BAB I PENDAHULUAN
Tesis ini mengambil tema mengenai pasukan keamanan internasional di Afghanistan, dengan fokus pada keputusan Perancis untuk segera menarik pasukannya dari Afghanistan empat tahun sebelum mandat penarikan pasukan bersama seluruh negara di bawah kendali NATO. Keputusan itu ditolak oleh NATO (North Atlantic Treaty Organization) dan Amerika Serikat (AS) karena kesepakatan soal penarikan pasukan telah dibuat, yaitu pada akhir tahun 2014. Menarik kemudian untuk menganalisis keputusan Perancis tersebut.
Latar Belakang Perubahan peta politik internasional yang semakin kompleks pasca Perang Dingin ditunjukkan dengan munculnya berbagai isu baru dalam politik global. Adanya pergeseran persoalan politik dunia yang lebih bervariasi seperti isu terorisme internasional, konflik etnis, pelanggaran hak asasi manusia, masalah lingkungan dan isu lainnya semakin mempengaruhi dinamika politik internasional. Amerika Serikat muncul sebagai aktor unipolar yang mendominasi politik dunia setelah berakhirnya Perang Dingin, sehingga berbagai peristiwa yang terjadi dapat dipahami sebagai menunjukkan hubungan dengan kepentingan ekonomi dan politik AS. Salah satu tragedi besar pasca Perang Dingin ialah peristiwa yang terjadi pada tanggal 11 September 2001, yaitu pengeboman gedung kembar World Trade Center (WTC) dan markas Departemen Pertahanan AS (Pentagon) yang merupakan kebanggaan AS. Isu terorisme kemudian menjadi agenda utama yang difokuskan oleh AS menjelang abad ke-21. Dapat dikatakan isu tersebut menjadi titik sentral kebijakan luar maupun dalam negeri AS. Selang beberapa waktu setelah hancurnya dua menara kembar WTC, Presiden George W. Bush berpidato di Joint Session of Congress mengenai kebijakan “war against terorism”.1 Munculnya aktor non-negara, dalam hal ini kelompok teroris, yang berhadapan langsung 1
„President Bush Declares "War on Terror”,‟ Middle East Issues, , diakses pada 17 Desember 2012.
1
dengan aktor negara (AS) menyebarluaskan retorika tentang musuh bersama yang harus diberantas: terorisme. Bush menyampaikan juga pernyataan “either you are with us or you are with the terrorists,” seolah-olah AS memilah dunia ke dalam dua sisi,yaitu bersamasama AS memerangi teroris berarti menjadi “kawan” atau tidak ingin melawan teroris yang berarti akan menjadi “lawan”. Bush mengajak seluruh rakyat AS untuk berperang sekuat tenaga melawan terorisme. “Perang yang tidak akan usai sampai seluruh kelompok teroris berjangkauan global itu kalah dan bertekuk lutut,” demikian kata Bush dengan penuh percaya diri.2 Dalam serangan bom 11 September itu, yang dituduh sebagai pelaku utama adalah mereka yang berasal dari Timur Tengah. Setelah diidentifikasi lebih lanjut, AS mengindikasikan keterlibatan Osama bin Laden, pemimpin Al Qaeda, sebuah kelompok Islam yang memiliki tujuan menetapkan dasar-dasar agama yang konservatif sebagai dasar untuk menjalankan dunia. Sebelumnya, Osama pernah melakukan penyerangan terhadap warga AS baik didalam maupun di luar negeri. Berbagai peristiwa tersebut menguatkan tuduhan AS mengenai keterlibatan Osama dan Al-Qaeda dalam peristiwa 9/11.3 Selain itu, kelompok Taliban di Afghanistan juga masuk dalam daftar bidikan karena diyakini melindungi keberadaan Osama bin Laden. Taliban sendiri lahir di Afghanistan pada tahun 1996 sebagai sebuah kekuatan baru yang beranggotakan lulusan sekolah-sekolah Islam tradisional dan menginginkan Afghanistan berdiri sebagai negara Islam. Pada awalnya Taliban disambut baik oleh rakyat Afghanistan karena telah berhasil mengakhiri kekerasan dan konflikpasca invasi Uni Soviet, tetapi paham „fundamentalis‟-nya kemudian telah mengasingkan ia dari banyak warga suku tradisional di negara tersebut.4 Merespon isu terorisme, AS melancarkan aksi militer ke Afghanistan, yang disebut sebagai negara sarang teroris dan markas utama pelatihan jaringan terorisme. Pada 7 Oktober 2001 AS menjatuhkan lima rudal jelajah di Kabul, ibu kota Afghanistan.5 AS menginginkan jatuhnya pemerintahan Afghanistan yang memiliki kedekatan terhadap Al-Qaeda dan digantikan oleh pemerintahan baru yang diharapkan dapat menjadi sekutu AS. Penyerangan 2
