1
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan
Pancasila dan Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman, tertib, sejahtera, dan berkeadilan. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah Propinsi dan daerah Propinsi terdiri atas daerah-daerah Kabupaten dan Kota. Dalam rangka melihat hubungan pusat dan daerah, dapat dipahami dari ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan (2) Amandemen Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Adapun ketentuan Pasal 18 Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 tersebut adalah : (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah Propinsi dan daerah Propinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Propinsi, Kabupaten dan Kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan Undang-Undang. (2) Pemerintahan daerah Propinsi, daerah Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.1 Dari ketentuan Pasal tersebut nampak adanya hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kekuasaan itu berada pada pemerintah pusat, kemudian pemerintah pusat melimpahkan sebagian kekuasaan tersebut kepada pemerintah daerah, untuk dilaksanakan sebagai upaya pendekatan pelayanan terhadap 1
Busrizalti, 2013, Hukum Pemda Otonomi Daerah Dan Implikasinya, Total Media, Yogyakarta, h.2
1
2
masyarakat, untuk mewujudkan titah pembukaan Undang – Undang Dasar 1945 atau Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.2 Pelimpahan kewenangan pusat kepada daerah yang melahirkan otonomi daerah dalam kontek Negara Kesatuan dilakukan melalui pintu desentralisasi. Menurut R.G. Kartasapoetra desentralisasi diartikan sebagai penyerahan urusan dari pemerintah pusat kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya. Penyerahan ini bertujuan untuk mencegah pemusatan kekuasaan, keuangan serta sebagai pendemokratisasian pemerintahan, untuk mengikutsertakan rakyat bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah.3 Desentralisasi diartikan pula sebagai suatu sistem, dimana bagian-bagian dan tugas Negara diserahkan penyelenggaraannya kepada badan atau organ yang mandiri. Asas ini dilengkapi dengan asas tugas pembantuan, untuk mengikat hubungan pusat dan daerah supaya dapat dikendalikan dalam ruang Negara Kesatuan dan menciptakan pemerintahan yang demokratis sebagai cita-cita masyarakat modern, artinya asas desentralisasi dan asas tugas pembantuan merupakan komponen pintu desentralisasi hubungan pusat dan daerah dalam otonomi daerah.4 Prinsip otonomi daerah selanjutnya dijelaskan dalam Pasal 18 ayat (5) Amandemen Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang menyatakan bahwa: “Pemerintah Daerah menjalani otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan Pemerintah yang oleh Undang-Undang ditentukan sebagai urusan 2
R Ibrahim, 2009, Hubungan Pemerintah Pusat – Daerah Dan Konstalasi Demokrasi Di Indonesia. Denpasar, Makalah Diskusi Panel Pada Perancangan dan Advokasi Hubungan Pusat Daerah Dewan Perwakilan daerah ( DPD ) di Denpasar 5-7 Februari 2009, h. 6 3 Busrizalti, op.cit. 4 R Ibrahim, op.cit.
3
pemerintah pusat”. Dalam hal ini daerah menggunakan prinsip otonomi seluasluasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah di luar yang menjadi urusan pemerintah pusat. Dalam pelaksanaan otonomi tersebut, daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan
masyarakat
yang
bertujuan
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat. Prinsip otonomi seluas-luasnya selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 1 ayat (6) ditentukan bahwa: Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 9 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 menetapkan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki hubungan kewenangan, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya. Selanjutnya dalam Pasal 10 ayat (1) dinyatakan: Urusan pemerintah absolut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) meliputi “Kewenangan inti dari Pemerintah Pusat meliputi 6 (enam) wewenang pemerintah yakni dibidang: a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; f. agama.
4
Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan urusan pemerintah yang menjadi wewenangnya diarahkan untuk dapat mewujudkan adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah. Dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ditentukan : (1). Urusan Pemerintahan Konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) yang menjadi Kewenangan Daerah terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan. (2). Urusan Pemerintahan Wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar. Lebih lanjut dalam Pasal 12 ayat (2) ditentukan: Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi: a. tenaga kerja; b. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; c. pangan; d. pertanahan; e. lingkungan hidup; f. administrasi kependudukan dan pencatatan sipil; g. pemberdayaan masyarakat dan desa; h. pengendalian penduduk dan keluarga berencana; i. perhubungan; j. komunikasi dan informatika; k. koperasi, usaha kecil dan menengah; l. penanaman modal; m. kepemudaan dan olah raga; n. statistik; o. persandian; p. kebudayaan; q. perpustakaan; dan r. kearsipan Pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan ditentukan pada Peraturan Pemerintah
5
Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintahan
Daerah
Propinsi,
dan
Pemerintahan
Daerah
Kabupaten/Kota. Dengan adanya otonomi daerah, pembiayaan pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan senantiasa memerlukan sumber penerimaan yang dapat diandalkan. Daerah dipacu untuk dapat berkreasi mencari sumber penerimaan daerah yang dapat mendukung pembiayaan pengeluaran daerah. Dari berbagai alternatif sumber penerimaan yang mungkin dipungut oleh daerah, Undang-Undang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menetapkan pajak dan retribusi daerah menjadi salah satu sumber penerimaan yang berasal dari dalam daerah dan dapat dikembangkan sesuai dengan kondisi masing-masing daerah. Dalam Pasal 279 ayat (2) Undang-Undang nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ditentukan : Hubungan keuangan dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. pemberian sumber penerimaan Daerah berupa pajak daerah dan retribusi daerah; b. pemberian dana bersumber dari perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah; c. pemberian dana penyelenggaraan otonomi khusus untuk Pemerintahan Daerah tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang; dan d. pemberian pinjaman dan/atau hibah, dana darurat, dan insentif (fiskal). Dari ketentuan tersebut ditentukan daerah mempunyai hak untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah, dimana pajak daerah dan retribusi daerah merupakan sumber pendapatan daerah. Pengertian pendapatan asli daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
6
Keuangan Antara Pusat dan Daerah Pasal 1 angka 18 bahwa “Pendapatan asli daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundangundangan”. Dalam Pasal 285 (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ditentukan : Sumber Pendapatan Daerah terdiri atas: a. Pendapatan asli Daerah meliputi : 1. Pajak daerah; 2. Retribusi daerah 3. Hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan 4. Lain-lain pendapatan asli Daerah yang sah ; b. Pendapatan transfer; dan c. Lain-lain pendapatan Daerah yang sah. 1) Hasil pajak daerah 2) Hasil retribusi daerah 3) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan 4) Lain-lain pendapat daerah yang sah Dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ditentukan bahwa penyerahan sumber keuangan daerah baik berupa pajak daerah dan retribusi daerah maupun berupa dana perimbangan merupakan konsekuensi dari adanya penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah yang diselenggarakan berdasarkan Asas Otonomi. Untuk menjalankan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, Daerah harus mempunyai sumber keuangan agar Daerah tersebut mampu memberikan pelayanan dan kesejahteraan kepada rakyat di Daerahnya. Pemberian sumber keuangan kepada Daerah harus seimbang dengan beban atau Urusan Pemerintah yang diserahkan kepada
Daerah.
