BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Disability (kekhususan) merupakan konsekuensi fungsional dari kerusakan bagian tubuh, atau kondisi yang menggambarkan adanya disfungsi atau berkurangnya suatu fungsi secara objektif dapat diukur/ dilihat. Selain itu disability juga dapat diartikan sebagai ketidakmampuan dalam melakukan suatu aktifitas dan berkurangnya kapasitas dalam melakukan kegiatan dalam cara tertentu (Mangunsong, 2009). Kekhususan ini dapat menghasilkan perilaku-perilaku yang berbeda. Berdasarkan keunikan dari setiap kekhususan, maka karakteristik psikologis dan pendekatannya juga berbeda-beda. Salah satu kekhususan dan keunikan ada pada penyandang tuna netra. Tuna netra adalah hal yang dapat dilihat dengan jelas oleh semua orang, hal ini membuat penyandang tuna netra biasanya mengundang simpati banyak orang, yang mungkin simpati itu di sesalkan oleh tuna netra itu sendiri, seperti contoh negara memberikan kemudahan-kemudahan tertentu kepada mereka. Misalnya memberikan potongan khusus pajak terhadap pendapatan dan kekayaan mereka (Semium, 2006). Sikap umum kaum tuna netra terhadap diri mereka sendiripun sangat berbedabeda, sebagian besar merupakan cerminan dari orang-orang penting yang ada di lingkungannnya. Karena sering kali di dalam keluarga terjadi penolakan secara langsung maupun tersembunyi, maka orang tuna netra juga akan kurang mampu menyesuaikan diri dengan orang-orang yang dapat melihat. Walaupun tuna netra sulit dalam menyesuaikan diri dengan orang lain, tidak berarti bahwa tuna netra
mempunyai gangguan-gangguan tingkah laku yang parah seperti pada sebagian besar tuna netra (Semium, 2006). WHO/SEARO, Strategic Plan for Vision 2020: The Right to Sight, 2000 mengatakan bahwa penyandang tuna netra di Indonesia pada tahun 2000 mencapai tingkat prevelansi 0,7 dengan jumlah populasi 76,800,000 dengan klasifikasi tunanetra Cataract Refractive error, Childhood blindness, Corneal blindness. Hasil sensus penduduk tahun 2010 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), menjelaskan jumlah penyandang tuna netra di wilayah DKI Jakarta yang dibedakan menjadi beberapa klasifikasi tingkat kesulitan melihat. Berdasarkan klasifikasi tingkat kesulitan melihatnya adalah tidak sulit 7.631.889 jiwa, sedikit sulit 270.390 jiwa, parah 16.372, dan yang tidak ditanyakan sebanyak 82.764, jumlah keseluruhan 8.001.415 jiwa (BPS, 2008). Dilihat sudut pandang pendidikan dan rehabilitasi, siswa tuna netra adalah mereka yang penglihatannya terganggu sehingga menghalangi dirinya untuk berfungsi dalam pendidikan dan aktifitas rehabilitatif tanpa menggunakan alat khusus, material khusus, latihan khusus dan atau bantuan lain (Mangunsong, 2009). Batasan mengenai tuna netra menurut Cartwright dan Cartwright, (1984 dalam Mangunsong, 2009) meliputi batasan personal dimana penyandang tuna netra sering dianggap sebagai orang yang tidak berdaya dan takut untuk berdekatan dengan orang lain sehingga mengakibatkan mereka kurang nyaman untuk bergaul dengan orang lain. Kemudian batasan sosiologis Scott, (1984 dalam Mangunsong, 2009) mengatakan bahwa suatu batasan yang didasarkan pada pandangan sosiologis yaitu ketidakmampuan dari penyandang tuna netra merupakan peran sosial yang dipelajari. Berbagai pola tingkah laku yang merupakan ciri dari penderita tuna netra adalah/ merupakan hal yang bukan dibawa sejak lahir melainkan lebih karena diperoleh
