BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Deskripsi Teori Dalam bagian deskripsi teori ini secara berturut-turut akan dikaji tentang penilaian hasil belajar fisika, pengembangan instrumen, ranah afektif dan psikomotorik, belajar, pembelajaran fisika, pembelajaran kooperatif, Numbered Head Together, serta materi pokok hukum Newton dan penerapannya. 1. Penilaian Hasil Belajar Fisika Dalam sub bab penilaian hasil belajar ini, secara berturut-turut akan dikaji tentang penilaian hasil belajar dan instrumen penilaian hasil belajar. a. Penilaian Hasil Belajar Penilaian hasil belajar merupakan komponen penting dalam kegiatan pembelajaran. Upaya meningkatkan kualitas pembelajaran dapat ditempuh melalui peningkatan kualitas sistem penilaiannya. Mundilarto (2012: 14) mengemukakan bahwa penilaian adalah proses pengumpulan dan penggunaan informasi oleh guru untuk pemberian keputusan terhadap hasil belajar peserta didik berdasarkan tahapan kemajuan belajarnya, sehingga didapatkan profil kemampuan peserta didik sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan dalam kurikulum. Demikian halnya dengan Subali (2012: 1) yang menyatakan bahwa penilaian atau asesmen (assessment) diartikan sebagi prosedur yang digunakan untuk mendapatkan informasi guna mengetahui taraf
15
pengetahuan dan keterampilan peserta didik yang hasilnya akan digunakan untuk keperluan evaluasi. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Arends (2013: 223) bahwa penilaian merupakan proses mengumpulkan informasi tentang siswa dan kelas yang bertujuan untuk membuat keputusan-keputusan intruksional. Dapat disimpulkan bahwa penilaian yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan kegiatan yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi dari peserta didik yang berkaiatan dengan kegiatan pembelajaran di kelas untuk mengetahui sejauh mana kemampuan peserta didik tersebut. Dalam kegiatan belajar mengajar, Sudjana (1992: 2) menyatakan bahwa terdapat tiga unsur yang dapat dibedakan, yaitu: tujuan pengajaran (intruksional), pengalaman (proses belajar mengajar), dan hasil belajar. Hubungan ketiganya digambarkan dalam diagram berikut. Tujuan intruksional
c
a
Pengalaman belajar (proses belajar mengajar)
Hasil belajar
b
Gambar 2.1 Diagram Hubungan antara Pengalaman Belajar, dan Hasil Belajar
Tujuan
Intruksional,
16
Berdasarkan diagram di atas, kegiatan penilaian dinyatakan oleh garis c, yaitu suatu tindakan atau kegiatan untuk melihat sejauh mana tujuan-tujuan intruksional telah dapat dicapai atau dikuasai oleh peserta didik dalam bentuk hasil-hasil belajar yang diperlihatkan setelah menempuh pengalaman belajarnya. Garis b merupakan kegiatan penilaian untuk mengetahui keefektifan pengalaman belajar dalam mencapai hasil belajar yang optimal. Tujuan intruksional pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku yang diinginkan pada diri peserta didik. Oleh sebab itu, dalam penilaian hendaknya diperiksa sejauh mana perubahan tingkah laku peserta didik telah terjadi melalui proses belajarnya. Jadi hasil penilaian tidak hanya bermanfaat untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan intruksional, tetapi juga sebagai umpan balik bagi upaya memperbaiki proses belajar mengajar. Secara umum Mundilarto (2012: 16) menjabarkan tujuan penilaian hasil belajar adalah (1) untuk mengetahui tingkat kompetensi peserta didik, (2) mengukur pertumbuhan dan perkembangan peserta didik, (3) mendiagnosis kesulitan belajar peserta didik, (4) mengetahui hasil proses belajar mengajar, (5) mengetahui pencapaian kurikulum, (6) membantu dan mendorong peserta didik untuk lebih giat belajar, (7) membantu dan mendorong guru untuk mengajar lebih baik, (8) sebagai upaya meningkatkan akuntabilitas lembaga, dan (9) sebagai upaya meningkatkan kualitas pendidikan.
17
Hal yang sama diungkapkan Widoyoko (2014: 31) bahwa penilaian dalam program pembelajaran merupakan salah satu kegiatan untuk menilai tingkat pencapaian kurikulum dan berhasil tidaknya proses pembelajaran. Penilaian dalam konteks hasil belajar diartikan sebagai kegiatan menafsirkan data hasil pengukuran tentang kecakapan yang dimiliki siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran. Data pengukuran dapat diperoleh melalui tes, pengamatam, wawancara, rating scale, maupun angket. b. Instrumen Penilaian Hasil Belajar Secara garis besar instrumen penilaian dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu tes dan non tes. a. Instrumen Tes Mundilarto (2012: 48) menyatakan bahwa tes hasil belajar terutama digunakan untuk menilai kompetensi peserta didik yang mencakup pengetahuan dan keterampilan tertentu sebagai hasil kegiatan belajar mengajar fisika. Ditinjau dari segi pelaksanaannya, tes dibedakan menjadi tes tertulis, tes lisan, dan tes perbuatan. Hasil belajar yang dapat diperoleh melalui tes mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Penyusunan spesifikasi tes mencakup kegiatan merumuskan tujuan tes, kisi-kisi tes, bentuk tes, dan panjang tes.
18
b. Instrumen Non Tes Widoyoko (2014: 103) mengemukakan bahwa instrumen nontes terutama digunakan untuk mengukur hasil belajar yang berhubungan dengan softskills dan vocational skills, yaitu tentang apa yang dapat dibuat atau dikerjakan oleh peserta didik daripada apa yang diketahui atau dipahaminya. Lebih lanjut Mundilarto (2012: 83) mengemukakan bahwa non-tes terutama digunakan untuk menilai karakteristik yang mencakup ranah afektif, misalnya sikap dan minat terhadap fisika serta kepribadian lainnya. Ditinjau dari segi pelaksanaannya, yang tergolong instrumen non-tes adalah lembar observasi, kuisioner (questioner), wawancara (interview), dan riwayat hidup. 1) Lembar Observasi Observasi oleh Arikunto (2009: 30) dan Basuki (2015: 62) diartikan sebagai proses pengamatan dan pencatatan sistematis terhadap perilaku peserta didik dalam rangka pengumpulan data untuk tujuan membuat keputusan. Instrumen yang digunakan dalam observasi pada umumnya berupa daftar cek (check list) atau skala penilaian (rating scale). a) Daftar Cek (Check List) Daftar cek (Check List) menurut Arikunto (2009: 29) merupakan deretan pernyataan yang biasanya singkat-singkat, di mana responden yang dievaluasi tinggal membubuhkan
19
tanda cocok () di tempat yang sudah disediakan. Selain itu Mundilarto
(2012:
63)
menjelaskan
bahwa
dalam
pengembangan daftar cek terlebih dahulu ditentukan indikatorindikator penguasaan keterampilan yang akan diukur atau yang harus
ditampilkan
mengurutkannya
oleh sesuai
peserta dengan
didik,
kemudian
langkah-langkah
pelaksanaannya. b) Skala Penilaian (Rating Scale) Widoyoko (2014: 110) menyatakan bahwa rating scale berisikan seperangkat pernyataan kualitas sesuatu yang akan diukur beserta pasangannya yang berisi cara menilai kualitas yang dimiliki oleh sesuatu yang diukur tersebut. Mundilarto (2012: 68) mengemukakan cara penyusunan skala penilaian yaitu pada indikator keterampilan, ditulis menurut cara atau proses. Sebagai konsekuensi pada model skala penilaian harus disiapkan rubrik yang mendeskripsikan kriteria setiap skala nilai. 2) Kuesioner (questioner) Kuesioner (questioner) juga sering dikenal sebagai angket. Arikunto (2009: 27) menyatakan pada dasarnya, kuesioner adalah sebuah daftar pertanyaan yang harus diisi oleh orang yang akan diukur (responden). Dengan kuesioner ini dapat diketahui tentang
20
keadaan atau data diri, pengalaman, pengetahuan sikap atau pendapatnya, dan lain- lain. 3) Wawancara (interview) Arikunto (2009: 30) menjelaskan bahwa wawancara (interview) adalah suatu metode atau cara yang digunakan untuk mendapatkan jawaban dari responden dengan jalan tanya jawab sepihak. Dikatakan sepihak karena dalam wawancara ini responden tidak diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan karena pertanyaan diajukan oleh pewawancara atau penilai. 4) Riwayat Hidup Riwayat hidup menurut Arikunto (2009: 31) adalah gambaran tentang keadaan seseorang selama masa kehidupannya. Dengan mempelajari riwayat hidup, maka penilai akan dapat menarik suatu kesimpulan tentang kepribadian, kebiasaan, dan sikap dari objek yang dinilai.
