BAB 1. PENDAHULUAN
Sirosis hati adalah suatu penyakit hati yang ditandai dengan proses fibrosis difus pada hati dan berubahnya struktur hati menjadi nodul abnormal dan menyebabkan gagal hati. Penyakit sirosis ini memiliki banyak komplikasi ke organ lainnya, seperti otak, ginjal, saluran cerna, dan paru. Dengan mortalitas sebesar 50-80% pada pasien dengan gagal hati fulminant, kecuali bila ditolong dengan transplantasi hati.1 Angka kesintasan 5 tahun pada pasien sirosis bergantung dari skor child pugh dan MELD skor. Pasien sirosis dengan skor child pugh C diperkirakan akan meninggal dalam 1 tahun ke depan.1 Dengan adanya transplantasi hati, dapat memperpanjang angka kesintasan dari pasien dengan penyakit hati ini. Dikatakan bahwa dengan transplantasi hati, angka kesintasan 1, 3, dan 5 tahun setelah transplantasi hati adalah 88, 80, dan 75%.2 Namun transplantasi hati itu sendiri merupakan operasi besar dengan resiko dan biaya yang cukup besar. Selain itu, transplantasi hati juga memerlukan ketelitian dan kecocokan dalam menemukan resipien-donor hati. Oleh karena itu, para peneliti mencoba menemukan cara lain untuk menggantikan transplantasi hati tersebut, yaitu dengan transplantasi sel hepatosit. Tujuan dari pencarian literatur berbasis bukti ini adalah untuk melihat bagaimana aplikasi transplantasi hepatosit pada pasien dengan gagal hati.
1
BAB 2. ILUSTRASI KASUS Pasien laki-laki usia 52 tahun datang dengan keluhan utama penurunan kesadaran bertahap sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Awalnya sejak 4 hari SMRS pasien mengeluh badan lemas disertai keringat dingin. Pasien menjadi tidak bisa berjalan karena lemas. Tidak ada keluhan badan lemah sesisi, nyeri kepala, bicara pelo, kejang. Riwayat trauma kepala disangkal. Pasien juga mengalami BAB sulit sejak 5 hari SMRS, frekuensi BAB 3-4 hari sekali. Semakin lama pasien hanya berbaring saja di tempat tidur. Mual dan muntah disangkal. Pasien hanya makan 2-3 sendok saja. Sejak 1 hari SMRS pasien tidak bisa dibangunkan dan akhirnya dibawa ke IGD RSCM. BAK pasien seperti teh sudah sejak lama. Sejak 6 bulan SMRS, pasien diketahui menderita sakit hati akibat hepatitis C, saat itu pasien mengeluh perut buncit dan kaki bengkak. Pasien menderita DM dan hipertensi sejak 1 tahun SMRS. Pasien hingga saat ini rutin mengkonsumsi Lasix, aldactone, Humalog, lantus, dan amlodipine. Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran somnolen, abdomen datar, tidak ada shifting dullness, ada piting edem minimal pada tungkai bilateral. Dari hasil lab didapatkan:
Hb 10.6, Hematokrit 30.6, leukosit 6520, trombosit 156000
PT 13.9/11.2, aPTT: 45.3/33.5
Ureum/creatinin: 75/1.9
SGOT/SGPT: 94/101
Natrium: 135, kalium: 5.66, klorida: 103.4
Albumin/globulin: 2.74/4.66
Bilirubin total/direk/indirek: 2.85/1.35/1.5
HBsAg: non reaktif, anti HCV reaktif Hasil endoksopi menunjukkan varises esophagus grade III dengan gastropati hipertensi
berat. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan laboratorium didapatkan masalah pasien adalah penurunan kesadaran et causa ensefalopati hepatikum grade III, sirosis hati child pugh C dengan hiperbilirubin, varises esophagus, AKI dd/ acute on CKD, diabetes mellitus tipe 2, hipertensi, hepatitis C, anemia. Pasien mendapatkan terapi IVFD comafusin hepar 500 ml/24 jam, diet hati 1700 kkal, hepamerz 1x4 ampul IV drip dalam D5 250 ml, lactulose 3x15 cc
2
po, propranolol 3x10 mg po, amlodipine 1x5 mg po, Humalog 3x10 unit SC, levemir 1x10 unit SC.
