1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG MASALAH
1.1.1 Konteks Global Isu paling berkaitan dengan kapitalisme adalah bentukan dunia global yang sangat mudah untuk diakses. Konsekuensi yang paling mendekati dari struktur kapitalisme adalah globalisasi dunia (Isfandiar, 2005: 163). Mitos yang hidup selama ini tentang globalisasi adalah bahwa proses globalisasi akan membuat dunia seragam. Proses globalisasi akan menghapus identitas dan jati diri. Kebudayaan lokal atau etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya besar atau kekuatan budaya global. Mobilitas manusia akan sangat tinggi. Keterkaitan ekonomi antar negara dan antar kawasan menjadi suatu keniscayaan. Kenichi Ohmae (1990,1995; dalam Iskandar, 2008: 61) bahkan menyatakan bahwa dalam konteks ekonomi, batas-batas negara akan lenyap dan entitas negara-bangsa akan berakhir. Globalisasi seringkali dilihat sebagai sumber penyebab munculnya rasionalisasi, konsumerisme, dan komersialisasi budaya-budaya lokal yang kemudian mengakibatkan hancur dan hilangnya identitas budaya nasional (Trijono, 1996: 136). Dalam proses globalisasi ini masyarakat industri yang modern adalah model yang menjadi acuan bagi masyarakat-masyarakat setempat dalam mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi (Suparlan, 1996: 234). Yang dimaksud dengan masyarakat industri di sini adalah masyarakat yang mengagungkan industrialisasi, modernisasi, tolok ukur perhitungan ekonomi yang didasarkan atas pilihan-pilihan rasional untung rugi, dan mengutamakan modal (kapital).
2
Mencermati realita perekonomian Indonesia dalam konteks ekonomi global, Bangsa Indonesia perlu melakukan prioritas dalam memulihkan ekonomi. Jika hal itu tidak segera dilakukan, maka akan menimbulkan berbagai konsekuensi serius, antara lain (Sjahrir, 2001, dalam Buchari, 2006: 30): (a) tingkat inflasi yang tinggi,
(b)
pengangguran semakin membengkak (termasuk pengangguran pada kaum intelektual), (c) kemiskinan struktural yang semakin memilukan, (d) utang dalam negeri dan luar negeri yang semakin menggunung, dan (e) pertumbuhan ekonomi yang rendah. Kesemuanya itu pada gilirannya akan mempengaruhi kondisi sosial politik dan akan membuat semakin rawannya disintegrasi bangsa. Jika hal-hal tersebut tidak segera diatasi, peluang terjadinya permasalahan yang lebih parah akan semakin besar seperti semakin terbukanya potensi konflik atau kerusuhan yang terjadi di tingkat masyarakat lapisan bawah (grassroot). Boleh dibilang keterlibatan negara dalam pembangunan ekonomi Indonesia selama ini memiliki dua dimensi. Pertama, negara berperan aktif sebagai agen pembangunan itu sendiri. Negara membangun infrastruktur, menjalankan kegiatan produksi dan perdagangan dan juga menyiapkan kerangka regulasi yang memadai bagi proses akumulasi kapital. Hanya saja negara Indonesia tidak tergolong negara rasional yang bertindak efisien. Sebaliknya negara Indonesia adalah aktor yang mempunyai kepentingannya sendiri dan tidak netral. Kedua, negara juga secara sadar melindungi dan menghidupi kelas pemilik modal. Negara di antaranya menyediakan proyek pembangunan sebagai lahan kegiatan usaha, memberikan lisensi dan monopoli perdagangan, menggelontorkan kredit dan membuat kebijakan yang menguntungkan (Hiariej, 2006: 92). Pemihakan kepada kaum pemilik modal ini adalah salah satu ciri dari kapitalisme.
3
Kapitalisme merupakan suatu sistem ekonomi yang menerapkan prinsip kebebasan (sebagaimana diperjuangkan oleh liberalisme) di bidang ekonomi. Dengan perkataan lain kapitalisme adalah liberalisme di bidang ekonomi, bebas untuk memiliki dan mengembangkan modal (baik modal finansial, modal fisik, maupun modal manusiawi) demi manfaat yang paling besar dan bagi sebanyak mungkin orang. Dengan demikian kapitalisme dicirikan oleh hak atas milik pribadi, hak atas akumulasi modal lewat usaha mencari keuntungan yang maksimal dan hak untuk bersaing. Realisasi ketiga hak tersebut menjadi sangat problematis mengingat sumber daya yang ada bersifat terbatas/langka, selain itu kemampuan setiap orang juga tidak sama. Bila proses realisasi ketiga hak tersebut tidak diatur dengan adil, maka akhirnya akan terjadi dominasi dari mereka yang memiliki kemampuan terhadap mereka yang kurang atau yang tidak memiliki kemampuan (Nugroho, 2008: 90). Sistem yang digerakkan oleh kumpulan modal (kapitalisme) ini dinilai sebagai sistem ekonomi yang tidak demokratis sebab berdampak penyisihan (exclutionary effect) partisipasi sebagian besar masyarakat (Masjaya, 2005: 156).
