D3 TEKNIS SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
BAB II
DASAR TEORI
Pengertian Jalan
2.1
Jalan merupakan prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan
bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan
kereta api, jalan lori, dan jalan kabel (Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006). Jalan raya adalah jalur - jalur tanah di atas permukaan bumi yang dibuat oleh manusia dengan bentuk, ukuran - ukuran dan jenis konstruksinya sehingga dapat digunakan untuk menyalurkan lalu lintas orang, hewan dan kendaraan yang mengangkut barang dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan mudah dan cepat (Clarkson H.Oglesby,1999 dalam Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota). Sistem jaringan jalan terdiri atas sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder. Sistem jaringan jalan primer merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi.Sistem jaringan jalan sekunder merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan. Jalan umum menurut fungsinya dikelompokkan ke dalam jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal, dan jalan lingkungan. Jalan arteri merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya guna. Jalan kolektor merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi. Jalan lokal merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, Debi Oktaviani Nofita Milla Ana Farida
Studi Kelayakan Geometrik Jalan Ciwaruga – Sariwangi
7
D3 TEKNIS SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi. Jalan lingkungan merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah.
Jalan Arteri primer melayani angkutan utama yang merupakan tulang
punggung tranasportasi nasional yang menghubungkan pintu gerbang utama
(Pelabuhan Utama dan atau bandar Udara Kelas Utama). Jalan Kolektor I adalah jalan kolektor primer yang menghubungkan antar ibukota propinsi.Jalan Kolektor II adalah jalan kolektor primer yang menghubungkan ibukota propinsi dengan
ibukota kabupaten/kota.Jalan Kolektor III adalah jalan kolektor primer yang
menghubungkan antar ibukota kabupaten/kota. 2.2
Survey dan Pengukuran Topografi
2.2.1 Garis Kontur A.
Pengertian Garis Kontur Garis kontur adalah garis khayal di lapangan yang menghubungkan titik
dengan ketinggian yang sama atau garis kontur adalah garis kontinyu di atas peta yang memperlihatkan titik-titik di atas peta dengan ketinggian yang sama. Nama lain garis kontur adalah garis tranches, garis tinggi dan garis tinggi horizontal. Garis kontur + 25 m, artinya garis kontur ini menghubungkan titik-titik yang mempunyai
ketinggian
sama
+ 25
m
terhadap
tinggi
tertentu.
Garis
kontur disajikan di atas peta untuk memperlihatkan naik turunnya keadaan permukaan tanah. Aplikasi lebih lanjut dari garis kontur adalah untuk memberikan informasi slope (kemiringan tanah rata-rata), irisan profil memanjang atau melintang permukaan tanah terhadap jalur proyek (bangunan) dan perhitungan galian serta timbunan (cut and fill) permukaan tanah asli terhadap ketinggian vertikal garis atau bangunan. Garis kontur dapat dibentuk dengan membuat proyeksi tegak garis-garis perpotongan bidang mendatar dengan permukaan bumi ke bidang mendatar peta. Karena peta umumnya dibuat dengan skala tertentu, maka untuk garis kontur ini juga akan mengalami pengecilan sesuai skala peta.
Debi Oktaviani Nofita Milla Ana Farida
Studi Kelayakan Geometrik Jalan Ciwaruga – Sariwangi
8
D3 TEKNIS SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gambar 2.1 Pembentukan garis kontur dengan membuat proyeksi tegak garis perpotongan bidang mendatar dengan permukaan bumi
Gambar 2.2 Penggambaran kontur
B.
Sifat-sifat Garis Kontur Garis-garis kontur merupakan cara yang banyak dilakukan untuk melukiskan
bentuk permukaan tanah dan ketinggian pada peta, karena memberikan ketelitian yang lebih baik. Cara lain untuk melukiskan bentuk permukaan tanah yaitu dengan cara hachures dan shading. Penggambaran garis kontur memiliki sifat sebagai berikut: 1. Berbentuk kurva tertutup. 2. Tidak bercabang. 3. Tidak berpotongan. 4. Menjorok ke arah hulu jika melewati sungai. 5. Menjorok ke arah jalan menurun jika melewati permukaan jalan. 6. Tidak tergambar jika melewati bangunan. 7. Garis kontur yang rapat menunjukan keadaan permukaan tanah yang terjal. Debi Oktaviani Nofita Milla Ana Farida
Studi Kelayakan Geometrik Jalan Ciwaruga – Sariwangi
9
D3 TEKNIS SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
8. Garis kontur yang jarang menunjukan keadaan permukaan yang landai 9. Penyajian interval garis kontur tergantung pada skala peta yang disajikan, jika datar maka interval garis kontur tergantung pada skala peta yang disajikan,
jika datar maka interval garis kontur adalah 1/1000 dikalikan dengan nilai
skala peta, jika berbukit maka interval garis kontur adalah 1/500 dikalikan
dengan nilai skala peta dan jika bergunung maka interval garis kontur adalah 1/200 dikalikan dengan nilai skala peta.
10. Penyajian indeks garis kontur pada daerah datar adalah setiap selisih 3 garis
kontur, pada daerah berbukit setiap selisih 4 garis kontur, sedangkan pada
daerah bergunung setiap selisih 5 garis kontur. 11. Satu garis kontur mewakili satu ketinggian tertentu.. 12. Garis kontur berharga lebih rendah mengelilingi garis kontur yang lebih tinggi. 13. Rangkaian
garis
kontur
yang
berbentuk huruf
"U"
menandakan
kontur
yang
berbentuk huruf
"V"
menandakan
punggungan gunung. 14. Rangkaian
garis
suatu lembah/jurang
Debi Oktaviani Nofita Milla Ana Farida
Studi Kelayakan Geometrik Jalan Ciwaruga – Sariwangi
10
D3 TEKNIS SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gambar 2.3a Kerapatan garis kontur pada daerah curam dan daerah landai
Gambar 2.3b Garis kontur pada curah dan punggung bukit
Gambar 2.3c Garis kontur pada bukit dan cekung
Debi Oktaviani Nofita Milla Ana Farida
Studi Kelayakan Geometrik Jalan Ciwaruga – Sariwangi
11
D3 TEKNIS SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
C.
