BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Keseteraaan gender di Italia dapat dikategorikan sebagai suatu permasalahan yang telah lama mengakar dalam keberlangsungan hidup masyarakat yang ada selama berada-abad lamanya. Dari masa ke masa, perempuan di Negara tersebut tidak memiliki ruang bersuara yang layak dan secara nyata termarginalisasi ke dalam posisi yang tidak seharusnya dalam berbagai bidang, seperti halnya politik, sosial maupun struktur dalam kehidupan rumah tangga. Menelaah secara spesifik dalam bidang politik, realita data statistik negara memperlihatkan adanya jumlah prosentase perempuan yang begitu rendah dalam kursi parlemen Italia semenjak negara tersebut menganut sistem demokrasi pada 2 Juni 1946. Representasi perempuan dalam parlemen di Negara tersebut sangatlah minim , yakni sangat sulit mencapai angka 20% dari total kursi keseluruhan hingga tahun 2013 dan terhitung fluktuatif.1 Di sisi lain, sesungguhnya jumlah penduduk perempuan di Italia bahkan lebih banyak dibandingkan dengan penduduk laki-laki, yakni 1043 : 1000 jiwa .2Hal ini pun menjadi sebuah ironi yang pada akhirnya memicu pertanyaan lebih lanjut akan atmosfir kesetaraan gender di Italia, terkait keadilan representasi perempuan dalam politik dan pemerintahan negara. 3Mengacu pada kondisi parlemen pada Negara-negara mayoritas Eropa, dapat diamati adanya perbedaan yang menonjol dalam kondisi representasi perempuan di Italia. Eropa merupakan kawasan dengan kondisi rata- rata keterwakilan perempuan yang baik, yakni sekitar 25-40% dalam masing-masing parlemen Negara demokrasinya , namun Italia berada dalam titik sorot berbeda. Italia merupakan Negara demokrasi dengan sistem parlemen bikameral di Eropa yang secara ganjil diwarnai oleh
1
European Commission Directorate-General for Employment, Social Affairs and Equal OpportunitiesUnit G1,
Women In European Politic ,2009 2
Menu Data Statistik Negara , Jumlah Penduduk di Seluruh Dunia (2013/2014) (daring), 2014,
, diakses pada 24 November 2014 3 M.L.Krook, Quotas for Women in Politics : Gender and Candidate Selection Reform Worldwide , Oxford University Press, New York, 2009, p.31
4
minimnya kehadiran perempuan dalam kondisi pemerintahan dari masa ke masa. Prosentase peran perempuan di parlemen Negara tercatat sangat sulit mencapai titik 20% , dan tentu dapat dikategorikan sebagai suatu permasalahan yang patut dipertanyakan. Perlu diketahui, pada dasarnya tingkat pendidikan mayoritas perempuan Italia saat ini menunjukkan prosentase yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan taraf pendidikan laki-laki di negara tersebut. Berdasar pada data statistika pendidikan pemerintah tahun 1998-2014 , dapat diketahui bahwa prosentase rata-rata perempuan yang menuntaskan pendidikan hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) di Italia mencapai 84%, sedangkan prosentase laki-laki hanya 81%.4 Hal ini diperkuat dengan lebih tingginya jumlah perempuan Italia yang menyelesaikan pendidikan hingga tahap Universitas apabila dibandingkan dengan laki-laki, dimana 60 % lulusan Universitas di Italia adalah perempuan.5 Terkait dengan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya perempuan-perempuan Italia adalah bagian dari masyarakat yang berpendidikan dan memiliki kapabilitas baik dalam bekerja. Hal ini pun menjadi suatu fakta kontras tersendiri apabila dibandingkan dengan minimnya peranan perempuan yang memegang andil dalam kursi pemerintahan negara. Hingga beberapa tahun lalu, kehidupan perempuan Italia selalu dibayang-bayangi oleh tekanan dan kekuatan marginalitas dari laki-laki. Mereka mendapatkan perlakuan yang tidak semestinya, baik dalam pola hidup rumah tangga dan pada saat bekerja. Hal ini terbukti dengan