BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori Pada bagian kajian teori ini secara berturut-turut akan dikaji tentang pengertian fisika, hakikat pembelajaran fisika, penilaian hasil belajar, objek evaluasi pembelajaran, teknik dan instrumen evaluasi hasil belajar afektif, teknik dan instrumen evaluasi hasil belajar psikomotorik, pembelajaran kooperatif (cooperative learning), serta hukum Newton dan penerapannya. 1. Pengertian Fisika Fisika berasal dari kata physics yang berarti ilmu alam, yaitu ilmu yang mempelajari tentang permasalahan alam secara fisis. Karena fisika merupakan bagian dari sains, maka hakekat fisika dapat dilihat dari hakekat sains. Perhatikan definisidefinisi sains berikut ini. “Science is a problem solving activity conducted by humans who are motivated by a curiosity about the world around them and a desire to understand that world, or by a desire to manipulate the world in order to satisfy other wants or needs, or by both of these” (Dawson 1994 dalam Severinus, 2013: 5). “Science is not just a collection of laws, a catalogue of facts, it is a creation of human mind with its freely invented ideas and concepts. Physical theories try to form a picture of reality and to establish its connentions with the wide world of sense impressions” (Einstein & Infield dalam Severinus, 2013 : 5). Fisika termasuk dalam cabang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Banyak ahli yang telah memberikan definisi fisika sesuai dengan kajiannya terhadap fisika itu sendiri. Giancoli (2014: 2) menyatakan bahwa fisika merupakan ilmu
15
pengetahuan yang paling mendasar, karena berhubungan dengan perilaku dan struktur benda. Menurut Mundilarto (2002: 3) fisika merupakan ilmu yang berusaha memahami aturan-aturan alam yang begitu indah dan dengan rapi dapat dideskripsikan secara matematis. Matematika dalam hal ini berfungsi sebagai bahasa komunikasi sains termasuk fisika. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, fisika merupakan ilmu tentang zat dan energi (seperti panas, cahaya dan bunyi). Fisika adalah bagian dari sains (IPA), pada hakikatnya adalah kumpulan pengetahuan, cara berpikir, dan penyelidikan. IPA sebagai kumpulan pengetahuan dapat berupa fakta, konsep, prinsip, hukum, teori, dan model. IPA sebagai cara berpikir merupakan aktivitas yang berlangsung di dalam pikiran orang yang berkecimpung didalamnya karena adanya rasa ingin tahu dan hasrat untuk memahami fenomena alam. IPA sebagai cara penyelidikan merupakan cara bagaimana informasi ilmiah diperoleh, diuji, dan divalidasikan (Prasetyo, 1998:1.31) Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa sains termasuk di dalamnya fisika memiliki tiga aspek yaitu (1) aspek pengetahuan, (2) aspek proses, (3) aspek sikap. Aspek pengetahua yaitu fisika sebagai body of knowledge berisi fakta, konsep, prinsip, hukum dan teori. Aspek proses. Yaitu fisika sebagai proses ilmiah berisi ketrampilan proses ilmiah yang harus dilaksanakan untuk menghasilkan produk ilmiah. Ini dikenal sebagai metode ilmiah (scientific method) yang berisi langkah-langkah merumuskan masalah, menyusun
hipotesis,
melakukan
eksperimen,
mengumpulkan
data,
menganalisis data, dan menarik kesimpulan. Aspek sikap yaitu dalam melaksanan proses ilmiah, seorang fisikawan didorong dan dikendalikan oleh sikap-sikap ilmiah seperti rasa ingin tahu, skeptis atau selalu minta bukti,
16
terbuka terhadap pendapat lain, jujur, obyektif, setia pada data, teliti, kerjasama, tidak mudah menyerah. 2. Hakikat Pembelajaran Fisika Pembelajaran berasal dari kata belajar. Menurut Kunandar (2014: 319320) istilah belajar dan pembelajaran merupakan suatu istilah yang memiliki keterkaitan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain dalam proses pendidikan. Belajar adalah perubahan individu dalam kebiasaan, pengetahuan, dan sikap. Menurut definisi ini seseorang mengalami proses belajar kalau ada perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak bisa menjadi bisa, dari kurang baik menjadi baik. Aktivitas belajar tersebut mengharapkan perubahan tingkah laku (behavioral change) pada diri individu yang belajar. Belajar selalu melibatkan tiga hal pokok yaitu: (1) adanya perubahan tingkah laku, (2) sifat perubahan relatif permanen, dan (3) perubahan tersebut disebabkan oleh interaksi dengan lingkungan, bukan oleh proses kedewasaan ataupun perubahan-perubahan kondisi fisik yang temporer sifatnya. Begitu pula Hamalik (2004: 154) mendefinisikan belajar sebagai perubahan tingkah laku yang relatif mantap dikarenakan proses latihan dan pengalaman. Dari berbagai definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan suatu proses memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam wujud perubahan tingkah laku, sifatnya permanen, dan disebabkan oleh interaksi dengan lingkungan. Proses belajar ditandai dengan adanya perubahan tingkah laku secara keseluruhan baik segi kognitif, afektif, maupun psikomotorik dari yang paling sederhana sampai yang paling kompleks.
17
Proses perubahan tersebut bersifat pemecahan masalah dan pentingnya peranan kepribadian dalam proses serta hasil belajar. Pembelajaran merupakan proses untuk menumbuhkan aktivitas belajar peserta didik secara efektif dan efisien. Pembelajaran (Instruction) menurut Daryanto (2012: 19) merupakan akumulasi dari konsep mengajar (teaching) dan konsep belajar (learning). Pembelajaran merupakan perpaduan antara keduanya, yakni kepada penumbuhan aktivitas subjek didik. Konsep tersebut dapat dipandang sebagai suatu sistem, sehingga dalam sistem belajar ini terdapat komponen komponen yaitu peserta didik, tujuan, materi, fasilitas dan prosedur serta alat atau media yang harus dipersiapkan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Sedangkan menurut Sugihartono, dkk (2012: 81) pembelajaran merupakan suatu upaya yang dilakukan dengan sengaja oleh pendidik untuk menyampaikan ilmu pengetahuan, mengorganisasi dan menciptakan sistem lingkungan dengan berbagai metode sehingga peserta didik dapat melakukan kegiatan belajar secara efektif dan efisien serta dengan hasil optimal. Sehingga pembelajaran merupakan penumbuhan aktivitas subjek didik melalui sistem belajar agar peserta didik dapat melakukan kegiatan belajar secara optimal. Pembelajaran fisika yang dapat menghasilkan hasil belajar yang bermakna adalah pembelajaran yang tidak akan lepas dari hakikat fisika itu sendiri (Supriyadi 2010: 98). Pengetahuan fisika memiliki banyak konsep dan prinsip yang abstrak. Sebagian besar peserta didik mengalami kesulitan dalam menginterpretasi konsep dan prinsip fisika tersebut. Padahal peserta didik dituntut
untuk
mampu
menginterpretasi
secara
tepat.
Kemampuan
18
mengidentifikasi dan menginterpretasi konsep dan prinsip fisika merupakan prasyarat bagi penggunaan konsep-konsep untuk inferensi-inferensi yang lebih kompleks atau untuk memecahkan soal fisika yang berkaitan dengan konsep tersebut. Tujuan pembelajaran fisika adalah membantu peserta didik memperoleh pengetahuan dasar sehingga dapat digunakan secara fleksibel. Pembelajaran fisika di tingkat sekolah atas ditujukan agar peserta didik menguasai konsep-konsep fisika dan keterkaitannya sehingga mampu menggunakan metode ilmiah untuk memecahkan masalah yang dihadapinya (Mundilarto, 2002: 3-5). Pembelajaran fisika menekankan pada pemberian pengalaman langsung kepada peserta didik untuk memperoleh pengetahuan dasar mengenai konsep-konsep fisika dan mengembangkannya untuk memecahkan
masalah
yang
dihadapinya.
Pembelajaran
fisika
harus
melibatkan peserta didik secara aktif untuk berinteraksi dengan objek konkret. 3. Penilaian Hasil Belajar Istilah penilaian atau evaluasi berasal dari bahasa Inggris evaluation yang secara bahasa diartikan penilaian dan penaksiran. Penilaian merupakan kegiatan membandingkan tujuan dengan hasil dan juga merupakan studi yang mengombinasikan penampilan dengan situasi nilai tertentu. Tim Depdiknas mengemukakan penilaian adalah serangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis, dan menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan keputusan. Penilaian hasil belajar ujungnya adalah pada kegiatan pengambilan keputusan tentang
19
proses dan hasil belajar. Pengambilan keputusan yang tepat mengenai hasil belajar tersebut perlu didukung oleh data yang akurat dan terpercaya. Data ini dikumpulkan dengan melalui kegiatan pengukuran terhadap hasil belajar baik dengan menggunakan isntrumen penilaian baik tes maupun nontes (Sukiman, 2012: 3-4). Jadi, penilaian hasil belajar adalah kegiatan menafsirkan hasil pengukuran serta membandingkan tujuan pembelajaran dengan hasil yang diperoleh. Penilaian dalam konteks hasil belajar diartikan sebagai kegiatan menafsirkan data hasil pengukuran tentang kecakapan yang dimiliki peserta didik setelah mengikuti kegiatan pembelajaran. Dengan demikian esensi dari pengukuran adalah kuantifikasi atau penetapan angka tentang karakteristik atau keadaan individu menurut aturan-aturan tertentu. Keadaan individu ini bisa berupa kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik (Widoyoko, 2009: 30-31). Tujuan penilaian haruslah sejalan dengan tujuan pembelajaran karena penilaian merupakan bagian integral dari proses pembelajaran. Penilaian hendaknya dilakukan dengan perencanaan yang cermat sebagai upaya untuk mengumpulkan berbagai informasi dengan berbagai teknik; sebagai bahan pertimbangan penentuan tingkat keberhasilan proses dan hasil pembelajaran (Majid, 2014: 35). Jadi, dapat dikatakan bahwa mengukur adalah membandingkan sesuatu dengan satu ukuran dan aturan tertentu. Data yang dihasilkan dari pengukuran merupakan data kuantitatif. Menilai adalah mengambil keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik atau buruk dan
20
bersifat kualitatif. Penilaian merupakan kegiatan membandingkan antara tujuan dengan hasil yang dicapai melalui kegiatan pengukuran terlebih dahulu. Setelah pembelajaran di sekolah ada kompetensi yang harus dikuasai siswa sebagai hasil belajar. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah pada sruktur kurikulum terdapat empat kompetensi inti yang harus dikuasai siswa kelas X SMA/MA setelah kegiatan pembelajaran. Kompetensi inti ke-1: Menghayati dan mengamalkan
ajaran agama yang
dianutnya. Kompetensi inti ke-2: Mengembangkan perilaku (jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, santun, ramah lingkungan,
gotong royong,
kerjasama, cinta damai, responsif dan proaktif) dan menunjukan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan bangsa dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia. Kompetensi inti ke-3: Memahami dan menerapkan pengetahuan faktual, konseptual, prosedural dalamilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan,
kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait
fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah. Kompetensi inti ke-4: Mengolah,
menalar, dan
menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan
21
dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan. (http://biologi.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2013/08/PDK-2013-69Kerangka-Dasar-Kurikulum-Kompetensi-SMA.pdf) Fungsi penilaian hasil belajar peserta didik yang dilakukan guru adalah: 1. Menggambarkan seberapa dalam seorang peserta didik telah menguasai suatu kompetensi tertentu. Dengan penilaian maka akan diperoleh informasi tingkat pencapaian kompetensi peserta didik (tuntas atau belum tuntas). 2. Mengevaluasi hasil belajar peserta didik dalam rangka membantu peserta didik memahami dirinya, membuat keputusan tentang langkah berikutnya, baik untuk pemilihan program, pengembangan kepribadian maupun untuk penjurusan (sebagai bimbingan). 3. Menemukan kesulitan belajar dan kemungkinan prestasi yang bisa dikembangkan peserta didik serta sebagai alat diagnosis yang membantu guru menentukan apakah peserta didik perlu mengikuti remedial atau pengayaan. Dengan penilaian guru dapat mengidentifikasikan kesulitan peserta didik untuk selanjutnya dicari tindakan untuk mengatasinya. Dengan penilaian guru juga dapat mengidentifikasikan kelebihan atau keunggulan dari peserta didik untuk selanjutnya diberikan tugas atau proyek yang harus dikerjakan oleh peserta didik sebagai pengembangan minat dan potensinya; 4. Menemukan kelemahan dan kekurangan proses pembelajaran yang sedang berlangsung guna perbaikan proses pembelajaran berikutnya; (5) Kontrol bagi guru dan sekolah tentang kemajuan peserta didik guna menyusun program untuk meningkatkan kemajuan hasil belajar peserta didik. Guru dan sekolah dapat mengontrol tingkat kemajuan hasil belajar peserta didik, yakni berapa persen tingkat tinggi, berapa persen tingkat sedang, dan berapa persen tingkat rendah (Kunandar, 2014: 68-69). Penilaian hasil belajar sangatlah penting dalam kegiatan pembelajaran. Oleh karena itu penilaian haruslah dilakukan dengan baik sehingga dapat memberikan informasi
yang bermanfaat dan pada akhirnya tujuan
pembelajaran yang sesungguhnya akan tercapai.
