BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) merupakan sebuah bentuk pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak yang bisa terjadi pada siapa saja dan dimana saja.1 Prostitusi anak, pornografi anak, pariwisata seks anak, dan perdagangan anak untuk tujuan seksual merupakan bentuk-bentuk dari eksploitasi seksual komersial, dimana hal tersebut merupakan sebuah pelanggaran berat terhadap hakhak anak dan merupakan sebuah penghinaan terhadap martabat kolektif manusia. Sebanyak 1,8 juta anak dieksploitasi untuk prostitusi dan pornografi di seluruh dunia dan perdagangan anak sendiri merupakan sebuah industri ilegal yang menghasilkan milyaran dolar Amerika Serikat.2 Pada tahun 2004, pemerintah Amerika Serikat memperkirakan 600.000 - 800.000 orang menjadi korban trafiking pada skala internasional. 80% dari korban perdagangan manusia tersebut adalah perempuan, dimana 50%-nya adalah anak-anak, dan 70%-nya ditujukan untuk eksploitasi seksual.3 Angka inilah yang menunjukkan bahwa anak-anak benar-benar berisiko untuk menjadi korban eksploitasi tersebut. Padahal setiap anak seharusnya mendapatkan haknya untuk hidup dengan damai dan terbebas dari segala macam bentuk eksploitasi seksual, dan juga mendapatkan
1
ECPAT, Declaration and Agenda for Action: 1st World Congress against Commercial Sexual Exploitation of Children, Stockholm, Sweden, 27-31 August 1996, http://www.ecpat.net/sites/default/files/stockholm_declaration_1996.pdf diakses pada 5 Agustus 2014. 2
ECPAT International, What We Do, http://www.ecpat.net/what-we-do diakses pada 05 Desember 2013. 3
Louise Shelley, Human Trafficking: A Global Perspective, New York: Cambridge University Press, 2010. Dalam: Prof. Drs. Budi Winarno, MA, PhD, Isu-isu Global Kontemporer, Yogyakarta: CAPS, 2011, hal. 312.
1
pendidikan yang cukup dan layak. Namun kenyataannya adalah, eksploitasi anak ini selalu meningkat dari tahun ke tahun. Perdagangan seks komersial anak dan remaja telah meluas baik dalam bentuk kejahatan terorganisir maupun tidak terorganisir, baik bersifat antarnegara maupun dalam negeri sehingga hal ini menjadi sebuah ancaman terhadap masyarakat, bangsa dan negara, serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi atas penghormatan terhadap hak asasi manusia.4 Thailand sendiri menjadi tujuan untuk wisata seks sejak akhir tahun 1970-an. Hal ini disebabkan karena ‘penjajan’ atau konsumen prostitusi di kawasan itu sangat bebas. Berawal dari kehadiran militer Amerika yang beristirahat dan melakukan cuti untuk rekreasi selama Perang Vietnam sejak tahun 1962, yang kemudian menjadi salah satu faktor dari berkembangnya industri seks di Thailand, yang meliputi prostitusi, pornografi, dan perdagangan manusia. Meskipun sebagian besar dari pembeli seks ini berasal dari laki-laki lokal, turis mancanegara juga memiliki proporsi yang signifikan dalam hal ini.5 Kemudian para pengamat dan aktivis kepariwisataan menemukan bahwa wisata seks tidak hanya melibatkan orang dewasa, melainkan juga sebagian besar diantaranya adalah anak-anak, dan jumlah anak dalam sektor ini kian bertambah dari tahun ke tahun. Meskipun pemerintah Thailand telah melakukan beberapa hal untuk mengatasi kejahatan ini, namun kurang efektifnya program pemerintah dan lemahnya penegakan hukum, membuat ESKA semakin berkembang pesat dan memakan lebih banyak korban lagi. Disinilah
kemudian
peranan
masyarakat
dan
organisasi
internasional,
organisasi/lembaga non-pemerintah, dan juga aktor-aktor individual sangatlah dibutuhkan untuk memerangi kejahatan eksploitasi anak tersebut, karena negara tidak bisa menyelesaikan permasalahan ini sendirian. Salah satu organisasi non-pemerintah 4
The Body Shop, Fact Sheet Thailand: Stop The Trafficking of Children and Young People, merupakan sebuah program kampanye untuk menghentikan perdagangan anak yang terjadi di dunia. Merupakan kerjasama antara ECPAT dan The Body Shop. 5
ECPAT UK, Child Sex Tourism in Thailand, Grosvenor Gardens, London, 2005, http://www.ecpat.org.uk/sites/default/files/thailand05.pdf diakses pada 05 Desember 2013.
