8
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara kepulauan (Archipelagic State) yang terdiri dari pulau besar dan kecil yang menurut perhitungan terakhir berjumlah 17.508 buah. Luas wilayah Republik Indonesia termasuk ZEE kurang lebih 7,7 juta km², wilayah daratan 1,9 juta km, serta lautan sebesar 5,5 juta km. 1 Wilayah NKRI secara geografis merupakan negara yang sangat strategis, karena berada pada posisi silang antara dua benua yaitu benua Asia dan benua Australia serta dua samudra yaitu samudra Pasifik dan samudra Hindia. Letak wilayah yang strategis tersebut membuat Indonesia menjadi negara yang sangat sibuk karena menjadi area perlintasan bagi negaranegara lain yang hendak menuju suatu tempat ke tempat lainnya, sehingga sering terjadi berbagai pelanggaran baik terhadap ketentuan hukum nasional maupun hukum internasional dalam pelaksanaan hak lintas bagi negara asing tersebut yang memerlukan penyelesaian lebih lanjut. Indonesia merupakan bagian dari masyarakat internasional, maka dalam pemanfaatan wilayah udara nasional, bangsa Indonesia berkewajiban pula untuk memanfaatkannya
bagi
kepentingan
masyarakat
dunia
lainnya
dengan
memperhatikan ketentuan-ketentuan menurut hukum internasional. Penataan ruang wilayah udara Indonesia pada saat ini belum dapat dilaksanakan secara 1
Ermaya Suradinata, Hukum Dasar Geopolitik dan Geostrategi dalam Kerangka Keutuhan NKRI,Suara Bebas, Jakarta, 2005, hal.35.
Universitas Sumatera Utara
9
optimal, sehingga masih terdapat ruang-ruang udara yang belum dikelola secara optimal. Terdapat pengaturan tata ruang wilayah udara Indonesia yang belum sesuai dengan ketentuan hukum, khususnya ketentuan hukum internasional. Di samping itu penataan ruang wilayah udara Indonesia belum seluruhnya didasarkan pada aspek kepentingan pertahanan negara dan hanya mengutamakan aspek keselamatan penerbangan, sehingga belum mampu mendukung pelaksanaan tugas TNI AU secara optimal. Hakekatnya wilayah kedaulatan negara meliputi ruang udara di atas wilayah negara yang bersangkutan. Dalam suatu dalil hukum Romawi dikenal ungkapan "cujus est so/um, ejus est usque ad coelum". Dalil tersebut mengandung pengertian bahwa barang siapa memiliki sebidang tanah, maka berarti pula memiliki segala sesuatu yang berada di atas permukaan tanah tersebut sampai dengan ke langit dan segala sesuatu yang berada di dalam tanah.2 Sebelum abad 19, perhatian negara terhadap wilayah ini praktis belum ada sama sekali. Namun setelah berhasil ditemukan pesawat terbang oleh Wright bersaudara, ruang udara karenanya mulai diperhitungkan dalam masyarakat lnternasional.' Kedaulatan yang menjadi ciri utama dari suatu negara masih menjadi suatu menjadi isu sensitif. Meskipun telah terjadi pergeseran dari national security ke human security namun isu perbetasan masih menjadi topik utama dalam dunia internasional. Hal ini dikarenakan masih seringnya terjadi konflik masalah kedaulatan suatu negara. Ada dua jenis kedaulatan yang berkaitan dengan negara: kedaulatan internal berarti penyelenggaraan otoritas di dalam sebuah wilayah 2
Agus Pramono, Wilayah Kedaulatan Negara Atas Ruang Udara Dalam Perspektif Hukum Internasional, Jurnal, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2012
Universitas Sumatera Utara
10
tertentu dan terhadap orang-orang tertentu; yang kedua, kedaulatan eksternal meliputi pengakuan dari negara-negara lain sebagai pihak yang sah yang berhak bertindak bebas di dalam urusan-urusan internasional. 3 Kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri hakiki dari negara, di mana negara tersebut berdaulat, tetapi mempunyai batas-batasnya, yaitu ruang berlakunya kekuasaan tertinggi ini dibatasi oleh batas-batas wilayah negara itu, di luar wilayahnya negara tersebut tidak lagi memiliki kekuasaan demikian.4 Kedaulatan suatu negara tidak lagi bersifat mutlak atau absolut, akan tetapi pada batas-batas tertentu harus menghormati kedaulatan negara lain, yang diatur melalui hukum internasional. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan istilah kedaulatan negara bersifat relatif (Relative Sovereignty of State). Dalam konteks hukum internasional, negara yang berdaulat pada hakikatnya harus tunduk dan menghormati hukum internasional, maupun kedaulatan dan integritas wilayah negara lain.5 Berkenaan dengan hal tersebut, kedaulatan tidak dipandang sebagai sesuatu yang bulat dan utuh, melainkan dalam batas-batas tertentu sudah tunduk pada pembatasan-pembatasan yang berupa hukum internasional maupun kedaulatan dari sesama negara lainnya. Dengan demikian suatu negara yang berdaulat tetap saja tunduk pada hukum internasional serta tidak boleh melanggar atau merugikan kedaulatan negara lain. Sehubungan dengan hal tersebut, maka 3 Jill Staens dan Lloyd Pettiford, Hubungan Internasional:Perspektif dan Tema, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, hal. 60. 4 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Buku I Bagian Umum, Bina Cipta, Jakarta, 2010, hal. 7. 5 Suryo Sakti Hadiwijoyo, Perbatasan Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional, Graha Ilmu, Yogyakarta 2011 hal 8.
Universitas Sumatera Utara
11
dapat dikatakan pula bahwa pada masa kini kedaulatan negara merupakan sisa dari kekuasaan yang dimiliki dalam batas-batas yang ditetapkan melalui hukum internasional. Air Defence Identification Zone (ADIZ) merupakan zona bagi keperluan identifikasi dalam sistem pertahanan udara bagi suatu negara, dimana zona tersebut pada umumnya terbentang mulai dari wilayah territorial negara yang bersangkutan hingga mencapai ruang udara di atas laut bebas yang berbatasan dengan negara tersebut, namun penetapan ADIZ yang demikian tidak dimaksudkan untuk memperluas. Kedaulatan negara pemilik ADIZ atas laut bebas yang tecakup dalam ADIZ negara itu. ADIZ dibentuk atas dasar keperluan identifikasi dalam sistem pertahanan udara bagi suatu negara, dimana zona tersebut pada umumnya terbentang mulai dari wilayah territorial negara yang bersangkutan hingga mencapai ruang udara di atas laut bebas yang berbatasan dengan negara tersebut. Zona ini mewajibkan pesawat sipil maupun militer untuk melaporkan rencana penerbangannya. Dasar hukum pendirian ADIZ adalah praktek internasional yang telah menjadi hukum kebiasaan internasional (Customary International Law). Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional menyebutkan Hukum kebiasaan internasional merupakan salah satu sumber hukum yang diakui oleh negara-negara pada umumnya. Hukum kebiasaan berasal dari praktek negara-negara melalui sikap dan tindakan yang diambil terhadap suatu persoalan. Bila suatu negara mengambil suatu kebijakan dan kebijakan tersebut diikuti oleh negara-negara lain dan
Universitas Sumatera Utara
12
dilakukan berkali-kali serta tanpa adanya protes atau tantangan dari pihak lain maka secara berangsur-angsur terbentuklah suatu kebiasaan Sejarah pembentukan ADIZ di level internasional, pertama kali diperkenalkan oleh Amerika Serikat pada bulan Desember 1950, semasa perang Korea. Lima bulan kemudian Canada juga mengeluarkan sejumlah peraturan yang diberi nama Rules for the Security Control of Air Traffic. Sama dengan Amerika Serikat, peraturan yang dikeluarkan oleh Kanada itu maksudnya untuk in the interest of national security, to identify, locate and control aircraft operation within areas designated as “Canadian Air Defence Identification Zone” (CADIZ). Pasal 1 Konvensi Paris 1919 secara tegas menyatakan bahwa negaranegara pihak mengakui bahwa tiap-tiap negara mempunyai kedaulatan penuh dan ekslusif atas ruang udara yang terdapat diatas wilayahnya. sedangkan Konvensi Chicago 1944 mengambil secara integral prinsip yang terdapat dalam Konvensi Paris 1919. Berdasarkan latar belakang di atas merasa tertarik memilih judul Pengaturan Air Defence Identification Zone (ADIZ) Sebagai Perwujudan Kedaulatan Teritorial Ditinjau Dari Konvensi Paris 1919.