1.1.2 Konteks Permasalahan Pengelolaan Sumber Daya Alam adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup, sedangkan yang dimaksud lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Kondisi lingkungan hidup dari waktu ke waktu ada
4
kecenderungan terjadi penurunan kualitasnya, penyebab utamanya yaitu karena pada tingkat pengambilan keputusan, kepentingan pelestarian sering diabaikan sehingga menimbulkan adanya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Dengan terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan ternyata juga menimbulkan konflik sosial. Sebagai negara berkembang, Indonesia terus aktif mengembangkan diri di segala bidang, di antaranya pengembangan pada sektor pariwisata. Walaupun penyusunan kebijakan sektor ini sudah sering dirumuskan, namun dalam prakteknya masih banyak mengalami kendala. Sektor pariwisata dikembangkan tidak sematamata untuk pariwisata itu sendiri, namun diselaraskan dan disesuaikan dengan tujuan pembangunan nasional. Untuk memudahkan pengembangan pariwisata nasional, maka pemerintah mengambil langkah strategis dengan menyerahkan pembinaannya kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Hal ini dianggap akan lebih memudahkan pengembangan dan koordinasi pembangunan daerah (Binarwan, 2008: 129). Pariwisata dikembangkan oleh Pemerintah sebagai suatu program unggulan dalam pilihan ekonomi realistik untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Karena itu segala faktor produksi, usaha kepariwisataan serta pemasaran diupayakan pemberdayaannya agar mampu mencapai tujuan kepariwisataan itu sendiri (Marpaung, 2008: 230). Pembangunan wilayah pesisir memiliki kecenderungan menimbulkan dampak dan ancaman terhadap kapasitas keberkelanjutan pesisir dalam menunjang kesinambungan fungsi pemanfaatannya. Seperti halnya permasalahan pencemaran laut, over fishing; degradasi kawasan pantai merupakan fenomena umum yang terjadi di wilayah pesisir. Fenomena ini terutama berlangsung di kawasan pesisir yang padat
5
penduduknya dan tinggi tingkat pembangunannya, seperti Selat Malaka, Pantai Utara Jawa, Sulawesi Selatan dan Yogyakarta (Dahuri, et. al., 2004: 3). Dalam upaya mewujudkan obyek wisata yang baik, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul melakukan program penataan kawasan obyek wisata Parangtritis, sebagai pelaksanaan daripada Perda Kabupaten Bantul No. 03 Tahun 2004 tentang Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah Kabupaten Bantul. Perda tersebut sebagai acuan untuk pengaturan yang mampu mewujudkan keterpaduan, keserasian dalam kegiatan penyelenggaraan kepariwisataan yang berwawasan lingkungan. Pada bagian penjelasan Perda tersebut dijelaskan bahwa pembangunan pariwisata mencakup 2 (dua) dimensi yaitu dimensi ekonomi dan sosial budaya. Dimensi ekonomi merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan daya saing dan sekaligus meningkatkan pendapatan daerah. Selanjutnya dari aspek sosial budaya merupakan upaya pendekatan yang utuh dalam melestarikan nilai-nilai budaya masyarakat di daerah, melestarikan alam, melestarikan lingkungan serta menumbuhkan rasa kebanggaan nasional, dalam rangka mengantisipasi pengaruh budaya global yang bertentangan dengan budaya bangsa. Sejalan dengan perkembangan kondisi negara secara nasional yang disebabkan oleh situasi politik dan keamanan dalam negeri, maka pembangunan pariwisata harus mampu memulihkan citra pariwisata bagi daerah maupun nasional sebagai daerah tujuan wisata yang aman dan nyaman untuk dikunjungi. Industri pariwisata pantai di Yogyakarta di antaranya terpusat di daerah Selatan Kabupaten Bantul yang meliputi pantai Parangtritis di Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek; pantai Parangkusumo di Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek; pantai Depok di Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek; pantai Samas di Desa Srigading, Kecamatan Sanden; pantai Patehan di Desa Gadingharjo, Kecamatan
6
Sanden; pantai Pandansimo dan Pantai Kwaru di Desa Poncosari, Kecamatan Srandakan. Obyek Wisata Pantai Parangtritis merupakan primadona wisata karena paling banyak dikunjungi oleh wisatawan. Data pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bantul menunjukkan bahwa jumlah kunjungan wisatawan ke Pantai Parangtritis masih menduduki peringkat pertama dibandingkan kunjungan wisatawan ke objek wisata lainnya di Kabupaten Bantul yakni selama tahun 2011 menduduki peringkat pertama dengan jumlah kunjungan 1.338.112 wisatawan, disusul Pantai Kwaru sebanyak 270.823 wisatawan, Pantai Pandansimo 54.628 wisatawan, Pantai Samas 36.456 wisatawan dan Pantai Goa Cemara 11.267 wisatawan. Sekitar 70 persen lebih PAD (pendapatan asli daerah) dari sektor pariwisata di Kabupaten Bantul diperoleh dari retribusi Pantai Parangtritis sebesar Rp 1,255 milyar. Disusul kemudian retribusi obyek wisata Pantai Samas, Pantai Pandansimo, Kolam Renang Tirtotamansari, Gua Selarong dan obyek wisata lain yang ada di Kabupaten Bantul. Melihat potensi wisata Pantai Parangtritis yang sangat besar maka sudah sejak tahun 2004 Pemerintah Kabupaten Bantul melakukan berbagai upaya penataan, pengawasan dan pengendalian secara komprehensif, agar kawasan obyek wisata Parangtritis tetap mempunyai daya tarik bagi wisatawan. Langkah pertama yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Bantul adalah menerbitkan Keputusan Bupati Bantul No 127 Tahun 2004 tentang Rencana Teknik Obyek Wisata Parangtritis yang di dalamnya disebutkan bahwa tujuan penataan kawasan obyek wisata Parangtritis adalah untuk: (1) Meningkatkan kualitas fisik dan lingkungan kawasan obyek wisata Parangtritis; (2) Mendorong pelestarian dan konservasi lingkungan terhadap sumberdaya yang ada di kawasan obyek wisata Parangtritis; (3) Meningkatkan iklim investasi dan pemberdayaan masyarakat; (4) Mengembangkan potensi kepariwisataan
7
