BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggitingginya dapat terwujud adalah tujuan dari pembangunan kesehatan dalam rangka menuju Indonesia Sehat 2025 1 . Pelaksanaan pembangunan kesehatan tersebut perlu didukung oleh sumber daya yang potensial, salah satunya obat tradisional Indonesia atau yang lebih dikenal oleh masyarakat sebagai jamu. Istilah jamu berasal dari istilah “jampi-jampi” yang berarti formula yang berbau magis. Namun kini jamu tidak lagi terpaku pada pengertian di zaman dulu. Jamu kini dipandang sebagai pengobatan dengan menggunakan bagian tanaman atau ekstraknya yang mengandung bahan berkhasiat untuk tubuh sebagai pencegahan, penyembuhan atau peningkatan kesehatan2. Selain itu, awalnya jamu hanya dikenal di lingkungan keraton saja, yakni Kasultanan di Djogjakarta dan Kasunanan di Surakarta. Namun seiring berkembangnya zaman, jamu kini sudah dikenal oleh masyarakat luas. Jamu yang merupakan resep turun-temurun leluhur dapat dipertahankan hingga kini dan telah dikembangkan sedemikian rupa. Sebagai warisan budaya, jamu bahkan tengah dipersiapkan menjadi warisan budaya dunia karya bangsa Indonesia di UNESCO oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan3.
1
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan 2005-2025,
, diakses 31 Mei 2013. 2 Caroline Damanik, ‘Asal Muasal Istilah Jamu dari ‘Jampi-Jampi,’ Kompas, 26 Mei 2009, , diakses 31 mei 2013. 3 Jaya Suprana, ‘Jamu sebagai Warisan Budaya Dunia,’ Kompas, 30 Maret 2013, , diakses 1 Juni 2013.
1
Jamu yang telah dipercaya akan khasiatnya tetap dijadikan masyarakat sebagai pilihan untuk pengobatan maupun pencegahan terhadap berbagai macam penyakit. Kepercayaan masyarakat Indonesia pada obat berbahan dasar alam pun terus meningkat. Sebesar 28,69 persen masyarakat memilih mengobati diri sendiri dengan mengkonsumsi obat tradisional. Jumlah ini meningkat dalam kurun waktu tujuh tahun dari yang semula hanya 15,2 persen. Bahkan sekitar 93 persen masyarakat yang pernah meminum jamu menyatakan bahwa minum jamu memberikan manfaat bagi tubuh 4 . Selain khasiat yang dipercaya, harga jamu memang relatif lebih murah dibandingkan dengan obat kimia. Ditambah lagi masyarakat berpandangan bahwa obat kimia akan meninggalkan residu yang membahayakan bagi tubuh, sehingga mereka memilih back to nature. Obat berbahan dasar alam dipercaya memiliki beberapa keunggulan seperti efek samping yang relatif lebih kecil dengan catatan digunakan secara tepat dan lebih sesuai untuk penyakit-penyakit metabolik seperti diabetes, kolesterol tingi, asam urat, batu ginjal, hepatitis dan penyakit degeneratif seperti rematik, asma, wasir, dan pikun. Untuk mengobati penyakit-penyakit tersebut, diperlukan waktu lama sehingga penggunaan obat bahan alam lebih tepat karena efek samping relatif lebih kecil5. Jamu sesungguhnya sangat potensial untuk dikembangkan karena didukung oleh melimpahnya bahan baku untuk membuat jamu. Indonesia yang beriklim tropis memiliki kekayaan sumberdaya hayati kedua terbesar setelah Brazil. Terdapat sekitar 30.000 jenis (spesies) yang telah diidentifikasi dan 950 spesies diantaranya diketahui memilik fungsi biofarmaka, yaitu tumbuhan, hewan, maupun mikroba yang memiliki potensi sebagai obat. Lebih kurang 180 spesies
4
‘Kepercayaan Masyarakat pada Obat Herbal Makin Tinggi,’ Kompas, 10 Desember 2011, , diakses1 Juni 2013. 5 Lusia Oktora Ruma Kumala Sari, ‘Pemanfaatan Obat Tradisional dengan Mempertimbangkan Manfaat dan Keamanannya,’ Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol III, No. 1, April 2006, 01-07.