J.D. Gray, Fakta Sebenarnya Tragedi 11 September, Sinergi Publishing, Jakarta, 2004, p. 37. A. Wachtel, 11 September: Kisah Yang Terlewatkan, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2009, p. 22. 4 R.W. Mansbach & K.L.Rafferty. Introduction to Global Politics, edisi Bahasa Indonesia Pengantar Politik Global, diterjemahkan oleh Amat Asnawi, Nusamedia, Bandung, 2012, p. 271. 5 A.H. Mahally, Membongkar Ambisi Global Amerika Serikat, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2003, p. 48. 3
2
terhadap kelompok Taliban dengan tujuan membasmi terorisme juga mendapat respon dari negara-negara yang berada dalam satu payung NATO. AS mendapatkan keuntungan berupa dukungan NATO setelah Pasal 5 Traktat NATO mengatur bahwa serangan atau ancaman terhadap salah satu negara anggota NATO dapat dianggap sebagai ancaman terhadap seluruh anggota.6 Dengan berdasar kesepakatan tersebut pasukan dari berbagai negara anggota ditempatkan di Afghanistan dengan alasan untuk membasmi sarang teroris internasional. Uni Eropa menekankan bahwa balasan AS untuk penyerangan teror 9/11 ini harus “proporsional” dan perlu berkonsultasi dengan sekutu-sekutunya sebelum mengambil tindakan.7 Di tahun 2001 NATO mulai menempatkan pasukannya di Afghanistan. Sekitar 130.000 personel International Security Assistance Force (ISAF) dibawah pimpinan NATO yang berasal dari puluhan negara berada di Afghanistan untuk memerangi Taliban. ISAF didirikan atas mandat Dewan Keamanan PBB pada 20 Desember 2001 sebagaimana disebut dalam Perjanjian Bonn.8 ISAF pada awalnya ditugaskan untuk mengamankan Kabul dan wilayah sekitarnya dari Taliban, Al-Qaeda dan faksi perang lainnya, sehingga memungkinkan untuk pembentukan Pemerintahan Transisi Afghanistan yang dipimpin oleh Hamid Karzai. Pada bulan Oktober 2003, Dewan Keamanan PBB memerintahkan perluasan misi ISAF pada seluruh wilayah Afghanistan.9 Berdasarkan perintah itu ISAF kemudian memperluas misinya dalam empat tahap utama. Sejak tahun 2006, ISAF terlibat dalam operasi tempur yang lebih intensif di Afghanistan Selatan, yang diteruskan pada tahun 2007 dan 2008. Sebagai konsekuensinya, serangan terhadap ISAF di bagian lain Afghanistan juga meningkat dan ranah perangnya semakin melebar hingga saat ini (lihat Gambar 1).
6
S.M.Walt, America and the World, Debating the New Shape of International Politics, edisi Bahasa Indonesia Amerika dan Dunia: Memperdebatkan bentuk baru politik Internasional, diterjemahkan oleh Y.A. Pareanom & A.Z. Rofiqi, Yayasan Obor Indonesia, 2005, Jakarta,p. 373. 7 Walt, p. 373. 8 Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa,Document 1154 Annex I - International Security Force, 2001, p. 9. 9 United Nations Security Council (UNSC) Resolution No. 1510 (2003), 13 October 2003.
3
Gambar 1. Perluasan Pasukan ISAF di Afghanistan10
Dalam misi menggempur Taliban tersebut, AS menjadi negara penyumbang pasukan terbanyak dalam ISAF dengan total mencapai 94 ribu personel militer.11 Pasukan AS mempunyai wilayah penyebaran paling luas di berbagai provinsi di Afghanistan. Perancis, salah satu kekuatan utama NATO, adalah penyumbang terbesar keempat bagi personel ISAF setelah AS, Inggris, dan Jerman. Pada awalnya terdapat sekitar 2.550 tentara Perancis di Afghanistan, mengalami peningkatan hingga pada tahun 2011 berjumlah 4.000 orang. Di akhir tahun 2012, Perancis mengambil keputusan untuk mempercepat penarikan tentaranya dari Afghanistan, setahun lebih awal dari rencana Paris dan dua tahun sebelum tenggat kesepakatan NATO. Perancis telah kehilangan banyak pasukan selama ditugaskan ke negara terkoyak perang tersebut. Disisi lain, Afghanistan merupakan pengalaman yang tidak terlupakan bagi negara-negara Eropa. Mayoritas rakyat Eropa ingin mengakhiri tiga dekade perang serta kekerasan, tetapi pengiriman pasukan NATO ke Kabul dianggap telah berubah
10
„International Security Assistance Force,‟ North Atlantic Treaty Organization,, diakses pada 3 Januari 2013. 11 „Jumlah Pasukan Amerika dan NATO di Afghanistan mencapai 150.000,‟ The Global Review,, diakses pada 3 Januari 2013.