kawasan obyek wisata Parangtritis sehingga mampu tumbuh dan berkembang sebagai tujuan wisata yang mempunyai daya tarik khusus dan memiliki peran serta yang strategis bagi pengembangan pariwisata di Kabupaten Bantul dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Untuk merealisasikan keinginan tersebut maka Bupati Bantul mengeluarkan Instruksi Bupati Bantul No. 3 tahun 2004, tanggal 22 Juni 2004 tentang Penataan, Pengawasan dan Pengendalian Kawasan Obyek Wisata Parangtritis yang berisi (1) larangan bagi masyarakat untuk mendirikan bangunan pada kawasan obyek wisata Parangtritis yang dinyatakan harus bebas/terlarang untuk mendirikan bangunan; (2) masyarakat dilarang melakukan kegiatan pembangunan di kawasan obyek wisata Parangtritis, apabila tidak dilengkapi dengan perizinan sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku; (3) masyarakat dilarang bertempat tinggal di kawasan obyek wisata Parangtritis, apabila tidak dilengkapi dengan dokumen kependudukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku; (4) masyarakat penduduk Desa Parangtritis agar turut serta melakukan pengawasan terhadap kegiatan pembangunan dan mobilitas penduduk pendatang di kawasan obyek wisata Parangtritis, serta melaporkannya kepada Lurah Desa Parangtritis atau Camat Kretek untuk mendapatkan tindak lanjut. Instruksi Bupati Bantul tersebut merupakan acuan dasar dilakukannya penataan obyek wisata Parangtritis oleh Pemkab Bantul yang implementasinya adalah melakukan relokasi rumah dan tempat usaha yang berada di kawasan Pantai Parangtritis. Instruksi Bupati Bantul tersebut selanjutnya ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Peraturan Bupati Bantul No. 24 tahun 2006, tanggal 16 September 2006 tentang Penataan Kegiatan Usaha di Kawasan Pantai Parangendog sampai dengan Pantai Parangkusumo Desa Parangritis Kecamatan Kretek Kabupaten Bantul,
8
yang selanjutnya diperbaharui dengan Peraturan Bupati Bantul No 26 Tahun 2006, tanggal 4 Oktober 2006 tentang Perubahan Peraturan Bupati Bantul Nomor 24 Tahun 2006 Tentang Penataan Kegiatan Usaha di Kawasan Pantai Parangendog sampai dengan Pantai Parangkusumo Desa Parangtritis Kecamatan Kretek Kabupaten Bantul. Peraturan Bupati tersebut berisi ketentuan tentang zonasi dan pemanfaatannya, di mana disebutkan bahwa Zona Preservasi Alam Pantai yang untuk selanjutnya disebut Zona Preservasi adalah kawasan tepi Pantai Parangtritis dengan batas utara berupa jalan lingkungan yang ditetapkan pemerintah yang harus bersih dari bangunan kecuali dengan izin Pemerintah Daerah apabila untuk kepentingan yang lebih besar. Dalam pasal 5 Peraturan Bupati tersebut disebutkan bahwa kegiatan usaha ekonomi di areal Pantai Parangendog sampai dengan Pantai Parangkusumo hanya bisa dilakukan di luar Zona Preservasi dengan tetap mengindahkan peraturan yang berlaku. Tempat tinggal, warung atau kios dan mandi, cuci, kakus yang sudah terlanjur berada di Zona Preservasi alam pantai di areal Pantai Parangendog sampai Pantai Parangkusumo akan segera direlokasi ke kawasan baru di sebelah selatan Parangwedang yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah. Kemudian pada pasal 51 tentang Kawasan Rawan Bencana disebutkan bahwa kawasan rawan gelombang pasang di Kabupaten Bantul terdapat di Kecamatan Kretek, Kecamatan Srandakan, dan Kecamatan Sanden, sebagian Kecamatan Pandak, sebagian Kecamatan Pundong, sebagian Kecamatan Imogiri, sebagian Kecamatan Jetis, dan sebagian Kecamatan Bambanglipuro. Disamping itu kawasan Parangtritis, Parangkusumo dan Depok dimasukkan sebagai kawasan peruntukan pariwisata alam sebagaimana disebutkan pada pasal 59 Perda RTRW Kabupaten Bantul. Pasal 65 disebutkan Kawasan Strategis Gumuk Pasir Parangtritis yang berfungsi untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian. Pasal 73 Peraturan Zonasi untuk
9
kawasan lindung setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c berupa kawasan sempadan pantai, disusun dengan memperhatikan larangan bagi semua kegiatan dan bangunan hunian, tempat usaha pada kawasan sempadan pantai; dilarang semua kegiatan dan bangunan yang mengancam kerusakan pantai. Sejak awal (2004), rencana penataan obyek wisata Parangtritis oleh Pemkab Bantul tersebut mendapatkan reaksi pro dan kontra dari warga masyarakat yang selama ini bermukim dan melakukan usaha ekonomi di kawasan tersebut. Sebagian warga ada yang bisa memahami dan dapat menerima program penataan, namun sebagian warga masyarakat yang lain menolak dengan keras karena dianggap akan merugikan warga setempat baik secara ekonomi maupun sosial. Menghadapi reaksi penolakan oleh warga setempat, pemerintah Kabupaten Bantul terus melakukan pendekatan dan sosialisasi dalam rangka memberikan pemahaman dan penyadaran terhadap masyarakat setempat tentang perlunya penataan kawasan obyek wisata pantai selatan Kabupaten Bantul demi kesejahteraan warga setempat, termasuk membangun terminal, 39 kios dan 274 los yang disiapkan bagi pengganti tempat usaha warga. Namun demikian, sikap warga masyarakat tetap terbelah menjadi dua, yakni sebagian setuju penataan dan sebagian besar lainnya melakukan penolakan. Dalam kondisi seperti itu, Pemerintah Kabupaten Bantul tetap bersikeras melakukan penataan yakni dengan membersihkan kawasan Pantai dari bangunan tempat tinggal dan tempat usaha. Adanya penolakan terkait rencana penataan obyek wisata Parangtritis oleh Pemkab Bantul yang dianggap akan merugikan warga setempat tersebut telah menimbulkan konflik, baik yang berupa konflik vertikal yaitu antara warga masyarakat yang menolak penataan obyek wisata Parangtritis dengan pemerintah maupun konflik horisontal antara warga masyarakat yang menolak keras penataan
10
dengan warga masyarakat yang setuju penataan obyek wisata Parangtritis. Konflikkonflik yang terjadi semakin nyata ketika Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul mulai melakukan penataan obyek wisata Parangtritis. Penataan tahap pertama dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Sat Pol PP) Bantul pada tanggal 31 Oktober 2006, dengan melakukan penggusuran rumah dan bangunan tempat usaha yang mendapat perlawanan dari para pemilik rumah dan bangunan tempat usaha sehingga hanya 3 unit rumah yang berhasil dirobohkan dari 91 rumah dan bangunan yang direncanakan, yaitu rumah yang terletak di Dusun Mancingan 11 Kalurahan Parangtritis Kecamatan Kretek (Lihat Peta Lokasi Penelitian pada hal. 65). Selain melakukan aksi menghalangi proses penggusuran, bentuk perlawanan warga terhadap pemerintah Kabupaten Bantul adalah mengadukan persoalan penggusuran tersebut kepada DPRD Kabupaten Bantul dan DPRD Propinsi DIY. Sekitar 200 warga dari 91 KK di Parangtritis yang tergabung dalam Paguyuban Ngudi Makmur melakukan aksi pendudukan di kantor DPRD DIY selama 7 hari mulai tanggal 7 sampai dengan 13 Nopember 2006. Upaya ini membuahkan hasil, yakni diselenggarakannya dialog antara warga Parangtritis dengan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X di Gedung DPRD DIY yang dimediasi oleh DPRD Propinsi DIY. Dalam kesempatan tersebut, Gubernur DIY menjanjikan kepada warga Parangtritis bahwa mereka tidak akan digusur dan bahkan warga akan diberikan ganti rugi berupa tempat tinggal baru bagi warga, yakni di dusun Magersari yang lokasinya tidak jauh dari Pantai Parangtritis. Meskipun sudah ada janji dari Gubernur DIY yang tidak akan melakukan penggusuran, namun faktanya penggusuran di kawasan Parangtritis tetap dilanjutkan sehingga seluruh bangunan rumah tempat tinggal dan usaha dibersihkan.