2
yang bergerak dibidang ini adalah End Child Prostitution, Child Pornography, and Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT). ECPAT sendiri adalah sebuah non-governmental organization (NGO), dan juga merupakan global network organizations yang bekerjasama dengan pihak-pihak lain dan bekerja untuk mengakhiri Commercial Sexual Exploitation of Children (CSEC), atau yang disebut juga Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA), yang berbasis di Bangkok, Thailand. Pada tahun 1990, pertemuan peneliti mengenai pariwisata di Thailand pertama kali menemukan sejumlah pelacuran anak-anak yang tumbuh di bagian Asia. Pertemuan tersebut kemudian berakhir dengan komitmen untuk mengambil tindakan nyata, dan didirikanlah ECPAT sebagai kampanye-tiga-tahun yang berfokus pada mengakhiri aspek ‘komersial’ dan melawan prostitusi anak yang diakibatkan oleh dampak pariwisata. Setelah resmi didirikan, sebagai kampanye yang dilakukuan untuk menghentikan pariwisata seks anak (PSA), kemudian ECPAT memperluas jangkauan mandatnya untuk memasukkan perlindungan anak dari berbagai macam bentuk ESKA, termasuk pelacuran anak, perdagangan anak untuk tujuan seksual dan eksploitasi seksual anak-anak dalam perjalanan dan pariwisata.6 ECPAT juga masih tetap aktif hingga sekarang untuk mengatasi segala macam bentuk ESKA dan bukan hanya sebuah kampanye-tiga-tahun seperti yang direncanakan pada awal didirikannya ECPAT. Walaupun Thailand sering dikenal sebagai pusat pelacuran anak-anak, namun Thailand hanya merupakan salah satu contoh dari peta pelacuran anak diberbagai negara di dunia, khususnya negara yang sedang berkembang. Diperkirakan sekitar 800.000 anak perempuan berusia 5 – 6 tahun di Thailand terpuruk ke dalam bisnis seks, 450.000 anak di India, 60.000 anak di Filipina, 40.000 anak di Pakistan,
6
ECPAT International http://www.tfd.org.tw/UserFiles/File/ECPAT%20International_EN.pdf diakses pada 5 Januari 2014.
3
30.000 anak di Srilanka, 10.000 anak di Bangladesh, 8.000 anak di Vietnam, dan 2.000 anak di Kamboja.7 Hasil penelitian PBB di Asia juga menunjukkan angka yang sangat mencengangkan. Satu juta anak laki-laki maupun perempuan menjadi korban eksploitasi seks, dan puluhan juta lainnya menjadi korban dari berbagai bentuk pelanggaran seksual lainnya.8 Memang, untuk mengetahui seluruh seluk beluk pelacuran anak dan mendapatkan angka yang pasti dalam jumlah anak yang menjadi korban ESKA ini sangatlah sulit. Hal ini dikarenakan banyak praktek pelacuran anakanak sangat dirahasiakan orang, bahkan di dalam sebuah masyarakat yang paling terbuka sekalipun. Selain bekerjasama dengan pemerintah dan NGO lain, ECPAT juga terjun secara langsung untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan ESKA yang muncul, hal inilah yang kemudian membuat ECPAT mampu menjadi salah satu NGO yang memiliki peranan penting dalam pemberantasan dan mengatasi permasalahan ESKA yang muncul di Thailand.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas, rumusan masalah yang penulis angkat dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana End Child Prostitution, Child Pornography, and Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT) sebagai aktor transnasional berperan dalam mengatasi kejahatan Eksploitasi Seksual Komersial terhadap Anak (ESKA) di Thailand? 2. Apa saja hambatan dan tantangan yang dihadapi oleh ECPAT?