Kegunaan Garis Kontur Selain menunjukan bentuk ketinggian permukaan tanah, garis kontur juga
dapat digunakan untuk : 1) Menentukan profil tanah (profil memanjang, longitudinal sections) antara dua
tempat. 2) Menghitung luas daerah genangan dan volume suatu bendungan. 3) Menentukan route/trace suatu jalan atau saluran yang mempunyai kemiringan
tertentu .
4) Menentukan kemungkinan dua titik di lahan sama tinggi dan saling terlihat.
Gambar 2.4a Potongan memanjang dari potongan garis kontur
Gambar 2.4b Bentuk, genangan berdasarkan garis kontur luas dan volume daerah
Debi Oktaviani Nofita Milla Ana Farida
Studi Kelayakan Geometrik Jalan Ciwaruga – Sariwangi
12
D3 TEKNIS SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gambar 2.4c Rute dengan Kelandaian tertentu
D.
Penentuan dan pengukuran titik detail untuk pembuatan garis kontur Semakin rapat titik detail yang diamati, maka semakin teliti informasi
yang tersajikan dalam peta. Dalam batas ketelitian teknis tertentu, kerapatan titik detail ditentukan oleh skala peta dan ketelitian (interval) kontur yang diinginkan. Pengukuran
titik-titik
detail
untuk penarikan
garis
kontur
suatu
peta
dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. 2.2.2 Tacheometry Tacheometry adalah suatu metoda untuk mengukur jarak, baik jarak horizontal maupun jarak vertikal. Tacheometry berasal dari bahasa Yunani, yaitu tacheos = cepat ; metror = pengukuran. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tacheometry yaitu sistem pengukuran secara cepat, tanpa menggunakan pita ukur. Beberapa system tacheometry : Tacheometry
Rambu
- Stadia
tegak
tetap
- Tangensial
tegak
berubah
- Optical Wedge
mendatar
tetap
- Substance Bar
mendatar
berubah
Debi Oktaviani Nofita Milla Ana Farida
Sudut Paralaktis
Studi Kelayakan Geometrik Jalan Ciwaruga – Sariwangi
13
D3 TEKNIS SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.2.3 Poligon
Poligon adalah serangkaian garis yang menghubungkan titik-titik yaang
terletak di permukaan bumi. Prinsip dari poligon dengan menggunakan alat
theodolite adalah menentukan sudut jurusan dan panjang dari gabungan beberapa
garis yang bersama-sama membentuk kerangka dasar untuk keperluan pemetaan
dari suatu daerah tertentu. Poligon tertutup berbentuk kring adalah poligon yang diawali dan diakhiri pada titik yang sama
Sudut jurusan n jarak kemudian digambarkan dengan busur derajat atau
dengan sistem koordinat. Sudut-sudut diukur dengan theodolite searah jarum jam
dan sudut jurusan dihitung dari sudut yang diukur dengan pita ukur / rol meter, tapi cara ini tidak praktis / cukup sulit dan kurang teliti / akurat lebih baik dihitung secara matematis, dalam hal ini diperlukan bacaan sudut vertikalnya. Pada poligon tertutup titik awal dan titik akhir merupakan titik yang sama. Dalam hal ini pengukuran dapat dikontrol karena jumlah sudut luar dari segi banyak harus sama dengan (2n + 4) x 9
8 –
8
Macam-macam poligon : a. Poligon Terbuka - Poligon Terbuka Bebas - Poligon Terbuka Terikat Satu Ujung - Poligon Terbuka Terikat Dua Ujung - Poligon Terbuka Terikat Sempurna b. Poligon Tertutup (Kring) - Poligon Kring tanpa Titik Ikat (Bebas) - Poligon Kring Terikat 1 Titik - Poligon Kring Terkat 2 Titik (Sempurna)
Debi Oktaviani Nofita Milla Ana Farida
Studi Kelayakan Geometrik Jalan Ciwaruga – Sariwangi
14
D3 TEKNIS SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.3
Perencanaan Geometrik
Perencanaan geometrik jalan adalah perencanaan route dari suatu ruas jalan
secara lengkap, meliputi beberapa elemen yang disesuaikan dengan kelengkapan
dan data dasar yang ada atau tersedia dari hasil survei lapangan dan telah
dianalisis, serta mengacu pada ketentuan yang berlaku. 2.3.1 Jarak Pandang
Jarak pandang adalah suatu jarak yang diperlukan oleh seorang pengemudi
pada saat mengemudi sedemikian rupa, sehingga jika pegemudi melihat suatu
halangan yang membahayakan, pengemudi dapat melakukan suatu (antisipasi) untuk menghindari bahaya tersebut dengan aman. Jarak pandang terdiri dari : 1) Jarak Pandang Henti (Jh) dan 2) Jarak Pandang Mendahului (Jd). Menurut ketentuan Bina Marga, adalah sebagai berikut : 1)
Jarak Pandang Henti (Jh) Jh adalah jarak minimum yang diperlukan oleh setiap pengemudi untuk
menghentikan kendaraannya dengan aman begitu melihat adanya halangan di depan. Setiap titik disepanjang jalan harus memenuhi Jh. Jh diukur berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata pengemudi adalah 105 cm dan tinggi halangan 15 cm diukur dari permukaan jalan. Jh terdiri atas 2 elemen jarak, yaitu: a. jarak tanggap (Jht) adalah jarak yang ditempuh oleh kendaraan sejak pengemudi melihat suatu halangan yang menyebabkan ia harus berhenti sampai saat pengemudi menginjak rem; dan b. jarak
pengereman
(Jhr)
adalah
jarak
yang
dibutuhkan
untuk
menghentikan kendaraan sejak pengemudi menginjak rem sampai kendaraan berhenti. Jh dalam satuan meter, dapat dihitung dengan rumus: Jh = Jht + Jhr ……………………………………………………………… Jh =
+
…………………………………………………..……
Debi Oktaviani Nofita Milla Ana Farida
Studi Kelayakan Geometrik Jalan Ciwaruga – Sariwangi
15
D3 TEKNIS SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
keterangan :
VR = kecepatan rencana (km/jam) T = waktu tanggap, ditetapkan 2,5 detik
g
= percepatan grafitasi, ditetapakan 9,8 m/detik2
fP =koefisian geser memanjang antara bahan kendaraan dengan
perkerasan jalan aspal, ditetapkan (AASHTO, fp = 0,28 – 0,45), fp akan semakin kecil jika kecepatan (VR) semakin
tinggi dan sebaliknya. (Bina Marga, fp = 0,35 – 0,55).