2. Pengembangan Instrumen Penilaian Dalam sub bab pengembangan instrumen penilaian ini, secara berturut-turut
akan
dikaji
tentang
pengembangan
tes
tertulis,
pengembangan instrumen penilaian afektif, pengembangan instrumen penilaian kinerja/ performance assessment, serta validitas dan reliabilitas.
21
a. Pengembangan Tes Tertulis Sudaryono (2012: 104) mengemukakan pengembangan tes dimaksudkan untuk memperoleh tes yang valid sehingga hasil ukurnya dapat mencerminkan secara tepat hasil belajar yang dicapai oleh peserta didik. Tes tertulis untuk mengukur kemampuan kognitif menurut Subali (2012: 65) dapat dibedakan untuk tujuan mengukur kemampuan kognitif tingkat rendah (mengetahui, memamhami, dan menerapkan) dan kemampuan kognitif tingkat tinggi (menganalisis, mengevaluasi, menyintesis, berimajinasi, dan mengkreasi). Bentuk tes tertulis dapat berupa tes pilihan, baik berupa pilihan ganda; benarsalah; atau pun menjodohkan, serta bentuk mengisikan jawaban, baik berupa isian singkat, uraian terstruktur atau uraian objektif, dan uraian terbuka. Dalam menyususn soal suatu item harus memperhatikan aspek subtansi, konstruksi, dan bahasa. Bentuk tes tertulis yang digunakan dalam penelitian ini berupa pilihan ganda. Sudaryono (2012: 110) dan Subali (2012: 69-70) menyatakan item bentuk pilihan ganda (multiple choise) berupa suatu pernyataan yang belum lengkap (stem), untuk melengkapinya dengan cara memilihnya di antara beberapa pilihan yang telah disediakan. Pilihan jawaban yang benar disebut kunci dan yang salah atau kurang benar disebut pengecoh (distractor). Selain berupa pernyataan yang belum lengkap, stem dapat pula berupa suatu pernyataan. Ada yang
22
hanya berupa pernyataan dan ada yang diawali dengan uraian kasus atau berupa grafik. b. Pengembangan Instrumen Penilaian Afektif Instrumen penilaian afektif untuk menilai sikap peserta didik dalam penyusunannya banyak menggunakan skala. Skala sikap yang sering digunakan menurut Basuki (2015: 198) dan Subali (2012: 74) yaitu skala likert, skala perbedaan semantik atau skala berdeferensiasi semantik, skala thurstone, skala deskriptor, skala chapin, skala bogardus, lembar observasi, lembar penilaian antar teman (peer assessment), dan jurnal peserta didik sebagai manifestasi self assessment. Dalam penelitian ini, instrumen penilaian afektif dikembangkan dengan menggunakan lembar observasi. Lembar observasi yang dikembangkan berupa pernyataan perilaku peserta didik dengan pilihan “ya” dan “tidak” serta rubrik kriteria pilihan “ya” dan “tidak”. Basuki (2015: 196) mengemukakan sebelas langkah dalam mengembangkan instrumen penilaian afektif, yaitu 1) menentukan spesifikasi instrumen; 2) menulis instrumen; 3) menentukan skala instrumen; 4) menentukan pedoman pemberian skor; 5) menelaah instrumen; 6) merakit instrumen; 7) melaksanakan uji coba; 8) menganalisis hasil uji coba; 9) memperbaiki instrumen; 10) melaksanakan pengukuran; dan 11) menafsirkan hasil pengukuran.
23
c. Pengembangan Instrumen Penilaian Kinerja/ Performance Assessment Penilaian kinerja menurut Subali (2012: 90-94).adalah penilaian yang memfokuskan aspek keterampilan yang terkait dengan ranah psikomotor yang dapat didemonstrasikan oleh peserta didik. Dalam pembelajaran motorik tahapan yang ditempuh adalah penguasaan teori tentang teknik/ prosedur yang berupa tahapan-tahapan dalam melakukan aktivitas, dilanjutkan dengan artikulasi berupa latihan untuk menguasai suatu teknik/ prosedur yang dipelajari dan otomatis untuk menguasai teknik secara terlatih dan spontan. Terdapat dua bentuk pengembangan item tes kinerja, yaitu untuk penguasaan prosedur dan untuk prnguasaan produk. Secara umum langkah-langkah pengembangan item kinerja yaitu: 1) Menyesuaikan dengan jenis kinerja/ produk; 2) Menyesuaikan dengan teknik penilaian; 3) Menyusun rubrik atau pedoman penskoran. d. Validitas dan Reliabilitas Validitas berasal dari kata validity, menurut Azwar (2015: 8) dan Subali (2012: 107) validitas mempunyai arti sejauh mana akurasi suatu tes atau skala dalam menjalankan fungsi pengukurannya, dengan kata lain alat ukur yang digunakan benar-benar mampu memberikan informasi empirik sesuai dengan apa yang diukur. Pengukuran dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila menghasilkan data yang secara akurat memberikan gambaran mengenai variabel yang diukur seperti dikehendaki oleh tujuan pengukuran. Akurat dalam hal
24
ini berarti tepat dan cermat, apabila tes menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran, maka dikatakan pengukuran tersebut memiliki validitas rendah. Arikunto (2009: 65-69) menyatakan terdapat dua macam validitas, yaitu validitas logis yang dicapai melalui penyusunan berdasarkan ketentuan atau teori dan validitas empiris yang dicapai atau diketahui sesudah dibuktikan melalui pengalaman. Validitas logis terdiri dari dua macam, yaitu validitas isi dan validitas konstrak. Selain itu validitas empiris juga terdiri dari dua macam, yaitu validitas “ada sekarang” dan validitas prediksi. Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi (content validity), sebuah tes dikatakan memiliki validitas isi apabila mengkur tujuan khusus tertentu yang sejajar dengan materi atau isi pelajaran yang diberikan. Azwar (2015: 42) menambahkan validitas isi merupakan validitas yang diestimasi melalui pengujian terhadap kelayakan atau relevansi isi tes melalui analisis rasional oleh panel yang berkompeten. Prosedur penilaian terhadap validitas isi dalam penelitian ini menggunakan Rasio Validitas Isi atau Lawshe’s CVR (Content Validity Ratio), statistik ini mencerminkan tingkat validitas aitem-aitem berdasarkan data empirik. Sebuah panel yang terdiri dari para ahli atau disebut Subject Matter Experts (SME) diminta untuk menyatakan apakah aitem dalam tes sifatnya esensial atau tidak. Suatu aitem dinilai esensial apabila aitem tersebut dapat
25
merepresentasikan dengan baik tujuan pengukuran. Para SME diminta menilai dalam tiga tingkatan esensialitas, yaitu esensial, berguna tapi tidak esensial, dan tidak diperlukan. CVR dirumuskan sebagai: CVR = (2ne / n) – 1
(2-1)
ne = banyaknya SME yang menilai suatu item esensial n = banyaknya SME yang melakukan penilaian. Selain CVR sebagai statistik validitas isi item, dapat pula dihitung statistik CVI (Content Validity Index) yang merupakan validitas isi tes. CVI adalah rata-rata dari CVR semua item. CVI = (∑CVR)/k
(2-2)
k = banyaknya item. Penghitungan CVI dilakukan hanya pada aitem-aitem yang dinyatakan memiliki CVR memuaskan. Selain harus valid, Subali (2012: 107) menyatakan alat ukur juga harus memiliki sifat andal (reliable). Artinya jika dipakai untuk mengukur secara berulang-ulang hasilnya selalu tetap/ konsisten/ stabil. Azwar (2015: 7) mengemukakan bahwa suatu pengukuran yang mampu menghasilkan data yang memiliki tingkat reliabilitas tinggi disebut sebagai pengukuran yang reliabel. Hasil pengukuran dapat dipercaya hanya apabila dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subjek yang sama diperoleh hasil yang relatif sama, selama aspek yang diukur dalam diri subjek belum berubah. Arikunto (2009: 86-87) menegaskan, instrumen yang baik adalah
26
instrumen yang dapat dengan ajeg memberikan data yang sesuai dengan kenyataan. Sehubungan dengan reliabilitas ini, persyaratan bagi tes bahwa validitas dan reliabilitas penting. Sebuah tes mungkin reliabel tetapi tidak valid. Sebaliknya, sebuah tes yang valid biasanya reliabel. Dalam penelitian ini reliabilitas instrumen diketahui berdasarkan nilai reliabilitas antar rater yang dihitung dengan menggunakan koefisien korelasi antar kelas (Intraclass Correlation Coefficients, ICC). Menurut Widhiarso (2009: 15-17) ICC menunjukkan perbandingan antara variasi yang diakibatkan atribut yang diukur dengan variasi pengukuran secara keseluruhan. Nilai korelasi (ICC) didapat melalui rumus berikut. (
)
(2-3)
Hubungan antara ICC dengan alpha dapat diketahui melalui persamaan berikut. (2-4)