22
4. Objek Evaluasi Pembelajaaran a. Ranah Kognitif (Cognitive Domain) Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan otak. Ranah kognitif berhubungan dengan kemampuan berfikir, termasuk di dalamnya kemampuan
mengahafal,
memahami,
mengaplikasi,
menganalisis,
menyintesis dan kemampuan mengevaluasi (Sukirman, 2012: 55). Taksonomi Bloom (1956) mengklasifikasikan perilaku menjadi 6 kategori dari yang sederhana (mengetahui) sampai yang lebih kompleks (mengevaluasi). Ranah kognitif terdiri atas pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehension), penerapan (application), analisis (analysis), sintesis (synthesis), evaluasi (evaluation). Kemudian Taksonomi Bloom ranah kognitif direvisi oleh Anderson dan Krathwohl (2001: 66-68) yakni: mengingat (remember), memahami (understand), menerapkan (apply), menganalisis (analyze), mengevaluasi (evaluate), dan menciptakan (create). Berikut ini merupakan penjelasan mengenai enam jenjang ranah kognitif menurut Majid (2014: 4-13). 1) Mengingat (Remember) Mengingat merupakan usaha mendapatkan kembali pengetahuan dari memori atau ingatan yang telah lampau, baik yang baru saja didapatkan maupun yang sudah lama didapatkan. Mengingat merupakan dimensi yang berperan penting dalam proses pembelajaran yang bermakna (meaningful learning) dan pemecahan masalah
23
(problem solving). Mengingat meliputi mengenali (recognition) dan memanggil kembali (recalling). 2) Memahami/ Mengerti (Understand) Memahami / mengerti berkaitan dengan membangun sebuah pengertian berbagai sumber seperti pesan, bacaan dan komunikasi. Memahami / mengerti berkaitan dengan aktivtas mengklasifikasikan (classification) dan membandingkan (comparing). Mengklasifikasikan akan muncul ketika seorang peserta didik berusaha mengenali pengetahuan yang merupakan anggota dari kategori pengetahuan tertentu. Mengklasifikasikan berawal dari suatu contoh atau informasi yang spesifik kemudian ditemukan konsep dari prinsip umumnya. Membandingkan merujuk pada identifikasi persamaan dan perbedaan dari dua atau lebih objek, kejadian, ide, permasalahan, atau situasi. Membandingkan berkaitan dengan proses kognitif menemukan satu persatu ciri-ciri dari objek yang diperbandingkan. 3) Menerapkan (apply) Menerapkan menunjuk pada proses kognitif memanfaatkan atau mempergunakan suatu prosedur untuk melaksanakan percobaan atau menyelesaikan permasalahan. Menerapkan berkaitan dengan dimensi pengetahuan procedural (procedural knowledge). Menerapkan meliputi kegiatan menjalankan prosedur (executing) dan mengimplementasikan (implementing).
24
4) Analisis (analysis) Menganalisis merupakan memecahkan suatu permasalahan dengan memisahkan tiap-tiap bagian dari permasalahan dan mencari keterkaitan dari tiap-tiap bagian tersebut dan mencari tahu bagaimana keterkaitan tersebut dapat menimbulkan permasalahan. Kemampuan menganalisis merupakan kemampuan yang banyak dituntut dari kegiatan pembelajaran di sekolah-sekolah. Berbagai mata pelajaran menuntut peserta didik memiliki kemampuan menganalisis dengan baik. Tuntutan terhadap peserta didik untuk memiliki kemampuan menganalisis sering kali cenderung lebih penting daripada dimensi proses kognitif yang lain seperti mengevaluasi dan menciptakan. Kegiatan pembelajaran sebagian besar mengarahkan peserta didik untuk mampu membedakan fakta dan pendapat, menghasilkan kesimpulan dari suatu informasi pendukung. 5) Mengevaluasi (Evaluate) Evaluasi berkaitan dengan proses kognitif memberikan penilaian berdasarkan kriteria dan standar yang sudah ada. Kriteria yang biasanya digunakan adalah kualitas, efektivitas, efisiensi, dan konsistensi. Kriteria atau standar ini dapat berupa kuantitatif maupun kualitatif serta dapat ditentukan sendiri oleh peserta didik. Perlu diketahui bahwa tidak semua kegiatan penilaian merupakan dimensi mengevaluasi, namun hampir semua dimensi proses kognitif memerlukan penilaian. Perbedaan antar penilaian yang dilakukan
25
peserta didik dengan penilaian yang merupakan evaluasi adalah pada standar dan kriteria yang dibuat oleh peserta didik. Jika standar atau kriteria yang dibuat mengarah pada keefektifan hasil yang didapatkan dibandingkan dengan perencanaan dan keefektifan prosedur yang digunakan maka apa yang dilakukan peserta didik adalah kegiatan evaluasi. 6) Menciptakan (Create) Menciptakan mengarah pada proses kognitif meletakkan unsurunsur secara bersama-sama untuk membentuk kesatuan yang koheren dan mengarahkan peserta didik untuk menghasilkan suatu produk baru dengan mengorganisasikan beberapa unsur menjadi bentuk atau pola yang berbeda dengan yang sebelumnya. Menciptakan meliputi menggeneralisasikan (generating) dan memproduksi (producing). Menggeneralisisaikan
merupakan
kegiatan
mepresentasikan
permasalahan dan penemuan alternative hipotesis yang diperlukan. Menggeneralisasikan ini berkaitan dengan berpikir divergen yang merupakan inti dari berpikir kreatif. Memproduksi mengarah pada perencanaan untuk menyelesaikan permasalahan yang diberikan. Memproduksi berkaitan erat dengan dimensi pengetahuan konseptual, pengetahuan procedural, dan pengetahuan metakognisi. b. Ranah Afektif (affective domain) Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap,
26
emosi, atau nilai. Sikap menentukan keberhasilan belajar seseorang. Orang yang tidak memiliki minat pada pelajaran tertentu sulit untuk mencapai keberhasilan belajar secara optimal (Kunandar, 2014: 104). Sikap seseorang menurut Sudijono (2011: 54) dapat diramalkan perubahannya apabila ia telah memiliki penguasaan kognitif tinggi. Ciri-ciri belajar afektif akan tampak pada peserta didik dalam berbagai tingkah laku. Ranah afektif ini oleh Krathwohl dkk (2001) ditaksonomi menjadi lebih rinci lagi ke dalam lima jenjang yaitu (1) receiving (2) responding (3) valuing (4) organization, dan (5) characterization by a value or value complex. Berikut ini adalah penjelasan mengenai 5 jenjang ranah afektif. 1) Menerima (receiving) Receiving adalah kepekaan seseorangg dalam menerima rangsangan (stimulus) dari luar yang datang kepada dirinya dalam bentuk masalah, situasi, gejala dan lain-lain. Receiving juga sering diberi pengertian sebagai kemauan untuk memperhatikan suatu kegiatan atau suatu obyek. Pada jenjang ini peserta didik dibina agar mereka bersedia menerima nilai atau nilai-nilai yang diajarkan kepada mereka, dan mereka mau menggabungkan diri ke dalam nilai itu mengidentikkan diri dengan nilai itu. 2) Menanggapi (responding) Responding
(=
menanggapi)
mengandung
arti
“adanya
partisipasi aktif”. Jadi kemampuan menanggapi adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk mengikutsertakan dirinya secara
27
aktif dalam fenomena tertentu dan membuat reaksi aktif dalam fenomena tertentu dan membuat reaksi terhadapnya dengan salah satu cara. Jenjang ini setingkat lebih tinggi dari receiving. 3) Menilai (evaluing) Valuing (menilai = menghargai). Menilai atau menghargai artinya memberikan nilai atau memberikan penghargaan terhadap suatu kegiatan atau objek, sehingga apabila kegiatan itu tidak dikerjakan, dirasakan akan membawa kerugian atau penyesalan. Valuing adalah merupakan tingkatan afektif yang lebih tinggi lagi daripada receiving dan responding. Dalam kaitan dengan proses belajar mengajar, peserta didik di sini tidak hanya mau menerima nilai yang diajarkan tetapi mereka telah berkemampuan untuk menilai konsep atau fenomena, yaitu baik atau buruk. Nila sesuatu ajaran yang telah mampu mereka nilai dan telah mampu mengatakan “itu adalah baik”, maka ini berarti bahwa peserta didik telah menjalani proses penilaian. Nilai itu telah mulai dicamkan dalam dirinya. Dengan demikian maka nilai tersebut telah stabil dalam diri peserta didik. 4) Organisasi (organization) Organization artinya mempertemukan perbedaan nilai sehingga terbentuk nilai baru yang lebih universal, yang membawa kepada perbaikan umum. Mengatur atau mengorganisasikan merupakan pengembangan dari nilai ke dalam satu sistem organisasi, termasuk di
28
dalamnya hubungan satu nilai dengan nilai lain, pemantapan dan prioritas nilai yang telah dimilikinya. 5) Pembentukan pola hidup (characterization by a value or value complex) Karakterisasi dengan suatu nilai atau komplek nilai yakni keterpaduan semua sistem nilai yang telah dimiliki seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Disini proses internalisasi nilai telah menempati tempat tertinggi dalam suatu hierarki nilai. Nilai itu telah tertanam secara konsisten pada sistemnya dan telah mempengaruhi emosinya. Ini adalah merupakan tingkatan afektif tertinggi, karena sikap batin peserta didik telah benar-benar bijaksana. Ia telah memiliki philosophy of life yang mapan. Jadi pada jenjang ini peserta didik telah memiliki sistem nilai yang mengontrol tingkah lakunya untuk suatu waktu yang cukup lama, sehingga membentuk karakteristik “pola hidup”; tingkah lakunya menetap, konsisten dan dapat diramalkan Sudijono (2011: 54-56). c. Ranah Psikomotorik (Psychomotor Domain) Ranah psikomotor adalah ranah berhubungan dengan hasil belajar yang pencapaiaanya melalui keterampilan. Keterampilan itu sendiri menunjukkan tingkat keahlian seseorang dalam suatu tugas tertentu. “Ranah psikomotor adalah ranah yang berkaitan dengan keterampilan (skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu” (Sudijono, 2011: 57). Seperti halnya hasil belajar kognitif
29
dan afektif, hasil belajar psikomotorik juga berjenjang-jenjang. Elizabeth Shimpson (1966) mengemukakan tujuh domain mulai dari tingkat yang paling rendah sampai pada tingkat keterampilan tertinggi. Secara lengkap domain psikomotorik adalah sebagai berikut. 1) Persepsi (perception) Persepsi
berkenaan
dengan
penggunaan
indera
dalam
menangkap isyarat yang membimbing aktivitas gerak. Kategori itu bergerak dari stimulus sensori (kesadaran terhadap stimulus) melalui pemilihan isyarat (pemilihan tugas yang relevan) hingga penerjemahan (dari persepsi isyarat ke tindakan). 2) Kesiapan (set) Kesiapan yaitu menunjukkan perilaku siap-siaga untuk kegiatan atau pengalaman tertentu. Termasuk di dalamnya perangkat mental (kesiapan mental untuk bertindak), perangkat fisik (kesiapan fisik untuk bertindak), perangkat emosi (kesiapan emosi perasaan untuk melakukan suatu tindakan). 3) Gerakan terbimbing (guided response) Gerakan terbimbing (guided response), yaitu tahapan awal dalam mempelajari keterampilan yang kompleks. Hal ini meliputi peniruan (mengulang suatu perbuatan yang telah didemonstrasikan oleh instruktur) dan trail and error (menggunakan pendekatan ragam respon untuk mengidentifikasikan respons yang tepat). Kelayakan
30
kinerja dinilai oleh instruktur atau oleh seperangkat kriteria yang cocok. 4) Gerakan terbiasa (mechanism) Mekanisme atau gerakan terbiasa adalah berkenaan dengan kinerja dimana peserta didik menampilkan respons yang sudah dipelajari dan sudah menjadi kebiasaan, sehingga gerak yang ditampilkan menunjukkan suatu kemahiran serta gerakan-gerakan dilakukan dengan penuh keyakinan dan kecakapan. 5) Gerakan yang kompleks (complex overt response) Gerakan yang kompleks, yaitu gerakan yang sangat terampil dengan pola-pola gerakan yang sangat kompleks. Keahliannya terindikasi
dengan
menghabiskan
gerakan
energi
yang
yang
cepat,
minimum.
lancar,
Kategori
akurat, ini
dan
meliputi
kemantapan gerakan (gerakan tanpa keraguan) dan gerakan otomatis (gerakan dilakukan dengan rileks dan control otot yang bagus). 6) Gerakan pola penyesuaian (adaptation) Gerakan pola penyesuaian (adaptation), yaitu berkenaan dengan keterampilan yang dikembangkan dengan baik sehingga dapat memodifikasi pola-pola gerakan untuk menyesuaikan situasi tertentu. Pada tingkat ini individu sudah berada pada tingkat yang terampil sehingga ia sudah dapat menyesuaikan tindakannya untuk situasisituasi yang menuntut persyaratan tertentu.
31
7) Kreativitas (origination) Kreativitas yaitu menunjukkan kepada penciptaan pola-pola gerakan baru untuk menyesuaikan situasi tertentu atau problem khusus. Hasil belajar untuk level ini menekankan kreativitas yang didasarkan pada keterampilan yang sangat hebat (Sukirman, 2012: 7274). 5. Teknik dan Instrumen Evaluasi Hasil Belajar Afektif Penilaian kompetensi sikap dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan tepat apabila teknik dan instrumen yang digunakan sesuai dengan tujuan dari penilaian tersebut. Penilaian kompetensi sikap dalam pembelajaran merupakan serangkaian kegiatan yang dirancang untuk mengukur sikap peserta didik sebagai hasil dari suatu program pembelajaran. Penilaian sikap juga merupakan aplikasi suatu standar atau sistem pengambilan keputusan terhadap sikap. Kegunaan utama penilaian sikap sebagai bagian dari pembelajaran adalah refleksi (cerminan) pemahaman dan kemajuan sikap peserta didik secara individual (Majid, 2014.163). Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah pada sruktur kurikulum terdapat dua kompetensi inti sikap yang harus dikuasai siswa kelas X SMA/MA setelah kegiatan pembelajaran. Kompetensi sikap spiritual mengacu pada KI-1: Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya, sedangkan kompetensi sikap sosial mengacu pada KI-2: Mengembangkan perilaku (jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, santun , ramah lingkungan, gotong royong, kerjasama, cinta damai, responsif dan proaktif) dan
32
menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan bangsa dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.