banyaknya kasus diskriminasi serta kekerasan terhadap mereka yang tercatat lebih dari 300 kejadian setiap tahunnya. Kondisi memprihatinkan yang tejadi pun turut dilengkapi dengan tingginya angka kekerasan serta pembunuhan terhadap perempuan, yakni mencapai kurang lebih 2000 kasus dalam 10 tahun terakhir di Italia.6 Kasus-kasus tersebut mayoritas terjadi dalam ranah hubungan pribadi di antara sang perempuan dengan pasangannya, dimana kekerasan yang mereka dapatkan dipicu oleh adanya pertengkaran atau permasalahan di dalam hubungan, namun tak jarang pula kekerasan terjadi di antara partner kerja sang perempuan dikarenakan adanya konflik
4
Italy, Italy-Education and Gender Roles (daring), , diakses pada 10 September 2014 5 Globerove, Women’s Right in Italy (daring), 29 Maret 2010, , diakses pada 10 September 2014 6 Forbes, Femicide In Italy: Domestic Violence Persists Despite New Laws (daring), Agustus 2013, http://www.forbes.com/sites/worldviews/2013/08/26/femicide-in-italy-domestic-violence-persists-despite-newlaws/, diakses pada 13 November 2014
5
pemicu dalam pekerjaan mereka. Berdasarkan kondisi tersebut, perempuan seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak senonoh dan pada akhirnya dibelenggu oleh atmosfir yang menekan ranah gerak kehidupan mereka. Dari masa ke masa, sangatlah kecil kiranya kesempatan perempuan Italia untuk bergabung dalam politik pemerintahan layaknya mencalonkan diri sebagai anggota parlemen, dan secara psikis pun mereka tidak memiliki keberanian untuk memunculkan diri dalam berpolitik akibat besarnya tekanan yang akan menjadi resiko peralanan karir mereka. Terkait perjalanan sejarah politik Italia, keberadaan perempuan dalam politik seringkali membawa mereka ke dalam permasalahan besar dan berat, seperti halnya tekanan dari masyarakat yang mencemooh kapabilitas mereka, karena dianggap tidak akan mampu bekerja sebaik laki – laki . Pemaparan lebih lanjut mengenai fakta kasus akan dicantumkan dalam bab pembahasan berikutnya, dan dalam kondisi tekanan tersebut, perempuan Italia pada akhirnya cenderung menutup diri untuk berpartisipasi dalam agenda perwakilan di parlemen pemerintahan, untuk menghindari adanya tekanan sosial ekstrim dalam keseharian hidup mereka. Pada akhirnya, mereka pun lebih memilih untuk pasif dari ranah bersuara yang seharusnya merupakan hak dasar mereka sebagai warga negara. Sungguh merupakan sebuah ironi kiranya, ketika angka dan status pendidikan tinggi dari mayoritas perempuan Italia tidak mampu memberikan ruang partisipasi yang setara dengan pria di negara tersebut untuk menyuarakan pendapat dalam keberlangsungan pemerintahan yang ada. Keberadaan perempuan diposisikan sebagai pihak yang memiliki kapabilitas dibawah laki-laki, sehingga seringkali dipandang rendah sebagai pihak yang tidak memiliki kemampuan tinggi. Menyoroti peran Italia dalam ranah internasional, selama ini Italia tercatat sebagai Negara yang berperan aktif dalam penanganan isu HAM internasional, seperti halnya posisi yang ia miliki sebagai Dewan HAM PBB tahun 2011-2014.7 Di sisi lain, Italia seringkali mengemukakan pendapat dan memojokkan pihak Negara yang dianggap menyalahi penegakan HAM untuk memberlakukan kesesuaian kondisi yang seharusnya, layaknya apa yang dilakukan pada kasus toleransi agama dan pelanggaran hak asasi di Papua tahun 2012 silam. Terkait dengan fakta 7
ABC Australia Plus, Indonesia jadi sorotan PBB soal penegakan hak asasi manusia (daring), Mei 2012,http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/radio/onairhighlights/indonesia-jadi-sorotan-pbb-soal-penegakanhak-asasi-manusia/949248, diakses pada 29 Desember 2014
6