4
menjadi unjuk kekuatan militer dan sangat melanggar nilai HAM.12 Selain itu, gelombang anti-perang di Eropa kian meningkat disaat krisis ekonomi melanda benua ini, tetapi pemerintah lebih condong menghamburkan anggaran belanja untuk membiayai perang di Afghanistan ketimbang memenuhi kebutuhan rakyat. Dengan demikian, perang di Afghanistan menjadi jalan bagi kubu oposisi dibanyak negara Eropa mengusung slogan antiperang untuk memenangkan pemilu.Begitu juga dengan Francois Hollande yang memenangkan pemilihan presiden Perancis dengan janji segera menarik semua pasukan yang ditempatkan di Afghanistan. Selanjutnya, Perancis hanya akan mengirim pasukan ke negara lain di bawah mandat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).13 Penarikan pasukan tempur Perancis ini dikecam keras oleh AS dan NATO.14 Sebagai anggota terbesar NATO, AS menghendaki pasukan organisasi ini tetap di Afghanistan setidaknya hingga akhir 2014 dan memerintahkan negara lain agar pasukannya tetap berada di Afghanistan hingga waktu yang telah ditentukan. Namun, Perancis tetap bersikukuh menekankan bahwa penarikan pasukannya harus benar-benar terlaksana ditahun 2012. Perancis telah mulai menarik pasukannya dari Afghanistan sejak tahun 2011.Presiden Nicolas Sarkozy pernah mengumumkan bahwa misi tempur Perancis akan berakhir pada awal tahun 2013. Namun pengganti Sarkozy, Hollande mempercepat jadwal tersebut menjadi akhir 2012. Sekarang Perancis menyisakan sekitar seribu tentaranya di Afghanistan yang bertugas untuk mengirim kembali seluruh peralatan militer ke Perancis, sementara 500 lainnya akan tetap berada di Afghanistan untuk memberikan pelatihan bagi pasukan Afghanistan yang masih minim pengalaman. Pada pertemuan puncak NATO di Chicago
12
„Dua Pilihan NATO, Tetap atau Hengkang dari Afghanistan,‟ Iran Indonesian Radio, , diakses pada 3 Januari 2013. 13 „Hollande, Harapan Baru Perancis dan Eropa,‟ Iran Indonesian Radio, , diakses pada 19 April 2013. 14 E.F. Wardhana,‘Perancis tarik pasukan tempurnya dari Afghanistan,‟ Sindonews, 20 November 2012,,diakses pada 17 Desember 2012.
5
tahun 2012,15 AS menekankan agar Perancis harus tetap berkontribusi dalam operasi NATO di Afghanistan. Friksi tersebut membuat pusing 29 anggota NATO dan negara-negara lain yang ikut mengirim pasukan ke Afghanistan.16
Pertanyaan penelitian Berdasarkan latar belakang di atas, penulis mengajukan pertanyaan penelitian: Mengapa Perancis mengambil kebijakan untuk mempercepat penarikan pasukannya dari Afghanistan lebih awal dari kesepakatan bersama NATO, yang menjadwalkannya pada akhir tahun 2014?
Reviu literatur Terdapat sejumlah literatur yang berkenaan dengan pokok masalah yang akan dikaji oleh tesis ini. Literatur pertama memaparkan ketidakharmonisan hubungan antara Perancis dan AS sebagaimana yang tersirat dalam tema penelitian ini, yaitu Persaingan Amerika Serikat dan Perancis di Kawasan Timur Tengah yang merupakan tesis dari Dewi Chandra Hazani.17 Tulisan Hazani sangat mendukung ide peneliti yang mengangkat topik yang hampir sama tentang perbedaan kepentingan Perancis dan AS, namun peneliti berfokus dalam konteks kebijakan Perancis pada masalah penarikan pasukan NATO di Afghanistan yang lebih cepat dari waktu yang disepakati bersama sebelumnya. Sementara itu, penelitian Hazani menjelaskan tentang perbedaan pendapat AS dan Perancis yang dititikberatkan pada kasus perang Irak dan perluasan kepentingan nasional kedua negara tersebut di Timur Tengah. Hazani menggambarkan secara terinci perbedaan sikapantara Perancis dan AS pada Perang Teluk di Irak yang terjadi pada tahun 2003. Ketika itu Perancis mulai memperlihatkan perbedaan sikap dengan menolak agresi militer AS. Pada tahun 1991 Perancis memang ikut menggempur Irak dengan alasan ia merupakan anggota tetap Dewan 15
„Perundingan Puncak NATO Summit dimulai di Chicago,‟ Lensa Indonesia,, diakses pada 25 Maret 2013. 16 „Dua Pilihan NATO, Tetap atau Hengkang dari Afghanistan.‟ 17 D.C. Hazani, Persaingan Amerika Serikat dan Perancis di Kawasan Timur Tengah, tesis Program Studi S-2 Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2006.
