BAB I A. Latar Belakang Dewasa ini, media tumbuh menjadi media kapital karena tidak ada lagi kekangan dan penyensoran dari pemerintah di ranah penyiaran Indonesia. Setidaknya kebebasan pers ini dijamin oleh UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Meskipun pada kenyataannya kebebasan pers belum sepenuhnya bisa dijalankan seperti kasus majalah Playboy yang harus berhenti beroperasi di tahun 2007 karena sebuah organisasi masyarakat memeja hijaukannya. Segala cara digunakan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya oleh media kapital. Terutama televisi yang menggunakan berbagai macam topik untuk dijadikan sebagai komoditas. Sesuai dengan pengertian ‘komoditas’ di KBBI yang berarti barang dagangan utama, topik-topik maupun programnya diibaratkan sebagai barang dagangan yang dijual untuk meraup untung saja. Misalnya saja tanda-tanda dan simbol-simbol sosial dijadikan komoditi oleh media. Salah satu simbol sosial yang sering dijadikan sebagai komoditas oleh televisi di Indonesia adalah agama. Agama menjadi hal penting di kehidupan masyarakat Indonesia. Seperti yang dikatakan oleh tokoh Nahdhatul Ulama, Salahuddin Wahid kepada Republika.co.id bahwa agama sangat sensitif dan sangat penting bagi masyarakat Indonesia. Sehingga apa pun yang berkaitan dengan agama akan dianggap penting juga oleh masyarakat 1. Hal inilah yang kemudian memunculkan program-program baru yang mengusung nilai-nilai agama atau bahkan hanya meminjam simbol-simbol agama tertentu di dalam programnya. Salah satunya adalah program-program dakwah (Islam) atau khotbah (Kristen) yang mulai menjamur di stasiun-stasiun televisi. Dakwah atau khotbah adalah program penyampaian nilai-nilai maupun ajaran 1
Diakses dari http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/11/07/nenw68-pengosongankolom-agama-nu-minta-mendagri-evaluasi diakses pada 20 Februari 2015
1
agama tertentu. Misalnya saja Siraman Rohani Agama Kristen di RCTI, Penyegaran Rohani Hindu di RCTI, Penyegaran Rohani Buddha di RCTI dan Mamah dan Aa Ber-aksi di Indosiar. Berdasarkan Nielsen Newsletter edisi 18 tahun 2011, durasi tayang program dakwah sampai bulan Juni 2011 yaitu sebanyak 210 jam. Slot untuk program ini juga ditambah di jam tayang utama (18.00-22.00 WIB). Selain itu secara spesifik rata-rata orang menonton program dakwah selama 1 jam 51 menit setiap harinya 2. Inilah yang kemudian menjadi alasan media beramai-ramai membuat program religius untuk menarik minat khalayak yang otomatis juga akan menarik pengiklan. Media kapital yang berorientasi pada pasar tentu punya alasan kuat kenapa membuat program dakwah. Mereka membidik orang-orang Islam di Indonesia yang menjadi agama mayoritas masyarakat Indonesia. Hingga tahun 2010, Badan Pusat Statistik mencatat bahwa penduduk Indonesia yang beragama Islam sebesar 87,3 %, disusul oleh Kristen Katolik dan Protestan sebesar 9,8 % dan lainnya sebesar 2,9 %. Oleh karena itu, pasar ini sangat menjanjikan keuntungan yang besar sekali bagi media. Supaya lebih menarik penonton, penceramah yang ditampilkan biasanya mempunyai kredibilitas atau penceramah-penceramah yang sedang terkenal di masa itu. Sebut saja KH. Zainudin MZ yang khas dengan aksennya, Quraish Shihab yang kental dengan tafsirannya, AA Gym yang terkenal dengan jargonnya “jagalah hati” dan Uje yang muda dan gaul. Dari keempat contoh penceramah terkenal di televisi yang peneliti sebutkan tersebut keempatnya adalah laki-laki. Penceramah atau tokoh agama yang ada di Indonesia memang identik dengan laki-laki. Jarang ditemui penceramah perempuan karena pemimpin identik dengan laki-laki. Sedangkan 2
Diakses dari http://www.agbnielsen.com/Uploads/Indonesia/Nielsen_Newsletter_Jun_2011-Ind.pdf Diakses pada 28 Oktober 2014
2
perempuan identik dengan pekerjaan domestik. Tidak berlebihan jika Mufidah Ch (2003: 6) berpendapat bahwa: Pembentukan gender ditentukan oleh sejumlah faktor yang ikut membentuk, kemudian disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruk melalui sosial atau kultural, dilanggengkan oleh interpretasi agama dan mitos-mitos, seolah-olah telah menjadi kodrat laki-laki dan perempuan. Seperti yang ada dalam surat An-nisa ayat 34 yang selama ini ditafsirkan sebagai berikut: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara ….” Frasa pertama dalam “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan” menjadi dasar utama doktrin qiwama atas perempuan, yang berarti “kekuasaan” “kepemimpinan” (Welchman, 2010: 5). Akibatnya konstruksi perempuan seringkali menjadi peran kedua atau pengganti laki-laki. Menurut Nasrudin Umar (1999: 167) al rajul dan al nisa berkonotasi laki-laki dan perempuan dalam relasi gender. Pembedaan laki-laki dan perempuan menjadi bermasalah ketika menghasilkan ketidakadilan, dimana jenis kelamin tertentu memperoleh kedudukan yang lebih unggul dari jenis kelamin lainnya (Mufidah, 2003:4). Dalam hal ini baik agama maupun media turut melanggengkan kesenjangan gender ini. Sebab media selama ini hanya memberi ruang bagi penceramah laki-laki. Ini karena target utama dari program dakwah adalah Ibu Rumah Tangga muslim yang memiliki lebih banyak waktu luang. Sebab biasanya program dakwah ditayangkan pada pagi hari, yaitu antara jam 4 sampai jam 6 pagi. Menurut hasil riset Nielsen dalam Nielsen Newsletter edisi 18 tahun 2011,
3
mayoritas penonton dialog/dakwah religi adalah perempuan usia 30 tahun ke atas dengan pengeluaran di atas Rp 2.000.000,- 3. Perempuan muslim penonton program dakwah ini disuguhi dengan penceramah laki-laki yang memiliki kepribadian mempesona dan tampilan religius seperti yang mereka inginkan untuk mereka lihat. Pemilihan penceramah perempuan seperti Mamah Dedeh lebih karena media ingin menarik Ibu Rumah Tangga muslim dengan tawaran orang dari kaumnya—perempuan—yang memiliki kepribadian yang kuat dan bisa menginspirasi mereka untuk kuat secara emosional dan mandiri secara keuangan (Sofjan & Hidayati, 2013: 93-94). Dengan begitu kaum perempuan yang menjadi mayoritas khalayaknya bisa terwakilkan oleh penceramah perempuan. Tuntunan yang diberikan Mamah Dedeh banyak menginspirasi kaum perempuan untuk bisa mandiri dan tidak bergantung dengan laki-laki. Tetapi terkadang tuntunan atau nasihat yang diberikan Mamah Dedeh menyalahkan kaum perempuan dengan menyadarkan kembali posisi mereka (perempuan) sebagai makmum atau pengikut laki-laki. Salah satu contohnya ada di Episode Langkah Harmonis Pasangan Suami Istri, di mana Mamah Dedeh menjawab pertanyaan seorang penanya di studio yang bertanya tentang bagaimana cara menjaga keharmonisan keluarga ketika istri punya penghasilan yang lebih besar. Mamah Dedeh menjawab seperti berikut: Istri harus sadar karena istri bukan pemimpin keluarga tetapi suami. Lihat An-nisa ayat 34, meskipun di luar punya posisi tinggi dan punya titel, sampai rumah harus hormat pada suami.
