1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan negara yang meletakkan hukum sebagai supremasi kekuasaan tertinggi dalam sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Perkembangan zaman pada saat ini mengalami kemajuan yang sangat pesat tidak hanya di dunia industri maupun perdagangan tetapi juga dalam perkembangan ilmu hukum. Perkembangan hukum pada masa kini terbukti dengan mulai d irevisi dan diperbaharuinya beberapa peraturan perundang-undangan yang sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Sebagaimana ungkapan usang dalam bahasa Belanda yang menyatakan bahwa “Het recht hinkt achter de feiten aan”, bahwa hukum itu tertinggal dari peristiwanya . Walaupun ungkapan itu sesungguhnya tidak terlalu tepat sebab hukum bukanlah orang, melainkan sebuah sistem
1
yang terdiri dari sub-sub sistem. Konsekuensinya
apabila terjadi kekurangan pada satu sub sistem, sub sistem lain yang akan menutupinya. A dapun hukum yang dimaksud disini adalah hukum tertulis atau undang-undang. Perubahan hukum ini harus melalui prosedur. Dengan demikian, perubahan hukum untuk dapat disesuaikan de ngan kondisi masyarakat tidak dapat setiap kali dilakukan. Hal ini berimplikasi pada tata tertib masyarakat yang hanya dapat
tercapai 1
apabila
hukum
tersebut
bersifat
dinamis
dan
mengikuti
Sudikno M ertokusumo (I), 2003, M engenal Hukum Suatu Pengantar , Liberty, Yogyakarta, Hlm 103
2
perkembangan kebutuhan masyarakat. Sebagaimana fungsinya sebagai ala t perekayasa sosial, produk hukum harus mampu mengatur hal-hal yang memang dibutuhkan oleh masyarakat karena hukum dibentuk untuk menjamin terciptanya ketertiban dalam masyarakat. M enurut M ochtar Kusumaatmadja dalam M ertokusumo tujuan pokok dan 2
pertama dari hukum adalah ketertiban . Oleh sebab itu peraturan perundangundangan yang sudah tidak relevan harus segera direvisi dan diperbaharui agar sejalan dengan perkembangan masyarakat, serta dapat memenuhi kebutuhan masyarakat pada masa kini. M enurut G ustav R adbruch (1879-1949), seorang ahli hukum Jerman mengatakan, “Hukum adalah kehendak untuk bersikap adil.” (Rech ist Wille zur Gerechttigkeit). Hukum positif ada untuk mempromosikan nilai-nilai moral, khususnya keadilan. Lainnya menurut teori etis, hukum sema ta-mata berujuan keadilan. Isi hukum ditentukan oleh keyakinan kita yang etis tentang adil dan tidak. Oleh karena itu hukum bertujuan merealisir atau mewujudkan keadilan.
3
Salah satu tujuan hukum adalah memberikan manfaat bagi masyarakat, olehnya itu hukum harus dinamis dan sesuai dengan perkembangan pada masa kini agar tercapai tujuan yang dimaksud yaitu bermanfaat bagi masyarakat dalam rangka penciptaan ketertiban dan tatanan kehidupan masyarakat yang lebih baik.
2 3
Ibid, Hlm 80 Ibid, Hlm 77
3
Dalam perkembangannya, hukum didesak untuk lebih dapat menjangkau dinamika kehidupan dalam bebangsa dan bernegara. Pun demikian juga dalam bidang hukum perdata khususnya terkait dengan bangunan hukum berkontrak. Bangunan hukum
berkontrak didirikan diatas landasan yang bersifat
heteronom yang dikeluarkan negara maupun otonom yang didasarkan atas kesepakatan para pihak. Kesepakatan para pihak menjadi salah satu elemen penting sebab jika melihat ketentuan Pasal 1338 ayat (1), (2), (3) KUHPerdata, menyebut bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya. Perjanjian atau kontrak tersebut tidak dapat ditarik kembali, selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Kontrak harus dilaksanakan dengan penuh itikad baik. Sebelumnya penting untuk dikemukakan, meskipun beberapa sarjana hukum menempatkan kontrak dalam makna yang lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian tertulis saja,
4
namun dalam kesempatan ini perkataan kontrak dan
perjanjian ditempatkan dalam arti yang sama.