6
Keamanan PBB pemegang hak veto, namun pada perang Irak 2003 Perancis beranggapan pemecahan masalah Irak masih dapat ditempuh dengan jalan damai. Terjadilah friksi dan kontradiksi kepentingan antara Perancis dengan AS. AS menghadapi kenyataan bahwa sekutunya dalam NATO, yaitu Perancis, adalah negara yang paling keras menantang rencana menyerang Irak. AS curiga atas penentangan itu mengingat terdapatnya kontrak minyak Perancis dengan Irak, seperti yang dimiliki oleh Total Fina-Elf yang merupakan perusahaan minyak terbesar di Perancis yang menyumbang 25% bagi devisa negara.18 Selain itu, Perancis masih berpegang teguh pada prinsip “kehadiran, keseimbangan dan kedamaian”, di mana ia berusaha memelihara hubungan yang sudah ada sejak dahulu dengan negara-negara di Timur Tengah, termasuk Irak yang merupakan negara yang “kurang disukai” oleh AS. Perancis memang sudah lama bersahabat dengan Irak, termasuk dalam hubungan militer kedua negara yang antara lain berwujud penjualan senjata. Kegiatan tersebut meningkat saat Perancis dipimpin Presiden Jacques Chirac. Sementara AS, dengan politik luar negerinya berupa “perang melawan terorisme”, pernah diperintah oleh Presiden George W. Bush yang selalu mencurigai keterlibatan Irak dalam upaya pembunuhan ayahnya, Bush senior.19Bush sangat membenci pemimpin Irak Saddam Hussein, seperti tampak dalam pidatonya pada tanggal 29 Januari 2003: “Saddam Hussein has terrorized his own people. He‟s terrorized his own neighborhood. He is danger not only to countries in the region, but as I explained last night, because of Al-Qaeda conections, because of his history, he‟s a danger to the American people. And we‟ve got deal with him, before it is too late.”20 Kemarahan Bush mendorong AS untuk melakukan intervensi ke negara-negara yang disinyalir berpotensi sebagai ancaman, terutama Irak. AS mengirimkan sekitar 500ribu pasukan ke Irak, namun aksi ini tidak mendapatkan dukungan dari Perancis. Perancis dianggap menghalangi niat AS untuk melaksanakan agresi ke Irak.21 Seorang pejabat pemerintahan AS mengatakan bahwa pengiriman suku cadang militer Perancis ke Irak 18
Total Fina-Elf, , sebagaimana dikutip dalam Hazani, p. 3. Hazani, p. 4. 20 Tim Index, Saddam Hussein - Jejak Langkah Singa Padang Pasir, Index Publishing House, Yogyakarta, 2003, p. 90, sebagaimana dikutip dalam Hazani, p. 47. 21 „Tragedi Irak: Bush, Perang itu menyakitkan!‟, Kompas.com, 21 Maret 2013, , diakses pada 25 Maret 2013. 19
7
merupakan salah satu alasan mengapa Perancis dengan suara keras menentang aksi militer AS. Hal ini pula yang meningkatkan sentimen anti-Perancis di AS. Perancis pernah berusaha merusak upaya AS menyerang Irak dengan memperlemah Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1441, yang mengharuskan Irak memusnahkan semua program persenjataan kimia, biologi dan nuklir yang ia miliki.22 Terdapat dugaan bahwa persaingan AS dan Perancis berlangsung karena keduanya berupaya memaksakan kepentingan nasional masing-masing, khususnya untuk menguasai perekonomian di Timur Tengah. Perancis berinvestasi dalam eksplorasi ladang minyak Irak agar ia mendapatkan pasokan minyak murah yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan ekonomi dan industrinya. Sementara itu, AS berkepentingan agar sumber-sumber alam di Timur Tengah tidak jatuh ketangan musuh. AS sangat berang ketika perusahaan multinasional AS tidak dapat masuk ke Irak, sementara Total Fina-Elf justru mendapat kontrak milyaran dolar. Inilah yang menjadi inti perselisihan kedua negara menurut Hazani, yaitu kepentingan ekonomi di Timur Tengah. Meskipun penelitian Hazani tidak terlalu banyak menyinggung perbedaan prinsip kedua negara dalam NATO,namun ia tetap menjadi acuan untuk membantu peneliti melihat perbedaan sikap antara Perancis dan AS. Literatur kedua adalah risalah Jason Davidson yang berjudul From Harmony to Hard Times: A Neoclassical Realist Explanation of Transatlantic Burden-sharing in Afghanistan and Iraq.23 Tulisan ini memaparkan kerjasama antara AS dengan Inggris dan Perancis pada misi mereka di dua negara Timur Tengah, yaitu Afghanistan dan Irak. Saat AS memutuskan untuk menggempur Afghanistan melalui Operation Enduring Freedom (OEF) di tahun 2001, Inggris dan Perancis ikut serta menurunkan pasukan. Namun ketika tahun 2003 AS menginisiasi Operation Iraqi Freedom (OIF), Perancis dengan tegas menolak untuk memberikan dukungan militernya. Tulisan ini memberikan masukan berarti kepada peneliti dalam membahas topik yang sama tentang intervensi militer di Afghanistan yang diprakasai oleh AS, namun berbeda pada fokus penelitian.