(http://biologi.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2013/08/PDK-2013-
69-Kerangka-Dasar-Kurikulum-Kompetensi-SMA.pdf) Ada beberapa objek sikap yang perlu dinilai dalam proses pembelajaran. Menurut Kunandar (2014: 117) objek sikap tersebut adalah sikap peserta didik terhadap materi pelajaran, sikap terhadap guru/ pengajar, sikap terhadap proses pembelajaran, sikap yang berkaitan dengan nilai atau norma yang berhubungan dengan suatu materi pelajaran, dan sikap berhubungan dengan kompetensi afektif lintas kurikulum yang relevan dengan mata pelajaran. Penilaian kompetensi sikap dalam pembelajaran dilakukan dengan teknik dan instrumen evaluasi yang sesuai dengan kebutuhan penilaian. Menurut Sukiman (2011: 121-122) ada beberapa bentuk teknik evaluasi nontes yang dapat digunakan untuk mengevaluasi hasil belajar afektif, antara lain teknik proyektif, skala minat, skala sikap, pengamatan (observsi), laporan diri, wawancara, kuisioner/angket, biografi dan anecdotal record. a. Teknik Proyektif Penugasan dalam penilaian ini merupakan penugasan yang bersifat tidak terstruktur yang memungkinkan aneka ragam jawaban sehingga kehidupan khayal seseorang bisa bergerak sebebas mungkin. Teknik proyektif ada 2 cara yaitu: (1) topik atau tema bersifat bebas dimana
33
peserta didik diminta untuk menuliskan atau mendiskusikan suatu topik atau tema tertentu tapi bersifat terbuka untuk mendapatkan gambaran ranah afektif peserta didik misalnya mengenai sikap atau interest; (2) Teknik gambar yang dilaksanakan dengan menunjukkan suatu gambar kepada peserta didik, kemudian peserta didik diminta untuk menjelaskan atau menceritakan tentang gambar tersebut. Gambar yang disajikan dipilih yang menyangkut nilai-nilai tertentu. b. Skala Minat Minat (interest) adalah suatu keadaan mental yang menghasilkan respons terarahkan kepada suatu situasi atau objek tertentu yang menyenangkan dan memberi kepuasan kepadanya (satisfiers). Aspek minat yang perlu diukur oleh guru adalah minat peserta didik terhadap mata pelajaran tertentu. Salah satu instrumen untuk mengukur aspek minat adalah menggunakan skala minat. c. Skala Sikap Cara yang digunakan untuk mengukur sikap seseorang terhadap objek tertentu disebut dengan skala sikap. Skala sikap (attitudes scales) berupa kumpulan pernyataan-pernyataan mengenai suatu objek sikap. Dari respon subjek pada setiap pernyataan itu kemudian dapat disimpulkan mengenai arah dan intensitas sikap seseorang. Jenis skala yang bisaa digunakan untuk mengukur sikap seseorang:
34
1) Skala Likert Skala Likert menyajikan pernyataan yang harus ditanggapi dengan memilih 1 diantara 5 altrnatif: sangat setuju, setuju, ragu-ragu (netral), tidak setuju, dan sangat tidak setuju. Skor yang diberikan terhadap pilihan tersebut bergantung pada penilai asal penggunaannya konsisten. Skor untuk pernyataan positif dan pernyataan negatif adalah kebalikannya. 2) Semantik Diferensial Teknik
pengukuran
ini
menampilkan
pernyataan
yang
mengandung suatu objek baik berupa konsep ataupun perilaku. Alternatif terentang diantara sepasang sifat yang bertolak belakang, misalnya
baik-buruk,
menyenangkan-menyusahkan.
indah-jelek, Peserta
menarik-membosankan, didik
diminta
untuk
memberikan tanggapan dengan memberikan tanggapan dengan memberikan tanda pada alternatif yang telah disediakan. Biasanya, pilihan yang mencerminkan kutub sikap negatif skor 1 dan kutub positif skor tertinggi (Sukiman, 2012: 122-130). d. Observasi “Observasi adalah cara menghimpun bahan-bahan (data) yang dilakukan dengan mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap fenomena-fenomena yang sedang dijadikan sasaran pengamatan” (Sudijono, 2011: 76). Bentuk instrumen yang digunakan untuk observasi secara umum adalah daftar cek atau skala penialain (rating scale) yang disertai rubrik. Daftar cek digunakan untuk mengamati
35
ada atau tidaknya suatu sikap atau perilaku. Sedangkan skala penilaian menentukan posisi sikap atau perilaku peserta didik dalam suatu rentangan sikap. Pedoman observasi secara umum memuat pernyataan sikap atau perilaku yang diamati dan hasil pengamatan sikap atau perilaku sesuai kenyataan. Pernyataan memuat sikap dan perilaku yang positif atau negatif sesuai indikator penjabaran sikap dalam kompetensi inti dan kompetensi dasar (Majid, 2014: 77). Melalui pengamatan dapat diketahui bagaimana sikap dan perilaku peserta didik, kegiatan yang dilakukannya, tingkat partisipasi dalam suatu kegiatan, proses kegiatan yang dilakukannya, kemampuan, bahkan hasil yang diperoleh dari kegiatannya. Observasi harus dilakukan pada saat proses kegiatan berlangsung. Pengamat terlebih dahulu harus menetapkan aspek-aspek tingkah laku apa yang hendak diobservasinya, lalu dibuat pedoman agar memudahkan dalam pengisian observasi. 1) Pedoman pengamatan keaktifan peserta didik dalam proses pembelajaran Yang dimaksud dengan pedoman pengamatan keaktifan dan partisipasi ini adalah instrumen evaluasi yang dapat digunakan guru untuk mengamati perhatian, sikap, keaktifan peserta didik ketika proses pembelajaran. Langkah-langkah penyusunannya adalah sebagai berikut: a) Menentukan indikator atau aspek-aspek sikap yang akan dinilai, misalnya menyangkut kehadiran mengikuti pelajaran, perhatian selama proses pembelajaran, keaktifan dalam kerjasama kelompok, keberanian untuk bertanya atau menjawab pertanyaan, dan keberanian untuk mengungkapkan pendapat. b) Memilih tipe skala (misalnya dengan skala Likert dengan lima skala, atau dengan checklist). c) Menuliskan instrumen dalam bentuk matriks; (4) mendiskusikan instrumen dengan teman sejawat.; (5) merevisi instrumen berdasarkan hasil diskusi tersebut.
36
2) Pedoman pengamatan penampilan diskusi kelas Pedoman pengamatan penilaian penampilan diskusi di kelas adalah instrumen evaluasi yang dapat digunakan untuk menilai performan atau penampilan peserta didik ketika diskusi di kelas. Langkahlangkah penyusunannya adalah: a) Menentukan indikator penampilan diskusi yang akan dinilai, misalnya menyangkut keaktifan bertanya dan menjawab pertanyaan, keberanian mengemukakan ide, keberanian untuk menanggapi suatu permasalahan, kemampuan menjalin komunikasi, dan sebagainya. b) Memilih tipe skala yang akan digunakan. c) Menuliskan instrument. d) Mendiskusikan instrumen dengan teman sejawat. e) Merevisi instrumen hasil diskusi tersebut (Sukiman, 2012: 132-134). Penilaian atau evaluasi hasil belajar yang dilaksanakan dengan melakukan observasi itu disamping memiliki kebaikan, juga tidak terlepas dari kekurangan-kekurangan. Diantara segi kebaikan yang dimiliki oleh observasi itu ialah bahwa: a. Data observasi diperoleh secara langsung di lapangan, yakni dengan jalan melihat dan mengamati kegiatan atau ekspresi peserta didik di dalam melakukan sesuatu, sehingga dengan demikian data tersebut dapat lebih bersifat obyektif dalam melukiskan aspekaspek kepribadian peserta didik menurut keadaan yang senyatanya. b. Data hasil observasi dapat mencakup berbagai aspek kepribadian masing-masing individu peserta didik, dengan demikian maka di dalam pengolahannya tidak berat sebelah atau hanya menekankan pada salah satu segi saja dari kecakapan atau prestasi belajar mereka. Adapun segi kelemahannya di antara lain adalah, bahwa: a. Observasi sebagai salah satu alat evaluasi hasil belajar tidak selalu dapat dilakukan dengan baik dan benar oleh para pengajar. Guru yang tidak atau kurang memiliki kecakapan atau keterampilan dalam melakukan observasi, maka hasil observasinya menjadi kurang dapat diyakini kebenarannya. Untuk menghasilkan data observasi yang baik, seorang guru harus mampu membedakan antara; apa yang tersurat, dengan apa yang tersirat. b. Kepribadian (personality) dari observer atau evaluator juga acapkali mewarnai atau menyelinap masuk ke dalam penilaian yang dilakukan dengan cara observasi. Prasangka-prasangka yang mungkin melekat pada diri observer dapat mengakibatkan sulit
37
dipisahkan secara tegas mengenai tingkah laku peserta didik yang diamatinya. c. Data yang diperoleh dari kegiatan observasi umumnya baru dapat mengungkap “kulit luar”nya saja. Adapun apa-apa yang sesungguhnya terjadi di balik hasil pengamatan itu belum dapat diungkap secara tuntas hanya dengan melakukan observasi saja. Karena itu observasi harus didukung dengan cara-cara lainnya, misalnya dengan melakukan wawancara (Sudijono, 2011:81-82). e. Penilaian diri Penilaian diri menurut Kunanadar (2014:134) merupakan teknik penilaian dengan cara meminta peserta didik untuk mengemukakan kelebihan dan kekurangan dirinya dalam konteks pencapaian kompetensi sikap, baik sikap spiritual maupun sikap social. Instrumen yang digunakan berupa lembar penilaian diri. Penilaian diri (self assessment) adalah suatu teknik penilaian dimana peserta didik diminta untuk menilai dirinya sendiri berkaitan dengan status, proses dan tingkat pencapaian kompetensi yang dipelajarinya. f. Laporan diri Yang dimaksud dengan laporan diri ini adalah laporan peserta didik tentang aktivitas yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. g. Wawancara Sebagai teknik evaluasi, wawancara dapat digunakan untuk menilai proses maupun hasil pembelajaran. Menilai proses pembelajaran misalnya efektivitas penggunaan metode, media pembelajaran maupun sistem penilaian yang diterapkan oleh guru. Wawancara dapat dilakukan melalui percakapan dan tanya jawab, baik langsung maupun tidak langsung dengan sumber data. Yang dimaksud dengan wawancara langsung adalah
38
wawancara yang dilakukan secara langsung antara pewawancara (interviewer) dengan orang yang diwawancarai (interviewee) tanpa melalui perantara. Sedangkan wawancara tidak langsung artinya pewawancara menanyakan sesuatu melalui perantara orang lain, tidak langsung kepada sumbernya. h. Kuisioner Kuisioner sebagai teknik evaluasi dapat digunakan untuk menilai proses maupun hasil pembelajaran. Kelebihan kuisioner dan wawancara ialah
sifatnya
yang
praktis,
hemat
waktu,
tenaga,
dan
biaya.
Kelemahannya ialah jawaban sering tidak objektif, lebih-lebih bila pertanyaannya kurang tajam yang memungkinkan peserta didik berpurapura. i. Biografi Yang dimaskud dengan biografi disini adalah gambaran tentang keadaan seseorang selama dalam masa kehidupannya atau dalam kurun waktu tertentu. Dengan biografi ini, evaluator (guru) dapat menarik suatu kesimpulan tentang kepribadian, kebisaaan, dan sikap peserta didik yang dinilai. j. Anecdotal record Anecdotal record adalah catatan seketika yang berisi peristiwa atau kenyataan yang spesifik dan menarik mengenai sesuatu yang diamati atau terlihat secara kebetulan. Misalnya, guru sedang mengajar di kelas melihat peserta didik ada yang menampilkan perilaku tertentu seperti kurang
39
memerhatikan pelajaran, sering tidur di kelas, suka membuat gaduh, dan sebagainya, maka ia perlu membuat catatan-catatan mengenai kejadian tersebut. Tujuan pembuatan catatan kejadian tersebut adalah untuk pembinaan peserta didik lebih lanjut. Adapun ketentuan pembuatan catatan kejadian tersebut yang perlu diperhatikan antara lain: (1) berisi deskripsi faktual tentang peristiwa yang secara jelas mencatat apa, kapan, dan dalam kondisi yang bagaimana peristiwa itu terjadi; (2) bermakna untuk pendidikan, terutama yang berhubungan dengan hasil belajar (3) deskripsi faktual harus dipisahkan dari interpretasi atau catatan lainnya (Sukiman, 2012: 135-148). 6. Teknik dan Instrumen Evaluasi Hasil Belajar Psikomotorik Kompetensi keterampilan menurut Kunandar (2014, 2014:257) adalah penilaian yang dilakukan guru untuk mengukur tingkat pencapaian kompetensi keterampilan dari peserta didik yang meliputi aspek imitasi, manipulasi, presisi, artikulasi, dan naturalisasi. Kompetensi init 4 (KI 4), yakni keterampilan tidak dapat dipisahkan dengan kompetensi inti 3 (KI 3), yakni pengetahuan. Artinya kompetensi pengetahuan itu menunjukkan peserta didik tahu tentang keilmuan tertentu dan kompetensi keterampilan itu menunjukkan peserta didik bias (mampu) tentang keilmuan tertentu tersebut. Dalam ranah keterampilan itu terdapat lima jenjang proses berpikir, yakni (1) imitasi adalah kemampuan melakukan kegiatan-kegiatan sederhana dan sama persis dengan yang dilihat atau diperhatikan sebelumnya; (2) manipulasi adalah kemampuan melakukan kegiatan sederhana yang belum pernah dilihat,
40
tetapi berdasarkan pada pedoman atau petunjuk saja; (3) presisi adalah kemampuan melakukan kegiatan-kegiatan yang akurat sehingga mampu menghasilkan produk kerja yang tepat; (4) artikulasi adalah kemampuan melakukan kegiatan yang kompleks dan tepat sehingga hasil kerjanya merupakan sesuatu yang utuh; (5) naturalisasi adalah kemampuan melakukan kegiatan secara refleks, yakni kegiatan yang melibatkan fisik saja sehingga efektivitas kerja tinggi. Guru menilai kompetensi keterampilan menurut Kunandar (2014: 257263) melalui penilaian berupa : (1) kinerja, yaitu penilaian yang menuntut peserta didik mendemonstrasikan suatu kompetensi tertentu menggunakan tes praktik (unjuk kerja) dengan menggunakan instrumen lembar pengamatan (observasi), (2) proyek dengan menggunakan instrumen lembar penilaian dokumen laporan proyek, (3) penilaian portofolio dan penialain produk dengan menggunakan instrumen lembar penilaian produk. Teknik-Teknik penilaian keterampilan antara lain a. Tes praktik adalah penilaian yang menuntut respons berupa keterampilan melakukan suatu aktivitas atau perilaku sesuai dengan tuntutan kompetensi. b. Projek adalah tugas-tugas belajar (learning task) yang meliputi kegiatan perancangan, pelaksaan, dan pelaporan secara tertulis maupun lisan dalam waktu tertentu. Karya tersebut dapat berbentuk tindakan nyata yang mencerminkan kepedulian peserta didik terhadap lingkungannya. c. Penilaian portofolio adalah penilaian yang dilakukan dengan cara menilai kumpulan seluruh karya peserta didik dalam bidang tertentu yang bersifat reflektif-integratif untuk mengetahui minat, perkembangan, prestasi, dan/atau kreativitas peserta didik dalam kurun waktu (Majid, 2014: 79).