Mamah Dedeh juga dalam kesempatan lain menafsirkan “arrijalu qowamuna annisa” dengan ceramah sebagai berikut: Laki-laki pemimpin perempuan, kalau seandainya seorang makhluk boleh sujud dengan makhluk yang lain, aku perintahkan seorang istri 3
Diakses dari Diakses dari http://www.agbnielsen.com/Uploads/Indonesia/Nielsen_Newsletter_Jun_2011-Ind.pdf Diakses pada 28 Oktober 2014
4
untuk sujud dihadapan suaminya. Namun islam melarang seorang makhluk sujud kepada makhluk yang lain, maka cukup para istri menghormati hak-hak suami, jangan melawan kepada suami karena mereka pemimpin perempuan dalam keluarga.
Seperti yang dikatakan oleh Dicky Sofjan (2012: 72) “However, in many instances, the advice and solutions offered by Mamah Dedeh are inconsistent and even contradictory, from the gender perspective” 4. Padahal pesan yang diberikan oleh Mamah Dedeh seputar kehidupan rumah tangga, yaitu hubungan antara suami dan istri. Apakah kemudian pesan terkait relasi perempuan dan laki-laki dalam keluarga juga dipengaruhi oleh tidak konsistennya Mamah Dedeh terhadap perspektif gender? Bagaimana kemudian Ibu-Ibu pengajian Husnul Khotimah memaknai pesan Mamah Dedeh? Peneliti ingin mengetahui pemaknaan teks media oleh khalayak Mamah dan Aa Ber-Aksi di Indosiar. Sebab khalayak sebagai agen kultural yang mengonsumsi dan memahami pesan-pesan yang dilihatnya di media. Seperti yang dikatakan oleh Bobo (1988, dikutip dari Morley, 1992: 24) bahwa “audience creates meaning from a mainstream text and uses the reconstructed meaning to empower themselves and their social group”. Khalayak menjadi individu aktif yang bebas untuk menciptakan makna dari pesan atau teks yang didapatnya dari media. Morley (1992: 70) mengatakan: We are already rejecting the assumption that the media are institutions whose messages automatically have an effect on us as their audience. Khalayak ikut aktif memaknai pesan dari konten media yang bersifat ‘polysemic’ atau terbuka pada interpretasi. Sebab menurut Morley (1992: 29) pesan atau program tidak sesederhana jendela dunia, melainkan sebuah
4
Penelitian tersebut dilakukan oleh peneliti yang tergabung di dalam Indonesian Consortium for Religious Study (ICRS) UGM di Yogyakarta. Penelitian tersebut memfokuskan masalahnya pada etika dalam dakwahtainment. Dengan menggunakan metode studi kasus, didapatkan hasil bahwa program Mamah dan Aa ber-Aksi bersifat bias gender.
5
konstruksi. Pesan dapat diinterpretasikan berbeda-beda tergantung pada konteksnya. Interpretasi makna dipengaruhi oleh latar belakang sosial, ekonomi, politik dan agama individu. Ibu-ibu pengajian yang memiliki latar belakang budaya, pendidikan dan kelas sosial berbeda tentu saja akan menginterpretasikan teks Mamah Dedeh dengan berbeda juga. Proses kalayak—yang berbeda latar belakang—memaknai pesan Mamah Dedeh inilah yang kemudian membuat peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian ini. Pemilihan ibu-ibu pengajian Husnul Khotimah di Perumahan Bumi Asri Kabupaten Tangerang sebagai objek penelitian ini dirasa tepat. Sebab Kabupaten Tangerang memiliki visi dan misi “Kabupaten Tangerang yang cerdas, makmur, religius, dan berwawasan lingkungan”. Pemerintahan Kabupaten Tangerang saat ini dan satu periode sebelumnya ingin menjadikan masyarakat di Kabupaten Tangerang sebagai masyarakat yang religius. Terbukti juga dari acara Jumling atau Jumat Keliling yang dilakukan Bupati. Kunjungan ini dilakukan Bupati Kabupaten Tangerang ke masjid-masjid di wilayah Kabupaten Tangerang, untuk menyerap aspirasi masyarakat hingga ke tingkat desa. Usaha untuk menjadikan masyarakat Kabupaten Tangerang menjadi masyarakat yang religius juga diwujudkan dalam Perbup No 42 Tahun 2014 tentang BTQ. Perbup ini mengatur muatan lokal baca tulis Al-Quran untuk seluruh siswa-siswi PAUD, SD, SMP dan SMA/SMK. Masyarakat religius yang dimaksud pemerintah Kabupaten Tangerang adalah religius menurut agama Islam. Sedangkan pemilihan Ibu-ibu atau perempuan yang sudah berumah tangga karena mereka memiliki lebih banyak waktu untuk menonton televisi dan menurut riset Nielsen (2011) mereka menjadi kelompok terbesar penonton program dakwah. Sejalan dengan wawancara yang dilakukan oleh Dicky Sofjan (Dicky Sofjan, 2012: 67) dengan produser bahwa program Mamah dan Aa BerAksi: 6
is a program dedicated to “ibu-ibu” (literally, “mothers”) with the aim to help provide “solution to all sorts of family problems,” including issues relating to “hubungan suami-isteri” (husband-wife relationship).
Selain itu, Perumahan Bumi Asri terdiri dari keluarga berekonomi menengah ke bawah. Ini sangat sesuai karena penonton program dakwah berasal dari tingkat ekonomi menengah ke bawah. Sesuai dengan pendapat Dicky Sofjan (2013: 93) bahwa “Dakwahtainment, the targeted consumers are the burgeoning Indonesian Muslim middle class”. Ibu-ibu pengajian ini juga pernah menonton secara langsung program Mamah dan Aa Ber-Aksi di studio Indosiar. Sebesar itu ketertarikan Ibu-ibu pengajian Husnul Khotimah dengan ceramah yang disampaikan Mamah Dedeh sampai mereka mendatangi studio untuk mendengar ceramahnya secara langsung. Bisakah ibu-ibu ini mengritisi pesan yang disampaikan Mamah Dedeh atau mereka hanya menerima begitu saja pesannya. Peneliti merasa resepsi ibu-ibu pengajian Husnul Khotimah terhadap pesan Mamah Dedeh akan sangat menarik.
B. Rumusan Masalah Bagaimana resepsi Ibu-ibu pengajian Husnul Khotimah Perumahan Bumi Asri Kabupaten Tangerang terhadap pesan tentang relasi perempuan dan laki-laki dalam keluarga pada program Mamah Dedeh dan Aa Ber-Aksi?
C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui bagaimana perempuan berumah tangga memaknai relasi perempuan dan laki-laki di dalam keluarga melalui pesan yang disampaikan Mamah Dedeh melalui ceramahnya di televisi. 2. Mengetahui hubungan kelas sosial, latar belakang budaya dan pendidikan perempuan berumah tangga dalam memaknai pesan dalam program dakwah di televisi.
