1
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah Pembentukan lembaga Kejaksaan Republik Indonesia (Kejaksaan RI)
merupakan perwujudan dari konsekuensi Indonesia sebagai negara hukum yang memegang prinsip perlindungan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law). Kejaksaan RI sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme.1 Oleh karena itu Kejaksaan RI sebagai lembaga yang menaungi para jaksa yang merupakan bagian dari aparat penegak hukum, sudah seharusnya dapat memberikan jaminan bagi para jaksa dalam menjalankan tugasnya secara baik sehingga dapat memenuhi hak setiap orang atas pengakuan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Kejaksaaan RI mempunyai kedudukan yang sentral dan peranan yang strategis di dalam suatu negara hukum karena jaksa menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan, sehingga keberadaannya dalam kehidupan masyarakat harus mampu mengemban tugas penegakan hukum.2 Jaksa diartikan menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagai pejabat fungsional 1 2
Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Yesmil Anwar, et al, 2011, Sistem Peradilan Pidana Konsep, Komponen, dan Pelaksanaannya dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Widya Padjajaran, Bandung, hlm. 190
2
yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Sedangkan tugas dan wewenang jaksa menurut Pasal 30 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dibagi menjadi 3 (tiga) bidang yaitu bidang pidana, bidang perdata dan tata usaha negara (DATUN), serta bidang ketertiban dan ketentraman umum. Dilihat dari sifatnya, tugas dan wewenang jaksa antara lain represif yaitu terkait sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system), preventif berupa penyuluhan serta administratif sehubungan dengan tindakan dalam upaya mengatur.3 Dalam tugas dan wewenangnyanya yang bersifat represif atau penindakan tersebut, salah satu kewenangan yang khas dimiliki jaksa selain penuntutan adalah wewenang melaksanakan putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap atau biasa disebut sebagai wewenang eksekutorial. Dengan kata lain disamping sebagai penyandang dominus litis (pengendali proses perkara) yang menentukan layak atau tidaknya suatu perkara pidana untuk dilanjutkan ke tahap penuntutan, jaksa juga merupakan satu-satunya pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Wewenang eksekutorial tersebut dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tercantum dalam beberapa aturan sebagai berikut :
3
Marwan Effendy, 2005, Kejaksaan RI : Posisi dan Fungsinya dari Prespektif Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 6
3
1. Pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP, “jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. 2. Pasal 270 KUHAP, “pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu Panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya”. 3. Pasal 278 KUHAP, “jaksa mengirimkan tembusan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan yang ditandatanganinya olehnya, kepada lembaga pemasyarakatan dan terpidana kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama dan panitera mencatatnya dalam register pengawasan dan pengamatan”. Eksekusi menarik untuk dibahas karena untuk membangun kesadaran hukum bahwa suatu proses pidana tidak berhenti pada saat persidangan selesai melainkan harus sampai dilaksanakan eksekusi secara tuntas oleh jaksa. Oleh karena itu diharapkan masyarakat serta pihak terkait menyadari tentang pentingnya karena pada praktiknya jaksa berpotensi mengalami permasalahan terkait pelaksanaannya khususnya pada eksekusi pidana penjara. Pidana penjara merupakan salah satu bentuk pidana pokok dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) selain pidana mati, kurungan, denda dan tutupan. Jika dibandingkan dengan eksekusi pidana mati, maka pidana penjara terkesan kurang menarik untuk dibahas, padahal eksekusi pidana penjara perlu mendapatkan perhatian serius karena dalam pengaturannya tidak ada standar
4
operasional dan prosedur pelaksanaannya, khususnya mengenai perlindungan keamanan jaksa selaku eksekutor serta keluarganya pada saat menjalankan eksekusi. Hal tersebut berbeda dengan eksekusi pidana mati yang pelaksanaannya diatur tersendiri melalui Undang-Undang Nomor 2 PNPS Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang dijalankan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer serta Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati. Permasalahan yang tejadi dalam eksekusi pidana penjara adalah adanya perlawanan dari terpidana maupun pendukung terpidana untuk menolak eksekusi pidana penjara, terlebih bagi terpidana yang sebelumnya tidak ditahan.