2
telah digunakan dalam ramuan obat tradisional oleh industri obat tradisional 6 . Berbeda halnya dengan industri farmasi nasional yang ternyata lebih mengandalkan impor daripada mengoptimalkan bahan baku lokal. Impor bahan baku obat farmasi bahkan mencapai 90% hingga 95%7. Kenyataan ini semakin mengindikasikan bahwa dari segi ketersediaan bahan baku, industri jamu tidak memiliki ketergantungan impor sehingga industri jamu dapat lebih memanfaatkan sumberdaya lokal. Potensi
jamu
juga
didukung
oleh
banyaknya
pelaku
yang
berkecimpung dalam bisnis obat tradisional. Industri ini dikategorikan menjadi 4, yaitu 1) Industri Obat Besar/Menengah Tradisional (IOT) dengan skala permodalan industri ini diatas Rp 600 juta, tidak termasuk harga tanah dan bangunan, dan memiliki tenaga kerja lebih dari 100 orang, 2) Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT) dengan total aset IKOT tidak lebih dari Rp 600 juta, tidak termasuk harga tanah dan bangunan, 3) Usaha Jamu Racikan, yaitu usaha peracikan, pencampuran, atau pengolahan obat tradisional dalam bentuk rajangan, serbuk, cairan, pilis, tapel, atau parem dengan skala kecil, dijual di satu tempat tanpa penandaan dan merek dagang, dan 4) Usaha Jamu Gendhong, yaitu usaha peracikan, pencampuran, pengolahan, dan pengadaan obat tradisional dalam bentuk cairan, pilis, atau parem, tanpa penandaan dan atau merek dagang serta dijajakan untuk langsung digunakan. Dari keempat kategori tersebut, beberapa produk obat tradisional yang tergolong bebas wajib daftar produksi, yakni oleh IKOT dalam bentuk rajangan, pilis, tapel, dan parem, usaha jamu racikan, dan usaha jamu gendhong8.
6
Sampurno H, Pengembangan dan Pemanfatan Tumbuhan Obat Indonesia, Makalah disampaikan ada Seminar Nasional Tumbuhan Obat Hutan Tropika Indonesia, Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, 28 April 1999 Bogor. 7 Merlinda Riska, ‘Impor Bahan Baku Farmasi Bisa Melejit’, Kontan, 6 Maret 2013, , diakses 14 Juni 2013. 8 Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 246/MenKES/Per/V/1990 tentang Izin Usaha Industri Obat Tradisional dan Pendaftaran Obat Tradisional
3
Di Indonesia, kini terdapat 129 IOT dan 1.037 IKOT dan ribuan usaha jamu racikan serta usaha jamu gendhong9. Tak kurang dari 1.166 buah perusahaan obat tradisional tergabung dalam sebuah asosiasi yang disebut dengan Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional Indonesia (GP Jamu). Asosiasi ini didirikan pada tahun 1988 dan telah diakui oleh pemerintah sebagai satu-satunya asosiasi bagi Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional Indonesia dan merupakan wadah bagi produsen (industri obat tradisional, industri kecil obat tradisional, usaha jamu racikan dan usaha jamu gendhong), penyalur dan pengecer termasuk usaha di bidang simplisia10. Jamu yang beredar di pasaran kini lebih beraneka ragam. Jamu telah diproses secara modern dengan teknologi yang canggih. Jamu bahkan telah berevolusi dan digarap serius oleh industri berskala besar. Sekitar tahun 1900-an, pabrik-pabrik jamu besar mulai berdiri di Indonesia seperti Jamu Jago, Mustika Ratu, Nyonya Meneer, Leo, Sido Muncul, Jamu Simona, Jamu Borobudur, Jamu Dami, Jamu Air Mancur, Jamu Pusaka Ambo, Jamu Bukit Mentjos, dan masih banyak lagi. Jamu tidak hanya difungsikan sebagai obat, namun telah dimanfaatkan sebagai bahan kosmetik seperti yang telah dilakukan oleh Martha Tilaar dan Sari Ayu. Selain itu, jamu pun telah diolah dan dikembangkan sedemikian rupa hingga menjadi berbagai produk antara lain menjadi es krim jamu, aneka suplemen, permen, dan minuman berenergi. Namun, untuk mempersempit fokus pembahasan, produk upgrading jamu yang akan dibahas adalah produk upgrading jamu yang digunakan sebagai pencegahan maupun pengobatan penyakit. Guna mendukung upgrading jamu, pemerintah, melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) mengeluarkan undang-undang dan sejumlah keputusan maupun peraturan untuk mengatur pengembangan jamu, baik tahap-tahap upgrading jamu, syarat 9
‘Teknologi Rempah dan Jamu,’ , diakses pada 1 Juni 2013. 10 Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional Indonesia (GP-Jamu), , diakses 1 Juni 2013.