41
Tes penampilan atau perbuatan datanya dapat diperoleh dengan menggunakan skala penilaian (rating scale), daftar cek (checklist), dan anecdotal record. a. Skala Penilaian (Rating Scale) Skala penilaian menurut Sukiman (2012: 150) adalah alat penilaian menggunakan suatu prosedur terstruktur untuk memperoleh informasi tentang sesutu yang diobservasi. Terstruktur maksudnya disusun dengan aturan-aturan
tertentu
secara
sistematis.
Perbuatan
yang
diukur
menggunakan skala penilaian terentang dari sangat tidak sempurna sampai sangat sempurna. Jika dibuat skala 5, maka skala 1 sangat tidak sempurna dan skala 5 paling sempurna. Langkah-langkah dalam menyusun skala penilaian adalah: 1. Menentukan indikator-indikator penguasaan keterampilan yang akan diukur. 2. Menentukan skala yang digunakan, misalnya dengan menggunakan skala 5 dengan rentangan 5 = sangat baik, 4 = baik, 3 = cukup, 2 = kurang, 1 = sangat kurang. 3. Menyusun indikator-indikator tersebut sesuai dengan urutan penampilannya. Sedangkan prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam menyusun skala penilaian adalah: 1. Jumlah butir pernyataan/pertanyaan tidak terlalu banyak. 2. Angka/ huruf untuk seperangkat skala penilaian tertentu harus mempunyai arti tetap. Misalnya angka 4 atau huruf A itu diartikan sangat baik, angka 3 atau huruf C diartikan baik dan seterusnya, maka dari awal hingga akhir diartikan seperti itu. 3. Jumlah kategori angka yang akan digunakan supaya diusahakan cukup bermakna dan dapat dibedakan secara jelas. Misalnya, antara kategori sangat baik, baik, sedang, kurang baik, dan tidak baik, harus betul-betul dapat dirasakan perbedaannya sehingga hal ini akan memudahkan dalam proses pemberian penilaian dan terhindar dari subjektivitas penilai. 4. Setiap pernyataan/pertanyaan hendaknya hanya mengukur satu karakteristik/ satu komponen.
42
5. Bila skala penilaian akan mengukur suatu prosedur, maka hendaklah pernyataan/pertanyaan disusun secara urut (Sukiman, 2012:150-151). Dalam
penyusunan
skala
penilaian,
stiap
kategori
harus
dirumuskan deskriptornya sehingga penilai mengetahui kriteria secara akurat. Daftar kategori beserta deskriptor kriterianya itu disebut rubrik. Penilaian unjuk kerja yang menggunakan skala penilaian memungkinkan penilai memberi nilai tengah terhadap penguasaan kompetensi tertentu karena pemberian nilai secara kontinu dimana pilihan kategori nilai lebih dari dua (Majid, 2014: 201). b. Daftar Cek (Checklist) Daftar cek merupakan salah satu teknik penilaian yang sederhana. “Daftar cek adalah deretan pernyataan (yang biasanya singkat-singkat), dimana responden yang dievaluasi tinggal membubuhkan tanda cocok (√) di tempat yang sudah disediakan” (Arikunto, 2006: 43). Namun teknik ini juga memiliki kelemahan. “Kelemahan cara ini adalah penilai hanya mempunyai dua pilihan mutlak, misalnya benar-salah, dapat diamati-tidak dapat diamati. Dengan demikian tidak terdapat nilai tengah, namun daftar cek lebih praktis digunakan mengamati subjek dalam jumlah besar” (Majid, 2014: 200). Langkah-langkah dalam menyusun daftar cek adalah: 1. Menentukan indikator-indikator penguasaan keterampilan yang akan diukur. 2. Menyusun indikator-indikator tersebut sesuai dengan urutan penampilannya. 3. Kemudian dilakukan pengamatan terhadap subjek yang dinilai untuk melihat pemunculan indikator-indikator yang dimaksud. Jika
43
indikator tersebut muncul, maka diberi tanda cek (√) atau tulis kata “ya” pada tempat yang telah disediakan (Sukiman, 2012: 154) Teknik penilaian subjek dalam jumlah besar akan lebih praktis apabila menggunakan daftar cek. c. Anecdotal Record (Catatan Kejadian) “Catatan anekdot/ narasi digunakan dengan cara guru menulis laporan narasi tentang apa yang dilakukan oleh masing-masing peserta didik selama melakukan tindakan. Dari laporan tersebut, guru dapat menentukan seberapa baik peserta didik memenuhi standar yang ditetapkan” (Majid, 2014: 202-203). d. Memoria atau ingatan (memory approach) “Memoria atau ingatan digunakan oleh guru dengan cara mengamati peserta didik ketika melakukan sesuatu, dengan tanpa membuat catatan. Guru menggunakan informasi dari memorinya untuk menentukan apakah peserta didik sudah berhasil atau belum” (Majid, 2014: 202-203). 7. Pembelajaran Kooperatif (Coorperative Learning) Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang menekankan pada aspek kerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Pendekatan belajar kooperatif sangat dikenal pada tahun 1990-an (Duffy & Cunningham, 1996). Oxford Dictionary (1992) mendefinisikan kooperasi (cooperation) sebagai “bersedia untuk membantu” (to be of assistance or be willing to assist). Cooperative learning juga merupakan model pembelajaran yang menekankan aktivitas kolaboratif peserta didik dalam belajar yang berbentuk kelompok, mempelajari materi pelajaran, dan memecahkan masalah secara kolektif kooperatif. Pendekatan belajar kooperatif menuntut adanya modifikasi tujuan pembelajaran dari sekedar
44
penyampaian informasi (transfer of information) menjadi konstruktif pengetahuan (construction of knowledge) oleh individu melalui belajar berkelompok (Siregar, 2010: 114-115). Kooperatif berarti bekerja sama untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Kooperasi berarti bekerja bersama untuk mencapai tujuan bersama. Dalam kegiatan kooperatif setiap anak berusaha mencapai hasil yang menguntungkan bagi diri mereka sendiri dan semua anggota kelompok. Pembelajaran kooperatif (cooperative learning) adalah proses belajar mengajar yang melibatkan penggunaan kelompok kelompok kecil yang memungkinkan peserta didik untuk bekerja secara bersama-sama di dalamnya guna memaksimalkan pembelajaran mereka sendiri dan pembelajaran satu sama lain. Setelah menerima pelajaran dari guru, anggota kelas dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil. Mereka kemudian mengerjakan tugas yang diberikan sampai semua anggota kelompok berhasil memahami dengan baik materi tersebut dan menyelesaikan tugasnya. Usaha yang kooperatif seperti ini akan membuat peserta didik berusaha untuk saling memberikan manfaat terhadap satu sama lain sehingga semua anggota kelompok menerima manfaat dari usaha masing-masing anggotanya; mereka punya pandangan bahwa semua anggota kelompok punya nasib yang sama; mereka tahu bahwa kinerja salah satu dari mereka saling terkait dengan diri mereka sendiri dan temantemannya; serta merasa bangga dan ikut merasa senang ketika salah satu anggota diakui atas pencapaiannya. Dalam situasi pembelajaran kooperatif, ada interdependensi, saling ketergantungan, positif di antara pencapaian tujuan peserta didik; peserta didik memandang bahwa mereka bisa mencapai tujuan
45
pembelajaran mereka jika dan hanya jika teman lain di dalam kelompok pembelajaran tersebut juga berhasil meraih tujuan mereka (Johnson, 2012: 45). Pengelompokan peserta didik merupakan salah satu strategi yang dianjurkan sebagai cara peserta didik untuk saling berbagi pendapat, berargumentasi dan mengembangkan berbagai alternatif pandangan dalam upaya konstruksi pengetahuan. Tiga konsep yang melandasi metode kooperatif, sebagai berikut (1) team rewards dimana tim akan mendapat hadiah bila mereka mencapai kriteria tertentu yang ditetapkan; (2) Individual acoountability dimana keberhasilan tim bergantung dari hasil belajar individual dari semua anggota tim. Pertanggungjawaban bergantung berpusat pada kegiatan anggota tim dalam membantu belajar satu sama lain dan memastikan bahwa setiap anggota siap untuk kuis atau penilaian lainnya tanpa bantuan teman sekelompoknya; (3) Equal opportunities for success dimana setiap peserta didik memberikan kontribusi kepada timnya dengan cara memperbaiki hasil belajarnya sendiri yang terdahulu. Kontribusi dari semua anggota kelompok dinilai (Siregar, 2010: 114). a. Komponen-Komponen Esensial Pembelajaran Kooperatif Agar kerja kooperatif dapat berjalan dengan baik, guru harus menyusun secara eksplisit lima komponen essensial yang terdapat di dalam masing-masing pelajaran.
46
Komponen komponen essensial tersebut menurut Johnson (2012: 8-10) ada lima yakni: 1) Interdependensi positif (Positive interdependence) Interdependensi positif akan dapat terstruktur dengan baik apabila setiap anggota kelompok memandang bahwa mereka terhubung antara satu sama lain, sehingga seseorang tidak akan bisa berhasil kecuali jika semua orang berhasil. Peserta didik harus menyadari bahwa usaha dari setiap anggota akan bermanfaat bukan hanya bagi individu yang bersangkutan, tetapi juga bagi semua anggota kelompok. Kepedulian pribadi setiap peserta didik terhadap pencapaian peserta didik lain akan membuat mereka bisa saling berbagi sumber daya, saling membantu dan mendukung usaha satu sama lain untuk belajar, yang akan menciptakan dukungan mutual, dan selebrasi atas kesuksesan bersama. Interdependensi positif adalah inti dari pembelajaran kooperatif. 2) Interaksi yang mendorong (promotive interaction) Begitu guru berhasil membangun interdependensi positif, maka mereka perlu melanjutkannya dengan memaksimalkan kesempatan bagi peserta didik untuk saling mendorong satu sama lain untuk mencapai sukses dengan saling membantu, mendukung, menyemangati, dan menghargai usaha satu sama lain untuk belajar. Ada kegiatan-kegiatan kognitif dan dinamika interpersonal yang hanya dapat terjadi ketika peserta didik terlibat dalam tindakan mendukung pembelajaran satu sama lain. Termasuk dalam interaksi yang mendorong adalah menjelaskan
47
secara lisan bagaimana cara menyelesaikan masalah, mendiskusikan hakikat dari konsep-konsep yang sedang dipelajari, mengajarkan pengetahuan yang dimiliki oleh salah satu peserta didik kepada teman sekelasnya,
dan
menghubungkan
pembelajaran
saat
ini
dengan
pembelajaran lain yang telah lalu. 3) Tanggung jawab individual (individual accountability) Tujuan dari kelompok pembelajaran kooperatif adalah agar masing-masing anggota kelompok menjadi individu yang lebih kuat. Peserta didik belajar bersama-sama supaya selanjutnya mereka dapat menunjukkan performa yang lebih baik sebagai individu. Tanggung jawab individual akan lahir ketika kinerja dari masing-masing anggota kelompok dinilai dan hasil penilaian tersebut kemudian dikembalikan kepada kelompok dan individu yang bersangkutan. Tanggung jawab individual memastikan bahwa semua anggota kelompok tahu siapa saja yang membutuhkan bantuan, dukungan, dan dorongan yang lebih besar untuk menyelesaikan tugas dan menyadari bahwa mereka tidak bisa hanya “menyontek” hasil kerja peserta didik lain begitu saja. 4) Skil-skil interpersonal dan kelompok-kecil (interpersonal and smallgroup skills) Dalam kelompok pembelajaran kooperatif, peserta didik dituntut untuk mempelajari pelajaran (tugas) akademik dan juga skil-skil interpersonal dan kelompok-kecil yang dibutuhkan agar dapat berfungsi sebagai bagian dari sebuah tim (kerja tim). Ini membuat pembelajaran
48
kooperatif secara inheren lebih kompleks dari pada pembelajaran kompetitif atau individualistik. Menempatkan individu yang tidak punya skil secara social dalam sebuah kelompok lalu menyuruh mereka untuk bekerjasama tidak menjamin mereka akan mampu untuk melakukannya secara efektif. Skil-skil seperti kepemimpianan, pengambilan keputusan, membangun kepercayaan, komunikasi, dan manajemen konflik harus diajarkan dengan sama bertujuannya dan sama tepatnya dengan skil-skil akademis. 5) Pemrosesan kelompok (group processing) Pemrosesan kelompok terjadi ketika anggota kelompok berdiskusi mengenai seberapa baik mereka telah mencapai tujuan masing-masing dan seberapa baik mereka telah memelihara hubungan kerja yang efektif. Kelompok perlu menggambarkan tindakan anggota yang manakah yang telah sangat membantu dan tidak membantu dan membuat keputusan tentang sikap mana sajakah yang perlu dilanjutkan atau diubah. b. Keunggulan dan Kelemahan Pembelajaran Kooperatif Pembelajaran Kooperatif tentu saja memiliki banyak keunggulan. Beberapa keunggulan pembelajaran kooperatif menurut Sanjaya (2009: 249-250) adalah melalui pembelajaran kooperatif peserta didik tidak terlalu menggantungkan pada guru, akan tetapi dapat menambah kepercayaan kemampuan berpikir sendiri, menemukan informasi dari berbagai sumber, dan belajar dari peserta didik yang lain. Pembelajaran kooperatif dapat mengembangkan kemampuan mengungkapkan idea tau
49
gagasan dengan kata-kata secara verbal dan membandingkannya dengan ide-ide orang lain. Pembelajaran kooperatif dapat membantu anak untuk menghormati orang lain dan menyadari akan segala keterbatasannya serta menerima segala perbedaan. Pembelajaran kooperatif dapat membantu memberdayakan setiap peserta didik untuk lebih bertanggung jawab dalam belajar. Pembelajaran kooperatif merupakan suatu strategi yang cukup ampuh untuk meningkatkan prestasi akademik sekaligus kemampuan sosial, termasuk mengembangkan rasa harga diri, hubungan interpersonal yang positif dengan yang lain, mengembangkan keterampilan me-manage waktu, dan sikap positif terhadap sekolah. Melalui pembelajaran kooperatif dapat mengembangkan kemampuan peserta didik untuk menguji ide dan pemahamannya sendiri, memerima umpan balik. Peserta didik dapat berpraktik memecahkan masalah tanpa takut membuat kesalahan, karena keputusan yang dibuat adalah tanggung jawab kelompoknya. Pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan kemampuan peserta didik menggunakan informasi dan kemampuan belajar abstrak menjadi nyata (riil). Selain itu interaksi selama kooperatif berlangsung dapat meningkatkan motivasi dan memberikan rangsangan untuk berpikir. Hal ini berguna untuk proses pendidikan jangka panjang. Selain
memiliki
banyak
kelebihan-kelebihan,
ternyata
pembelajaran kooperatif juga memiliki kelemahan-kelemahan antara lain untuk memahami dan mengerti filosofi pembelajaran koorperatif memang butuh waktu. Sangat tidak rasional jika mengharapkan secara otomatis
50
peserta didik dapat mengerti dan memahami filsafat coorperative learning. Untuk peserta didik yang dianggap memiliki kelebihan, contohnya meraka akan merasa terhambat oleh peserta didik yang dianggap kurang memiliki kemampuan. Akibatnya, keadaan semacam ini dapat mengganggu iklim kerja sama dalam kelompok. Ciri utama dari pembelajaran koorperatif adalah bahwa peserta didik saling membelajarkan. Oleh karena itu, jika tanpa peer teaching yang efektif, maka dibandingkan dengan pengajaran langsung dari guru, bisa terjadi cara belajar yang demikian apa yang seharusnya dipelajari dan dipahami tidak pernah dicapai oleh peserta didik. Penilaian diberikan dalam pembelajaran koorperatif didasarkan kepada hasil kerja kelompok. Namun demikian, guru perlu menyadari, bahwa sebenarnya hasil atau prestasi yang diharapkan adalah prestasi setiap peserta didik. Keberhasilan pembelajaran koorperatif dalam upaya mengembangkan kesadaran berkelompok memerlukan periode waktu yang cukup panjang. Hal ini tidak mungkin tercapai hanya dengan satu kali atau sekali- sekali penerapan strategi ini. Walaupun kemampuan bekerja sama merupakan kemampuan yang sangat penting untuk peserta didik, akan tetapi banyak aktivitas dalam kehidupan yang hanya didasarkan kepada kemampuannya secara individual. Oleh karena itu idealnya melalui pembelajaran koorperatif, peserta didik juga harus belajar bagaimana membangun kepercayaan diri. Untuk mencapai kedua hal itu dalam pembelajaran koorperatif memang bukan pekerjaan yang mudah (Sanjaya, 2009: 249-251).
