BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Indonesia memiliki bermacam budaya yang terbentang dari Sabang hingga Merauke. Pada sensus tahun 2000, tercatat lebih dari 1000 grup etnik dan sub-etnik, yang masing-masing grup mengklaim mempunyai bahasa dan budaya sendiri. 1 Tidak banyak negara seberuntung Indonesia di mana memiliki kekayaan sosio-kultural yang tidak ternilai. Keadaan yang demikian membuat Indonesia dikenal sebagai masyarakat multikultural. J.S. Furnival menyatakan masyarakat multikultural merupakan masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih komunitas (kelompok) yang secara kultural dan ekonomi terpisah-pisah serta memiliki struktur kelembagaan yang berbeda-beda satu sama lainnya. 2 Dalam masyarakat multikultural, kita akan menjumpai perbedaan budaya, seperti ras, suku, bahasa, adat istiadat, agama, dan perbedaan lainnya
di
masing-masing
komunitas.
Seperti yang
diungkapkan Parekh (1997) dalam Azra 3, just as society with several religions or languages is multi religious or multi lingual, a society containing several cultures is multicultural. Pada keadaan masyarakat yang multikultural akan dijumpai adanya multikulturalisme di dalamnya. Multikulturalisme
merupakan pengakuan
akan
komunitasnya
martabat
manusia
yang
hidup
dalam
dengan
kebudayaannya masing-masing yang unik. 4 Lebih tegasnya, multikulturalisme merupakan ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam
1
Thung Ju Lan. 2011. “Heterogenity, politics of ethnicity, and multiculturalism. What is a viable framework for Indonesia?”. dalam Wacana Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya : Multiculturalism. Faculty of Humanities University of Indonesia.Vol.(13).No.2.Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia.Hal.280. 2
Terarsip dalam http://www.scribd.com/doc/229626919/Masyarakat-Multikultural-pdf#scribd (diakses pada 23 Desember 2014) 3 Azyumardi Azra. 2007. Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia.Yogyakarta: Kanisius.Hal.13. 4 Choirul Mahfud. 2006. Pendidikan Multikultural.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Hal.75.
1
kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan. 5 Dengan demikian, multikulturalisme mengisyaratkan akan pengakuan terhadap realitas keragaman kultural, yang mencakup keberagaman ras, suku, etnis, agama, maupun kebergaman bentuk-bentuk kehidupan yang terus bermunculan di setiap tahap kehidupan masyarakat. Multikulturalisme merupakan cara yang tepat dalam menghadapi masyarakat multikultural terutama bagi Indonesia.6 Keadaan Indonesia yang multikultural, membuat Indonesia rentan adanya konflik. Terjadinya konflik bisa disebabkan karena perbedaan latar belakang budaya. Ketidakmampuan masyarakat menerima perbedaan yang ada di sekitarnya, menjadi alasan kuat terjadinya konflik. Beberapa konflik yang terjadi di Indonesia yang di latar belakangi oleh perbedaan budaya antara lain konflik yang terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah tahun 2001 serta konflik di Poso, Sulawesi Tengah tahun 1998 dan 2000. Konflik Sampit merupakan konflik antar suku yaitu antara orang Dayak asli dengan warga migran Madura. Agama pun sering menjadi alasan terjadinya konflik, seperti yang terjadi di Poso, Sulawesi Tengah tahun 1998 dan 2000 antara agama Islam dan Kristen. Kedua konflik tersebut merupakan contoh konflik besar yang terjadi Indonesia karena adanya perbedaan budaya. Oleh karenanya, dalam mengatasi konflik karena adanya perbedaan budaya, salah satu caranya adalah dengan memahami dan menyebarluaskan multikulturalisme. Alasannya adalah dalam multikulturalisme, menghargai dan mengakui budaya lain secara sederajat merupakan hal yang paling pokok. Masyarakat perlu mengenal multikulturalisme, mengingat pentingnya multikulturalisme
dalam
kehidupan
masyarakat
yang
multikultural.
Pengenalan akan multikulturalisme memerlukan media yang dapat membantu menyampaikan pesan multikulturalisme pada masyarakat. Salah satunya yaitu media massa. Sifat media massa yang mampu memberikan informasi secara
5
Pasurdi Suparlan. 2002. Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural. Terarsip dalam http://journal.ui.ac.id/index.php/jai/article/viewFile/3448/2729 (Diakses pada 5 September 2014) 6 Ibid
2
luas, dapat mencakup seluruh lapisan masyarakat, menjadikan media massa sarana yang ampuh untuk menyebarkan paham multikulturalisme. Pasca Reformasi 1998, media massa di Indonesia mulai berani menyuguhkan isu-isu mengenai multikulturalisme. Keberanian media massa Indonesia mengemas isu multikulturalisme muncul ketika kebebasan pers mulai merajalela di Indonesia. Saat Orde Baru, media massa dikekang oleh pemerintah sehingga konten yang ada pun tidak terlepas dari propaganda pemerintah. Isu-isu yang mengandung SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) sangat tabu dibicarakan pada era Orde Baru dengan tujuan demi menjaga stabilitas nasional. Konflik-konflik yang mulai muncul ke permukaan saat tahun 1998, membuat media massa di Indonesia berbondong-bondong menyoroti masalah multikulturalisme. Seberapa sering pun media massa mengangkat multikulturalisme, pembicaraan mengenai multikulturalisme tidak akan pernah selesai, karena keadaan Indonesia sendiri pun negara yang memiliki beragam budaya. Salah
satu
dari
media
massa
yang
menyoroti
masalah
multikulturalisme adalah film. Berbeda dengan media massa lain (televisi, koran, radio), film mampu menyuguhkan pesan atau informasi lewat plot cerita naratif yang didukung oleh gambar visual menarik serta scoring musik yang mampu membawa audiens seolah-olah berada pada dunia film tersebut. Singkatnya, film memiliki keunggulan dalam menyampaikan pesan secara audio visual. Selain hal tersebut, film sesuai dengan fungsinya, bisa memberikan hiburan, pendidikan, memberikan informasi, membujuk juga sebagai kontrol sosial.
Artinya, dalam sebuah film orang bisa mengungkapkan berbagai
pandangan terhadap hal-hal yang dianggapnya menyimpang dari aturan yang diakui oleh masyarakat. Film tidak bisa meninggalkan tanggung jawab sosialnya sebagai sebuah media massa yang bertugas untuk menyampaikan berbagai isu dalam masyarakat secara umum, sebab film adalah perpanjangan tangan masyarakat.