Hal
tersebut dikarenakan pada prinsipnya pidana penjara berkaitan erat dengan pidana perampasan kemerdekaan yang dapat memberikan cap jahat dan dapat menurunkan derajat serta harga diri manusia.4 Hal ini dapat menjadi beban yang enggan dijalani karena merupakan pintu gerbang dari kehidupan yang bebas kepada pembatasan-pembatasan akibat dari pidana penjara. Perlawanan atas eksekusi tersebut dapat mempersulit atau bahkan mengancam keamanan dari jaksa selaku eksekutor itu sendiri. Sebagai contoh eksekusi perkara mantan Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polri, Komisaris Jendral (KOMJEN) Susno Duadji, yang menolak untuk dieksekusi atas putusan 3 (tiga) tahun dan 6 (enam) bulan penjara. Ketika tim jaksa eksekutor akan melakukan eksekusi, yang bersangkutan menolak dan
4
Dwidja Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, hlm. 72
5
meminta perlindungan kepada Markas Kepolisian Daerah (POLDA) Jawa Barat sehingga tim jaksa eksekutor gagal melakukan ekseskusi. 5 Contoh kasus lainnya adalah eksekusi perkara korupsi Bupati Kepulauan Aru, Teddy Tengko yang berdasarkan putusan kasasi Nomor : 161 K/PID.SUS/2012 tanggal 10 April 2012 menghukum 4 (empat) tahun penjara dan denda Rp. 500 juta serta uang pengganti sebanyak Rp. 5,3 milyar. Namun demikian, yang bersangkutan selalu berkelit dari panggilan jaksa untuk dieksekusi sehingga pada tanggal 12 Desember 2012 tim jaksa eksekutor berhasil menangkapnya di Hotel Menteng 1, Jakarta Pusat. Ketika terpidana hendak diterbangkan ke Ambon, tim jaksa eksekutor mendapatkan perlawanan dari puluhan preman pendukung Teddy di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta sehingga tim jaksa eksekutor gagal mengeksekusi. Teddy berhasil melarikan diri kemudian menyewa pesawat pribadi untuk kembali ke Kepulauan Aru dan kembali aktif sebagai Bupati. Walaupun gagal, tim jaksa eksekutor tetap mengupayakan eksekusi dengan cara memantau keberadaan Teddy, namun tim jaksa eksekutor kembali mendapatkan perlawanan dari pengawal pribadi Teddy . Saat itu terjadi pengeroyokan terhadap Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Dobo, Muhammad Kasat dan jaksa Hirras Silaban sehingga mengalami luka parah dan dirawat di ruang Intensive Care Unit (ICU) rumah sakit.6 Berdasarkan contoh kasus tersebut di atas, terlihat bahwa tugas jaksa selaku eksekutor memiliki posisi rawan terhadap ancaman keamanan baik fisik maupun psikis yang bisa datang dari pihak manapun pada saat melakukan 5 6
Didik Farkhan Alisyahdi, 2015, Rekor di Korps Adhyaksa, Tata Kata Warna, Jakarta, hlm. 79 Ibid, hlm. 84.
6
tugasnya. Oleh karena itu, diperlukan perlindungan hak atas rasa aman bagi jaksa yang merupakan salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) yang wajib dipenuhi oleh negara untuk menjamin terlaksananya tugas eksekusi pidana penjara dengan baik. Namun, harus disadari bahwa di dalam konsep HAM terdapat hubungan subordinasi antara yang menguasai yaitu jaksa dengan masyarakat yang dikuasai, sehingga menempatkan jaksa seolah-olah selalu sebagai pelaku pelanggaran HAM tanpa memperhatikan bahwa ada hak-hak asasi dalam diri jaksa tersebut. HAM bagi jaksa harus dilindungi karena selain untuk menjamin pelaksanaan penegakan hukum oleh jaksa, juga untuk memenuhi hak-hak kodrati jaksa sebagai manusia. HAM adalah hak fundamental yang tidak dapat dicabut karena melekat sebagai seorang manusia. Jack Donnely sebagaimana dikutip oleh Risa Nisak, mendefinisikan hak asasi sebagai hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata, umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh karena sebagai manusia masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan sematamata berdasarkan martabatnya sebagai manusia dan hak itu merupakan pemberian dari Tuhan Yang Maha Esa.7 Menurut John Locke sebagaimana dikutip oleh Risa Nisak, HAM adalah hak yang dibawa sejak lahir yang secara kodrati melekat pada setiap manusia dan tidak dapat diganggu gugat. John Locke menjelaskan bahwa HAM merupakan hak kodrat pada diri manusia yang merupakan anugerah atau pemberian langsung dari Tuhan Yang Maha Esa.8
7
Risa Nisak, “Definisi HAM, Pengertian HAM atau Hak Asasi Manusia (Human Rights)”, www.academia.edu/9253288/Definisi_HAM_Pengertian_HAM_atau_Hak_Asasi_Manusia_Hum an_Rights diakses tanggal 22 September 2015 8 Ibid.
7
Sedangkan menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, HAM merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan, harkat dan martabat manusia. Pengaturan HAM juga terdapat dalam Pasal 28 huruf J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945), yang menyebutkan bahwa : a.
Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (Ayat 1);
b.