51
c. Model Pembelajaran Kooperatif Jigsaw Model pembelajaran Jigsaw adalah salah satu model pembelajaran kooperatif yang menekankan pada aspek ketergantungan positif antar anggota kelompok dan tanggungjawab masing-masing anggota kelompok dalam belajar. Metode Jigsaw pertama kali dikembangkan oleh Aronson (1975). Metode ini memiliki dua versi tambahan, Jigsaw II (Slavin, 1989) dan Jigsaw III (Kangan, 1990). (Miftahul Huda, 2015: 120) Jigsaw II dapat digunakan apabila materi yang akan dipelajari adalah hal yang berbentuk narasi tertulis. Metode ini paling sesuai untuk subjek-subjek seperti pelajaran ilmu social, literature, sebagian pelajaran ilmu pengetahuan ilmiah, dan bidang-bidang lainnya yang tujuan pembelajaran lebih kepada penguasaan konsep daripada penguasaan kemampuan (Slavin, 2005: 237). Dalam pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, peserta didik dikelompokkan secara heterogen dalam kemampuan. Peserta didik diberi materi yang baru atau pendalaman dari materi sebelumnya untuk dipelajari. Masing-masing anggota kelompok secara acak ditugaskan untuk menjadi ahli (expert) pada suatu aspek tertentu dari materi tersebut. Setelah membaca dan mempelajari materi, “ahli” dari kelompok berbeda berkumpul untuk mendiskusikan topik yang sama dari kelompok lain sampai mereka menjadi “ahli” di konsep yang ia pelajari. Kemudian kembali ke kelompok semula untuk mengajarkan topik yang mereka kuasai kepada teman sekelompoknya. Terakhir diberikan tes atau assessment yang lain pada semua topik yang diberikan. Berikut ini merupakan langlah-langkah pembelajaran dengan metode Jigsaw menurut Trianto (2009: 75-78) adalah sebagai berikut:
52
1) Orientasi Pendidik menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan diberikan. Memberikan penekanan tentang manfaat penggunaan metode Jigsaw dalam proses belajar mengajar. Mengingatkan senantiasa percaya diri, kritis, kooperatif dalam model pembelajaran ini. Peserta didik diminta belajar konsep secara keseluruhan untuk
memperoleh gambaran
keseluruhan dari konsep. (Bisa juga pemahaman konsep ini menjadi tugas yang sebelumnya harus sudah dibaca di rumah). 2) Pengelompokan Misalkan dalam kelas ada 20 peserta didik, yang kita tahu kemampuan kognitifnya dan sudah di-ranking, kita bagi dalam 20% (ranking 1–4) kelompok sangat baik, 20% (ranking 5–8) kelompok baik, 20% selanjutnya (ranking 9–12) kelompok sedang, 20% (ranking 13–16) kelompok rendah, dan 20% (ranking 17-20) kelompok sangat rendah. Selanjutnya kita akan membaginya menjadi 5 grup (A – E) yang isi tiaptiap grupnya heterogen dalam kemampuan, berilah indeks A untuk peserta didik dalam kelompok sangat baik, indeks B untuk peserta didik dalam kelompok baik, indeks C untuk peserta didik dalam kelompok sedang, indeks D untuk peserta didik dalam kelompok rendah, dan indeks E untuk peserta didik dalam kelompok sangat rendah. Tiap grup akan berisi grup A {A1,A2,A3,A4}, grup B {B1,B2,B3,B}, grup C {C1,C2,C3,C4}, grup D {D1,D2,D3,D4}, grup E {E1,E2,E3,E4}.
53
a) Pembentukan dan pembinaan kelompok expert Selanjutnya grup itu dipecah menjadi kelompok yang akan mempelajari materi yang kita berikan dan dibina supaya menjadi expert, berdasarkan indeksnya. Kelompok 1 terdiri atas peserta didik {A1, B1, C1, D1, E1}, kelompok 2 {A2, B2, C2, D2, E2}, kelompok 3 {A3, B3, C3, D3, E3}, kelompok 4 {A4, B4, C4, D4, E4}. Setiap kelompok diharapkan bisa belajar topik yang diberikan dengan sebaikbaiknya sebelum ia kembali ke dalam grup sebagai tim ahli “expert”, tentunya peran pendidik cukup penting dalam fase ini. b) Diskusi (pemaparan) kelompok ahli dalam grup Expertist (peseta didik ahli) dalam konsep tertentu ini, masingmasing kembali dalam grup semula. Pada fase ini kelima grup (1-5) memiliki ahli dalam konsep-konsep tertentu (Worksheet 1-4). Selanjutnya
pendidik
mempersilahkan
anggota
grup
untuk
mempresentasikan keahliannya kepada grupnya masing-masing, satu per satu. Proses ini diharapkan akan terjadi sharing pengetahuan antar mereka. Aturan dalam fase ini peserta didik memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap anggota tim mempelajari materi yang diberikan. Setiap peserta didik bertanggung jawab untuk memperoleh pengetahuan bersama-sama, jadi tidak ada yang selesai belajar sampai setiap anggota menguasai konsep. Peserta didik diharapkan bertanya pada anggota grup terlebih sebelum bertanya pada pendidik. Dalam diskusi kelompok pembicaraan dilakukan secara pelan agar tidak
54
mengganggu
grup
lain.
Kemudian
diskusi
diakhiri
dengan
“merayakannya” agar memperoleh kepuasan. c) Tes (penilaian) Pada fase ini guru memberikan tes tulis untuk dikerjakan oleh peserta didik yang memuat seluruh konsep yang didiskusikan. Pada tes ini peserta didik tidak diperkenankan untuk bekerja sama. Jika mungkin tempat duduknya agak dijauhkan. d) Pengakuan kelompok Penilaian
pada
pembelajaran
kooperatif
berdasarkan
peningkatan skor individu, tidak didasarkan pada skor akhir yang diperoleh peserta didik, tetapi berdasarkan pada seberapa jauh skor itu melampaui rata-rata skor sebelumnya. Setiap peserta didik dapat memberikan kontribusi poin maksimum pada kelompok dalam sistem skor kelompok. Peserta didik memperoleh skor untuk kelompoknya didasarkan pada skor kuis mereka melampaui skor dasar mereka.
55
Alur pembelajaran Jigsaw pada penelitian ini adalah sebagai berikut: di dalam kelas ada 32 peserta didik, peserta didik dibagi berdasarkan kemampuan kognitifnya. Peneliti membaginya menjadi 8 grup (A – H) yang isi tiap-tiap grupnya adalah grup A untuk peserta didik ranking 1-4, grup B untuk peserta didik ranking 5-8, grup C untuk peserta didik ranking 9-12, grup D untuk peserta didik ranking 13-16, grup E untuk peserta didik ranking 17-20, grup F untuk peserta didik ranking 2124, grup G untuk peserta didik ranking 25-28, dan grup H untuk peserta didik ranking 29-32. Tahap ini dilakukan sebelum proses pembelajaran, pembagian kelompok dilakukan dengan bantuan guru mata pelajaran. Tiap grup berisi Grup A {A1,A2,A3,A4}; Grup B {B1,B2,B3,B4}; Grup C {C1,C2,C3,C4}; Grup D {D1,D2,D3,D4}; Grup E {E1,E2,E3,E4}; Grup F {F1,F2,F3,F4}; Grup G {G1,G2,G3,G4}; Grup H {H1,H2,H3,H4}. Selanjutnya grup itu dipecah menjadi kelompok dengan kemampuan heterogen yang akan
mempelajari materi yang diberikan dan dibina
supaya menjadi expert, berdasarkan indeksnya. Kelompok Ahli 1 {A1, B1, C1, D1, E1, F1, G1, H1}; Kelompok Ahli 2 {A2, B2, C2, D2, E2, F2, G2, H2}; Kelompok Ahli 3 {A3, B3, C3, D3, E3, F3, G3, H3}; dan Kelompok Ahli 4 {A4, B4, C4, D4, E4, F4, G4, H4}. Setiap kelompok diharapkan bisa belajar topik yang diberikan dengan sebaik-baiknya sebelum ia kembali ke dalam grup sebagai tim ahli “expert”.