melalui suatu proses belajar, sedangkan batasan yang digunakan untuk tujuan pendidikan meliputi 2 pandangan. Menurut Kauffman dan Hallahan, (2006 dalam Mangunsong, 2009) 2 kelompok gangguan penglihatan yaitu siswa yang tergolong ganguan akademis (educationally blind), mencakup siswa yang tidak bisa menggunakan penglihatannya lagi untuk tujuan belajar huruf awas/cetak sehingga diberikan kesempatan lain belajar melalui visual sense (sensori lain diluar penglihatan), dan juga siswa yang melihat sebagian/kurang awas (the partially sighted/low vision), mencakup siswa yang penglihatannya masih cukup, diantara 20/70-20/200, atau mereka yang mempunyai ketajaman normal tapi medan pandangannya kurang dari 20 derajat. Penyebab dan jenis kerusakan penglihatan bisa terjadi sejak masa pranatal, sebelum anak dilahirkan, pada proses kelahiran ataupun pasca lahir. Kerusakan atau kehilangan penglihataan jarang bisa terjadi pada usia belasan; kalaupun terjadi biasanya karena luka terbentur benda keras, bola, kecelakaan kendaraan, dan lain-lain. Kerusakan penglihatan sejak lahir disebut congenital blindness, yang dapat disebabkan oleh bermacam penyebab, seperti keturunan, infeksi (misalnya campak jerman), yang bisa ditularkan oleh ibu saat janin masih dalam kandungan (Mangunsong, 2009, p.57). Menurut Hewart, (2000 dalam Mangunsong, 2009), anak yang buta sejak lahir secara alamiah memiliki persepsi tentang dunia yang jelas berbeda dengan anak yang kehilangan penglihatannya pada usia 12 tahun, dimana anak yang pertama akan memiliki latar belakang proses belajar melalui pendengaran, perabaan, dan juga indra non-visual lainnya, tentunya berbeda dengan anak yang kedua, dimana anak kedua akan menggunakan pengalaman visualnya yang dapat digambarkan secara luas, dan memori visualnya dapat membantu dalam pendidikan anak tersebut. Pada saat yang
sama bagaimanapun kebutuhan akan dukungan emosional dan penerimaannya akan lebih besar daripada anak yang buta sejak lahir yang tidak perlu melakukan penyesuaian mendadak karena penglihatannya yang hilang. Hallahan & Kauffman, (2006 Mangunsong, 2009) mengatakan bahwa hilangnya fungsi penglihatan dapat membatasi seseorang karena alat utama untuk memperoleh informasi dari lingkungan tidak ada, yang lebih sulit kebanyakan pengalaman-pengalaman yang didapatkan di kelas itu biasanya bersifat visual. Namun para ahli setuju bahwa anak yang mengalami gangguan penglihatan harus dididik dengan cara seperti anak-anak umum. Hal ini penting dalam mempertimbangkan proses belajar bagi yang mengalami gangguan penglihatan ialah bahwa mereka akan mengandalkan indra-indra lain dalam memperoleh informasi dan berbagai pengalaman. Penyandang tuna netra mempunyai hak dan kesempatan yang sama terutama bagi mereka yang berusia sekolah. Mereka berhak mendapatkan pendidikan yang sama seperti yang tertulis dalam UUD pasal 31 yang menyatakan bahwa “setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan”. Hal ini menunjukkan bahwa mereka penyandang tuna netra berhak mendapatkan pendidikan sama seperti yang lainnya. Tetapi dalam kenyataannya masih sedikit sekolah-sekolah umum yang mau menerima siswa-siswi tuna netra. Sehingga pendidikan terpadu saat ini diarahkan menuju Pendidikan Inklusi sebagai wadah yang ideal yang diharapkan dapat mengakomodasikan pendidikan bagi semua anak terutama anak-anak yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus, yang selama ini masih belum terpenuhi haknya untuk memperoleh pendidikan layaknya anak-anak lain.