Keseimbangan
keuangan
ini
merupakan
terjaminnya
terselenggaranya Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah. Ketika
7
Daerah mempunyai kemampuan keuangan yang kurang mencukupi untuk membiayai Urusan Pemerintahan dan khususnya Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar, Pemerintah Pusat dapat menggunakan instrumen DAK untuk membantu daerah sesuai dengan prioritas nasional yang ingin dicapai. Secara umum, pendapatan daerah dapat dibagi menjadi dua, yakni : (1) Retribusi yang dipungut dengan kompensasi layanan tertentu; dan (2) Pajak yang dipungut tanpa kompensasi layanan. 5 Pajak adalah pungutan oleh pejabat pajak sebagai wakil Negara kepada wajib pajak tanpa tegenprestasi secara langsung dan bersifat memaksa sehingga penagihannya dapat dipaksakan. Hal ini tersirat dalam Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945. Menurut Rochmat Soemitro pajak dapat ditinjau dari aspek ekonomis dan aspek hukum. Adapun pengertian pajak dari aspek ekonomis adalah peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor publik berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat imbalan (tegenprestatite) yang secara langsung dapat ditunjukkan, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan yang digunakan sebagai alat pendorong, penghambat atau pencegah untuk mencapai tujuan yang ada di luar bidang keuangan Negara. Sementara itu pengertian pajak dari aspek hukum adalah perikatan yang timbul karena undangundang yang mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang (tatsbentand) untuk membayar sejumlah uang kepada (kas) Negara yang dapat dipaksakan tanpa mendapat suatu imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk yang digunakan untuk membiayai pengeluaran5
Wahyudi Kumorotomo, 2006, Desentralisasi fiskal : Politik Perubahan Kebijakan 19742004, Kencana, Jakarta, h. 125.
8
pengeluaran Negara (rutin dan pembangunan) dan yang digunakan sebagai alat pendorong atau penghambat untuk mencapai tujuan di luar bidang keuangan Negara.6 Pajak daerah didalamnya harus pula terdapat unsur imbalan / kontraprestasi sebagaimana halnya retribusi daerah. Yang membedakan imbalan / kontraprestasi antara pajak daerah dengan retribusi daerah adalah bahwa pajak daerah kontraprestasi tersebut untuk masyarakat yang lebih luas, atau setidak-tidaknya untuk sektor pajak yang bersangkutan, sedangkan pada retribusi daerah kontraprestasi tersebut langsung kepada pembayar retribusi.7 Retribusi adalah pungutan oleh pejabat retribusi kepada Wajib Retribusi yang bersifat memaksa dengan tegenprestatie secara langsung dan dapat dipaksakan penagihannya. Sarana hukum yang digunakan untuk memaksakan penagihan retribusi tidak berbeda dengan pajak, berupa sanksi administrasi maupun sanksi kepidanaan8. Retribusi dalam Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 merupakan bagian dari “pungutan yang bersifat memaksa” yang dibutuhkan oleh Negara karena itu diatur dengan undang-undang9. Secara otentik pengertian retribusi daerah dapat ditemukan dalam UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Landasan Filosofis Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan Negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan 6
Muhammad Djafar Saidi, 2007, Pembaruan Hukum Pajak, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 25-26 7 Tjip Ismail, 2007, Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia, Yellow Printing, Jakarta, h.56 8 Muhammad Djafar Saidi, op.cit 9 ibid
9
untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman, tertib, sejahtera, dan berkeadilan, sedangkan landasan sosiologisnya adalah bahwa kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah. Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan : “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan undang-undang”. Dalam Pasal 1 angka 64 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditentukan: “Retribusi daerah, yang selanjutnya disebut retribusi, adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan / atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.” Dalam pengertian ini, terkandung pula pemaknaan bahwa pelayanan yang menjadi obyek retribusi adalah pelayanan yang langsung dinikmati oleh anggota masyarakat (orang pribadi atau badan). Dengan demikian karakter retribusi daerah adalah : 1. Pungutan oleh pemerintah daerah terhadap anggota masyarakat; 2. Pemerintah daerah memberikan pelayanan berupa barang / jasa yang memberi keuntungan kepada anggota masyarakat yang membayar pungutan. Pasal 108 ayat (1) Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menentukan bahwa “Objek retribusi adalah” :
10
a. Jasa umum; b. Jasa usaha; c. Perizinan tertentu. Tidak semua jasa yang diberikan oleh Pemerintah daerah dapat dipungut retribusinya, tetapi hanya jenis-jenis tertentu yang menurut pertimbangan sosialekonomi layak dijadikan sebagai objek retribusi. Jasa tertentu tersebut dikelompokkan ke dalam 3 ( tiga ) golongan, yaitu jasa umum, jasa usaha, dan perizinan tertentu. Hal ini membuat objek retribusi terdiri dari tiga kelompok jasa sebagai berikut :10 1. Retribusi jasa umum, adalah retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh pribadi atau badan. 2. Retribusi jasa usaha adalah retribusi atas jasa yang diberikan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. 3. Retribusi perijinan tertentu adalah retribusi atas kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian ijin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan kemanfaatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
10
Siahaan P. Marihot, 2009, Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 435
11
Lebih lanjut dalam Pasal 110 ayat (1) Undang - Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menentukan bahwa Jenis Retribusi Jasa Umum adalah: a. b. c.