Persamaan tersebut dapat disederhanakan menjadi :
Untuk jalan datar : Jh = 0,278 VR T +
…………………………………………………(2.2)
Untuk jalan dengan kelandaian tertentu : Jh = 0,278 VR T + keterangan :
…………………………………………… 3
L = landai jalan dalam (%) dibagi 100.
Pada Tabel 2.1 menampilkan panjang Jh minimum yang dihitung berdasarkan persamaan (2.2) dengan pembulatan-pembulatan untuk berbagai VR. Tabel 2.1 Jarak Pandang Henti (Jh) minimum VR km/jam
120
100
80
60
50
40
30
20
Jh minimum (m)
250
175
120
75
55
40
27
16
2)
Jarak Pandang Mendahului (Jd) Jd adalah jarak yang memungkinkan suatu kendaraan mendahului kendaraan
lain di depannya dengan aman sampai kendaraan tersebut kembali ke lajur semula (lihat Gambar 2.5).
Debi Oktaviani Nofita Milla Ana Farida
Studi Kelayakan Geometrik Jalan Ciwaruga – Sariwangi
16
D3 TEKNIS SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Sumber : Perencanaan Teknik Jalan Raya
Gambar 2.5 Proses Pergerakan Mendahului
Jd diukur berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata pengemudi adalah 105 cm dan tinggi halangan adalah 105 cm. Jd dalam satuan meter ditentukan sebagai berikut: Jd = dl+d2+d3+d4 ………………………………………………………… 4 keterangan :
d1 = jarak yang ditempuh selama waktu tanggap (m), d2 = jarak yang ditempuh selama mendahului sampai dengan kembali ke lajur semula (m), d3 = jarak antara kendaraan yang mendahului dengan kendaraan yang datang dari arah berlawanan setelah proses mendahului selesai (m), d4 = jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang datang dari arah berlawanan, yang besarnya diambil sama dengan 213 d2 (m).
Rumus yang digunakan : d1
…………………………………… (2.5a)
d2 = 0,278 VR T2 ………………………………………………………… Debi Oktaviani Nofita Milla Ana Farida
Studi Kelayakan Geometrik Jalan Ciwaruga – Sariwangi
5 17
D3 TEKNIS SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
d3 = antara 30 – 100 m, (dapat dilihat pada Tabel 2.2) Tabel 2.2 Nilai d3 VR km/jam
50 – 65
65 – 80
80 – 95
95 – 110
d3 (m)
30
55
75
90
d4 = 2/3 d2 ………………………………………………………………… 5c keterangan :
T1 = waktu dalam (deti
T2 = w
∞
6VR
j
w
∞ 6 56
0,048 VR
a = percepatan rata-
/j
/
∞
5
36
VR m = perbedaan kecepatan dari kendaraan yang menyiap dan kendaraan yang disiap, (diambil 10 – 15 km/jam) Tabel 2.3 Panjang Jarak Pandang Mendahului berdasarkan VR VR, km/jam
120
100
80
60
50
40
30
20
Jd (m)
800
670
550
350
250
200
150
100
Lokasi atau daerah untuk mendahului harus disebar di sepanjang jalan dengan jumlah panjang minimum 30% dari panjang total jalan yang direncanakan. 2.3.2 Alinemen Horisontal Alinemen horisontal terdiri atas bagian lurus dan bagian lengkung (disebut juga tikungan). Perencanaan geometri pada bagian lengkung dimaksudkan untuk mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima oleh kendaraan yang berjalan pada kecepatan VR. Untuk keselamatan pemakai jalan, jarak pandang dan daerah bebas samping jalan harus diperhitungkan. A.
Panjang Bagian Lurus Dengan mempertimbangkan faktor keselamatan pemakai jalan, ditinjau dari
segi kelelahan pengemudi, maka panjang maksimum bagian jalan yang lurus harus ditempuh dalam waktu tidak lebih dari 2,5 menit (sesuai VR). Panjang bagian lurus dapat ditetapkan dari Tabel 2.4. Debi Oktaviani Nofita Milla Ana Farida
Studi Kelayakan Geometrik Jalan Ciwaruga – Sariwangi
18
D3 TEKNIS SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Tabel 2.4 Panjang Bagian Lurus Maksimum. Fungsi
Panjang Bagian Lurus Maksimum Bukit Gunung 2.500 2.000 1.750 1.500
Datar 3.000 2.000
Arteri Kolektor
B. 1)
Tikungan
Jari-Jari Minimum Superelevasi adalah suatu kemiringan melintang di tikungan yang berfungsi
mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima kendaraan pada saat berjalan melalui
tikungan pada kecepatan VR. Nilai superelevasi maksimum (emak) ditetapkan 10%. Jari - jari tikungan minimum (Rmin) ditetapkan sebagai berikut: ……………………………….………............…… (2.6a) …………………………….……............… (2.6b) keterangan : Rmin
= jari-jari tikungan minimum, (m)
VR
= kecepatan kendaraan rencana, (km/jam)
emak
= superelevasi maksimum, (%)
fmak
= koefisien gesekan melintang maksimum
D
= derajat lengkung (°)
Dmak
= derajat maksimum
Tabel 2.5 Panjang Jari-jari Minimum (dibulatkan) VR (km/jam) Jari-jari Minimum Rmin (m) 2)
120
600
100
80
60
50
40
30
20
370
210
110
80
50
30
15
Bentuk Busur Lingkaran (FC) FC (Full Circle) adalah jenis tikungan yang hanya terdiri dari bagian suatu