D. Manfaat Penelitian 7
1. Bagi khalayak program dakwah untuk dapat bersikap kritis terhadap pesan yang disampaikan televisi dan kritis memaknainya. 2. Menjadi referensi bagi civitas akademika di jurusan Ilmu Komunikasi yang meneliti tentang program dakwah maupun pesannya terkait relasi perempuan dan laki-lai di dalam keluarga.
E. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran yang menjadi landasan teori bagi peneliti dalam melakukan penelitian ini terdiri dari lima poin. Poin pertama menjelaskan bagaimana televisi masih menjadi media utama bagi masyarakat Indonesia dan bagaimana media populer ini menjadi ‘agama’ bagi khalayaknya. Layaknya sebuah agama, televisi menjadi sumber kerohanian dengan menyediakan program bertema religius. Pada poin kedua dijelaskan mengenai salah satu program religius yang ada di televisi yaitu program dakwah. Kedua poin ini sangat penting untuk dapat menjelaskan kenapa televisi dan agama saat ini berhubungan dan menarik untuk diteliti. Ada banyak tema-tema yang biasanya menjadi bahan bagi penceramah khususnya pada program dakwah televisi. Karena mayoritas khalayaknya adalah perempuan, tema yang dimunculkan biasanya seputar kehidupan rumah tangga. Di poin ketiga dibahas mengenai hubungan gender dan agama. Bagaimana gender dipahami dalam Islam dan seperti apa pesan gender yang diberikan oleh penceramah. Pesan gender yang menjadi pokok pesan dari program dakwah Mamah Dedeh dan Aa Ber-Aksi di Indosiar adalah hubungan suami dan istri yang dibahas di poin keempat. Itu mengapa hubungan perempuan dan laki-laki dalam keluarga menjadi indikator yang ingin digali dalam penelitian ini. Penelitian ini dilakukan menggunakan pisau analisis khalayak atau resepsi. Khalayak menjadi agen aktif terhadap pesan yang didapatnya dari televisi. Dalam penelitian ini agen aktif tersebut adalah Ibu-ibu pengajian Husnul Khotimah di Perumahan Bumi Asri Kabupaten Tangerang. Informan-informan ini tentunya
8
mengalami proses encoding-decoding terhadap pesan yang diberikan oleh Mamah Dedeh. Ini akan dijelaskan pada poin kelima di kerangka pemikiran. 1. Televisi Menjadi ‘Agama’ Televisi masih menjadi media pilihan masyarakat Indonesia karena dapat diakses secara luas oleh siapa saja tanpa perlu membayar. Menurut laporan Nielsen pada bulan Mei 2014, televisi masih menjadi medium utama yang dikonsumsi masyarakat Indonesia yaitu sebesar 95%, disusul oleh internet (33%), radio (20%), suratkabar (12%), tabloid (6%), dan majalah (5%). Penonton televisi di Indonesia menghabiskan waktu 4,5 jam untuk menonton televisi dalam sehari. Berbeda dengan media baru atau internet yang membutuhkan jaringan yang kuat, yang sampai saat ini belum terdapat di banyak wilayah di Indonesia. Keluarga memandang televisi sebagai media yang dapat menyatukan seluruh keluarga. Televisi membuat keluarga duduk bersama dan berbincang mengenai hal-hal yang baru saja mereka lihat di televisi. Seperti yang dikatakan oleh David Morley (1992: 141): Television is part of our socialization, just as we are socialized to television—in parlours, sitting-rooms and kitchens. We learn from television; television provides the stuff of family talk and neighbourhood gossip. We see other households and other families on television. We take television for granted Lebih dari itu Bignell (2004: 40) mengatakan “…how important television is to shared memories and experiences of generations of viewers, and for culture in general.” Karena keistimewaannya, televisi ditempatkan di tengah-tengah keluarga atau di ruang inti setiap rumah. Televisi kemudian mulai menggantikan institusi-institusi yang dianggap penting sebelumnya bahkan dalam kaitannya dengan keyakinan, seperti tempat ibadah. Orangorang lebih suka duduk di depan televisi untuk menonton televisi daripada pergi ke tempat ibadah untuk mendengarkan ceramah atau khotbah.
9
Tidak heran kalau kemudian televisi menjadi ‘agama’ baru bagi masyarakat. Sejalan dengan William Fore (1987) yang mengatakan bahwa: Television is itself becoming a kind of religion, shaping the faith and values of many people in the nation, and providing an alternate worldview to the old reality, and to the old religious view based on that reality, for millions of viewers. Menurut Davis (2001, dikutip dari Sofjan dkk, 2013: 37), di dalam masyarakat televisi bertindak sama seperti agama. Agama terdiri dari empat elemen: pandangan dunia tersusun dari jaring keyakinan dan nilai yang menguatkan satu sama lain; sebuah kode moral; ritual publik yang berkala; dan komunitas yang menjalankan ritual-ritual ini, televisi menyediakan keempatnya. Davis et al. (2001: xxi) melanjutkan, sebagai pencerita nasional, teleisi menunjukkan kepada kita seperti apa dunia dan tempat kita. Aktor, pembaca berita dan aeris menggantikan pemimpin agama dan pegawai pemerintah sebagai pencipta makna utama di masyarakat Amerika. Menurutnya, manusia membentuk identitas personalnya melalui cerita-cerita yang kita tinggali. Cerita televisi memberitahu tentang bagaimana hidup yang baik dan bagaimana mencapainya; apa yang benar dan yang salah, cantik dan jelek, dan lain-lain. 2. Program Dakwah di Televisi Televisi selama ini menjadi sumber informasi tentang agama, tren agama dan ide tentang agama. Apalagi sejak munculnya peristiwa 11 September, bom Bali dan London jurnalis memberi perhatian yang lebih terhadap masalah agama baik sebagai cerita lokal dan domestik maupun internasional. Agama menjadi semakin sering muncul dalam berita. Seperti yang dikatakan oleh Hoover (2008: 10) “The September 11 events propelled a wave of religion coverage, nationally and globally. There is much more religion in news today.” Tidak hanya itu, agama juga sering muncul di dalam budaya pop dan hiburan. Jam-jam prime-time televisi dipenuhi dengan program religius atau yang bertema spiritual. Dalam hal ini televisi tidak hanya mengulas dan menunjukkan tentang agama. Lebih dari itu, televisi dan agama berinteraksi dengan cara mengubah keduanya. Televisi juga bisa menjadi sumber tentang 10
agama dan spiritual, sebagai indikator tentang perubahan agama dan spiritual, dan mengubah agama melalui interaksinya maupun berubah karena hubungan tersebut (Hoover, 2008: 4-5). Televisi semakin beroperasi seperti pasar, mereka menyediakan program religius karena ada lebih banyak permintaan tentang agama. Sebab menurut Hoover (2008: 6) agama dan kerohanian menjadi identitas dan tempat untuk individu di pusaran kehidupan modern saat ini. Televisi memenuhi permintaan pasar dengan menghadirkan program bertemakan agama dan kerohanian atau program religius. Berdasarkan hasil riset Ofcom, ada tiga jenis program religius yang berhasil diidentifikasi dari responden yaitu 5: a. worship or ‘personal witnessing’ type programmes; Format dari program ini adalah orang-orang mengungkapkan keyakinan dan pengalaman mereka terkait suatu agama. Contoh dari program ini di Indonesia adalah program Solusi Life yang ditayangkan oleh OChannel—hanya disiarkan di Jabodetabek—di
mana
orang-orang
berbagi
tentang
pengalaman mereka terkait agama Kristen. b. informative or issue-based documentary type programmes; Tipe program ini memberi edukasi terkait suatu agama atau dokumenter berbasis isu maupun debat. Di Indonesia mulai menjamur program seperti ini seperti Khazanah Islam di Trans 7 dan Berita Islami Masa Kini di Trans TV. Namun sampai sekarang hanya Islam yang diangkat di program-program religi informatif seperti ini.