7
Seminar Nasional Universitas Sanata Dharma, Wisata Seks dalam Industri Pariwisata, Peluang atau Ancaman?. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma, 2003, hal. 5. 8
Ibid.
4
C. Landasan Konseptual Berikut adalah beberapa landasan konseptual yang akan digunakan penulis dalam mengupas dan menganalisa penelitian skripsi ini: 1. Definisi Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) merupakan sebuah pelanggaran mendasar terhadap hak-hak dasar, martabat, kesejahteraan fisik dan mental anak. ESKA juga merupakan salah satu bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, dan merupakan suatu bentuk perbudakan moderen. ESKA melibatkan eksploitasi seksual terhadap anak dengan sebagian atau sepenuhnya, untuk mendapatkan keuntungan finansial atau keuntungan secara ekonomi yang lainnya, baik dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lain seperti makanan, tempat tinggal, obat-obatan, dll, dan pada kebanyakan kasus selalu menguntungkan pihak pengeskploitasi (klien, broker, agen, perantara, dll). Dalam sebuah buku mengenai ESKA yang diterbitkan oleh ECPAT, Deklarasi dan Agenda Aksi untuk Menentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak mendefinisikan ESKA sebagai “kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberian imbalan dalam bentuk uang tunai atau barang terhadap anak, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya”.9 Kemudian Deklarasi yang diadopsi pada Kongres Dunia pertama melawan Eksploitasi Seksual Komersial Anak pada tahun 1996, mendefinisikan bahwa: “The commercial sexual exploitation of children is a fundamental violation of children’s rights. It comprises sexual abuse by the adult and remuneration in cash or kind to the child or a third person or persons. The child is treated as a sexual object and as a commercial object. The 9
ECPAT Internasional, Memerangi Pariwisata Sex Anak: Tanya & Jawab. ECPAT Affiliate Group in Indonesia, 2008, hal. 3.
5
commercial sexual exploitation of children constitutes a form of coercion and violence against children, and amounts to forced labour and a contemporary form of slavery”. 10 Diidentifikasi pertama kali sebagai sebuah permasalahan global pada Kongres Dunia Pertama Menentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak yang dilaksanakan di Stockholm pada tahun 1996. ESKA merupakan sebuah permasalahan kompleks yang membutuhkan intervensi-intervensi khusus dan perhatian penuh dari masyarakat dunia. Deklarasi dan Agenda Aksi tersebut telah diadopsi oleh 122 pemerintahan. Sampai dengan tahun 2006, telah ada 161 negara di seluruh dunia yang sudah mengadopsi Deklarasi dan Agenda Aksi tersebut, termasuk Thailand.11 ESKA juga telah banyak tertera dalam dokumen internasional. Contohnya saja seperti yang tertera pada Konvensi Hak Anak (KHA), artikel 34 dan 35, yang menyatakan bahwa setiap anak harus mendapatkan perlindungan dan terbebas dari segala macam bentuk siksaan dan praktek eksploitasi seksual. Pihak negara dibutuhkan untuk mengambil tindakan baik secara nasional, bilateral, dan multilateral, untuk mencegah pemaksaan dan penggunaan secara eksploitatif terhadap anak dalam setiap bentuk praktek seksual.12 Kemudian, Konvensi Bentuk-bentuk Terburuk Pekerjaan Anak oleh International Labor Organization (ILO), tahun 1999, pada nomor 182, mencantumkan bahwa “penggunaan, pengadaan atau menawarkan anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi atau untuk tujuan pornografi” sebagai bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, dan negara-negara yang menjadi anggota ILO harus segera melarang dan menghilangkan bentuk pekerjaan ini sesegera
10
Declaration and Agenda for Action: 1st World Congress against Commercial Sexual Exploitation of Children, Op. Cit. 11
Memerangi Pariwisata Sex Anak: Tanya & Jawab, Op. Cit.
12
UNICEF, Fact Sheet on Commercial Sexual Exploitation and Trafficking of Children, http://www.unicef.org/indonesia/Factsheet_CSEC_trafficking_indonesia.pdf diakses pada 5 Agustus 2014.