PERTANYAAN KLINIS Bagaimana aplikasi transplantasi hepatosit pada pasien dengan penyakit hati akut dan kronik?
PENELUSURAN BUKTI Kami melakukan penelusuran mesin pencari PubMed dan google untuk menjawab pertanyan klinis. Pada PubMed, kami menggunakan pencarian lanjut (advanced search ) dan menggunakan kata kunci sebagai berikut: (human hepatocyte transplantation[Title/Abstract]). Kami menggunakan filter 5 tahun terakhir dan penelitian terbatas pada manusia. Hasilnya adalah 11 artikel. 6 artikel tidak menjawab pertanyaan klinis. Satu artikel merupakan review transplantasi hepatosit pada hewan percobaan dengan penyakit Wilson dan satu artikel hanya membahas mengenai sumber terapi sel. Dari google, kami menggunakan kata kunci sebagai berikut “Human hepatocyte transplantation” didapatkan 1 artikel yang dapat menjawab pertanyaan klinis. Hasil dari pencarian dari PubMed adalah 3 artikel. Artikel tersebut adalah “Clinical Hepatocyte Transplantation:Practical Limits and Possible Solutions oleh Roberto et al”, “Human hepatocyte transplantation:current experience and future challenges” oleh Anil et al, dan “Human Hepatocyte Transplantation in Patients with Hepatic Failure Awaiting a Graft” oleh Pareja et al. Hasil dari google adalah satu artikel yang berjudul “ Primary human hepatocyte transplantation in the therapy of hepatic failure: 2 cases report” oleh Zhuo Ri-Li et al.
3
PubMed
Search Query – Filter: publikasi di bawah 5 tahun dan sepsis manusia S
PubMed: 11
7 artikel tidak menjawab pertanyaan klinis, 1 artikel menggunakan hewan percobaan
3 artikel yang dapat menjawab pertanyaan klinis
Pada artikel pertama oleh Roberto et al, mengatakan bahwa sumber sel hepatosit untuk transplantasi ini adalah hati yang ditolak untuk dilakukan transplantasi hati. Namun tidak jarang sel yang dijumpai pada organ tersebut ternyata tidak cocok untuk transplantasi sel. Sel hati yang sudah steatosis masih dapat digunakan pada transplantasi hati, namun memiliki penurunan kemampuan fungsi hati seperti sitokrom P450. Hepatosit juga bisa didapatkan dari segmen hati yang tidak digunakan pada transplantasi hati dan dari pasien donor yang masih hidup. Organ dengan cold ischemia dan warm ischemia (dari pasien dengan kematian akibat penyakit jantung) di bawah 45 menit juga dapat digunakan.
Setelah didapatkan sel hati yang baik untuk
transplantasi hepatosit, dilakukan beberapa “quality control” pada sel-sel tersebut, yaitu dengan menggunakan tes TBE (Trypan Blue Exclusion). Tes ini digunakan untuk melihat viabilitas sel berdasarkan integritasnya. Dilakukan juga engraftmen sel pada substratum, seperti kolagen, untuk melihat apakah sel tersebut dapat menempel dengan baik. Roberto et al memberikan hepatosit melalui pemberian secara intravena. Dosis yang diberikan tergantung dari berat badan pasien, dengan tujuan untuk memberikan hepatosit 2-5% dari masa hati pasien, yaitu 2x108 per 4
kilogram berat badan pasien, yang harus diberikan beberapa kali. Pemberian hepatosit dapat diberikan langsung ke vena porta, hati, limpa, rongga peritoneal. Saat dilakukan pemberian hepatosit. Vena porta harus rutin dievaluasi karena saat pemberian hepatosit, dapat terjadi peningkatan tekanan porta akibat terkativasinya sel kupfer dan stelata yang akan mengeluarkan sitokin dan growth factor menyebabkan permeabilitas vaskuler meningkat, menyebabkan sel hepatosit yang diberikan akan masuk ke parenkim hati. Evaluasi engraftment