4
5
Subekti mengatakan, bahwa perjanjian dan pe rsetujuan mempunyai arti yang sama, sedang perkataan kontrak lebih sempit, karena ditujukan kepada perjanjian tertulis. Lihat Subekti, 2002 Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, Hlm . 1. Budiono Kususmo Hamidjojo menyatakan bahwa ciri kontrak yang utama adalah bahwa dia merupakan suatu tulisan yang memuat pe rjanjian dari para pihak, lengkap dengan ketentuan -ketentuan dan syarat-syarat, serta yang berfungsi sebagai alat bukti tentang adanya (seperangkat) kewajiban. Selanjutnya dikemukakan bahwa kontrak adalah perjanjian yang dirumuskan secara tertulis yang melahirkan bukti tentang adanya kewajiban yang timbal balik. Lihat Budiono Kusumohamidjojo, 2001, Panduan Untuk M erangcang Kontrak, Grasindo, Jakarta Hlm 6-7 5 Lihat pula Ahmadi M iru, 2011, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak , Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hlm 2
4
Kekuatan mengikat kontrak sebagai undang-undang menentukan bahwa para pihak harus tunduk dan patuh pada ketentuan kontrak yang mereka buat sebagaimana tunduk dan dan patuh pada undang-undang. A pabila ada pihak yang melanggar ketentuan dan persyaratan di dalam kontrak dapat dikenakan sanksi 6
seperti juga pelanggaran terhadap undang-undang. Kekuatan kontrak selayaknya undang-undang ini dikenal dengan asas pacta sunt servanda.
7
M enurut Grotius A dagium ”pacta sunt servanda” adalah salah satu asas hukum yang terpenting. Penggunaan asas ini tidak tak terbatas karena setiap pelaksanaan perjanjian harus didasarkan pada asas keadilan seperti tel ah ditentukan dalam Pasal 1338 ayat (3) K itab Undang-Undang H ukum Perdata yang 8
selanjutnya disebut KUHPerdata. Asas ini menegaskan bahwa janji itu mengikat. Dengan adanya janji timbul kemauan bagai para pihak untuk saling berprestasi, serta ada kemauan untuk saling mengikatkan diri. Kewajiban kontraktual tersebut menjadi sumber bagi para pihak untuk secara bebas menentukan kehendak tersebut dengan segala akibat hukumnya. Berdasarkan kehendak tersebut, para pihak secara bebas mempertemukan kehendak masing -masing. Kehendak para pihak inilah yang menjadi dasar kontrak. Terjadinya perb uatan hukum itu ditentukan berdasarkan kata sepakat.
6
9
Johanes Gunawan, 2003, “Reorientasi Hukum Kontrak D i Indonesia ”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 22, No 6, Hlm 48 7 Lengkapnya adalah pacta servanda sunt. M akna asalnya adalah bahwa kata sepakat itu tidak perlu dirumuskan dalam bentuk sumpah, perbuatan, formalitas tertentu agar perjanjian itu mengikat. Lihat Sudikno M ertokusumo (I), Op Cit, Hlm 112 8 Henry P. Pangabean, 2010, Penyalahgunaan Keadaan (M isbruik Van Omstandigheden) Sebagai Alasan (baru) Pembatalan Perjanjian , Liberty, Yogyakata, Hlm 19 9 Ibid, Hlm 29
5
Dengan adanya konsensus dari para pihak itu, maka kesepakatan itu menimbulkan kekuatan perjanjian sebagaimana layaknya undang -undang (pacta sunt servanda). Apa yang dinyatakan seseorang dalam suatu hubu ngan menjadi hukum bagi mereka. Asas inilah yang menjadi kekuatan mengikatnya perjanjian. Ini bukan kewajiban m oral, tetapi juga kewajiban hukum yang pelaksanaannya wajib ditaati.