3. Ranah Afektif dan Psikomotorik a.
Ranah Afektif (Affective Domain) Majid (2004: 4) mengartikan ranah afektif sebagai internalisasi sikap yang menunjuk ke arah pertumbuhan batiniah yang terjadi bila individu menjadi sadar tentang nilai yang diterima dan kemudian mengambil sikap sehingga menjadi bagian dari dirinya dalam
27
membentuk nilai dan menentukan tingkah lakunya. Selain itu Mundilarto (2012: 9) mengemukakan bahwa ranah afektif merupakan penggambaran sikap, emosi, perasaan, minat, motivasi, tingkah laku, kerjasama, dan koordinasi dari setiap peserta didik. Demikian halnya dengan Sudaryono (2012: 46) yang menyatakan ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai, di mana sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya apabila orang tersebut telah memiliki penguasaan kognitif tingkat tinggi. Jadi, ranah afektif merupakan penggambaran sikap yang hasil penilaiannya berkaitan dengn emosi, minat, motivasi, dan nilai-nilai. Kategori ranah afektif menurut Krathwohl dalam Basuki (2015: 186-187) terdiri dari beberapa tingkat yakni receiving, responding, valuing, organization, dan characterization by a value. 1) Receiving (Penerimaan) Pada tahap ini peserta didik peka terhadap keberadaan fenomena atau rangsang. Contohnya yaitu mendengarkan orang lain dengan rasa hormat, mendengarkan dan mengingat nama orang yang baru saja diperkenalkan. 2) Responding (Menanggapi) Responding atau menanggapi, pada tahap ini berkaitan dengan partisipasi aktif dari peserta didik. Peserta didik cukup termotivasi untuk berperan serta dan menanggapi rangsang yang datang berupa gagasan, benda, atau sistem nilai. Contohnya yaitu
28
berpartisipasi dalam diskusi kelas, memberikan presentasi, dan menanyakan gagasan. 3) Valuing (Menilai) Valuing atau menilai terdiri atas menerima nilai, memilih nilai, dan komitmen. Pada tahap ini peserta didik memahami bahwa benda, gejala, atau suatu perilaku mempunyai nilai. Contohnya
adalah
menunjukkan
kecakapan
menyelesaikan
masalah, peka terhadap perbedaan individu dan perbedaan budaya. 4) Organization Mengorganisasikan
nilai
menjadi
priorotas
untuk
membandingkan perbedaan nilai, meresolusi konflik antar nilai, dan menciptakan suatu sistem nilai. Contohnya yaitu menerima standar etik profesional dan menjelaskan peranan perencanaan yang sistematis dalam memecahkan masalah. 5) Characterization by a value or value complex Individu yang memiliki kemampuan afektif pada tingkatan yang kelima ini berarti memiliki sistem nilai yang mengontrol tingkah lakunya untuk waktu yang cukup lama sehingga membentuk karakterisik pola hidup, tingkah lakunya menetap, dan konsisten. Contohnya yaitu menunjukkan kepercayaan diri jika bekerja secara mandiri dan menggunakan pendekatan yang objektif dalam pemecahan masalah.
29
b.
Ranah Psikomotorik (Psychomotor Domain) Ranah psikomotorik menurut Mundilarto (2012: 11) merupakan penggambaran kemampuan peserta didik secara fisik
dalam
menggunakan suatu alat atau memanipulasi gerakan badan. Lebih lanjut Sudaryono (2012: 47) dan Sudjana (2014: 30-32) menyatakan hasil belajar psikomotorik tampak dalam bentuk keterampilan (skill) dan kemampuan bertindak individu, serta merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif dan afektif. Ada enam tahapan ranah psikomotor, yaitu: 1) Gerakan refleks (keterampilan pada gerakan yang tidak sadar). 2) Keterampilan pada gerakan-gerakan dasar. 3) Kemampuan perseptual, termasuk didalamnya membedakan visual, membedakan auditif, motoris, dan lain-lain. 4) Kemampuan di bidang fisik, misalnya kekuatan, keharmonisan, dan ketepatan. 5) Gerakan-gerakan skill, mulai dari keterampilan sederhana sampai pada keterampilan yang kompleks. 6) Kemampuan yang berkenaan dengan komunikasi non-decursive seperti gerakan ekspresif dan interpretatif. Tipe hasil belajar ranah psikomotorik berkenaan dengan keterampilan atau kemampuan bertindak setelah peserta didik menerima pengalaman belajar tertentu. Hasil belajar ini merupakan tahap lanjutan dari hasil belajar
afektif
yang
baru
tampak
dalam
kecenderungan-
kecenderungan untuk berperilaku. Pembagian ranah psikomotor menurut Simpson dalam Basuki (2015: 214-216) dan Subali (2012: 44-45) mencakup jenjang persepsi,
30
kesiapan, respon terpandu, mekanisme, respon yang benar-benar kompleks, adaptasi, originasi. 1) Persepsi, yaitu kemampuan menangkap stimulus, menyeleksi isyarat, dan kemampuan menggunakan indra untuk memandu aktivitas motorik. 2) Kesiapan, yaitu kesiapan untuk berperan aktif dalam suatu bagian dan kegiatan, baik secara mental, fisik, maupun emosional. Sering juga disebut mindset. 3) Respon terpandu, merupakan kemampuan awal dalam belajar suatu keterampilan yang bersifat kompleks, termasuk kemampuan menirukan atau pun kemampuan mencoba berdasarkan kriteria atau instruksi. 4) Mekanisme, yaitu menampilkan suatu kegiatan yang sifatnya habitual sehingga menghasilkan suatu keterampilan motorik yang kompleks. 5) Respon yang benar-benar kompleks, menunjukkan keterampilan secara utuh dan kemahiran yang diindikasikan oleh kinerja yang cepat, akurat, dan terkoordinasi benar tetapi hanya memerlukan energi yang minium. 6) Adaptasi, yakni kemampuan untuk memodifikasi keterampilan motoriknya dalam menyesuaikan diri dengan situasi baru. 7) Originasi, yaitu berkreasi menciptakan suatu gerakan baru yang benar-benar orisinal dan menunjukkan kemahiran kreatifnya.
31
4. Belajar Sugihartono,dkk (2012: 74) menyatakan belajar sebagai suatu proses memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam wujud perubahan tingkah laku dan kemampuan bereaksi yang relatif permanen atau menetap karena adanya interaksi individu dengan lingkungannya. Daryanto (2012: 16) mengemukakan belajar pada hakekatnya adalah proses interaksi terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu. Demikian halnya dengan Suprihatiningrum (2013: 14), yang menyatakan belajar pada dasarnya adalah proses perubahan tingkah laku berikut adanya pengalaman. Pembentukan tingkah laku ini meliputi perubahan keterampilan, kebiasaan, sikap, pengetahuan, pemahaman, dan apresiasi. Oleh sebab itu belajar adalah proses aktif, yaitu proses mereaksi terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu. Belajar adalah proses yang diarahkan pada satu tujuan, proses berbuat melalui berbagai pengalaman. Belajar adalah proses melihat, mengamati, memahami sesuatu yang dipelajari. Berbicara tentang belajar berarti bercerita tentang cara mengubah tingkah laku seseorang atau individu melalui berbagai pengalaman yang ditempuhnya. Dengan demikian belajar merupakan proses perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi terhadap segala situasi yang ada di sekitar individu, yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya melalui berbagai pengalaman.
