unsur titik secara berulang.
Gambar 2. 5. Teknik Pointilis Sumber. sandiprima.blogspot.co.id/2014
36
f) Aquarel,
Teknik
Aquarel
merupakan
cara
menggambar
menggunakan cat air dengan sapuan warna yang tipis, sehingga hasilnya tampak transparan atau tembus pandang.
Gambar 2. 6. Teknik Aquarel Sumber. sen1budaya.blogspot.co.id,2013 g) Plakat, Teknik plakat merupakan teknik menggambar dengan sapuan warna tebal sehingga hasilnya tampak pekat dan menutup.
Gambar 2. 7. Teknik Plakat Sumber. sen1budaya.blogspot.co.id,2013 7) Proporsi adalah aspek kesebandingan, yaitu hubungan ukuran antar bagian satu dengan yang lain, serta bagian dan kesatuan serta keseluruhannya.
37
Dalam menggambar pertimbangan proporsi ini sangatlah penting untuk mendapatkan keseimbangan, irama atau harmoni dan kesatuan. 8) Komposisi adalah susunan atau perpaduan dari beberapa objek yang ditata sedemikian rupa sehingga membentuk suatu kesatuan yang harmoni. Komposisi ini sering disebut dengan tata letak yaitu bagaimana mendaptkan objek pada letak yang tertata. Tidak ada ketentuan yang sifatnya baku dalam komposisi gambar. Namun secara umum yang dipakai adalah kepekaan rasa atau taste. e. Media Menggambar Bentuk 1) Kertas Gambar Menurut Rohman (2010:7-10), kertas adalah bahan yang paling ideal digunakan untuk menggambar. Dalam menggambar menggunakan pensil agar mendapat hasil yang baik, sebaiknya menggunakan kertas yang cukup tebal dan permukaannya kasar (tidak licin) agar goresan yang dihasilkan terkesan artistik. 2) Pensil Menurut Syakir dan Mujion (2007:22) jenis pensil mempunyai rentang berdasarkan kerasnya yang ditunjukan dengan kode (H) sampai dengan yang lunak dan gelap (B). 3) Penghapus Menurut
Rohman
(2010:7-10),
penghapus
berguna
untuk
mengoreksi gambar, bagian–bagian gambar yang sudah tidak diperlukan dapat dihapus. Untuk mendapat hasil terbaik, pakailah penghapus yang empuk, tidak kasar, dan bersih. 4) Konte Menurut Jackie Simmonds (2006:16) Konte, batangan maupun pensil, bersifat seperti arang tapi lebih keras. Walaupun begitu, konte masih bisa dibaurkan dengan usapan jari atau kertas padat silindet torchan.
38
Konte tidak berdebu seperti arang dan warnanya bisa dicampur dengan cara menimpa warna yang sudah ada. Konte batangan bisa ditajamkan atau diapaki pada sisinya untuk menutup bidang luas. 5) Pensil berwarna Pensil ini mengandung lilin dan tersedia dalam 12 warna. (untuk kategori pensil warna bukan merupakan bahasan dalam penelitian ini). f. Langkah–langkah Menggambar Bentuk Menggambar bentuk merupakan kegiatan dasar dalam seni rupa. Menggambar bentuk perlu mempersiapkan bahan dan alat untuk membuat karya. Menurut Heru Purwanto dkk (2010) langkah–langkah menggambar bentuk dengan menggunakan model antara lain : 1) Pengamatan adalah kegiatan untuk mengenali objek yang akan digambar. Benda yang diamati untuk menganalisis objek yang diamati hendaknya dalam kondisi diam. Bila objek yang dijadikan model dalam keadaan bergerak maka akan menyulitkan pembuat sketsa gambar. 2) Sketsa adalah kegiatan memindahkan hasil pengamatan di atas bidang gambar dengan cara menyeket objek gambar satu per satu secara tipis. Sketsa dilakukan secara cepat agar tercipta gambar kasar dari model yang sedang digunakan. Pada umumnya sketsa dibuat menggunakan cat atau tinta hitam. 3) Menentukan gelap terang adalah memberikan tanda batas yang tipis antara bagian yang terang dan gelap memperhatikan cahaya. Unsur pencahayaan merupakan salah satu faktor penting dalam menciptakan keindahan sebuah gambar. Arah datangnya cahaya menciptakan bagian model mana yang memiliki bayangan dan tidak. 4) Menentukan teknik menggambar terdapat berbagai macam teknik menggambar bentuk sehingga bisa dihasilkan sebuah gambar satu lukisan yang indah. Apabila menggunakan pensil gambar atau pensil warna, teknik yang tepat dipakai untuk menggambar adalah teknik arsir atau
39