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis (Ayat 2). Dengan demikian konsep HAM di Indonesia kurang lebih dapat diartikan
sebagai hak dasar yang melekat pada manusia secara kodrati tetapi sifatnya tidak mutlak, melainkan ada pembatasan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
8
Salah satu HAM yang diatur secara tegas dan rinci dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dan berkaitan dengan tugas jaksa selaku eksekutor adalah hak atas rasa aman, yang disebutkan pada Bagian Keenam antara lain : 1. Pasal 29 ayat (1), “setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya”. Dengan demikian perlindungan tersebut berlaku bagi setiap orang tanpa terkecuali termasuk bagi jaksa dan keluarganya. 2. Pasal 30, “setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu”. Dalam hal ini jaksa selaku eksekutor memiliki tugas untuk melaksanakan eksekusi pidana penjara, sehingga hak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan diperlukan agar jaksa merasa aman dan bebas untuk melaksanakan eksekusi pidana penjara. Pasal 28 G ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 juga menyebutkan bahwa, “setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Pemenuhan perlindungan hak atas rasa aman tersebut diperlukan oleh jaksa dalam menjalankan fungsinya sebagai eksekutor pidana penjara karena rawan mendapatkan perlawanan maupun intervensi yang dapat menimbulkan rasa takut dan mengancam keamanan terhadap jaksa itu sendiri maupun keluarganya sehingga dapat menjadi kendala untuk melaksanakan penegakan hukum. Oleh
9
karena itu diperlukan adanya aturan konkrit sebagai bentuk perlindungan sehingga memiliki kepastian dan kekuatan hukum untuk dilaksanakan. Berdasarkan uraian tersebut, diperlukan penelitian dan pembahasan lebih lanjut mengenai perlindungan hak atas rasa aman bagi jaksa dalam eksekusi pidana penjara khususnya tentang landasan apa saja yang menjadi pertimbangan perlunya perlindungan tersebut serta perlindungan seperti apa yang diharapkan mampu melindungi keamanan jaksa dalam menjalankan eksekusi pidana penjara demi mendukung kinerja jaksa dalam upaya penegakan hukum di Indonesia. B.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, permasalahan yang
dikaji dalam penelitian ini adalah : 1.
Apa landasan filosofis, sosiologis dan yuridis perlunya perlindungan hak atas rasa aman bagi jaksa dalam eksekusi pidana penjara?
2.
Bagaimanakah seharusnya pengaturan perlindungan hak atas rasa aman bagi jaksa dalam eksekusi pidana penjara di masa mendatang?
C.
Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti melalui penelitian ini ada dua hal,
yaitu : 1.
Menelisik landasan filosofis, sosiologis dan yuridis perlunya perlindungan hak atas rasa aman bagi jaksa dalam eksekusi pidana penjara.
2.
Mengkaji pengaturan mengenai perlindungan hak atas rasa aman bagi jaksa dalam eksekusi pidana penjara di masa mendatang.
10
D.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat (kegunaan), baik itu
bagi ilmu pengetahuan maupun bagi pihak lain yang terkait, khususnya jaksa dan pembentuk peraturan terkait perlindungan hak atas rasa aman bagi jaksa dalam eksekusi pidana penjara. Adapun penjelasan lebih lanjutnya sebagai berikut: 1.
Kegunaan Akademis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi (sumbangsih)
yang
sebesar-besarnya
bagi
pengembangan
ilmu
pengetahuan hukum dan HAM pada umumnya, khususnya hak atas rasa aman bagi jaksa dalam menjalankan tugasnya sebagai eksekutor pidana penjara. 2.
Kegunaan Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat (kegunaan) bagi para pihak yang berkepentingan (stake holders) berkaitan dengan perlindungan keamanan pada saat proses eksekusi pidana penjara antara lain : a. Jaksa, selaku eksekutor sebagai pihak yang perlu mendapatkan perlindungan hak atas rasa aman dalam melaksanakan eksekusi pidana penjara; b. Pembentuk peraturan perundang-undangan terkait, diharapkan dapat mengetahui landasan filosofis, sosiologis dan yuridis diperlukannya perlindungan hak atas rasa aman bagi jaksa dalam eksekusi pidana
11
penjara dan dapat mengkaji kembali aturan yang selama ini berlaku apakah sudah memberikan perlindungan tersebut. E.
Keaslian Penelitian Berdasarkan pengamatan peneliti di Perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, belum ada penelitian yang membahas mengenai perlindungan hak atas rasa aman bagi jaksa dalam eksekusi pidana penjara. Namun demikian, peneliti menemukan penelitian sejenis pada lingkup strata I (skripsi) di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, sebagai berikut : 1.
