BAB I PENDAHULUAN Infeksi virus hepatitis C merupakan salah satu penyebab utama penyakit hati kronik.1 Prevalensinya terus meningkat, dan diperkirakan saat ini terdapat lebih dari 184 juta penderita hepatitis C di seluruh dunia. Prevalensi hepatitis C di Indonesia dan beberapa negara Asia Tenggara lainnya sebesar 2%, dan termasuk dalam negara dengan prevalensi sedang.2 Pasien dengan penyakit ginjal kronik (PGK) memiliki prevalensi infeksi hepatitis C yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum. Pasien hemodialisa termasuk dalam resiko tinggi tertular virus hepatitis C, dengan prevalensi yang sangat bervariasi antara 1% hingga 70% di seluruh dunia.3 Beberapa faktor resiko yang berkaitan dengan infeksi virus hepatitis C pada penyakit ginjal kronik yaitu durasi hemodialisa, riwayat transplantasi dan transfusi darah tanpa pemeriksaan penapisan virus hepatitis C.4 Karsinoma hepatoselular dan sirosis hati merupakan faktor yang berperan terhadap meningkatnya mortalitas pada pasien penyakit gagal ginjal kronik dengan infeksi virus hepatitis C yang menjalani hemodialisis dibandingkan yang tidak terinfeksi.5-7 Pemberian terapi hepatitis C kronik pada pasien kandidat transplantasi ginjal juga dapat mengurangi insiden diabetes pasca transplantasi, glomerulonefritis berulang, dan chronic allograft nephropathy.8 Kombinasi pegylated interferon dan ribavirin telah menjadi standar pengobatan pasien dengan hepatitis C kronik. Rejimen ini menghasilkan SVR 70-80% pada pasien genotipe 2 atau 3 dan sebesar 45-70 % pada genotipe lainnya.9 Walaupun demikian, panduan terapi merekomendasikan monoterapi interferon sebagai terapi utama hepatitis C pada pasien dengan hemodialisa. Hal ini disebabkan oleh kekhawatiran terkait akumulasi dan toksisitas (anemia hemolitik) dari ribavirin yang dapat memperberat masalah anemia pada penyakit ginjal kronik.8 Penulisan laporan ini bertujuan untuk mencari bukti-bukti ilmiah mengenai efikasi dan keamanan terapi kombinasi pegylated interferon dan ribavirin dibandingkan monoterapi pegylated interferon pada pasien penyakit ginjal kronik dengan hemodialisa.
1
BAB II ILUSTRASI KASUS Laki-laki 33 tahun dengan keluhan perut membuncit sejak 2 bulan SMRS, disertai muntah darah dan buang air besar hitam berulang. Pasien telah diagnosa penyakit ginjal kronik dan rutin menjalani hemodialisa sejak dua tahun yang lalu Hemodialisa dilakukan dua kali seminggu selama 4 jam, namun sejak dua bulan yang lalu hanya selama 1 jam akibat hemoglobin rendah.Pasien beberapa kali mendapatkan transfuse darah saat hemodialisa. Pasien didiagnosis hepatitis C setelah pasien menjalani hemodialisa. Pasien belum pernah mendapatkan terapi hepatitis C dan terapi anemia dengan eritropoetin. Pada pemeriksaan fisik hemodinamika stabil, dan pada pemeriksaan abdomen didapatkan shifting dullness positif. Tanda-tanda stigmata sirosis tidak ditemukan. Pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 8,8 gr/dl, leukosit 11.100/μL, trombosit 278.000/μL, ureum 186 mg/dl, creatinin 12 mg/dl, albumin 2,9 gr/dl, globulin 3,3 gr/dl, SGOT 19 U/L, SGPT 20 U/L, PT 12,6 detik, bilirubin total 0,86 mg/dl, anti HCV reaktif, HBsAg non reaktif, dan anti HIV non reaktif. Pemeriksaan ultrasonografi abdomen didapatkan gambaran asites, penyakit hati kronik, dan penyakit ginjal kronik. Pemeriksaan esofago Gastro Duodenoscopy (EGD) didapatkan esofagitis grade D, pangastritis dengan ulkus gaster multiple, duodenitis.