4
upgrading, maupun kebijakan untuk melakukan upgrading jamu yang melibatkan berbagai pihak. Dalam Peraturan Kepala Badan POM RI No. HK.00.05.4.2411 tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Pengelompokan & Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia dijelaskan bahwa jamu merupakan salah satu kategori dari obat tradisional. Obat tradisional Indonesia kemudian digolongkan menjadi tiga, yakni jamu, obat herbal terstandar (OHT) dan fitofarmaka. Pada dasarnya, jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka memiliki manfaat yang sama bagi kesehatan. Ketiganya telah melalui standar penilaian yang dilakukan BPOM sehingga dijamin keamanan, khasiat, serta mutunya. Yang membedakan di antara ketiga jenis obat tradisional Indonesia itu adalah data pendukung atas manfaat obat, yaitu berdasarkan data empiris, data praklinik, dan data klinik. Untuk menjadi obat herbal terstandar, jamu harus memiliki bukti praklinik, yaitu sudah diujicobakan pengaruhya pada hewan. Sedangkan untuk menjadi fitofarmaka, harus memiliki bukti praklinik dan bukti klinik yaitu uji coba pada manusia sehingga nantinya produk tersebut dapat diresepkan dan sejajar dengan standar obat kimia yang biasa diresepkan 11 . Lebih jelasnya, perbedaan antara ketiganya dapat dilihat dalam bagan berikut berikut12. .
11
‘Jamu Aman dan Layak Dikonsumsi,’ Kompas 13 Februari 2012, , diakses pada 2 Juni 2013. 12 Peraturan Kepala Badan POM RI No. HK.00.05.4.2411 tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Pengelompokan & Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia.
5
Aman Klaim khasiat: data empiris Memenuhi persyaratan yang berlaku Terdapat klaim “secara tradisional digunakan untuk...” Logo: ranting daun terletak dalam lingkaran warna hijau dan ada tulisan jamu
Aman Klaim khasiat: praklinik Standarisasi terhadap bahan baku Memenuhi pensyaratan mutu Logo: jari-jari jari daun 3 pasang terletak dalam lingkaran warna hijau dan ada tulisan obat herbal terstandar.
Aman Klaim khasiat: uji klinik Standarisasi terhadap bahan baku Memenuhi pensyaratan mutu Logo: jari-jari daun (yang kemudian membentuk bintang) terletak dalam lingkaran warna hijau dan terdapat tulisan fitofarmaka. Gambar 1. Perbedaan jamu, obat herbal terstandar, dan jamu
Pengelompokkan obat tradisional tersebut menandakan bahwa jamu dapat di-upgrade menjadi obat herbal terstandar terstandar jika sudah melalui uji pra praklinik dan dapat di-upgrade upgrade lagi menjadi fitofarmaka jika sudah lolos uji klinik. Tahap upgrading atau pengembangan jamu tersebut diatur dalam Permenkes RI No. 760/Menkes/Per/IX/1992 tentang Fitofarmaka. Dengan dikeluarkannya kebijakan tersebut, diharapkan banyak jenis jamu yang dapat di-upgrade di menjadi OHT dan
6
fitofarmaka. Dengan demikian, produk upgrading jamu akan dapat disejajarkan dengan obat konvensional dan masuk ke dalam sistem pelayanan kesehatan. Namun, kenyataannya, dalam proses upgrading dari jamu ke OHT dan terakhir menjadi fitofarmaka belum banyak dilakukan sehingga hanya segelintir produk di pasaran saja yang berlabel OHT maupun fitofarmaka. Sampai tahun 2009, BPOM mencatat jumlah produk jamu tercatat berjumlah ribuan sedangkan OHT sejumlah 25 produk dan fitofarmaka hanya sejumlah 5 produk saja13. Obat herbal terstandar sebanyak 25 dan fitofarmaka sebanyak 5 buah tersebut diproduksi oleh industri jamu dan industri farmasi. Bila dipilah, hanya 12 IOT dan IKOT yang telah mampu memproduksi OHT dan fitofarmaka. Industri jamu satu-satunya yang mampu mencapai fitofarmaka adalah Nyonya Meneer dengan produknya bernama Rheumaneer untuk mengobati rematik. Sedangkan beberapa IOT maupun IKOT yang telah mampu memproduksi OHT adalah PT Sido Muncul, PT Air Mancur, PT Mustika Ratu, dan lain-lain. Selain itu, terlihat industri farmasi yang telah merambah obat berbahan dasar alam seperti PT Konimex, PT Soho, PT Kimia Farma, PT Phapros, PT Dexa Medica, dan PT Bintang Toedjoe. Ini menunjukkan bahwa industri farmasi semakin melirik obat bahan alam karena bahan bakunya tersedia di tanah air. Disamping itu, industri farmasi menjadi pesaing yang semakin mendesak pasar industri jamu. Sedikitnya produk upgrading jamu menyebabkan kontradiksi dan keraguan diantara para praktisi kesehatan modern atas manfaat jamu sehingga tidak banyak diaplikasikan sebagai resep untuk mengobati penyakit. Hal tersebut menunjukkan bahwa potensi jamu yang besar belum bisa dioptimalkan. Sesungguhnya di era globalisasi yang telah menghubungkan masyarakat dunia ini, produk jamu maupun upgrading-nya berpeluang besar memasuki perdagangan bebas internasional, khususnya dalam bidang obat. Animo masyarakat global besar terhadap obat berbahan dasar alam karena obat tradisional telah diterima 13
Badan BPOM, Laporan Tahunan 2008, Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, Jakarta,
2009.