56
Berikut ini merupakan pembagian topik pembelajaran tim ahli “expert” dalam penelitian ini. Sub tema yang dipelajari pada pertemuan pertama adalah mengenai formulasi hukum-hukum Newton. Kelompok ahli 1 membahas tentang hukum 1 Newton, kelompok ahli 2 membahas tentang hukum II Newton, kelompok ahli 3 membahas tentang hukum III Newton, kelompok ahli 4 menyelesaikan persoalan menggunakan formulasi hukum-hukum Newton. Sub tema yang dipelajari pada pertemuan kedua adalah mengenal berbagai jenis gaya. Kelompok ahli 1 membahas tentang gaya berat dan gaya normal, kelompok ahli 2 membahas tentang gaya gesek, kelompok ahli 3 membahas tentang gaya tegangan tali, kelompok ahli 4 membahas tentang gaya sentripetal. Sub tema yang dipelajari pada pertemuan ketiga adalah analisis kuantitatif masalah dinamika partikel. Kelompok ahli 1 membahas tentang aplikasi hukum Newton pada benda di atas bidang datar tanpa gesekan dan aplikasi hukum Newton pada gaya yang membentuk sudut tanpa gesekan, kelompok ahli 2 membahas tentang aplikasi hukum Newton dua benda berimpit, berada di atas bidang datar licin, kelompok ahli 3 membahas tentang aplikasi hukum Newton benda pada bidang miring licin, kelompok ahli 4 membahas tentang aplikasi hukum Newton benda pada bidang miring licin yang dipengaruhi oleh gaya ke atas. Expertist (peseta didik ahli) dalam konsep tertentu ini, masingmasing kembali dalam grup semula. Pada fase ini kelima grup (1-5) memiliki ahli dalam konsep-konsep tertentu (LKPD 1-4). Selanjutnya
57
pendidik
mempersilakan
anggota
grup
untuk
mempresentasikan
keahliannya kepada grupnya masing-masing, satu per satu. Proses ini diharapkan akan terjadi sharing pengetahuan antar mereka. Pengelompokan Grup A A1, A2, A3, A4
Grup B B1, B2, B3, B4
Grup C C1, C2, C3, C4
Grup D D1, D2, D3, D4
Grup E E1, E2, E3, E4
Grup F F1, F2, F3, F4
Grup G G1, G2, G3, G4
Grup H H1, H2, H3, H4
Pembentukan dan pembinaan kelompok ahli 1 Kelompok Ahli 1 A1, B1, C1, D1, E1, F1, G1, H1
Kelompok Ahli 2 A2, B2, C2, D2, E2, F2, G2, H2
Kelompok Ahli 3 A3, B3, C3, D3, E3, F3, G3, H3
Kelompok Ahli 4 A4, B4, C4, D4, E4, F4, G4, H4
Diskusi (pemaparan) kelompok ahli dalam grup Grup A A1, A2, A3, A4
Grup B B1, B2, B3, B4
Grup C C1, C2, C3, C4
Grup D D1, D2, D3, D4
Grup E E1, E2, E3, E4
Grup F F1, F2, F3, F4
Grup G G1, G2, G3, G4
Grup H H1, H2, H3, H4
Gambar 2-1. Alur pembelajaran Jigsaw
58
8. Hukum Newton dan Penerapannya a. Hukum Newton tentang Gerak Ketika kita membahas tentang Hukum Newton tentang gerak maka kita tidak dapat terlepas dari penyebab suatu benda bergerak yaitu gaya. Gaya adalah konsep pokok dalam ilmu fisika. Bila kita mendorong atau menarik suatu benda, dapat dikatakan kita memberi gaya (force) pada benda tersebut. Gaya adalah besaran vektor. Untuk membahas suatu gaya, kita perlu membahas arah bereaksinya, maupun besarnya, yang merupakan pernyataan kuantitatif “berapa banyak” atau “berapa kuat” gaya tersebut mendorong atau menarik, dalam standar satuan gaya. Satuan gaya dalam sistem SI adalah Newton (Sears, 1993: 2627). “Hubungan antara gaya dan percepatan yang dihasilkan pertama kali dipahami oleh Isaac Newton (1642-1727)” Halliday (2010: 97). Berikut ini adalah tiga hukum dasar gerak yang dirumuskan oleh Isaac Newton. 1) Hukum I Newton Salah satu pengaruh dari gaya adalah mengubah keadaan gerak suatu benda. Gerak ini dianggap sebagai gerak benda secara keseluruhan, atau gerak translasi, bersama sama dengan gerak rotasi yang mungkin juga dilakukan oleh benda. Dalam hal yang sangat umum, sebuah gaya yang bereaksi pada suatu benda menyebabkan perubahan dalam gerak translasi dan rotasi. Akan tetapi, bila beberapa buah gaya bersama-sama beraksi pada suatu benda, pengaruhnya dapat saling meniadakan, dan hasilnya tidak ada perubahan pada gerak translasi maupun rotasi. Bila hal ini terjadi, dikatakan bahwa benda dalam keadaan setimbang. Ini berarti (1) bahwa benda sebagai keseluruhan tidak bergerak atau bergerak sepanjang garis lurus dengan
59
laju tetap, dan (2) bahwa benda sama sekali tidak berotasi atau berotasi dengan laju tetap. Pada Gambar 2-2 sebuah benda kaku yang datar dan berbentuk sembarang terletak di atas bidang datar yang licin. Bila suatu gaya F1 bereaksi pada benda tersebut, seperti Gambar 2-2a, dan bila mula-mula benda tidak bergerak, maka benda akan mulai bergerak dan berotasi searah dengan putaran jarum jam. Bila benda mula-mula telah bergerak, maka gaya tadi akan menyebabkan besar atau arah (atau keduanya) gerak translasinya berubah dan menambah atau mengurangi laju rotasinya. Dalam kedua hal ini, benda tidak tetap dalam keadaan setimbang. Tetapi
kesetimbangan
dapat
dipertahankan,
dengan
memberikan gaya kedua F2 seperti pada Gambar 2-2b, asalkan F2 besarnya sama dengan F1, berlawanan arah dengan F1, dan garis kerjanya sama pula dengan F1. Dengan demikian resultan F1 dan F2 menjadi nol. Bila garis kerja kedua gaya tidak sama, seperti pada Gambar 2-2c, benda akan dalam keadaan setimbang translasi tetapi tidak setimbang rotasi (Sears, 1993: 30).
60
F1
F1
F1
A C
A
A B F2 (a)
F2 (c)
(b)
Gambar 2-2 Sebuah benda kaku yang diberi dua buah gaya adalah setimbang bila gaya-gaya tersebut besarnya sama, arahnya berlawanan, dan garis kerjanya berhimpit, seperti pada bagian (b). (Sumber : Sears, 1993 hlm 30) Bila gaya-gaya F1 dan F2 sama besar tetapi berlawanan arahnya, maka salah satu gaya sama dengan negatif dari gaya lainnya, yaitu, F1 = - F2. Dan resultan gaya pada benda tersebut R= F1 + F2 = F1 - F2=0. Bila suatu benda dalam keadaan setimbang, jumlah vektor, atau resultan, dari semua gaya yang bereaksi padanya haruslah nol. 𝑅 = ∑ 𝐹 = 0, atau ∑ 𝐹𝑥 = 0,
Persamaan-persamaan
tersebut
∑ 𝐹𝑦 = 0
menyatakan
syarat
untuk
kesetimbangan. Pernyataan bahwa suatu benda dalam keadaan setimbang sempurna bila kedua syarat dipenuhi merupakan pokok dari hukum pertama Newton untuk gerak. Newton tidak menyatakan hukum pertamanya dalam kata-kata yang tepat seperti itu. Pernyataan
61
aslinya (diterjemahkan dari Principia yang ditulis dalam bahasa latin) adalah sebagai berikut. “Setiap benda tetap dalam keadaan diam, atau bergerak sepanjang garis lurus dengan laju tetap, kecuali bila dipaksa untuk mengubah keadaan tersebut oleh gaya-gaya yang diberikan padanya” (Sears, 1993: 31). Berikut ini pernyataan yang lebih praktis tentang Hukum I Newton yaitu “Jika tidak ada gaya eksternal, saat dilihat dari kerangka acuan inersia, maka sebuah benda yang berada dalam keadaan diam akan tetap diam dan benda yang bergerak akan terus bergerak dengan kecepatan tetap (yaitu dengan kelajuan tetap sepanjang suatu garis lurus)” (Jewet, 2009: 173). Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa benda akan memiliki kecepatan konstan bila tidak ada gaya yang bekerja padanya. Hukum
I
Newton
terkadang
disebut
hukum
inersia,
mendefinisikan suatu kerangka acuan khusus yang disebut kerangka acuan inersia. Jika sebuah benda tidak berinteraksi dengan benda lainnya, maka kita dapat mengidentifikasikan suatu kerangka acuan di mana benda itu memiliki percepatan nol. Kerangka acuan seperti itu disebut kerangka acuan inersia. Demikian pula, setiap kerangka acuan yang bergerak dengan kecepatan tetap relaitf terhadap kerangka acuan inersia adalah kerangka acuan inersia pula. Kerangka acuan yang bergerak dengan kecepatan relative terhadap bintang-bintang yang jauh adalah perkiraan terbaik dari suatu kerangka acuan inersia, dan untuk tujuan kita, kita dapat menganggap bahwa Bumi merupakan
62
kerangka yang seperti itu. Bumi bukanlah merupakan suatu kerangka inersia yang sesungguhnya karena, baik gerak orbitnya mengelilingi matahari maupun gerak rotasinya terhadap sumbunya menghasilkan percepatan sentripetal. Bagaimanapun percepatannya sangat kecil dibandingkan g dan dapat diabaikan. Maka, kita dapat mengasumsikan bahwa Bumi adalah kerangka inersia, begitu juga kerangka lain yang melekat padanya (Jewet, 2009: 172). 2) Hukum II Newton Suatu benda dalam keadaan diam tidak pernah mulai bergerak dengan sendirinya. Begitu pula halnya dengan, untuk memperlambat atau menghentikan suatu benda yang bergerak diperlukan gaya. Proses mempercepat, memperlambat, atau mengubah arah menyangkut perubahan dalam besar dan arah dari kecepatan.
Gambar 2-3 Percepatan a sebanding dengan gaya F dan searah dengan arah gaya. (Sumber: Sears, 1993 hlm 89) Suatu benda kecil, yang boleh kita anggap sebagai sebuah partikel pada Gambar 2-3 a mendapat gaya tetap F mendatar yang berasal dari sebuah pegas. Pegas terenggang dengan panjang tetap. Selama gaya
63
tersebut bereaksi, benda bergerak dengan percepatan tetap, misalnya 𝑎1 . Bila gaya yang bereksi tadi dihentikan, percepatan menjadi nol; kemudian benda bergerak dengan kecepatan tetap. Bila percobaan diulangi dengan benda yang berbeda tetapi gaya yang sama (ditentukan dengan merenggangkan pegas sama panjang dengan panjang renggangan semula), didapatkan bahwa tenyata percepatan tetap lagi, tetapi harganya berbeda, misalnya 𝑎2 . Kemudian kita dapat mendefinisikan perbandingan massa dua buah benda sebagai kebalikan dari perbandingan percepatannya sebagai akibat dari suatu gaya yang bereaksi. Dengan demikian, 𝑚1 𝑎2 = 𝑚2 𝑎1 Bila percepatan benda pertama lebih besar dari percepatan benda kedua, massa benda pertama lebih kecil dari massa benda kedua (Sears, 1998: 89-90). Massa adalah sifat suatu benda yang menjelaskan kuatnya daya tahan benda tersebut untuk menolak terjadinya perubahan dalam kecepatannya. Semakin besar massa suatu benda, semakin kecil percepatan benda tersebut jika ia diberikan suatu gaya. Berikutnya, apabila anda mendorong sebuah balok melewati permukaan licin dengan gaya horizontal F, balok akan bergerak dengan percepatan a. Jika anda memberikan gaya dua kali lipat, anda akan mendapat bahwa percepatan balok juga menjadi dua kali lipat. Jika anda membuat gaya menjadi 3F, percepatannya pun menjadi tiga kali lipat. Dari pengamatan ini, kita simpulkan bahwa percepatan suatu
64
benda berbanding lurus dengan gaya yang bekerja padanya. Pengamatan ini disimpulkan dalam Hukum II Newton yaitu “Saat dilihat dari kerangka acuan inersia, percepatan sebuah benda berbanding lurus dengan gaya netto yang bekerja padanya dan berbanding terbalik dengan massanya”. Dengan demikian hubungan massa, percepatan, dan gaya melalui rumusan matematika dari Hukum II Newton adalah 𝑎=
𝛴𝐹 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝛴𝐹 = 𝑚𝑎 𝑚
Rumusan dari Hukum II Newton di atas menunjukkan bahwa percepatan disebabkan oleh gaya netto yang bekerja pada benda. Gaya netto yang bekerja pada benda adalah jumlah vektor dari semua gaya yang bekerja pada benda tersebut (Jewet, 2009: 173-175). Atau dalam bentuk differensial: 𝑑𝑣
𝑑2 𝑟
𝐹 = 𝑚 𝑑𝑡 = 𝑚 𝑑𝑡 2
(Ishaq, 2007: 70)
Satuan SI untuk gaya adalah newton (N), untuk massa dalam kg dan percepatan dalam m/s2. Pada Gambar 2-3b, percepatan benda juga ke kanan, tetapi gaya ke kiri. Dalam keadaan ini benda bergerak semakin lambat ke kanan dan kemudian arah geraknya membalik dan mulai bergerak semakin cepat ke kiri selama gaya masih beraksi. Selama proses ini arah percepatan adalah ke kiri, searah dengan gaya F. Dengan demikian kita berkesimpulan bahwa arah percepatan sama dengan arah gaya, kemanapun arah kecepatan benda (Sears, 1993: 91).
65
3) Hukum III Newton Gaya hanyalah satu aspek dari interaksi saling antara dua buah benda. Ternyata bahwa bilamana suatu benda memberi gaya pada benda lain, maka benda kedua selalu memberi gaya pada benda pertama yang besarnya sama, arahnya berlawanan, dan garis kerjanya berimpit. Oleh karena itu tidaklah mungkin suatu gaya itu berdiri sendiri. Kedua gaya yang terlibat dalam interaksi antara dua buah benda sering kali disebut “aksi” dan “reaksi”, tetapi ini tidak menunjukkan perbedaan dari sifat-sifatnya , atau bahwa salah satu gaya adalah “penyebab” dan lainnya adalah “akibat”. Salah satu gaya dapat disebut “aksi”, dan lainnya “reaksi” terhadap gaya tersebut. Untuk setiap aksi selalu ada reaksi yang berlawanan yang sama: atau, aksi silang dari satu benda pada benda lain selalu sama, dan arahnya berlawanan (Sears, 1993: 33). Jika benda berinteraksi, gaya F12 yang dikerjakan oleh benda 1 pada benda 2 besarnya sama dan berlawanan arah dengan gaya F21, yang dikerjakan oleh benda 2 pada benda 1.