lingkaran saja. Tikungan FC hanya digunakan untuk R (jari-jari tikungan) yang besar agar tidak terjadi patahan,karena dengan R kecil maka diperlukan superelevasi yang besar. Debi Oktaviani Nofita Milla Ana Farida
Studi Kelayakan Geometrik Jalan Ciwaruga – Sariwangi
19
D3 TEKNIS SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Sumber : Geometis Jalan Raya & Stake Out
Gambar 2.6 Komponen FC
Keterangan gambar: Titik CC = titik tengah busur lingkaran Titik Tc
= titik awal lingkaran (titik tangen kelingkaran)
Titik PI
= titik perpotongan tangen
α1
α 2 = sudut jurusan tangen I dan II
Titik CT
= titik akhir lingkaran (titik lingkaran ke tangen)
Titik O
= titik pusat lingkaran
Tc
= panjang tangen
= jarak dari TC ke PI atau PI ke CT
Rc
= jari-jari lingkaran = jarak dari 0 ke TC atau ke CT atau kesetiap titik dibusur lingkaran
Ec
= jarak luar dari PI ke CC
Lc
= panjang busur lingkaran
∆C
= sudut luar di PI
T1b
= talibusur dari TC ke CT
Debi Oktaviani Nofita Milla Ana Farida
= sudut purat lingaran di C
Studi Kelayakan Geometrik Jalan Ciwaruga – Sariwangi
20
D3 TEKNIS SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Tabel 2.6 Panjang Bagian Lurus Maksimum. VR (km/jam) Rmin (m)
120 2500
100 1500
80 900
60 500
50 350
40 250
30 130
20 60
Tc = Rc tan 1/2 ∆ ……………………………………………………… 7 Ec = Tc tan 1/4 ∆ ………………………………………………………
7
………………………………………………………… .(2.7c)
3)
Lengkung Peralihan Lengkung peralihan adalah lengkung yang disisipkan di antara bagian lurus
jalan dan bagian lengkung jalan berjari-jari tetap R. Berfungsi mengantisipasi perubahan alinemen jalan dari bentuk lurus (R tak terhingga) sampai bagian lengkung jalan berjari jari tetap R, sehingga gaya sentrifugal yang bekerja pada kendaraan saat berjalan di tikungan berubah secara berangsur-angsur, baik ketika kendaraan mendekati tikungan maupun meninggalkan tikungan. Bentuk lengkung peralihan dapat berupa parabola atau spiral (clothoid). Dalam tata cara ini digunakan bentuk spiral. Panjang lengkung peralihan (L) ditetapkan atas pertimbangan bahwa: a) lama waktu perjalanan di lengkung peralihan perlu dibatasi untuk menghindarkan kesan perubahan alinemen yang mendadak, ditetapkan 3 detik (pada kecepatan VR); b) gaya sentrifugal yang bekerja pada kendaraan dapat diantisipasi berangsur-angsur pada lengkung peralihan dengan aman; dan c) tingkat perubahan kelandaian melintang jalan (re) dari bentuk kelandaian normal ke kelandaian superelevasi penuh tidak boleh melampaui re-max yang ditetapkan sebagai berikut: untuk VR ≤ 7
/
j
untuk VR ≥ 8 /
j
Debi Oktaviani Nofita Milla Ana Farida
e-max e-max
= 0.035 m/m/detik,
= 0.025 m/m/detik.
Studi Kelayakan Geometrik Jalan Ciwaruga – Sariwangi
21
D3 TEKNIS SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panjang lengkung peralihan (Ls), menurut Tata Cara Perenanaan Geomtrik
Jalan Antar Kota, 1997, diambil nilai yang terbesar dari tiga persamaan di bawah ini :
a. Berdasarkan waktu tempuh maksimum (3 detik) di lengkung peralihan, Ls =
……………………………………………………… 8
di mana: T = waktu tempuh pada lengkung peralihan, ditetapkan 3 detik. VR= kecepatan rencana (km/jam).
b. Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal
…………………………
Ls =
8
c. Berdasarkan tingkat pencapaian perubahan kelandaian, ……………………………………………… 8c keterangan: VR = kecepatan rencana (km/jam), e = superelevasi em = superelevasi maximum, en
= superelevasi normal,
Ls = lengkung peralihan re
= tingkat pencapaian perubahan kemiringan melintang jalan (m/m/detik).
Debi Oktaviani Nofita Milla Ana Farida
Studi Kelayakan Geometrik Jalan Ciwaruga – Sariwangi
22
D3 TEKNIS SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Sumber : Geometis Jalan Raya & Stake Out
Gambar 2.7 Komponen SCS
Keterangan : Xs = Absis titik SC pada garis tangen, jarak dari titik TS ke SC (jarak lurus lengkung peralihan). Ys = Ordinat titik SC pada garis tegak lurus garis tangen, jarak tegak lurus ke titik SC pada lengkung. Tc = Panjang tangen lingkaran Ls = Panjang lengkung peralihan (panjang dari titik TS ke SC atau TS ke ST). Lc = Panjang busur lingkaran (panjang dari titik SC ke CS). Ts = Panjang tangen dari titik PI ke titik TS atau ke titik ST. TS = Titik dari tangen ke spiral. Debi Oktaviani Nofita Milla Ana Farida
Studi Kelayakan Geometrik Jalan Ciwaruga – Sariwangi
23
D3 TEKNIS SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
SC = Titik dari spiral ke ligkaran. Es = Jarak dari PI ke busur lingkaran. Ec = Jarak luar busur lingkaran
θ = Sudut lengkung spiral.
Δc = S
Rc = Jari-jari lingkaran.