3
Di Indonesia, isu yang sebenarnya cukup menarik diangkat ke dalam sebuah film adalah mengenai multikulturalisme. Dalam ranah kajian media dan budaya, media seringkali dilihat sebagai cerminan dari realitas di mana apa yang tampak dalam media dianggap sebagai kehidupan sesungguhnya (media equation).7 Indonesia yang pada hakekatnya memiliki keberagaman budaya seharusnya memiliki banyak isu budaya yang bisa dijadikan ide pembuatan film. Melalui cerita yang disuguhkan, orang/sineas dapat menyisipkan pesan mulitikuturalisme pada masyarakat baik secara eksplisit maupun implisit. Film Tanda Tanya (2011) karya Hanung Bramantyo merupakan sebuah film bertema multikulturalisme. Hal ini terlihat dari penokohan karakter yang berbeda etnis, agama, dan budaya. Pada dasarnya film ini ingin mengangkat ide tentang toleransi agama, tetapi justru film ini banyak menerima pencekalan, salah satunya dari Front Pembela Islam (FPI). Film ini dianggap melecehkan umat Islam. Penelitian yang dilakukan oleh Veronica Dian Anggraeni mengenai wacana toleransi pada film tersebut, mempertegas mengapa film ini banyak menuai kotroversi. Dalam penelitiannya, Anggraeni (2012) menemukan bahwa film Tanda Tanya tidak berhasil memberikan makna toleransi yang baik, karena adanya sebuah dominasi Islam dan pencitraan diri dari agama Islam yang dikemas sutradara dengan tema toleransi. 8 Penelitian lain yang mengulas film Tanda Tanya, juga menemukan citra Islam berkaitan dengan kemiskinan, rasisme, kekerasan dan terorisme, serta murtad.9 Film 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta (2010) merupakan salah satu film yang mengangkat multikulturalisme dalam ceritanya. Drama percintaan dua sejoli 7
Byron Reeves dan Clifforde Nass dalam Emory A. Griffin. 2003. A First Look at Communication Theory. Fifth Edition. Boston: McGraw-Hill.Hal.403. 8 Veronica Dian Anggraeni.2012. Ketika Toleransi Sedang Dipertanyakan? (Analisis Wacana Kritis pada Film Tanda Tanya “?”)Terarsip dalam http://repository.uksw.edu/bitstream/handle/123456789/2729/TI_362008008_Judul.pdf?sequence= 1 (diakses 23 Desember 2014 pukul 11.05) 9 Muhammad Iqbal. Konstruksi Citra Islam Dalam Film “?” (Tanda Tanya). Terarsip dalam http://repository.uksw.edu/jspui/bitstream/123456789/3842/2/T1_362008093_BAB%20I.pdf (diakses 23 Desember 2014 pukul 12.32)
4
yang berbeda agama, suku, dan kelas sosial, menjadi tema utama film ini. Berbeda dengan Tanda Tanya (2011) yang menuai banyak protes, 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta, diterima dengan baik oleh masyarakat. Sajian ringan yang berbalut dengan komedi mengenai isu multikulturalisme menjadikan film ini berhasil mencuri perhatian khalayak. 3 hati, 2 Dunia, 1 Cinta memperoleh 7 penghargaan pada ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2010, salah satunya sebagai film terbaik. Hal positif dari film ini adalah adanya nilai-nilai pendidikan multikultural10 yang terdapat dalam unsur-unsur film tersebut, antara lain
belajar hidup dalam perbedaan, rasa saling percaya, saling
memahami, saling menghargai, berfikir terbuka, apresiasi dan interdependensi, dan resolusi konflik dan rekonsiliasi nirkekerasan. Berbeda dengan 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta, film Cin(T)a (2009) merupakan film indie ini juga berkisah seputar cinta yang dibalut dengan isu di tengah masyarakat Indonesia, yakni masalah suku, agama, ras, dan status sosial. Film ini mampu menyuguhkan dialog-dialog yang berani oleh dua tokoh utama mengenai isu multikulturalisme Dialog-dialog dalam film ini terbilang cukup berani dalam menyampaikan hal-hal yang menjadi perbedaan, yang sering kali agak canggung atau bahkan tabu bila diutarakan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu penelitian mengenai film ini adalah mengenai representasi pesan pluralisme verbal dan nonverbal. 11 Hasil dari penelitian tersebut salah satunya adalah pesan mengenai kerukunan umat beragama yang ditandai dengan kebebasan beribadah sesuai dengan ajarannya masing-masing. Berbeda dengan film mainstream atau komersil, ada pula film pendek Indonesia yang menyumbangkan gagasan mengenai multikulturalisme. Film
10
Miftahudin.2012. Nilai-Nilai Pendidikan Multikultural Dalam Film Tiga Hati Dua Dunia Satu Cinta Karya Ben Sohib Dan Relevansinya Dengan Pendidikan Islam. Terarsip dalam http://digilib.uin-suka.ac.id/10118/1/BAB%20I,%20IV,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf (diakses 23 Desember 2014 pukul 16.17) 11 Ratih Gema Utami.REPRESENTASI PESAN PLURALISME DALAM FILM CIN(T)A (Analisis Semiotika Roland Barthes Mengenai Representasi Pesan Pluralisme Verbal dan Nonverbaldalam Film Cin(T)a). Terarsip dalam elib.unikom.ac.id/download.php?id=173132 (diakses 23 Desember 2014 pukul 18.05)
5
pendek mampu menghadirkan kejujuran pembuatnya dalam mengekspresikan pemikirannya karena tidak ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan golongan. Ciri utama film pendek adalah durasinya yang kurang dari 50 menit.12 Dengan masa putar yang singkat, para pembuat film pendek dalam menyiasati bahasa pada film untuk lebih jernih, menggunakan tanda-tanda yang essential atau simbol-simbol yang secara tidak langsung bisa menggambarkan suatu keadaan atau cerita.13 Salah satu film pendek yang berjudul Walang Weling Wulang (2010) karya Yosep Anggi Noen lebih menekankan pada simbol daripada cerita. Film ini bertutur tentang seorang anak yang bernama Suluh, yang suka menjahili teman sekelasnya terutama anak perempuan, salah satunya Azizah. Suatu hari, Suluh terpaksa meminta bantuan Azizah dalam menghafal salah satu surat di Al Qur’an. Dalam perjalanan meminta bantuan Azizah, Suluh dibantu oleh Damar temannya yang kristiani. Justru dalam perjalanan itulah, perbedaan diantara mereka mampu mendekatkan mereka. Walaupun film ini cukup mampu menghadirkan pesan multikulturalisme lewat simbol-simbol agama yang kuat, namun dalam penceritaan mengalami kelemahan sehingga film ini kurang “mendapat perhatian” dari khalayak. Selain Walang Weling Wulang (2010), film pendek lain yang mengangkat isu multikulturalisme adalah film yang berjudul Cheng Cheng Po karya BW Purba Negara. Film pendek yang diproduksi tahun 2007, bercerita tentang Markus, Tyara, Tohir dan Han yang bersahabat baik walaupun mereka dari latar belakang etnis, agama, tradisi, dan budaya yang berbeda. Mereka tulus berteman tanpa memandang perbedaan diantara mereka. Ketulusan mereka ditandai dengan kesanggupan mereka untuk membantu salah satu temannya, Han, yang sedang kesulitan. Menurut Yosep Anggi Noen selaku produser,14 film Cheng Cheng Po mencoba untuk mengangkat tema multikultur dengan menggunakan sudut 12
Gatot Prakosa. 1997. Film Pinggiran. Jakarta: FATMA PRESS.Hal.25. Ibid.Hal.26. 14 Terarsip dalam http://purbanegara.wordpress.com/author/purbanegara/ (diakses pada 30 Juli 2014 pukul 15.40). 13
6
pandang anak-anak. Yosep Anggi Noen menambahkan pula, film Cheng Cheng Po mencoba menyederhanakan persoalan perbedaan dari perspektif anak-anak. Dengan melihat kepolosan anak-anak dalam film Cheng Cheng Po, masyarakat dapat melihat bahwa mempermasalahkan perbedaan merupakan hal yang bisa disebut cheng-cheng po (remeh temeh). Cara bertutur yang sederhana serta cerita yang menarik mampu membawa Cheng Cheng Po kepada khalayak melalui screening di Singapore International Film dan Mumbai Asian Film Festival. Selain itu, Cheng Cheng Po juga berhasil meraih Piala Citra untuk kategori Film Pendek Terbaik di ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2008 serta Audiens Award dalam Festival Film Pendek Konfiden 2007. Cheng Cheng Po merupakan film fiksi pendek dengan tokoh sentral anak-anak dan ditujukan untuk anak-anak. Film ini menghadirkan nilai-nilai multikulturalisme, salah satunya yaitu tentang toleransi beragama. Pesan – pesan yang dihadirkan pada Cheng Cheng Po, pada dasarnya dapat menyindir orang dewasa dalam menyikapi sebuah perbedaan. Orang dewasa yang yang biasanya menganggap masalah perbedaan merupakan hal yang kompleks, sedangkan bagi anak-anak perbedaan adalah hal yang sederhana. Selain itu, film pendek ini mengambil tema sentral tentang persahabatan anak-anak yang berbeda etnis, agama, budaya. Hal ini menjadikan Cheng Cheng Po berbeda dengan film lain yang mengalas isu multikulturalisme. Sebagian besar film yang mengangkat isu multikulturalisme lebih berkutat pada masalah percintaan orang dewasa yang berbalut perbedaan latar belakang budaya. Pada
penjelasan
sebelumnya
mengenai
penelitian
muatan
multikulturalisme pada film, muatan teks tertentu apabila tidak diimbangi dengan pemahaman yang sesuai dengan ideologi negara akan memiliki potensi untuk memecah belah persatuan bangsa. Hal ini kemudian perlu menjadi perhatian bersama, ketika muncul muatan teks yang mengarah pada kebijakankebijakan terhadap keragaman kebudayaan yang tidak sesuai dengan ideologi negara serta menyudutkan pihak-pihak tertentu. Oleh karenanya, peneliti memiliki minat untuk meneliti kajian multikulturalisme yang berkembang di
7
media,
khususnya
film
pendek.