dusel. Apabila menggunakan cat air teknik yang tepat adalah aquarel. Teknik menggambar saat ini berkembang beragam seiring dengan kemajuan teknologi ciptaan manusia. 5. Penelitian Yang Relevan Nina 2012 “Penerapan Contextual Teaching and Learning (CTL) Untuk Meningkatkan Kreativitas dalam Pelajaran Gambar Bebas Pada Siswa Kelas IV SDN Sumbersari 1 Kecamatan Sine Kabupaten Ngawi Semester Genap Tahun Pelajaran 2011/2012” Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas dengan subjek penerima adalah siswa kelas IV Sekolah Dasar Sumbersari 1 tahun pelajaran 2011/2012 yang berjumalah 14 (empat belas) siswa. Penelitian ini dilaksanakan dalam dus siklus. Setiap siklus terdiri dari 4 tahapan, yaitu perencanaan, tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi/pengamatan, dan refleksi. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai bulan Juni 2012. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara, kajian dokumen, dan pelatihan. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskripsi komparatif dan teknik analisis kritis yang berkaitan dengan proses belajar-mengajar. Hasil penelitian tindakan kelas ini dapat dilihat dengan adanya peningkatan kemampuan menggambar bebas pada siswa kelas IV Sekolah Dasar negeri sumbersari 1. Pada siklus I banyaknya siswa tuntas dari ketiga aspek adalah 57,1% dari 14 siswa dan pada siklus II dari tiga aspek meningkat menjadi 75,6%. Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran CTL dapat meningkatkan kreativitas siswa menggambar bebas pada mata pelajaran seni budaya kelas IV SD Negeri Sumbersari 1 tahun pelajaran 2011/2012 meningkat 18,5%. Prima (2015) “Penerapan Model Contextual Teaching And Learning (CTL) Untuk Meningkatkan Kreativitas Siswa Dalam Kegiatan Menggambar Bebas Di Kelompok B1 Tk Islam Al-Masyhuri, Sabrangkulon, Mojosongo, Surakarta Tahun Pelajaran 2014/2015”
40
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penerapan model Contextual Teaching and Learning (CTL) dengan masing-masing aspek terjadi peningkatan berdasarkan indicator yaitu: (1) Kegiatan kontruktivisme mampu meningkatkan pemahaman materi peserta didik selama mengikuti kegiatan menggambar bebas dari 56,5% pada siklus I menjadi 61,5% pada siklus II dan meningkat menjadi 77,7% pada siklus III. (2) Kegiatan menemukan (inquiry), Tanya jawab (questioning), dan masyarakat belajat (learning community) mampu meningkatkan keterlibatan siswa dari 60% pada siklus I menjadi 63,3% pada siklus II dan meningkat menjadi 74% pada siklus III. (3) Kegiatan pemodelan (modeling) mampu meningkatkan kreativitas menggambar peserta didik dari 52,1% pada siklus I menjadi 69,2% pada siklus II dan meningkat menjadi 81,4% pada siklus III. Terbukti pada pelaksanaan siklus 3 indikator ketercapaian dapat mencapai target yaitu lebih dari 70%. B. Kerangka Berfikir Mengatasi permasalahan tersebut, peneliti dan guru harus mempunyai rencana solusi yang dapat digunakan untuk memperbaiki proses pembelajaran menggambar bentuk di sekolah agar siswa lebih tertarik dengan pembelajaran, sehingga hsil menggambar bentuk siswa dapat meningkat. Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan model contextual leanrning and teaching (CTL). Pembelajaran yang menerapkan model contextual leanrning and teaching (CTL) akan menciptkan suasana belajar yang lebih menyenagkan dan tidak membosankan sehingga siswa akan lebih bergairah dan bersemangat dalam proses belajar mengajar dengan adanya minat siswa yang tinggi, siswa akan lebih aktif dan kreatif dalam mengembangkan keterampilan dan pengetahuannya. Model contextual leanrning and teaching (CTL) mengandung tujuh prinsip dalam pelaksanaanya. Dalam prinsip–prinsip tersebut tercermin beberapa sikap yang mengembangkan kemampuan dan keterampilan menggambar bentuk. Siswa dilatih untuk mengkontruksikan dan menemukan sendiri sudut pandang untuk menggambar bentuk di dalam kelas. Siswa mengambil objek yang sudah
41
disiapkan guru di dalam kelas sehingga siswa tidak kesulitan lagi untuk memilih objek. Adapun tujuh prinsip pemebelajaran kontekstual dalam menggambar bentuk sebagai berikut : 1.