Remaja penyandang tuna netra bukanlah remaja yang harus dipandang sebelah mata, banyak orang yang berfikir kalau penyandang tuna netra itu tidak mempunyai masa depan ataupun tidak bisa melakukan aktifitas dengan benar, tetapi sebenarnya remaja penyandang tuna netra masih bisa berkarya dan juga mereka mempunyai keinginan untuk selalu berusaha dengan baik, dengan dukungan dari orang tua, keyakinan dalam diri untuk melakukan semua pekerjaan dengan baik, dan bisa menentukan pilihan mereka sendiri, sehingga mereka akan menjadi orang-orang yang berhasil karena mereka memiliki sikap yang pantang menyerah. Penyandang tuna netra memang tidak bisa melihat atau yang dimaksud panca indera penglihatan mereka tidak berfungsi, tetapi disini tidak menjadi suatu masalah karena ketika mata mereka tidak bisa melihat tetapi mereka masih memiliki tangan, kaki, tubuh yang lengkap dan juga fungsi kognitif mereka masih berjalan seperti anak normal lainnya, sehingga ketika mereka bersekolah mereka dapat meraih prestasi akademik yang baik. Prestasi akademik yang dicapai oleh remaja tuna netra berkaitan dengan berbagai faktor, salah satu faktor tersebut adalah faktor determinasi diri yang bertindak sesuai dengan pilihannya sendiri. Wehmeyer, (1992 dalam Thoma & Getzel, 2005) mendefinisikan determinasi diri sebagai penyebab utama di dalam kehidupan seseorang untuk bebas membuat pilihan dan keputusan tentang kualitas hidup seseorang, bebas dari pengaruh yang tidak semestinya atau gangguan. Sebelum determinasi diri terbentuk terdapat kebutuhan dasar yang harus terpenuhi oleh mereka yang pada akhirnya dapat membuat mereka mempunyai determinasi diri, yaitu kebebasan individu dalam melakukan sesuatu, hubungannya atau relasinya dengan sesama dan bergantung dengan yang lain, kemampuan individu untuk menunjukan apa yang dia bisa (Deci dan Ryan, 2002).
Hal ini menjadi pertanyaan mengenai pembentukan faktor determinasi pada remaja tuna netra, yang mungkin kesulitan dalam memenuhi tiga faktor determinasi diri tersebut. Dengan keterbatasan remaja tuna netra dalam menggunakan fungsi penglihatannya, mereka kesulitan dalam hal berinteraksi dengan sesama karena mereka tidak bisa melihat posisi lawan bicara, selain itu mereka memang mempunyai kondisi fisik yang normal seperti anak pada umumnya, akan tetapi ketika mereka ingin menunjukkan kemampuan yang mereka bisa, mungkin mereka bisa menunjukannya tetapi menjadi terbatas karena mereka kurang berani dalam melakukan sesuatu yang disebabkan ruang gerak mereka terbatas. Maka hal ini perlu dilihat, bahwa dengan keterbatasan yang mereka miliki apakah mereka mempunyai determinasi diri. Salah satu hal yang dapat membuat mereka menjadi berhasil dan membuat mereka menjadi kuat adalah determinasi diri, yang merupakan bagian dari suatu pandangan motivasi instrinsik, dimana Deci, Koestner, & Ryan dalam (Santrock, 2009) mengatakan bahwa “siswa ingin meyakini bahwa mereka melakukan sesuatu atas keinginannya sendiri, tidak karena keberhasilan atau penghargaan eksternal.” Secara umum, siswa yang memiliki perasaan determinasi diri lebih termotivasi secara instrinsik untuk terlibat dalam aktivitas sekolah, cenderung mencapai level yang lebih tinggi, dan dapat menyelesaikan pendidikannya (Hardre & Reeve; Bolt, & Cai; Shernoff at al.; Vansteenkiste, Lens & Deci dalam Ormrod, 2008). Pada remaja tuna netra yang mempunyai keterbatasan apakah ketika mereka mempunyai determinasi diri mereka akan terlibat dalam aktifitas sekolah, dan cenderung menyelesaikan pendidikannya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jones, Arrastia, & Newbill (2009) menunjukan bahwa motivasi intrinsik memfasilitasi belajar dan prestasi. Hasil