V
p = pergeseran tangen terhadap lingkaran p = jarak dari A ke G
k = jarak dari TS ke A
k = Absis dari p pada garis tangen spiral. Δ=
PI
Et = jarak luar total = jarak PI ke CC Cs = koreksi spiral = 0.0031 Rumus yang digunakan : Xs = Ls (
………………………………………………
(2.9a)
Ys =
……………………………………………………………
(2.9b)
θ =
……………………………………………………………
(2.9c)
p=
………………………………………
(2.9d)
k=
………………………………………
(2.9e)
T = Rc
p
E = Rc
p
½∆
c ½ ∆ - Rc ……………………………………………
Lc = Ltot = Lc
(2.9f) (2.9g)
………………………………………………
(2.9h)
L ……… ………………………………………………
(2.9i)
Debi Oktaviani Nofita Milla Ana Farida
……………………………………………
Studi Kelayakan Geometrik Jalan Ciwaruga – Sariwangi
24
D3 TEKNIS SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Jika diperoleh Lc < 25 m, maka sebaiknya tidak digunakan bentuk S-C-S,
tetapi digunakan lengkung S-S yaitu lengkung yang terdiri daridua lengkung peralihan. Jika p yang dihitung dengan rumus (2.9j), maka ketentuan tikungan
yang digunakan bentuk S-C-S.
p=
< 0,25 ………… …………………………………………
(2.9j)
4) Bentuk Lengkung Peralihan (S-S)
Sumber : PerencanGeometrik Jalan
Gambar 2.8 Komponen SS
Untuk bentuk spiral-spiral ini berlaku rumus, sebagai berikut : Lc =
θ = ½ ∆ …………………………………………………
(2.10a)
Ltot =
L …………… ………………………………………………
(2.10b)
U Ls =
θ
3 9c
…………………………………………………………
Debi Oktaviani Nofita Milla Ana Farida
p
Studi Kelayakan Geometrik Jalan Ciwaruga – Sariwangi
(2.10c) 25
D3 TEKNIS SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
3)
Pelebaran Jalur Lalu Lintas di Tikungan
Pelebaran pada tikungan dimaksudkan untuk mempertahankan konsistensi
geometrik jalan agar kondisi operasional lalu lintas di tikungan sama dengan di
bagian lurus. Pelebaran jalan di tikungan mempertimbangkan:
1) Kesulitan pengemudi untuk menempatkan kendaraan tetap pada lajurnya.
2) Penambahan lebar (ruang) lajur yang dipakai saat kendaraan melakukan
gerakan melingkar. Dalam segala hal pelebaran di tikungan harus memenuhi gerak perputaran kendaraan rencana sedemikian sehingga proyeksi kendaraan tetap pada lajumya. 3) Pelebaran di tikungan ditentukan oleh radius belok kendaraan rencana dan besarnya ditetapkan sesuai Tabel 2.7. 4) Pelebaran yang lebih kecil dari 0.6 meter dapat diabaikan. 5) Untuk jalan 1 jalur 3 lajur, nilai-nilai dalam Tabel 2.7 harus dikalikan 1,5. 6) Untuk jalan 1 jalur 4 lajur, nilai-nilai dalam Tabel 2.7 harus dikalikan 2.
Debi Oktaviani Nofita Milla Ana Farida
Studi Kelayakan Geometrik Jalan Ciwaruga – Sariwangi
26
D3 TEKNIS SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Tabel 2.7 Pelebaran di Tikungan Lebar jalur 20-50m, 2 arah atau 1 arah R (m)
Kecepatan Rencana, Vd (km/jam) 50
60
70
80
90
100
110
120
1500
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.1
1000
0.0
0.0
0.1
0.1
0.1
0.1
0.2
0.2
750
0.0
0.0
0.1
0.1
0.1
0.2
0.3
0.3
500
0.2
0.3
0.3
0.4
0.4
0.5
0.5
400
0.3
0.3
0.4
0.4
0.5
0.5
300
0.3
0.4
0.4
0.5
0.5
250
0.4
0.5
0.5
0.6
200
0.6
0.7
0.8
150
0.7
0.8
140
0.7
0.8
130
0.7
0.8
120
0.7
0.8
110
0.7
100
0.8
90
0.8
80
1.0
70
1.0
2.3.3 Alinemen Vertikal Alinemen vertikal terdiri atas bagian landai vertikal dan bagian lengkung vertikal. Ditinjau dari titik awal perencanaan, bagian landai vertikal dapat berupa landai positif (tanjakan), atau landai negatif (turunan), atau landai nol (datar). Bagian lengkung vertikal dapat berupa lengkung cekung atau lengkung cembung. A.
Landai Maksimum Kelandaian maksimum dimaksudkan untuk memungkinkan kendaraan
bergerak terus tanpa kehilangan kecepatan yang berarti. Kelandaian maksimum Debi Oktaviani Nofita Milla Ana Farida
Studi Kelayakan Geometrik Jalan Ciwaruga – Sariwangi
27
D3 TEKNIS SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
didasarkan pada kecepatan truk yang bermuatan penuh yang mampu bergerak dengan penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh kecepatan semula tanpa harus menggunakan gigi rendah. Kelandaian maksimum untuk berbagai VR
ditetapkan dapat dilihat dalam Tabel 2.8.
Tabel 2.8 Kelandaian maksimum yang diizinkan VR (km/jam)
120
110
100
80
60
50
40
<40
3
3
4
5
8
9
10
10
Kelandaian
Maksimum (%)
Panjang kritis yaitu panjang landai maksimum yang harus disediakan agar kendaraan dapat mempertahankan kecepatannya sedemikian sehingga penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh VR. Lama perjalanan tersebut ditetapkan tidak lebih dari satu menit. Panjang kritis dapat ditetapkan dari Tabel 2.9. Tabel 2.9 Panjang Kritis (m) Kelandaian (%)
Kecepatan pada awal tanjakan km/jam
4
5
6
7
8
9
10
80
630
460
360
270
230
230
200
60
320
210
160
120
110
90
80
B.
Lengkung Vertikal Lengkung vertikal harus disediakan pada setiap lokasi yang mengalami
perubahan kelandaian dengan tujuan mengurangi goncangan akibat perubahan kelandaian, dan menyediakan jarak pandang henti. Lengkung vertikal dalam tata cara ini ditetapkan berbentuk parabola sederhana, a. jika jarak pandang henti lebih kecil dari panjang lengkung vertikal cembung, panjangnya ditetapkan dengan rumus:
Debi Oktaviani Nofita Milla Ana Farida
Studi Kelayakan Geometrik Jalan Ciwaruga – Sariwangi
28
D3 TEKNIS SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
…………………………………………………………
(2.11a)
Sumber : Perencanaan Geometrik Jalan
Gambar 2.9 Lengkung Vertikal Cembung
b. jika jarak pandang henti lebih besar dari panjang lengkung vertikal cekung, panjangnya ditetapkan dengan rumus: …………………………………………………
(2.11b)
Sumber : Perencanaan Geometrik Jalan
Gambar 2.10 Lengkung Vertikal Cekung
Panjang minimum lengkung vertikal ditentukan dengan rumus: L = AY ……………………………………………………………
(2.11c)
……………………………………………………………
(2.11d)
keterangan : L = Panjang lengkung vertikal (m), A = Perbedaan grade (m), Jh = Jarak pandangan henti (m), Debi Oktaviani Nofita Milla Ana Farida
Studi Kelayakan Geometrik Jalan Ciwaruga – Sariwangi
29
D3 TEKNIS SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Y = Faktor penampilan kenyamanan, didasarkan pada tinggi
obyek 10 cm dan tinggi mata 120 cm.