6
mungkin.13 Hal ini penting untuk dilakukan agar pekerjaan yang mengeksploitasi anak-anak ini dapat segera diatasi dan dihilangkan sehingga anak-anak dapat memiliki kehidupan sebagaimana yang seharusnya dirasakan oleh seorang anak-anak, dan bukannya menjadi ‘dewasa’ sebelum waktunya. Terdapat 5 macam bentuk-bentuk ESKA, yang pertama adalah prostitusi anak, yaitu tindakan menawarkan pelayanan atau pelayanan langsung seorang anak untuk melakukan tindakan seksual demi mendapatkan uang atau imbalan lain. Kedua, pornografi anak, merupakan pertunjukan apapun atau dengan cara apa saja yang melibatkan anak di dalam aktivitas seksual yang nyata atau yang menampilkan bagian tubuh anak demi tujuan-tujuan seksual. Selanjutnya yang ketiga adalah perdagangan anak untuk tujuan seksual, merupakan sebuah proses perekrutan, pemindah-tanganan atau penampungan dan penerimaan anak untuk tujuan eksploitasi seksual. Keempat adalah pariwisata seks anak. Wisata seks anak ini merupakan ESKA yang dilakukan oleh orang-orang yang melakukan perjalanan dari suatu tempat ke tempat yang lain, dan di tempat tersebut mereka berhubungan seks dengan anak-anak, kemudian yang terakhir adalah perkawinan anak atau pernikahan dini, yaitu melakukan perkawinan dengan anak berusia di bawah 18 tahun yang memungkinkan anak menjadi korban ESKA, sebab tujuan menikahi anak tersebut untuk menjadikan anak sebagai objek seks untuk menghasilkan uang atau imbalan lainnya.14 Istilah Eksploitasi Seksual Komersial Anak atau ESKA digunakan untuk menjelaskan atau menggambarkan sejumlah kegiatan yang mengeksploitasi anakanak untuk aspek komersil seperti perdagangan anak, prostitusi anak, pornografi anak, pariwisata seks anak, dan pernikahan dini anak, dan yang mengenaskannya lagi, ILO, Commercial Sexual Exploitation of Children and Adolescents: the ILO’s Response, http://www.ilo.org/ipecinfo/product/download.do?type=document&id=9150 diakses pada 5 Agustus 2014. 13
14
Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ECPAT affiliate group in Indonesia), Eksploitasi Seksual Komersial Anak di Indomesia, Koalisi Nasional PESKA, Medan: RESTU Printing, 2008.
7
hal ini sering kali terjadi disekitar kita dan dilakukan oleh orang-orang terdekat yang berada disekitar korban. 2. Transnational Advocacy Network (TAN) Transnational advocacy network didefinisikan sebagai satu set: “aktor-aktor yang relevan bekerja secara internasional pada suatu isu atau masalah, yang terikat oleh nilai-nilai bersama, wacana umum, dan pertukaran informasi dan layanan secara padat”.15 Hanya jaringan transnasional yang ‘diselenggarakan untuk mempromosikan penyebab, ide berprinsip, norma-norma, dan mereka sering melibatkan perubahan kebijakan advokasi individu yang tidak dapat dikaitkan dengan mudah kepada pemahaman rasionalis dari kepentingan mereka’ yang dapat digolongkan termasuk kedalam sebuah TAN.16 Dalam kasus sebuah TAN, faktor-faktor yang memotivasi tindakan adalah intelektual dan dedikasi emosional atas nama peserta yang berpartisipasi.17 Dari penjabaran beberapa pemikir terkemuka diatas, dapat kita lihat bahwa jaringan advokasi yang menjangkau batas-batas negara ini bukanlah ‘pemain tradisional’ yang kuat dalam ranah politik internasional. Namun, dengan adanya mobilisasi informasi dalam mendukung penyebab suatu isu tertentu, mereka dapat mengubah sifat dari kebijakan internasional dan prakteknya di ranah internasional itu sendiri. Advokat dari penyebab prinsip, ide-ide, dan nilai-nilai, seperti hak asasi manusia dan lingkungan hidup, tidak bekerja secara sendirian dan juga tidak dibatasi oleh batas-batas nasional karena akibat dari globalisasi.