10
Selain itu konsensus atau kesepakatan adalah cikal bakal lahirnya sebuah kontrak ataupun perjanjian. Dengan asas konsensualisme, perjanjian dikatakan telah lahir jika ada kata sepakat atau persesuaian kehendak dari para pihak yang membuat perjanjian tersebut. O lehnya itu dapat dikatakan bahwa tidak ada kata sepakat, tidak ada kontrak.
M enurut
Subekti,
asas
konsensualisme
memiliki
arti
penting
untuk
melahirkan perjanjian. Dengan dicapainya kata sepakat mengenai hal-hal pokok dari perjanjian tersebut, perjanjian sudah lahir. Dengan perkataan lain, perjanjian sudah lahir pada saat terjadinya konsensus atau kata sepakat.
11
Diambilnya asas konsensualisme tersebut yang berarti perkataan yang mengikat dan menurut Eggens hal itu adalah tuntutan kesusilaan ( zedelijk eis). Asas konsensualisme tersebut menurut Eggens merupakan puncak peningkatan martabat manusia yang disim pulkan dari pepatah “ een m an een man, een woord een word.” Pepatah itu menyatakan bahwa diletakkannya kepercayaan pada
10 11
Ibid. Subekti, loc.cit, Hlm 1
6
perkataannya, orang itu ditingkatkan martabatnya yang tertinggi sebagai manusia.
12
Berdasarkan asas konsensualisme itu, dianut paham bahwa sumber kewajiban kontraktual adalah bertemunya kehendak (convergence of wills) atau konsensus 13
para pihak yang membuat kontrak. .
M enurut Hartkamp dan Tillema dalam K hairandy, ciri khas yang paling penting dari suatu kontrak adalah adanya kesepakatan bersama para pihak. Kesepakatan bersama ini bukan hanya merupakan karakteristik dalam pembuatan kontrak, tetapi hal itu penting sebagai suatu niat yang diungk apkan kepada pihak lain. Di samping itu, sangat m ungkin suatu kontrak yang sah dibuat tanpa adanya kesepakatan bersama.
14
Bahwa tidak seorang pun terikat pada kontrak sepanjang tidak dilakukan atas dasar pilihan bebas untuk melakukan sesuatu. Dari sinilah k emudian dianut dogma bahwa kewajiban dalam kontrak hanya dapat diciptakan oleh maksud atau kehendak para pihak. Kontrak secara eksklusif merupakan kehendak bebas dari para pihak yang membuat perjanjian. Dari situ doktrin mendasar yang melekat pada kebebabsan berkontrak adalah bahwa kontrak itu dilahirkan ex nihilo, yakni
12
Ibid., Hlm 6. Ridwan Khairandy (I), 2013, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan (Bagian Pertama), FH UII Press, Yogyakarta, Hlm 90. 14 Arthur S. Hartkamp and M arianne M .M . Tillema, 1993, Contract Law in the Netherlands Deventer, Kluwer. Dikutip oleh Ridwan Khairandy (II), 2004, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia, Jakarta, Hlm 33. 13
7
kontrak sebagai perwujudan kebebasan kehendak (free will) para pihak yang membuat kontrak.
15
Dengan demikian, kontrak harus didasarkan pada sepakat para pihak yang mengadakan kontrak atau perjanjian. Kata sepakat harus dibentuk berdasarkan kehendak bebas dan suasana yang bebas pula. Kesepakatan dalam pembentukan perjanjian seharusnya merupakan kesepakatan yang “bulat” dan merupakan kesepakatan yang saling menguntungkan para pihak. Sehingga kesepakatan yang “bulat” adalah hasil bertemunya kehendak bebas, posisi yang seimbang, dan dalam suasana yang merdeka seperti terlihat pada gambar dibawah ini.