Y dipengaruhi oleh jarak pandang di malam hari, kenyamanan, dan
penampilan.Y ditentukan sesuai Tabel2.10.
Tabel 2.10 Penentuan Faktor penampilan kenyamanan, Y Kecepatan Rencana (km/jam)
Faktor Penampilan Kenyamanan, Y
<40
1,5
40 – 60
3
>60
8
2.3.4 Koordinat Alinemen Alinemen vertikal, alinemen horizontal, dan potongan melintang jalan adalah elemen elemen jalan sebagai keluaran perencanaan hares dikoordinasikan sedemikian sehingga menghasilkan suatu bentuk jalan yang baik dalam arti memudahkan pengemudi mengemudikan kendaraannya dengan aman dan nyaman. Bentuk kesatuan ketiga elemen jalan tersebut diharapkan dapat memberikan kesan atau petunjuk kepada pengemudi akan bentuk jalan yang akan dilalui di depannya sehingga pengemudi dapat melakukan antisipasi lebih awal. Koordinasi alinemen vertikal dan alinemen horizontal harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1) Alinemen horizontal sebaiknya berimpit dengan alinemen vertikal, dan secara ideal alinemen horizontal lebih panjang sedikit melingkupi alinemen vertikal;
Sumber : Perencanaan Geometrik Jalan
Gambar 2.11 Koordinasi yang ideal antara alinemen horizontal dan alinemen vertical yang berimpit
Debi Oktaviani Nofita Milla Ana Farida
Studi Kelayakan Geometrik Jalan Ciwaruga – Sariwangi
30
D3 TEKNIS SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2) Tikungan yang tajam pada bagian bawah lengkung vertikal cekung atau pada
bagian atas lengkung vertikal cembung harus dihindarkan;
Sumber : Perencanaan Geometrik Jalan
Gambar 2.12 Koordinasi yang harus dihindarkan, tikungan yang tajam pada bagian bawah lengkung vertikal cekung atau pada bagian atas lengkung vertikal cembung
3) Lengkung vertikal cekung pada kelandaian jalan yang lurus dan panjang harus dihindarkan;
Sumber : Perencanaan Geometrik Jalan
Gambar 2.13 Koordinasi yang harus dihindarkan, lengkung vertikal cekung pada kelandaian yang lurus dan panjang
4) dua atau lebih lengkung vertikal dalam satu lengkung horizontal harus dihindarkan; dan 5) tikungan yang tajam di antara 2 bagian jalan yang lurus dan panjang harus dihindarkan.
Debi Oktaviani Nofita Milla Ana Farida
Studi Kelayakan Geometrik Jalan Ciwaruga – Sariwangi
31
D3 TEKNIS SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.4
Karakteristik Lalu-Lintas
2.4.1 Kendaraan Rencana
Kendaraan Rencana adalah kendaraan yang dimensi dan radius putarnya
dipakai sebagai acuan dalam perencanaan geometrik. Dilihat dari bentuk, ukuran
dan daya dari kendaraan – kendaraan yang menggunakan jalan, kendaraan -
kendaraan tersebut dapat dikelompokkan (Bina Marga, 1997 dalam Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota).
Kendaraan yang akan digunakan sebagai dasar perencanaan geometrik
disesuaikan dengan fungsi jalan dan jenis kendaraan yang dominan menggunakan
jalan tersebut. Pertimbangan biaya juga tentu ikut menentukan kendaraan yang dipilih sebagai perencanaan. Kendaraan Rencana dikelompokkan ke dalam 3 kategori antara lain: 1) Kendaraan Kecil, diwakili oleh mobil penumpang. 2) Kendaraan Sedang, diwakili oleh truk 3 as tandem atau oleh bus besar 2 as. 3) Kendaraan Besar, diwakili oleh truk semi-trailer. Tabel 2.11 Dimensi Kendaraan Rencana KATEGORI KENDARAAN RENCANA
DIMENSI KENDARAAN (cm)
TONJOLAN (cm)
RADIUS PUTAR (cm)
Tinggi Lebar Panjang Depan Belakang Minimum Maksimum Kendaraan Kecil 130 210 580 90 150 420 730 Kendaraan Sedang 410 260 1210 210 240 740 1280 Kendaraan Besar 410 260 1200 1200 900 2900 14000
RADIUS TONJOLAN (cm) 780 1410 1370
2.4.2 Volume Lalu – Lintas Rencana Volume lalu lintas menunjukkan jumlah kendaraan yang melintasi satu titik pengamatan dalam satu satuan waktu (hari, jam, menit). Volume lalu lintas yang tinggi membutuhkan lebar perkerasan jalan lebih besar sehingga tercipta kenyamanan dan keamanan dalam berlalu lintas. Sebaliknya jalan yang terlalu lebar untuk volume lalu lintas rendah cenderung membahayakan karena pengemudi cenderung mengemudikan kendaraannya pada kecepatan yang lebih Debi Oktaviani Nofita Milla Ana Farida
Studi Kelayakan Geometrik Jalan Ciwaruga – Sariwangi
32
D3 TEKNIS SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
tinggi sedangkan kondisi jalan belum tentu memungkinkan. Disamping itu juga mengakibatkan peningkatan biaya pembangunan jalan yang tidak pada tempatnya atau tidak ekonomis (Sukirman, 1994 dalam Tata Cara Perencanaan Geometrik
Jalan Antar Kota).