22
B. Gertz, Irak Strengthens Air Foce with French Parts, sebagaimana dikutip dalam Hazani, p. 29. J.W. Davidson, From Harmony to Hard Times: A Neoclassical Realist Explanation of Transatlantic Burden-sharing in Afghanistan and Iraq, paper presented at the 2009 International Studies Association Annual Conference in New York, , diakses pada 17 Desember 2012. 23
8
Dengan menggunakan penjelasan realisme neoklasik, Davidson menganalisis bahwa keputusan yang diambil oleh Inggris dan Perancis mewakili kepentingan nasional masingmasing. Perancis dibawah kepemimpinan Sarkozy bersikukuh bahwa keputusan AS untuk mengintervensi Irak adalah keputusan yang salah. Sementara Inggris dibawah pemerintahan Perdana Menteri Tony Blair mendukung penuh kebijakan AS pada Irak. Bahkan pada tanggal 18 Desember 2001, London Times melaporkan bahwa Blair mengatakan Inggris akan memimpin kekuatan pasukan penjaga perdamaian di Afghanistan sebagaikontribusi dan respon terhadap permintaan dari AS. Faktor politik domestik Perancis dan Inggris berperan besar dalam keputusan kedua negara untuk tidak memberikan dukungan militer kepada AS. Davidson lebih lanjut memaparkan bahwa politik yang diusung Inggris ialah berdasarkan kepentingan nasional dan aliansi, sementara Perancis lebih kearah kepentingan nasional dan politik “prestige.”24 Tulisan Davidson ini mendukung peneliti dalam menggunakan kerangka realisme neoklasik untuk menganalisis bagaimana perilaku Perancis dalam struktur internasional. Di sini, penulis akan menggunakan realisme neoklasik untuk melihat bahwa faktor politik dalam negeri berpengaruh dalam keputusan Perancis untuk menyetujui atau menolak pemberian dukungan militer kepada AS. Literatur ketiga berjudul NATO in Afghanistan: A New Mission for an Old Alliance.25 Tulisan ini menjabarkan misi NATO di Afghanistan dan membentuk pasukan keamanan yang disebut ISAF. Hal utama yang disampaikan tulisan ini ialah bahwa sejak tahun 2006 banyak aspek yang berkembang dari operasi utama pasukan ISAF. Oleh karena itu, strategi dalam menjalankan seluruh tugas harus diubah mengikuti kebijakan-kebijakan baru yang dicetuskan oleh NATO. Selama ini fokus dalam misi NATO hanya seputar penyerangan terhadap markas Taliban. War on Terror memang menjadi agenda utama saat pembentukan pasukan keamanan di Afghanistan. Namun, setelah 6 tahun akhirnya NATO mengerahkan ISAF untuk melatih Tentara Nasional Afghanistan. ISAF berhasil membentuk 30.000 tentara
24
Davidson, p. 17. J.W. Peterson, NATO in Afghanistan: A New Mission for an Old Alliance, Paper Presented at the Annual Meeting of the Georgia Political Science Association, November 2007, , diakses pada 25 November 2013. 25
9
nasional dari penduduk Afghanistan yang berjumlah sekitar 31juta jiwa.26 Agenda ini dinilai begitu penting karena dapat membantu ISAF guna melawan Taliban dan mempersiapkan pengalihan tanggung jawab keamanan dalam negeri tersebut. James Peterson menekankan bahwa pasukan di sebuah negara perang seperti Afghanistan harus siap dengan banyak fungsi. Para tentara sebagai delegasi negara untuk menyampaikan bantuan ekonomi dari negara-negara donormelakukan pembangunan berbagai fasilitas. Memelihara pertumbuhan ekonomi lebih lanjut dialokasikan dengan membekali masyarakat lokal dalam peningkatan mutu sumber daya manusia. Selain itu, bantuan pasukan keamanan berfungsi untuk membentuk negara demokrasi yang tegak hukum serta menjadi garda terdepan untuk memberantas perdagangan narkoba. Karya Peterson memperlihatkan bagaimana NATO berperan sebagai wadah pembentukan pasukan keamanan internasional dengan tugas di lapangan. Ia tidak menyinggung kendali AS sebagai negara penggerak ISAF serta tidak membahas kepentingan nasional negara-negara yang memiliki porsi besar dalam menyumbang pasukan maupun dana. Dengan demikian, tulisan ini menjadi data sekunder mengenai eksistensi NATO dalam perannya sebagai penjaga perdamaian dan komitmen para sekutu untuk mencapai target yang telah disepakati.