2 F12
F12 = F12 F21 1
Gambar 2-4 Hukum III Newton. Gaya F12 yang dikerjakan oleh benda 1 pada benda 2 adalah sama besarnya dan berlawanan arah dengan gaya F21 yang dikerjakan oleh benda 2 pada benda 1. (Sumber: Sears, 1993 hlm 33)
66
Hukum III Newton dapat diilustrasikan seperti gambar 2-4. Secara matematis, hukum III Newton dinyatakan sebagai 𝐹12 = −𝐹21 𝐹𝑎𝑘𝑠𝑖 = −𝐹𝑟𝑒𝑎𝑘𝑠𝑖
(Jewet, 2009)
Contohnya gaya yang bekerja pada proyektil jatuh bebas adalah gaya gravitasi Bumi yang bekerja pada proyektil, Fg = FBp (B = bumi, p = proyektil), dan besarnya adalah mg. Reaksi terhadap gaya ini adalah gaya gravitasi proyektil yang bekerja pada Bumi, FpB = -FBp. Gaya reaksi mempercepat gerak Bumi menuju proyektil, sama seperti gaya aksi FBp mempercepat gaya proyektil menuju Bumi. Akan tetapi, karena bumi memiliki massa yang begitu besar, percepatan akibat gaya reaksi ini sangat kecil sehingga dapat diabaikan (Jewet, 2009: 180). b. Beberapa Jenis Gaya 1) Gaya Berat Gaya tarik yang diberikan Bumi pada benda disebut gaya gravitasi Fg. Gaya ini mengarah ke pusat bumi dan besanya disebut berat benda. Sebuah benda yang jatuh bebas mengalami percepatan g yang arahnya ke pusat bumi. Jika kita terapkan Hukum Newton II ∑ 𝐹 = 𝑚𝑎 pada benda jatuh bebas bermassa m, dengan a = g dan ∑ 𝑭 = 𝑭𝒈 kita peroleh 𝐹𝑔 = 𝑚𝑔
(Jewet, 2009)
Dengan demikian, berat suatu benda, yang didefinisikan sebagai 𝑭𝒈 adalah sama dengan mg. Oleh karena bergantung pada g, maka berat
67
benda berubah-ubah sesuai lokasi geografinya. Oleh karena g berkurang seiring bertambahnya jarak dari pusat Bumi, benda akan memiliki berat yang lebih ringan di tempat yang lebih tinggi daripada di permukaan laut (Jewet, 2009: 178). 2) Gaya Normal Gaya Normal (N) didefinisikan sebagai gaya yang bekerja pada benda, dan berasal dari bidang tumpu. Arahnya selalu tegak lurus pada bidang tumpu. Gaya normal N bekerja pada bidang sentuh antara 2 benda yang saling bersentuhan dan arahnya selalu tegak lurus pada bidang sentuh. Jika bidang sentuh antara dua benda adalah horizontal arah gaya normal N adalah vertikal (Kanginan, 2013: 169). Jika kita Anda berdiri di atas matras, Bumi akan menarik Anda ke bawah tetapi Anda tetap diam. Alasannya adalah karena matras, yang bentuknya berubah karena Anda, mendorong Anda ke atas. Sama halnya seperti ketika Anda berdiri di atas lantai, lantai akan mengalami perubahan bentuk (lantai akan tertekan, bengkok, atau melengkung walaupun hanya sedikit) dan mendorong Anda ke atas. Bahkan lantai yang kelihatan sangat keras pun melakukan hal ini. (Jika tidak diletakkan di atas tanah, orang-orang di atas lantai akan memecahkan lantai tersebut). Dorongan yang bekerja pada Anda oleh matras atau lantai disebut gaya normal 𝐹⃗𝑁 . Penyebutan tersebut diperoleh dari istilah metematika normal, yang berarti tegak lurus. Gaya yang bekerja
68
pada Anda dari lantai adalah tegak lurus terhadap lantai (Halliday, 2010: 107). 3) Gaya Gesekan Jika kita meluncurkan atau berusaha untuk meluncurkan sebuah benda di atas suatu permukaan, gerakan akan tertahan oleh gesekan antara benda dan permukaan. Tahanan ini dianggap sebagai gaya ⃗⃗, yang disebut gaya gesek atau cukup dengan gesekan saja. tunggal 𝑓
Gaya ini diarahkan sepanjang permukaan, berlawanan arah dengan arah gerakan benda. Kadang-kadang untuk menyederhanakan keadaan, gesekan dapat diabaikan (permukaan dikatakan tanpa gesekan). ⃗⃗⃗ 𝐹 ⃗⃗ 𝑓
Arah usaha pergerakan
⃗⃗ melawan usaha pergerakan suatu Gambar 2-5 Sebuah gaya gesek 𝑓 benda di atas sebuah permukaan. (Sumber: Halliday, 2010 hlm 107)
69
4) Gaya Tegangan Tali ⃗⃗ 𝑇
⃗𝑇⃗
P
⃗⃗ 𝑇
⃗⃗ 𝑇
⃗⃗ 𝑇
⃗𝑇⃗
(a)
(b)
(c)
Gambar 2-6 (a) Kabel ditarik dengan kuat hingga berada dalam keadaan tegang. Jika massanya diabaikan, kabel ⃗⃗, bahkan jika menarik benda dan tangan dengan gaya 𝑇 kabel melewati sebuah katrol tak bermassa dan tanpa gesekan seperti pada (b) dan (c). (Sumber: Halliday, 2010 hlm 108) Ketika sebuah kawat (atau tali, kabel, atau benda serupa) ditempelkan pada benda dan ditarik, kawat menarik benda dengan gaya ⃗T⃗ yang arahnya menjauhi benda dan diarahkan sepanjang kawat (Gambar 26a). Gaya ini sering disebut (tension force) karena kawat dikatakan benda dalam keadaan tegang (atau berada dalam ketegangan), yang berarti bahwa kawat sedang ditarik menegang. Tegangan pada kawat adalah magnitude gaya T pada benda. Kawat seringkali disebut tidak bermassa (yang berarti massanya dapat diabaikan dibandingkan dengan massa benda) dan tidak dapat meregang. Kawat hanya ada sebagai penghubung antara dua benda. Kawat menarik kedua benda dengan magnitude gaya T yang sama, bahkan jika benda dan kawat mengalami percepatan dan bahkan jika kawat bergerak melalui roda katrol tidak bermassa dan tidak mempunyai gesekan (Gambar 2-6 b c). Katrol seperti itu mempunyai massa yang dapat diabaikan pada poros
70
yang menghambat rotasinya. Jika kawat membelit setengah roda katrol, seperti pada Gambar 2-6 c. Maka gaya neto pada katrol dari kawat mempunyai magnitude 2T (Halliday, 2010: 107-108). 5) Gaya Sentripetal Hukum kedua Newton berperngaruh pada gerak melingkar seperti halnya gerak lain suatu partikel. Percepatan yang menuju pusat lingkaran, untuk partikel yang bergerak melingkar beraturan, harus disebabkan oleh gaya yang arahnya juga menuju ke pusat (Sears, 1993: 140). 𝑣1
𝑣2 Q
P
p
∆s
𝑣1
∆v
∆ɵ
∆ɵ
q
𝑣2
R O
(a)
O
(b)
Gambar 2-7 Lukisan untuk menentukan perubahan kecepatan, ∆𝑣, sebuah partikel yang bergerak pada lingkaran. (Sumber: Sears, 1993 hlm 138) Gambar 2-7 a melukiskan sebuah partikel yang bergerak pada lintasan lingkaran jejari R dengan pusat di O. Vektor v1 dan v2 menyatakan kecepatan partikel di titik-titik P dan Q. Vektor perubahan dalam kecepatan, ∆𝑣, dilukiskan pada gambar 2-7 b. Partikel bergerak dari P ke Q dalam waktu ∆𝑡.
71
Segitiga OPQ dan opq pada gambar adalah sebangun, karena keduanya segitiga samakaki dan sudut-sudut yang ditandai ∆𝜃 adalah sama. Karenanya ∆𝑣 𝑣1
=
∆𝑠 𝑅
atau ∆𝑣 =
𝑣1 𝑅
∆𝑠.
Besar percepatan normal rata-rata a selama ∆𝑡 adalah ∆𝑣/∆𝑡; dari persamaan di atas, ini sama dengan ̅| = |𝑎
̅ ∆𝑣 ∆𝑡
=
𝑣̅1 ∆𝑠̅
𝑅 ∆𝑡
.
Percepatan sesaat a di titik P adalah harga limit dari pernyataan ini, bila titik Q dibuat semakin dekat dengan titik P, dan bila titik Q dibuat semakin dekat dengan titik P, dan bila ∆𝑡 → 0: 𝑣1 ∆𝑠 𝑣1 ∆𝑠 = lim ∆𝑡→0 𝑅 ∆𝑡 𝑅 ∆𝑡→0 ∆𝑡
𝑎 = lim
Tetapi harga limit ∆𝑠/∆𝑡 adalah laju v1 di titik P, dan karena P dapat di sembarang titik pada lintasan, kita dapat meniadakan indeks pada v1 dan laju pada sembarang titik dinyatakan dengan v. Maka ̅= 𝑎
𝑣2 𝑅
Karena itu besar percepatan normal sesaat dengan laju pangkat dua dibagi oleh jejari. Arahnya tegak lurus pada v dan ke dalam sepanjang jejari, menuju pusat lingkaran. Oleh karena ini maka disebut percepatan sentral, sentripetal, atau radial ke dalam (Sears, 1993: 138139).
72
9. Spesifikasi Instrumen Agar penilaian pendidikan dapat mencapai sasarannya dalam mengevaluasi pola tingkah laku yang dimaksudkan, maka dalam melaksanakan evaluasi harus menggunakan alat pengukur yang baik. Menurut Sugihartono dkk (2012:137) agar evaluasi yang dilakukan itu obyektif, diperlukan informasi atau bahan yang relevan. Untuk memperoleh informasi atau bahan yang dapat dipertanggungjawabkan atau memenuhi syarat. a. Validitas Validitas menurut Sugihartono (2012: 137) ialah kadar ketelitian alat pengukur untuk dapat memenuhi fungsinya dalam menggambarkan keadaan aspek yang diukur dengan tepat dan teliti. Suatu alat pengukur dikatakan jitu atau tepat bila ia dengan jitu mengena pada sasarannya. Atau dengan kata lain seberapa jauh suatu alat pengukur dapat mengungkap dengan jitu gejala atau bagian-bagian gejala yang hendak diukur. Dengan demikian alat pengukur dianggap memiliki kejituan apabila alat pengukur tersebut dapat mengerjakan dengan tepat fungsi yang diserahkan kepadanya, fungsi apa alat itu dipersiapkan Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh mana akurasi suatu tes atau skala dalam menjalankan fungsi pengukurannya. Pengukuran dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila menghasilkan data yang secara akurat memberi gambaran mengenai variabel yang diukur seperti dikehendaki oleh tujuan pengukuran tersebut. Dengan demikian untuk menghasilkan data yang akurat dalam pengukuran diperlukan alat ukur yang memiliki validitas yang tinggi. Sisi lain yang tergantung dalam pengertian validitas adalah aspek kecermatan pengukuran. Suatu hasil ukur yang disebut valid, tidak sekedar merupakan data yang
73
tepat menggambarkan aspek yang diukur akan tetapi juga memberikan gambaran yang cermat mengenai variabel yang diukur. Cermat berarti bahwa pengukuran itu mampu memberkan gambaran dan makna terhadap perbedaan angka yang sekecilkecilnya yang diperoleh oleh individu yang berbeda. Disini terkandung pengertian bahwa valid-tidaknya suatu pengukuran tergantung pada kemampuan alat ukur tersebut dalam mencapai tujuan pengukuran yang dikehendaki dengan tepat (Azwar, 2012: 8-9). Ada beberapa tipe validitas dari cara estimasi yang disesuaikan dengan sifat dan fungsi setiap tes, tipe validitas secara tradisional dapat digolongkan dalam tiga kategori besar, yaitu validasi isi (content validity), validitas konstrak (construct validity) dan validitas yang berdasarkan kriteria (criterion-related validity) (Azwar, 2012: 41-42). Penelitian ini lebih terfokus pada validitas isi karena merupakan validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap kelayakan atau relevansi isi tes melalui analisis rasional oleh panel yang berkompeten atau melalui expert judgement. Hasil penilaian oleh ahli melalui expert judgement kemudian diubah menjadi rasio validitas isi. Pada penelitian ini menggunakan rasio validitas isi- Lawshe’s CVR. Content Validity Rasio (CVR) sebagai statistik dirumuskan oleh Lawshe (1975). Statistik ini mencerminkan tingkat validitas isi aitem-aitem berdasarkan data empirik. Dalam pendekatannya, sebuah panel yang terdiri dari para ahli yang disebut Subject Matter Experts (SME) diminta untuk menyatakan apakah aitem dalam tes sifatnya essensial bagi operasionalisasi konstrak teoritik tes yang bersangkutan. Suatu aitem dinilai esensial bilamana aitem tersebut dapat mempresentasikan dengan baik tujuan pengukuran. Para SME diminta apakah suatu aitem esensial dalam tiga tingkatan esensialitas yaitu ‘Esesnsial’, ‘Berguna tapi tidak esensial’, dan ‘Tidak diperlukan’. Angka CVR bergerak antara -1.00 sampai dengan +1.00. Bilamana CVR>0.00 berarti bahwa 50% lebih dari SME dalam panel menyatakan aitem adalah esensial. Semakin besar CVR dari angka 0 maka semakin esensial dan semakin tinggi validitas isinya. Dalam papernya, Lawshe (1975) juga menyajikan
74
semacam tabel nilai kritis CVR untuk mengetahui signifikasnsi CVR suatu aitem. Tapi penggunaan tabel ini tampaknya kurang memiliki nilai praktis karena dinyatakan sebagai memuaskan dalam taraf signifikansi 5% saja suatu aitem harus mencapai angka CVR=0,37 bila dinilai oleh 25 orang SME. Bila hanya ada tujuh orang penilai, maka perlu angka minimal CVR = 0,99. Problem terbesar dalam hal ini adalah bahwa memperoleh SME dalam jumlah yang sangat banyak agar nilai kritis yang dituntut tidak terlalu tinggi, bukanlah hal yang realistik. Oleh karena itu, sebaiknya CVR diinterpretasikan secara relatif dalam rentang -1,0 sampai dengan +1,0. Semua aitem yang memiliki aitem yang memiliki CVR yang negatif jelas harus dieliminasi, sedangkan suatu aitem yang CVRnya positif diartikan sebagai memiliki validitas isi dalam taraf tertentu. Selain CVR sebagai sebagai statistik validitas isi aitem, kemudian dapat pula dihitung statistik CVI (Content Validity Index) yang merupakan indikasi validitas isi tes. CVI rata-rata dari CVR semua aitem. Komputasi CVI hendaknya dilakukan hanya pada aitem-aitem yang terpilih, yaitu aitem yang sudah dinyatakan memiliki CVR memuaskan. Polit dan Beck merekomendasikan agar dalam melaporkan CVI disertai dengan laporan rentang nilai CVR aitem-aitem yang terpilih (Azwar, 2012: 114-115). Analisis validasi instrumen penilaian pada penelitian ini menggunakan CVR dan CVI karena selain dapat digunakan untuk melihat validitas isi aitem atau per butir menggunakan CVR, tetapi juga dapat melihat validitas isi instrumen secara keseluruhan yaitu menggunakan CVI. b. Reliabilitas “Suatu alat ukur dikatakan reliabel bila alat pengukur tersebut dikenakan terhadap subjek yang sama tetapi pada saat yang berlainan atau kalau orang yang memberikan penilaian berbeda hasilnya tetap sama” (Sugihartono dkk, 2012:138). Menurut Azwar (2015:7) reliabilitas merupakan penerjemahan dari kata reliability. Suatu pengukuran yang mampu menghasilkan data yang memiliki tingkat reliabilitas tinggi disebut sebagai pengukuran yang reliabel (reliable).