2
BAB III METODE PENELUSURAN Masalah Klinis Apakah pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisa, terapi hepatitis C kronik dengan menggunakan kombinasi pegylated interferon dan ribavirin memberikan efikasi dan keamanan yang lebih baik dibandingkan monoterapi peylated interferon? Pasien
Intervensi
Penyakit ginjal kronik hemodialisa dengan
Pegylated interferon dan
hepatitis C kronik
ribavirin
Perbandingan Pegylated interferon
Keluaran Efikasi Keamanan
Metode penelusuran Prosedur pencarian literatur untuk menjawab masalah klinis tersebut dengan menggunakan MEDLINE. Kata kunci yang digunakan (interferon OR peginterferon) AND ribavirin AND (dialysis OR hemodialysis) AND safety AND efficacy.
3
BAB IV HASIL PENELUSURAN Hasil penelusuran didapatkan 12 artikel, satu artikel diekslusi karena tidak menggunakan bahasa inggris, dua artikel diekslusi karena merupakan review artikel, enam artikel dieksklusi karena tidak melakukan perbandingan. Pada akhirnya dipilih tiga studi yang relevan dengan permasalahan klinis yang akan dicari jawabannya. Ketiga penelitian yang terpilih kemudian dilakukan komparasi (tabel 1) dan penilaian validitas (tabel 2). Tabel 1. Komparasi penelitian. Po-Lin Tseng, dkk10 Judul
Chen-Hua Liu, dkk11
Chen-Hua Liu, dkk12
Efficacy and safety of pegylated
Peginterferon alfa-2a with or
Pegylated interferon alfa-2a
interferon alfa -2b and ribavirin
without low-dose ribavirin for
with or without low-dose
combination therapy versus
treatment naive patients with
ribavirin for treatment-
pegylated interferon monotherapy
hepatitis C virus genotype 2
naive patients with hepatitis
in hemodialysis patients: a
receiving haemodialysis:a
C virus genotype 1
comparison of 2 sequentially
randomised trial
receiving hemodialysis
Po-Lin Tseng, Te-Chuan Chen,
Chen-Hua Liu, Chun-Jen Liu,
Chen-Hua Liu, Chung-Feng
Yu-Shu Chien, dkk
Chung-Feng Huang, dkk
Huang, Chun-Jen Liu
Am J Kidney Dis.
Gut. 2014 Apr 19
Ann Intern Med.
treated cohorts. Penulis
Publikasi
2013;62(4):789-795 Jumlah
2013;159:729-738.
52 pasien
172 pasien
205 pasien
sampel
Tabel 2.Penilaian validitas penelitian. Criteria
Artikel
Validitas
Randomized
All patients
Blinding
accounted for
Equal
The groups are similar
treatment
at the start of trial
its conclusion Po-Lin Tseng, dkk10
---
+
---
+
+
Chen-Hua Liu, dkk11
+
+
---
+
+
Chen-Hua Liu, dkk12
+
+
---
+
+
4
Po-Lin Tseng dkk10, melakukan dua penelitian kohort prospektif berurutan. Pada penelitian fase pertama menggunakan 26 pasien mendapatkan monoterapi peginterferon alfa-2b 1 μg/kg/minggu dan pada penelitian fase kedua 26 pasien yang berbeda mendapatkan kombinasi terapi 1 μg/kg/minggu dan ribavirin 200 mg tiga kali seminggu. Durasi terapi 24 minggu untuk non genotip 1 dan 48 mingggu untuk genotip 1. Dosis peginterferon dan ribavirin disesuaikan sesuai protocol berdasarkan dengan nilai hitung netrofil, trombosit, dan hemoglobin. Suplementasi eritropoetin diberikan sesuai kadar hemoglobin. Pasien yang mendapatkan terapi kombinasi memiliki sustained viral response (SVR) yang lebih tinggi dibandingkan monoterapi (62% vs 27%, p = 0,01). Efek samping yang paling sering ditemui adalah anemia (< 8 gr/dl; 58% vs 27%, p = 0,03), dan trombositopenia (< 50.000/μL; 61,5% vs 50%, p = 0,5), pada pasien yang mendapatkan kombinasi terapi dibandingkan monoterapi. Angka drop out diantara keduanya tidak terdapat perbedaan yang bermakna (15,4% vs 23%, p = 0,7). Kelemahan dari penelitian ini adalah bukan suatu randomized controlled trial melainkan suatu perbandingan dua kohort. Chen-Hua Liu dkk,11,12 melakukan penelitian terhadap 172 