BAB I PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH Sebagai salah satu negara ASEAN, Indonesia didorong untuk segera memiliki sistem jaringan pengaman sosial di Asia Tenggara yang tetap berkelanjutan dan pada saat ini Indonesia sedang menyongsong penerapan sistem jaminan sosial nasional universal pada tahun 2014. Indonesia dibanding negara ASEAN lainnya dapat dikatakan sudah melakukan banyak perbaikan dan pencapaian dalam sistem jaringan pengaman sosial. Jaminan sosial merupakan sistem proteksi yang diberikan kepada setiap
warga
negara
untuk
mencegah
hal-hal
yang
tidak
dapat
diprediksikankarena adanya risiko-risiko sosial ekonomi yang dapat menimbulkan hilangnya pekerjaan maupun mengancam kesehatan. Oleh karena itu, jaminan sosial hadir sebagai salah satu pilar kesejahteraan yang bersifat operasional. Dengan telah diundangkannya Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), maka terbentuklah BPJS yang
berlaku mulai Januari 2014 dan menjanjikan kesejahteraan
kesehatan bagi masyarakat Indonesia. BPJS merupakan lembaga baru yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial di Indonesia yang bersifat nirlaba berdasarkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Berdasarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011, BPJS akan menggantikan sejumlah lembaga jaminan sosial yang ada di Indonesia yaitu lembaga asuransi jaminan kesehatan PT Askes dan lembaga jaminan sosial ketenagakerjaan PT Jamsostek.1 Transformasi PT Askes dan PT Jamsostek menjadi BPJS akan dilakukan secara bertahap. Pada 1
Ridwan Max Sijabat, "Askes, Jamsostek asked to prepare transformation". The Jakarta Post (dalam bahasa Inggris), diakses 22 Agustus 2013.
1
awal 2014, PT Askes akan menjadi BPJS Kesehatan, selanjutnya pada 2015 PT Jamsostek yang akan menjadi BPJS Ketenagakerjaan.2 Lembaga ini bertanggung jawab langsung terhadap Presiden. Perusahaan farmasi menjadi salah satu pihak yang terkena dampak dari lahirnya BPJS Kesehatan. Dimana salah satu dampak tersebut adalah terhadap Pengadaan Barang dan Jasa. Semula perjanjian dilakukan hanya secara bilateral antara perusahaan farmasi dengan PT Askes (Askes) untuk memasukkan obat-obatan milik perusahaan farmasi ke Askes. Namun, setelah lahirnya BPJS, perusahaan farmasi mau tidak mau ikut serta dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah demi mempertahankan eksistensinya dalam rangka penjualan obat dipasaran BPJS Kesehatan. Dimana hal tersebut menjadi hal baru untuk perusahaan farmasi untuk beradaptasi dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku baik di dalam BPJS maupun ketentuan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Selain hal tersebut, dampak lainnya adalah BPJS memaksa agar perusahaan farmasi membuat produk generik yang notabene harganya jauh lebih murah dibandingkan harga obat yang biasanya dijual oleh perusahaan farmasi
dipasaran, apabila
tidak
perusahaan
farmasi
akan
tertutup
kemungkinan untuk dapat ambil andil dalam pengadaan barang dan jasa dalam BPJS dalam tender obat generik, perusahaan farmasi hanya dapat berjuang di kategori non generik. Dalam menentukan HPS, pemerintah menetapkan bahwa HPS yang ditawarkan untuk setiap item obat, sudah termasuk keuntungan dan pajak sesuai ketentuan yang berlaku, biaya distribusi dan asuransinya ke lokasi (dengan kata lain HPS sudah termasuk pajak dan biaya lain-lainnya). Perusahaan farmasi akan menghabiskan cost yang lebih banyak apabila perusahaan farmasi tidak mempunyai distributor yang berada di daerah-daerah tujuan BPJS, karena nantinya perusahaan 2
Fiki Ariyanti, "Persiapan Pelaksanaan BPJS, Askes dan Jamsostek Konsolidasi". Liputan6.com, diakses 22 Agustus 2013.