Selain
itu,
penelitian
mengenai
multikulturalisme lebih banyak mengulas pada film panjang dan penelitian pada film pendek belum banyak dilakukan. Berangkat dari pemikiran tersebut, peneliti ingin meneliti multikulturalisme dalam film pendek, khususnya film Cheng Cheng Po melalui analisis semiotik. Dengan analisis semiotik, dapat melihat representasi multikulturalisme melalui kode-kode yang ditampilkan pada film.
B. Rumusan Masalah Bagaimana multikulturalisme direpresentasikan dalam film pendek Cheng Cheng Po?
C. Tujuan Penelitian Tujuan
penelitian
ini
adalah
untuk
mengetahui
representasi
multikulturalisme dalam film pendek Cheng Cheng Po.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi kajian ilmu komunikasi mengenai multikulturalisme dan film. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi pada media massa mengenai pentingnya kesadaran budaya tentang multikulturalisme. 3. Manfaat Sosial Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kesadaran pada masyarakat untuk berpikir kritis mengenai apa yang mereka lihat dalam film.
E. Objek Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah film pendek yang berjudul Cheng Cheng Po. Cheng Cheng Po merupakan film pendek karya BW Purba Negara yang diproduksi tahun 2007. Film berdurasi 18 menit ini, diproduksi oleh
8
Limaenam Films. Cheng Cheng Po berhasil meraih Piala Citra untuk kategori Film Pendek Terbaik di ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2008 serta Audiens Award dalam Festival Film Pendek Konfiden 2007.
F. Kerangka Pemikiran 1. Film sebagai Representasi Sebuah Realitas Film merupakan bagian dari media massa. Dibandingkan dengan media massa lain, film memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh media massa lain. Film mampu menghadirkan plot dan naratif gambar bergerak hampir tak terbatas yang ditambah dengan score musik mampu menghidupkan cerita film. Karenanya, film mampu diterima dan dinikmati oleh semua kalangan sebagai media hiburan. Kelebihan film yang mampu menjadi media hiburan di semua segmen masyarakat memiliki potensi besar untuk mempengaruhi masyarakat. Pada awalnya, hubungan antara film dan masyarakat hanya bersifat linier, di mana film banyak mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan pesan yang dibawanya. Dengan kata lain, film hanya sebagai refleksi masyarakatnya saja karena film merupakan potret masyarakat di mana film itu dibuat. Kekuatan utama sebuah film adalah mampu menciptakan ilusi realitas. Sebagai audiens, kita dibawa masuk ke dunia baru dan mempercayai seolaholah realitas yang tercipta di dalamnya sungguh nyata. Oleh karena itu, film menghadirkan kembali sebuah realitas dengan caranya sendiri. Bertolak dari adanya realitas sejati yang terdapat di balik ilusi yang dibuatnya, film adalah representasi dari realitas. Turner mengatakan makna film sebagai representasi dari realitas masyarakat berbeda dengan film sebagai refleksi realitas. 15 Sebagai refleksi realitas, film hanya memindah realitas ke layar tanpa mengubah realitas itu. Sedangkan, film sebagai representasi dari realitas, film membentuk dan
15
Graeme Turner. 1999. Film as Social Practice. London: Routledge.Hal.41.
9
menghadirkan kembali realitas berdasakan kode-kode, konvensi-konvensi, dan ideologi dari kebudayaannya. 16 Sebagai media massa, film tidak terlepas dari posisinya sebagai produk budaya di sekelilingnya. Sigfried Kracauer 1974)17, film suatu bangsa mencerminkan mentalitas bangsa itu lebih dari yang tercermin lewat media artistik lainnya. Ada dua alasan yang dikemukakan Kracauer untuk mendukung pendapatnya. Pertama, film adalah karya bersama artinya dalam proses pembuatannya sutradara juga mengakomodasi sumbangan berbagai pihak. Kedua, film dibuat untuk orang banyak, sehingga film tidak bisa beranjak jauh dari masyarakat. Film memiliki dua realitas yaitu realitas film dan realitas kehidupan sehari-hari.
Dalam
perkembangannya,
realitas
kehidupan
sehari-hari
ditentukan oleh realitas film, sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan. Film tidak hanya menciptakan penonton yang dilihat itu sendiri, namun juga melihat apa yang akan dilihat oleh mata penonton. Film akan menampilkan gambaran realistik yang tersaji dalam gambaran kamera.18 Film dalam merepresentasikan realitas akan selalu terpengaruh oleh lingkup sosial, dan ideologi di mana film itu dibuat, dan akan berpengaruh kembali pada kondisi masyarakatnya. Dalam waktu yang bersamaan film mengukuhkan satu interaksi reflektif antara representasi sinematik dan pengalaman kehidupan riil yang terjadi di luar layar.19 Interaksi di sini dengan kata lain merupakan interaksi antara masyarakat dan film, yaitu masyarakat dapat
belajar
dari
film,
film
dapat
16
merepresentasikan
kehidupan
Budi Irawanto. 1999. Film, Ideologi, dan Militer: Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia. Yogyakarta: Media Pressindo.Hal.15. 17 Ali Imron.2003 Aktualisasi Film Sastra Sebagai Media Pendidikan Multikultural. Terarsip dalam http://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/123456789/2076/2_AKTUALISASI%20FILM% 20SASTRA%20AKADEMIKA%20VOL%201%20NO%201%20APRIL%202003.pdf?sequence= 1 (Diakses 25 Desember 2014 pukul 09.10) 18 Budhi K Zaman. 1998. Masyarakat Sinematik: Laporan Penelitian, Yogyakarta: FISIPOL UGM.Hal.52-53. 19 Ibid.Hal.38.
10
masyarakatnya. Dengan pemahaman tersebut, film dan masyarakat merupakan satu kesatuan.
2. Multikulturalisme Multikultural berarti beraneka ragam kebudayaan. Dalam konteks pembangunan bangsa, istilah multikultural ini telah membentuk suatu ideologi yang disebut
multikulturalisme.
Akar
kata
multikulturalisme
adalah
kebudayaan. Secara etimologis, multikulturalisme terbentuk dari kata multi (banyak),
culture
(budaya),
dan
isme
(aliran/paham).
Hakekatnya,
multikulturalisme mengandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing. Artinya, setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya. Dalam masyarakat multikultural, keragaman budaya, baik besar maupun kecil sama-sama diakui keberadaannya. Menurut
Suparlan,
akar
kata
dari
multikulturalisme
adalah
kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia.20 Multikulturalisme adalah sebuah ideologi dan sebuah alat untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya. Suparlan mengatakan multikulturalisme akan menjadi acuan utama bagi terwujudnya masyarakat multikultural, karena multikulturalisme sebagai sebuah ideologi akan mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. 21 Di mana kebudayaan dalam hal itu merupakan keseluruhan kompleksyang ada di dalamnya meliputi pengetahuan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan setiap kemampuan atau kebiasaan yang dilakukan oleh seseorang sebagai anggota suatu masyarakat.22
20
Pasurdi Suparlan.2002. Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural. Terarsip dalam www.fisip.ui.ac.id/antropologi/httpdocs/jurnal/.../10brt3psu69.pdf (diakses pada 3 Agustus 2014 pukul 11.14) 21 Ibid 22 Alo Lilweri.2003.Makna Budaya Dalam Komunikasi Antarbudaya.Yogyakarta:LkiS.Hal.11.
11
Sebagaimana diungkapkan Gutman (1993) dalam Kymlicka 23, multikulturalisme memiliki tantangan mampu mengakomodasi perbedaan kebangsaan dan etnis secara stabil serta dapat dipertahankan secara moral. Dengan demikian multikulturalisme mengenal dua hal yaitu diversity yang dipahami sebagai penerimaan dari perbedaan dan yang kedua adalah bicultural, yaitu orang yang tumbuh dan berkembang dengan lebih dari satu identitas kultural (misal bahasa sebagai penanda identitas). Manfaat dari multikulturalisme adalah menerapkan sistem yang lebih adil dan memberi kesempatan pada setiap orang untuk mengekspresikan diri dalam suatu kelompok, lebih toleran dan adaptif terhadap isu-isu sosial. Multikulturalisme sangat perlu diterapkan di Indonesia mengingat keadaan Indonesia yang multikultural. Kecenderungan seragamisasi budaya yang diterapkan pada masa Orde Baru lewat kebijakan-kebijakannya, berakibat hancurnya kearifan lokal masyarakat. Padahal kearifan lokal dalam suatu masyarakat dapat memelihara integrasi dan keutuhan sosio-kultural masyarakat
bersangkutan.