Siklus I a.
Pemodelan (Modelling), Guru memperagakan cara menggambar bentuk dengan praktik langsung di depan kelas dan menampilkan video tutorial.
b. Masyarakat Belajar (Learning Community),
Guru memberikan tugas
menggambar bentuk, lalu siswa diminta untuk duduk sesuai kelompok yang sudah dibagi secara heterogen duduk membentuk huruf U dengan objek yang sudah disiapkan guru. c. Inkuiri (Inquiry), Siswa melakukan observasi berdasarkan pengetahuan yang diperoleh. Hasil observasi ditulis sesuai pengalamannya kemudian didiskusikan bersama kelompok. d. Bertanya (Questioning), Antar siswa melakukan metode tanya jawab mengenai teori menggambar bentuk yang sudah disiapkan guru. Guru disini hanya berperan sebagai fasilitator. e. Kontruktivisme (Contructivism), Guru menjelaskan materi menggambar bentuk dengan bantuan alat, bahan serta tampilan foto dan video dari LCD Proyektor. f. Refleksi (Reflection), guru bersama siswa mengevaluasi kegiatan yang sudah dilaksanakan untuk mengetahui kelemahan dan keberhasilan dalam teknik menggambar bentuk. g. Penilaian Nyata (Authentic Assessment), Selama kegiatan pembelajaran berlangsung guru melakukan observasi dan penilaian secara langsung dengan melihat hasil karya dan diskusi kelompok. 2.
Siklus II a.
Pemodelan (Modelling), Guru memperagakan cara menggambar bentuk dengan praktik langsung di depan kelas dan menampilkan video tutorial.
42
b.
Masyarakat Belajar (Learning Community), Guru memberikan tugas menggambar bentuk, lalu siswa diminta untuk duduk secara bebas membentuk melingkari objek yang sudah disiapkan guru.
c.
Inkuiri (Inquiry), Siswa melakukan observasi berdasarkan pengetahuan yang diperoleh. Hasil observasi ditulis sesuai pengalamannya kemudian didiskusikan bersama kelompok.
d.
Bertanya (Questioning), Antar kelompok melakukan diskusi pertanyaan mengenai teori menggambar bentuk yang diberikan oleh guru. Guru di sini hanya berperan sebagai fasilitator.
e.
Kontruktivisme (Contructivism), Guru menjelaskan materi menggambar bentuk dengan bantuan alat, bahan serta tampilan foto dan video dari LCD Proyektor.
f.
Refleksi (Reflection), guru bersama siswa mengevaluasi kegiatan yang sudah dilaksanakan untuk mengetahui kelemahan dan keberhasilan dalam teknik menggambar bentuk.
g.
Penilaian Nyata (Authentic Assessment), Selama kegiatan pembelajaran berlangsung guru melakukan observasi dan penilaian secara langsung dengan melihat hasil karya dan diskusi kelompok. Penerapan model contextual teacing and learning (CTL) dengan tujuh
komponenya dilaksanakan dalam 2 siklus belajar yang setiap siklusnya tersiri dari tahap perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi. Dari penerapan model tersebut diharapkan
kualitas dalam menggambar siswa dapat meningkat.