11
Penataan pada tahap kedua, dilakukan pada tanggal 26 Januari 2008, dan berhasil membongkar 51 rumah dan bangunan tempat usaha milik warga. Penataan pada tahap kedua ini relatif mulus dan lancar sebab sebagian besar warga yang tergabung dalam Paguyuban Kawulo Alit bersedia digusur karena telah dijanjikan mendapatkan kios baru sebagi tempat usaha pengganti yang lokasinya tidak jauh dari rumah dan tempat usaha sebelumnya. Lokasi penataan ulang ini terletak di Dusun Parang Bolong Kalurahan Parangtritis Kecamatan Kretek (Lihat Peta Lokasi Penelitian pada hal.65). Penataan tahap ketiga dengan melakukan penggusuran terhadap 31 KK di Parangkusumo, Kelurahan Parangtritis Kecamatan Kretek Kabupaten Bantul (Lihat Peta Lokasi Penelitian pada hal. 65). Menurut rencana awal, penggusuran akan dilakukan tanggal 11 Maret 2010, namun mendapat penolakan dan perlawanan keras dari warga yang tergabung dalam Aliansi
Rakyat
Menolak
Penggusuran
(ARMP)
dalam
bentuk
aksi-aksi
penghadangan, aksi unjukrasa dan pengaduan ke Pemerintah Propinsi DIY. Aksi unjukrasa yang pertama dilakukan di Kantor Gubernur DIY tanggal 21 Januari 2010 dengan meminta Pemprop DIY turun tangan menyelesaikan masalah ganti rugi penggusuran di Parangtritis. Aksi unjukrasa ARMP yang kedua dilakukan tanggal 10 Maret 2010 di Kantor Gubernur DIY dan menghasilkan dua kesepakatan yaitu Pemerintah Propinsi DIY akan memediasi pertemuan segitiga antara warga, Pemerintah Propinsi DIY dan juga Pemerintahan Kabupten Bantul, kemudian Pemprov DIY akan mendesak Bupati Bantul agar menghentikan penggusuran pada tanggal 11 Maret 2010 dan Tanggal 15 Maret 2010 sesuai surat Satpol PP Bantul No 300/204 tanggal 27 Februari 2010.
12
Perlawanan ARMP untuk sementara waktu mampu menunda pelaksanaan penggusuran, namun tidak bertahan lama, sebab pada tanggal 21 Juni 2010 Satpol PP Kabupaten Bantul dengan menggunakan alat berat di bawah pengamanan Polisi berada di lokasi untuk melakukan penggusuran. Langkah Pemkab Bantul ini kembali dilawan oleh warga Parangtritis yang tergabung dalam wadah ARMP, yang di dalamnya banyak terdapat unsur-unsur dari luar warga setempat yakni kalangan mahasiswa dan LSM. Akibat dari perlawanan yang keras dari ARMP, pelaksanaan penggusuran kembali ditangguhkan. Namun demikian pada saat yang sama justru terjadi insiden lain berupa intimidasi dan perusakan sekretariat/posko ARMP di Parangkusumo yang dilakukan oleh Satgas PDIP. Kasus perusakan Posko tersebut dilaporkan kepada Polisi dan berlanjut sampai pada proses hukum di Pengadilan Negeri Bantul dan pelaku dinyatakan terbukti bersalah melanggar pasal 406 KUHP mengenai pengrusakan barang milik orang lain sehingga divonis dengan hukuman penjara selama 1 tahun. Penataan kawasan obyek wisata pantai Parangtritis pada tahap ke empat diarahkan untuk menertibkan rumah dan bangunan liar di sepanjang pantai Parangkusumo sampai dengan Pantai Depok yang meliputi 106 bangunan yakni 31 rumah tempat tinggal, 8 unit bangunan warung, 50 unit bangunan tempat tinggal dan warung, 12 unit kandang, 1 unit gudang rosok dan 4 unit lain-lain meliputi pondasi dan posko. Lokasi penertiban ini adalah di sepanjang wilayah antara Kalimati sampai selatan Pantai Depok. (Lihat Peta Lokasi Penelitian pada hal. 65). Dari 106 pemilik bangunan tersebut, ternyata 26 di antaranya merupakan pendatang dari luar Kabupaten Bantul. Dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Bantul melalui Kantor Satpol PP Kabupaten Bantul telah menyampaikan surat peringatan kepada para pemilik bangunan tersebut agar segera mengosongkan bangunan.