Landasan Teoritik Realisme merupakan pemikiran terkemuka dalam politik internasional yang bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama. Teori realisme klasik dan neorealisme digunakan secara luas dalam kajian hubungan internasional ketika Richard Ashley menarik perbedaan yang tajam antara teori politik internasional karya Kenneth Waltz dan para realis sebelumnya. Teori klasik ini telah mengalami perkembangan dan melahirkan beberapa pemikiran baru. Salah satunya adalah realisme neoklasik, yang merupakan mesin analisis untuk memproduksi sebuah Kebijakan Luar Negeri. Untuk menjawab pertanyaan penelitian dalam tesis ini, penulis akan menggunakan perspektif tersebut. Teori realisme neoklasik ini dapat dikatakan sebagai teori yang menyempurnakan pendekatan realisme dan neorealisme dalam pembentukan politik luar negeri. Seperti yang ditulis oleh Gideon Rose dalam artikel 26
Peterson, p. 7.
10
jurnalnya yang berjudul “Neoclassical Realism and Theories of Foreign Policy”, perspektif ini menggabungkan komponen domestik internal dan lingkungan eksternal. Ia mendukung pernyataan bahwa ruang lingkup dan ambisi dari kebijakan luar negeri suatu negara digerakkan oleh tujuan rasional. Analisis mengenai kekuatan harus melihat hubungan suatu negara dengan masyarakatnya, karena hubungan itu berpengaruh pada pembagian sumber daya nasional dan kepentingan nasional untuk menganalisis politik luar negeri.27 Perspektif ini juga menekankan bahwa kepentingan nasional berada diatas segalanya dan segala kerugian harus dihindari untuk mencapai kepentingan nasional secara maksimal. Teori kebijakan luar negeri ini mengulas mengenai pengambilan kebijakan luar negeri suatu negara yang didorong oleh posisinya dalam struktur internasional dan juga kekuatan relatif negara tersebut. Untuk menciptakan sebuah kerangka kebijakan luar negeri, tekanan sistemik harus diterjemahkan melalui intervensi pada tingkat unit. Sehingga variabel domestik menjadi bagian yang tidak boleh terlupakan dari mata rantai perspektif ini. Fareed Zakaria salah satu ilmuan yang konsen menulis mengenai teori ini berpendapat bahwa elit politik adalah pelaku utama dalam pengambilan kebijakan karena persepsi mereka mengenai keadaan menjadi sangat penting. Variabel domestik lainnya adalah mendefinisikan bagaimana pendapat dan tekanan kelompok masyarakat mempengaruhi kemampuan negara untuk mengekstrak sumber daya dari masyarakatnya.28 Realisme neoklasik mengakui pentingnya kekuasaan relatif suatu negara dalam membentuk keinginannya. Bagaimana sebuah negara melakukan tindakan dalam sistem internasional yang dibentuk oleh sistem anarki dan pendistribusian kekuasaan relatif. Namun, tidak berhenti sampai di sana, untuk mendapatkan gambaran keseluruhan yang lebih spesifik dan lebih jelas dari kebijakan luar negeri suatu negara, variabel domestik merupakan tumpuan utama untuk menyelesaikan rantai analisis ini. Prinsip utama realisme neoklasik adalah bahwa kebijakan luar negeri adalah hasil dari struktur internasional, pengaruh domestik, dan juga hubungan yang kompleks antara keduanya. Meskipun kekuatan nasional dan posisi negara dalam struktur internasional adalah faktor yang menentukan dalam pilihan kebijakan luar negeri negara, peran variabel dalam negeri tidak bisa dilepaskan dalam 27
G. Rose, „Neoclassical Realism and Theories of Foreign Policy‟, World Politics, vol. 51, no. 1, October 1998, pp. 146-147. 28 Rose, p. 147.