32
5. Pembelajaran Fisika Fisika menurut Giancoli (2014: 2) merupakan ilmu pengetahuan yang paling mendasar, karena berhubungan dengan perilaku dan struktur benda. Mundilarto (2002: 3) menyatakan bahwa fisika merupakan ilmu yang berusaha memahami aturan-aturan alam yang begitu indah dan dengan rapi dapat dideskripsikan secara matematis. Matematika dalam hal ini berfungsi sebagai bahasa komunikasi sains termasuk fisika. Mundilarto (2012: 3) mengemukakan bahwa fisika sebagai ilmu pengetahuan yang telah berkembang sejak awal abad ke-14 dan bersamasama dengan biologi, kimia, serta astronomi tercakup dalam kelompok ilmu-ilmu alam atau sering disebut science. Dalam bahasa Indonesia, istilah science diterjemahkan menjadi sains atau ilmu pengetahuan alam (IPA). Prasetyo (2004: 1.24) menyatakan bahwa sains harus dipandang sebagai cara berpikir untuk memahami alam, sebagai cara untuk melakukan penyelidikan dan sebagai kumpulan pengetahuan. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Collete dan Chiappetta (1994) yang menyatakan bahwa sains pada hakikatnya merupakan: 1) pengumpulan pengetahuan (a body of knowledge); 2) cara atau jalan berpikir (a way of thinking); 3) cara untuk penyelidikan (a way of investigating). Dalam pembelajaran fisika yang termasuk dalam sains atau ilmu alam, haruslah mencakup ketiga aspek di atas. Lebih lanjut lagi Prasetyo (2004: 1.31) menjelaskan bahwa sains sebagai kumpulan pengetahuan dapat berupa fakta, konsep, prinsip,
33
hukum, teori, dan model. Sains sebagai cara berpikir merupakan aktivitas yang berlangsung di dalam pikiran orang yang berkecimpung di dalamnya karena adanya rasa ingin tahu dan hasrat untuk memahami fenomena alam. Sains sebagai cara penyelidikan merupaka cara bagaimana informasi ilmiah diperoleh, diuji, dan divalidasikan. Demikian halnya dengan Mundilarto (2012: 4) yang menyatakan bahwa fisika sebagai ilmu dasar memiliki karakteristik yang mencakup bangun ilmu yang terdiri atas fakta, konsep, prinsip, hukum, postulat, dan teori serta metodologi keilmuan. Dalam mengkaji objek-objek telaah fisika yang berupa benda-benda serta peristiwa-peristiwa alam, menggunakan prosedur baku yang disebut metode atau proses ilmiah. Oleh karena itu proses pembelajaran dan penilaian hasil belajar fisika seharusnya dapat mencerminkan karakteristik keilmuan tersebut. Prasetyo (2004: 1.31) mengemukakan fisika dipandang sebagai suatu proses dan sekaligus produk sehingga dalam pembelajarannya harus mempertimbangkan strategi atau metode pembelajaran yang efektif dan efisien yaitu salah satunya melalui kegiatan praktik, karena melalui kegiatan praktik, peserta didik melakukan olah pikir dan juga olah tangan. Kegiatan praktik adalah percobaan yang ditampilkan guru atau peserta didik dalam bentuk demonstrasi maupun percobaan yang berlangsung di laboratorium atau tempat lain. Jenis-jenis kegiatan praktik meliputi eksperimen standar, eksperimen penemuan, demonstrasi, dan proyek. Kegiatan praktik dalam pembelajaran fisika mempunyai peran memotivasi dalam belajar, memberi
34
kesempatan pada peserta didik untuk mengembangkan keterampilannya, dan meningkatkan kualitas belajar peserta didik. Pembelajaran menurut Suprihatiningrum (2013: 75) adalah serangkaian kegiatan yang melibatkan informasi dan lingkungan yang disusun secara terencana untuk memudahkan peserta didik dalam belajar. Lingkungan
yang
dimaksud
tidak
hanya
berupa
tempat
ketika
pembelajaran itu berlangsung, tetapi juga metode, media, dan peralatan yang diperlukan untuk menyampaikan informasi. Pembelajaran merupakan upaya yang dilakukan pendidik untuk membantu peserta didik agar dapat menerima pengetahuan yang diberikan dan membantu memudahkan pencapaian tujuan pembelajaran. Pendapat lain berasal dari Daryanto (2012: 19) yang mengemukakan bahwa pembelajaran (instructtion) merupakan akumulasi dari konsep mengajar (teaching) dan konsep belajar (learning). Konsep tersebut dapat dipandang sebagai suatu sistem, sehingga dalam sistem belajar ini terdapat komponen komponen peserta didik, tujuan, materi, untuk mencapai tujuan, fasilitas, dan prosedur serta alat atau media yang harus dipersiapkan. Demikian halnya dengan Trianto (2009: 17) yang mengartikan pembelajaran pada hakikatnya adalah usaha sadar dari seorang guru untuk membelajarkan peserta didiknya, yaitu mengarahkan interaksi peserta didik dengan sumber belajar lainnya dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan. Hal ini memberikan makna bahwa pembelajaran merupakan interaksi dua arah dari seorang guru dan peserta didik, di mana antara
35
keduanya terjadi komunikasi (transfer) yang intens dan terarah menuju pada suatu target yang telah ditetapkan sebelumya. Jadi, pembelajaran pada dasarnya merupakan upaya yang secara sengaja dilakukan oleh pendidik untuk membantu peserta didik dalam mencapai tujuan belajarnya. Dalam rangka mempermudah pelaksanaan pembelajaran di kelas, diperlukan model pembelajaran yang sesuai, supaya tujuan pembelajaran dapat tercapai dan tuntas sesuai yang diharapkan. Arends (2013: 28) menyatakan bahwa model pengajaran yang praktis digunakan untuk membantu memenuhi kebutuhan guru dalam mengajar yaitu presentasi, instruksi atau pengajaran langsung, pengajaran konsep, pembelajaran kooperatif, pembelajaran berdasarkan masalah, dan diskusi kelas. Tiga model pertama yaitu presentasi, instruksi atau pengajaran langsung, dan pengajaran konsep termasuk dalam perspektif tradisional dan lebih berpusat
pada
guru,
sedangkan
model
pembelajaran
kooperatif,
pembelajaran berdasarkan masalah, dan diskusi kelas termasuk dalam perspektif konstruktivis dan lebih berpusat pada pembelajar. Oleh karena itu dari beberapa model pembelajaran yang ada perlu kiranya diseleksi model pembelajaran yang mana yang paling baik untuk mengajarkan suatu materi tertentu. Dalam memilih suatu model pembelajaran, Trianto (2009: 26) mengemukakan bahwa guru harus mempertimbangkan materi pelajaran, tingkat perkembangan kognitif peserta didik, dan sarana atau fasilitas yang tersedia, sehingga tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dapat
36
tercapai. Selain model-model pembelajaran yang telah disebutkan di atas, terdapat model pembelajaran lainnya, yaitu learning strategis (strategistrategi belajar), pembelajaran berbasis inkuiri, active learning, quantum learning, dan lain-lain. Mundilarto (2002: 5) mengemukakan bahwa pembelajaran fisika di tingkat sekolah atas ditujukan agar peserta didik menguasai konsep-konsep fisika dan keterkaitannya serta mampu menggunakan metode ilmiah untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Jadi, pembelajaran fisika yang dimaksud dalam penelitian ini adalah upaya sadar yang dilakukan guru untuk membantu peserta didik dalam mengkaji objek-objek telaah fisika yang berupa benda-benda serta peristiwa-peristiwa alam dengan cara mengumpulkan pengetahuan atau informasi, berpikir, dan menyelidiki suatu
permasalahan
dalam
penerapan
model
pembelajaran
yang
menekankan pada aktivitas kerja kelompok.