Gambar 1. Kesepakatan Bulat Secara historis Johanes Gunawan mengemukakan bahwa asas kebebasan berkontrak meliputi lima macam kebebasan yaitu:
15 16
Ibid, Hlm 84 – 85. Johannes Gunawan, Op. Cit, Hlm 47
16
8
a) b) c) d) e)
Kebebasan Kebebasan Kebebasan Kebebasan Kebebasan
para pihak untuk menutup atau tidak menutup kontrak menentukan dengan siapa para pihak akan menutup kontrak, para pihak menentukan bentuk kontrak, para pihak menentukan isi kontrak, para pihak menentukan cara penutupan kontrak,
Asas kebebasan berkontrak yang terkandung dalam Pasal 1338 KU HPerdata memang memberikan kebebasan bagi para pihak untuk membuat jenis dan isi kontrak apa saja, namun kebebasan itu bukanlah tanpa batasan sama sekali. Kebebasan berkontrak memang sering menimbulkan ketidak adilan dikarenakan membutuhkan posisi tawar (bargaining position) yang berim bang dari para pihak yang menutup sebuah perjanjian. Seringkali posisi tawar yang tid ak seim bang menyebabkan pihak dengan posisi tawar yang lebih tinggi mendiktekan kemauannya kepada pihak lawan janjinya. Selain itu juga didalam praktik, seringkali kesepakatan merupakan hasil paksaan, kekeliruan, atau penipuan. Kesepakatan memang terjadi, tetapi di dalam kesepakatan misalnya mengandung unsur penipuan atau paksaan. Kesepakatan yang demikian mengandung cacat kehendak.
17
Cacat kehendak (wilsgebreken atau defect of consent) adalah kecacatan dalam pembentukan kata sepakat dalam suatu kontrak atau perjanjian. Cacat kehendak ini adalah tidak sempurnanya kata sepakat. A pabila kesepakatan mengandung cacat kehendak, memang tampak adanya kata sepakat, tetapi kata sepakat itu
17
Ridwan Khairandy (I), Op Cit., Hlm 217.
9
dibentuk tidak berdasar kehendak bebas. Cacat kehendak ini terjadi pada periode atau fase prakontrak.
18
Sehubungan dengan hal itu Pasal 1321 K UHPerdata menyebutkan , “tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya karena paksaan atau penipuan”. Dengan demikian faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya cacat kehendak sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1321 K UHPerdata tersebut meliputi:kesesatan atau kekhilafan ( dwaling); paksaan (dwang atau bedreiging); dan penipuan (bedrog). Faktor penyebab terjadinya cacat kehendak yang disebutkan oleh Pasal 1321 KUHPerdata tersebut dinamakan faktor cacat kehendak yang klasik. Selain faktor cacat kehendak yang dimaksud Pasal 1321 KUHPerdata tersebut, seiring dengan perkembangan hukum perdata di dalam praktik peradilan sebagaima na tercermin dari yurisprudensi dikenal pula bentuk faktor penyebab terjadinya cacat kehendak yang keempat, yakni penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden atau undue influence). Penyalahgunaan keadaan sebagai faktor penyebab cacat kehendak ini belum diatur secara jelas dalam KUHP perdata. Penyalahgunaan keadaaan ini merupakan doktrin yang justru bukan berasal dari civil law, seperti hukum Belanda yang menjadi kiblat hukum perdata di Indonesia. Penyalahgunaan keadaan adalah merupakan doktrin/ajaran yang muncul pertama kali di Inggris sebagai negara dengan sistem hukum yang berlandaskan pada comm on law system pada abad ke15 dengan istilah undue influence. Doktrin ini sebenarnya merupakan perluasan 18
Ibid.
10
dari power of equity bagi pengadilan untuk mengintervensi suatu perjanjian yang di dalamnya terdapat suatu penyalahgunaan posisi yang tidak seimbang diantara para pihak. Ajaran ini mulai berkembang secara signifikan dan digunakan sebagai dasar pertimbangan hakim di Inggris pada abad ke -19.