75
Alat ukur yang baik adalah alat ukur yang memenuhi persyaratan reliabilitas.
Pembicaraan
berdasarkan
pada
menunjukkan
mengenai
seberapa
kestabilan,
jauh
reliabilitas suatu
kekonstanan,
alat
pengukur
alat
pengukur
dapat
atau
keajegan
hasil
pengukuran. Pengukuran menurut Widihiarso (2005) tidak hanya dilakukan dengan menggunakan aitem-aitem pada angket pelaporan mandiri (self-report) akan tetapi juga kadang menggunakan hasil pengamatan (observasi). Kalau di angket pertanyaannya adalah sejauh mana antar aitem konsisten dalam mengukur, maka di observasi pertanyaannya adalah seberapa jauh antar rater memberikan penilaian yang konsisten. Untuk menghitung konsistensi para rater ini kita memerlukan korelasi intrakelas.
Analisis
dalam
penelitian
ini
menggunakan
hasil
pengamatan melalui lembar observasi oleh para rater, sehingga perlu menghitung konsistensi para rater. Model ICC yang disediakan oleh SPSS menurut Widhiarso (2005) ada tiga. Model 1 adalah one-way random, pada model ini setiap subjek yang dinilai oleh penilai yang berbeda yang dipilih secara acak.
Model
2
adalah
two-way
random,
pada
model
ini
mengasumsikan bahwa rater yang dilibatkan dalam penelitian ini dipilih secara acak dari populasi rater. Model 3 adalah two-way mixed, pada model ini mengasumsikan bahwa rater yang dilibatkan dalam penelitian ini merupakan rater pilihan yang tidak mempresentasikan
76
populasi rater. Dalam penelitian ini model ICC yang digunakan adalah two-way mixed karena rater tidak berasal dari suatu populasi. Ada dua tipe ICC menurut Widhiarso (2005) yaitu kesepakatan dan konsistensi. Dalam tipe ICC kesepakatan, tidak masalah apabila ada rater yang memberikan nilai terlalu murah atau terlalu mahal. Yang penting mereka sesuai dengan urutan individu atribut yang diukur. Tipe kesepakatan menekankan pada perbedaan individual saja. Dalam penelitian ini tipe ICC yang digunakan adalah tipe konsistensi (consistency) yaitu setiap subjek dinilai oleh setiap rater. Model ini menekankan pada kesamaan penilaian antar rater. Nilai ICC akan tinggi ketika antar rater memberikan penilaian yang mirip. Tipe konsistensi tidak hanya menekankan pada perbedaan individual saja melainkan juga menekankan pada pencapaian peserta didik terhadap kriteria yang ditetapkan. B. Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah: 1. Nurdin Fatahilah, Program Studi Pendidikan Fisika UNY dengan judul penelitian “Pengembangan Instrumen Penilaian Afektif Melalui Peer Assesment
Dalam
Pembelajaran
Fisika
SMA/MA
Kelas
X
Menggunakan Model Kooperatif Learning Tipe Jigsaw”. Hasil penelitian ini adalah dihasilkan instrumen penilaian afektif melalui peer assessment dalam pembelajaran fisika menggunakan model cooperative learning tipe Jigsaw. Nilai validitas instrumen penilaian afektif melalui
77
peer assessment menurut penilaian ahli memiliki skor rerata 3,60 dengan kategori interpretasi mendekati sangat baik. Nilai reliabilitas instrumen penilaian afektif melalui peer assessment yang didapatkan sebesar 88,76% untuk kelompok ahli dan 86,64% untuk kelompok asal, dan
tingkat
ketercapaian aspek afektif peserta didik sebesar 3,17 dengan interpretasi mendekati baik untuk kelompok ahli dan 3,49 dengan intrepretasi mendekati baik untuk kelompok asal. Penelitian ini relevan dengan penelitian pengembangan yang dilakukan peneliti. 2. Selly Noverina, Program Studi Pendidikan Fisika FKIP Universitas Sriwijaya dengan judul penelitian “Pengembangan Rubrik Penilaian Keterampilan dan Sikap Ilmiah Mata Pelajaran Fisika Kurikulum 2013 Di Kelas X Sekolah Menengah Atas” Penelitian ini telah menghasilkan produk berupa rubrik penilaian keterampilan dan sikap ilmiah materi suhu, kalor dan perpindahan kalor. Penelitian pengembangan ini dilakukan berdasarkan tiga tahap yaitu: tahap pendefinisian, tahap perancangan (design), tahap pengembangan (develop). Rata-rata total valid sebesar 3,58 % untuk rubrik keterampilan dan 3,74 % untuk rubrik sikap ilmiah pada tahap expert review. Rubrik penilaian keterampilan dan sikap ilmiah praktis dengan rata rata persentase 80,91 % dan 83,79 % pada tahap oneto-one, 84,73 % dan 84,75 % pada tahap small group, Berdasarkan hasil penelitian diperoleh rubrik penilaian keterampilan dan sikap ilmiah yang valid dan praktis.
78
3. Ismun Nisa N, Program Studi Pendidikan Fisika UIN dengan judul penelitian “Pengembangan Instrumen Penilaian Sikap Sebagai Alternatif Penilaian Afektif dalam Pembelajaran Fisika Sekolah Menengah Atas”. Hasil olah data menggunakan Lisrel 8.80 menyatakan bahwa 10 item dinilai tidak valid. Untuk menentukan validitas konstruk keseluruhan digunakan tinjauan Goodness of Fit (GOF) dengan 17 kriteria. Hasil analisis GOF menyatakan 5 kriteria manyatakan kecocokan model kurang baik sementara 12 kriteria menyatakan kecocokan model dalam kriteria yang baik. Hasil uji reliabilitas menunjukkan nilai 0,710 yang >0,700 yang berarti instrumen yang dikembangkan cukup reliable. Dapat disimpulkan bahwa model pengukuran dalam instrumen penilaian sikap yang dikembangkan memiliki kecocokan model yang baik dan reliable dengan sisa 25 item.
4. Eka Pebriana Nur Hidayati dengan judul penelitian “Pengembangan Instrumen Penilaian Hasil Belajar Siswa SMA Kelas X pada Topik Penggunaan Alat Ukur Listrik”. Hasil penilaian ahli diketahui bahwa seluruh instrumen tersebut dikatakan layak. Uji validasi soal untuk pilihan ganda dan benar salah masing-masing 64% valid. Taraf kesukaran pilihan ganda 6% sukar, 25% sedang, 69% mudah dan untuk benar salah 14% sukar, 14% sedang, 72% mudah. Daya beda pilihan ganda 25% jelak, 37,5% cukup, 37,5% dinyatakan baik dan untuk benar salah 43% jelek, 36% cukup, 7% baik, 14% sangat baik. Reliabilitas pilihan ganda adalah 0,57 dengan kriteria cukup dan benar salah 0,51 dengan kriteria cukup.
79
Untuk ranah afektif dan psikomotor berdasarkan pada penilaian ahli seluruh butir rubrik afektif dan psikomotor layak. Kesimpulan dari penelitian dan pengembangan ini bahwa instrumen penilaian yang dikembangkan berupa instrumen penilaian ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Pada ranah kognitif berupa tes yang terdiri dari 19 butir soal, ranah afektif terdiri 14 butir rubtik afektif, dan ranah psikomotor terdiri dari 11 rubrik afektif. 5. Yulinda Erma Suryani dengan judul penelitian “Pengembangan Instrumen
Penilaian
Afektif”.
Tujuan
penelitian
ini
adalah
mengembangkan instrument penilaian afektif, yang terdiri dari Skala Konsep Diri Siswa, Skala Minat Terhadap Mata Pelajaran Matematika, Skala Sikap Terhadap Mata Pelajaran Matematika. Subjek penelitian ini adalah 400 orang siswa kelas X dari dua SMA yang berbeda dengan perincian 200 siswa SMA Petrus dan 200 siswa MAN Klaten. Metode Alpha Cronbach digunakan untuk estimasi reliabilitas masing-masing skala. Untuk menguji validitas skala digunakan validitas isi.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa koefisien reliabilitas Skala Konsep Diri sebesar 0, 895, Skala Minat Terhadap Mata Pelajaran Matematika sebesar 0,8387 dan Skala Sikap Terhadap Mata Pelajaran Matematika sebesar 0,5714. Berdasarkan nilai koefisien reliabilitas, skala Konsep Diri Siswa dan Skala Minat Terhadap Mata Pelajaran Matematika bisa digunakan sebagai instrumen penilaian afektif.
80
C. Kerangka Berfikir Kondisi pembelajaran Fisika di sekolah-sekolah pada umumnya mengalami permasalahan antara lain model pembelajaran konvensional yang kurang melibatkan peserta didik secara aktif masih banyak diterapkan oleh guru, selain itu penilaian proses kurang berjalan optimal karena keterbatasan kemampuan mengembangkan perangkat instrumen penilaian, serta evaluasi hasil belajar hanya dilakukan dengan tes tertulis, menekankan pada aspek pengetahuannya saja. Berdasarkan permasalahan tersebut peneliti berupaya mengembangkan perangkat instrumen penilaian yang selain menekankan pada aspek pengetahuan tetapi juga memperhatikan aspek afektif dan psikomotorik peserta didik. Proses penilaian tersebut didukung oleh penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw yang dapat memunculkan sikap aktif dari peserta didik dan juga membantu peserta didik untuk memperoleh pengetahuan serta keterampilan proses sekaligus. Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan perangkat pembelajaran untuk menunjang pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw berupa RPP, Silabus, dan LKPD Jigsaw serta menghasilkan instrumen penilaian kognitif berupa soal kuis, Instumen penilaian afektif berupa lembar observasi, dan instrumen penilaian psikomotorik berupa lembar observasi.
81
Permasalahan Pembelajaran
Solusi
1. Model pembelajaran konvensional yang kurang melibatkan peserta didik secara aktif masih banyak diterapkan oleh guru. 2. Penilaian proses kurang berjalan optimal karena keterbatasan kemampuan mengembangkan perangkat instrumen penilaian. 3. Evaluasi hasil belajar hanya dilakukan dengan tes tertulis, menekankan pada aspek pengetahuannya saja.
Menggunakam model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw yang dapat memunculkan sikap aktif dari peserta didik dan juga membantu peserta didik untuk memperoleh pengetahuan serta keterampilan proses sekaligus. Mengembangkan perangkat instrumen penilaian yang selain menekankan pada aspek pengetahuan tetapi juga memperhatikan aspek afektif dan psikomotorik peserta didik.
Perangkat pembelajaran untuk menunjang pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw berupa RPP, Silabus, dan LKPD Jigsaw. Produk
Instrumen penilaian kognitif berupa soal kuis, Instumen penilaian afektif berupa lembar observasi, dan instrumen penilaian psikomotorik berupa lembar observasi.
Gambar 2-8 Kerangka berpikir penelitian
82
D. Pertanyaan Penelitian 1. Tahap Pendefinisian a. Tahap Analisis Kebutuhan 1) Bagaimanakah pelakasanaan evaluasi hasil belajar khususnya untuk ranah afektif dan psikomotorik yang selama ini dilakukan oleh guru mata pelajaran Fisika di SMAN 1 Jetis? b. Tahap Analisis Peserta Didik 1) Bagaimanakah karakteristik peserta didik kelas X di SMAN 1 Jetis? c. Tahap Analisis Tugas 1) Apakah tugas-tugas yang dilakukan oleh peserta didik selama proses pembelajaran? d. Analisis Konsep 1) Bagaimanakah
peta
konsep
materi
hukum
Newton
dan
penerapannya? e. Tahap Spesifikasi Tujuan Pembelajaran 1) Bagaimanakah tujuan pembelajaran yang hendak dicapai? 2. Tahap Perancangan a. Tahap Penyusunan Perangkat Pembelajaran 1) Apa saja perangkat pembelajaran yang diperlukan dalam penelitian ini? b. Tahap Pemilihan Media 1) Apa
saja
media
pembelajaran
yang
digunakan
dalam
pembelajaran?
83
c. Tahap Pemilihan Format 1) Bagaimanakah
format
yang
digunakan
dalam
penyusunan
perangkat pembelajaran dan instrumen penilaian? d. Desain Awal Instrumen Penilaian Aspek Afektif dan Psikomotorik 1) Bagaimanakah design awal instrument penilaian aspek afektif dan psikomotorik yang dikembangkan? 3. Tahap Pengembangan a. Tahap Uji Kelayakan Perangkat Pembelajaran 1) Bagaimanakah
tingkat
kelayakan
RPP
Jigsaw
yang
dikembangkan? 2) Bagaimanakah
tingkat
kelayakan
Silabus
Jigsaw
yang
tingkat
kelayakan
LKPD
Jigsaw
yang
dikembangkan? 3) Bagaimanakah dikembangkan? 4) Bagaimanakah tingkat kelayakan butir Soal Kuis? 5) Bagaimanakah tingkat kelayakan instrumen penilaian ranah afektif yang dikembangkan? 6) Bagaimanakah tingkat kelayakan instrumen penilaian ranah psikomotorik yang dikembangkan? b. Tahap Revisi I 1) Apa saja yang perlu diperbaiki pada perangkat pembelajaran berdasarkan penilaian para ahli? c. Tahap Uji Coba
84
1) Bagaimanakah reliabilitas lembar observasi penilaian afektif berdasarkan hasil ujicoba terbatas? 2) Bagaimanakah reliabilitas lembar observasi penilaian psikomotorik berdasarkan hasil ujicoba terbatas? 3) Bagaimanakah tingkat persetujuan antar rater dalam melakukan penilaian? d. Tahap Revisi II 1) Apa saja yang perlu diperbaiki pada perangkat pembelajaran yang diujicobakan secara terbatas? e. Tahap Uji Coba Operasional 1) Bagaimanakah hasil ketuntasan kompetensi kognitif peserta didik? 2) Bagaimanakah hasil ketuntasan kompetensi afektif peserta didik? 3) Bagaimanakah hasil ketuntasan kompetensi psikomotorik peserta didik?
85