7
secara luas hampir diseluruh negara di dunia. Menurut World Health Organisation (WHO), hingga 65% penduduk negara maju bahkan menggunakan pengobatan tradisional termasuk penggunaan obat-obat bahan alam. Di Afrika hampir 80% penduduk menggunakan obat tradisional untuk memelihara kesehatannya.
Sedangkan
di
Asia
dan
Amerika
Latin,
masyarakatnya
menggunakan obat tradisional yang dipercaya turun-temurun secara rutin untuk memelihara kesehatan14. Dalam perdagangan global mengenai obat tradisional, World Trade Organization (WTO) yang mengatur tata pelaksanaannya, negara-negara anggota WTO tidak boleh menolak masuknya bahan dan produk obat tradisional yang telah memenuhi standar yang ditetapkan negara tujuan ekspor15. Perdagangan ini dapat mengancam sekaligus merupakan peluang bagi perdagangan obat tradisional Indonesia. Dikhawatirkannya, kurangnya produk upgrading jamu akan diserbu oleh produk obat tradisional asing yang lebih menjanjikan konsumen. Ditambah lagi dengan adanya kawasan perdagangan bebas seperti Asean China Free Trade Area (ACFTA), Indonesia akan diserbu dengan berbagai obat tradisional China yang dikenal lebih murah16. Oleh karena itu, peran pemerintah sangatlah penting untuk mendukung industri jamu nasional melalui upgrading jamu agar tidak kalah bersaing dengan produk asing. B. Rumusan Masalah Industri jamu yang potensial dengan ribuan produk jamu ternyata masih belum berkembang ditandai dengan sedikitnya produk upgrading jamu berupa obat herbal terstandar dan fitofarmaka yang beredar di pasaran. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk meneliti lebih
14
WHO, WHO Traditional Medicine Strategy 2002-2005, World Health Organization, Geneva, 2002. 15 Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang Farmakope Herbal Indonesia Edisi Pertama. 16 ‘Obat China Ancam Produk Lokal,’ Okezone, 10 Januari 2010, , diakses 15 Juni 2013.
8
mendalam dengan beracuan pada rumusan masalah: bagaimana peran pemerintah Indonesia dalam mendukung upgrading pada industri jamu nasional? C. Tinjauan Literatur Tidak banyak studi yang membahas mengenai industri jamu nasional. Beberapa studi yang telah dilakukan menganalisa industri jamu Indonesia dengan menggunakan ilmu managemen. Salah satu studi tersebut adalah “Analisis Struktur Industri Jamu di Indonesia” yang dilakukan oleh Ign Priyo Kristianto, alumnus Program Studi Manajemen Universitas Gadjah Mada, 2005. Dalam penelitiannya, Kristianto mengulas mengenai struktur industri jamu secara lebih menyeluruh yang meliputi pangsa pasar yang ada dan proyeksi pertumbuhannya, tingkat persaingan serta apakah industri ini masih menarik untuk dimasuki, ditekuni dan dikembangkan dalam jangka panjang. Alat analisa yang digunakan adalah 1) five forces model untuk menggambarkan kekuatan tawar-menawar dalam industri, 2) identifikasi driving forces untuk mengetahui faktor pendoronh utama yang mampu merubah struktur industri, 3) identifikasi key success factors untuk melihat tingkat keberhasilan sebuah indsutri, 4) analisis strategic group map untuk mengetahui posisi perusahaan dalam peta persaingan industri dibanding dengan kompetitornya, dan 5) analisis industry segmentation untuk mengetahui celah pasar yang secara potensial dapat dikembangkan. Studi ini menyimpulkan bahwa industri jamu masih memiliki daya tarik yang sedang dan masih dianggap menarik untuk dikembangkan lagi. Dengan adanya pelakupelaku bisnis jamu yang pandai memanfaatkan peluang yang ada dan tetap konsisten pada strategi inovasi, maka dapat menjadikan mereka sebagai pesaing yang tangguh dalam industri jamu17. Studi selanjutnya mengenai industri jamu adalah studi yang dilakukan oleh Erni Dwi Lestari mahasiswi Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor dengan judul “Analisis Daya Saing, Strategi, dan Prospek 17
Ign Priyo Kristianto, Analisis Struktur Indsutri Jamu di Indonesia, Program Studi Manajemen Universitas Gadjah Mada, 2005.