tersebut, sebagai salah satu negara yang begitu vocal menyerukan keadilan human right dalam ranah internasional, cukup ganjil kiranya ketika secara internal permasalahan women’s right masih belum dapat teratasi dan menjadi momok yang mengakar hingga saat ini. Kondisi ketidak-seimbangan peran dalam atmosfir masyarakat yang ada pun diduga tidak terlepas dari faktor besar budaya misogini atau antipati terhadap perempuan yang begitu kental mengakar dalam kebudayaan Italia. Secara legal formal, Italia berada dalam posisi yang seharusnya mengedepankan aspek gender equality sebagai salah satu concern kebijakan internal dalam negaranya, karena Italia merupakan salah satu negara yang meratifikasi peraturan mengenai hak wanita dalam Convention on the Elimination of Discrimination against Women (CEDAW). Namun, dalam fakta yang terjadi, kondisi budaya dalam masyarakat yang ada belum mendukung adanya kesetaraan bagi perempuan untuk berperan seimbang dengan laki-laki, terlebih untuk memposisikan diri dalam keberlangsungan pemerintahan layaknya parlemen Negara. Adanya misogini yang menjadi dasar perilaku laki-laki di Negara tersebut dalam merendahkan posisi perempuan pun menjadi suatu faktor besar yang menyokong banyaknya tindakan kekerasan terhadap perempuan dari tahun ke tahun di Italia.8 Berkaitan dengan hal tersebut,realita misogini dan minimnya peran perempuan dalam parlemen dan politik Negara pun menjadi suatu fenomena yang menarik untuk diteliti dan ditelaah lebih lanjut oleh penulis. Beberapa tahun terakhir, Italia mendapatkan sorotan khusus dari kacamata dunia internasional atas tingginya angka ketimpangan gender yang terjadi, dimana tingkat ketimpangan gender di Italia dikategorikan sebagai level terparah dari keseluruhan Negara Uni Eropa .Terdapatnya laporan atas tindakan kekerasan dan ketimpangan perlakuan secara ekstrim terhadap perempuan kepada pihak PBB pun mendapatkan respon melalui komisi penanganan hak perempuan. PBB secara nyata melayangkan peringatan kepada Italia untuk memperbaiki keadaan internal negaranya semenjak tahun 2013, supaya perempuan tidak lagi berada dalam posisi yang tertindas atau direndahkan martabatnya ke dalam ranah yang tidak seharusnya. 9Tidak dapat 8
Microbie, The unsafe house of Italy: violence against women does not break for summer (daring), Agustus 2013, , diakses pada 13 November 2014 9
The New York Times, A Call for Aid, Not Laws, to Help Women in Italy (daring), Agustus 2013, , diakses pada 29 Desember 2014
7
dipungkiri bahwa Italia merupakan salah satu anggota PBB yang begitu aktif menggaris-bawahi aspek penegakan human right dalam skala internasional, sehingga sudah seharusnya penegakan kesetaraan gender pun menjadi prioritas permasalahanbagi negara tersebut terkait kepentingan hak perempuan di dalam negara. Seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman ,pola pikir perempuan Italia pun kian meluas dan pada akhirnya mereka mulai berani berusaha untuk merubah kondisi ketimpangan yang ada, dan mengupayakan tegaknya keadilan hak serta peluang partisipasi setara di Italia. Dari tahun ke tahun, tercatat mulai adanya pergerakan dan peningkatan jumlah representasi perempuan dalam parlemen Italia dalam 7 tahun terakhir, yakni kurang lebih sebesar 10 %. Perubahan dan perkembangan tersebut berlangsung pada tahun 2008-2014 , dimana pemerintahan Perdana Menteri Matteo Renzi pada tahun 2014 menjadi suatu titik balik yang begitu besar dalam eksistensi peran perempuan di dalam politik Italia. Namun, perubahan prosentase kedudukan perempuan dalam parlemen Matto Renzi pun tetap dihalangi oleh realita misogini yang ada, sehingga kondisi perkembangan peran perempuan dalam parlemen Italia dan tantangan yang dihadapi pun menjadi suatu hal yang dirasa penting dan menarik untuk diangkat oleh penulis dalam penelitian ini.