Kehancuran kearifan lokal pada akhirnya
mengakibatkan kerentanan dan disintegrasi sosial-budaya lokal serta kesenjangan sosial. Maraknya konflik sosial yang bernuansa etnis dan agama akhir-akhir ini, tidak lepas dari adanya kesenjangan sosial yang ada dalam masyarakat. Pengakuan akan kesamaan derajat dari fenomena budaya yang beragam itu tampak dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu. Ungkapan itu sendiri mengisyaratkan suatu kemauan yang kuat untuk mengakui perbedaan tapi sekaligus memelihara kesatuan atas dasar pemeliharaan
keragaman,
bukan
dengan
menghapuskannya
atau
mengingkarinya. Perbedaan dihargai dan dipahami sebagai realitas kehidupan. Hal ini adalah asumsi dasar yang juga melandasi paham multikulturalisme. Bhineka Tunggal Ika dapat dikatakan konsep multikulturalismenya Indonesia. Namun, dalam kenyataannya, perbedaan di Indonesia, justru kerap menjadi
23
Will Kymlicka.2002. Kewargaan Multikultural. Jakarta : LP3ES.Hal.38.
12
alasan terjadinya konflik sosial. Dengan demikian, masyarakat Indonesia masih belum sepenuhnya memahami konsep multikulturalisme itu sendiri. Di beberapa negara yang multikultural, telah diterapkan konsep multikulturalisme dalam kebijakan politiknya, salah satunya di Kanada. Kanada
menerapkan Official Language Policy bagi penduduknya karena
bahasa dianggap sebagai penghalang dalam sebuah kelompok-kelompok sosial yang secara kultur memisahkan kelompok-kelompok di Kanada. Penduduk Kanada bebas memilih bahasa yang dikehendakinya yaitu bahasa Perancis dan Inggris tanpa mengurangi hak-haknya menjadi warga negara Kanada. 24 Berbeda dengan Kanada, penerapan konsep multikulturalisme di Australia, pemerintah Australia mendirikan dan membiayai beberapa organisasi/badan
yang
khusus
menangani
masalah
multikulturalisme.
Contohnya, The Australian Institute of Multicultural Affairs, The Office of Multicultural Affais, Bureau of Immigration, dan Multicultural and Population Research.25 Organisasi-organisasi tersebut membantu pemerintah Australia dalam menerapkan prinsip multikulturalisme. Salah satu kebijakan yang lahir dari organisasi-organisasi tersebut adalah adanya cultural heritage, di mana setiap etnik di Australia bebas menyelenggarakan keunikan budayanya masing-masing lewat festival kebudayaan, hari libur dan perayaan, juga menerima tradisi dan baju keagamaan di sekolah dan militer. 26 Di Malaysia, kebijakan yang berkaitan dengan multikulturalisme dilakukan dengan cara membuat pemukiman-pemukiman yang ditempati secara khusus oleh suatu kelompok etnis tertentu, di mana kelompokkelompok tersebut diberikan kebebasan untuk menjalankan tradisi-tradisi kebudayaan dan praktek keagamaan mereka masing-masing.27 Hal ini ditunjukkan dengan adanya China Town, India Town, Muslim Town, dan sebagainya.
24
Ju Lan, Op.Cit.Hal.285. Ibid.Hal.288. 26 Ibid.Hal.289. 27 Ibid.Hal.284. 25
13
Apabila konsep multikulturalisme diterapkan pada kebijakan politik di Indonesia, mungkin akan sulit. Hal ini dikarenakan, keadaan budaya politik Indonesia
yang
bercabang dan
memiliki
struktur.28
Ketika
konsep
multikulturalisme sulit diterapkan dalam kebijakan politik, ada baiknya konsep multikulturalisme itu sendiri diterapkan oleh masing-masing individu di tengah kehidupan bermasyarakat. Konsep dasar multikulturalisme adalah mengakui dan menghagai perbedaan budaya dalam kesederajatan. Secara konkret, Kent & Taylor (2002) dalam Kriyantono29 mengatakan kesetaraan terwujud pada rasa empati (walking in the same shoes) dan mutualitas (semangat kesejajaran & berkolaborasi). Dengan adanya rasa empati dan mutualitas, adanya perbedaan budaya di masyarakat dapat mendorong terjadinya persatuan dan mengurangi konflik.
Respek
mutual mengisyaratkan keterlibatan,
yaitu tindakan
mengambil peran atau posisi dalam aktivitas maupun permasalahan dari orang atau kelompok lain. Keterlibatan mengarah pada kerjasama, yaitu interaksi sosial antara individu maupun kelompok yang bersama-sama mewujudkan kegiatan untuk mencapai tujuan bersama. Dalam memahami konsep multikulturalisme, peran media massa sangat dibutuhkan. Media massa sebagai pemberi informasi kepada masyarakat
dalam
menyajikan
konten-konten
yang
mengarah
pada
multikulturalisme haruslah berimbang dan tidak menyudutkan salah satu pihak. Dengan demikian, masyarakat yang menerima informasi bisa lebih memahami makna multikulturalisme. Film sebagai bagian dari media massa, pun
diharapkan
multikulturalisme,
menyajikan mengingat
konten film dapat
yang
berimbang
mengenai
mencakup semua kalangan
masyarakat. Film sebagai medium penyampai pesan, dalam menyampaikan pesan multikulturalisme melalui proses representasi. Proses representasi multikulturalisme dalam film dapat dilihat melalui penggambaran identitas 28
Ibid.Hal.284 Rachmat Kriyantono. 2012. Mem-PR-kan Multikultural Melalui Penyiaran. Terarsip dalam http://rachmatkriyantono.lecture.ub.ac.id/files/2013/01/RACHMAT-Kuliah-tamu-di-STAIN.pdf (Diakses 5 September 2014 pukul 13.23) 29
14
tertentu suatu etnis, simbol budaya, suku, agama, dan kelas sosial, serta budaya lainnya.
3. Multikulturalisme dalam Film Multikulturalisme dalam film bisa dilihat dalam berbagai sudut pandang. Sudut pandang tersebut berkaitan dengan unsur-unsur yang ada dalam film seperti penokohan, ide cerita, setting, dialog, simbolisasi visual dan lainnya. Dari unsur tersebut nantinya akan membentuk satu kesatuan menjadi sebuah gambar visual yang bermuatan multikulturalisme. Film bertema multikulturalisme merupakan film yang memiliki unsur budaya suatu komunitas (kelompok) tertentu dalam penyajiannya. Unsur budaya meliputi ras, suku, agama, tradisi, bahasa, dan sebagainya. Dalam kaitannya dengan mulitkulturalisme, penyajian unsur budaya tidak hanya dari satu komunitas saja, tetapi beberapa komunitas yang dirangkum melalui cerita atau tema dalam film. Dengan kata lain, film bertema multikulturalisme biasanya terdapat komunikasi antar budaya di dalamnya. Multikulturalisme dalam film umumnya muncul pada karakterisasi penokohan dalam film. Dari karakterisasi penokohan, banyak unsur budaya yang ada di dalamnya. Misalnya saja, kemunculan tokoh utama dari suku Jawa dan tokoh lain dari suku Batak. Dari situ, dapat dikembangkan lagi, tokoh utama yang beragam Islam dan tokoh lain beragama Kristen. Kemudian, antar tokoh
saling
berkomunikasi
dalam
ceritanya.