15
Margaret E. Keck & Kathryn Sikkink, Activists Beyond Border: Advocacy Networks in International Politics, Ithaca, New York: Cornell University Press, 1998, hal. 2. 16 Ibid, hal. 9. 17
M. G. Rodrigues, Global Environmentalism and Local Politics: Transnational Advocacy Networks in Brazil, Ecuador and India, New York: State University of New York Press, 2004. Dalam: Alexandra-Maria Bocşe, Transnational Advocacy Networks: How the Political Opportunity Structure Impacts Their Emergence, Vienna, 2011, hal. 121.
8
Dalam beberapa dekade terakhir telah terdapat pertumbuhan yang signifikan dalam jumlah jaringan advokat yang membangun ‘jembatan’ melintasi batas-batas negara di dunia untuk membawa perubahan sosial. Margaret Keck dan Kathryn Sikkink kemudian menyebut fenomena ini sebagai jaringan advokasi transnasional atau transnational advocacy network (TAN). Jaringan advokasi ini telah merubah wajah dari pembuatan kebijakan internasional dan prakteknya di ranah internasional, membuat aktor-aktor yang tidak memiliki kekuatan politik menjadi berpengaruh dalam pembuatan kebijakan.18 Aktoraktor utama dari jaringan advokasi diantaranya adalah:19 1. Peneliti non-pemerintah ditingkat internasional dan domestik, dan juga organisasi-organisasi advokasi; 2.
Gerakan-gerakan sosial lokal;
3. Yayasan-yayasan; 4. Media massa; 5. Gereja, serikat dagang, organisasi-organisasi konsumen, dan intelektual; 6. Bagian dari organisasi antar pemerintah regional dan internasional; 7. Dan bagian dari eksekutif dan/atau cabang-cabang parlemen dari pemerintah. Seperti yang telah dijabarkan diatas, permasalahan yang terjadi di Thailand ini tidak akan mampu diselesaikan apabila aktor yang bergerak hanya berasal dari pemerintah Thailand, karena seperti yang dapat dilihat, eksploitasi dan perdagangan anak yang terjadi ini merupakan sebuah kejahatan transnasional yang terjadi di berbagai negara dan merupakan sebuah ancaman internasional, terutama bagi anak-anak yang sangat rentan menjadi korban ESKA. Maka oleh sebab itu, munculnya ECPAT sebagai aktor transnasional diharapkan dapat menggalang kekuatan dengan melakukan advokasi di
18
Activists Beyond Border: Advocacy Networks in International Politics, Op. Cit., Ch. 1, hal. 1-38.
19
Rochdi Mohan Nazala, S.IP, MSA, M.Litt., The Concept of Transnational Advocacy Network, (materi perkuliahan dalam mata kuliah Transnasionalisme dalam Politik Dunia), 2013.
9
berbagai belahan di dunia, yang nantinya dapat digunakan untuk mengatasi terjadinya ESKA di Thailand, dengan harapan dapat menginspirasi negara-negara lain dalam menghapuskan ESKA yang terjadi di negaranya. 3. Global in the Local Hal yang dimaksud dengan global in the local adalah dibawanya konsep-konsep global ke dalam ranah domestik atau lokal untuk memecahkan permasalah atau isu yang sedang dihadapi, yang terjadi di suatu negara atau suatu wilayah tertentu. Adanya deklarasi, konvensi, dan juga protokol yang memperjuangkan hak anak yang ditetapkan di ranah internasional (seperti protokol dan konvensi yang ditetapkan oleh Majelis Umum PBB), dapat membantu penyelesaian konflik ataupun permasalahan yang terjadi pada tingkat domestik atau lokal. Ide-ide global tersebut kemudian digunakan untuk mendorong aktivis di suatu negara agar menerapkannya untuk menjadi acuan dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Organisasi non-pemerintah dan aktor-aktor yang lainnya akan sangat berperan dalam hal ini, karena isu domestik biasanya sulit untuk diselesaikan sehingga jaringan aktivis transnasional seperti organisasi non-pemerintah sangatlah diperlukan. Kelompok kepentingan atau organisasi yang tidak bisa mempengaruhi pemerintah domestik secara langsung maka akan membuat atau menciptakan jaringan atau network transnasional melalui organisasi lain, dimana partner negara dan organisasi tersebut bekerjasama.