Satuan volume lalu lintas yang umum dipergunakan sehubungan dengan penentuan jumlah dan lebar jalur adalah: 1) Lalu lintas harian rata-rata
1)
2) Volume jam perencanaan Lalu Lintas Harian Rata-Rata Lalu lintas harian rata-rata adalah volume lalu lintas rata-rata dalam satu hari
(Sukirman,1994dalam Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota). Cara memperoleh data tersebut dikenal dua jenis lalu lintas harian rata-rata, yaitu lalu lintas harian rata-rata tahunan (LHRT) dan lalu lintas harian rata-rata. LHRT adalah jumlah lalu lintas kendaraan rata-rata yang melewati satu jalur jalan selama 24 jam dan diperoleh dari data selama satu tahunan penuh.
……… ……………
LHRT =
(2.12)
Sedangkan LHR adalah hasil bagi jumlah kendaraan yang diperoleh selama pengamatan dengan lamanya pengamatan,
…… ………………
LHRT =
(2.13)
Data LHR ini cukup teliti jika : 1) Pengamatan dilakukan pada interval-interval waktu yang cukup menggambarkan fluktuasi arus lalu lintas selama satu tahun. 2) Hasil LHR yang dipergunakan adalah harga rata-rata dari perhitungan LHR beberapa kali.
Debi Oktaviani Nofita Milla Ana Farida
Studi Kelayakan Geometrik Jalan Ciwaruga – Sariwangi
33
D3 TEKNIS SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2)
Volume Jam Perencanaan (VJR)
Volume jam perencanaan (VJR) adalah volume lalu lintas per jam yang
dipergunakan sebagai dasar perencanaan (Sony Sulaksono, 2001 dalam Tata Cara
Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota). Volume ini harus mencerminkan
keadaan lalu lintas sebenarnya tetapi biasanya tidak sama dengan volume terbesar
atau arus tersibuk yang akan melewatinya, perencanaan berdasarkan volume terbesar ini akan mengahasilkan konstruksi yang boros yang hanya akan berguna pada arus maksimum dan ini terjadi dalam kurun waktu singkat dalam sehari.
Volume lalu lintas untuk perencanaan geometrik umumnya ditetapkan dalam
Satuan Mobil Penumpang (SMP) sehingga masing – masing jenis kendaraan yang diperkirakan yang akan melewati jalan rencana harus dikonversikan kedalam satuan tersebut dengan dikalikan nilai Ekivalensi Mobil Penumpang (EMP). 2.4.3 Kecepatan Rencana Kecepatan rencana, VR, pada suatu ruas jalan adalah kecepatan yang dipilih sebagai dasar perencanaan geometrik jalan yang memungkinkan kendaraankendaraan bergerak dengan aman dan nyaman dalam kondisi cuaca yang cerah, lalu lintas yang lengang, dan pengaruh samping jalan yang tidak berarti.V Runtuk masing masing fungsi jalan dapat ditetapkan dari Tabel 2.12. Untuk kondisi medan yang sulit, VR suatu segmen jalan dapat diturunkan dengan syarat bahwa penurunan tersebut tidak lebih dari 20 km/jam. Tabel 2.12 Kecepatan Rencana, VR sesuai klasifikasi fungsi dan kiasifikasi medan jalan. Fungsi
Datar
Bukit
Pegunungan
Arteri
70 – 120
60 – 80
40 – 70
Kolektor
60 – 90
50 – 60
30 – 50
Lokal
40 – 70
30 – 50
20 – 30
Debi Oktaviani Nofita Milla Ana Farida
Kecepatan Rencana, VR Km/jam
Studi Kelayakan Geometrik Jalan Ciwaruga – Sariwangi
34
D3 TEKNIS SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.5
Rambu dan Marka Jalan
2.5.1 Rambu
Rambu lalu-lintas di jalan yang selanjutnya disebut rambu adalah salah satu
dari perlengkapan jalan, berupa lambang, huruf, angka, kalimat atau perpaduan
diantaranya sebagai peringatan, larangan, perintah atau petunjuk bagi pemakai
jalan. (No. 01/P/BNKT/1991 tentang Tata Cara Pemasangan Rambu dan Marka Jalan Perkotaan). 1)
Jenis rambu lalu-lintas terdiri dari Rambu peringatan Rambu Peringatan adalah Rambu yang memberikan petunjuk kepada
pemakai jalan mengenai bahaya yang akan dihadapi serta memberitahukan sifat bahaya tersebut. Rambu peringatan wajib ditempatkan pada jarak 80 meter atau pada jarak tertentu sebelum tempat bahaya dengan memperhatikan lalu-lintas, cuaca dan keadaan jalan yang disebabkan oleh faktor geografis, geometris dan permukaan jalan agar mempunyai daya guna sebesar-besarnya. Jarak antara rambu dan permukaan bagian jalan yang berbahaya, dapat dinyatakan dengan papan tambahan apabila jarak antara rambu dan permulaan bagian jalan yang berbahaya tersebut tidak dapat diduga oleh pemakai jalan dan tidak sesuai dengan keadaan biasa. (No. 01/P/BNKT/1991 tentang Tata Cara Pemasangan Rambu dan Marka Jalan Perkotaan) Rambu peringatan ditempatkan pada sisi jalan dengan jarak minimal : a.
350 m untuk jalan raya dengan kecepatan melebihi 80 km/jam.
b. 160 m untuk jalan raya kecepatan minimal 60 km/jam dan tidak melebihi dari 80 km/jam. c. 80 m untuk jalan raya dengan kecepatan tidak melebihi 60 km/jam. 2)
Rambu perintah & larangan Rambu larangan dan Rambu Perintah adalah rambu yang memberikan
petunjuk yang harus dipatuhi oleh pemakai jalan mengenai kewajiban, prioritas, batasan atau larangan. Debi Oktaviani Nofita Milla Ana Farida
Studi Kelayakan Geometrik Jalan Ciwaruga – Sariwangi
35
D3 TEKNIS SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Jika dianggap perlu rambu larangan dapat diulang penempatannya sebelum
titik dimana larangan itu dimulai dengan menempatkan papan tambahan dibawah rambu dimaksud dengan jarak minimal:
a. 350 m untuk jalan raya dengan kecepatan melebihi 80 km/jam b. 160 m untuk jalan raya dengan kecepatan minimal 60 km/jam dan tidak melebihi dari 80 km/jam
c. 80 m untuk jalan raya dengan kecepatan tidak melebihi 60 km/jam.