11
membentuk kebijakan luar negeri suatu negara. Atas dasar ini, realisme neoklasik mencoba untuk memecahkan masalah dalam penelitian hubungan internasional dengan membangun jembatan antara sistem internasional dan Negara. Sebagaimana dikutip dalam penjelasan Rose : “[Neoclassical realism] explicitly incorporates both external and internal variables, updating and systematizing certain insights drawn from classical realist thought. Its adherents argue that the scope and ambition of a country‟s foreign policy is driven first and foremost by its place in the international system and specifically by its relative material power capabilities. This is why they are realists. They argue further, however, that the impact of such power capabilities on foreign policy is indirect and complex, because systemic pressures must be translated through intervening variables at the unit level. This is why they are neoclassical.”29
Ketika realisme selalu berbicara mengenai permasalahan keamanan, realisme neoklasik menolak asumsi bahwa satu-satunya tujuan negara adalah masalah keamanan. Negara mencoba untuk menggunakan kekuasaan mereka untuk mengarahkan sistem internasional menuju tujuan mereka. Oleh karena itu, dalam praktiknya, negara-negara yang lebih kuat akan menuntut kebijakan luar negeri yang lebih jauh.30 Setiap negara menjalankan fungsi pokok yang sama seperti keamanan dan kesejahteraan rakyatnya. Namun, ada negaranegara besar yang biasanya menentukan pola disitribusi kekuatan yang ada dan mendominasi yang lain dan ada pula negara-negara kecil yang harus menyesuaikan perilakunya dengan struktur sistem internasional yang berlaku.31 Realisme neoklasik percaya, memahami hubungan antara kekuasaan dan kebijakan memerlukan pengamatan yang mendalam, terutama dalam proses pengambilan kebijakan luar negeri suatu negara. Zakaria memperkuat pendekatan diatas dengan menyimpulkan bahwa pembentukan kebijakan luar negeri memang dipengaruhi oleh faktor eksternal, yakni struktur internasional dan distribusi kekuatan. Kemudian, faktor internal berupa struktur domestik sebuah negara, baik struktur ekonomi maupun politik yang dapat menentukan tingkah laku negara, juga tidak kalah penting.32 Disampaikan oleh Fareed: “a good account of a nation‟s foreign 29
Rose, p. 147. Rose, p. 147. 31 A. Jemadu, Politik Global Dalam Teori dan Praktek Edisi 2, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2014, p.27. 32 F. Zakaria, „Realism and domestic Politics: A Review Essay‟, International Security, no. 17, Summer 1992, pp. 177-198. 30
12
policy should include systemic, domestic, and other influences, specifying what aspects of policy can be explained by what factors.”33 Zakaria menulis bahwa sebuah teori kebijakan luar negeri pertama-tama harus bertanya dan menjawab apa dampak yang ditimbulkan dari sistem internasional terhadap kebijakan nasional. Menurut Zakaria, penjelasan pada faktor eksternal untuk menghasilkan kebijakan luar negeri tidak boleh mengabaikan politik dalam negeri atau budaya nasional atau para aktor (individu) pembuat keputusan. Oleh karena itu, menganalisa sebuah kebijakan luar negeri berangkat dari pembahasan pada dampak sistemik pada keputusan kebijakan luar negeri kemudian fokus akhir seorang peneliti harus berada pada variabel pilihan pada konteks wilayah domestik seperti jenis rezim yang ada, birokrasi atau negarawan.34 Pada analisis yang serupa, Rose mengidentifikasi dan memperkenalkan variabel sela ini sebagai persepsi pengambil keputusan, di mana tekanan sistemik harus disaring. Realisme neoklasik menjelaskan bahwa produk kebijakan luar negeri dimediasi oleh faktor-faktor domestik dan dipengaruhi oleh tekanan struktur internasional. Apabila realisme membicarakan konsep klasik tentang esensialis “sifat manusia” dan realisme struktural sebagai teori politik internasional,35 realisme neoklasik merangkum bahwa kebijakan luar negeri adalah hasil dari struktur internasional, faktor-faktor domestik, dan interaksi kompleks diantara keduanya.36 Negara berada dipersimpangan antara lingkungan internasional dimana negara berinteraksi dan hubungan negara dengan masyarakatnya. Sebuah negara harus mampu mengatur proses domestik untuk memaksimalkan kepentingannya. Sebagaimana dikemukakan Randall Schweller, analisis realisme neoklasik harus mempertimbangkan aspek-aspek non-struktural seperti karakter kepemimpinan elit maupun tanggapan publik terhadap kebijakan luar negeri, sehingga penyelarasan antara kepentingan elit dan
33
Zakaria, p. 178. J.Mononen, War or Peace for Finland? Neoclassical Realist Case Study of Finnish Foreign Policy in the Context of the Anti-Bolshevik Intervention in Russia 1918 – 1920, tesis Program Studi S-2 Ilmu Politik dan Hubungan Internasional University of Tampere, Finland, 2008, p. 5. 35 Liu Feng & Zhang Ruizhang, „Tipologi Realisme‟, dalam Asrudin & M.J. Suryana, Refleksi Teori Hubungan Internasional dari Tradisional ke Kontemporer, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2009, p. 29. 36 Liu Feng & Zhang Ruizhang, p. 31. 34
13
kepentingan publik akan menjadi variabel yang berpengaruh terhadap kebijakan luar negeri setelah elit mempertimbangkan kepentingan-nya vis a vis tekanan internasional.37 Dalam kasus ini akan dianalisis bagaimana keputusan Perancis untuk segera mengakhiri keterlibatannya dalam perang di Afghanistan, yang mendapat tentangan dari AS sebagai negara yang berperan dominan dalam politik dunia. Dengan menggunakan pendekatan realisme neoklasik akan dianalisis faktor-faktor penggerak pengambilan keputusan Perancis dalam upaya percepatan penarikan pasukan dari Afghanistan, sebagaimana digambarkan berikut ini.