Kendala Jaksa Dalam Melaksanakan Putusan Pengadilan Terhadap Terpidana Yang Sebelumnya Tidak Dilakukan Penahanan (Studi di Kejaksaan Negeri Malang)9. Adapun rumusan masalah yang terdapat dalam penelitian ini yaitu: a. Bagaimana prosedur jaksa dalam melaksanaan putusan pengadilan terhadap terpidana yang sebelumnya tidak dilakukan penahanan? b. Apa kendala jaksa dalam melaksanakan putusan pengadilan terhadap terpidana yang sebelumnya tidak dilakukan penahanan? c. Bagaimana upaya jaksa mengatasi kendala dalam melaksanakan putusan pengadilan terhadap terpidana yang sebelumnya tidak dilakukan penahanan?
9
Ahmad Fahrudin, 2014, “Kendala Jaksa Dalam Melaksanakan Putusan Pengadilan Terhadap Terpidana Yang Sebelumnya Tidak Dilakukan Penahanan (Studi di Kejaksaan Negeri Malang)”, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang.
12
Adapun kesimpulannya yaitu: a. Secara garis besar kendala jaksa dalam melaksanakan putusan pengadilan dibagi menjadi empat yaitu, putusan Pengadilan Negeri Malang yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap namun belum diserahkan ke Kejaksaan Negeri Malang, pemantauan terhadap terpidana yang sering tidak diketahui keberadaannya, setelah dilakukan pemanggilan ternyata terpidana sulit diketahui, serta terpidana kabur. b. Upaya jaksa dalam menghadapi kendala dalam melaksanakan putusan pengadilan terhadap terpidana yang sebelumnya tidak dilakukan penahanan dibagi menjadi dua yaitu upaya yang berupa preventif dan upaya represif. Upaya preventif yang dilakukan yaitu, kejaksaan Negeri Malang melakukan koordinasi dengan Pengadilan Negeri Malang terkait dengan pengiriman salinan putusan ke Kejaksaan Negeri Malang, kejaksaan Negeri Malang berkoordinasi dengan pihak Kepolisian untuk melakukan pengawasan terhadap terpidana, serta meminta perlindungan kepada keluarga terdekat terpidana. Sedangkan upaya represif yaitu, jaksa tetap melaksanakan putusan pengadilan meskipun salinan putusan belum sampai di Kejaksaan Negeri Malang, melakukan upaya penangkapan paksa jika sudah tiga kali terpidana tidak
memenuhi
panggilan
jaksa
untuk
dilaksanakan
putusan
pengadilan, serta menerbitkan terpidana sebagai Dafar Pencarian Orang (DPO).
13
Perbedaan dengan penelitian yang akan peneliti lakukan, yaitu: a.
Penelitian tidak hanya membahas mengenai permasalahan atau kendala yang dihadapi jaksa dalam eksekusi terhadap terpidana yang sebelumnya
tidak
ditahan,
tetapi
juga
membahas
mengenai
perlindungan hak atas rasa aman bagi jaksa pada tahap eksekusi pidana penjara; b.
Peneliti mengkaji konsep pengaturan perlindungan hak atas rasa aman bagi
jaksa
dalam
eksekusi
pidana
penjara
ke
depan
(ius
constituendum). 2.
Kendala Jaksa Dalam Melaksanakan Putusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap (Studi di Kejaksaan Negeri Surakarta)10. Adapun rumusan masalah yang terdapat dalam penelitian ini yaitu: a.
Bagaimanakah kendala yang dialami oleh jaksa dalam melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap di Kejaksaan Negeri Surakarta ?
b.
Bagaimanakah solusi yang dilakukan oleh jaksa dalam melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap di Kejaksaan Negeri Surakarta ?
10
Faisal Adhyaksa, 2011, “Kendala Jaksa Dalam Melaksanakan Putusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap (Studi di Kejaksaan Negeri Surakarta)”, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang.
14
Adapun kesimpulannya yaitu: a.
Ada beberapa kendala yang dialami oleh jaksa dalam melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap di Kejaksaan Negeri Surakarta antara lain, terpidana berkelit dan menggunakan berbagai alasan sehingga eksekusi tidak segera dilaksanakan. Kendala lainnya adalah fasilitas yang tidak memadai sehingga tidak dimungkinkannya dilakukan eksekusi.
b.
Diperlukan adanya aturan hukum yang lebih luas, adanya kerja sama yang dilakukan oleh Kejaksaan dengan instansi hukum pemerintah lainnya dan dilaksanakannya sistem administrasi untuk proses pemeriksaan dan eksekusi yang cepat dan sederhana.
Perbedaan dengan penelitian yang akan peneliti lakukan, yaitu: a.
Penelitian tidak hanya membahas mengenai permasalahan atau kendala yang dihadapi jaksa dalam melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap, tetapi juga membahas mengenai perlindungan hak atas rasa aman bagi jaksa, kemudian dikhususkan lagi pada tahap eksekusi pidana penjara;
b.
Peneliti mengkaji konsep pengaturan perlindungan hak atas rasa aman bagi
jaksa
dalam
constituendum).
eksekusi
pidana
penjara
ke
depan
(ius