5
Ofcom (Office of Communications) berbasis di Inggris melakukan riset ini di tahun 2005. Responden riset ini dari beberapa kelompok keyakinan yaitu Yahudi, Sikh, Hindu, Islam, Buddha, dan Atheis.
11
c. programmes on the ‘mainstream’ being made more reflective or representative. Format dari tipe ketiga ini adalah program mainstream seperti sinetron atau program lainnya yang mengangkat isu agama. Sinetron yang mengangkat isu agama masih banyak ditemui di televisi Indonesia, misalnya sinetron Tukang Bubur Naik Haji di RCTI atau Para Pencari Tuhan di SCTV. Sedangkan Dede Mulkan (2014: 62) melalui jurnalnya yang berjudul Islamic Preaching (Da’wa) Portrait in Television (Indonesian Cases) mengkategorikan beberapa jenis dakwah pada program televisi yaitu: a. television footage Da’wa through Monologue Dakwah dilakukan oleh penceramah di dalam atau di luar ruangan dan juga di dalam studio. Ada penceramah yang duduk bersila tangan dan ada penceramah yang berdiri dengan menarik. Program juga disajikan bermacam-macam, mulai dari yang serius hingga yang lucu dan penuh humor. Contoh program dakwah yang masuk dalam kategori ini adalah Mamah Dedeh dan Aa BerAksi di Indosiar dan Islam Itu Indah di Trans TV. b. propagation through the television soap opera impression series Dakwah juga bisa dibungkus dengan sinema berseri atau sinetron yang biasanya menampilkan artis terkenal. Sinetron dengan label ‘dakwah’ sekarang sedang menjamur di Indonesia, misalnya saja Tukang Bubur Naik Haji di RCTI dan Para Pencari Tuhan di SCTV. c. television feature propagation through impressions Pada kategori ini, dakwah ditampilkan melalui ulasan singkat mengenai objek yang khusus seperti ulasan masjid di desa atau 12
kehidupan seorang Imam masjid di desa. Contohnya program Seribu Satu Masjid di Global TV. d. propagation through impressions short film television Pengertian film pendek pada kategori ini dikenal juga sebagai Iklan Layanan Masyarakat yang biasanya menuntut nilai tertentu tentang hidup dan kehidupan. Biasanya dibungkus secara singkat dan menarik dengan pesan yang menyentuh. e. propagation through the television footage quote sentence Program ini menyajikan dakwah melalui kutipan-kutipan hadist, ulama dan sahabat Nabi. Menurut Sofjan & Hidayati (2013: 53) secara terminologi kata ‘dakwah’ berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari tiga silabel yaitu dal-‘ainwaw yang berarti panggilan atau seruan ke Islam. Apabila dilihat dari Nielsen Newsletter edisi 18 & 19 tahun 2011, yang dimaksud dengan program religius adalah program yang bertemakan dan behubungan dengan agama. Termasuk di dalamnya dialog religi (dakwah atau khotbah) seperti Mamah Dedeh dan Aa Beraksi di Indosiar dan Islam Itu Indah di Trans TV; dan non-dialog religi (sinetron dan tayangan bertema agama) seperti sinetron Para Pencari Tuhan di SCTV. Dalam penelitian ini, program dakwah yang dimaksud peneliti adalah program yang berisi tentang panggilan atau seruan ke Islam yang dibawakan oleh seorang penceramah di depan penonton di studio dan di rumah dan bersifat interaktif. Pengertian ini disimpulkan oleh peneliti dari kategori television footage Da’wa through Monologue milik Dede Mulkan (2014: 63) dan dari Nielsen Newsletter edisi 18 & 19 tahun 2011. Secara demografis khalayak program dakwah mayoritas adalah kaum perempuan. Menurut hasil riset Nielsen dalam Nielsen Newsletter edisi 18 tahun 2011, mayoritas penonton dialog/dakwah religi adalah perempuan
13
usia 30 tahun ke atas dengan pengeluaran di atas Rp 2.000.000, 6. Sejalan dengan hasil riset Nielsen, Horsfield (1984: 132) mengatakan bahwa: People of lower income, lower education, and in blue-collar occupations watch significantly more religious programs than do those of higher income, higher education, and in white-collar occupations Itu mengapa bahasan yang disajikan di program dakwah menyangkut persoalan domestik seperti peran istri, rumah tangga yang harmonis, mendidik anak, dan lain-lain.
3. Gender dan Agama Secara terminologis, gender diartikan sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (Hilary M. lips, 1993: 4 dikutip dari Mufidah 2003: 3). Woman’s Studies Encyclopedia (dikutip dari Mufidah Ch, 2003: 3) juga mengatakan bahwa: Gender adalah suatu konsep kultural yang dipakai untuk membedakan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Menurut Mansour Faqih (2001: 8) gender adalah atribut yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi oleh sosial maupun kultural. Sifat sex antara laki-laki dan perempuan tidak bisa dipertukarkan, sedangkan sifat gender bisa saling dipertukarkan. Meskipun secara etimologis gender dan sex memiliki arti yang sama, namun gender berbeda dengan sex (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1983: 517). Sex diartikan sebagai atribut biologis yang bersifat kodrati, misalnya laki-laki memiliki penis dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki vagina dan memiliki rahim sebagai alat reproduksi. Konstruksi 6
Diakses dari Diakses dari http://www.agbnielsen.com/Uploads/Indonesia/Nielsen_Newsletter_Jun_2011-Ind.pdf Diakses pada 28 Oktober 2014
14