6. Pembelajaran Kooperatif (Coorperative Learning) Johnson & Johnson (2012: 4) mengartikan pembelajaran kooperatif (cooperative learning) sebagai proses belajar mengajar yang melibatkan penggunaan kelompok-kelompok kecil yang memungkinkan siswa untuk bekerja secara bersama-sama di dalamnya guna memaksimalkan pembelajaran mereka sendiri dan pembelajaran satu sama lain. Selain itu Sanjaya (2009: 242) mengartikan pembelajaran koooperatif sebagai model pembelajaran dengan menggunakan sistem pengelompokan atau tim kecil,
37
yaitu antara empat sampai enam orang yang mempunyai latar belakang kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, atau suku yang berbeda (heterogen). Demikian halnya dengan Warsono (2014: 161) yang menyatakan pembelajaran kooperatif adalah metode pembelajaran yang melibatkan sejumlah kelompok kecil siswa yang bekerja sama dan belajar bersama dengan saling membantu secara interaktif untuk mencapai tujuan pembelajaran yang dirumuskan. Dengan demikian pembelajaran kooperatif yaitu proses belajar dalam kelompok-kelompok kecil di mana anggota kelompok secara bersama-sama saling membantu dalam memecahkan permasalahan. a. Komponen-Komponen Esensial Pembelajaran Kooperatif Johnson & Johnson (2012: 8-10) menyatakan lima komponen esensial dalam pembelajaran kooperatif yaitu, 1) interdependensi positif, interdependensi positif akan dapat terstruktur dengan baik apabila setiap anggota kelompok memandang bahwa mereka terhubung antara satu sama lain, sehingga seseorang tidak akan bisa berhasil kecuali jika semua orang berhasil. 2) Interaksi yang mendorong, merupakan kesempatan bagi siswa untuk saling mendorong satu sama lain untuk mencapai sukses dengan saling membantu, mendukung, menyemangati, dan menghargai usaha satu sama lain untuk belajar. 3) Tanggung jawab individual, tanggung jawab individual memastikan bahwa semua anggota kelompok tahu siapa saja yang membutuhkan bantuan,
dukungan,
dan
dorongan
yang
lebih
besar
untuk
38
menyelesaikan tugas dan menyadari bahwa mereka tidak bisa hanya menyontek hasil kerja siswa lain begitu saja. 4) Skil-skil interpersonal dan kelompok kecil, siswa dituntut untuk mempelajari pelajaran (tugas) akademik dan juga skil-skil interpersonal dan kelompok-kecil yang dibutuhkan agar dapat berfungsi sebagai bagian dari sebuah tim. 5) Pemrosesan kelompok, pemrosesan kelompok terjadi ketika anggota kelompok berdiskusi mengenai seberapa baik mereka telah mencapai tujuan masing-masing dan seberapa baik mereka telah memelihara hubungan kerja yang efektif. b. Prosedur Pembelajaran Kooperatif Sanjaya (2009: 248-249) menyatakan prosedur pembelajaran kooperatif pada prinsipnya terdiri atas empat tahap, yaitu penjelasan materi, belajar dalam kelompok, penilaian, dan pengakuan tim. 1) Penjelasan Materi Tahap penjelasan diartikan sebagai proses penyampaian pokok-pokok materi pelajaran sebelum peserta didik belajar dalam kelompok. Tujuannya yaitu supaya peserta didik paham dan mengerti terhadap pokok materi pelajaran. Dalam tahap ini guru memberikan gambaran umum tentang materi pelajaran yang harus dikuasai yang selanjutnya peserta didik akan memperdalam materi dalam pembelajaran kelompok. Guru dapat menggunakan metode ceramah, curah pendapat, dan tanya jawab, bahkan jika perlu guru dapat menggunakan demonstrasi. Di samping itu, guru juga dapat
39
menggunakan
berbagai
media
pembelajaran
agar
proses
penyampaian dapat lebih menarik peserta didik. 2) Belajar dalam kelompok Dalam tahap ini peserta didik diminta untuk belajar pada kelompoknya masing-masing yang telah dibentuk sebelumnya. Pengelompokan dalam pembelajaran kooperatif bersifat heterogen, artinya kelompok dibentuk berdasarkan perbedaan-perbedaan setiap anggotanya, baik perbedaan gender, latar belakang agama, sosialekonomi, dan etnik, serta perbedaan kemampuan akademik. 3) Penilaian Penilaian dalam pembelajaran koorperatif dilakukan dengan menggunakan tes atau kuis. Tes atau kuis dilakukan baik secara individu maupun secara kelompok. Tes individual akan memberikan informasi kemampuan setiap peserta didik, dan tes kelompok akan memberikan informasi kemampuan setiap kelompok. Hasil akhir setiap peserta didik adalah penggabungan keduanya dan dibagi dua. Setiap anggota kelompok memiliki nilai yang sama dengan kelompoknya. Hal ini disebabkan nilai kelompok merupakan hasil kerja sama dari setiap anggota kelompok. 4) Pengakuan tim Pengakuan tim (team rocognition) adalah penetapan tim yang dianggap paling menonjol atau tim yang paling berprestasi untuk kemudian diberikan penghargaan atau hadiah. Pengakuan dan
40
pemberian pengahargaan tersebut diharapkan dapat memotivasi tim lain untuk lebih mampu meningkatkan prestasi mereka. c. Keunggulan dan Kelemahan Pembelajaran Kooperatif 1) Keunggulan Pembelajaran Kooperatif Sanjaya
(2009:
249-250)
menyatakan
keunggulan
pembelajaran kooperatif antara lain: a) Peserta didik tidak terlalu bergantung pada guru, akan tetapi dapat menambah kepercayaan kemampuan berpikir sendiri, menemukan informasi dari berbagai sumber, dan belajar dari peserta didik yang lain. b) Dapat mengembangkan kemampuan mengungkapkan ide atau gagasan dengan kata-kata secara verbal dan membandingkannya dengan ide-ide orang lain. c) Dapat membantu anak untuk menghormati orang lain dan menyadari akan segala keterbatasannya serta menerima segala perbedaan. d) Dapat membantu memberdayakan setiap peserta didik untuk lebih bertanggung jawab dalam belajar. e) Merupakan suatu strategi yang cukup ampuh untuk meningkatkan prestasi akademik sekaligus kemampuan sosial, termasuk mengembangkan rasa harga diri, hubungan interpersonal yang positif dengan yang lain, mengembangkan keterampilan memanage waktu, dan sikap positif terhadap sekolah.
41
f) Dapat mengembangkan kemampuan peserta didik untuk menguji ide dan pemahamannya sendiri, memerima umpan balik. Peserta didik dapat berpraktik memecahkan masalah tanpa takut membuat kesalahan, karena keputusan yang dibuat adalah tanggung jawab kelompoknya. g) Dapat meningkatkan kemampuan peserta didik menggunakan informasi dan kemampuan belajar abstrak menjadi nyata (riil). h) Interaksi selama kooperatif berlangsung dapat meningkatkan motivasi dan memberikan rangsangan untuk berpikir. Hal ini berguna untuk proses pendidikan jangka panjang. 2) Kelemahan Pembelajaran Koorperatif Selain keunggulan pembelajaran kooperatif, Sanjaya (2009: 250-251) juga mengungkapkan keterbatasan pembelajaran koperatif, yaitu: a) Untuk peserta didik yang dianggap memiliki kelebihan, contohnya meraka akan merasa terhambat oleh peserta didik yang dianggap kurang memiliki kemampuan. Akibatnya, keadaan semacam ini dapat mengganggu iklim kerja sama dalam kelompok. b) Ciri utama dari pembelajaran koorperatif adalah bahwa peserta didik saling membelajarkan. Oleh karena itu, jika tanpa peer teaching yang efektif, maka dibandingkan dengan pengajaran langsung dari guru, bisa terjadi cara belajar yang demikian, apa
42
yang seharusnya dipelajari dan dipahami tidak pernah dicapai oleh peserta didik. c) Penilaian diberikan dalam pembelajaran koorperatif didasarkan kepada hasil kerja kelompok. Namun demikian, guru perlu menyadari bahwa sebenarnya hasil atau prestasi yang diharapkan adalah prestasi setiap peserta didik. d) Keberhasilan
pembelajaran
koorperatif
dalam
upaya
mengembangkan kesadaran berkelompok memerlukan periode waktu yang cukup panjang. Hal ini tidak mungkin tercapai hanya dengan satu kali atau sekali- sekali penerapan strategi ini.
7. Numbered Head Together (NHT) Numbered Head Together (NHT) atau penomoran berpikir bersama menurut Trianto (2009: 82) merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi peserta didik dan sebagai alternatif terhadap srtuktur kelas tradisional. Numbered Head Together (NHT) pertama kali dikembangkan oleh Spenser Kagen (1993) untuk melibatkan lebih banyak peserta didik dalam menelaah materi yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut. Selain itu Slavin (2008: 256) juga menyatakan bahwa metode NHT ini cocok untuk menambahkan akuntabilitas atau tanggung jawab individu dalam diskusi kelompok. Saefuddin (2014: 144) mengemukakan bahwa dalam pelaksanaan metode
43
NHT, peserta didik diajak untuk berkompetisi mewakili kelompoknya. Mereka belajar bersama dalam kelompok, berdiskusi dan saling memintarkan tentang materi yang sedang dipelajari. Masing-masing peserta didik diberi atribut dengan nomor. Setiap peserta didik harus dapat menjawab kuis secara individual namun harus bertanggung jawab dalam perolehan skor kelompok. Slavin (2005: 245) menjabarkan langkah-langkah penerapan NHT yaitu sebagai berikut. a) Guru menyampaikan materi pembelajaran atau permasalahan kepada peserta didik sesuai kompetensi dasar yang akan dicapai. b) Guru memberikan kuis secara individual kepada peserta didik untuk mendapatkan skor dasar atau awal. c) Guru membagi kelas dalam beberapa kelompok, setiap kelompok terdiri dari 4-5 peserta didik, setiap anggota kelompok diberi nomor atau nama. d) Guru mengajukan permasalahan untuk dipecahkan bersama dalam kelompok. e) Guru mengecek pemahaman peserta didik dengan menyebut salah satu nomor (nama) anggota kelompok untuk menjawab. Jawaban dari salah satu peserta didik yang ditunjuk oleh guru merupakan wakil jawaban dari kelompok. f)
Guru memfasilitasi peserta didik dalam membuat rangkuman, mengarahkan, dan memberikan penegasan pada akhir pembelajaran.
44
g) Guru memberikan tes/ kuis kepada peserta didik secara individual. h) Guru memberi penghargaan pada kelompok melalui skor penghargaan berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individu dari skor dasar ke skor kuis berikutnya. Lebih ringkasnya, Trianto (2009: 82) menyatakan struktur empat fase sintaks NHT yaitu penomoran, mengajukan pertanyaan, berpikir bersama, dan menjawab. a) Fase 1: Penomoran Dalam fase ini guru membagi peserta didik ke dalam kelompok 3-5 orang dan kepada setiap anggota kelompok diberi nomor antara 1 sampai 5. b) Fase 2: Mengajukan pertanyaan Guru mengajukan sebuah pertanyaan kepada peserta didik. Pertanyaan dapat bervariasi. Pertanyaan dapat amat spesifik dan dalam bentuk kalimat tanya. c) Fase 3: Berpikir bersama Peserta didik menyatukan pendapatnya terhadap jawaban pertanyaan itu dan meyakinkan tiap anggota dalam timnya mengetahui jawaban tim. d) Fase 4: Menjawab Guru memanggil nomor tertentu kemudian peserta didik yang nomornya sesuai mengacungkan tangannya dan mencoba untuk menjawab pertanyaan untuk seluruh kelas.