13
Adapun data selengkapnya berbagai aksi untuk rasa untuk menentang berbagai penggusuran yang telah dilakukan warga seperti tersaji dalam Tabel 1.1. Tabel 1.1 Aksi Unjuk Rasa Terkait Dengan Penolakan Penataan Kawasan Obyek Wisata Parangtritis Kabupaten Bantul No 1 1
Pelaku 2 Warga Mancingan Parang Bolong
Waktu 3 31 Oktober 2006
Tempat 4 Dusun Mancingan Parang Bolong Parangtritis Gedung DPRD DIY
Tuntutan 5 Tolak Penggusuran
2
100 Warga Mancingan Parang Bolong yang didampingi LSM Pataka
01Nopember - 2006
3
100 Warga Mancingan Parang Bolong
07Nopember -2006
Kraton Yogyakarta dan DPRD DIY
Tolak Penggusuran dan Minta Pengayoman dari Kraton
4
Solidaritas masyarakat Parangtritis
09 Nopember 2006
DPRD DIY
13 Nopember 2006
DPRD DIY
14Nopember -2006
DPRD DIY
7
Solidaritas Masyarakat Parangtritis Tolak Penggusuran Solidaritas Masyarakat Parangtritis Tolak Penggusuran ARMP
Kantor Gubernur DIY
Tolak Penggusuran di Pantai Parang Bolong Parangtritis Tolak Penggusuran di Pantai Parang Bolong Parangtritis Tolak Penggusuran di Pantai Parang Bolong Parangtritis Ganti rugi penggusuran di Parangtritis
5
8
ARMP
17 Pebruari 2010
Pemkab Bantul
Tolak Penggusuran
9
ARMP
08 Maret 2010
Pemprov DIY
Tolak Penggusuran P. Parangtritis
6
21 Januari 2010
Tolak Penggusuran dan meminta dilakukan Mediasi
Keterangan 6 Bentrok antara Warga dengan Satpol PP Bantul Dialog antara warga dengan Bupati Bantul Penggusuran di Tunda DPRD DIY minta dilakukan pertemuan yang melibatkan semua komponen termasuk Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X. Massa aksi diterima oleh Anggota DPRD DIY, dan aspirasinya akan ditampung dan disampaikan kepada Bupati Bantul. Tidak direspon anggota DPRD DIY
Aksi Tertib
Gubernur DIY menemui warga Mancingan dan berjanji untuk tidak ada penggusuran di Parangtritis Aksi tertib
Tidak diterima oleh Bupati Bantul karena 11 orang diantaranya bukan warga Bantul (tidak memiliki KTP Bantul) Kabid. Pemerintahan dan Kepala PU Prov. DIY membuat surat
14 No 1
Pelaku 2
Waktu 3
Tempat 4
Tuntutan 5
Keterangan 6 pernyataan yang meminta PemKab. Bantul menunda penggusuran Aksi Tertib
Tolak Penggusuran Parangtritis
23 Maret 2010
DPRD Bantul Pemkab Bantul Pemprov DIY
ARMP
07 April 2010
Pemprov DIY
Tolak Penggusuran Parangtritis
13
ARMP dan SEBUMI
22 April 2010
Titik Nol Perempatan Kantor Pos Yogyakarta
Tolak Penggusuran dan Tolak Mega Proyek di Parangtritis
14
ARMP
03 Mei 2010
Tolak Penggusuran di Parangtritis
Bakar Patung Babi, Blokir Jalan
15
ARMP
21 Juni 2010
Titik Nol Perempatan Kantor Pos Yogyakarta Mancingan Parangtritis
Tolak Pelaksanaan Penggusuran
16
ARMP
20 Juli 2010
Pantai Parangtritis
Aksi Panggung Rakyat Menolak Penggusuran
Satpol PP dengan alat berat siap melakukan penggusuran. Akibat situasi yang memanas maka penggusuran ditangguhkan Berlangsung pembakaran foto Presiden RI, Gubernur DIY dan Bupati Bantul
10
ARMP
11 Maret 2010
11
ARMP Perhimpunan Solidaritas Buruh, SPKinasih, Jogo Sengsoro, ATPLP, RTND
12
Tagih Janji Sultan HB X
Aksi Tertib Hasil Audiensi a.l.: Berkait pemberitahuan pembongkaran antara tanggal 12-15/3/2010 maka akan dilakukan rapat koordinasi internal menyikapi tidak dihiraukannya surat Gubernur DIY tentang penundaan pembongkaran sampai akhir pelaksaan Pemilukada Bantul. Anarkhis, Bakar Ban, Rusak/Robohkan Gerbang dan gerobak sampah Terjadi Bentrok antara Pengunjukrasa dengan Aparat Keamanan, merusak pagar Permprov DIY dan memecah kaca depan mobil water canon
15 No 1
Pelaku 2
Waktu 3
Tempat 4
Tuntutan 5
Titik Nol Perempatan Kantor Pos Besar Yogyakarta Posko ARMP di Parangkusu mo Kantor Polres Bantul Pantai Parangkusu mo
Tolak Penggusuran di Parangtritis
Keterangan 6 Aksi ini memicu kemarahan Satgas PDIP Bantul Aksi gabungan antara ARMP dan Mahasiswa Papua di Yogyakarta
17
ARMP dan SUP
21 Juli 2010
18
Satgas PDIP
21 Juli 2010
Penyerangan dan Perusakan Posko ARMP
Satgas PDIP merusak atribut-atribut di Posko ARMP
19
ARMP dan SEBUMI
21 Juli 2010
Pelaporan atas perusakan Posko ARMP Labuhan Laut
Laporan diterima oleh Kasat Intel Polres Bantul dan akan ditindaklanjuti ARMP melabuh foto Presiden SBY-Budiono, dan menolak penggusuran Diterima Asisten Gubernur Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Pemprov DIY, Tavip Agus Rayanto, yang ditemani staf dari Dinas Pariwisata, dan BiroTata Pemerintahan PU. Pertemuan berlangsung di Gedung Wiyata Praja. Terjadi ketegangan antara massa ARMP dengan warga setempat Membakar ban bekas dan memblokir jalan
20
ARMP dan Perempuan Mahardika
07 Januari 2011
21
ARMP
20 Januari 2011
DPRD DIY dan Pemprov DIY
Tolak Penggusuran Parangtritis
22
ARMP
19 Mei 2011
23
ARMP
5 Juli 2011
Kantor Satpol PP Kab. Bantul DPRD DIY
24
ARMP dan Perempuan Mahardika
7 Juli 2011
DPRD DIY
Tolak Razia PSK di Parangkusumo Tolak Penggusuran dan Mega Proyek Rp. 6 T di Pantai Parangtritis Tolak Penggusuran Parangtritis dan Cabut Perda Kab. Bantul No. 5 tahun 2007
Diterima oleh Sukedi/Wakil Ketua DPRD DIY
Sumber: Polres Bantul dan Polres Kota Yogyakarta Masalah identitas diri warga kawasan Parangtritis ternyata menimbulkan masalah tersendiri, sebab faktanya banyak warga pendatang dari luar Desa
16