sosial dan kultural membentuk kesan laki-laki yang kuat, rasional, jantan dan perkasa. Sedangkan perempuan memiliki sifat lemah, lembut, emosional dan keibuan. Menurut Marzuki dalam Kajian Awal Teori-teori Gender, sex membedakan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis dan komposisi kimia dalam tubuh seorang laki-laki dan perempuan. Sedangkan gender menekankan perbedaan antara laki-laki dan perempuan pada aspek sosial, aspek budaya dan aspek nonbiologis lainnya. Sebab gender dibentuk oleh kondisi sosial, budaya, agama dan negara. Dilihat dari kondisi negara sebagai sebuah institusi, gender dapat menentukan akses seseorang terhadap pendidikan, pekerjaan, kesehatan, harapan hidup dan sektor publik lainnya. Perbedaan gender ini yang melahirkan ketidakadilan dalam berbagai bentuk misalnya dominasi, marginalisasi dan diskriminasi, yang secara ontologis merupakan modus utama kekerasan terhadap perempuan (Mansour Faqih, 2001:12). Meskipun ketidakadilan gender merupakan struktur yang menjadikan baik laki-laki mupun perempuan menjadi korbannya, namun perempuan dianggap menjadi korban terbesar. Ini disebabkan oleh sistem patriarki yang menjadi mayoritas dan sudah mengakar kuat di banyak sistem masyarakat di dunia. Agama menjadi alasan untuk turut melanggengkan ketidakadilan gender di masyarakat. Menurut Macrae dkk (dikutip dari Isabella Crespi, 2003), stereotype adalah perwakilan dari pemahaman bersama di dalam masyarakat tentang kebiasaan, mitos, ide, agama, dan ilmu pengetahuan. Kembali lagi melalui sistem patriarki yang sudah mengakar kuat dan penafsiran yang dilakukan oleh kaum laki-laki yang mayoritas menjadi pemimpin agama. Misalnya saja dalam perspektif Katolik, gender tidak bisa dilepaskan dari tradisi dan budaya patriarki Yahudi. Kitab Perjanjian Lama dari sudut pandang Yahudi memandang Allah sebagai Bapa yang maha kuasa, suka marah dan menghukum. Bertolomeus 15
Bolong mengatakan dalam Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Keluarga (Pandangan Gereja Katolik) bahwa pandangan ini sangat dominan laki-laki yang menyebabkan pembentukan sistem masyarakat didasarkan pada lakilaki. Ini menggeser posisi perempuan tanpa perempuan sadari. Sedangkan perempuan dan laki-laki dalam Kitab Chandokya Upanisad dianggap sejajar. Menurut Ida Bagus dalam Gender dan Swadharma Warga Rumah Tangga dalam Perspektif Agama Hindu, semua manusia tidak dibedakan berdasarkan jenis kelaminnya karena keduanya bersumber dari Tuhan. Pandangan kesetaraan gender di dalam Hindu sama dengan yang diajarkan oleh Islam. Islam melalui kitab sucinya Al-Qur’an mengakui perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam QS. Ali Imran:36. Tetapi perbedaan ini tidak membuat perbedaan status antara laki-laki dan perempuan. Seperti dalam QS. An-Nahl: 97: Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. Banyak tafsir di dalam Islam dianggap bias gender, yang dikategorikan oleh Amina Wadud (1999: 2) sebagai tafsir tradisional. Tafsir tradisional menurutnya secara eksklusif ditulis oleh kaum laki-laki. Ini berarti tafsir mencakup pengalaman laki-laki dan pengalaman perempuan dari sudut pandang laki-laki atau bahkan tidak dimasukkan sama sekali. Kalau begitu, tidak berlebihan jika Barlas (dikutip dari Maliha Masood, 2004: 2) menganggap bahwa: “the assimilation of the commentaries (and the commentaries upon ommentaries?) of the Qur’an (tafsir) became secondary religious texts that enabled the “textualization of misogyny in Islam”.
16
Sebab mayoritas atau hampir seluruh penafsir adalah kaum laki-laki. Selain itu menurut Amina Wadud (1999: 6) bahasa Arab—yang dipakai di dalam AlQur’an—adalah gender-specific language. Setiap istilah di dalam bahasa Arab—baik benda mati atau yang bernyawa, dimensi fisik dan metafisik— diungkapkan dalam istilah gender. Gender dalam perspektif Islam dipilih karena mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam. Agama, yang masih dianggap penting oleh masyarakat, dapat mempengaruhi pandangan masyarakat akan suatu hal.
4. Relasi Perempuan dan Laki-laki Sejak lahir ke dunia, manusia dibentuk untuk menjadi apa yang masyarakat harapkan. Mulai dari pertanyaan “perempuan atau laki-laki?”, istilah jagoan untuk anak laki-laki, hingga pemilihan nama misalnya Kartono untuk laki-laki dan Kartini untuk perempuan. Masyarakat mengharapkan laki-laki untuk menjadi individu yang kuat sedangkan perempuan lemah lembut. Ini disebut juga sebagai gender role attitudes. Menurut McHugh dan Freize (1997, dikutip dari Uchida Megumi) 7: Gender role attitudes, also referred to as sex role attitudes, gender egalitarianism, or gender ideology, are beliefs concerning appropriate roles, responsibilities, and activities for men and women. Davis dan Greenstein (2009: 3-4) mengidentifikasi enam kategori umum dari perilaku peran gender terkait pembagian kerja dan tanggung jawab di dalam keluarga. Keenam kategori itu yaitu: a. primacy of the breadwinner role Menurut kateogi pertama ini, baik laki-laki maupun perempuan harus berkontribusi pada pemasukan keluarga. Namun memberi nafkah adalah 7
Megumi, Uchida. Examination of the relationship between mother’s employment status and one’s family gender role attitudes. Diakses dari http://qmss.columbia.edu/storage/Uchida%20Megumi.pdf diakses pada 28 Maret 2015
17
kewajiban laki-laki dan pekerjaan perempuan adalah mengurus rumah dan keluarga. Kalau keduanya bekerja, penghasilan laki-laki harus lebih tinggi daripada perempuan. Sebab perempuan yang memiliki penghasilan lebih tinggi daripada laki-laki akan mengakibatkan masalah. b. belief in gendered separate spheres Peran laki-laki dan perempuan dalam keluarga selama ini dibagi dan dibatasi sesuai dengan peran gender yang ada di dalam masyarakat. Lakilaki tempatnya di luar rumah dan perempuan tempatnya di rumah bukan di kantor. Ada beberapa pekerjaan laki-laki dan pekerjaan perempuan yang tidak bisa dilakukan oleh lawan jenis kelaminnya. c. working women and relationship quality Ibu yang bekerja juga bisa memiliki hubungan yang hangat dan melindungi anak sama dengan ibu yang tidak bekerja. Namun keluarga akan menderita kalau ibu memiliki pekerjaan waktu penuh (full-time job). d. motherhood and the feminine self Kategori ini berasumsi bahwa perempuan akan lebih bahagia kalau mereka bisa tinggal di rumah untuk mengurus anak mereka. Memiliki pekerjaan bukan masalah bagi perempuan tapi yang paling mereka inginkan adalah rumah dan anak. Sebab menjadi ibu rumah tangga sudah seperti bekerja di luar yang diberi gaji bagi mereka. Bekerja untuk membuat mereka menjadi pribadi yang mandiri. e. household utility seorang istri sebaiknya tidak berharap untuk suami membantu pekerjaan rumahnya sesudah suami pulang bekerja. Kecuali keduanya bekerja, suami dan istri memiliki tanggung jawab bersama terhadap pekerjaan rumah. f. the acceptance of male Privilege.