Gambar 2. Kerangka teori realisme neoklasik untuk memahami tindakan Perancis
Independent Variable (situasi eksternal)
Perubahan lingkungan eksternal, struktur internasional dan tekanan krisis ekonomi
Intervening Variable (situasi internal)
Pembiayaan perang dan protes masyarakat Perancis
Dependent Variable
Kebijakan Perancis untuk segera mungkin menarik pasukan lebih awal dari waktu yang disepakati
Berdasarkan skema diatas, pendekatan realisme neoklasik digunakan untuk menganalisis faktor-faktor penggerak kebijakan Perancis menarik mundur pasukannya dari Afghanistan. Realisme neoklasik menentang prinsip metodologi klasik bahwa untuk menjelaskan output politik luar negeri suatu negara hanyalah perlu berfokus pada salah satu level analisis saja.38 Dalam tulisan Thomas Juneau dijelaskan:“Neoclassical realism proposes a clear causal chain, with three „steps‟: the independent variable (the country‟s relative position in the international distribution of power), the intervening variable (the 37
B.W. Nugroho, Populisme dalam Reformulasi Politik Luar Negeri Indonesia di Era Reformasi, tesis Program Studi S-2 Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2010, p. 22. 38 M. Rosyidin, „Integrasi Struktur dan Unit: Teori Politik Luar Negeri dalam Perspektif Realisme Neoklasik‟, Global Jurnal Politik Internasional, vol. 10, no. 2, 2010, p. 156.
14
domestic level) and the dependent variable or the foreign policy outcome.”39 Realisme neoklasik menegaskan bahwa pengejaran tujuan utama Perancis melalui politik luar negerinya tidak bisa dipisahkan dari faktor eksternal dan faktor internal yang menyebabkannya. Di sini variabel independen menjelaskan perubahan lingkungan pasca Perang Dingin yang diwarnai dengan kebijakan war on terror telah mewajibkan Perancis sebagai bagian dari NATO untuk turun tangan dalam perang di Afghanistan. Sementara itu, faktor domestik Perancisberupa instabilitas dalam negeri menyusul keterlibatan dalam perang di Afghanistan yang memunculkan permasalahan ekonomi akibat pemborosan dana dalam pembiayaan militer. Rantai ketiga, variabel dependen, melahirkan output kebijakan luar negeri Perancis untuk menarik pasukan lebih awal yang merupakan wujud penyelarasan kepentingan nasional dengan tekanan struktur intenasional. Hipotesis Perancis melihat bahwa misi yang diusung pasukan ISAF telah selesai dan harus segera meninggalkan Afghanistan. Walaupun AS menghendaki seluruh pasukan ISAF tetap berada di Afghanistan hingga akhir 2014, namun Perancis dengan sangat tegas memutuskan penarikan pasukannya dipercepat pada akhir tahun 2012. Peneliti mengajukan hipotesis bahwa sikap Perancis disebabkan kuatnya pengaruh instabilitas domestik, dimana terdapat desakan masyarakat untuk menghentikan keterlibatan negara itu dalam perang yang terlalu lama di Afghanistan setelah Perancis mengalami ketidakstabilan ekonomi dalam negeri yang salah satu penyebabnya adalah pembiayaan militer. Hal tersebut merupakan filter dari tekanan pada sistem internasional yang telah mengalami perubahan lingkungan strategis serta permasalahan krisis ekonomi yang melanda Eropa dan AS.
Sistematika Penulisan Tesis ini akan disusun dalam lima bab, yang masing-masing akan terdiri dari beberapa subbab sesuai dengan kebutuhan analisis. Setelah Bab Pertama ini, Bab Kedua akan menunjukkan deskripsi mengenai pembentukan pasukan ISAF di Afghanistan, kondisi Afghanistan pasca invasi NATO, diakhiri dengan keikutsertaan Perancis untuk bergabung 39
T. Juneau, Power, Perceptions, Identity and Factional Politics; A Neoclassical realist Analysis of Iranian Foreign Policy, 2001-2007, Carleton University, Ottawa, 2009,p.7.
15
dengan pasukan NATO di Afghanistan. Pada Bab Ketiga peneliti akan lebih dalam membahas mengenai situasi keamanan di Afghanistan, bagaimana peran pasukan Perancis dalam situasi tersebut, yang akhirnya mengarah kepada penilaian bahwa sudah seharusnya keterlibatan pasukan Perancis diakhiri. Bab Keempat akan memaparkan analisis tentang proses pengambilan kebijakan luar negeri Perancis, yaitu faktor struktur internasional yang diterjemahkan oleh faktor domestik Perancis sebagai variabel pengantara sehingga akan mempengaruhi pembuatan keputusan untuk penarikan pasukan lebih awal dari kesepakatan. Tesis ini akan diakhiri dengan Bab Kelima yang berisikan kesimpulan dari temuan penelitian kasus yang diteliti.
16