19
Pada perkembangannya doktrin ini dikembangkan oleh hakim di pengadilan dalam perkara-perkara yang didalamnya terdapat kedudukan para pihak yang bersengketa tidak setara, dalam artian salah satu pihak memiliki kuasa yang lebih besar terhadap pihak lain. Penyalahgunaa n keadaan terjadi manakala seseorang di dalam suatu perjanjian dipengaruhi oleh suatu hal yang menghalanginya untuk melakukan penilaian (judgment) yang bebas dari pihak lainnya, sehingga ia tidak dapat mengambil putusan yang independen. Van Dunne menyatakan bahwa penyalahgunaan keadaan tersebut dapat terjadi karena keunggulan ekonom i maupun karena kejiwaan.
20
Pihak yang
memiliki kedudukan khusus itu mengambil keuntungan secara tidak pantas dari pihak yang lainnya yang lebih lemah. Hal tersebut dilakukan tanp a adanya paksaan atau penipuan. Di sini terdapat ketidakseimbangan hubungan proses terjadinya kontrak. Ajaran penyalahgunaan keadaan ini seyogyanya hadir guna memastikan bahwa berbagai keunggulan para pihak baik secara ekonomis maupun psikologis atas pihak lain tidak disalahgunakan.
19
Ridwan Khairandy (I), Op Cit, Hlm 227 J.M. van Dunne dan Gr van der Burgt, “Penyalahgunaan Keadaan”, M ateri Kursus Hukum Perikatan bagian III, terjemahan Sudikno M ertokusumo, Ke rjasama Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Belanda dan Proyek Hukum Perdata Ind onesia, Semarang 22 Agustus, Hlm 16 - 27. 20
11
Setelah itu hakim -hakim di pengadilan Belanda pun turut menggunakan ajaran penyalahgunaan keadaan (misbruik van om standigheden) sebagai dasar pertimbangan oleh hakim untuk memutus batalnya suatu perjanjian di pengadilan dan kemudian berkembang menjadi yurisprudensi. Penyalahgunaan keadaan (misbruik van om standigheden atau undue influence) merupakan bentuk cacat kehendak yang baru dalam sistem hukum kontrak hukum Belanda. Kini doktrin penyalahgunaan keadaan ini di dalam Buku III P asal 44 ayat 1/4 Nederland Burgerlijk Wetboek (biasa disebut sebagai N iuwe BW, BW Baru) yang menegaskan bahwa “suatu perjanjian (perbuatan hukum) dapat dibatalkan jika adanya ancaman (bedreigeng), tipuan (bedrog), dan penyalahgunaan keadaan (misbruik van o mstandigheden).
21
Di Indonesia, ajaran penyalahgunaan keadaan ini belum ada pengaturannya dalam KUHPerdata, tetapi ajaran ini telah diterima dalam yurisprudensi sebagai bentuk cacat kehendak yang keempat. Pencantuman penyalahgunaan keadaan dalam Niuwe BW ini diprediksi akan turut mewarnai perkembangan hukum perjanjian di Indonesia. Penyalahgunaan keadaan ini dapat mengakibatkan suatu perjanjian tidak mempunyai kekuatan hukum, kalau perjanjian itu diadakan dengan bertolak dari suatu penyebab yang bertentangan dengan moralitas yang baik dan penggunaan keadaan yang mengakibatkan pihak lawan tidak dapat mengambil putusan yang bersifat independen.
21
Lihat 3;44 lid 1 NBW . Dalam bahasa Belanda berbunyi: “Een rechtshandeling is vernietigbaar, wanner zij door bedreiging, door berdog of door m isbruik van omstandigheden is tostandgekomen.”
12
Batalnya suatu perjanjian karena penyalahgunaan keadaan sama sekali tidak mutlak adanya satu taraf tertentu atau satu bentuk tertentu dari hal yang merugikan itu. Dirugikannya salah satu dari pihak-pihak hanya merupakan salah satu dari faktor-faktor yang di samping semua keterangan-keterangan lain seperti sifat dari keadaan-keadaan yang digunakan cara berlangsungnya pengg unaan itu dan hubungan antara pihak-pihak menentukan apakah perjanjian itu bertolak satu sebab yang bertentangan dengan moralitas yang baik.