B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis mengajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut: (1) Bagaimana perkembangan dan tantangan representasi perempuan dalam parlemen Italia tahun 2008-2014? (2) Bagaimana strategi perempuan serta aktivis feminisme Italia dalam menghadapi tantangan representasi di negara tersebut? Apakah strategi tersebut membuahkan hasil yang signifikan?
8
C. LANDASAN KONSEPTUAL Untuk memahami persoalan di atas, hendak diajukan konsep awal mengenai arti representasi perempuan dalam parlemen negara. Representasi perempuan dalam parlemen dimengerti sebagai suatu bentuk perwakilan dari perempuan untuk menyuarakan pendapatnya melalui kursi andil dalam keberlangsungan proses pemerintahan negara. Menurut Nur Iman Subono sebagai seorang ilmuwan politik spesialis aspek representasi dalam parlemen di Indonesia, representasi politik perempuan merupakan satu elemen penting jika kita ingin menempatkan konteks
demokratisasi
dalam
perspektif
demokrasi
yang
ramah
gender
(gender
democracy).Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa tidak ada demokrasi yang sejati tanpa melibatkan representasi perempuan di dalamnya. 10 Menurut beliau, gagasan representasi perempuan dalam politik hadir karena setidaknya tiga alasan. Pertama, berkenaan dengan keadilan dan kesetaraan yang dengan jelas telah dicantumkan dalam konstitusi ataupun Konferensi Beijing. Secara nyata, Konferensi Tingkat Dunia IV tentang Perempuan di Beijing, yang diselenggarakan oleh PBB tahun 1995 menghasilkan sejumlah rekomendasi untuk negara-negara anggota PBB dalam upaya meningkatkan akses dan kontrol perempuan atas sumber daya ekonomi, politik, dan sosial budaya. Seluruh rekomendasi dan hasil konferensi tersebut tertuang dalam Deklarasi Beijing dan Kerangka Tindak (Beijing Declaration and Platform for Action) dan salah satu pasal menjelaskan bahwa :“negara-negara anggota PBB berketetapan untuk menjamin akses dan perlakuan yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan kesetaraan gender. Dengan demikian diperlukan kebijakan-kebijakan dan program-program pemerintah yang menempatkan gender perspektif untuk meningkatkan sosialbudaya,
ekonomi,
dan
politik
dengan
memberdayakan
perempuan
dalam
pembangunan.”11Sementara itu, jika dilihat dari komposisi jumlah, antara laki laki dan perempuan di Italia pun menunjukkan perbandingan yang berimbang sehingga tidaklah adil jika perempuan tidak terepresentasi dalam pembuatan legislasi.
10
F. Ebert, Jurnal Sosial Demokrasi, Representasi Politik Perempuan : Sekadar Ada atau Pemberi Warna,Pergerakan
Indonesia dan Komite Persiapan Yayasan Indonesia Kita, Jakarta, edisi 6, 2009, p.6 - 40 11
Sekretariat Jenderal Departemen Keuangan Republik Indonesia, Pengarusutamaan Gender (PUG) / Gender
Mainstreaming (GMS) ,2014
9
Kedua, merupakan faktor woman interest, yakni terkait realita dimana kaum laki-laki harus menyadari bahwa tidak semua kepentingan dapat diwakili satu pihak saja secara general. Banyak sekali isu-isu yang bersifat spesifik dan karenanya hanya dapat direpresentasikan oleh perempuan. Faktor ketiga, perempuan menciptakan perbedaan. Dalam kaitan ini, penting disadari bahwa yang terpenting bukan hanya perempuan sekedar memiliki wakil di dalam parlemen, tetapi bagaimana perempuan membuat perbedaan-perbedaan dalam pengambilan keputusan politik.Mengacu pada fokus tersebut, Imam Subono pun mengemukakan adanya gaya politik yang berbeda dari perempuan sebagai warna tersendiri dalam keberlangsungan politik yang terjadi di dalam negara.12 Untuk memperdalam pemahaman seputar representasi wanita dan kesetaraan gender dalam parlemen, penulis akan mengkorelasikan hal tersebut dengan teori liberal feminism . Liberal feminism