2
farmasi akan memanfaatkan distributornya di daerah-daerah tertentu untuk memasok obat. Oleh karena itu, sebagai lembaga yang berperan penting dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah di BPJS Kesehatan, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) berperan penting dalam penyusunan regulasi di bidang pengadaan barang dan jasa Pemerintah. Salah satu diantaranya adalah penyusunan Peraturan Presiden nomor 70 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Terhadap terbitnya Perpres tersebut diharapkan mendorong terciptanya iklim persaingan yang sehat; efisiensi
belanja
negara
dan
percepatan
pelaksanaan
APBN/APBD;
tersedianya aturan, sistem, metode dan prosedur lelang yang lebih sederhana dengan tetap memperhatikan good governance; tumbuh berkembangnya proses inovasi, suburnya ekonomi kreatif, dan kemandirian industri; terciptanya sistem reward dan punishment yang lebih adil; dan adanya kepastian aturan yang sebelumnya dianggap belum jelas. Selanjutnya, Peraturan Presiden dibuat sebagai pelaksanaan UndangUndang Nomor 40 Tahun 2004 tentang DJSN dan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS. Ada 7 Pasal Undang-Undang SJSN yang mendelegasikan pengaturan lebih lanjut dengan Peraturan Presiden yaitu Pasal 13 ayat (2), Pasal 21 ayat (4), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (5), Pasal 26, Pasal 27 ayat (5) dan Pasal 28 ayat (2). Dalam Undang-Undang BPJS terdapat 2 Pasal yang mendelegasikan pengaturan lebih lanjut dengan Peraturan Presiden yaitu Pasal 15 ayat (3), Pasal 19 ayat (5) huruf a. Peraturan Presiden tentang
Jaminan
Kesehatan
perlu
diprioritaskan
untuk
mendukung
beroperasinya BPJS Kesehatan, mulai 1 Januari 2014. Menurut Pasal 70 huruf a Undang-Undang BPJS Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan harus ditetapkan paling lama pada tanggal 25 November 2012. Maksudnya agar
3
Peraturan Presiden tersebut dapat dijadikan pedoman dalam mempersiapkan beroperasinya BPJS Kesehatan.3 Oleh karena itu, Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan mengatur secara komprehensif mengenai besaran Iuran, tambahan Iuran dan tata cara pembayaran Iuran, penahapan pendaftaran peserta, kepesertaan Jaminan Kesehatan bagi pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja, manfaat Jaminan Kesehatan, pelayanan kesehatan dan urun biaya, kewajiban BPJS Kesehatan memeberikan kompensasi, jenis pelayanan kesehatan yang tidak dijamin, kerjasama dengan fasilitas kesehatan dan lain-lain. Sebagai peraturan pelaksanaan, Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan harus bersifat operasional dan dirumuskan secara jernih (clear) dan efektif, agar program Jaminan Kesehatan dapat terlaksana sebagaimana mestinya. Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan harus secara konsisten menjabarkan ketentuan Undang-Undang SJSN dan Undang-Undang BPJS yang memberi pendelegasian, agar tujuan penyelenggaraan Jaminan Kesehatan dapat dicapai yaitu untuk menjamin peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.4 B.
PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian-uraian latar belakang masalah, penulis menggagas rumusan masalah untuk diteliti sebagai berikut: 1.
Bagaimana Dampak BPJS Kesehatan terhadap Industri Farmasi di Indonesia?
2.
Bagaimana Mekanisme Pengadaan Barang dan Jasa (Obat) dalam BPJS Kesehatan?
3 4
http://www.jamsosindonesia.com/cetak/printout/367, diakses 20 Februari 2014. Ibid.
4
C.