22
Dalam perkembangan hukum khususnya dalam praktik peradilan di Indonesia adanya penyalahgunaan keadaan dapat dijadikan alasan untuk membatalkan suatu perjanjian, meskipun hal ini secara tegas tidak diatur dalam KUHPerdata, khususnya dalam Pasal-Pasal yang m enyebutkan tentang alasan-alasan kebatalan yaitu Pasal 1322 tentang kekhilafan, Pasal 1323 tentang paksaan dan Pasal 1328 tentang penipuan, sebagai alasan pembatalan perjanjian. Berkembangnya ajaran penyalahgunaan keadaan di Indonesia telah didukung oleh beberapa putusan hakim melalui lembaga peradilan yang memberikan pertimbangan dalam suatu sengketa perdata mengenai perjanjian antara penggugat dengan tergugat di mana berdasarkan fakta -fakta yang terungkap di persidangan perjanjian tersebut telah dinilai tidak adil, sehingga merugikan pihak yang posisinya lemah. Salah satu kasus yang menjadi sorotan publik adalah Putusan M ahkamah Agung Republik Indonesia N p. 3431 K/Pdt/1985 pada tanggal 4 M aret 1987 dalam kasus yang terkenal dengan sebutan “kasus buku pen siun.” Kasus ini 22
Ridwan Khairandy (I), Op Cit, Hlm 84-85
13
membahas klausula dalam perjanjian pinjam meminjam yang berisi bahwa si berutang, seorang purnawirawan, dikenai bunga sebesar 10 % setiap bulannya dan juga harus menyerahkan buku pembayaran dana pensiun miliknya sebagai jaminan hutang. Purnawirawan
tersebut digugat ke pengadilan karena tidak
mampu membayar hutang beserta bunganya. Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi sama -sama mengabulkan gugatan tersebut, namun sebaliknya M ahkamah Agung Republik Indonesia dalam Putusan Kasasi membatalkan putusan Pengadilan Negeri sekaligus Pengadilan Tinggi tersebut. Hakim M ahkamah Agung dalam pertimbangannya berpendapat bahwa perjanjian pinjam meminjam dengan bunga 10 %, maupun klausula penyerahan buku pembayaran dana pensiun sebagai “jaminan” terse but adalah bertentangan dengan kepatutan dan keadilan, mengingat purnawirawan tersebut tidak berpenghasilan lain. Dari pertim bangan tersebut dapatlah terlihat bahwa secara tidak langsung, pengadilan pada tingkatan kasasi telah menerapkan ajaran penyalahgun aan keadaan, baik mengenai unsur kerugian materiil maupun mengenai unsur penyalahgunaan keadaan yang terjadi. Ajaran mengenai penyalahgunaan keadaan tersebut merupakan hal yang relatif baru di Indonesia, sehingga di dalam penerapannya masih menimbulkan sejumlah permasalahan, misalnya menyangkut keberadaan ajaran tersebut, karena penyalahgunaan keadaan ini memang belum diatur dalam KUHPerdata. Selain itu
14
masalah yang timbul kemudian juga berkaitan dengan standar untuk menentukan adanya penyalahgunaan keadaan tersebut. Permasalahan lain yang timbul dalam penerapan ajaran penyalahgunaan keadaan tersebut juga adalah bagaimana atau apa tolok ukurnya seseorang telah melakukan penyalahgunaan keadaan tersebut. Ukuran itulah yang sebenarnya dapat menjadi dasar bagi hakim dalam menerapkan doktrin tersebut. Di dalam undang-undang di Belanda sendiri belum ada tolok ukurnya, sehingga dalam keadaan demikian hakim harus membangun tolok ukur tersebut dalam putusan putusannya. B. Rumusan Masalah
Selanjutnya sehubungan dengan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka disini penulis membuat suatu rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apakah indikator atau tolok ukur adanya penyalahgunaan keadaan dalam sebuah perjanjian? 2. Bagaimana
pertimbangan
yang
digunakan
hakim
dalam
memutus
perjanjian yang mengandung unsur penyalahgunaan keadaan?
C. Tujuan Penelitian
1.
Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai tolok ukur atau indikator dalam menilai sebuah perjanjian yang mengandung unsur penyalahgunaan keadaan.