Retribusi Pelayanan Kesehatan Retribusi Pelayanan Persampahan / Kebersihan Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil d. Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat e. Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum f. Retribusi Pelayanan Pasar g. Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor h. Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran i. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta j. Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus k. Retribusi Pengolahan Limbah Cair l. Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang m. Retribusi Pelayanan Pendidikan n. Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi Sebagai implementasi dari otonomi daerah maka daerah dapat memungut pajak daerah dan retribusi daerah yang diatur dengan Undang-Undang. Dalam tatanan peraturan perundang-undangan diatur dalam Peraturan Daerah. Pasal 156 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menentukan : “Retribusi ditetapkan dengan Peraturan Daerah”. Lebih lanjut dalam Pasal 149 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menentukan : 1. Jenis Retribusi Jasa Umum dan Retribusi Perizinan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) dan Pasal 141, untuk Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota disesuaikan dengan kewenangan Daerah masing-masing sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. 2. Jenis Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127, untuk Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten / Kota disesuaikan dengan jasa / pelayanan yang diberikan oleh Daerah masing-masing. 3. Rincian jenis objek dari setiap Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1), Pasal 127, dan Pasal 141 diatur dalam Peraturan Daerah yang bersangkutan.
12
Dokumen kependudukan termasuk retribusi jasa umum yang sebelumnya di Kota Denpasar diatur dalam Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 21 Tahun 2011 tentang Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk Dan Akta Catatan Sipil. Dalam Pasal 2 ditentukan “Dengan nama retribusi pengganti Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk Dan Akta Catatan Sipil dipungut atas penggantian biaya cetak”. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, yang diundangkan pada tanggal 24 Desember 2013 dalam Pasal 79A ditentukan bahwa “Pengurusan dan Penerbitan Dokumen Kependudukan tidak dipungut biaya”, maka Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 21 Tahun 2011 tidak berlaku lagi. Hal ini ditegaskan dengan adanya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 900 /326/SJ tertanggal 17 Januari 2014 tentang larangan pungutan uang dalam memberikan pelayanan administrasi kependudukan, maka terhitung mulai tanggal 1 April 2014 di Kota Denpasar semua pelayanan administrasi dan penerbitan dokumen kependudukan tidak dipungut biaya. Landasan filosofis berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 adalah dalam rangka mewujudkan tertib administrasi kependudukan secara nasional, Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sedangkan landasan sosiologisnya
adalah
dalam rangka peningkatan pelayanan
administrasi
kependudukan sejalan dengan tuntutan pelayanan administrasi kependudukan yang profesional, memenuhi standar teknologi informasi, dinamis, tertib dan tidak
13
diskriminatif dalam pencapaian standar pelayanan minimal menuju pelayanan prima yang menyeluruh untuk mengatasi permasalahan kependudukan. Dengan adanya Keputusan Majelis Madya Desa Pakraman Kota Denpasar Nomor 14/12-SK/MMDP/VII/2014 tertanggal 1 Juli 2014 tentang Penataan Penduduk Pendatang Di Desa Pakraman, ditentukan untuk menjamin ketertiban dan keamanan sosial dalam penataan penduduk pendatang (krama tamiu dan tamiu) yang baru datang dan tinggal menetap maupun sementara dalam jangka waktu tertentu, dikenakan kontribusi biaya sebesar Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) bagi penduduk pendatang luar Provinsi Bali dan penduduk pendatang luar Denpasar dalam Provinsi Bali sebesar Rp. 25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah). Pertimbangan dikeluarkan Surat Keputusan tersebut berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman bahwa Majelis Madya Desa Pakraman Kota Denpasar sebagai lembaga adat yang menjadi partnership kerja Pemerintah Kota Denpasar berwenang membuat aturan terkait urusan pemerintahan dan urusan adat yang ditujukan dan dikoordinasikan pelaksanaannya kepada Desa Pakraman se Kota Denpasar. Dasar hukum pembentukan Majelis Desa Pakraman Bali adalah Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Dalam Pasal 16 Perda No 3 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman diatur tugas dan wewenang Majelis Desa Pakraman yang diatur yaitu:
14
(1) Majelis Desa Pakraman mempunyai tugas: a.
mengayomi adat istiadat;
b.
memberikan saran, usul, dan pendapat kepada berbagai pihak baik perorangan,
kelompok/lembaga
termasuk
pemerintah
tentang
masalah-masalah adat; c.
melaksanakan setiap keputusan-keputusan paruman dengan aturan-aturan yang ditetapkan;
d.
membantu penyuratan awig-awig;
e.
melaksanakan penyuluhan adat istiadat secara menyeluruh.
(2) Majelis Desa Pakraman mempunyai wewenang: a.
memusyawarahkan berbagai hal menyangkut masalah-masalah adat dan agama untuk kepentingan desa pakraman;
b.
sebagai penengah dalam kasus-kasus adat yang tidak dapat diselesaikan di tingkat desa;
c.
membantu penyelenggaraan upacara keagamaan di kecamatan, di kabupatan/kota, dan di provinsi.
Menurut Profesor Wayan P. Windia, Majelis Desa Pakraman mempunyai tugas dan wewenang menangani berbagai masalah yang terkait dengan adat dan hukum adat Bali, termasuk tentunya kasus-kasus adat.11 Atas dasar permasalahan itulah maka penulis menganggap perlu untuk melakukan suatu kajian ilmiah dengan judul “RETRIBUSI JASA UMUM KEPENDUDUKAN DI KOTA DENPASAR DIKAITKAN DENGAN 11
Wayan P. Windia, 2014, Hukum Adat Bali Aneka Kasus Dan Penyelesaiannya, Udayana University Press, Denpasar, (selanjutnya disebut Wayan P. Windia I) h. 233
15
UNDANG-UNDANG ADMINISTRASI
NOMOR
24
KEPENDUDUKAN
TAHUN DAN
2013
SURAT
TENTANG KEPUTUSAN
MAJELIS MADYA DESA PAKRAMAN KOTA DENPASAR NOMOR 14/12-SK/MMDP/VII/2014
TENTANG
PENATAAN
PENDUDUK
PENDATANG DI DESA PAKRAMAN”. 1.2.