Secara
singkat,
multikulturalisme dalam film bisa dilihat dari hubungan antar tokoh dalam film yang berbeda suku, agama, dan mungkin perbedaan lainnya yang berkaitan dengan kebudayaan. Selain dari penokohan, multikulturalisme juga bisa dilihat dari setting dalam film. Multikulturalisme dalam setting di film, biasanya berupa penggambaran aktivitas masyarakat komunitas tertentu yang hidup saling berdampingan walaupun berbeda budaya. Misalnya, tokoh dalam film hidup di lingkungan yang mempunyai beragam etnis, agama, kelas sosial di lingkungannya. Dari masing-masing etnis tersebut dimunculkan aktivitas
15
sehari-hari yang menjadi ciri khas etnis tersebut. Misalnya etnis Cina yang umumnya ditampilkan sebagai pedagang dalam aktivitas sehari-harinya. Orang Katolik yang pergi ke gereja dan membuat tanda salib sebelum berdoa. Multikulturalisme biasanya juga hadir dalam dialog antar tokoh. Dialog antar tokoh dapat memuat pesan-pesan yang berkaitan dengan multikulturalisme. Misalnya, pesan mengenai toleransi antar umat beragama, perbedaan bukan menjadi halangan untuk bersatu, dan sebagainya. Selain itu, karena kekuatan film pada audio visualnya, dalam merepresentasikan multikulturalisme juga bisa hadir dari simbol-simbol keagamaan (patung Yesus dan Maria bagi orang Kristen), tulisan arab bagi orang Muslim, musikmusik tradisi khas daerah atau etnis tertentu, dan beberapa hal lainya yang berkaitan dengan budaya. Multikulturalisme dalam film ditandai dengan munculnya kelompokkelompok etnik dalam kontennya. Kelompok etnik yang dimaksud disini adalah sekelompok manusia yang memiliki rasa persatuan akan budaya tertentu yang diikuti dengan adanya kesamaan ras, keyakinan, bahasa, dan asal usul bangsa tertentu. Kelompok etnik ini memiliki persamaan kebudayaan. Persamaan kebudayaan dapat dilihat dari unsur-unsurnya, seperti yang diungkapkan oleh C.Kluckhohn30. Tujuh unsur kebudayaan tersebut adalah sistem kepercayaan (religi), sistem pengetahuan, sistem peralatan dan perlengkapkan hidup manusia, sistem mata pencaharian dan sistem-sistem ekonomi,
sistem
organisasi
kemasyarakatan,
bahasa,
dan
kesenian.
Representasi budaya tertentu dalam film akan diidentifikasi melalui etnis dan unsur-unsur budaya yang membentuk kebudayaan tersebut.
G. Kerangka Konsep 1. Representasi Kata representasi sering merujuk pada penggambaran media (terutama media massa) atas sebuah realitas masyarakat, objek, peristiwa, hingga 30
Terarsip dalam http://www.scribd.com/doc/113614652/7-Unsur-Kebudayaan-Universal (diakses 14 September 2014 pukul 08.25)
16
identitas budaya.31 Secara sederhana dapat diartikan sebagai pikiran orangorang terhadap objek, peristiwa, dan simbol-simbol tertentu. Chris Barker menyebutkan bahwa representasi merupakan kajian utama dalam cultural studies, representasi sendiri dimaknai sebagaimana dunia dikonstruksikan secara sosial dan disajikan kepada kita dan oleh kita di dalam pemaknaan tertentu.32 Menurut Fiske (2004) dalam Christandi33 representasi adalah sesuatu yang merujuk pada proses menggambarkan realitas dalam komunikasi, melalui kata-kata, bunyi, citra, gambar atau kombinasi lainnya. Masyarakat dapat memperoleh gambaran tertentu tentang suatu objek dengan adanya representasi tersebut. Tak hanya gambaran fisik yang tampak, tapi juga gambaran lain yang terkait di sekitar objek. Menurut Stuart Hall, representasi berarti menggunakan bahasa untuk mengungkapkan sesuatu yang bermakna, atau untuk mewakili, dunia penuh arti, untuk orang lain. 34 Representasi merupakan bagian penting dari sebuah proses pertukaran makna, di mana makna diproduksi dan dipertukarkan antara anggota melalui budaya. Bahasa, tanda, dan gambar itu ada untuk merepresentasikan sesuatu hal. Hall menyatakan ada dua proses representasi. 35 Pertama, representasi mental (mental representation), yaitu segala konsep yang ada di kepala kita masing-masing (peta konseptual) mengenai sebuah obyek, orang, kejadian yang saling berhubungan sehingga konsep yang terbentuk masih abstrak. Dengan kata lain, representasi mental tergantung dari sistem konseptual dan imej dari pribadi individu dan setiap individu memiliki persepsi masingmasing tentang segala hal dalam kehidupannya. Proses representasi yang 31
Terarsip dalam http://yearrypanji.wordpress.com/2009/01/03/film-dan-representasi-budaya/ (diakses 15 September 2014 pukul 20.15) 32 Terarsip dalam http://sosiologibudaya.wordpress.com/2012/03/17/another-representasi-budaya/ (diakses 15 September 2014 21.00) 33 DB Christandi.2013. Representasi Perempuan dalam Film Sang Penari (Kajian Semiotika Roland Barthes).Terarsip dalam http://repository.uksw.edu/bitstream/handle/123456789/3841/T1_362008082_BAB%20II.pdf?seq uence=3 (diakses 15 September 2014 pukul 22.45) 34 Stuart Hall.1997. Representation: Cultural Representation and Signifying Practises. LondonCalofornia.New Delhi: Sage Publication.Hal.15. 35 Ibid.Hal.17.
17
kedua adalah bahasa.
Bahasa berperan penting dalam proses konstruksi
makna. Peta konseptual yang ada di kepala kita perlu diterjemahkan ke dalam bahasa yang sama, sehingga manusia mampu mengkorelasikan konsep dan ide melalui tulisan, ucapan, ataupun image visual. Semua bahasa tulis, lisan maupun imaji visual oleh hal disebut sebagai tanda. 36 Jadi, bahasa merupakan salah satu elemen yang digunakan sebagai media representasi masyarakat. Melalui bahasa, dapat dilihat kebudayaan dan tata krama suatu masyarakat. Proses pemaknaan di dalam sebuah budaya, dilakukan melalui dua sistem representasi tersebut. Sistem representasi memungkinkan untuk pemberian makna untuk dunia melalui konstruksi pemikiran dan sistem konsep dalam peta konsep seseorang. Sistem representasi ini memudahkan sebuah makna untuk disebarkan dan diekspresikan ke khalayak luas, melalui bahasa. Hubungan yang terjadi antara benda, konsep, dan tanda akan memproduksi sebuah makna di dalam bahasa. Proses inilah yang dimaknai sebagai sebuah proses representasi. Hall memaparkan tiga pendekatan untuk menerangkan bagaimana merepresentasikan makna melalui bahasa.37 Pertama, reflective approach menerangkan bahwa makna dipahami untuk mengelabui objek, seseorang, ideide ataupun kejadian-kejadian dalam kehidupan nyata. Fungsi bahasa sebagai cerminan untuk merefleksikan kejadian dan makna-makna sebenarnya. Kedua, intentional approach yang melihat bahwa bahasa dan fenomenanya dipakai untuk mengatakan maksud dan memiliki pemaknaan atas pribadinya. Ia tidak merefleksikan, tetapi kata-kata diartikan sebagai pemilik atas apa yang ia maksud. Ketiga, constructionist approach yang membaca khalayak dan karakter sosial sebagai bahasa. Dalam pendekatan ini, bahasa dan pengguna bahasa tidak bisa menetapkan makna dalam bahasa melalui dirinya sendiri, tetapi harus dihadapkan dengan sesuatu yang lain yang disebut interpretasi. Representasi dapat digunakan untuk menggambarkan hubungan teks media dan realitas. Teks media sebagai objek, tak lepas dari aspek-aspek yang 36 37
Ibid.Hal.18. Ibid.Hal.24-25.
18
melekat pada teks tersebut. Aspek-aspek tersebut memberi pengaruh dan dipengaruhi oleh keadaan sekitar di mana teks media itu berada. Melalui proses representasi ini, aspek-aspek tersebut dapat terlihat.