B. Perumusan Masalah Dari latar belakang tersebut di atas, maka perumusan masalah sebagai berikut ; 1. Bagaimanakah pengaturan hukum udara internasional? 2. Bagaimanakah Penerapan Air Defence Identification Zone (ADIZ) dalam Konversi Paris 1919
Universitas Sumatera Utara
13
3. Bagaimanakah pengaturan Air Defence Identification Zone (ADIZ) sebagai perwujudan kedaulatan teritorial ditinjau dari Konvensi Paris 1919?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan Secara rinci tujuan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui pengaturan hukum udara internasional. b. Untuk mengetahui Bagaimanakah Penerapan Air Defence Identification Zone (ADIZ) dalam Konversi Paris 1919. c. Untuk mengetahui pengaturan Air Defence Identification Zone (ADIZ) sebagai perwujudan kedaulatan teritorial ditinjau dari Konvensi Paris 1919. 2. Manfaat penulisan Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini dapat dilihat secara teoritis dan secara praktis berikut ini: a. Secara teoretis diharapkan dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan berbagai konsep keilmuan yang pada gilirannya dapat memberikan andil bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum internasional khususnya pengaturan Air Defence Identification Zone (ADIZ) sebagai perwujudan kedaulatan teritorial. b. Secara praktis diharapkan agar tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi para pembuat kebijakan maupun pihak legislatif guna melengkapi peraturan
Universitas Sumatera Utara
14
perundang-undangan yang masih diperlukan terkait dengan pengaturan Air Defence Identification Zone (ADIZ) sebagai perwujudan kedaulatan teritorial.
D. Keaslian Penulisan Berdasarkan penelusuran terhadap judul skripsi yang ada di Perpustakaan, belum ada tulisan skripsi yang mengangkat judul tentang Pengaturan Air Defence Identification Zone (ADIZ) Sebagai Perwujudan Kedaulatan Teritorial Ditinjau Dari Konvensi Paris 1919. Adapun judul-judul yang ada pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang hampir mirip antara lain : Sudirman
H.
Nainggolan
(2014)
Pengaturan
Penerbangan
Sipil
Internasional Menurut Hukum Internasional yang Melintasi Antar Negara. Permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah : 1. Bagaimana open sky policy sebagai instrumen hukum udara? 2. Bagaimana pengaturan hukum internasional tentang kedaulatan negara atas ruang angkasa di wilayahnya 3. Bagaimana pengaturan penerbangan sipil internasional menurut hukum internasional yang melintasi antar negara? Oleh karena itu tulisan ini bukan merupakan hasil penggandaan dari karya tulis orang lain dan keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Universitas Sumatera Utara
15
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Kedaulatan. Kedaulatan dikenal dengan istilah sovereignty berasal dari kata latin superanus yang berarti yang teratas. Negara dikatakan berdaulat karena kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri hakiki negara. Bila dikatakan negara itu berdaulat, dimaksudkan bahwa negara itu mempunyai kekuasaan tertinggi. 6 Kedaualatan merupakan salah satu unsur eksistensi sebuah negara. Dari sudut ilmu Bahasa bahasa kedaulatan dapat diartikan sebagai kekuasaan tertinggi atas pemerintahan Negara, daerah dan sebagainya.7 Dalam konteks ilmu tata Negara Parthiana8 menyatakan bahwa kedaulatan dapat diartikan sebagai kekuasaan yang tertinggi yang mutlak, utuh, bulat dan tidak dapat dibagi-bagi dan oleh karena itu tidak dapat ditempatkan di bawah kekuasaan lain. Wilayah kedaulatan negara mencakup pula ruang udara diatas wilayahnya. Sebelum abad ke-19, perhatian negara terhadap wilayah praktis belum ada sama sekali. Namun, setelah berhasil ditemukannya pesawat terbang oleh Wright, ruang udara mulai diperhitungkan dalam masyarakat internasional.