15
2.
Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai landasan hukum serta pertimbangan yang digunakan oleh hakim dalam memutus perjanjian yang didalamnya terdapat unsur penyalahgunaan keadaan.
D. Manfaat Penelitian
1. Sescara teoritis, hasil penelitian ini dapat digunakan seba gai masukan bagi penyusunan pembaruan KU HPerdata atau Hukum K ontrak Nasional di Indonesia, khususnya berkaitan dengan konsep penyalahgunaan keadaan dalam perjanjian.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat pula digunakan para hakim untuk membangun
serta
menentukan
tolok
ukur
dan
indikasi
adanya
penyalahgunaan keadaan.
E. Keaslian Penelitian
Dalam penelusuran kepustakaan yang dilakukan, penulis menemukan skripsi yang juga mengangkat tema tentang penyalahgunaan keadaan yaitu skripsi yang 23
disusun oleh Nabiyla Risfa Izzati . Pembahasan Penelitian ini tertuju pada perjanjian kerja penyelesaian
yang mengandung
hubungan
industrial
unsur penyalahgunaan
atas
kontrak
yang
keadaan serta
mengandung
unsur
penyalahgunaan keadaan berikut pencegahan terjadinya penyalahgunaa n keadaan dalam pembuatan perjanjian kerja.
23
Nabiyla Risfa Izzati, 2014, “Analisis Yuridis Penyalahgunaan Keadaan (Undue Influence) Dalam PerjanjianKe rja Anta ra Pengusaha dan Pekerja” , Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah M ada Yogyakarta.
16
Selanjutnya ada pula tesis terkait dengan penyalahgunaan keadaan yang ditulis oleh Yuni A khadiyah.
24
Pembahasan Penelitian ini membahas beberapa
rumusan masalah yakni: a). Bagaimana putusan Pengadilan negeri Yogya karta terhadap masalah yang mengandung unsur penyalahgunaan keadaan?, b). Bagaimana kewenangan dan tanggung jawab notaris terhadap akta yang mengandung unsur penyelahgunaan keadaan, serta c). Apa tolok ukur yang dijadikan pedoman hakim dalam mengambil kepu tusan yang berkaitan dengan akta notaris tentang perjanjian yang mengandung unsur penyalahgunaan keadaan? Dalam pembahasannya tesis ini juga tidak membangun tolok ukur yang digunakan untuk menilai sebuah perjanjian yang mengandung unsur penyalahgunaan keadaan.
Penelitian
dalam
penulisan
tesis
ini
lebih
membahas
tentang
kewenangan dan tanggung jawab notaris terhadap akta yang mengandung unsur penyelahgunaan keadaan. Pada bagian tolok ukur, tesis ini hanya membahas tolok ukur penyalahgunaan keadaan secara abstrak dengan mengurai bahwa tolok ukur penyaahgunaan adalah adanya keunggulan secara psikologis maupun ekonomis tanpa membangun tolok ukur atau ukuran secara konkrit.
Penulis memfokuskan penelitian mengenai tolok ukur atau indikator sebuah perjanjian
mengan dung
pertimbangan hakim
unsur
penyalahgunaan
keadaan
serta
bagaimana
dalam memutus perjanjian yang mengandung unsur
penyalahgunaan keadaan dalam perjanjian.
24
Yuni Akhadiyah, 2007, “Tolok ukur yang dijadikan pedoman hakim dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan akta notaris tentang perjanji an yang mengandung unsur penyalahgunaah keadaan (undue influence)” , Tesis, M agister Kenotariatan Universitas Gadjah M ada.
17
Penelitian ini dilakukan dengan itikad baik dan menjunjung tinggi orisinalitas sesuai dengan etika akademik dengan tidak melakukan plagiasi ataupun kejahatan akademik lainnya. Apabila diluar pengetahuan penulis ternyata telah ada penelitian serupa, maka diharapkan penelitian ini dapat melengkapi penelitian sebelumnya serta menambah literatur dan khasana h ilmu hukum khususnya dibidang hukum perdata.