sel hati tidak dapat menggunakan enzim transaminase karena tidak dapat membedakan kerusakan sel hati donor dan resipien. Dapat dilakukan biopsy, lalu dilakukan pemeriksaan kromosom sex atau antigen HLA, namun dapat terjadi sampling eror. Imunohistokimia atau real time quantitatve PCR untuk kromosom Y pada jaringan biopsy juga dapat membedakan sel hati donor dan resipien. Petanda tidak langsung keberhasilan transplantasi hepatosit adalah perbaikan dari gejala pasien, contohnya penurunan kadar urea atau bilirubin (pada pasien Crigler-Najjar). Mengevaluasi urea dan bilirubin sudah menjadi standar untuk evaluasi transplantasi hepatosit. Saat ini, para peneliti masih berusaha menemukan cara untuk mengevaluasi sel-sel hepatosit yang sudah diberikan, seperti a1-antitripsin, apolipoprotein, radioisotope, namun masih dalam tahap penelitian. Protokol pemberian imunospuresif masih belum ada, namun kebanyakan peneliti menggunakan protocol yang sama dengan transplantasi hati, yaitu steroid, inhibitor kalsineurin (takrolimus atau sikolsporin), da nada yang menambahkan mycofenolate mofetil atau sirolimus. Obat yang lebih baru digunakan untuk imunosupresif adalah antibody anti-interleukin 2 reseptor (basiliximab).3
Dari artikel kedua oleh Anil et al, mereka mendapatkan hepatosit dengan cara yang serupa dengan Roberto et al, yaitu dari hati yang tidak bisa digunakan untuk transplantasi. Kualitas dari sel hepatosit ini dipengaruhi oleh factor donor, yaitu usia, waktu cold ischemia dan warm ischemia. Menurut Anil, sel hati dari warm ischemia lebih baik, karena mereka tidak melewati proses kriopreservasi. Tehnik kriopreservasi dilakukan untuk menyimpan sel hati saat dibutuhkan pada keadaan darurat, seperti untuk pasien dengan gagal hati akut, namun proses krio ini akan menurunkan viabilitas dan fungsi metabolism sel hepatosit. Sel hepatosit juga bisa didapatkan dari hepatoblast fetal dan neonatus, bone marrow-derived stem cell, dan embrionik stem sel. Untuk cara pemberian hepatosit hampir sama dengan Roberto, yaitu melalui injeksi intra portal. Sebelum melakukan injeksi hepatosit, dilakukan pengukuran tekanan vena porta dan 5
Doppler pada vena porta dan sonografi hati untuk melihat apakah ada thrombus vena porta. Menurut Anil, peningkatan tekanan porta dan pembentukan thrombus saat pemberian hepatosit dapat dikurangi dengan mengurangi jumlah sel yang diberikan, yaitu 30-100 x 106/ kilogram berat badan dengan kecepatan infus 5-10 ml /kg setiap jamnya. Roberto mengatakan bahwa sel hepatosit juga dapat diberikan pada limpa dan rongga peritoneal, namun Anil menyebutkan bahwa sel hepatosit tidak dapat bertahan lama di tempat tersebut akibat respons imun, sedangkan pemberian sel hepatosit pada hati dapat melindungi dari respons imun. Sekitar 70% sel yang di transplantasikan dibersihkan oleh system imun tubuh melalui respons humoral dan mediase sel. Diduga system imun teraktivasi akibat adanya ketidakcocokan HLA (human leukocyte antigen), dan proses kompleks lainnya seperti apoptosis. Menurut Anil et al, belum ada konsensus atau panduan terapi imunosupresi setelah transplantasi hepatosit, tetapi kebanyakan penelitian menggunakan kombinasi yang serupa dengan artikel pertama, yaitu takrolimus dan monoclonal antibody, seperti antibodi reseptor anti interleukin 2. Menurut Anil, indikasi pemberian transplantasi hepatosit adalah semua pasien dengan gagal hati akut dan kronik. Tetapi, hasil lebih baik didapatkan pada pasien dengan gangguan metabolisme hati. Jumlah sel yang dibutuhkan juga lebih sedikit, karena pada penyakit hati kronik, hepatosit menggantikan seluruh fungsi hati, namun pada gangguan metabolism hati, seperti crigler-najjar, hanya menggantikan salah satu fungsi hati saja. Adapun kelainan metabolism hati adalah:4