18
Mendukung karier suami lebih penting bagi perempuan daripada memiliki karier untuk diri mereka sendiri. Pendidikan universitas lebih penting untuk anak laki-laki daripada anak perempuan. Keenamnya sangat menguntungkan laki-laki karena dalam keenam kategori tersebut menggambarkan keluarga tradisional atau non-egalitarian. Di mana laki-laki bertanggungjawab sebagai pencari nafkah sedangkan perempuan bertanggungjawab untuk mengurus rumah dan keluarga. Keenam kategori beserta anak pokoknya dibuat oleh Davis dan Greenstein untuk mengukur ideologi gender yaitu apa yang diyakini laki-laki dan perempuan terkait hubungan mereka di dalam keluarga. Menurut
Uchida
Megumi,
perilaku
peran
gender
ini
biasa
diaplikasikan di dalam keluarga, institusi akademis dan masyarakat umum 8. Keluarga khususnya orangtua menjadi agen pertama yang bisa mempengaruhi perkembangan peran gender di awal usia anak. Keluarga adalah sebuah grup yang terdiri dari individu yang terhubung karena pernikahan atau darah, unit sosial, ekonomi dan kediaman paling mendasar dalam masyarakat (Xie, 2013: 3). Menurut David Knox (1979: 5) pernikahan adalah sebuah hubungan sosial di mana dua orang dewasa dari jenis kelamin yang berbeda membuat janji emosional dan legal untuk hidup bersama. Menurut Clark E. Cunningham,
pernikahan
di
banyak
masyarakat
Indonesia biasanya
melibatkan negosiasi dan pertukaran hadiah, sering juga melibatkan pertukaran hadiah 9. Menurutnya kebanyakan sistem keluarga dalam masyarakat di Indonesia menganut sistem patrilineal (garis keturunan ayah) 8
Megumi, Uchida. Examination of the relationship between mother’s employment status and one’s family gender role attitudes. Diakses dari http://qmss.columbia.edu/storage/Uchida%20Megumi.pdf diakses pada 28 Maret 2015 9
Diakses dari http://family.jrank.org/pages/867/Indonesia-Inheritance.html diakses pada 19 Mei 2015
19
dan hanya masyarakat Minangkabau di Sumatra Barat yang menganut sistem matrilineal (garis keturunan ibu). Keluarga inti di Indonesia adalah ayah, ibu dan anak yang menjadi unit domestik paling umum 10. Pada masyarakat pedesaan di Indonesia, kalau laki-laki bekerja dalam waktu lama di luar desa, perempuan mengerjakan semua aspek mulai dari pertanian hingga pertamanan. Sedangkan di kota, perempuan bekerja di toko-toko, industri kecil, pasar dan juga bisnis berskala besar, tapi biasanya dalam jumlah sedikit dan pada posisi yang lebih rendah daripada laki-laki. Di sektor pendidikan, Cunningham melihat bahwa guru SD kebanyakan adalah perempuan. Sedangkan laki-laki mengajar di level SMP, SMA dan universitas. Laki-laki mendominasi semua level pemerintahan meskipun beberapa perempuan juga bisa ditemukan di bermacam-macam posisi dibawahnya. Man-Yee Kan dan Anthony Heath (2003: 4) menjelaskan empat teori mengenai hubungan suami dan istri, yaitu: a. teori Fungsionalis Klasik yang dikembangkan oleh Parson dan koleganya. Menurut teori ini, suami ahli dalam tugas instrumental sementara istri ahli dalam tugas emosional. Laki-laki menjadi pencari nafkah utama dan perempuan ada pada ranah domestik, yaitu bertanggung jawab untuk mengurus anak dan tugas rumah tangga. b. teori Ekonomi oleh Becker yang berasumsi bahwa suami dan istri akan memaksimalkan hasil bersama mereka dari komoditas. Perbedaan gender memberi perbedaan keuntungan, seperti laki-laki cenderung ahli pada pasar kerja bergaji. Sedangkan perempuan pada kerja domestik tidak bergaji. c. teori Resource-bargaining
yang berpendapat bahwa masing-masing
suami dan istri akan memaksimalkan kegunaan individu. Menggunakan 10
Ibid.,
20
sumber apapun yang bernilai, mereka bisa memperoleh kesepakatan terbaik pada negosiasi antara sang suami dan sang istri. d. teori Preference oleh Hakim yang berpendapat bahwa di dunia modern ada lebih banyak pilihan dan kesempatan untuk perempuan daripada di era sebelumnya ketika mereka dipaksa. Hakim membedakan tiga grup perempuan yaitu the home-centred, kehidupan keluarga dan anak menjadi prioritas utama; the work-centred yang memprioritaskan kesetaraan kegiatan dan pekerjaan dalam arena publik; dan in between come adaptive yang ingin menggabungkan pekerjaan dan keluarga tapi tidak sepenuhnya berkomitmen pada karier.
5. Encoding-Decoding oleh Khalayak Khalayak diartikan oleh Dennis McQuail (1997, dikutip dari Fatimah Awan: 2008) sebagai istilah bersama dari penerima dalam contoh yang sederhana dari proses komunikasi massa (sumber, saluran, pesan, penerima, efek) yang disebarkan oleh para perintis di bidang penelitian media. Khalayak terdiri dari subjek yang kompleks, beragam dan berjumlah banyak. Meskipun memiliki beberapa karakter yang sama, khalayak tidak sama dengan massa. Menurut Herbert Blumer (1946, dikutip dari Fatimah Awan: 2008), massa adalah grup atau kerumunan orang yang tidak sama, terasingkan dan kurangnya identitas atau keinginan bersama. Massa jauh dari kepentingan seperti media yang mengatur dan memberi pengaruh pada individu serta sebagai sumber produksi budaya. Jadi tidak tepat kalau khalayak disamakan dengan massa. Seperti yang dikatakan oleh Bob Mullan (1997:18 dikutip dari Bignell 2004: 265): Viewers often, but not always, engage in meaningmaking: they do not always sit there empty-minded waiting edification. When a viewer watched television they do not leave their histories at the living-room door: neither do they abandon their cultural, class, racial, economic or sexual 21
identities, nor do they forgot either their media knowledge of comparable programmes, information in newspapers, and other aspects of the infrastructure of television viewing. Dari pendapat yang diberikan Mullan sebelumnya, pengetahuan dan pengalaman khalayak yang dibawa ketika menonton televisi juga perlu diperhatikan. Pengetahuan dan pengalaman kalayak ini disebut Morley sebagai ‘kompetensi budaya’ atau ‘modal budaya’. Gender dan etnis termasuk ke dalam kompetensi budaya yang dimaksud oleh Morley ini. Khalayak aktif tidak dengan mudahnya hanya mencerna pesan yang diberikan oleh televisi, tetapi menguraikannya sesuai dengan konteks sosial dan budaya mereka masing-masing. Pesan dari sebuah program memberi arti dalam kaitannya dengan norma-norma yang ada dalam budaya khalayak dan membantu mereka untuk membenarkannya. Para peneliti berpendapat bahwa khalayak menggunakan televisi untuk melewati masalah-masalah yang secara sadar ataupun tidak berhubungan dengan mereka (Bignell, 2004: 285). Proses penyandian-pemecahannya ini ditawarkan oleh Stuart Hall yang dibingkai dalam teori Encoding-Decoding. Menurutnya pesan sebuah media disandikan (encoding) oleh pengirim dan dipecahkan (decoding) oleh penerima pesan yang memungkinkan pemaknaan pesannya menjadi arti yang berbeda. Encoding-decoding didasarkan pada pandangan baik pengirim dan penerima
pesan
masing-masing,
sehingga
memungkinkan
terjadinya
kesalahpahaman atau pemahaman penerima yang sangat berbeda dari apa yang dimaksudkan oleh pengirim.
22
Encoding/decoding model Hall (1980: 130)
Hall membagi khalayak ke dalam tiga posisi yang berbeda dalam prosesnya memaknai pesan televisi, yaitu dominant-hegemonic position, the negotiated position dan the oppositional position. Pertama Hall melihat posisi khalayak di dalam sudut pandang yang dominan. Di posisi ini sedikit sekali kemungkinan kesalahpahaman karena baik pengirim maupun penerima pesan ada di aturan dan anggapan yang sama. Sehingga dominant-hegemonic position adalah posisi terbaik pengiriman ide, meskipun gesekan terkait isu kelas dan kekuasaan mungkin terjadi. Kedua, khalayak dilihat dapat memecahkan pesan dari pengirim dalam konteks budaya dominan dan pandangan masyarakat. The Negotiated Position memungkinkan khalayak untuk menguraikan pesan sebagai pesan yang lebih personal, di mana sudut pandang mereka memperkeruh proses decoding. Pemahaman secara lebih dekat dengan khalayak ini biasanya terjadi pada situasi tertentu yang dekat dengan khalayak itu sendiri.