dimengerti sebagai paham feminisme yang mengedepankan adanya persamaan hak antara perempuan dengan laki-laki dimana individu seharusnya diperlakukan sesuai dengan talenta dan usaha yang dilakukan dan hal-hal lain, terlepas dari jenis kelaminnya. Paham ini bertujuan untuk menghilangan segala halangan, baik secara politik, sosial, legal maupun bidang ekonomi, yang menghambat perempuan untuk memperoleh kesempatan yang sama dengan lakilaki.13 Liberal feminism berargumen bahwa diskriminasi yang terjadi pada perempuan merupakan suatu akibat dari kesalahan sistem yang terkonstruksi untuk menempatkan perempuan dalam ketidaksejajaran.14Teori ini menghendaki perempuan diintegrasikan secara total dalam semua peran, termasuk bekerja di luar rumah. Dengan demikian, tidak ada lagi suatu kelompok jenis kelamin yang lebih dominan.15Dalam pandangan liberal feminism, organ reproduksi bukan merupakan penghalang bagiperempuan untuk memasuki peran-peran di sektor publik, seperti halnya dalam pemerintahan. Untuk kebanyakan kaum Liberal Feminis, perempuan seringkali dan cenderung berada “di dalam” negara hanya sebatas warga negara, bukan sebagai pembuat
12
F. Ebert, Jurnal Sosial Demokrasi, Representasi Politik Perempuan : Sekadar Ada atau Pemberi Warna,Pergerakan
Indonesia dan Komite Persiapan Yayasan Indonesia Kita, Jakarta, edisi 6, 2009, p.6 - 40 13
Sociology, Feminism (daring), , diakses pada 1 April 2014 Semmy, Pemikiran Feminisme dalam Hubungan Internasional (daring), http://www.academia.edu/760609/Feminisme_dalam_Hubungan_Internasional_Pengantar_Sosiologis_Singkat, diakses pada 7 Oktober 2014 15 M.Ratna, Membiarkan Berbeda?: Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender,Mizan Press, Jakarta, 1998, p.2030 14
10
kebijakan, sehingga dalam hal ini ketimpangan dan ketidaksetaraan gender dalam ranah politik atau bernegara pun kerap terjadi. 16 Secara spesifik, Naomi Wolf sebagai salah satu aktifis teori ini mengemukakan bahwa liberal feminism bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional yang memiliki kemampuan sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Naomi Wolf seringkali menyoroti produk kebijakan negara yang bias gender dan dirasa tidak adil.
17
Hal ini dapat kita korelasikan dengan kondisi representasi
perempuan dalam parlemen Italia, dimana perempuan secara nyata masih mendapatkan tekanan tersendiri, sehingga tidak memiliki peluang yang sama dalam berkarir di dunia politik. Seharusnya, kapabilitas kerja seseorang bukan dikategorikan melalui jenis kelaminnya , melainkan berdasarkan kemampuannya . Kenyataan dimana perempuan –perempuan Italia merupakan pribadi yang berpendidikan tinggi pun seharusnya menjadi suatu bukti bahwa mereka memiliki kemampuan yang tidak kalah apabila dibandingkan dengan laki-laki yang ada dalam parlemen negara. Tingginya angka pendidikan mayoritas perempuan Italia yang menunjukkan prosentase 60% lebih besar dibandingkan laki-laki di Negara tersebut pun secara nyata menimbulkan adanya pertanyaan besar mengenai faktor penghambat yang menghalangi pergerakan mereka dalam dunia politik, terlebih untuk berkontribusi dalam parlemen negara. Memahami persoalan representasi perempuan dalam parlemen dalam tahap lebih lanjut, tantangan besar yang secara nyata dihadapi sebagai faktor penghambat oleh perempuan di Italia adalah adanya konsep misogini yang mengakar dalam masyarakat. Berdasarkan tokoh Sosiologi Allan G. Johnson dalam buku The Blackwell Dictionary of Sociology: A User's Guide to Sociological Language, dimengerti bahwa misogini merupakan suatu
atmosfir perilaku budaya dalam masyarakat , dimana terdapat pola interaksi yang merendahkan peran dan keberadaan perempuan. “Misogyny is a central part of sexist prejudice and ideology and, as such, is an important basis for the oppression of females in male-