Rumusan Masalah Bertitik tolak dari latar belakang masalah tersebut diatas, dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut : 1.2.1. Bagaimana
pengaturan
pemungutan
retribusi
jasa
umum
kependudukan di Kota Denpasar? 1.2.2. Bagaimana peranan Majelis Madya Desa Pakraman di Kota Denpasar dalam pemungutan retribusi jasa umum kependudukan? 1.3.
Ruang Lingkup Masalah Dalam penulisan tesis ini, penulis hanya akan membahas masalah pengaturan
Retribusi Jasa Umum sesuai dengan Pasal 79A Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan peranan Majelis Madya Desa Pakraman di Kota Denpasar dalam pemungutan retribusi jasa umum kependudukan agar pembahasan sesuai dengan rumusan masalah yang penulis uraikan sehingga pembahasan tersebut tidak menyimpang atau meluas dari apa yang akan dibahas dalam penulisan tesis ini. 1.4.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian dari tesis ini adalah :
16
1.4.1
Tujuan umum : a. Untuk mengetahui dasar hukum retribusi jasa umum kependudukan. b. Untuk
menganalisis
pengaturan
retribusi
jasa
umum
kependudukan. c. Untuk menganalisis dan mempelajari konsistensi antara peraturan tentang retribusi jasa umum kependudukan. 1.4.2
Tujuan khusus : Adapun tujuan khusus dari penulisan ini agar mengetahui lebih dalam dan memahami bagaimanakah pengaturan retribusi jasa umum kependudukan dan bagaimanakah penerapan Pasal 79A Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan dan peranan Majelis Madya Desa Pakraman Kota Denpasar dalam pemungutan retribusi jasa umum kependudukan.
1.5.
Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap pengembangan ilmu hukum secara umum, dan khususnya Hukum Administrasi Negara, Hukum Pemerintahan Daerah. 1.5.2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini secara praktis dapat memberikan masukan bagi masyarakat dan juga Pemerintah Daerah tentang pelaksanaan retribusi jasa umum kependudukan, sedangkan bagi penulis sendiri,
17
karya tulis ini disamping untuk memenuhi persyaratan dalam meraih gelar Magister Hukum pada Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Udayana, juga akan bermanfaat bagi penulis dalam melaksanakan tugas sebagai aparat Pemerintah Daerah. 1.6.
Orisinalitas Penelitian Penelitian sejenis yang terkait dengan kajian yuridis retribusi, telah dilakukan
penelusuran diantaranya sebagai berikut : Pertama, penulis menemukan tesis di Universitas Udayana, Denpasar, pada tahun 2010, atas nama Komang Lestari Kusuma Dewi berjudul “Pengaturan Retribusi Perijinan Tertentu Pada Pemerintahan Kota Denpasar”, dengan rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah kriteria dan tolak ukur untuk menentukan retribusi perijinan tertentu pada Pemerintahan Kota Denpasar? 2. Bagaimanakah pengaturan retribusi perijinan tertentu pada pemerintahan Kota Denpasar? Tesis ini menekankan pada Pemerintahan Kota Denpasar dalam menetapkan kriteria dan tolak ukur retribusi perijinan tertentu sebagai pelaksanaan otonomi daerah dan pelaksanaan retribusi perijinan tertentu di Kota Denpasar. Kedua, penulis menemukan tesis di Universitas Diponegoro, Semarang, Tahun 2009 atas nama Rona Rositawati berjudul “Sistem Pemungutan Pajak Daerah dalam Era Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Bogor)”, dengan rumusan masalah sebagai berikut :
18
1. Bagaimana dasar hukum sistem pemungutan pajak daerah dalam era otonomi daerah? 2. Bagaimana sistem pemungutan pajak dalam era otonomi daerah? 3. Bagaimana konsistensi antara peraturan daerah yang mengatur pajak daerah dengan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah? Penulisan tesis ini menekankan pada dasar hukum sistem pemungutan pajak daerah dalam era otonomi daerah dan sistem pemungutan pajak daerah dalam era otonomi daerah di Kabupaten Bogor. Dalam tesis ini dimuat juga tentang konsistensi antara Peraturan Daerah yang mengatur pajak daerah dengan peraturan perundang-undangan dibidang pajak daerah. Ketiga, penulis menemukan tesis di Universitas Udayana, Denpasar, pada tahun 2011, atas nama Ni Putu Diah Siswandari dengan judul “Kewenangan Pemerintah Provinsi Bali Dalam Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor” dengan rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah kewenangan Pemerintah Provinsi Bali dalam pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor? 2. Bagaimanakah tata cara pemungutan pajak Kendaraan Bermotor di Propinsi Bali? Penulisan tesis ini menekankan pada kewenangan pemungutan pajak yang merupakan kewenangan dari Pemerintah Provinsi yaitu kewenangan pemungutan pajak kendaraan bermotor di Propinsi Bali dan dalam penulisan tesis ini berisi pula materi tentang tata cara pemungutan pajak kendaraan bermotor di Propinsi
19
Bali serta tesis ini memuat juga bagi hasil pajak kendaraan bermotor kepada Kabupaten / Kota. Dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan tampaklah perbedaanperbedaan yang spesifik. Penekanan pada penelitian ini dititik beratkan pada pengaturan pemungutan retribusi yang merupakan kewenangan Pemerintah Kabupaten / Kota
yaitu khususnya pemungutan retribusi jasa umum
kependudukan. Pada penelitian ini melakukan pembahasan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan peranan Majelis Madya Desa Pakraman Kota Denpasar dalam pemungutan retribusi jasa umum kependudukan. Dalam penelitian terdahulu, baik di Universitas Udayana maupun Universitas lainnya sepanjang penulis ketahui, penekanan pada penelitian ini belum pernah memperoleh kajian, oleh karena itu penelitian yang dilakukan dapat dikemukakan masih bersifat orisinal dan layak dijadikan obyek penelitian dalam tesis ini. 1.7.