D. Argumen Utama Eksploitasi seksual komersial merupakan suatu permasalah serius yang dihadapi oleh Thailand. Terlebih lagi korbannya merupakan anak-anak yang masih dibawah umur. Kurangnya ketegasan pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan ini, membuat orang-orang yang peduli terketuk hatinya dan melakukan langkah riil untuk 10
berusaha
mengurangi
terjadinya
eksploitasi
seksual
komersial
anak.
Ketidakmampuan pemerintah atau negara dalam menjamin hak-hak anak yang ada juga merupakan salah satu faktor terjadinya permasalahan ini, dan juga kurangnya penegakan hukum bagi isu ini membuat banyak anak-anak rentan menjadi korban ESKA. Terbentuknya ECPAT didasari oleh keiginan untuk mengatasi eksploitasi seksual anak yang terjadi di Thailand karena besarnya tingkat eksploitasi dan perdagangan anak yang terjadi disana. Peranan yang dibawa oleh aktor-aktor transnasional, baik organisasi-organisasi pemerintah maupun non-pemerintah, kelompok maupun individu, sangatlah dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan ini. Keterbatasan negara dalam menangani kasus ini, dan juga kelambanannya membuat masyarakat harus lebih peka dan secara aktif berpartisipasi dalam penyelesaian isu, karena terkadang trafiking anak dan kejahatan eksploitasi seksual banyak terjadi di lingkungan sekitar kita. Melalui jaringan yang dimiliki ECPAT, diharapkan mampu mengurangi jumlah korban ESKA yang ada di Thailand dan menghapuskan segala macam bentuk-bentuk ESKA, karena pemerintah Thailand sendiri belum dapat secara efektif menangani ESKA. ECPAT sebagai sebuah organisasi transnasional non-pemerintah, dapat mempengaruhi kebijakan yang ada di lapangan, dan membentuk aliansi antara aktoraktor terkait sehingga membuat posisi mereka lebih diperhitungkan lagi keberadaannya. Hal ini membuat advokasi yang dilakukan oleh ECPAT dapat berjalan dengan baik meskipun terdapat pula hambatan dan tantangan yang dihadapi oleh ECPAT selama advokasi tersebut berlangsung.
E. Metode Penelitian Penulis berharap penelitian ini akan mampu menjawab permasalahan yang diangkat di dalam skripsi ini. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu
11
dengan mengumpulkan data-data non-numerik kemudian menganalisa data tersebut berdasarkan landasan konseptual, hingga pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan yang merupakan jawaban atas rumusan masalah. Pengambilan data pada penelitian ini menggunakan studi literatur untuk memperoleh data primer dan sekunder yang berasal dari buku, jurnal, resolusi, artikel yang berasal dari media cetak ataupun media elektronik internet, dan lain sebagainya, yang didukung dengan wawancara kepada perwakilan kantor ECPAT yang ada di Indonesia sebagai tambahan informasi.
F. Sistematika Penulisan Penelitian ini terdiri dari 5 (lima) bab. Bab I berisi pendahuluan yang mencakup latar belakang, rumusan masalah, landasan konseptual, argumen utama, metode penelitian, dan sistematika penulisan yang akan digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini. Bab II berisi mengenai keadaan ESKA di Thailand. Bagaimana kondisi anak-anak yang berada di Thailand, dan juga usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah Thailand dalam mengatasi ESKA. Bab III akan menjelaskan sejarah dan awal mula terbentuknya ECPAT, dan juga akan menjabarkan peranan ECPAT selama ini, bagaimana ECPAT mengadvokasi isu tersebut, apa saja yang telah dilakukan, dan apa yang menjadi motivasinya Bab IV kemudian akan menjelaskan mengenai program-program ECPAT, hambatan-hambatan yang dilalui oleh ECPAT, dan juga menganalisis tantangantantangan apa saja yang akan dihadapi oleh ECPAT nantinya. Bab V merupakan kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dibahas pada keempat bab sebelumnya, sehingga dapat menjawab rumusan masalah yang telah dituliskan di awal penelitian ini.
12