16 17
T.Rosemarie, Feminist Thought : A Comprehensive Introduction, Westview Press, USA, 1997, p.11-45 Ibid
11
dominated societies. Misogyny is manifested in many different ways, from jokes to pornography to violence to the self-contempt women may be taught to feel toward their own bodies”.18
Berdasarkan pandangan Michael Flood : “Misogyny functions as an ideology or belief system that has accompanied patriarchal, or male-dominated societies for thousands of years and continues to place women in subordinate positions with limited access to power and decision making”. 19
Berdasarkan dua pandangan tersebut, dapat dipahami bahwa misogini merupakan suatu kondisi yang secara nyata memarginalkan perempuan ke dalam status dan peranan yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki pada suatu wilayah. Hal ini pada dasarnya berkaitan dengan budaya patriarkhi dan konsep sexist, dimana laki-laki sangat menggaris bawahi kekuatan dominasi yang mereka miliki, dan perempuan cenderung dianggap tidak memiliki kemampuan sebaik mereka dalam menyelesaikan berbagai permasalahan ataupun pekerjaan. Terkait dengan hal tersebut, realita misogini di Italia pun seringkali menjadi suatu hambatan dan ancaman, dimana perempuan menghadapi tekanan dan ketakutan untuk menyuarakan aspirasi mereka, terlebih untuk memberanikan diri dalam berpolitik. Di sisi lain,perempuan yang telah menduduki peranan penting dan tinggi dalam pekerjaan atau lingkungan sosial di Italia pun akan mendapatkan tekanan dan pernyataan negatif dari masyarakat yang ada di sekitarnya, karena dianggap tidak mampu atau tidak pantas berada dalam posisi tersebut. Misogini mewarnai atmosfir kehidupan perempuan Italia dalam bentuk tekanan besar, sehingga ruang gerak perempuan di Negara tersebut pun menjadi sangat terbatas.
Terlepas dari realita misogini sebagai suatu tantangan besar atas representasi perempuan dalam parlemen negara, langkah nyata perempuan Italia dalam menghadapi hambatan dan
18
J.Allan, The Blackwell dictionary of sociology: A user's guide to sociological language, Oxford Willey , 2000, p.400 19 M. Flood, International encyclopedia of men and masculinities, Routledge, Newyork, 2007, p. 106
12
tantangan tersebut akan dikorelasikan sebagai strategi yang berkaitan dengan Feminist Political Theory (FPT).Menurut Mona Lena Krook dan Fiona Mackay dalam buku “Gender, Politics, and Institutions : Towards a Feminist Institutionalism” , Feminist Political Theory merupakan salah satu bagian dari teori feminisme yang menekankan fokus pada efek terjadinya gender inequality di suatu wilayah. Hal ini terkait erat dengan keadilan struktur politik yang ada, dimana pada dasarnya FPT mengarahkan tindakan perealisasian dan perkembangan agenda politik yang meningkatkan kesetaraan gender. 20
Secara spesifik, FPT merupakan suatu fokus yang menggaris bawahi feminisme sebagai sebuah political movement yang memperjuangkan kesetaraan gender dalam berbagai aspek . FPT mencakup ranah politik maupun feminisme, sehingga dapat dikatakan berada di antara kedua cakupan tersebut. Dalam teori ini, politik dipandang sebagai suatu kekuatan khusus yang dapat digunakan untuk merealisasikan kepentingan kesetaraan gender dalam masyarakat maupun negara, dengan berbagai pergerakan yang sesuai dengan landasan feminisme. Feminist Political Theory pun akan memperjelas cakupan fokus upaya para politisi perempuan untuk memperjuangkan representasi perempuan dalam parlemen negara.Secara keseluruhan dapat dimengerti bahwa representasi perempuan dalam parlemen merupakan suatu hal yang sangat penting, terkait dengan kualitas demokrasi serta aspek kesetaraan gender dalam negara tersebut.