9
Industri Jamu”. Studi ini juga menganalisa industri jamu nasional dengan kacamata ilmu manajemen. Metode analisis yang digunakan adalah analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and Threat), dimana strength atau kekuatan adalah variabel atau faktor-faktor internal yang dimiliki yang menjadi faktor penentu utama dalam menghasilkan keunggulan industri. Sedangkan weakness atau kelemahan adalah faktor-faktor internal yang menyebabkan industri kurang mampu bersaing dengan kompetitornya. Sementara itu, yang disebut dengan oppotunity atau peluang adalah faktor-faktor eksternal yang dapat mendukung perkembangan dan kemajuan industri. Sedangkan threat atau ancaman adalah faktor-faktor internal yang dapat mengancam perkembangan dan kemajuan industri. Studi tersebut menyimbulkan bahwa bila daya saing indsutri jamu memiliki keunggulan dan kelemahan. Keunggulan industri jamu yang menyebabkan daya saing industri jamu tinggi tersebut seperti faktor sumberdaya, faktor industri terkait dan pendukung serta faktor kesempatan. Namun, komponen yang lain seperti faktor permintaan, faktor persaingan struktur, dan strategi industri menunjukkan bahwa industri jamu memiliki kelemahan sehingga menyebabkan daya saing industri jamu sangat rendah. Keterkaitan antar faktor tidak terjalin secara sempurna sehingga menyebabkan faktor keunggulan industri jamu tersebut tidak dapat dimanfaatkan untuk mendukung faktor daya saing yang lemah. Dengan demikian, perkembangan industri jamu di Indonesia sangat lambat18. Bila melihat pada studi yang telah dilakukan, belum ada studi yang melihat industri jamu dari sudut pandang Hubungan Internasional dengan menggunakan analisis Global Value Chain. Studi sebelumnya lebih menekankan potensial atau tidaknya industri ini. Namun, penulis akan meneliti industri ini dengan lebih menganalisa pada bagaimana peran pemerintah terkait dengan proses upgrading dalam industri jamu. 18
Erni Dwi Lestari, Analisis Daya Saing, Strategi, dan Prospek Industri Jamu di Indonesia, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, 2007
10
D. Landasan Konseptual Guna menjawab rumusan masalah dengan menganalisa peran pemerintah dalam mendukung proses upgrading, penulis menggunakan konsep Global Value Chain (GVC). Diharapkan, hasil analisa dapat digunakan sebagai sebuah strategi bagi pemerintah untuk mengambil kebijakan sehingga industri jamu nasional mampu bersaing di era globalisasi dan perdagangan bebas. Dengan menggunakan konsep GVC, akan dipahami bagaimana power, hubungan aktoraktor yang terlibat, dan keuntungan serta biaya yang dididstribusikan kepada bermacam aktor. GVC didefinisikan sebagai keseluruhan rangkaian tahapan sebuah produk maupun jasa dari konsep yang melalui berbagai fase produksi, pengiriman ke konsumen, dan daur ulang/pembuangan pasca pengunaan19. Dalam GVC, salah satu komponen yang penting adalah rents atau rente, yakni income yang diperoleh tanpa bekerja. Rente dapat muncul dari kepemilikan aset-aset yang langka dan menciptakan hambatan agar kompetitor sulit untuk masuk. Rente bisa datang dari internal maupun eksternal dari perusahaan yang bersangkutan. Rente yang dapat diciptakan oleh perusahaan adalah 1) rente teknologi dimana perusahaan mempunyai kekuasaan atas teknologi yang langka, 2) rente sumber daya manusia dimana perusahaan mempunyai SDA yang lebih terampil daripada pesaingnya, 3) rente organisasi dimana dalam struktur organisasi internal perusahaan tersebut menempati posisi yang superior, dan 4) rente pasar dimana perusahaan tersebut memiliki jangkauan pasar yang lebih luas atau mempunyai merek yang lebih terkenal. Di sisi lain, rente pun bisa datang dari luar perusahaan, yakni 1) rente relasi dimana perusahaan tersebut mempunyai relasi yang bagus dengan pemasok maupun dengan konsumen, 2) rente sumber daya alam dimana perusahaan mempunyai akses terdapat sumberdaya alam yang langka, 3) rente kebijakan dimana perusahaan didukung oleh sistem pemerintahan yang efisien bahkan pemerintah menciptakan hambatan bagi masuknya kompetitor, 4) rente 19
Raphael Kaplinsky and Mike Moris, A Handbook for Value Chain Research, , diakses pada 20 Maret 2013.