KEASLIAN PENELITIAN Berdasarkan pengetahuan dan hasil penelusuran yang penulis lakukan terhadap data kepustakaan pada Perpustakaan FH UGM, perpustakaan tesis UGM dan terhadap penulisan maupun penulisan karya ilmiah, hingga kini penulis belum menemukan permasalahan yang sama dengan penulisan ini yaitu mengenai BPJS, namun ada beberapa karya tulis yang penulis termukan yang meneliti mengenai Pengadaan Barang dan Jasa secara parsial dari sudut pandang yang berbeda. Oleh karena itu, penulis menyatakan bahwa tesis ini merupakan
karya
orisinil
penulis,
dan
karenanya
dapat
dipertanggungjawabkan secara akademik. Adapun beberapa penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian penulis yang berhubungan dengan Pengadaan Barang dan Jasa antara lain: 1) Penelitian yang dilakukan oleh Wisudo Putro Nugroho, dengan judul tesis Kajian Yuridis Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Perjanjian Pengadaan Barang Dan Jasa Yang Dilakukan Oleh Pemerintah (Study Kasus Pengadaan Barang dan Jasa Pada Pemerintah Daerah Kabupaten Brebes). Penelitian tersebut menganalisis tentang perjanjian dalam pengadaan barang dan jasa yang dilakukan oleh pemerintah termasuk akta otentik atau akta dibawah tangan dan perlindungan hukum terhadap para pihak dalam pengadaan barang dan jasa, Berdasarkan hasil penelitian, bentuk perjanjian pengadaan barang dan jasa bukan merupakan akta notarial karena pejabat pengadaan tidak dapat digolongkan ke dalam pejabat umum. Hal ini tentu berbeda dengan penulis, dari segi ruang lingkup pun jelas berbeda dengan penelitian yang akan ditulis penulis. 2) Penelitian yang dilakukan oleh Endro Nusianto dengan judul tesis Peran Hukum Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah Di Dalam Mencegah
5
Praktek Korupsi Di Indonesia. Penelitian tersebut menganalisis tentang Perilaku korupsi dibidang Pengadaan Barang dan Jasa dan pelanggaran hukum
yang
harus
mendapat
perhatian
serius.
Hasil
analisis
mensintesakan penyebab perilaku korupsi pada sektior pengadaan barang dan jasa ini adalah adanya aturan-aturan yang inkonsisten terhadap asasasas dasarnya dan belum berorientasi pada keadilan yang subtantif. Dari penelusuran kepustakaan dapat dikemukakan bahwa penelitian yang membahas serta menganalisis tentang BPJS Kesehatan Terkait Pengadaan Barang dan Jasa Bagi Industri Farmasi di Indonesia jumlahnya sangat terbatas baik berupa tesis maupun skripsi. Namun secara keseluruhan penelitian/penulisan sebelumnya belum menyinggung hal-hal sebagai berikut: Pertama,
belum
ada
penelitian-penelitian
sebelumnya
yang
menyinggung langsung temaPengadaan Barang dan Jasa di BPJS Kesehatan. Kedua, penelitian terdahulu hanya terfokus pada pembahasan korupsi dan perjanjian dalam pengadaan barang dan jasa yang dilakukan oleh Pemerintah. Ketiga, riset-riset sebelumnya belum secara mendalam menguraikan mengenai dampak BPJS terhadap industri farmasi dan proses pengadaan barang dan jasa pemerintah dalam BPJS. Keempat, yang menjadi ciri dari penelitian ini adalah menghubungkan serta mengkaji lebih detail dan fokus terhadap dampak BPJS terhadap industri farmasi dan proses pengadaan barang dan jasa pemerintah dalam BPJS. Oleh karena itu, secara umum berdasarkan penelusuran kepustakaan dapat dikatakan bahwa penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu. Walaupun demikian, studi-studi terdahulu jelas sangat bermanfaat bagi penelitian ini dan besar kemungkinan pada bagian tertentu penelitian ini juga merupakan kelanjutan dari penelitian-penelitian terdahulu.
6
D.
TUJUAN PENELITIAN Dalam penelitian ini, penulis memiliki dua tujuan antara lain: a.
Tujuan Obyektif 1) untuk mengetahui dampak BPJS Kesehatan terhadap pengadaan barang dan jasa terhadap industri farmasi di Indonesia; dan 2) untuk mengetahui mekanisme pengadaan barang dan jasa pemerintah dalam BPJS.
b.
Tujuan Subyektif 1) Untuk memperoleh data konkrit berkaitan dengan objek yang diteliti guna menyusun tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar “MH.” pada Program MH FH UGM. 2) Untuk pengendapanan ilmu pengetahuan hukum bisnis berkaitan dengan BPJS dan pengadaan barang dan jasa pemerintah.
E.
MANFAAT PENELITIAN a.
Manfaat Akademis Untuk memenuhi persyaratan meraih gelar S2 pada Program Pascasarjana Magister Hukum Bisnis FH UGM.
b.
Manfaat Teoritis Memberikan kontribusi pengembangan hukum bisnis, khususnya tentang BPJS dan pengadaan barang dan jasa pemerintah.
c.
Manfaat Praktis Diharapkan karya tulis ini dapat memberikan masukan bagi pemerintah khususnya mengenai BPJS dan pengadaan barang dan jasa pemerintah.
7