Parangtritis yang tinggal dan melakukan usaha di tempat tesebut, bahkan sudah dalam waktu yang lama (>25 tahun), namun tidak memiliki kartu identitas (KTP). Kondisi ini menyulitkan warga sebab Pemerintah Kabupaten Bantul mengambil kebijakan hanya akan melayani warga masyarakat yang memiliki KTP Bantul terkait dengan masalah penataan kawasan Obyek Wisata Pantai Parangtritis. Pada Pasal 2 dari Undang-Undang No. 23 tahun 2006 tentang Adminsitrasi Kependudukan dengan jelas disebutkan bahwa setiap penduduk mempunyai hak untuk memperoleh dokumen kependudukan, pelayanan yang sama dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil; perlindungan atas Data Pribadi; dan kepastian hukum atas kepemilikan dokumen. Selanjutnya pada Pasal 7 Perpres No. 26 tahun 2009 tentang Penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional, disebutkan bahwa Setiap penduduk wajib KTP berhak memperoleh KTP berbasis NIK yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana sesuai domisili penduduk yang bersangkutan. Menurut data pada Badan Pertanahan Nasional (BPN) Bantul, riwayat lokasi penataan Parangtritis berasal dari peta pasir persil 45 tahun 1928. Pada Perda DIY Nomor 5 Tahun 1954 Pasal 3 diterangkan, persil tersebut merupakan tanah pemerintah. Dalam perkembangannya, setelah Pemkab Bantul pada 2002 melakukan inventarisasi, tanah itu menjadi lahan pasir dengan status Sultan ground. Perubahan ini terjadi karena setelah ditelusuri asal-usulnya, memang tanah tersebut dulunya berada dalam kekuasaan Pemerintah Ngayogyakarta Hadiningrat. Meski demikian, pemerintah setempat memiliki wewenang mengelolanya karena area tepi pantai tersebut termasuk kawasan lindung, seperti tercantum dalam Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Ihwal tindakan penggusuran yang dilakukan Pemkab Bantul, menurut BPN, diatur dalam Undang-
17
Undang Nomor 51 PRP Tahun 1960 soal larangan penggunaan tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya. Dalam aturan tersebut, Pemkab juga memiliki wewenang mengambil tindakan untuk mengambil tanah sewaktu-waktu. Dalam surat kekancingan tersebut tercantum syarat, bahwa pemegang Magersari dilarang mendirikan bangunan permanen dan bersedia mengembalikan tanah bila sewaktuwaktu diminta. Menurut pandangan hukum Pemkab Bantul, sejak Pemerintah Ngayogyakarta Hadiningrat bergabung ke Republik Indonesia dan menjadi Provinsi DIY, tanah milik Sultan tak lagi dikuasai secara perorangan tetapi menjadi milik Keraton Yogyakarta, sehingga urusan menyangkut tanah Sultan ground diatur oleh ”Paniti Kismo”, sebuah lembaga di dalam keraton. Lembaga ini menjadi satu-satunya pihak yang berhak mengeluarkan izin pemakaian tanah Sultan. Atas dasar itu, Pemkab Bantul tidak mengakui Surat Kekancingan Magersari yang dimiliki warga Mancingan lantaran diterbitkan Yayasan Sultan HB VII, bukan oleh Paniti Kismo. Keinginan Pemerintah Kabupaten Bantul untuk menata kawasan obyek wisata Pantai Parangtritis menjadi lebih baik ternyata masih dipahami berbeda oleh sebagian warga setempat, dan telah memicu munculnya konflik baik yang bersifat konflik horisontal maupun konflik vertikal. Konflik telah muncul bersamaan dengan dimulainya kegiatan penataan yakni 2004, dan sampai saat dilakukan penelitian ini (tahun 2013) belum juga tuntas, bahkan cenderung meningkat eskalasinya. Oleh karena itu penyelesaian konflik dalam kasus penataan obyek wisata pantai Parangtritis Kabupaten Bantul tersebut perlu segera dicarikan solusi secara arif dan bijaksana. Terkait dengan konflik yang terjadi mengenai penataan objek wisata Pantai Parangtritis, sebelumnya sudah terjadi kontroversi yang berlarut-larut ketika Pemda Bantul berniat untuk melaksanakan mega proyek pembangunan Pantai Parangtritis
18
bekerja sama dengan investor swasta yakni PT. Arwani Modern Indonesai (PT. AMI) pada tahun 1995. Pada saat itu, rencana mega proyek senilai 100 milyar tersebut meliputi pembangunan area golf, villa dan hotel, danau/laguna, dan fasilitas akomodasi termasuk pasar wisata, dan infrastruktur jalan. Kontroversi mega proyek Parangtritis tersebut merebak setelah diberitakan oleh wartawan Bernas Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin, yang kemudian tewas akibat dianiaya orang tak dikenal pada bulan Agustus 1996. Kontroversi mega proyek mereda setelah Gubernur DIY pada waktu itu, yaitu Sri Paku Alam VIII membatalkan Amdal mega proyek tersebut pada bulan Pebruari 1997. Terkait dengan konflik penataan objek wisata berdasar Peraturan Bupati Bantul No. 24 tahun 2006, Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul telah berupaya untuk menyelesaikan konflik tersebut sehingga dapat melaksanakan program penataan kawasan obyek wisata pantai Parangtritis dengan baik. Namun demikian upaya keras dari Pemerintah Kabupaten Bantul tersebut sampai saat ini belum dapat meredam aksi-aksi penolakan dari warga yang menempati areal pesisir pantai selatan tersebut. Dalam upaya penyelesaian konflik sosial dikenal dua cara yakni secara konvensional melalui politik, administrasi maupun judisial dan melalui mekanisme alternatif penyelesaian konflik yang meliputi Negoisasi, Mediasi dan Arbitrase. Pendekatan alternatif dalam penyelesaian konflik tersebut adalah yang disebut negosiasi, mediasi dan arbitrasi. Keunggulan pendekatan alternatif ini dibandingkan dengan pendekatan-pendekatan konvensional melalui politik, administrasi maupun judisial adalah sifat-sifatnya yang persuasif, fleksibel, lebih efektif, dapat mencapai komitmen yang lebih baik untuk penyelesaian jangka panjang dan sangat potensial memfasilitasi terbentuknya saling kesepahaman antar pihak yang bertikai. (Baiquni dan Rijanta, 2006).