11
infrastruktur dimana perusahaan memiliki akses terhadap infrastruktur yang berkualitas, dan 5) rente finansial dimana perusahaan mempunyai akses finansial yang lebih baik daripada kompetitornya20. Guna memahami peran negara dalam kaitannya dengan mendukung proses upgrading pada industri jamu nasional, maka penulis akan menitik beratkan pada policy rents atau rente kebijakan. Policy rents muncul dari kelangkaan buatan yang diciptakan oleh kebijakan pemerintah. Rente kebijakan akan mampu menjabarkan efektivitas dukungan dari pemerintah dimana kebijakan pemerintah yang efisien akan mempermudah perusahaan untuk membangun rente ekonomi melalui penyediaan sumberdaya manusia yang berkualitas, infrastruktur yang lebih baik dan dukungan finansial yang lebih baik dari pada negara kompetitor. Untuk melindungi industri dalam negeri, pemerintah bahkan dapat menciptakan hambatan bagi kompetitor asing untuk memasuki perindustrian dalam negeri. Kemampuan mengaplikasikan rente kebijakan tergantung pada kapasitas aktor terkait yang mampu merancang dan melaksanakan kebijakan serta mampu memanfaatkan peluang yang dibuat oleh pembuat kebijakan di negara lain21. Rente kebijakan pemerintah yang efektif yang mampu melindungi serta mendukung industri akan lebih dapat dipahami jika melihat pada konsep governed interdependence (GI) yang diusung oleh Linda Weiss. Definisi governed interdependence adalah sistem koordinasi yang berdasarkan kerjasama antara pemerintah dan industri dimana keduanya sama-sama berperan kuat. Baik pemerintah maupun pihak industri tetap mempertahankan otonomi mereka, namun tetap pemerintahlah yang mempimpin secara langsung maupun tidak langsung dengan menunjuk sektor swasta tertentu. Pemerintah juga tetap berperan sebagai pihak yang menetapkan tujuan maupun sasaran serta memantau kinerja dari industri. Dalam sistem ini, industri juga diuntungkaan karena dapat 20
Raphael Kaplinsky, Sustaining Income Growth in A Globalising World: The Search for The Nth Rent. Insitute of development Studies, University of Sussex, Brington, 2004, pp. 8-16. 21 Raphael Kaplinsky, Globalisation, Industrialisation, and Sustainable Growth: The Pursuit of The Nth Rent, Discussion Paper 365, Institute of Development Studies, University of Sussex, Brington, p. 17.
12
mengurangi beberapa kesulitan seperti mencari modal, mengembangkan produk dan teknologi baru, menemukan pasar yang baru, dan melatih teknisi serta pekerja yang ahli. Dalam kerjasama ini terdapat saling ketergantungan, dimana perusahaan mengandalkan pemerintah untuk mendirikan dan memelihara situasi yang kondusif, dimana hal tersebut penting untuk memasuki akses ke pasar yang stabil bahkan merebut pasar dunia. Sedangkan di sisi lain, pemerintah mengandalkan
perusahaan
untuk
memperbesar
pendapatan
dengan
memperbanyak lapangan pekerjaan dan meningkatkan pertumbuhan. Melalui kerjasama antara pemerintah dan perusahaan/industri, pemerintah dapat menggali dan bertukar informasi penting dengan para produsen, mendorong partisipasi sektor privat, dan mengerahkan kolaborasi dengan industri ini ke tingkat yang lebih besar demi mamajukan strategi nasional. Sebuah kebijakan dinilai efektif atau tidak tergantung pada hubungan antara pemerintah dan industrinya. Hubungan tersebut dapat dilihat dalam keempat jenis governed interdependence sebagai berikut. 1. Disciplined support Pada tipe pertama ini dukungan pemerintah adalah mendisiplinkan atau mengatur. Perubahan ekonomi yang terjadi pada mulanya diinisiasi oleh sektor publik. Apabila terdapat perusahaan privat yang mencapai public goals maka akan diberi subsidi. Subsidi yang diberikan bertujuan agar perusahaan privat melakukan apa yang diharapkan oleh pemerintah, bukannya mencari untung sendiri. Disciplined support digunakan sebagai cara untuk memonitor dan mengukur hasil dari tujuan kebijakan dan menjamin keadaan publik dapat dipertanggungjawabkan. Disciplined support juga bertujuan untuk mencapai adanya upgrading quality standard.