2. Multikulturalisme dalam Film Indonesia Film merupakan sebuah media komunikasi yang unik dalam menyampaikan nilai sosial dan budaya, karena film menjadi cermin dari sebuah masyarakat yang menciptakan mereka. Sebagai sebuah produk dari kreativitas, film tidak dapat dipisahkan dari konteks masyarakat yang memproduksi dan mengkonsumsi film tersebut. Konten di dalam sebuah film merupakan hasil dari interpretasi sang sutradara. Keinginan sang sutradara memberikan penggambaran suatu hal yang ada, film sering disebut sebagai agen yang merepresentasikan suatu hal melalui gambar, tulisan, dan tutur kata. Konten dari film, sering dimaknai sebagai bentuk representasi realitas yang ada. Kriyantono mengungkapkan bahwa media termasuk film sebagai media massa hendaknya memiliki 3E dalam penyajiannya, yaitu education, empowerment, dan enlightment.38 Education, hendaknya film memuat kontenkonten yang mengedukasi masyarakat ke arah yang lebih baik. Empowerment, muatan film diharapkan mampu memberdayakan kelompok marjinal. Enlightment, film mampu memberikan ide-ide positif pada masyarakat, sebagai contoh ide mengenai multikulturalisme. Pembahasan isu mengenai multikulturalisme pada media Indonesia mulai bermunculan pasca Reformasi 1998, tak terkecuali pada film. Adanya kebebasan bermedia, para pembuat film mulai berani mengambil tema-tema yang dahulu tabu untuk dibicarakan pada era Orde Baru, yaitu mengenai multikulturalisme sehingga film-film mengenai multikulturalisme mulai banyak bermunculan. Meski demikian, dibandingkan dengan film tema-tema mainstream seperti percintaan remaja, horror, komedi yang berbalut seks, dan 38
Rachmat Kriyantono. 2012. Mem-PR-kan Multikultural Melalui Penyiaran. Terarsip dalam http://rachmatkriyantono.lecture.ub.ac.id/files/2013/01/RACHMAT-Kuliah-tamu-di-STAIN.pdf (Diakses 5 September 2014 pukul 11.10)
19
lain-lain, jumlah produksi film bertema multikulturalisme masih sangat sedikit. Kenyataan Indonesia sebagai negara multikultural, belum bisa dimanfaatkan secara baik oleh pembuat film. Multikulturalisme belum bisa diterima secara baik oleh masyarakat Indonesia apabila dijadikan tema film. Tetapi, ada pula film Indonesia mengenai multikulturalisme yang mampu diterima oleh khalayak seperti film 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta. Walaupun pada dasarnya film ini merupakan film drama komedi percintaan yang berbalut perbedaan multikultur dua tokoh utama. Film ini mampu meraih 7 penghargaan dalam Festival Film Indonesia 2010. Film sebagai agen penyalur ide multikulturalisme sebaiknya dapat mewakili seluruh lapisan masyarakat. Namun, seringkali, ketika sebuah film dihadapkan pada konten multikulturalisme, muatannya lebih sering bias pada kelompok budaya tertentu. Sebagai contoh, pengambilan tema seringkali mengambil budaya mayoritas seperti Jakarta sentris. Dalam hal ini, para pembuat film lebih menonjolkan budaya mayoritas ketimbang budaya minoritas, yaitu budaya-budaya lain di berbagai pulau di Indonesia selain pulau Jawa. Para pembuat film, juga seringkali terjerumus dalam stereotipe yang negatif ketika menggambarkan etnis tertentu. Seperti yang terjadi pada film Tanda Tanya. Dalam film ini, orang Cina merupakan orang yang tidak menghargai tradisi budaya lain dan hanya mementingkan uang ketika berbisnis. Disini orang Cina juga diidentikan dengan peran pedagang. Multikulturalisme dalam film Indonesia masih belum dapat diterima sepenuhnya
oleh
masyarakat
karena
bagi
sebagian
kalangan
isu
multikulturalisme merupakan isu yang sensitif. Belum adanya rasa toleransi yang tinggi di masyarakat atas perbedaan, seringkali menimbulkan protes pada saat pemutaran film bertema multikulturalisme. Seperti yang dialami oleh film Cinta Tapi Beda (2012). Film ini mengangkat isu pernikahan beda agama. Di Indonesia, isu pernikahan beda agama merupakan isu yang sensitif karena di
20
Indonesia sendiri belum ada hukum yang mensyahkan pernikahan beda agama. Dibandingkan dengan jumlah produksi film Indonesia lainnya yang lebih banyak bertema mainstream (cinta, komedi, horror, dan lainnya), film bertema multikulturalisme sangat sedikit jumlahnya di Indonesia, walaupun Indonesia memiliki kekayan multikultural yang banyak. Ada beberapa sebab mengapa film bertema multikulturlisme di Indonesia masih sedikit. Pertama, isu mengenai multikulturalisme di Indonesia merupakan isu yang sensitif. Kesensitifitasan tersebut dikarenakan kebijakan era Orde Baru yang melarang perbincangan yang menyangkut SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) sehingga sampai sekarang orang enggan membicarakan isu tersebut. Kedua, tuntutan pasar penikmat film di Indonesia. Sejak era bangkitnya perfilman Indonesia lewat Ada Apa Dengan Cinta?, mayoritas penonton film saat ini adalah remaja. Remaja adalah penonton yang potensial sehingga para produser film lebih memilih tema-tema film yang dekat dengan kehidupan remaja dalam memproduksi film, misalnya tentang percintaan. Ketiga, konsep multikulturalisme sendiri di Indonesia masih sangat asing bagi masyarakat Indonesia. Hal ini terbukti dari banyaknya protes-protes apabila ada film yang bermuatan multikulturalisme dibuat. Protes-protes tersebut biasanya berakibat pemboikotan film oleh kalangan tertentu. Hal ini menyebabkan
sineas
film
“malas”
untuk
membuat
film-film
multikulturalisme. Beberapa paparan di atas, pada akhirnya, menyebabkan film Indonesia bertema multikulturalisme masih sangat sulit untuk berkembang di Indonesia sehingga jumlahnya masih sangat sedikit. . 3. Semiotika dan teks film Semiotika merupakan ilmu yang mempelajari tentang tanda. Dalam kajian semiotik, Preminger menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan merupakan tanda-tanda. 39 Semiotik mempelajari sistemsistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda 39
Alex Sobur. 2001. Analisis Teks Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.Hal. 96.
21
tersebut mempunyai arti. Tanda merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia. Karena dengan adanya tanda, manusia bisa terhubung dengan realitas yang ada di sekitarnya. Melalui tanda, manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya. Pusat kajian semiotik adalah pada tanda (sign). John Fiske menyatakan ada tiga area penting dalam studi semiotik: 40 1. Tanda itu sendiri (the sign its self). Hal ini meliputi studi tentang variasi tanda yang berbeda, penyampaian makna, dan cara tanda berhubungan dengan orang-orang yang menggunakannya. 2. Kode atau sistem di mana tanda-tanda itu diorganisir (the codes or system into which sign are organized). Studi ini meliputi cara variasi kode-kode tersebut dibangun dalam rangka mempertemukannya dengan kebutuhan masyarakat. 3. Budaya di mana kode-kode dan tanda-tanda tersebut dioperasikan (the culture within which these codes and signs operate). Peirce membagi tanda ke dalam tiga tipe yaitu ikon, indeks, dan simbol. 41 Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya berdasarkan kemiripan yang dapat diketahui oleh pemakainya, misalnya peta atau lukisan yang merujuk pada objek tertentu. Indeks merupakan tanda yang memiliki keterikatan fenomenal atau eksistensial diantara representamen dan objeknya. Berbeda dengan ikon, indeks memiliki hubungan yang nyata. Ikon berdasarkan kemiripan sedangkan indeks berdasarkan hubungan atau relasi. Misalnya, kata rokok memiliki indeks asap. Hubungan indeksial antara rokok dan asap terjadi karena terdapatnya hubungan ciri yang bersifat tetap antara rokok dan asap. Simbol adalah tanda yang representamennya merujuk pada objek tertentu. Simbol terbentuk melalui konvensi-konvensi atau kaidahkaidah, tanpa adanya kaitan langsung diantara representamen dan objeknya. Kebanyakan unsur leksikal di dalam kosa kata suatu bahasa adalah simbol. Misalnya kata sepeda dalam bahasa Indonesia, pit dalam bahasa Jawa, dan 40
Ibid.Hal.94. Kris Budiman.2011. Semiotika Visual Konsep, Isu, dan Problem Ikonsitas.Yogyakarta: Jalasutra.Hal.19. 41
22
bicycle dalam bahasa Inggris, adalah simbol karena relasi diantara kata tersebut sebagai representamen dan sepeda asli yang menjadi objeknya tidak bermotivassi, semata-mata hanya konvensional. Gerak gerik mata, gerakan tangan atau jari jemari juga merupakan simbol. Dalam prakteknya, eksistensi tanda membutuhkan kode untuk dapat dipahami maknanya. Kode merupakan cara pengombinasian tanda yang disepakati secara sosial, untuk memungkinkan satu pesan disampaikan kepada yang lain. Kode ini terikat pada suatu sistem sosial dan budaya tertentu. Tanda terangkai dalam kode-kode yang terkait dengan kesepakatan sosial dan budaya yang berlaku diantara pengguna kode tersebut. Dalam menganalisis kebudayaan pada kajian semiotika, maka kebudayaan perlu dilihat sebagai teks, yaitu rangkaian tanda-tanda bermakna, yang diatur berdasarkan kode atau aturan tertentu.42 Teks adalah suatu wujud dari tindak penggunaan tanda dan simbol dalam kehidupan sosial, yaitu berupa kombinasi seperangkat tanda, yang dikombinasikan dengan kode atau cara tertentu, dalam rangka menghasilkan makna tertentu. Teks yang dimaksud dalam penelitian ini adalah teks visual yaitu film. Sebagai salah satu teks visual serta produk budaya, film dapat dipahami melalui serangkaian tanda dan simbol yang terikat oleh kode-kode atau konvensi dari budaya di mana film itu dibuat. Dalam film, pemaknaan tanda dipahami melalui unsur pokok film yaitu visual film, dalam hal ini scene dan shot, karakterisasi, alur cerita, serta dialog. Scene atau adegan menurut Metz terdiri dari satu shot atau lebih dan sifatnya lebih kronologis, kontinyu, dan linier. Dalam scene sebuah film, multikulturalisme biasanya akan ditampilkan tanda-tanda budaya tertentu yang terwakili melalui shot. Karakterisasi terkait dengan bentuk penampilan dan perilaku kelompok etnis tertentu baik secara fisik maupun simbolis. Sedangkan, narasi cerita, berkaitan dengan dialog antartokoh. Dialog antartokoh berkaitan 42
Yasraf Amir Piliang.2010.Semiotika Makna.Bandung:Matahari.Hal.307.