pasien hepatitis C genotip 2 dan 205 pasien hepatitis C genotip 1. Dua penelitian tersebut merupakan penelitian open label randomized controlled trial. Pasien secara acak dibagi dengan perbandingan 1:1 untuk mendapatkan terapi kombinasi pegylated interferon alfa-2a 135 μg/minggu dengan ribavirin 200 mg/hari atau monoterapi pegylated interferon alfa-2a 135 μg/menit. Dosis terapi disesuaikan dengan nilai hitung netrofil, trombosit, dan hemoglobin. Suplementasi eritropoetin diberikan sesuai kadar hemoglobin. Terapi diberikan selama 48 minggu untuk genotip 1 dan 24 minggu untuk genotip 2. Pada pasien genotip 1 kombinasi terapi memilki SVR yang lebih tinggi (64% vs 33%, CI: 1,41 - 2,62; p<0,001) dibandingkan monoterapi pegylated interferon. SVR yang lebih tinggi pada terapi kombinasi juga didapatkan pada genotip 2 (74% vs 44%, CI: 1,29 - 2,20); p<0,001). Pasien dengan terapi kombinasi memiliki kadar hemoglobin < 8,5 gr/dl lebih banyak dibandingkan monoterapi yaitu pada genotip 1(72% vs 6%, CI: 56% - 76%, p<0,001) dan pada genotip 2 (70% vs 8%, CI: 50% - 73%, p<0,001). Angka penghentian terapi terkait efek samping tidak memiliki perbedaan yang bermakna antara kombinasi terapi dengan monoterapi yaitu pada genotip 1 (7% vs 4%, CI: 3% - 9%), dan genotip 2 (6% vs 3%, CI: -4% - 9%).
5
Bukti-bukti yang didapatkan dari ketiga penelitian diatas harus dilakukan penilaian dengan menggunakan tiga buah pertanyaan sebagai berikut: 1. Apakah pasien subjek penelitian serupa dengan pasien pada kita miliki ? Penelitian oleh Chen-Hua Liu dkk,11,12 mengunakan kriteria eksklusi sebagai berikut: hemoglobin <10 gr/dl, hitung netrofil <1,5 x109 sel/L, hitung trombosit <90 x109 sel/L, koinfeksi hepatitis B dan HIV, konsumsi alkohol per hari >20g, sirosis dekompensata, penyakit hati autoimun, penyakit keganasan, terapi imunosupresan, penyalahgunaan obat, kehamilan, penyakit autoimun yang tidak terkontrol, penyakit kardiopulmoner, penyakit neuropsikiatri, diabetes mellitus dengan retinopati, terapi peritoneal dialisis. Penelitian Po-Lin Tseng dkk,10 menggunakan criteria ekslusi sebagai berikut: hitung leukosis <2.000/μL, hitung trombosit <70.000/ μL, koinfeksi hepatitis B dan HIV, penyakit autoimun, gangguan psikatri, penyalahgunaan alcohol atau obat, penyakit kardiopulmoner, atau tidak menggunakan kontrasepsi. Berdasarkan kriteria diatas, pasien dalam kasus tidak serupa karena karena memiliki hemoglobin 8,9 gr/dl. Walaupun penelitian oleh Po-Lin Tseng dkk,10 tidak terdapat criteria ekslusi berdasarkan hemoglobin, namun data demografik didapatkan nilai hemoglobin 12,1 gr/dl pada terapi kombinasi dan 11,3 pada monterapi. Sehingga pasien perlu dilakukan perbaikan kadar hemoglobin dengan pemberian eritopoetin hingga Hb >10 gr/dl jika akan mendapatkan terapi hepatitis C. 2. Apakah semua keluaran yang penting telah dipertimbangkan? Ya. Ketiga penelitian telah melakukan penilaian terhadap efikasi dan keamanan terapi dengan penilaian SVR dan efek samping, serta penghentian terapi terkait efek samping. 3. Apakah manfaat terapi melebihi kemungkinan bahaya dan biaya yang dikeluarkan? Ya. Jika semua pembiayaan terapi dan pemeriksaan laboratorium ditanggung oleh asuransi, pemberian terapi hepatitis C pada pasien penyakit ginjal kronik akan menurunkan mortalitas pasien. Ketiga penelitian mendapatkan efek samping yang sering terjadi adalah anemia dan trombositopeni. Namun dengan penyesuaian dosis dan pemberiaan eritopeotin efek samping tersebut dapat ditangani. Hal ini terbukti dengan angka drop out yang tidak berbeda bermakna antara kombinasi terapi dengan monoterapi.