Sindrom crigler-najjar
Familial hiperkolesterolemia
Defisiensi factor VII
Glycogen storage disease type I
Infantile Refsum’s disease
Progresif familial intrahepatic cholestasis type 2
Urea cycle defect: o Defisiensi OTC (ornithine transcarbamilase) o Defisiensi ASL o Defisiensi CPS 1 (carbamoylphospatase) o Citrulinemia
6
Sindrom crigler-najjar dilaporkan oleh beberapa peneliti dan dapat memperbaiki kualits hidup pasien, namun pasien dengan sindrom ini semuanya berusia di bawah 10 tahun. Penelitian
Usia pasien
Jumlah viable
Fox et al
Darwish et al
Ambrosino et
10 tahun
8 tahun
9 tahun
sel yang
Viabilitas sel
ditransplan
(x109)
(%)
7.5
90
7.5
NA
60-80
Follow up
Keluaran
F
↓50% bilirubin dan
OLT setelah 4
enzim hati
tahun
yang
ditransplantasi
7.5
Jenis Sel
F/C
F
al
↓40%
bilirubin
OLT setelah 20
selama 6 bulan
bulan
↓30%
bilirubin
OLT setelah 5
selama
beberapa
bulan
minggu Dhawan et al
18 bulan
4.3
NA
C
↓40% bilirubin
OLT setelah 8
42 bulan
2.1
NA
F/C
Tidak
bulan
jelas
efeknya Allen et al
8 tahun
1.4
93
F
↓30% bilirubin
OLT setelah 11 bulan
Lysy et al
9 tahun
6.1
80
F/C
↓35% bilirubin
Menunggu OLT
1 tahun
2.6
83
F/C
↓25% bilirubin
OLT setelah 4 bulan
Tabel 1.4 Transplantasi hepatosit pada pasien dengan sindrom crigler-najjar. Ket: F: fresh, C: criopreservasi, OLT: orthotopic liver transplant. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, artikel oleh Anil membahas gagal hati akut. Tujuan transplantasi hepatosit pada gagal hati akut adalah untuk mengembalikan fungsi hati sambil menunggu transplantasi hati, atau sampai fungsi hati kembali normal. Anil et al mendapatkan 37 pasien gagal hati akut yang dilakukan transplantasi hepatosit. Walaupun transplantasi hepatosit dapat memperbaiki kadar ammonia dan bilirubin, serta dapat memperbaikin ensefalopati hepatikum, namun tidak memperbaiki prognosis pasien. Rangkuman pasien tersebut dapat dilihat pada table 2.4
7
Studi
Usia pasien
Jumlah sel yang di transplantasi
Rute administrasi
Keluaran
(x109)
Drug induced acute liver failure Soriano et al
16 tahun
0.04
PV
Meninggal hari 2
12 tahun
0.1
PV
Meninggal hari 7
10 tahun
2.8
PV
Meninggal hari 7
32 tahun
1.3
IS
Meninggal hari 14
35 tahun
10
IS
Meninggal hari 20
55 tahun
39
IS
Meninggal jam ke 6
13 tahun
1
PV
Meninggal hari 4
43 tahun
NA
NA
Meninggal hari 35
27 tahun
0.03
IS
OLT hari ke 10
26 tahun
1.2
IS
OLT hari ke 2
21 tahun
0.94
IS
Meninggal hari 1
35 tahun
5.4
PV
Meninggal hari 18
35 tahun
3.7
PV
Sembuh total
51 tahun
3.9
PV
Sembuh total
32 tahun
0.06/kgBB
IP
Meninggal jam ke 30
29 tahun
0.06/kgBB
IP
Meninggal jam ke 37
20 tahun
0.06/kgBB
IP
Meninggal jam ke 48
20 tahun
0.06/kgBB
IP
Sembuh total
24 tahun
0.06/kgBB
IP
Sembuh total
4 tahun
3.4
PV
Meninggal hari 2
54 tahun
6.6
PV
Meninggal hari 7
29 tahun
10
PV dan IS
Meninggal jam ke 18
65 tahun
30
PV dan IS
Meninggal hari 52
28 tahun
0.17
IS
OLT hari ke 3
37 tahun
0.12
IS
Meninggal hari 5
43 tahun
0.73
PV
OLT hari ke 1
Fisher et al
37 tahun
0.88
IS
Sembuh total
Habibulah et al
40 tahun
0.06/kgBB
IP
Meninggal jam ke 13
3 tahun
4
PV
Sembuh total
5 tahun
2
PV
OLT hari ke 4