45
8. Materi Hukum Newton dan Penerapannya a. Gaya Dalam bahasa sehari-hari, gaya (force) berarti tarikan atau dorongan. Konsep gaya memberikan gambaran kuantitatif tentang interaksi dua benda atau antara benda dengan lingkungannya. Apabila sebuah gaya melibatkan kontak langsung antara dua buah benda, disebut dengan gaya kontak (contact force). Yang termasuk gaya kontak adalah dorongan atau tarikan yang dilakukan oleh tangan sendiri, gaya pada sebuah tali yang menarik sebuah balok yang terikat pada tali tersebut, dan gaya gesekan yang dikerahkan oleh tanah kepada seorang pemain baseball yang meluncur ke posisinya. Terdapat juga gaya jarak jauh (long-range force), yang tetap bekerja meskipun benda-benda tersebut terpisah oleh ruang yang kosong. Gaya jarak jauah yang sering dijumpai adalah ketika bermain dengan sepasang magnet. Gravitasi juga termasuk jenis gaya jarak jauh, matahari memberikan gaya tarik gravitasinya terhadap bumi, sehingga bumi tetap pada orbitnya. Gaya tarik gravitasi oleh bumi terhadap sebuha benda dinamakan berat (weight) dari benda tersebut. Gaya adalah besaran vektor, maka untuk menggambarkan sebuah gaya, perlu menggambarkan arah gaya yang bekerja dan menentukan besarnya, yaitu besaran yang menggambarkan “seberapa banyak” atau “seberapa kuat” gaya tersebut bekerja. Satuan internasional untuk
46
besar dari gaya adalah newton, disingkat N. Instrumen yang biasa digunakan untuk mengukur gaya-gaya adalah neraca pegas. Apabila beberapa gaya diterapkan pada satu titik di permukaan sebuah benda, pengaruhnya akan sama dengan sebuah gaya yang merupakan penjumlahan dari vektor gaya-gayanya. Prinsip penting ini kemudian dinamakan sebagai superposisi gaya-gaya. Gaya total (net force) yang beraksi pada benda, jika gaya-gaya diberi label ⃗⃗⃗ ⃗⃗⃗ ⃗⃗⃗ , dan seterusnya, penjumlahan tersebut disingkat menjadi ⃗
⃗⃗⃗
di mana ∑
⃗⃗⃗
⃗⃗⃗
∑
(1-1)
adalah jumlah vektor gaya-gaya atau gaya total.
Komponen dari persamaan (1-1) merupakan pasangan dari persamaan ∑
komponen di mana ∑ ∑
∑
,
adalah jumlah dari komponen gaya ke arah sumbu x dan
adalah jumlah dari komponen gaya ke arah sumbu y.
Apabila kita memiliki dari gaya total ⃗
∑
dan
, kita dapat mencari besar dan arah
yang bekerja pada benda. Besarnya dalah
√
(1-2)
(Young & Freedman, 2002: 93-95).
47
b. Hukum Pertama Newton Hukum pertama Newton tentang gerak yaiyu: “Sebuah benda yang kepadanya tidak bekerja suatu gaya total akan bergerak degan kecepatan konstan (yang nilaianya bisa saja nol) dan percepatan nol” (Young & Freedman, 2002: 96). Kecenderungan dari sebuah benda untuk tetap bergerak begitu benda tersebut mulai bergerak terjadi akibat suatu sifat yang dinamakan inersia (inertia). Dalam hukum pertama Newton gaya yang terjadi adalah gaya total. Sebagai contoh, sebuah buku fisika pada saat diam di atas meja datar akan memiliki dua gaya yang bekerja padanya, yaitu gaya ke bawah akibat dari gaya tarik bumi (merupakan gaya jarak jauh yang terjadi meskipun permukaan meja terangkat di atas tanah) dan gaya dorong ke atas oleh permukaan meja (sebagai gaya kontak). Dorongan ke atas dari permukaan hanyalah sebesar gaya tarik ke bawah akibat gravitasi, jadi gaya total yang dialami buku (yaitu penjumlahan vektor dari dua gaya) adalah nol. Sesuai dengan hukum pertama Newton, jika buku pada permukaan meja dalam keadaan diam, maka buku akan tetap diam. Prinsip yang sama diterapkan pada sebuah keping hoki yang meluncur pada permukaan datar yang licin (tanpa gesekan). Penjumlahan vektor dari gaya dorong ke atas oleh permukaan dan gaya tarik ke bawah oleh gravitasi adalah nol. Pada saat keping sedang bergerak, keping akan tetap bergerak dengan kecepatan tetap karena
48
gaya total yang dialaminya adalah nol. Gaya topang ke atas dari permukaan disebut gaya nornal karena arahnya normal atau tegak lurus terhadap permukaan yang bersentuhan. Pada suatu kasus diberikan gaya kedua ⃗⃗⃗ yang besarnya sama dengan ⃗⃗⃗ tetapi arahnya berlawanan. Kedua gaya saling negatif satu dengan yang lain, yaitu ⃗⃗⃗
⃗⃗⃗⃗ dan penjumlahan vektornya sama
dengan nol: ∑
⃗⃗⃗
⃗⃗⃗
⃗⃗⃗
( ⃗⃗⃗ )
Sekali lagi didapatkan bahwa benda yang pada awalnya diam, akan tetap diam; jika pada awalnya bergerak, akan tetap bergerak dengan arah yang sama dan kecepatan tetap. Hasil ini menunjukkan bahwa dalam hukum pertama Newton, gaya total yang sama dengan nol adalah sama dengan tidak ada gaya sama sekali. Pada saat sebuah benda tidak dikenai gaya, atau dikenai beberapa gaya yang hasil penjumlahan vektornya sama dengan nol, kita katakan bahwa benda tersebut berada dalam kesetimbangan (equilibrium). Pada kesetimbangan, sebuah benda dapat diam atau bergerak pada garis lurus dengan kecepatan tetap. Untuk sebuh benda dalam kesetimbangan, gaya total adalah nol ∑
(benda dalam kesetimbangan).
(1-3)
49
Supaya persamaan di atas benar, maka masing-masing komponen dari gay atotal harus sama dengan nol, jadi ∑
∑
(benda dalam kesetimbangan).
(1-4)
(Young & Freedman, 2002: 96-97) c. Hukum Kedua Newton Dalam hukum pertama Newton, benda yang digerakkan pada keadaan tanpa gaya atau gaya total sama dengan nol, benda tersebut akan bergerak dengan kecepatan konstan dan tanpa percepatan. Apa yang terjadi bila gaya total tidak sama dengan nol? Gaya total tidak sama dengan nol yang bekerja pada sebuah benda menyebabkan benda mengalami percepatan. Arahnya sama dengan arah gaya total. Jika besar gaya total tidak berubah atau konstan, maka besar percepatan yang dialami benda juga konstan. Pada sebuah benda, perbandingan |∑ | antara besar gaya total dengan besar
| | percepatan adalah
konstan, yang kita sebut sebagai massa inersia, atau massa dari benda dan dinotasikan dengan m. Yaitu |∑ |
|∑ |
, atau
.
Hukum kedua Newton tentang gerak yaitu: “Jika suatu gaya total bekerja pada sebuah benda, maka benda akan mengalami percepatan. Arah percepatan tersebut sama dengan arah gaya total. Vektor gaya total sama dengan massa benda dikalikan dengan percepatan benda” (Young & Freedman, 2002: 101). Dalam bentuk persamaan matematis yaitu: ∑
(1-5)
50
Besarnya gaya sebanding dengan laju kuantitas gerak, dirumuskan sebagai berikut. (1-6) Pernyataan alternatifnya adalah bahwa percepatan benda (perubahan kecepatan rata-rata) sama dengan jumlah (resultan) vektor dari semua gaya yang bekerja pada benda, dibagi dengan massanya. Percepatan memiliki arah yang sama dengan gaya total. Ada empat aspek dari hukum kedua Newton yang patut mendapat perhatian khusus. Pertama, persamaan (1-5) merupakan persamaan vektor. Biasanya akan digunakan dalam bentuk komponen, dengan memisahkan persamaan untuk masing-masing komponen gaya dan percepatan yang berhubungan: ∑
∑
∑
.