6
BAB V KESIMPULAN 1. Terapi hepatitis C pada penyakit ginjal kronik dengan hemodialisa menggunakan kombinasi pegylated interferon dan ribavirin memberikan efikasi yang lebih baik, dibandingkan monoterapi pegylated interferon. 2. Terapi kombinasi pegylated interferon dan ribavirin memiliki efek samping yang lebih berat dibandingkan monoterapi. 3. Pemantauan terapi secara ketat, penyesuaian dosis terap dan pemberian terapi eritropoetin sangat diperlukan selama pemberian terapi hepatitis C dengan monoterapi maupun kombinasi terapi.
7
DAFTAR PUSTAKA 1.
European Association for Study of L. EASL Clinical Practice Guidelines: management of hepatitis C virus infection. Journal of hepatology. Feb 2014;60(2):392-420.
2.
Mohd Hanafiah K, Groeger J, Flaxman AD, Wiersma ST. Global epidemiology of hepatitis C virus infection: new estimates of age-specific antibody to HCV seroprevalence. Hepatology. Apr 2013;57(4):1333-1342.
3.
Kidney Disease: Improving Global O. KDIGO clinical practice guidelines for the prevention, diagnosis, evaluation, and treatment of hepatitis C in chronic kidney disease. Kidney international. Supplement. Apr 2008(109):S1-99.
4.
de Jesus Rodrigues de Freitas M, Fecury AA, de Almeida MK, et al. Prevalence of hepatitis C virus infection and genotypes in patient with chronic kidney disease undergoing hemodialysis. Journal of medical virology. Oct 2013;85(10):1741-1745.
5.
Nakayama E, Akiba T, Marumo F, Sato C. Prognosis of anti-hepatitis C virus antibody-positive patients on regular hemodialysis therapy. Journal of the American Society of Nephrology : JASN. Oct 2000;11(10):1896-1902.
6.
Espinosa M, Martin-Malo A, Alvarez de Lara MA, Aljama P. Risk of death and liver cirrhosis in anti-HCV-positive long-term haemodialysis patients. Nephrology, dialysis, transplantation : official publication of the European Dialysis and Transplant Association - European Renal Association. Aug 2001;16(8):1669-1674.
7.
Fabrizi F, Dixit V, Messa P. Impact of hepatitis C on survival in dialysis patients: a link with cardiovascular mortality? Journal of viral hepatitis. Sep 2012;19(9):601607.
8.
Al-Freah MA, Zeino Z, Heneghan MA. Management of hepatitis C in patients with chronic kidney disease. Current gastroenterology reports. Feb 2012;14(1):78-86.
9.
Ozaras R, Yemisen M, Balkan, II. Current and future therapies for hepatitis C virus infection. The New England journal of medicine. Aug 15 2013;369(7):679.
10.
Tseng PL, Chen TC, Chien YS, et al. Efficacy and safety of pegylated interferon alfa2b and ribavirin combination therapy versus pegylated interferon monotherapy in hemodialysis patients: a comparison of 2 sequentially treated cohorts. American journal of kidney diseases : the official journal of the National Kidney Foundation. Oct 2013;62(4):789-795.
8
11.
Liu CH, Liu CJ, Huang CF, et al. Peginterferon alfa-2a with or without low-dose ribavirin for treatment-naive patients with hepatitis C virus genotype 2 receiving haemodialysis: a randomised trial. Gut. Apr 19 2014.
12.
Liu CH, Huang CF, Liu CJ, et al. Pegylated interferon-alpha2a with or without lowdose ribavirin for treatment-naive patients with hepatitis C virus genotype 1 receiving hemodialysis: a randomized trial. Annals of internal medicine. Dec 3 2013;159(11):729-738
9