3.5 bulan
0.18
PV
OLT hari ke 1
23 tahun
0.44
IS
OLT hari ke 5 dan
Bilir et al
Strom et al
Fisher et al
Habibulah et al
Viral induced acute liver failure Fisher et al
Bilir et al
Strom et al
Idiopathic acute liver failure Soriano et al
Fisher et al
meninggal hari ke 13
Habibulah et al
48 tahun
0.75
PV
Meninggal hari 1
8 tahun
0.06/kgBB
IP
Sembuh total
8
Mushroom poisoning acute liver failure Schneider et al
64 tahun
4.9
PV
Sembuh total
0.53
IS
Meninggal hari 2
IP
Sembuh total
Post surgical acute liver failure Strom et al
69 tahun
Acute liver failure induced by acute fatty liver of pregnancy Khan et al
26 tahun
0.3
4
Tabel 2. Hasil transplantasi hepatosit pasien dengan gagal hati akut. Ket, IP: intraperitoneal, NA: not available, IS: intrasplenic, PV: portal vein, OLT: orthotopic liver transplant. Artikel ketiga oleh Pareja, mereka melakukan transplantasi hepatosit pada dua pasien dewasa sebagai jembatan sebelum transplantasi hati. Sel didapatkan dari 4 pasien, dan dapat dilihat pada table 3. Calon pasien transplantasi hepatosit adalah pasien dengan gagal hati di mana semua terapi sudah dilakukan dan gagal, dengan ensefalopati hepatikum grade III atau IV. Didapatkan ada 2 pasien dengan kriteria tersebut yang diakukan transplantasi hepatosit. Etiologi gagal hati pada kedua pasien tersebut adalah infeksi hepatitis c. Karakteristik kedua pasien tersebut dapat dilihat pada table 4. Kedua pasien ini awalnya ditatalaksana menggunakan MARS (Molecular Adsorbent Recirculating System), sebuah system artifisial hati, namun keduanya gagal.5 Usia
Penyebab
Jenis kelamin
kematian 83 tahun
Arteriosclerosis
Sel
yield
106
Viabilitas
sel/g Pria
6.7
Waktu iskemia Warm
89
Cold 3.5 jam
32 tahun
Trauma hati
Wanita
5.7
81
52 tahun
Fibrosis
Pria
10
88
6 jam 40
6 jam
menit 4 hari
Neonatal
Pria
17.3
99
10
1 jam
menit
Tabel 3.5 Detail donor hepatosit.
9
Tabel 4.5 Karakteristik pasien resipien.
Dopler ultrasonografi dilakukan sebelum, saat, dan setelah pemberian hepatosit. Pemberian sel hepatosit melalui transfemoral lalu ke arteri splenikus di limpa. Pasien mendapatkan terapi profilaksis dengan antibiotic, transfuse fresh frozen plasma, dan trombosit sebelum dan sesudah transpantasi hepatosit. Tranfusi diberikan dengan volume 40-50 ml, dan diulang dengan jangka waktu 24-48 jam. Pasien pertama laki-laki 42 tahun dengan hepatitis C rekuren. Pasien pernah menjalani transplantasi hati 10 tahun lalu dan mendapatkan terapi antiviral namun gagal. Pasien mendapatkan 2.209 x 106 hepatosit diberikan dalam 4 pemberian selama 8 hari. Setelah transplanasi hepatosit, kesadaran pasien membaik, terjadi penurunan kadar ammonia, dan pasien mampu duduk serta makan melalui oral. Namun serum bilirubin tidak membaik. Serum kreatinin juga membaik setelah tranplantasi. Sangat disayangkan pasien tidak mendapatkan donor hati, pasien akhirnya meninggal 10 hari setelah transplantasi hepatosit akibat perdarahan saluran cerna bagian atas masif. Pasien kedua laki-laki 49 tahun dengan hepatitis C dan sudah menjalani transplantas hati 2 tahun lalu. Pasien mendapatkan 3.61 x 106 hepatosit, diberikan 3 kali selama 4 hari. Pasien ini juga menglamai perbaikan ensefalopati dan penurunan kadar ammonia darah. 10
Setelah pemberian hepatosit yang ketiga, pasien mendapatkan donor hati, dan pasien menjalani transplantasi hati. (hari ke 6 setelah transplantasi hepatosit). Hasil laboratorium kedua pasien dapat dilihat pada tabel 5 dan 6.