23
Ketiga adalah The Oppositional View di mana khalayak mampu memecahkan pesan sebagaimana pesan itu diharapkan—tetapi didasarkan pada keyakinan masyarakat—atau pemaknaan yang tidak diharapkan dari sebuah pesan. Lebih jauh, khalayak ikut terlibat dalam teks budaya yang ditunjukkan televisi. Dalam posisi ini, khalayak tidak hanya menerima pesan dari sebuah teks saja tetapi sudah mampu terlibat secara aktif.
F. Kerangka Konsep Selama ini televisi tidak hanya dijadikan sebagai sumber hiburan saja. Lebih dari itu televisi memberikan pemahaman nilai dan moral yang ada dalam masyarakat, baik menurut tradisi maupun menurut agama. Tidak heran jika televisi sangat penting bagi masyarakat seperti agama karena televisi menjadi tuntunan masyarakat di dalam kehidupannya. Televisi kemudian mengganti institusiinsitusi penting seperti tempat ibadah. Masyarakat lebih memilih mendapat informasi keroharian melalui televisi karena televisi mudah dan bisa dijangkau kapan saja. Televisi menyadari hal ini dan menyediakan beragam konten religius selain untuk keuntungan mereka sendiri. Salah satu program religius yang ditayangkan oleh televisi adalah program dakwah. Program dakwah memberikan pemahaman dan penjelasan terkait keagamaan. Program dakwah di Indonesia sangat populer di kalangan perempuan yang sudah berumah tangga. Itu karena perempuan yang sudah berumah tangga memilki lebih banyak waktu luang untuk menonton televisi. Karena penonton mayoritas dari program dakwah adalah kaum perempuan yang sudah berumah tangga, program dakwah Mamah Dedeh dan Aa Ber-Aksi di Indosiar mengulas masalah seputar rumah tangga khususnya hubungan antara suami dan istri. Hubungan antara suami dan istri di Indonesia jika dilihat dari konsep kesetaraan gender masih banyak terjadi ketimpangan. Ini karena sistem patriarki yang masih mengakar di masyarakat Indonesia maupun tafsir agama yang bias gender karena kebanyakan penafsir adalah laki-laki yang berasal dari sistem 24
masyarakat patriarki. Namun Mamah Dedeh sebagai penceramah perempuan memberikan semangat kesetaraan gender bagi perempuan dengan menyadarkan bahwa laki-laki dan perempuan sama di mata Allah swt, hanya amal yang membedakan keduanya. Bagaimana dengan perempuan berumah tangga di Indonesia dalam penelitian ini Ibu-ibu pengajian Husnul Khotimah di Perumahan Bumi Asri Kabupaten Tangerang memaknai pesan mengenai relasi perempuan dan laki-laki dalam keluarga pada program Mamah Dedeh dan Aa Ber-Aksi di Indosiar? Berikut adalah beberapa topik utama yang ingin digali dalam penelitian ini dan sekaligus menjadi batasan dalam penelitian ini: 1. Pencari nafkah Dalam masyarakat tradisional maupun dalam agama islam, laki-laki adalah pencari nafkah utama bagi keluarga dan menjadi pemimpin dalam keluarga. Namun di era masyarakat yang modern seperti sekarang, banyak perempuan yang juga bekerja atau bahkan laki-laki yang menjadi bapak rumah tangga. Kemudian siapa yang sebenarnya wajib mencari nafkah di dalam keluarga? 2. Keuangan Saat ini sudah banyak perempuan yang bekerja dan memiliki posisi di instansi-instansi pemerintahan maupun swasta. Bagaimana kalau perempuan mendapat penghasilan yang lebih tinggi daripada suami dan menjadi pencari nafkah utama? Kemudian bagaimana posisi perempuan di dalam rumah tangga? 3. Pekerjaan rumah tangga Pekerjaan rumah tangga sangat identik dengan perempuan. Dalam masyarakat patriarki perempuan ‘kodrat’nya di dapur dan laki-laki di luar rumah. Perempuan tidak bisa mengharapkan laki-laki untuk membantunya dalam pekerjaan rumah. 4. Pendidikan anak 25
Ibu biasanya menjadi orang yang paling bertanggung jawab pada pendidikan anak-anak mereka. Sebab anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu mereka di rumah bersama ibu—ibu rumah tangga—mereka. Bagaimana dengan ibu yang bekerja? Selain itu apakah ada perbedaan pendidikan yang diberikan kepada anak lakilaki dan anak perempuan? Sebab anak laki-laki nantinya akan menjadi tulang punggung keluarga dan pemimpin bagi keluarganya. Beberapa topik ini diambil dari pesan Mamah Dedeh yang sering muncul terkait relasi perempuan dan laki-laki dalam keluarga dan juga intisari enam kategori umum perilaku peran gender terkait pembagian kerja dan tanggung jawab di dalam keluarga menurut Davis dan Greenstein (2009: 3-4).
G. Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif menjelaskan fenomena sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalamdalamya (Rachmat Kriyantono, 2008). Pendekatan kualitatif digunakan agar bisa menjelaskan dan menggambarkan penelitian ini secara mendalam. Sebab menurut Djaelani (2013: 83) penelitian kualitatif tidak menekankan pada bentuk hubungan antar variabel, tetapi pada makna yang terkandung dalam masalah penelitian pada konteks tertentu. Dalam penelitian kualitatif, peneliti menjadi instrumen pengumpul data dan kemudian menginterpretasikannya. Secara lebih rinci tugas peneliti yaitu menetapkan fokus, memilih informan, pengumpul data, penafsir data, dan menarik kesimpulan. Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis resepsi. Metode ini dianggap sesuai dengan tujuan peneliti yaitu untuk melihat pemaknaan khalayak terhadap pesan dari program yang ditontonnya. Menurut McQuail (1997, dikutip dari Ido P. Hadi, 2009), khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan 26
memproduksi makna, tidak hanya sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi oleh media massa. Khalayak secara aktif memproses pesan dan menginterpretasikannya melalui apa yang dilihatnya setiap hari. Jensen (1999: 137, dikutip dari Adi: 2012) berpendapat bahwa analisis resepsi mencoba mengkaji secara mendalam bagaimana proses-proses aktual melalui mana wacana media diasimilasikan dengan berbagai wacana dan praktik kultural audiensnya. Dalam hal ini, khalayak dipandang sebagai agen kultural yang aktif memproses makna yang diwacanakan oleh media. Faktor kontekstual seperti latar belakang sosial, budaya, politik, dan agama mampu mempengaruhi cara individu dalam menonton dan kemudian menginterpretasikan pesan. Melalui metode analisis resepsi yang dilakukan terhadap Ibu-ibu pengajian dengan latar belakang yang berbeda, diharapkan akan ditemukan interpretasi makna yang beragam pula. 1. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah Ibu-ibu pengajian Husnul Khotimah di Perumahan Bumi Asri, Kutabumi, Tangerang. Ibu-ibu pengajian ini dipilih sebagai objek penelitian karena rutin atau hampir setiap hari menonton program Mamah dan Aa Ber-Aksi. Bahkan mereka pernah menonton program ini secara langsung di studio Indosiar. Objek sudah terpapar dan masuk ke dalam wacana yang disampaikan program tersebut. Hal ini peneliti rasa cukup bagi Ibu-ibu pengajian Husnul Khotimah untuk menyerap dan kemudian mengonstruksi pesan yang disampaikan Mamah Dedeh di acara Mamah dan Aa Ber-Aksi di Indosiar. Untuk menyaring objek penelitian menjadi informan yang akan diteliti, peneliti menggunakan metode purposive sampling. Menurut Djarwanto dan Subagyo (1998), metode purposive sampling adalah metode pengambilan sampel yang dipilih dengan cermat sehingga relevan dengan struktur penelitian, dimana pengambilan sampel dengan mengambil sampel orang27
orang yang dipilih oleh peneliti menurut ciri-ciri spesifik dan karakteristik tertentu. Berikut adalah syarat informan yang dibutuhkan peneliti yaitu: a. Perempuan b. Sudah berumah tangga c. Usia di atas 30 tahun d. Menonton Mamah Dedeh dan Aa Ber-Aksi Beberapa kategori untuk informan tersebut peneliti pilih karena menurut hasil riset Nielsen dalam Nielsen Newsletter edisi 18 tahun 2011, mayoritas penonton dialog/dakwah religi adalah perempuan usia 30 tahun ke atas dengan pengeluaran di atas Rp 2.000.000,- 11.