13
2. Public risk absorption Model yang kedua, pemerintah berperan untuk mengurangi risiko yang timbul. Tipe kedua ini mulanya digunakan oleh pemerintah agar industri semakin berkembang dan bermunculan industri-industri baru. Selain itu pemerintah juga melakukan mediasi antara produsen dan konsumen dalam pasar. 3. Private sector governance Dalam hal ini negara menunjuk badan/asosiasi untuk berperan seperti dalam mengontrol harga, mengatur produksi, menaikkan ekspor, maupun menentukan standar produksi. Sehingga negara tidak hanya berperan langsung, namun peran negara juga bisa berada di belakang layar mendukung perusahaan agar dapat berkooperasi dengan perusahaan lain. 4. Public private alliances Tipe terkahir ini, pemerintah bekerjasama dengan swasta untuk menemukan inovasi agar mampu melakukan upgrading maupun menciptakan produk baru. Inovasi menjadi sumber utama pertumbuhan di masa mendatang. Aliansi teknologi ini mengkombinasikan antara discipline support dan pembagian resiko/risk sharing. Dalam beraliansi dengan pemerintah, pihak swasta tidak dipaksa namun setelah beraliansi tentu pihak swasta juga tidak dapat bertindak sesuai kemauannya sendiri. Dengan adanya governed interdependence, jelaslah bahwa intervensi negara berperan penting. Pemerintah berperan untuk menetapkan tujuan terkait dengan
industri
dan
tekonolgi
mana
yang
perlu
dimajukan.
Dalam
melaksanakannya tentu pemerintah berkerjasama dengan pihak privat. Setelah tujuan serta sektor apa yang ingin dikembangkan sudah jelas, perusahaan diharapkan dan didukung untuk siap berkompetisi dengan kompetitor
22
.
22
Linda Weiss, The Myth of the Powerless State, Cornell University Press, New York, 1998, pp. 71-80.
14
E. Argumen Utama Keanekaragaman hayati Indonesia yang besar nyatanya belum mampu diimbangi dengan usaha yang maksimal untuk mengolahnya. Meskipun telah dikeluarkan Permenkes RI No. 760/Menkes/Per/IX/1992 tentang Fitofarmaka sebagai landasan untuk mengembangkan jamu, kebijakan ini belum berjalan optimal. Nyatanya, sudah 22 tahun sejak peraturan ini berjalan, dari sekian ribu bahan alam yang mampu dijadikan jamu, hanya segelintir produk upgrading jamu yang sudah beredar di pasaran. Tercatat baru 25 OHT dan 5 fitofarmaka yang sudah dilepas ke pasar. Jumlah tersebut masih sedikit sehingga tidak banyak produk upgrading jamu yang dapat dimasukkan ke dalam sistem pelayanan kesehatan untuk dapat diresepkan kepada pasien. Lambannya upgrading jamu juga menunjukkan bahwa peran pemerintah dinilai masih kurang dalam merealisasikan kebijakan pengembangan jamu. Jika dilihat menggunakan teori Global Value Chain, yakni policy rents, kebijakan pengembangan jamu yang telah dikeluarkan ternyata belum mampu untuk mendukung industri. Kebijakan tersebut tidak efisien sehingga tidak mensukseskan program pengembangan jamu. Jamu tidak banyak yang berhasil diupgrade. Mengacu pada teori governed interdependence, sedikitnya produk upgrading jamu juga menunjukkan bahwa kerjasama antara pemerintah dan industri jamu masih kurang. Peran pemerintah dan industri jamu tidak sama-sama kuat sehingga kurang koordinasi dan tidak terjalin sinergi diantara keduanya untuk melakukan upgrading jamu. Dengan demikian, potensi yang dimiliki Indonesia berupa keanekaragam hayati dan sumber daya manusia dengan pengetahunnya berupa ilmu jamu yang diwariskan secara turun-temurun belum dapat dioptimalkan karena pelaksanaan kebijakan yang belum maksimal dengan kurangnya peran pemerintah. Kedepannya, diharapkan pemerintah dapat memberikan dukungan yang penuh dengan realisasinya sehingga jamu dapat diupgrade dan Indonesia mampu bersaing dengan negara lain yang lebih unggul dalam pengolahan obat tradisional, seperti China, Jepang, Korea, dan India.