Tabel 5.Hasil laboratorium sebelum dan sesudah transplantasi hepatosit pada pasien pertama.
Tabel 6. Hasil laboratorium sebelum dan sesudah transplantasi hepatosit pada pasien kedua. Dari hasil penelitian ini, Pareja mengatakan bahwa transplantasi hepatosit merupakan jembatan sebelum dilakukannya transplantasi hati, dan tidak dapat menggantikan transplantasi hati. Pada penelitian ini, didapatkan ada perbaikan ensefalopati, penurunan kadar ammonia, dan perbaikan serum kreatinin, namun ternyata tidak mengubah prognosis pasien.5 Artikel keempat oleh Zhuo Ri-Li et al adalah suatu laporan kasus yang melakukan trasplantasi hepatosit pada dua pasien. Kasus pertama adalah laki-laki 35 tahun yang menderita hepatitis B 6 tahun dan mengalami ikterik selama 3 bulan. Donor hati didapatkan dari pasien yang meninggal akibat hepatolitiasis. Biopsi menunjukkan tidak ada kolangitis maupun fibrosis 11
pada hati donor. Viabilitis dan kuantitas sel hati donor di uji menggunakan metode trypan blue exclusion(TBE) . Jumlah sel yang diberikan pada pasien pertama adalah 2.7 x 10 8 dengan viabilitas 92%. Pemberian hepatosit dilakukan melalui kateterisasi arteri femoral, dan diberikan pada arteri splenikus. Hepatosit diberikan dengan kecepatan 150 ml/jam dengan syringe pump. Pasien diberikan metilprednisolon untuk mencegah reaksi akut allograft rejeksi. Setelah transplantasi hepatosit, kadar bilirubin turun dari 463.13 umol/L, menjadi 404 umol/L. Namun, setelah hari ke 6 transplantasi, bilirubin naik menjadi 471 umol/L, pasien menjadi gelisah dan disorientasi dan terjadi peningkatan kadar ammonia. Pasien akhirnya memutuskan tidak melanjutkan terapi dan pulang paksa.6 Kasus kedua adalah laki-laki usia 28 tahun dengan gagal hati akut dengan ensefalopati, asites, dan splenomegali. Pasien kemudian menjalan transplantasi hepatosit. Prosos transplantasi hepatosit sama dengan kasus pertama. Jumlah sel yang diberikan adalah 7.5 x 108, dengan viabilitas 93%. Setelah hari ketiga transplantasi, kadar bilirubin dan gangguan koagulasi membaik, bilirubin turun dari 489 umol/L menjadi 445 umol/L. Pada hari ketujuh, bilirubin naik menjadi 629 umol/L, dan pasien mengeluh ada nyeri perut. Pemeriksaan X-ray menunjukkan ada obstruksi parsial usus halus. Pasien kemudian meninggal 14 hari setelah transplantasi. Zhuo juga melakukan pemeriksaan kadar IgA, IgG, IgM, C3, dan C4 sebelum dan sesudah transplantasi pada kedua pasien, dan didapatkan tidak ada kenaikkan bermakna.6
12
BAB 3. DISKUSI Dari hasil pencarian bukti yang sudan dilakukan, ditemukan 4 studi. Dari hasil studi tersebut didapatkan bahwa transplantasi hepatositdapat merupakan terapi sementara untuk pasien-pasien gagal hati seperti yang didapatkan pada artikel kedua oleh Anil et al. Dari data yang dikumpulkan oleh Anil, dapat dilihat bahwa dari 37 pasien dengan gagal hati akut yang mendapat transplantasi hepatosit, 8 pasien dapat sembuh total dengan transplantasi hepatosit (21.6%). Dari artikel oleh Pareja et al juga didapatkan bahwa satu pasien dapat bertahan dengan transplantasi hepatosit sambil menunggun donor hati yang cocok, namun satu pasien meninggal karena belum mendapatkan donor hati. Dari artikel oleh Zhuo et al, dua pasien yang dilakukan transplantasi hepatosit, keduanya mengalami perburukan klinis dan menghasilkan hasil yang kurang baik. Hal ini diduga karena sel hepatosit yang diberikan tidak sesuai dengan dosis yang sudah dianjurkan oleh para peneliti sebelumnya, yaitu 2x 108 per kilogram berat badan, sedangkan Zhuo hanya memberikan 2.7 x 108 untuk pasien pertama dan 7.5 x 108 untuk pasien kedua. Selain