penelitian ini menemukan korelasi antara motivasi intrinsik siswa dalam pemahaman mereka dan dalam mengingat materi. Determinasi diri diidentifikasi oleh peneliti sebagai komponen penting dari perencanaan transisi yang efektif bagi siswa penyandang cacat. Bahkan, penelitian ini telah menunjukkan bahwa komponen determinasi diri berkorelasi dengan peningkatan kualitas hidup untuk penyandang cacat, terutama dalam hal peningkatan hidup dalam bermasyarakat, dan juga pendidikan (Martin, et al dalam Jones, Arrastia, Newbill, 2009). Hasil wawancara yang sudah dilakukan terhadap dua remaja tuna netra yang memiliki prestasi yang baik, membuktikan bahwa mereka mempunyai determinasi diri saat belajar sehingga berpengaruh terhadap prestasi akademik mereka. Mereka mempunyai determinasi diri, dan belajar bukanlah suatu keterpaksaan atau hal yang wajib bagi mereka, melainkan mereka melakukannya karena memang mereka mau mengerjakannya dan ada tujuan yang ingin dicapai, dan juga mereka mengatakan bahwa setiap yang mereka lakukan adalah pilihan bebas mereka sendiri. Mengenai keterbatasan yang dimiliki oleh remaja tuna netra untuk memenuhi basic needs dari determinasi diri juga bukan menjadi halangan karena mereka akan selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik, dan berusaha mencapai tujuan yang ingin mereka dapatkan. Berdasarkan fenomena-fenomena di atas maka determinasi diri merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar. Hal ini diperkuat dalam penelitian Thoma & Getzel (2005) yang membuktikan bahwa korelasi antara keberhasilan pasca sekolah menengah dengan determinasi diri adalah salah satu keterampilan yang penting, terutama mengingat bahwa peneliti lain telah dikaitkan pendidikan pasca sekolah dengan pekerjaan untuk individu yang cacat. Hasil penelitian di atas, menyebutkan bahwa determinasi diri merupakan salah
satu kunci penting untuk keberhasilan mereka di perguruan tinggi. Masing-masing dari mereka ditemukan terdapat banyak keterampilan yang merupakan salah satu komponen dari kunci determinasi diri, sebagaimana yang digariskan oleh Wehmeyer, (1992 dalam Thoma dan Getzel, 2005) termasuk kemampuan memecahkan masalah, belajar tentang diri sendiri (dan kecacatan seseorang), penetapan tujuan, dan managemen diri. Kekurangan dalam fungsi penglihatan bukanlah sesuatu yang harus dijadikan penghambat, kekurangan tidak harus menjadi suatu beban yang harus selalu di pikirkan, tetapi jadikanlah kekurangan sebagai dasar pondasi untuk kita bisa meraih kesuksesan, remaja penyandang tuna netra masih mempunyai masa depan yang cerah, mereka mempunyai hak yang sama untuk belajar seperti anak-anak normal pada umumnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di U.S anak-anak penyandang disability yang mempunyai determinasi diri dapat meraih keberhasilan, oleh karena itu peneliti tertarik untuk melihat pengaruh determinasi diri
terhadap prestasi
akademik remaja tuna netra di SLB A Pembia Jakarta. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah yang diajukan sebagai berikut: Apakah ada pengaruh yang signifikan determinasi diri terhadap prestasi akademik remaja tuna netra SLB - A Pembina Jakarta?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penelitian ini ditujukan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh determinasi diri terhadap prestasi akademik remaja tuna netra SLB - A Pembina Jakarta.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Secara teoritis Secara teoritis penelitian ini dapat memberikan konstribusi sebagai berikut: a. Membuktikan bahwa determinasi diri merupakan aspek penting dalam prestasi akademik remaja tuna netra. b. Memberikan sumbangan pemikiran untuk mendukung hasil-hasil penelitian orang lain tentang subjek dan kondisi yang berbeda. 1.4.2 Secara praktis Secara praktis penelitian memberikan konstribusi sebagai berikut: a.
Bagi peneliti, sebagai dasar latihan untuk melatih daya nalar dan mengasah
intelektualitas peneliti dan juga sebagai bukti dan implimentasi dari ilmu yang diterima di bangku kuliah, sekaligus untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana strata satu (S1). b.
Bagi sekolah, hasil penelitian ini berguna untuk memberikan sumbangsih
informasi seberapa berpengaruhnya determinasi diri terhadap prestasi akademik remaja tuna netra. c. Bagi pendidik, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan pengetahuan bagi pendidik dalam memotivasi para siswa agar dapat belajar dengan baik.