Pada masa
permulaan perkembangannya, wilayah udara belum begitu penting. Pada masa sekarang pun, konsep kedaulatan negara di ruang udara belum begitu penting. Pesawat-pesawat terbang yang cukup banyak pada waktu itu, yaitu balon-balon udara, bebas diterbangkan dari satu negara dan mendarat di negara lain atau 6
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Putra Abardin, Bandung, 1999, hal. 11. 7 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 2010, hal 188. 8 I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 2003, hal 90.
Universitas Sumatera Utara
16
kemana saja pesawat tadi kebetulan terbawa oleh angin. Misalnya, seorang penerbang bangsa Perancis, yaitu Bleroit yang telah melakukan penerbangan yang menggemparkan pada tahun 1909, Bleroit dari Perancis menyebrang melalui selat Calais untuk kemudian mendarat di Inggris tanpa adanya keberatan apapun dari pihak Inggris.9 Namun, pada waktu meletusnya Perang Dunia I yang melibatkan pula pesawat-pesawat udara dengan teknik yang lebih maju, pesawat ini telah membuat keamanan negara terancam melalui pemboman udara dan spionase oleh musuh. Karena itu pula, negara-negara secara sepihak mulai menerapkan kedaulatannya di ruang udara diatas wilayahnya. Tindakan-tindakan negara ini ditegaskan dalam pasal 1 Konvensi Paris (Convention Relating to the Regulation of Aerial Navigation) yang ditandatangani tanggal 13 Oktober 1919 yang memberikan kepada suatu negara “kedaulatan komplit dan eksklusif” di atas wilayahnya, termasuk perairan teritorialnya. Pasal 1 Konvensi Paris 1919 itu berbunyi sebagai berikut : “The High Contracting States recognise that every Power has complete and exclusive sovereignty over the air space above its territory…and the territorial waters adjacent thereto” Konvensi Paris tahun 1919 ini diganti oleh konvensi Chicago tahun 1944 (Convention on International Civil Aviation) yang diterima secara universal. Dalam Pasal 1 konvensi ini ditegaskan kembali bahwa setiap negara memiliki
9
Ivanrifkyw.blogspot.co.id/2013/01/kedaulatan-teritorial-makalah-hukum.html (diakses tanggal 1 Maret 2016)
Universitas Sumatera Utara
17
juridiksi eksklusif dan wewenang untuk mengontrol ruang udara diatas wilayahnya. Kapal-kapal negara lain, baik pesawat sipil ataupun militer tak punya hak untuk memasuki ruang udara atau mendarat di wilayahnya tanpa persetujuannya. Pada waktu itu, negara-negara telah masuk dalam Perang Dunia II. Dalam masa itu, negara-negara menyaksikan serangan-serangan pesawat udara, salah satunya adalah pemboman nuklir melalui pesawat-pesawat bomber Amerika Serikat atas Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Sejak peristiwa itu, negara-negara menjadi semakin sadar akan peranan ruang udara terhadap setiap pelanggaran terhadapnya, seperti masuknya pesawat udara tanpa izin ke dalam wilayahnya. Hal ini dapat berakibat fatal. Sebagai contoh adalah ditembaknya pesawatpesawat Angkatan Udara Amerika Serikat RB-47 oleh Uni Soviet pada Juli 1960 diaas daerah lepas pantai sejauh 3 mil dari pantai Uni Soviet sebelah utara. Hal yang cukup penting diutarakan disini yaitu diaturnya tentang adanya hak lintas damai (The right of innocent passage) sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Konvensi Chocago 1944. Akan tetapi, ketentuan itu tidak diterima oleh banyak negara, karena sensitifnya wilayah ruang udara yang dari hari ke hari dengan kemajuan teknologi pesawat udara, wilayah udara menjadi sasaran peka dari pihak lawan. Namun demikian, masuknya pesawat asing tanpa izin kedalam wilayah suatu negara tidak selalu bersifat fatal, jika masuknya pesawat asing tersebut disebabkan karena kehabisan bahan bakar, kerusakan mesin, cuaca buruk atau karena adanya pembajakan, maka hal tersebut biasanya tidak membawa masalah keamanan atau pelanggaran yang signifikan.