2. Teknik Pengambilan Data Setelah didapat informan yang memenuhi empat kriteria yang peneliti butuhkan, calon informan akan peneliti reduksi lagi jumlahnya dengan beberapa pertanyaan saringan berikut: a. sejak kapan Anda menonton Mamah Dedeh dan Aa Ber-Aksi di Indosiar? b. berapa kali dalam seminggu Anda menonton Mamah Dedeh dan Aa BerAksi di Indosiar? c. berapa lama Anda menghabiskan waktu untuk menonton Mamah Dedeh dan Aa Ber-Aksi di Indosiar dalam sehari? d. bagaimana Anda menonton program Mamah Dedeh dan Aa Ber-Aksi di Indosiar? Fokus menonton atau mengerjakan hal lainnya juga? e. dengan siapa Anda menonton program Mamah Dedeh dan Aa Ber-Aksi di Indosiar? f. bagaimana menurut Anda sosok Mamah Dedeh?
11
Diakses dari http://www.agbnielsen.com/Uploads/Indonesia/Nielsen_Newsletter_Jun_2011Ind.pdf Diakses pada 28 Oktober 2014
28
Setelah informan didapat sesuai dengan kriteria awal dan jawaban mereka terhadap pertanyaan saringan, penelitian akan berlanjut ke tahap berikutnya. Terdapat dua teknik pengambilan data yang akan dilakukan dalam penelitian ini, yaitu: a. Wawancara mendalam (depth interview) Teknik wawancara
yang digunakan adalah wawancara
mendalam atau depth interview. Peneliti menggunakan daftar pertanyaan sebagai panduan ketika wawancara. Pertanyaan juga bisa bersifat open-ended question atau pertanyaan yang bisa berkembang atau berubah-ubah tergantung kebutuhan peneliti. Menurut Sugiyono (2006, dikutip dari Djaelani, 2013) dalam penelitian
kualitatif,
sering
menggabungkan
teknik
observasi
partisipatif dengan wawancara mendalam. Diharapkan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam, peneliti mendapat informasi atau pendapat yang terbuka dan jujur sesuai dengan tema penelitian.
b. Observasi partisipatif Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, observasi berarti pengamatan atau peninjauan secara cermat. Observasi mencakup pengamatan perilaku, kegiatan orang atau suatu kejadian dan kemudian dicatat. Menurut Spradley (1980, dikutip dari Djaelani, 2013), tujuan observasi adalah memahami pola, norma dan makna dari perilaku yang diamati, serta peneliti belajar dari informan dan orangorang yang diamati. Observasi partisipatif berarti peneliti tidak hanya mengamati kegiatan orang dan mendengarkan apa yang mereka katakan tetapi juga ikut berpartisipasi dalam kegiatan mereka, baik kegiatan 29
menonton Mamah Dedeh dan kegiatan sehari-hari. Menurut Djaelani (2013) peneliti benar-benar berada dalam keseharian informan, keberadaan peneliti dapat terlibat secara aktif maupun tidak aktif. Ada beberapa alat bantuan bagi peneliti dalam proses pengamatan yaitu jurnal, untuk mencatat pernyataan dan setiap perilaku informan; alat perekam, untuk merekam hasil wawancara dalam bentuk audio; kamera, untuk mengambil gambar informan dan kegiatannya; dan alat pencatat untuk mencatat hasil wawancara maupun observasi. Meskipun pesan yang diberikan Mamah Dedeh tidak selalu bertema tentang relasi perempuan dan laki-laki dalam keluarga, tapi biasanya pesan tentang relasi perempuan dan laki-laki dalam keluarga muncul di tema yang tidak sesuai. Pesan tersebut seringkali muncul ketika penonton di studio maupun di rumah bertanya seputar kehidupan rumah tangganya yang berhubungan dengan relasi perempuan dan laki-laki dalam keluarga. Selain itu, pesan yang diberikan Mamah Dedeh tentang apapun seringkali berhubungan dengan relasi perempuan dan laki-laki dalam keluarga.
3. Teknik Analisis Data Tahap pertama dalam penelitian analisis resepsi adalah menganalisa preferred reading dari pesan yang akan diteliti. Sesudah itu peneliti mengumpulkan informasi atau data melalui wawancara mendalam. Data hasil wawancara kemudian dibuat transkripnya untuk dibuat kategori-kategori menurut tema yang muncul pada interpretasi peneliti. Selanjutnya data yang sudah didapat direduksi ke dalam tiga kategori sesuai dengan tiga posisi khalayak menurut Morley (dikutip dari Nugroho, 2012: 27) yaitu: a. dominant (hegemonic) reading yaitu pembaca sejalan dengan kodekode program—yang di dalamnya terkandung nilai-nilai, sikap,
30
keyakinan dan asumsi—dan secara penuh menerima makna yang disodorkan dan dikehendaki oleh si pembuat program. b. negotiated reading, pembaca dalam batas-batas tertentu sejalan dengan kode-kode program dan pada dasarnya menerima makna yang disodorkan oleh si pembuat program namun memodifikasinya sedemikian rupa sehingga mencerminkan posisi dan minat-minat pribadinya. c. oppositional (counter hegemonic) reading, pembaca tidak sejalan dengan kode-kode program dan menolak makna atau pembacaan yang disodorkan, dan kemudian menentukan frame alternatif sendiri di dalam menginterpretasikan pesan/program. Beberapa faktor kontekstual seperti latar belakang sosial, budaya, ekonomi, politik, dan pendidikan dari informan dijadikan pertimbangan oleh peneliti pada saat menginterpretasikan. Terakhir adalah penarikan kesimpulan dari data-data yang telah didapat dari informan. Data-data yang didapat kemudian dielaborasikan untuk memunculkan pola atau hasil atau kesimpulan dari penelitian ini.
31