Landasan Teoritis Dalam rangka mengkaji permasalahan yang diajukan dalam perumusan
masalah, akan menggunakan beberapa asas, teori, dan konsep, sebagai berikut : 1.7.1. Teori Negara Hukum. 1.7.2. Teori Hirarki Norma Hukum. 1.7.3. Asas-asas Hukum Preferensi. 1.7.4. Teori Pluralisme Hukum. 1.7.5. Teori Semi – Autonomus Social Field.
20
1.7.1.Teori Negara Hukum Hukum menurut Jonathan Crowe:12 “The law is basically a set of rules. It is a set of general standards that tell us how to behave, not just in one case, but across a range of situations. However, legal rules are also social rules, that is, they are rules that are generally recognized as binding by the members of a particular community. Their validity within that community depends at least partly on social acceptance”. “Hukum pada dasarnya adalah seperangkat aturan. Ini adalah satu set standar umum yang memberitahu kita bagaimana harus bersikap , bukan hanya dalam satu kasus, tetapi di berbagai situasi. Namun, aturan hukum juga aturanaturan sosial, yaitu, mereka adalah aturan yang umumnya diakui sebagai yang mengikat oleh anggota komunitas tertentu. Validitasnya dalam masyarakat yang tergantung setidaknya sebagian pada penerimaan sosial”. Hukum Positif menurt John Austin:13 “Positive laws, or laws strictly so called, are established directly or immediately by authors of three kinds:- By monarch, or sovereign bodies, as supreme political superior: by men in a state of subjection, as subordinate political superior: by subject, as a private person, in pursuance of legal rights. But every positive laws or every laws strictly so called, is direct or circuitious command of monarch or souvereign number … to a person or persons in a state of subjections to its author”. “Hukum positif ditetapkan langsung oleh tiga jenis: (1) oleh raja, atau badan berdaulat, sebagai politik superior: (2) oleh laki-laki sebagai bawahan politik superior : (3) oleh subjek, sebagai orang swasta, menurut hak-hak hukum . Tapi setiap hukum positif adalah perintah langsung dari raja yang berdaulat untuk seseorang atau beberapa orang”. Secara umum tujuan hukum adalah keadilan menurut Alf Ross:14 “In general, the idea of law is taken to be justice”. Ciri-ciri suatu Negara menurut Phillipus M. Hadjon adalah: a. Ada pelaksanaan suatu “kekuasaan”
12
Jonathan Crowe, 2008, Legal Theory, Thomson Reuters (Professional), Australia, h. 2-3 J.W. Harris, 2004, Legal Philosophies Second Edition, Oxford University Press, Great Britain, h. 31 14 Alf Ross, 1959, On Law And Justice, University of California Press, Berkeley & Los Angeles, h. 3 13
21
b. Terhadap suatu “bangsa” tertentu c. Di suatu “wilayah” tertentu d. Kekuasaan itu adalah dalam bentuk “lembaga-lembaga negara” e. Dan lambang-lambang tertentu (bendera, lagu
kebangsaan dan
sebagainya).15 Ciri-ciri yang paling penting dari negara ialah pelaksanaan kekuasaan dalam arti menciptakan dan memelihara suatu ketertiban tertentu dalam kenyataan. Negara menurut Neil MacCormick adalah:16 All states, whether or not conforming to the pattern of a constitutional state to be discussed here, have four essential characteristics. First, they are territorial, that is, they lay claim to and exercise, to at least a significant degree, effective control over a specific territory, in a way that involves when necessary the use of coercive force agains external and internal threats. Secondly, they claim legitimacy; that is, their governing authorithies claim that in exercising such effective control they do so as of right and are properly recognized as being rightfully in authority over the territory. Thirdly, they claim independence, that is their governing authorities claim independence, that is, their governing authorities claim that the people of the state are entitled to a form of government free from external interference by the states. The fourth, closely related, feature is that these claims are acknowledged by other state. Menurut C.F Strong dalam bukunya Modern Political Constitutions, negara Kesatuan merupakan bentuk negara yang mempunyai kedaulatan tertinggi di tangan pemerintah pusat. Lebih lanjut menyatakan bahwa the essential qualities of unitary state may therefore be said to be:17 1. The supremacy of the central parliament 2. The absence of subsidiary sovereign bodies
15
Phillipus M. Hadjon dkk, 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta (Selanjutnya disebut Phillipus M. Hadjon I), h. 17 16 Neil MacCormick, 2007, Institutions of Law, Oxford University Press Inc., New York, United States, h. 39 17 Busrizalti, op.cit, h. 39
22
Ciri yang melekat pada Negara Kesatuan berdasarkan uraian di atas adalah: 1. Adanya supremasi dari parlemen pusat. 2. Tidak adanya badan-badan lain yang berdaulat. Hubungan antara Hukum dengan Negara menurut Friedrich Julius Stahl dalam bukunya Principles of Law:18 The relationship of law to the state is twofold: the law requires the state for it to maintain itself in humanlife, while the state requires the law as the source of its very existence. Together they form the civil order. Berdasarkan uraian di atas hubungan hukum dengan negara ada dua: hukum mengharuskan negara untuk mempertahankan dirinya dalam kehidupan manusia, dan negara membutuhkan hukum sebagai sumber keberadaannya. Hukum dan Negara bersama-sama membentuk tertib sipil. Dalam kepustakaan ilmu hukum dan politik di Indonesia, istilah negara hukum dipadankan dengan istilah rechtstaat (bahasa Belanda) dan istilah the rule of law (bahasa Inggris). Di negara-negara civil law, teori dan implementasi negara hukum muncul dengan konsepsi rechtstaat sementara di negara-negara common law dengan konsepsi the rule of law.19 Suatu negara dikatakan sebagai negara hukum melalui dua cara. Pertama, melalui konstitusi dari negara yang bersangkutan yaitu apakah konstitusi yang dimaksud memuat ketentuan tentang negara hukum. Kedua, berdasarkan pandangan ilmiah dari para ahli, yang dalam konteks ini berusaha memberikan unsur-unsur / ciri-ciri dari suatu negara hukum. Abad ke 19 muncul konsep