Dalam konteks permasalahan penelitian ini, dapat diketahui bahwa perwakilan perempuan dalam parlemen Italia menghadapi realita misogini sebagai tantangan besar yang menghambat karir serta perkembangan pergerakan politik mereka. Namun, berlandas pada Feminist Political Theory yang mengedepankan kepentingan kesetaraan gender melalui aksi politik, upaya pergerakan politik pun dilakukan para perempuan Italia sebagai bentuk strategi perjuangan keadilan representasi perempuan dalam parlemen negara mereka.
20
Krook & Mackay, Gender, Politics, and Institutions : Towards a Feminist Institutionalism, Palgrave Macmillan St Martin’s Press, New York, 2011, p. 80
13
D. HIPOTESIS Representasi perempuan di Italia mengahadapi realita misogini sebagai tantangan besar dalam kondisi masyarakat , sehingga kesetaraan gender sangat sulit direalisasikan dari masa ke masa. Terkait dengan permasalahan tersebut, perempuan-perempuan Italia menggunakan strategi Political Movement untuk memperbaiki keadaan serta memperjuangkan kesetaraan bagi peran mereka di dalam Negara, hingga pada akhirnya mencapai titik penambahan angka perwakilan di parlemen dengan cukup signifikan. Namun di sisi lain upaya pergerakan mencapai kesetaraan tersebut pun diwarnai tantangan besar oleh aksi kontra masyarakat yang terus membelenggu peran perempuan dalam pemerintahan Negara.
E. JANGKAUAN PENELITIAN Fokus penelitian ini adalah faktor misogini yang menjadi hambatan serta tantangan besar peran perempuan untuk berandil di dalam parlemen Italia (2008-2014), serta strategi yang perempuan Italia lakukan dalam menghadapi situasi tersebut. Kemudian, penelitian pun akan menelaah perkembangan jumlah perempuan dalam parlemen Italia tahun 2008 hingga 2014 ,yakni pada masa pemerintahan Perdana Menteri Silvio Berlusconi, Mario Monti, Enrico Letta dan Matteo Renzi. Penelitian berfokus pada tahun 2008-2014 dikarenakan dalam 7 tahun tersebut terjadi perkembangan yang signifikan dalam eksistensi peran perempuan dalam parlemen Italia. Semenjak tahun 2008, eksistensi perempuan dalam politik perlahan mulai menjadi sebuah sorotan baik dalam ranah nasional maupun internasional. Kondisi semula dimana representasi perempuan dalam parlemen tidak pernah mencapai angka 20% pun mengalami perubahan yang cukup signifikan, terlebih ketika Matteo Renzi pada tahun 2014 mengupayakan adanya upaya pembuktian bagi masyarakat akan kapabilitas kerja dari politisi perempuan. Matteo Renzi begitu fokus akan kesetaraan gender bagi Italia dengan pembentukan kabinet yang terdiri dari 50% perempuan di dalamnya. Oleh karena itu, penulis akan memfokuskan analisa penulisan pada tahun 2008-2014 untuk menjawab permasalahan yang diangkat dalam rumusan masalah penelitian.
14
F. SISTEMATIKA PENULISAN Skripsi ini akan terdiri dari empat bab. Bab pertama, pendahuluan, berisilatar belakang, rumusan masalah, landasan konseptual, hipotesis, jangkauan penelitian dan sistematika penulisan dari skripsi ini.Bab kedua akan berisi pemaparan perkembangan representasi perempuandalam Parlemen Italia pada tahun 2008-2014, dan misogini sebagai tantangan dan hambatan besar yang dihadapi. Bab ini akan menjelaskan kondisi perkembangan peran perempuan pada masa parlemen dalam 4 periode pemerintahan Perdana Menteri, yakni Silvio Berlusconi, Mario Monti, Enrico Letta dan Matteo Renzi. Selanjutnya, bab tiga akan akan mengulas pembahasan strategi perempuan dan aktivis feminisme Italia dalam memperjuangkan representasi perempuan di parlemen negara. Kemudian, analisa upaya- upaya yang dilakukan oleh mereka untuk menghadapi misogini sebagai tantangan besar dan hasil dari upaya- upaya tersebut terhadap kondisi ketimpangan gender yang ada pun akan dipaparkan secara spesifik sebagai hasil dari penelitian ini. Bab empat berisi kesimpulan dari keseluruhan isi skripsi ini.
15