15
F. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif berupa deskriptif dengan mengambil dua studi kasus. Penelitian deskriptif dimaksudkan agar didapatkan informasi secara aktual nan rinci sehingga dapat menggambarkan kondisi dari permasalahan yang nyata. Di samping itu, dengan mengambil studi kasus penelitian diharapkan akan lebih intensif, mendalam, mendetail dan komprehensif23. Sebelum menganalisa mengenai peran pemerintah dengan teori yang berkaitan, terlebih dahulu akan diulas gambaran kedua industri jamu dengan proses upgrading yang terjadi menggunakan teori GVC. Selanjutnya, akan dipahami secara lebih mendalam dengan menganalisa tantang bagaimana peran pemerintah serta kebijakan yang berlaku dengan policy rents sebagai salah satu komponen GVC. Terakhir, governed interdependece yang diusung oleh Linda Weiss akan digunakan untuk melihat bagaimana kerjasama pemerintah dengan industri jamu. G. Teknik Pengumpulan Data Data yang akan dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer didapat melalui wawancara dengan responden-responden yang menjadi narasumber. Wawancara yang dilakukan berupa semi terstruktur karena menggunakan pedoman wawancara. Wawancara semi terstruktur dilakukan karena
peneliti
ingin
mengetahui
informasi
secara
mendetail
dan
membandingkannya dengan informasi yang di dapat dari sesi wawancara dengan pihak lain. Daftar pertanyaan sebagai pedoman wawancara akan diajukan, namun fleksibilitas tetap ada sehinga informasi penting lainnya juga bisa di dapat 24 . Sedangkan data sekunder dikumpulkan dari berbagai literatur seperti buku, jurnal, website, maupun surat kabar.
23
Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2007. 24
Dr Catherine Dawson, A Practical Guide to Research Methods, How To Content, Oxford, 2002, p.28.
16
H. Ruang Lingkup Penelitian Industri jamu nasional akan dipahami dengan mengambil dua studi kasus upgrading jamu, yakni satu produk yang mewakili obat herbal terstandar dan satu produk fitofarmaka buatan perusahaan jamu. Studi kasus pertama yang akan dibahas adalah produk Tolak Angin sebagai obat herbal terstandar yang suskes diproduksi dan dipasarkan oleh PT. Sido Muncul. Sedangkan studi kasus yang kedua adalah produk Rheumaneer yang diproduksi PT. Njonja Meneer sebagai satu-satunya industri jamu yang mampu memproduksi fitofarmaka. I. Sistematika Penulisan Guna menjawab rumusan masalah: bagaimana peran pemerintah Indonesia dalam mendukung upgrading pada industri jamu nasional, penulisan akan dibagi menjadi lima bab. Bab I, yakni pendahuluan, membahas latar belakang mengenai potensialnya industri jamu nasional yang belum disertai dengan banyaknya produk upgrading jamu. Keadaan ini mengkhawatirkan karena industri jamu nasional dapat tergilas oleh masuknya obat tradisional impor, sehingga dibutuhkan kerjasama antara pemerintah dan industri jamu untuk melindungi pasar domestik maupun perdagangan obat tradisional Indonesia di mancanegara. Dalam bab ini juga dipaparkan mengenai rumusan masalah, tinjauan literatur, landasan konseptual, hipotesa, metode penelitian, teknik pengumpulan data, dan ruang lingkup penelitian. Selanjutnya, Bab II akan mengulas kebijakan mengenai obat tradisional baik secara global maupun kebijakan yang berlaku di Indonesia. Kebijakan obat tradisional yang berlaku di Indonesia tersebut berkaitan dengan pengembangan jamu menjadi obat herbal terstandar atau fitofarmaka. Serangkaian keputusan mengenai kebijakan pengembangan jamu akan diulas dalam bab ini sehingga akan diketahui landasan pengembangan jamu. Sedangkan pada Bab III akan digambarkan mengenai program pengembangan jamu yang melibatkan beberapa instansi terkait serta peran masing-masing instansi tersebut untuk melakukan upgrading pada jamu. Dengan demikian akan diketahui apakah implementasi kebijakan tersebut sudah
17
berjalan sinergis diantara instansi-instansi tersebut atau belum. Kemudian pada Bab IV, akan dibahas mengenai Global Value Chain dan tahap upgrading pada produk Tolak Angin sebagai obat herbal terstandar dan produk Rheumaneer sebagai satu-satunya produk fitofarmaka dari industri jamu. Bab ini untuk melihat bagaimana alur produksi, proses upgrading, serta aktor-aktor yang terlibat. Selanjutnya, pada Bab V akan diulas bagaimana pemerintah berperan dalam proses upgrading yang dianalisa dengan teori Global Value Chain, yakni policy rents. Peran pemerintah dalam upgrading Tolak Angin dan Rheumaneer akan dijabarkan dengan teori governed interdependence dari Linda Weiss. Pada bab ini akan dibahas pula bagaimana peran pemerintah pada industri jamu berskala kecil. Sehingga dengan bab ini, akan diketahui bagaimana dukungan pemerintah dan apakah pemerintah telah menjalin kerjasama yang kuat dengan industri jamu. Selanjutnya, Bab VI sebagai bab terakhir memaparkan kesimpulan.
18