(1-7)
Kedua, pernyataan hukum kedua Newton berhubungan dengan gaya luar. Dengan ini kita merata-ratakan gaya tekan sebuah benda terhadap benda lain dalam lingkungannya. Ketiga, persamaan (1-5) dan (1-7) berlaku hanya jika massa m konstan. Mudah untuk menyebutkan sebuah sistem yang massanya berubah, misalnya kebocoran tangki truk, sebuah roket, dan kereta yang bergerak pada rel yang sedang dimuati batu bara. Tetapi sistem semacam itu lebih baik ditangani dengan menggunakan konsep momentum.
51
Terakhir, hukum kedua Newton berlaku hanya dalam kerangka acuan inersia, seperti pada hukum pertama. Dengan demikian hukum ini tidk berlaku dalam kerangka acuan kendaraan yang mengalami percepatan seperti sepeda motor performa tinggi; relatif terhadap beberapa kerangka tersebut, penumpang mengalami percepatan walaupun gaya total yang bekerja pada penumpang sama dengan nol. (Young & Freedman, 2002: 102) d. Hukum Ketiga Newton Gaya yang bekerja pada benda selalu merupakan hasil interaksi dengan benda lain, sehingga gaya selalu berpasangan. Seseorang tidak dapat menarik gagang pintu tanpa menyebabkan gagang itu menarik orang tersebut dalam arah yang sebaliknya. Ketika menendang bola, gaya dari kaki pada bola meluncurkan bola dalam lintasan peluru. Tetapi orang yang menedang juga merasa gaya pada bola menekan kakinya. Jika menedang batu besar, sakit yang dirasakan adalah pengaruh gaya yang diberikan batu besar tersebut pada kaki. Pada masing-masing kasus, gaya yang diberikan pada benda berlawanan arah dengan gaya yang diberikan benda pada orang atau pelaku.
Percobaan
menunjukkan
bahwa
ketika
dua
benda
bersentuahan, dua buah gaya yang mereka berikan satu sama lain selalu memiliki besar yang sama dan arah yang berlawanan. Ini disebut hukum ketiga Newton tentang gerak.
52
A FA pada B = - FB pada A FA pada B
FB pada A
B
Gambar 2.2. Diagram pelukisan hukum ketiga Newton tentang aksi reaksi Pada gambar 2.4, terdapat dua buah benda, yaitu benda A dan benda B. ⃗⃗⃗
adalah gaya yang diberikan oleh benda A pada
benda B, dan ⃗⃗⃗
adalah gaya yang diberikan oleh benda B pada
benda A. Gaya yang diberikan oleh kedua benda tersebut besarnya sama, tetapi arahnya berlawanan. Pernyataan matrmatis untuk hukum ketiga Newton adalah ⃗⃗⃗
⃗⃗⃗
.
(1-7)
Diungkapkan dalam kalimat, “Jika benda A memberikan gaya pada benda B (aksi), maka benda B akan memberikan gaya pada benda A (reaksi). Kedua gaya ini memiliki besar yang sama tetapi arah yang berlawanan. Kedua gaya ini bekerja pada benda yang berbeda” (Young & Freedman, 2002: 107). Pada pernyataan ini, “aksi” dan “reaksi” merupakan dua gaya yang berlawanan dan dihubungkan sebagai pasangan aksi reaksi. Ini bukan berarti menerapkan semua hubungan sebab-akibat. Dapat dianggap sebuah gaya sebagai “aksi” dan gaya lain sebagai “reaksi”. Dalam istilah sederhana, gaya-gaya tersebut dapat dikatakan “sama dan berlawanan”, yang berarti bahwa mereka memiliki besar yang
53
sama dengan arah yang berlawanan. Kita pertegas bahwa dua gaya yang digambarkan pada hukum ketiga Newton bekerja pada benda yang berbeda. Gaya aksi dan reaksi adalah gaya kontak yang terjadi jika kedua benda bersentuhan. Tetapi hukum ketiga Newton juga berlaku untuk gaya jarak jauh yang tidak harus terjadi sentuhan pada benda, seperti gaya tarik gravitasi. Bola tenis menghasilkan gaya gravitasi ke atas pada bumi yang besarnya sama dengan besar gaya gravitasi ke bawah oleh bumi pada bola (Young & Freedman, 2002: 107). e. Penerapan Hukum-Hukum Newton 1) Gaya Berat Berat dari sebuah benda lebih dikenal sebagai gaya. Berat adalah gaya tarik gravitasi bumi pada benda. Istilah massa dan berat dalam percakapan sehari-hari sering salah digunakan dan saling tertukar. Massa menunjukkan sifat inersia dari benda. Lebih besar massa, maka lebih besar pula gaya yang dibutuhkan untuk menimbulkan percepatan yang diinginkan; hal ini ditunjukkan dalam hukum kedua Newton ∑
. Sebaliknya, berat adalah
sebuah gaya yang bekerja pada sebuah benda sebagai tarikan oleh bumi atau benda besar lainnya. Benda yang jatuh bebas memiliki sebuah percepatan g dan karena hukum kedua Newton, sebuah benda harus bekerja untuk menghasilkan percepatan. Tetapi gaya yang menyebabkan benda
54
mendapatkan percepatan ke bawah adalah tarikan gravitasi dari bumi, yaitu berat benda. Setiap orang yang dekat dengan permukaan bumi yang memiliki massa 1 kg pasti memiliki berat 9,8 N untuk mendapatkan percepatan seperti yang diamati pada saat benda jatuh bebas. Lebih umum lagi, sebuah benda dengan massa m pasti memiliki berat yang besarnya w yaitu: .
(1-8)
Berat sebuah benda adalah sebuah gaya, sebuah besaran vector, maka persamaan vektornya sebagai berikut. ⃗⃗ g adalah besar dari
.
(1-9)
, percepatan dari gravitasi, jadi g selalu
bernilai positif, sesuai definisinya. Dengan demikian, w adalah besar dari berat dan selalu positif. (Young & Freedman, 2002: 104105). 2) Gaya Normal Gaya Normal (N) didefinisikan sebagai gaya yang bekerja pada benda, dan berasal dari bidang tumpu. Arahnya selalu tegak lurus pada bidang tumpu. Gaya normal N bekerja pada bidang sentuh antara 2 benda yang saling bersentuhan dan arahnya selalu tegak lurus pada bidang sentuh. Jika bidang sentuh antara dua benda adalah horizontal arah gaya normal N adalah vertikal (Kanginan, 2013: 169).
55
Jika seseorang berdiri di atas matras, Bumi akan menariknya ke bawah tetapi orang tersebut tetap diam. Alasannya karena matras yang bentuknya berubah karena orang yang berdiri di atasnya, mendorong orang tersebut ke atas. Sama halnya seperti ketika seseorang berdiri di atas lantai, lantai akan mengalami perubahan bentuk (lantai akan tertekan, bengkok, atau melengkung walaupun hanya sedikit) dan mendorong orang tersebut ke atas. Bahkan lantai yang kelihatan sangat keras pun melakukan hal ini. Dorongan yang bekerja pada orang yang berdiri di atas matras atau lantai disebut gaya normal
.
Penyebutan tersebut diperoleh dari
istilah metematika normal, yang berarti tegak lurus. Gaya yang bekerja pada orang dari lantai adalah tegak lurus terhadap lantai (Halliday, 2010: 107). 3) Gaya Gesekan Ketika meluncurkan atau berusaha untuk meluncurkan sebuah benda di atas suatu permukaan, gerakan akan tertahan oleh gesekan antara benda dan permukaan. Tahanan ini dianggap sebagai gaya tunggal ⃗ , yang disebut gaya gesek atau cukup dengan gesekan saja. Gaya ini diarahkan sepanjang permukaan, berlawanan arah dengan arah pergerakan benda (Gambar 2.5). Kadang-kadang untuk menyederhanakan keadaan, gesekan dapat diabaikan (permukaan dikatakan tanpa gesekan) (Halliday, 2010: 107).
56
Arah usaha pergerakan
⃗𝑓
Gambar 2.3. Gaya gesek ⃗ yang melawan usaha pergerakan suatu benda di atas sebuah permukaan Gaya gesek antara dua permukaan yang saling diam satu terhadap yang lain disebut gaya gesek statis (static friction). Gaya gesek statis maksimum sama dengan gaya terkecil yang dibutuhkan agar benda mulai bergerak. Gaya gesek yang bekerja antara dua permukaan yang saling bergerak relatif disebut gaya gesek kinetik (kinetic friction) (Halliday, 2009: 144)
4) Gaya Tegang Tali ⃗ 𝑇
⃗ 𝑇
⃗𝑇 ⃗𝑇
P
⃗𝑇
a)
⃗𝑇
b)
⃗𝑇
⃗𝑇 ⃗
c)
Gambar 2.4. a) Tali ditarik dengan kuat hingga berada dalam keadaan tegang. Jika massa tali diabaikan, tali menarik benda dan tangan dengan gaya ⃗ , bahkan jika tali melewati sebuah katrol tak bermassa dan tanpa gesekan seperti pada b) dan c). Ketika sebuah kawat, tali, atau kabel diikatkan pada benda dan ditarik, kawat menarik benda dengan gaya ⃗⃗ yang arahnya menjauhi benda dan diarahkan sepanjang kawat (Gambar 2-6a).