18
Friedrich Julius Stahl, 2007, Principles of Law, Asiten the Netherland, Word Bridge, h. xviii Imam Soebechi, 2012, Judicial Review Perda Pajak dan Retribusi Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, h. 13 19
23
rechstaat dari Friedrich Julius Stahl. Menurut Stahl, unsur-unsur negara hukum adalah sebagai berikut : a. Pelindungan hak-hak asasi manusia; b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu; c. Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan d. Peradilan administrasi dalam perselisihan. Konsep negara hukum (rule of law) dari A.V. Dicey lahir dalam naungan sistem hukum anglo saxon. Dicey mengemukakan unsur-unsur the rule of law sebagai berikut : a. Supremasi aturan-aturan (supremacy of the law); tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum. b. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (eguality before the law). Dalil ini mengaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat. c. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain oleh undang-undang dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.20 Philipus M Hadjon mengemukakan 3 (tiga) macam konsep negara hukum yakni : rechtstaat, the rule of law dan negara hukum Pancasila. 21 Ateng Syafrudin mengemukakan bahwa kandungan negara hukum adalah sebagai berikut:22
20
HR Ridwan, 2003, Hukum Administrasi Negara, UII press, Yogyakarta, h. 3 Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Peradaban, Surabaya (Selanjutnya disebut Phillipus M. Hadjon II), h. 69 22 Imam Soebechi, op.cit, h. 21 21
24
a. Pemerintahan menurut hukum (wetmatig bestuur) dengan bagianbagiannya tentang kewenangan yang dinyatakan dengan tegas, tentang perlakuan yang sama dan tentang kepastian hukum. b. Hak asasi manusia. c. Pembagian kekuasaan, dengan bagian-bagiannya tentang struktur kewenangan atau desentralisasi dan tentang pengawasan dan kontrol. d. Pengawasan dan kekuasaan pengadilan. Implementasi negara hukum memiliki karakteristik dan model yang beragam.Terlepas dari berbagai model negara hukum tersebut, Budiono mencatat bahwa sejarah pemikiran manusia mengenai politik dan hukum secara bertahap menuju ke arah kesimpulan bahwa negara merupakan negara yang akan mewujudkan harapan para warga negara akan kehidupan yang tertib, adil dan sejahtera jika negara itu diselenggarakan berdasarkan hukum sebagai aturan main23. Untuk
menganalisis
permasalahan
retribusi
jasa
umum
dokumen
kependudukan dan peranan Majelis Madya Desa Pakraman dalam retribusi jasa umum penulis mempergunakan teori Negara hukum. 1.7.2. Teori Hirarki Norma Hukum Hans Kelsen mengemukakan teorinya tentang tata urutan atau susunan hirarkis dari tata hukum Negara yaitu dengan mempostulasikan norma dasar, yakni konstitusi dalam arti material adalah urutan tertinggi di dalam hukum nasional.
23
HR Ridwan , op.cit, h. 6
25
Norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu Norma Dasar (Grundnorm). Menurut Hans Kelsen:24 Hubungan antara norma yang menentukan penciptaan norma lain, dan norma yang diciptakan sesuai dengan determinasi ini, bisa divisualisasikan dengan menggambarkan pengorganisasian norma di tingkat tinggi dan rendah. Norma yang menentukan penciptaan adalah norma di tingkat yang lebih tinggi, norma yang diciptakan sesuai dengan determinasi ini adalah norma di tingkat yang lebih rendah. Sistem hukum bukan sebuah sistem yang terdiri dari norma-norma hukum bertingkat, dengan kata lain, berdampingan satu sama lain; rupanya sistem hukum merupakan urutan hierarkis berbagai strata norma-norma hukum. Berdasarkan Teori yang dikembangkan Hans Kelsen dan Hans Nawiasky, di Indonesia terdapat tata urutan peraturan perundang-undang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang menyebutkan jenis dan hierarki Peraturan Perundangundangan terdiri atas : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten / kota
24
Hans Kelsen, 2009, Pengantar Teori Hukum, Nusa Media, Bandung, h. 105
26
Menurut Muhammad Bakri, jika tata urutan peraturan perundang-undangan tersebut dihubungkan dengan pendapat Hans Kelsen, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Peraturan perundang-undangan yang paling tinggi tingkatannya adalah Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. 2. Peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang Dasar 1945 adalah Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti undang-undang walaupun dibuat oleh Presiden namun tingkatannya disamakan dengan Undang-Undang. 3. Peraturan perundang-undangan yang paling rendah tingkatannya adalah Peraturan Daerah / Kota. Untuk menganalisa permasalahan pertama yaitu mengenai pengaturan pemungutan retribusi jasa umum dokumen kependudukan di Kota Denpasar dan peranan Majelis Madya Desa Pakraman dalam retribusi jasa umum penulis mempergunakan teori hukum Jenjang Norma dari Hans Kelsen. 1.7.3. Asas Hukum Preferensi Antinomi berarti adanya pertentangan dua norma atau lebih, akan tetapi keduanya sama-sama penting. Dengan kata lain, kedua norma tersebut dijamin dalam tingkatan hukum yang sama. Dalam teori antinomi dipergunakan asas preferensi dalam penyelesaian konflik norma yaitu : 1. Asas Lex superior Derogat Legi Inferiori, yaitu peraturan perundangundangan yang lebih tinggi mengesampingkan berlakunya peraturan
27
perundang-undangan yang lebih rendah atau peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. 2. Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori, yaitu peraturan perundangundangan yang terkemudian menyisihkan peraturan perundang-undangan yang terdahulu, apabila kedua peraturan perundang-undangan itu memuat ketentuan yang sama dan secara hierarkis mempunyai kedudukan yang sama. 3.
Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali, yaitu peraturan perundangundangan yang bersifat khusus (spesial) mengenyampingkan berlakunya peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (general), apabila kedua peraturan perundang-undangan tersebut memuat ketentuan yang saling bertentangan. Asas ini merujuk kepada dua peraturan perundangundangan yang secara hierarkis mempunyai kedudukan yang sama.25
Disamping asas preferensi tersebut diatas juga terdapat asas yang diperlukan dalam tata urutan peraturan perundang-undangan seperti yang dikemukakan oleh Bagir Manan yaitu:26 1. Dalam tata urutan peraturan perundang-undangan ada ketentuan umum bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memiliki dasar hukum pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya; peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
25
Peter Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 129 Abdul Ghofur Anshori, 2006, Filsafat Hukum, Penerbit Gajah Mada University Press, Yogyakarta, h. 45 26
28
tinggi, dimana peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dapat dituntut untuk dibatalkan, bahkan batal demi hukum. 2. Isi atau materi peraturan perundang-undangan tingkatan lebih rendah tidak boleh menyimpang atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yang dibuat tanpa wewenang dan untuk menjaga dan menjamin prinsip tersebut agar tidak disimpangi atau dilanggar maka terdapat mekanisme pengujian secara yudisial atas setiap perturan perundang-undangan atau kebijakan maupun tindakan pemerintah lainnya terhadap peraturan perundangundangan yang lebih tinggi tingkatannya atau tingkat tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar. Dalam mengkaji permasalahan kedua yaitu peranan Majelis Madya Desa Pakraman di Kota Denpasar dalam pemungutan retribusi jasa umum dokumen kependudukan penulis mempergunakan teori asas preferensi dalam teori antinomi. 1.7.4. Teori Pluralisme Hukum Kerangka teori berikutnya adalah teori Pluralisme Hukum yang dikemukakan John Griffiths dalam artikelnya berjudul “What is legal pluralism” adalah rujukan yang banyak digunakan oleh pengkaji dan pendukung pluralisme hukum di Indonesia. Griffiths menyatakan bahwa ideologi sentralisme hukum yang melekat pada sistem hukum modern menyatakan bahwa apa yang dinamakan hukum itu adalah merujuk pada hukum negara yang berlaku sama bagi setiap orang. Ia bersifat seragam, bersifat eksklusif terhadap hukum yang lain, dan dijalankan oleh
29
institusi negara.27 Lebih lanjut Griffiths menyatakan bahwa kecenderungan terfokus pada penekanan dikotomi keberadaan hukum negara terlihat ada interaksi sistem-sistem hukum dalam suatu masyarakat, antara hukum negara (state law) dengan sistem hukum rakyat (folk law) dan sistem hukum agama (religious law) dalam suatu komunitas masyarakat. Pluralisme hukum digunakan sebagai alat analisa untuk memahami dua atau lebih sistem hukum.28 Lebih lanjut Pluralisme hukum menurut Griffith adalah adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam satu tatanan hukum dalam suatu arena sosial “legal pluralism as that state of affairs, for any social field, in which behavior pursuant to more than one legal order occurs”.29 Pemikiran mengenai adanya pluralisme hukum dimunculkan sebagai tanggapan atas adanya paham sentralisme hukum, yaitu suatu paham yang menyatakan bahwa hukum adalah, dan sudah seharusnya merupakan, hukum Negara, berlaku seragam untuk semua orang, berdiri sendiri dan terpisah dari semua hukum yang lain dan dijalankan oleh seperangkat lembaga-lembaga Negara.
27
Myrna A, Safitri 2011, Dalam Untuk Apa Pluralisme Hukum Konsep, Regulasi, Negosiasi Dalam Konflik Agraria Di Indonesia, Epistema Institute, Jakarta, h. 7 28 Andiko, “Upaya tiada Henti Mempromosikan Pluralisme dalam Hukum Agraria di Indonesia” Dalam Myrna A. Safitri Untuk Apa Pluralisme Hukum? Regulasi, Negosiasi, dan Perlawanan dalam Konflik Agraria di Indonesia, 2011, Epistema Institute, Jakarta, h. 58 29 J Griffitths, 1986, What is Legal Pluralism. Journal Of Legal Pluralism and Unofficial Law.number 24/1986; Published by the Foundation for the Journal of Legal Pluralism, h. 1
30
Menurut Griffith:30 “….Law is and should be the law of the state, uniform for all persons, exclusive of all other law, and administered by a single set of state institutions” Menurut Griffith pluralism dan sentralisme hukum merupakan dua kutub yang secara tegas saling berhadapan.31 “Legal pluralism is the fact. Legal centralism is a myth, an ideal, a claim, an illusion”. Menurut Massimo La Torre: Legal pluralism mean a multiplication and differentiation of the sources of law or-said differently-of the varios arguments which justify a certain course of action or specific legal decision.32 Teorinya Griffiths yang mengemukakan konsep pluralisme hukum sebagai suatu lapangan sosial yang didalamnya terdapat lebih dari satu tatanan hukum (in social field of more than one legal order).33 Teori Pluralisme Hukum dari Griffiths pada dasarnya dibedakan menjadi dua macam, yaitu pluralisme yang lemah (weak legal pluralism) dan pluralisme yang kuat (strong legal pluralism).34 Pluralisme hukum yang lemah merupakan bentuk lain dari sentralisme hukum (legal centralism), karena walaupun dalam kenyataannya hukum negara (state law) mengakui adanya sistem-sistem hukum 30
Sulistyowati Irianto,2001, Kesejahteraan Sosial Dalam Sudut Pandang Pliralisme Hukum (Suatu Tema Non Sengketa Dalam Perkembangan Terakhir Antropologi Hukum Tahun 19801990-an) dalam T.O Ihromi Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, h. 243 31 ibid 32 Ida Bagus Wyasa Putra, 2013, Legal Theory a compilation by Dr. Ida Bagus Wyasa Putra, Pusat Kajian Hukum Dan Ideologi Fakultas Hukum Universitas Udayana, h. 193 33 I Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2012, Politik Pluralisme Hukum Dalam Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dengan Peraturan Daerah, Ringkasan Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, Malang, h. 27 34 Lidwina Inge Nurtjahyo, “Menelusuri Perkembangan Kajian Pluralisme Hukum Di Indonesia” Dalam Myrna A. SafitriUntuk Apa Pluralisme Hukum? Regulasi, Negosiasi, dan Perlawanan dalam Konflik Agraria di Indonesia, 2011, Epistema Institute, Jakarta, h. 35.