19
Kesepakatan yang memuaskan ini sangat penting bagi keberlanjutan hubungan baik di antara para pihak, khususnya dengan resistensi masyarakat dengan adanya/masuknya kegiatan yang bersinggungan dengan kegiatan mereka. Seperti halnya pada konflik kegiatan penanganan penataan kawasan obyek wisata Pantai Parangtritis yang bersinggungan dengan kegiatan pariwisata yang menjadi tumpuan hidup masyarakat di wilayah Parangtritis.
1.1.3 Latar Belakang Formal Konflik vertikal dan horizontal terkait penataan lahan objek wisata Pantai Parangtritis termasuk ke dalam kategori konflik lingkungan (environmental dispute). Konflik lingkungan (environmental dispute) dalam kasus ini adalah berkaitan dengan perebutan akses sumber daya alam. Pada peradaban modern, konflik lingkungan ini tidak hanya berujud perebutan akses sumber daya alam saja, tetapi juga dapat berupa pencemaran air atau polusi atmosfir. Konflik lingkungan yang terjadi memiliki dimensi yang kompleks dan melibatkan berbagai kepentingan antar sektor dan aktor pembangunan (Baiquni & Susilawardani, 2002: 190). Konflik horisontal dan vertikal yang terjadi terkait dengan penataan kawasan obyek wisata Pantai Parangtritis Kabupaten Bantul tersebut akan dilihat dan dikaji khususnya dari sudut pandang kajian ilmu geografi dan kependudukan. Keilmuan geografi yang sangat diperlukan memahami peristiwa dan masalah krusial seperti ketimpangan sosial, kemiskinan, migrasi dan kondisi politik. Harvey dan Holly (1991) menyatakan bahwa geografi sangat penting untuk memahami (1) ketimpangan distribusi sumber daya alam; (2) meluruskan pandangan tentang pengetahuan yang sifatnya pragmatis; (3) berguna bagi memahami masalah-masalah kemanusiaan.
20
1.1.4 Latar Belakang Material Tujuan penataan kawasan obyek wisata Pantai Parangtritis oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul adalah dalam rangka untuk meningkatkan kualitas/daya tarik obyek wisata sehingga meningkatkan pengunjung yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan warga sekitar Pantai Parangtritis. Namun demikian sebagian warga setempat yang mendiami tanah di wilayah Pantai Parangtritis justru menolak program pembangunan tersebut dengan alasan khawatir digusur dan tidak dilakukan relokasi serta tidak mendapatkan kompensasi sehingga kualitas hidupnya menurun. Penolakan tersebut memunculkan konflik yang berkepanjangan dengan intensitas konflik yang semakin meningkat, baik horisontal yakni antara warga yang mendukung penataan dan yang menolak penataan serta konflik vertikal antara warga yang menolak dengan pemerintah daerah. Konflik tersebut sudah muncul sejak tahun 2004 ketika wacana penataan kawasan obyek wisata Pantai Parangtritis dimunculkan oleh Pemerintah Daerah dan sampai saat ini konflik tersebut belum dapat diselesaikan meskipun berbagai upaya pendekatan telah dilakukan, bahkan cenderung semakin berkembang dan melibatkan banyak pihak. Konflik horisontal dan vertikal yang terjadi pada penataan kawasan obyek wisata Pantai Parangtritis tersebut menarik untuk diteliti sebab program pembangunan pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat seharusnya didukung oleh seluruh elemen masyarakat, tetapi faktanya sebagian warga yang tinggal dan menjalankan usaha di kawasan obyek wisata Pantai Parangtrisis justru menolaknya dengan berbagai alasan sehingga menimbulkan konflik yang berdampak langsung pada penurunan kualitas hidup.
21
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menyelesaikan masalah tersebut, namun sampai saat ini belum juga tuntas, bahkan cenderung eskalasinya semakin meningkat. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka peneliti memilih obyek penelitian konflik horisontal dan vertikal yang terjadi pada penataan kawasan obyek wisata Pantai Parangtritis ini.
1.2
RUMUSAN MASALAH Program penataan kawasan obyek wisata Pantai Parangtritis Kabupaten
Bantul oleh Pemerintah Kabupaten Bantul telah memunculkan konflik horisontal dan vertikal yang sudah berlangsung relatif lama sejak tahun 2006, oleh karenanya dalam upaya penyelesaiannya perlu mengadopsi mekanisme alternatif penyelesaian konflik. Berdasarkan pada latar belakang penelitian baik latar belakang formal maupun material, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana upaya penyelesaian konflik melalui mekanisme alternatif penyelesaian konflik dalam program penataan kawasan obyek wisata di Pantai Parangtritis Kabupaten Bantul ?” Penekanan dalam penelitian ini adalah: 1.
Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya konflik dan faktor pemicu membesarnya konflik dalam program penataan obyek wisata Pantai Parangtritis Kabupaten Bantul;
2.
Bagaimana proses penyelesaian konflik melalui mekanisme alternatif penyelesaian konflik dalam program penataan obyek wisata Pantai Parangtritis Kabupaten Bantul.
22
1.3
BATASAN MASALAH Untuk membatasi ruang lingkup penelitian agar tidak terlalu luas sehingga
memperjelas fokus pembahasan, maka penulis perlu merumuskan terlebih dahulu batasan masalah dalam penelitian ini. Adapun permasalahan dalam penelitian ini dibatasi pada konflik yang timbul sebagai akibat dari kebijakan Peraturan Bupati Bantul No. 24 tahun 2006, tanggal 16 September 2006 tentang Penataan Kegiatan Usaha di Kawasan Pantai Parangendog sampai dengan Pantai Parangkusumo Desa Parangritis Kecamatan Kretek Kabupaten Bantul, yang selanjutnya diperbaharui dengan Peraturan Bupati Bantul No 26 Tahun 2006, tanggal 4 Oktober 2006 tentang Perubahan Peraturan Bupati Bantul Nomor 24 Tahun 2006 Tentang Penataan Kegiatan Usaha di Kawasan Pantai Parangendog sampai dengan Pantai Parangkusumo Desa Parangtritis Kecamatan Kretek Kabupaten Bantul. Dengan demikian, konflik yang terjadi sebelum itu atau yang berkenaan dengan permasalahan lain selain kebijakan penataan kawasan wisata Pantai Parangtritis tidak termasuk dalam lingkup pembahasan penelitian ini.