57
Gaya ini sering disebut (tension force) karena kawat dikatakan benda dalam keadaan tegang (atau berada dalam ketegangan), yang berarti bahwa kawat sedang ditarik menegang. Tegangan pada kawat adalah magnitude gaya T pada benda. Kawat seringkali disebut tidak bermassa (yang berarti massanya dapat diabaikan dibandingkan dengan massa benda) dan tidak dapat meregang. Kawat hanya ada sebagai penghubung antara dua benda. Kawat menarik kedua benda dengan magnitude gaya T yang sama, bahkan jika benda dan kawat mengalami percepatan dan bahkan jika kawat bergerak melalui roda katrol tidak bermassa dan tidak mempunyai gesekan (Gambar 2-6 b, c). Katrol seperti itu mempunyai massa yang dapat diabaikan pada poros yang menghambat rotasinya. Jika kawat membelit setengah roda katrol, seperti pada Gambar 2-6 c, maka gaya neto pada katrol dari kawat mempunyai magnitude 2T. (Halliday, 2010: 108).
B. Penelitian yang Relevan 1.
Penelitian
yang
dilakukan
oleh
Nurdin
Fatahilah
tahun
2013.
Menghasilkan instrumen penilaian afektif melalui peer assessment dalam pembelajaran fisika menggunakan model cooperative learning tipe jigsaw dengan tujuh aspek afektif beserta rubriknya untuk penilaian kelompok ahli dan delapan aspek beserta rubriknya untuk penilaian kelompok asal. Nilai validitas instrumen penilaian afektif melalui peer assessment
58
menurut penilaian ahli memiliki skor rerata 3,60 dengan kategori interpretasi mendekati sangat baik. Nilai reliabilitas instrumen penilaian afektif melalui peer assessment yang didaptkan sebesar 88,76% untuk kelompok ahli dan 86,64% untuk kelompok asal. Tingkat ketercapaian aspek afektif siswa menggunakan instrumrn penilaian afektif melalui peer assesment sebesar 3,17 dengan interpretasi mendekati baik untuk kelompok ahli dan 3,49 dengan interpretasi mendekati baik untuk kelompok asal. 2.
Penelitian yang dilakukan oleh Rian Hermawan Andrianto tahun 2014. Menghasilkan instrument performance assessment pada pembelajaran fisika dengan menggunakan model cooperative learning tipe STAD berupa instrumen penilaian afektif dan instrumen penilaian psikomotor siswa. Nilai validitas instrumen performance assessment menurut penilaian ahli sebesar 3,5 dengan kategori sangat baik untuk instrumen penilaian aspek afektif dan 3,1 dengan kategori baik untuk instrumen penilaian aspek psikomotor yang layak digunakan. Tingkat ketercapaian aspek afektif dan psikomotor siswa menggunakan instrumen performance assessment sebesar 89,25% dengan interpretasi sangat baik untuk aspek afektif dan 81,17% dengan interpretasi baik untuk asprk psikomotor.
3.
Penelitian yang dilakukan oleh Fitria Wahyu Pinilih, Rini Budiharti, dan Elvin Yusliana Ekawati tahun 2013, halaman 23-27. Menghasilkan simpulan sebagai berikut, tahap analisis dilakukan analisis kebutuhan dan studi literatur tentang penilaian produk, pada tahap perencanaan dilakukan
59
perencanaan produk dan penyusunan draft instrumen penilaian produk. Tahap penyusunan draft instrumen penilaian dilakukan penelitian skala kecil untuk mengetahui sub aspek yang muncul dari penilaian berbasis produk. Tahap pengembangan dilakukan penyempurnaan terhadap draft yang telah disusun pada langkah sebelumnya berdasarkan saran, kritik, dan komentar dari reviewer dan peer reviewer. Tahap terakhir yaitu evaluasi dilakukan 3 kali, yakni uji validitas, uji coba awal, dan uji coba lapangan. Hasil dari penelitian ini yaitu instrumen penilaian produk yang terdiri dari 3 aspek yaitu aspek perencanaan, proses, dan pelaporan (penilaian), dan 19 sub aspek. Instrumen penilaian produk memiliki pembobotan 40% pada tahap perencanaan, 30% pada tahap proses, dan 30% pada tahap pelaporan (penilaian). Skoring pada instrumen ini menggunakan skala Likert yaitu bernilai 1-5. Kevalidan instrumen penilaian produk termasuk pada kriteria sangat baik dan memiliki koefisien reliabilitas sebesar 0,98 yang memenuhi kriteria istimewa. Oleh karena itu, instrumen penilaian produk memenuhi kriteria kualifikasi yang baik, valid, dan reliabel sehingga layak digunakan.
C. Kerangka Berpikir Pembelajaran fisika di tingkat sekolah menengah atas masih banyak yang menggunakan metode ceramah dalam penerapannya. Penerapan metode ceramah yang sering digunakan oleh guru tersebut berakibat pada rendahnya tingkat keaktifan dan keterampilan peserta didik. Dalam proses pembelajaran,
60
terdapat tiga hal yang penting, yaitu tujuan, proses, dan hasil belajar. Hasil belajar berkaitan dengan penilaian terhadap peserta didik. Penilaian peserta didik di tingkat sekolah menengah atas mencakup tiga aspek, yaitu sikap (afektif), pengetahuan (kognitif), dan keterampilan (psikomotorik). Metode ceramah yang diterapkan guru dalam proses pembelajaran belum dapat dijadikan landasan untuk menilai aspek afektif dan psikomotorik, sehingga guru kesulitan melakukan penilaian terhadap kedua aspek tersebut. Selain itu, hal-hal yang berkaitan dengan penilaian aspek afektif dan psikomotorik masih kurang mendapatkan perhatian. Penilaian aspek afektif dan psikomotorik dalam penelitian ini dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung menggunakan metode pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together. Penilaian aspek afektif menggunakan daftar cek atau check list dan penilaian aspek psikomotorik menggunakan skala penilaian atau rating scale. Berdasarkan uraian di atas adanya instrumen penilaian aspek afektif dan psikomotorik ini dapat mempermudah guru dalam melakukan penilaian terhadap peserta didik, serta dapat menyajikan informasi hasil belajar peserta didik aspek afektif dan psikomotorik.
61
Produk
Instrumen penilaian aspek afektif dan psikomotorik dalam pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together yang layak untuk proses pembelajaran fisika pada pokok bahasan hukum Newton dan penerapannya.
Model pembelajaran yang dapat meningkatkan keaktifan dan keterampilan peserta didik. Kondisi Pembelajaran
Instrumen penilaian yang mampu mengukur keaktifan dan keterampilan peserta didik.
Rendahnya tingkat keaktifan dan keterampilan peserta didik selama proses pembelajaran Permasalahan
Solusi
Metode ceramah yang diterapkan guru belum dapat dijadikan landasan untuk menilai aspek afektif dan psikomotorik, sehingga guru kesulitan melakukan penilaian terhadap kedua aspek tersebut. Selain itu, halhal yang berkaitan dengan penilaian aspek afektif dan psikomotorik masih kurang mendapatkan perhatian.
Pembelajaran fisika di tingkat sekolah menengah atas masih banyak yang menggunakan metode ceramah dalam penerapannya.
Gambar 2.5. Bagan Kerangka Berpikir
62
D. Pertanyaan Penelitian 1. Apa saja aspek, sub aspek, dan indikator yang diukur dalam penilaian peserta didik aspek afektif yang dikembangkan dalam penelitian ini? 2. Berapa butir pernyataan penilaian aspek afektif peserta didik yang dikembangkan dalam penelitian ini? 3. Berapa butir pernyataan penilaian aspek psikomotorik peserta didik yang dikembangkan dalam penelitian ini? 4. Apa saja aspek, sub aspek, dan indikator yang diukur dalam penilaian peserta didik aspek psikomotorik yang dikembangkan dalam penelitian ini? 5. Bagaimana validitas instrumen penilaian aspek afektif maupun aspek psikomotorik yang dikembangkan dalam penelitian ini? 6. Bagaimana reliabilitas instrumen penilaian aspek afektif maupun aspek psikomotorik yang dikembangkan dalam penelitian ini? 7. Bagaimana hasil persentase kategori sikap peserta didik berdasarkan penilaian aspek afektif pada materi hukum Newton dan penerapanya yang dikembangkan dalam penelitian ini? 8. Bagaimana
hasil
persentase
kategori
keterampilan
peserta
didik
berdasarkan penilaian aspek psikomotorik pada materi hukum Newton dan penerapanya yang dikembangkan dalam penelitian ini?
63