dan
23
Hipersemiotika:Kode,
Gaya
&
Matinya
dengan bahasa serta pilihan katanya, apakah dari dialog tersebut mencerminkan multikulturalisme. Ini dapat dilihat apakah dialognya mengandung unsur stereotipe atau tidak. Ketiga unsur tersebut dapat menjadikan film sebagai sebuah teks yang dapat diteliti.
H. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode analisis semiotik. Semiotik merupakan studi tentang tanda (sign) dan meliputi kegunaan tanda (sign) tersebut. Semiotik dapat diartikan juga sebagai studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya,
cara
berfungsinya,
hubungannya
dengan
tanda
lain,
pengirimannya dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya. 43 Tanda (sign) dalam pengertian ini merupakan tanda yang merupakan basis dari seluruh komunikasi dan menandakan sesuatu selain dirinya sendiri. 44 Dalam kehidupan sosial, wujud penggunaan tanda bisa berupa teks. Teks merupakan gabungan dari seperangkat tanda yang dikombinasikan dengan kode tertentu untuk menghasilkan suatu makna. Teks dalam penelitian ini adalah film. Penggunaan metode semiotik dalam penelitian ini untuk mendalami makna tertentu dalam film lewat tanda-tanda yang ada pada film. Selanjutnya hasil dari penelitian ini akan dipaparkan secara deskriptif sehingga jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif.
2. Operasionalisasi Penelitian a. Pengumpulan Data Pada
penelitian
ini,
pengumpulan
data
dilakukan
dengan
mengidentifikasi film Cheng Cheng Po yang akan diamati dengan menonton film tersebut. Selanjutnya akan memilah scene yang merepresentasikan 43 44
Rachmat Kriyantono. 2007. Teknis Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Prenada Media.Hal.261. Alex Sobur. 2009. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.Hal.15.
24
multikulturalisme. Scene adalah kesatuan dramatik yang secara umum mengambil setting, tempat, waktu dan tokoh yang sama. Sebuah scene terdiri dari satu atau berapa shot yang saling berkesinambungan. Shot merupakan bagian terkecil dari penyusunan film, yaitu dari kamera memulai merekam hingga berhenti merekam. Biasanya terdapat gerak kamera, komposisi (type of shot), dialog, dan suara dari peristiwa yang ingin disampaikan oleh sutradara. Aspek-aspek yang diperhatikan saat pengumpulan data berupa potongan-potongan shot dalam scene adalah hal-hal yang berkaitan dengan multikulturalisme, yaitu : shot yang menunjukkan interaksi antaretnis. shot yang menunjukkan potret etnis tertentu. shot yang menunjukkan keberagaman agama, etnis, dan tradisi shot keinginan adanya perenungan kembali multikulturalisme. dialog yang memotret etnis tertentu. Dari aspek-aspek tersebut akan terkumpul data berupa gambar yang didapat dengan melakukan screenshot pada film. Gambar-gambar tersebut kemudian dipetakan berdasarkan elemen multikulturalisme yang ingin diteliti untuk memudahkan dalam menganalisis. Pengumpulan data lain juga dilakukan dengan membaca literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, yaitu mengenai representasi, film, dan multikulturalisme. b. Tahapan Penelitian Langkah awal yang ditempuh penelitian ini adalah akan dilakukan pemilahan, pemetaan dan pengumpulan data. Data-data ini kemudian dibagi kepada instrumen analisis untuk mempermudah dan memperjelas letak setiap data dalam fungsinya. Data disini berupa scene yang ada dalam film yang bermuatan multikulturalisme. Selanjutnya adalah melakukan interpretasi terhadap simbol-simbol yang ada dalam scene tersebut. Peneliti akan membedah data instrumen analisis yang sudah dipetakan sebelumnya. Proses ini untuk melihat isi yang dibawa oleh data-data tersebut sebagai suatu bahasa. Data yang dihasilkan disini adalah berupa data dalam level konotasi. 25
Dalam tahap terakhir penulis akan menganalisis data konotasi yang didapatkan dengan menghubungkannya pada sebuah level lebih makro. Disini akan terlihat bagaimana representasi simbol-simbol yang ada dipandang dalam sebuah wacana yang luas seperti ideologi,atau paham tertentu. Untuk mempermudah menjelaskan analisis yang akan dipergunakan dalam penelitian ini, peneliti akan menyajikan unit analisis dan instrumen penelitian di bawah ini : 1. Unit Analisis Multikulturalisme Tema sentral dalam penelitian ini adalah multikulturalisme. Multikulturalisme merupakan suatu paham atas keberagaman budaya dengan tidak menghapuskan perbedaan budaya melainkan memberi ruang diantara perbedaan kebudayaan tersebut. Pada penelitian ini, multikulturalisme hanya berfokus pada etnis, agama, dan tradisi. Pada keberagaman budaya pada sisi etnis, terdapat sub kategori lain yaitu ras dan kelas sosial. Hal ini dikarenakan kedua sub kategori tersebut melekat pada etnis. Apabila kita membicarakan masalah etnis, kedua hal tersebut akan muncul dengan sendirinya. Ras dalam pengertian biologis merupakan sebuah populasi manusia yang diklasifikasikan atas
dasar
karakteristik-karakteristik
tertentu
yang
diwariskan
antargenerasi serta membedakannya dari kelompok-kelompok lain. Pembeda tersebut salah satunya dengan ciri-ciri fisik tertentu, seperti warna kulit, bentuk wajah, serta asal usul. Kemudian dari sisi keberagaman tradisi, terdapat sub kategori kesenian dan falsafah hidup. Kesenian di sini dapat berupa benda bergerak maupun tidak bergerak. Sedangkan falsafah hidup bisa berupa berbagai cara suatu kelompok tertentu dalam menjalani hidup dan sudah mendarah daging di antara mereka. Keberagaman agama disini menyangkut semua aspek yang berkaitan dengan agama, yaitu tanda-tanda yang melekat pada agama tertentu.