1.4
TUJUAN PENELITIAN Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor
penyebab munculnya konflik serta mekanisme alternatif penyelesaian konflik dalam program penataan kawasan obyek wisata Pantai Parangtritis Kabupaten Bantul. Adapun tujuan penelitian secara lebih spesifik adalah sebagai berikut: 1.
Mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konflik dan pemicu membesarnya konflik dalam program penataan obyek wisata Pantai Parangtritis Kabupaten Bantul;
23
2.
Mengkaji proses penyelesaian konflik melalui mekanisme alternatif penyelesaian konflik dalam program penataan obyek wisata Pantai Parangtritis Kabupaten Bantul.
1.5
MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini pada dasarnya merupakan upaya untuk pembelajaran yang
diharapkan dapat menambah khasanah ilmu khususnya ilmu kependudukan, yang menyangkut penyelesaian konflik kaitannya penataan kawasan obyek wisata pantai dan mewujudkan pembangunan lingkungan pantai yang berkelanjutan. Secara khusus hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat: 1.5.1 Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam hal: 1.
Faktor-faktor penyebab munculnya konflik dan pemicu membesarnya konflik dalam program penataan kawasan obyek wisata pantai Parangtritis Kabupaten Bantul;
2.
Mengetahui proses penyelesian konflik melalui mekanisme alternatif penyelesaian konflik dalam program penataan obyek wisata pantai Parangtritis Kabupaten Bantul.
3.
Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi bagi peneliti-peneliti lain yang akan mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai bidang yang sama, atau yang akan mengadakan penelitian sejenis.
24
1.5.2 Manfaat Praktis Diharapkan hasil penelitian ini nantinya dapat digunakan sebagai acuan bagi pemerintah daerah dalam upaya penyelesaian konflik dalam kasus penataan obyek wisata Pantai Parangtritis.
1.6
KEASLIAN PENELITIAN Studi mengenai penyelesaian konflik, terutama yang terkait dengan
pengelolaan sumber daya alam, telah banyak dilakukan. Penelitian ini mengacu pada penelitian-penelitian yang telah dilakukan selama ini seperti terlihat pada Tabel 1.1. Berdasarkan uraian-uraian yang terdapat dalam tabel tersebut, jelas bahwa penelitian ini yaitu alternatif penyelesaian konflik dalam kasus penataan kawasan obyek wisata pantai Parangtritis Kabupaten Bantul adalah berbeda dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan selama ini. Dengan demikian, menurut pengetahuan penulis sejauh ini belum ada penelitian-penelitian lain yang sama baik dalam ruang lingkup, waktu pengamatan, pendekatan serta obyek penelitiannya.
2525
No (1) 1
Peneliti (Tahun) (2) Hensel, et al. (2006).
Judul
Tujuan
Metode
(3) Conflict Management of Riparian Disputes,
(4) Menggali hubungan antara kelangkaan sumber daya air dan konflik antar negara bagian
(5) Penelitian deskriptif bersifat kualitatif
2
Putut Handoko, 2007
Mediasi Konflik Penanganan Kerusakan Pantai (Studi Kasus Penanganan Abrasi Pantai Kuta Bali),
Studi ini dilakukan untuk menelusuri dinamika konflik dan aspek-aspek lingkungan dapat diakomodasikan dalam mediasi.
Penelitian deskriptif bersifat kualitatif
3
Goltsman, M., Horner, J., Pavlov, G., Squintani, F., 2008
Mediation, Arbitration and Negotiation
Membandingkan tiga proses penyelesaian konflik yaitu negosiasi, mediasi, dan arbitrase.
Metode kualitatif dan kuantitatif
Kesimpulan
Perbedaan
(7) Variabel dalam penelitian ini adalah kelangkaan sumber daya air dan institusi negara-negara bagian, sementara konflik yang terjadi adalah konflik militer. Konflik disebabkan perbedaan kepentingan, nilai Ruang lingkup penelitian ini adalah permasalahan serta pemahaman abrasi dan pola abrasi di pantai Kuta, penanganannya. dengan fokus penelitian Mediasi dilakukan melalui serangkaian pada rekonstruksi proses pertemuan informal dan formal, melibatkan mediasi konflik yang mediator Kesepakatan final menetapkan penanganan abrasi menggunakan revetment dan terjadi. sand nourishment yang bersifat ramah lingkungan/tidak berdampak buruk pada pantai. (6) Kelangkaan sumber daya air yang lebih besar akan meningkatkan kemungkinan konflik dan upaya pihak ketiga penyelesaian damai, sementara institusi mengurangi konflik militer dan meningkatkan efektivitas upaya penyelesaian damai.
Dalam negosiasi, kedua belah pihak terlibat dalam tatap muka dan berkomunikasi, mediasi , para pihak berkomunikasi dengan pihak ketiga yang netral yang membuat rekomendasi yang tidak mengikat. Dalam arbitrase, kedua pihak berkomitmen untuk sesuai dengan rekomendasi pihak ketiga. Kami menemukan bahwa negosiasi unmediated melakukan serta mediasi jika dan hanya jika tingkat konflik antara pihak-pihak dalam skala yang rendah.
Titik berat penelitian ini adalah studi perbandingan tiga proses penyelesaian konflik yaitu mediasi, arbitrase, dan negosiasi.
26
4
Kuncaraningru m, 2006
Diskresi Dalam Mekanisme Konflik (Studi Kasus Konflik Batas Wilayah di Blok Sekip UGM, Antara Pemerintah Desa Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman dan Pemerintah Desa Sinduadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman
Mengetahui bagaimana diskresi dalam manajemen konflik batas wilayah antara desa Caturtunggal, Kecmatan Depok dan desa Sinduadi, Kecamatan Mlati Kabupaten Sleman
Metode Kualitatif
Diskresi sangat menentukan dalam proses penyelesaian konflik di Blok Sekip UGM antara pemerintah desa Caturtunggal dan pemerintah desa Sinduadi, dan ketiadaan aturan formal yang tegas mengatur tentang cara penanganan konflik ternyata tidak menjadi kendala dalam proses penyelesaian jika ada pejabat birokrasi berani mengambil diskresi dan lebih beroreintasi kepada kepentingan public
Objek penelitian ini adalah diskresi, sementara sifat konflik adalah konflik tata administrasi pemerintahan yang relatif lebih mudah ditangani