Universitas Sumatera Utara
18
Di Konverensi Chicago tahun 1944, beberapa negara mengusulkan memasukkan “lima kebebasan udara” (Five Freedoms of The Air) di dalam konvensi. Namun, usul ini ditolak oleh beberapa negara. Oleh sebab itu, ada dua perjanjian
yang
ditandatangani
yaitu International
Air
Services
di
Chocago
Transit
pada
7
Desember
Agreement dan International
1944, Air
Transport Agreement.
2. Kedaulatan Teritorial Indonesia adalah negara kepulauan yang berbatasan dengan sepuluh negara tetangga yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, PapuaNugini, Australia dan Timor Leste.Menurut Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982, maka Indonesiaberhak untuk menetapkan batas-batas terluar beberapa zona maritim seperti LautTeritorial, Zona Tambahan, Zona Ekonomi Ekslusif, dan Landas kontinen. Padasetiap zona terdapat kedaulatan atau hak berdaulat yang penting bagi Indonesia. Itulahyang menyebabkan penetapan zona maritim dan penyelesaian batas maritim denganNegara tetangga mendesak untuk dilakukan.Titik terluar pada Garis Air Rendah pantai yang berbatasan dengan negaratetangga yang berhadapan atau berdampingan yang merupakan titik terluar bersamauntuk penarikan garis pangkal ditetapkan berdasarkan perjanjian kedua negara serta
10
memenuhi ketentuan Hukum Intemasional. Perjanjian
perbatasan dengan negaratetangga tersebut pengesahannya dilakukan dengan Undang-undang.Dasar Hukum Batas Wilayah Laut Internasional. 10
Diansicute.blogspot.co.id/2011/12/kedaulatan-teritorial.html (diakses tanggal 1 Maret
2016)
Universitas Sumatera Utara
19
Mengacu pada ketentuan Konvensi Hukum Laut (UNCLOS III) tahun 1982mengenai
penetapan
batas
wilayah
laut,
dinyatakan
bahwa
batas
kewenanganwilayah laut suatu Negara Pantai diukur dan ditentukan posisinya dari GarisPangkal (baseline). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2002 Tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang dibentuk untuk menindaklanjuti pengesahan Konvensi Perserikatan BangsaBangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982 memuat ketentuan bahwa peta yangmenggambarkan wilayah Perairan Indonesia atau Daftar Koordinat Geografis Titik-titik
Garis
Pangkal
Kepulauan
Indonesia,
diatur
dengan
PeraturanPemerintah.Datum Vertikal Yang DigunakanGaris Pangkal yang digunakan untuk menentukan batas-batas wilayah tautadalah Garis Air Rendah (low water line) dimana Garis Pangkal pada umumnyaditurunkan dari garis pangkal normal yang merupakan garis pertemuan antarapermukaan air rendah dengan garis pantai.Permukaan air rendah adalah Chart Datum yang didefinisikan sebagaidatum vertikal. Walaupun IHO telah merekomendasikan LAT sebagai Chart Datum Intemasional namun belum semua negara menggunakannya. Digunakan model-model Chart Datum ISWL, MLLW (Pantai Barat Amerika), MLLW (Pantai Timur Amerika), IHO, MSWL, Admiralty, LLW, MSLdan MLW dimana dilakukan uji signifikansi terhadap perbedaan nilai-nilaikedudukan vertikal antar model-model Chart Datum terhadap LAT untuk keperluan penetapan batas laut wilayah.
Universitas Sumatera Utara
20
F. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, di mana penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan dipandang dari sisi normatifnya.11 Penelitian hukum normatif yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, yakni dengan melakukan analisis terhadap permasalahan dan penelitian melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum yang mengacu pada norma-norma atau kaidah-kaidah hukum positif yang berlaku. Penelitian hukum pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari
satu
atau
beberapa
gejala
hukum
tertentu
dengan
jalan
menganalisisnya.12 2. Sifat penelitian Untuk menunjang diperolehnya data yang aktual dan akurat, penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif yaitu penelitian yang hanya menggambarkan fakta-fakta tentang objek penelitian baik dalam kerangka sistematisasi maupun sinkronisasi berdasarkan aspek yurisidis, dengan tujuan menjawab permasalahan yang menjadi objek penelitian.13 11
Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Surbaya, 2005, hal. 46. 12 Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi , Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 83 13 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2007, hal. 116-117.