itu, diduga ada factor imunologis yang tidak diketahui yang dapat berperan dalam hal ini, karena pada awal setelah transplantasi, terjadi perbaikan fungsi hati pada kedua pasien. Dari keempat artikel ini, maka penulis menyimpulkan bahwa transplantasi hepatosit merupakan terapi potensial untuk pasien dengan gagal hati. Dapat dilihat dari beberapa contoh laporan kasus di atas bahwa transplantasi hati dapat memperbaiki fungsi hati, yaitu menurunkan kadar ammonia dan bilirubin, serta memperbaiki gejala ensefalopati. Namun hasil akhir dari laporan kasus adalah sama, yaitu pasien menjalani transplantai hati atau meninggal. Oleh karena itu, disimpulkan bahwa transplantasi hepatosit dapat dilakukan sebagai terapi untuk pasien dengan gagal hati yang sedang menunggu donor hati, namun bukan sebagai terapi definif pasien gagal hati. Masih banyak factor yang belum diketahui pada transplantasi hepatosit, seperti pemilihan donor hepatosit yang baik, faktor imunologi yang berperan, dan lainnya. Ada penelitian pertama dari India yang membandingkan 7 pasien dengan gagal hati fulminan yang menerima transplantasi hepatosit dengan 7 pasien tidak menerima transplantasi hepatosit. Didapatkan angka kesintasan pasien yang mendapatkan transplantasi hepatosit adala 43% dibandingkan pasien tidak menapatkan transplantasi hepatosit (33%). Pasien yang menderita ensefalopati hepatikum grade III dan mendapatkan transplantasi hepatosit ternyata
13
dapat hidup dibandingkan pasien yang sama dan tidak mendapatkan transplantasi, mortalitas mencapai 50%.7
PENUTUP Penyaki hati akut maupun kronik merupakan penyakit dengan mortalitas yang cukup tinggi. Hingga saat ini terapi definitifnya hanya transplantasi hati. Namun masih banyak pasien yang membutuhkan transplantasi hati dan kekurangan donor hati. Transplantasi hepatosit dapat menjadi terapi pada pasien yang menunggu transplantasi hati, namun tidak dapat menjadi terapi pengganti transplantasi hati. Terapi ini masih memerlukan lebih banyak penelitian lagi, karena masih banyak factor yang belum diketahui tentang transplantasi hepatosit ini.
14
Daftar Pustaka 1. Kusumobroto H. Sirosis hati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam . tahun 2007. Hal 347-357. 2. Murray K, Robert L, Carithers J. AASLD Practice Guidelines: Evaluation of The Patient for Liver Transplantation. 2005. 3. Gramignoli R, Vosough M, Kannisto K, Srinivasan R, Strom S. Clinical Hepatocyte Transplantation: Practical Limits and Possible Solutions. Division of Pathology, Department of Laboratory Medicine, Karolinska Institutet, Stockholm , Sweden. 2015. 4. Dhawan A, Puppi J, Hughes R, Mitry R. Human hepatocyte transplantation: current experience and future challenges. Gastroenterol. Hepatol. 7, 288–298 (2010); published online 6 April 2010; doi:10.1038/nrgastro.2010.44 5. Pareja E, Gomez-Lechon M, Cortes M, Bonora-Centelles A, Castell J, Mir J. Human Hepatocyte Transplantation in Patients with Hepatic Failure Awaiting a Graft. Eur Surg Res 2013;50:273–281. 6. Ri-Li Z, Mao X, Xuan-Hu X, Nie S, Shi Y, Xiang H, Yang JH, Cao OD. Primary human hepatocyte transplantation in the therapy of hepatic failure: 2 cases report. Asian Pacific Journal of Tropical Medicine (2012)165-168. 7. Habibullah CM, Syed IH, Qamar A, et al: Human fetal hepatocyte transplantation in patients with fulminant hepatic failure. Transplantation 58:951, 1994. 8. Baccarani U, Adani GL, Sainz M, Donini A, Risaliti, Bresadola F. Human Hepatocyte Transplantation for Acute Liver Failure: State of the Art and Analysis of Cell Sources. © 2005 by Elsevier Inc. All rights reserved.
15