Jika dianggap perlu rambu perintah dapat diulang penempatannya sebelum
titik dimana perintah itu dimulai dengan menempatkan papan tambahan dibawah
rambu perintah dimaksud. (No. 01/P/BNKT/1991 tentang Tata Cara Pemasangan Rambudan Marka Jalan Perkotaan). 3)
Rambu petunjuk Rambu petunjuk adalah rambu yang memberikan petunjuk kepada pemakai
jalan mengenai arah, tempat dan informasi, yang meliputi rambu pendahuluan, rambu jurusan (arah), rambu penegasan, rambu petunjuk batas wilayah dan rambu lain yang memberikan keterangan serta fasilitas yang bermanfaat bagi pemakai jalan.Rambu petunjuk ditempatkan pada sisi jalan, pemisah jalan atau diatas daerah manfaat jalan sebelum tempat, daerah atau lokasi yang ditunjuk. Ada beberapa rambu petunjuk yang di tempatkan sebelum lokasi yang ditunjuk dengan jarak minimal: a. 350 m untuk jalan raya dengan kecepatan melebihi 80 km/jam. b. 160 m untuk jalan raya dengan kecepatan minimal 60 km/jam dan tidak melebihi dari 80 km/jam c. 80 m untuk jalan raya dengan kecepatan tidak melebihi 60 km/jam. Ada juga rambu petunjuk yang ditempatkan sebelum lokasi yang ditunjuk harus dilengkapi dengan papan tambahan menyatakan jarak, dan juga yang ditempatkan pada lokasi yang ditunjuk dimana petunjuk dimulai. (No. 01/P/BNKT/1991 tentang Tata Cara Pemasangan Rambudan Marka Jalan Perkotaan). Debi Oktaviani Nofita Milla Ana Farida
Studi Kelayakan Geometrik Jalan Ciwaruga – Sariwangi
36
D3 TEKNIS SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
4) Rambu sementara
Rambu Sementara adalah rambu lalu-lintas jalan yang digunakan secara tidak
permanen. Untuk pengaturan lalu-lintas dalam keadaan darurat atau untuk
sementara waktu. Penempatan dari rambu sementara itu sendiri yaitu:
a.
Rambu sementara ditempatkan pada bagian jalan dimana keadaan darurat atau kegiatan tertentu diberlakukan.
b. Rambu sementara ditempatkan dengan jarak 100 meter dari bagian jalan. c. Rambu sementara dapat diulang lagi pada setiap jarak 150 meter dari rambu
sementara
sebelumnya.
(No.
01/P/BNKT/1991
tentang
Tata
Cara
Pemasangan Rambu dan Marka Jalan Perkotaan). 5)
Papan tambahan Papan Tambahan adalah papan yang memberikan penjelasan lebih lanjut
dari suatu rambu yang berisi ketentuan waktu, jarak, jenis kendaraan dan ketentuan lainnya yang dipasang untuk melengkapi rambu lalu-lintas jalan. Papan tambahan dapat ditempatkan rambu peringatan, rambu larangan dan perintah, rambu petunjuk dengan sisi atasnya bersentuhan dengan bagian bawah rambu dimaksud. (No. 01/P/BNKT/1991 tentang Tata Cara Pemasangan Rambu dan Marka Jalan Perkotaan. 2.5.2 Marka Jalan Tanda Permukaan (Marka Jalan) adalah sebagian dari tanda-tanda jalan, yang meliputi tanda garis membujur, garis melintang, kerucut lalu-lintas (lane divider) serta lambang-lambang lainnya yang ditempatkan pada atau diatas permukaan jalan. Adapun beberapa penggunaan tanda permukaan jalan (marka jalan): 1) Tanda Garis Membujur adalah tanda yang membentuk garis utuh ataupun putus-putus yang searah dengan gerak perjalanan lalu-lintas. Warna kuning utuh berarti kendaraan dilarang berhenti, ke luar ataupun memasuki jalur kendaraan memotong tanda ini. Kuning putus-putus sebagai tanda batas sisi kanan arah lalu lintas jalur kendaraan umum di Debi Oktaviani Nofita Milla Ana Farida
Studi Kelayakan Geometrik Jalan Ciwaruga – Sariwangi
37
D3 TEKNIS SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
daerah perkotaan pada jalur lintas satu arah. Putih utuh berarti larangan
bahwa sepanjang tanda garis utuh ini dilarang berpindah jalur lintasan. Putih putus-putus sama seperti putih utuh tapi dengan kelonggaran boleh berpindah jalur lintasan bila keadaan lalu lintas memungkinkan.
2) Tanda Garis Melintang adalah tanda yang berbentuk garis utuh ataupun
putus-putus yang tegak lurus ataupun hampir tegak lurus terhadap garis
membujur. Warna putih utuh dapat dipergunakan pada persimpangan untuk menyatakan suatu batas tempat berhenti pengemudi kendaraan yang diwajibkan oleh isyarat yang disampaikan oleh lampu pengatur lalu lintas, petugas pengatur lalu lintas ataupun oleh rambu. Putih putusputus ganda dapat dipergunakan pada persimpangan - persimpangan sebagai suatu batas berhenti bagi pengemudi kendaraan yang diwajibkan oleh isyarat yang disampaikan oleh rambu. 3) Tanda Garis Serong adalah tanda yang berbentuk garis utuh yang tidak termasuk dalam pengertian garis membujur ataupun garis melintang, untuk menyatakan suatu daerah permukaan jalan yang bukan merupakan jalur kendaraan. Penempatan tanda permukaan jalannya adalah: 1) Tanda permukaan jalan hanya dapat ditempatkan pada jalur lalu lintas 2) Penempatan tanda permukaan jalan dilakukan sedemikian rupa, sehingga mudah terlihat dengan jelas bagi memakai jalan yang bersangkutan 3) Pemasangan tanda permukaan jalan harus bersifat tetap dan kokoh dan tidak menimbulkan licin pada permukaan jalan dan terlihat jelas pada malam hari.
Debi Oktaviani Nofita Milla Ana Farida
Studi Kelayakan Geometrik Jalan Ciwaruga – Sariwangi
38