Universitas Sumatera Utara
21
3. Alat pengumpulan data Bahan atau materi yang dipakai dalam skripsi\ ini diperoleh melalui penelitian kepustakaan. Dari hasil penelitian kepustakaan diperoleh data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Dalam konteks ini, data sekunder mempunyai peranan, yakni melalui data sekunder tersebut akan tergambar penerapan peraturan perundang-undangan tentang pengaturan Air Defence Identification Zone (ADIZ) sebagai perwujudan kedaulatan teritorial. Penelitian yuridis normatif lebih menekankan pada data sekunder atau data kepustakaan yang terdiri dari: a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang berkaitan berupa: 1) Charter of The United Nations (Piagam PBB). 2) Chicago Convention of 1944: Convention on International Civil Aviation. 3) International Air Transport Agreement (IATA) 4) Paris Convention of 1919: Convention relating to the Regulation of Aerial navigation. 5) The Outer Space treaty of 1967. 6) Konvensi Chicago 1944 7) Tokyo
Convention
1963:
Convention
on
Offences
and
Certain
OtherActscommitted on Board Aircraft 8) United Nation Convention On the Law of The Sea (UNCLOS)1982 9) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Universitas Sumatera Utara
22
b. Bahan hukum sekunder berupa bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, terdiri dari buku-buku dan tulisan-tulisan ilmiah hasil penelitian para ahli. c. Bahan hukum tertier, berupa bahan yang dapat mendukung bahan hukum primer, terdiri dari kamus hukum, kamus Inggris-Indonesia dan kamus besar Bahasa Indonesia. 4. Teknik pengumpulan data Mengingat penelitian ini adalah penelitian yang bersifat yuridis normatif yang memusatkan perhatian pada data sekunder, maka pengumpulan data utama ditempuh dengan melakukan penelitian kepustakaan dan studi dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penelitian. Dan untuk melengkapi data yang berasal dari studi kepustakaan tersebut. 5. Analisis data Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisa dengan menggunakan metode normatif kualitatif dengan logika induktif yaitu berfikir dengan hal-hal yang khusus menuju hal yang umum dengan menggunakan perangkat interpretasi dan kontruksi hukum yang bersifat komparatif, artinya penelitian ini digolongkan sebagai penelitian normatif yang dilengkapi dengan perbandingan penelitian data-data sekunder. Rangkaian penelitian merupakan halhal yang tidak terlepas dalam hubungan dengan suatu sistem yaitu adanya hubungan yang saling berhubungan untuk mencapai tujuan tertentu, berarti bertolak dari peraturan-peraturan yang ada (hukum positif).
Universitas Sumatera Utara
23
G. Sistematika Penulisan Untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai sistematika penulisan karya ilmiah sesuai dengan aturan baru dalam penulisan karya ilmiah, maka penulis menyiapkan suatu sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 5 (lima) bab, yang apabila disusun dengan sistematis adalah sebagai berikut: BAB I
PENDAHULUAN Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian serta sistematika penulisan
BAB II
PENGATURAN HUKUM UDARA INTERNASIONAL Bab ini berisikan mengenai sejarah dan sumber hukum udara, prinsip-prinsip hukum udara internasional dan tanggung jawab wilayah udara.
BAB III
PENERAPAN AIR DEFENCE IDENTIFICATION ZONE (ADIZ) DALAM KONVERSI PARIS 1919 Bab ini berisikan tentang Air Defence Identification Zone (ADIZ), status Air Defence Identification Zone (ADIZ) menurut hukum udara internasional dan penerapan ADIZ di berbagai negara
BAB IV
PENGATURAN AIR DEFENCE IDENTIFICATION ZONE (ADIZ) SEBAGAI PERWUJUDAN KEDAULATAN TERITORIAL DITINJAU DARI KONVENSI PARIS 1919
Universitas Sumatera Utara
24
Bab ini berisikan tentang pengaturan ADIZ dalam hukum udara internasional, pengaturan ADIZ yang dibenarkan dalam hukum udara internasional dan penerapan ADIZ overlapping terhadap wilayah Alur Laut kepulauan BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN Merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya.
Universitas Sumatera Utara