Indikator keberhasilan meliputi: 1) Peserta didik berminat dan aktif dalam kegiatan pembelajaran, 2) Peserta didik mampu memahami materi tentang gambar bentuk, 3) Peserta didik mampu menghasilkan karya dengan baik sesuai dengan bentuk aslinya. Mengetahui hubungan antara variabel–variabel dalam penelitian berikut ini disajikan secara singkat kerangka berfikir dalam penelitian ini. Kerangka berfikir tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
43
Kualitas Pembelajaran Menggambar Bentuk
Kondisi Pembelajaran di Kelas Kurang kondusif
Siswa Kurang Aktif dan bersemangat
Minat mennggambar bentuk rendah
Model Pembelajaran Contextual Teacing And Learning (CTL)
Siklus I -
-
-
-
-
-
-
Siklus II
Pemodelan: Guru memperagakan proses menggambar bentuk dengan praktek langsung di depan kelas dan menayangkan video tutorial. Masyarakat Belajar: Guru memberikan tugas menggambar bentuk, lalu siswa diminta untuk duduk sesuai kelompok yang sudah dibagi secara heterogen duduk membentuk leter U dengan objek yang sudah disiapkan guru. Inkuiri: Siswa melakukan observasi berdasarkan pengetahuan yang diperoleh. Hasil observasi ditulis sesuai pengalamannya kemudian didiskusikan bersama kelompok. Bertanya: Antar siswa melakukan metode tanya jawab mengenai teori menggambar bentuk yang sudah disiapkan guru. Guru disini hanya berperan sebagai fasilitator. Kontruktivisme: Guru menjelaskan materi menggambar bentuk dengan menggunakan LCD. Pada siklus ini terdapat penambahan media pembelajaran untuk menambah pengetahuan siswa Refleksi: guru bersama siswa mengevaluasi kegiatan yang sudah dilaksanakan untuk mengetahui kelemahan dan keberhasilan dalam teknik menggambar bentuk. Penilaian Nyata: Selama kegiatan pemeblajaran berlangsung guru melakukan observasi dan menilai secara terus menerus dengan melihat hasil karya dan hasil diskusi.
-
-
-
-
-
-
Pemodelan: Guru memperagakan proses menggambar bentuk dengan praktek langsung di depan kelas dan menayangkan video tutorial. Masyarakat Belajar: Guru memberikan tugas menggambar bentuk, lalu siswa diminta untuk duduk secara bebas membentuk melingkari objek yang sudah disiapkan guru Inkuiri: Siswa melakukan observasi berdasarkan pengetahuan yang diperoleh. Hasil observasi ditulis sesuai pengalamannya kemudian didiskusikan bersama kelompok. Bertanya: Antar kelompok melakukan diskusi pertanyaan mengenai teori menggambar bentuk yang diberi guru. Guru di sini hanya berperan sebagai fasilitator. Kontruktivisme: Guru menjelaskan materi menggambar bentuk dengan menggunakan LCD Refleksi: guru bersama siswa mengevaluasi kegiatan yang sudah dilaksanakan untuk mengetahui kelemahan dan keberhasilan dalam teknik menggambar bentuk. Penilaian Nyata: Selama kegiatan pemeblajaran berlangsung guru melakukan observasi dan menilai secara terus menerus dengan melihat hasil karya dan hasil diskusi.
Kualitas Pembelajaran Menggambar Bentuk Kondisi Pembelajaran menjadi Kondusif
Siswa lebih aktif dan bersemangat
Gambar 2. 8. Skema Kerangka Berpikir
Minat menggambar bentuk tinggi
44
C. Hipotesis Tindakan Penerapan model contextual leanrning and teaching (CTL) dapat meningkatkan minat, pengetahuan dan hasil belajar siswa dalam menggambar bentuk. Dengan demikian dapat dirumuskan hipotesis bahwa penerapan model contextual leanrning and teaching (CTL) dapat meningkatkan kualitas proses belajar mengajar dan hasil pembelajaran dalam menggambar bentuk.