26
2. Instrumen Penelitian Teknik Visualisasi a) Camera Shots 1. Extreme Close Up adalah pengambilan gambar sedekat mungkin dengan obyek, misalnya hanya mengambil bagian dari wajah. 45 Jenis shot ini untuk menunjukkan kedekatan hubungan dengan cerita atau pesan film. 2. Close Up adalah pengambilan gambar wajah keseluruhan obyek. Hal ini menunjukkan keintiman atau bisa juga menandakan bahwa obyek sebagai inti cerita. 3. Medium Close Up adalah pengambilan gambar dari kepala hingga dada subyek. 4. Medium Shot adalah pengambilan gambar setengah badan, dari kepala hingga pinggang. Shot ini menggambarkan personal antar tokoh dan kompromi yang baik. 5. Long Shot adalah pengambilan gambar jarak jauh di mana ia menekankan lingkungan atau latar pengambilan gambar. Shot ini berarti menggambarkan konteks, skop dan jarak publik. Dengan pengambilan gambar long shot, bisa menimbulkan suatu suasana yang dapat memperlihatkan arah dan maksud dari suatu gerakan. 6. Full Shot adalah pengambilan gambar seluruh badan obyek yang menggambarkan hubungan sosial. b) Pergerakan Kamera 1. Zoom in atau zoom out adalah pergerakan kamera ke dalam/luar mendekati/menjauhi obyek. Shot ini menunjukkan kedalaman pengamatan terhadap obyek. 2. Ped up atau down adalah pengambilan gambar ketika pedestal dinaikkan dan sebaliknya. Pergerakan ped up, kamera mengarah ke atas yang bermakna kelemahanan, pengecilan. 45
Arthur Asa Berger.1983. Media Analysis Technique. Beverly Hilss: Sage Publication.Hal.63.
27
Sedangkan ped down, kamera mengarah ke bawah yang bermakna kekuasaan, kewenangan. 3. Panning adalah pergerakan kamera secara horizontal dan vertikal tanpa mengubah posisi kamera. 4. Dollying atau Tracking adalah gerakan kamera mengikuti atau menjauhi obyek. Mendekati obyek disebut dengan Dolly in sedangkan menjauhi obyek disebut dengan Dolly back. Tujuan Dolly in untuk meningkatkan titik atau pusat perhatian,rasa ketegangan dan rasa ingin tahu. Sedangkan Dolly back sebaliknya. c) Camera Angle 1. High Angle adalah penempatan kamera lebih tinggi daripada obyek. Efek dramatis yang timbul adalah berkurangnya superioritas subyek sekaligus melemahkan kedudukannya. 2. Low Angle adalah pengambilan gambar subyek dari bawah yang
menampakkan
subyek
memiliki
kekuatan
dan
menonjolkan kekuasaannya. 3. Straight Angle adalah sudut pengambilan gambar yang normal, biasanya ketinggian kamera setinggi dada dan sering digunakan pada acara yang gambarnya tetap. d) Teknik Editing 1. Cut adalah pergantian gambar secara mendadak dari gambar satu ke gambar lainnya tanpa ada penumpukkan gambar yang dapat memberikan perubahan gambar, memendekkan waktu, membuat variasi sudut pandang dan membangun sebuah ide atau image. 2. Dissolve adalah perpindahan adegan dari satu adegan ke adegan lainnya secara perlahan-lahan sehingga pergantian adegan tersebut halus dan tidak terasa karena ada tumpukan gambar diantara kedua gambar tersebut.
28
3. Wipe adalah pergantian adegan secara perlahan-lahan dengan mendorong satu adegan kemudian memunculkan adegan lainnya, di mana proses pergantiannya terlihat sangat jelas. Unsur Naratif film Menurut Himawan dalam Triandini46 unsur naratif berhubungan dengan aspek cerita atau tema film. Elemen-elemen yang terdapat dalam unsur naratif ini terdiri dari tokoh, masalah, konflik, lokasi, waktu, dialog, dan lain-lain. Elemen tersebut saling berinteraksi dan berkesinambungan satu sama lain untuk membentuk sebuah jalinan peristiwa yang memiliki maksud dan tujuan. Dialog antar tokoh dalam film dapat memunculkan karakterisasi tokoh lewat gaya bahasa dan pilihan katanya. Dalam penelitian ini, akan dicermati kata-kata maupun kalimat yang berkaitan dengan multikulturalisme, seperti etnis, agama, dan tradisi. Berikut tabel unit analisis dan unit instrumen penelitian : Tabel 1.1 Unit Analisis Penelitian Unit Analisis
Kategori
Sub Kategori
Multikulturalisme
Keberagaman budaya : Etnis
- Ras - Kelas Sosial
Agama Tradisi
- Kesenian - Falsafah hidup
46
Anintia Triandini. 2010. KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA DALAM FILM “GRAN TORINO” Studi Semiotik Komunikasi Antar Budaya Amerika dan Suku Hmong Dalam Film “Gran Torino”.Terarsip dalam http://eprints.uns.ac.id/3367/1/175051301201110041.pdf (diakses 24 Desember 2014)
29
Tabel 1.2 Unit Instrumen Penelitian Unit Terteliti
Unsur
Sub Unsur
1. Teknik Visualisasi
- Camera Shot
Extreme Close Up Close Up Medium Close Up Medium Shots Long Shots Full Shot
- Pergerakan kamera
Zoom in atau zoom out Ped up atau down Panning Dollying atau Tracking
- Angle
High Angle Low Angle Straight Angle
- Teknik editing
Cut Dissolve Wipe
2. Unsur naratif film
Tokoh, Masalah, Konflik, Alur cerita Lokasi, Waktu
penyelesaian konflik sekolah halaman
-Dialog
Gaya bahasa Pilihan kata
c. Metode Analisis Penelitian ini akan mengkaji simbol-simbol dalam film yang kemudian akan diberlakukan sebagai bahasa. Penelitian simbol-simbol dalam proses komunikasi sering kali dilakukan dengan menggunakan analisis semiotik.
30
Menurut Saussure, semotika merupakan ilmu yang mempelajari peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial, menginvestigasi sifat-sifat atau hakikat tanda dan ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Semiotik dapat diartikan pula studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda lain, pengirimannya dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya. 47 Metode analisis semiotik yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis semiotik Roland Barthes. Metode analisis semiotik Roland Barthes menggunakan pengertian dasar tanda yang terdiri dari dua unsur, penanda dan petanda atau signifier dan signified . Penanda atau signifier adalah bentuk citra atau kesan mental dari sesuatu yang bersifat verbal atau visual, seperti suara, tulisan atau benda. Sedangkan petanda atau signified adalah konsep abstrak atau makna yang dihasilkan oleh tanda. Roland Barthes menggunakan sistem penandaan bertingkat dalam menginterpretasi tanda. Sistem penandaan tingkat pertama adalah tingkat/level denotasi. Pada level denotasi, hubungan antara penanda dan petanda dengan realitas eksternal bermakna eksplisit atau bermakna sesungguhnya. Sistem penandaan tingkat kedua adalah tingkat/level konotasi. Pada level konotasi, hubungan antara penanda dan petanda bermakna implisit/latent. Pada level konotasi, penanda dan petanda di level denotasi menjadi penanda yang berkaitan dengan nilai-nilai budaya. Pada tataran bahasa, yaitu sistem penandaan tingkat pertama, penanda berhubungan dengan petanda sehingga menghasilkan tanda (sign). Tandatanda pada tataran pertama ini akan menjadi penanda yang berhubungan dengan petanda pada tataran kedua. Pada tataran kedua inilah terdapat mitos (myth).
Mitos dalam pemahaman semiotika Roland Barthes, adalah
pengkodean makna dan nilai-nilai sosial sebagai sesuatu yang dianggap sesuatu yang normal dan alami (natural).
47
Kriyantono.Op.Cit.Hal.261.
31
Tabel 1.3 Peta tanda Roland Barthes Signifier Signified (Penanda) (Petanda) Denotatif Sign (Tanda Denotatif) Connotative Signifier Connotative Signified (Penanda Konotatif ) (Petanda Konotatif) Connotative Sign (Tanda Konotatif) Representasi dapat dianalisis secara tepat apabila dijalankan melalui praktik penandaan (signfying). Ini semua memerlukan analisis atas tanda-tanda aktual yang wujudnya dapat berupa simbol, gambar (picture atau motion picture), narasi, kata-kata (tertulis atau terucap), dan suara. Maka, pada penelitian ini analisis akan diarahkan pada elemen dan relasi tanda-tanda yang hadir secara nyata pada multikulturalisme film Cheng Cheng Po.
32