31
yang lain, tetapi hukum negara tetap dipandang sebagai superior, dan sementara itu sistem-sistem hukum yang lain bersifat inferior dalam hirarki sistem hukum negara. Salah satu contoh penerapan pluralisme hukum lemah adalah konsep yang diajukan Hooker yang mengakui adanya keanekaragaman sistem hukum. Menurut Hooker, pluralisme hukum mengacu pada situasi dimana dua atau lebih hukum saling berinteraksi. Situasi pluralisme hukum adalah suatu pertemuan antara dua atau lebih kebudayaan (dalam hal ini hukum) yang mengakibatkan konflik mengenai prinsip-prinsip menjadi hal yang sangat biasa. Dalam hal ini terjadi pertentangan, yaitu antara apa yang disebut sebagai municipal law sebagai sistem yang dominan (hukum Negara) dengan apa yang disebutnya sebagai “servient law” yang inferior seperti kebiasaan dan hukum agama. 35 Pluralisme hukum kuat merupakan bentuk dari kemajemukan sistem hukum dalam masyarakat namun semuanya dipandang sama kedudukannya. Tidak ada hirarki yang menunjukkan sistem hukum yang satu lebih tinggi dari sistem hukum yang lainnya. Teori living law yang dikemukakan Eugene Ehrlich merupakan salah satu contoh dari penerapan pluralisme hukum kuat. Ehrlich menyatakan aturan hukum yang hidup dari tatanan normatif dikontraskan dengan hukum negara. Konflik hukum negara dengan hukum rakyat adalah bentuk kesenjangan atau bahkan konflik kebudayaan antara pembentuk dan pengemban hukum. Tanpa
35
Andiko, op.cit. h. 244.
32
upaya mendamaikan keduanya maka dalam banyak hal hukum negara tidak berjalan efektif.36 Terdapat berbagai cara mengkaji pluralisme hukum ini: memetakan berbagai hukum yang ada dalam suatu bidang sosial, utamanya hukum negara dan non – negara; menjelaskan relasi, adaptasi, kompetisi antar sistem hukum; pilihan individual warga memanfaatkan hukum tertentu ketika berkonflik, interaksi global, nasional dan lokal yang memengaruhi relasi antar hukum.37 Desa pakraman sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki otonomi dalam mengatur dirinya, harus tunduk kepada Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.38 Eksistensi desa pakraman ini diakui Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut ketentuan Pasal 18B ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Moh. Mahfud MD mengatakan pengakuan negara terhadap kesatuan masyarakat hukum adat ini mengandung empat konsekuensi.39 Pertama, kesatuan masyarakat hukum adat dapat bertindak sebagai subjek hukum. Kedua, terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dapat dilekatkan hak dan kewajiban serta dapat melakukan tindakan hukum dalam hal kepemilikan tertentu. Ketiga, saat terdapat pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat maka dengan sendirinya negara mengakui sistem hukum yang membentuk dan menjadikan masyarakat itu
36
Andiko, op.cit, h. 4 ibid, h. 5 38 I Wayan Surpha, 2012, Seputar Desa Pakraman dan Adat Bali, Pustaka Bali Post, Denpasar, (Selanjutnya disebut I Wayan Surpha I), h. 57 39 Moh. Mahfud MD, 2010, “Revitalisasi Masyarakat Hukum Adat dalam Kerangka UUD 1945 Menyongsong Globalisasi”, Makalah Disampaikan pada Seminar Awig-Awig II, Pemberdayaan Awig-Awig Desa Pakraman di Bali dalam Mewujudkan Masyarakat Adat yang Sejahtera”, Bali, 30 September 2010. 37
33
sebagai kesatuan masyarakat hukum. Keempat, pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat juga dengan sendirinya berarti pengakuan terhadap struktur dan tata pemerintahan yang dibentuk berdasarkan norma hukum tata negara adat setempat. Kusumadi Pudjosewojo memberi pengertian yang berbeda antara masyarakat hukum dan masyarakat hukum adat.40 Masyarakat hukum adalah suatu masyarakat yang menetapkan, terikat, dan tunduk pada tata hukumnya sendiri. Sedangkan masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang timbul secara spontan di wilayah tertentu yang berdirinya tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh penguasa yang lebih tinggi. Rasa solidaritas para anggotanya sangat besar dan memandang bukan anggota masyarakat sebagai anggota luar, serta sumber kekayaan yang ada di wilayahnya hanya dapat dipakai oleh anggota. Struktur persekutuan hukum ini menurut Soepomo dapat dibedakan berdasarkan pengikat anggota persekutuan, yakni faktor genealogis (pertalian keturunan yang sama), faktor teritorial (lingkungan daerah yang sama), dan genealogis teritorial (campuran keduanya).41 Persekutuan hukum berdasarkan teritorial banyak dijumpai di Bali dan dikategorikan persekutuan desa. Ada sesuatu yang khas di Bali karena mengenal istilah desa dinas dan desa pakraman. Desa pakraman merujuk kepada organisasi sosial yang berdasarkan aturan adat sedangkan desa dinas merupakan organisasi
40
I Gede A.B. Wiranata, 2005, Hukum Adat Indonesia Perkembangannya dari Masa ke Masa, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 111 41 ibid, h. 112.
34
birokrasi yang berstruktur.42 Kadangkala ada ketergantungan dari dua bentuk desa ini. Masyarakat adat sangat mematuhi hukumnya sesuai dengan corak tersebut. Masalah kepatuhan hukum dalam hukum adat, secara analitis dapat dibedakan menjadi tiga kategori kepatuhan dilihat dari faktor penyebabnya. 43
Ketiga
kategori tersebut adalah kepatuhan pada hukum adat yang disebabkan karena pemimpin-pemimpin masyarakat yang memerintahkannya, kepatuhan pada hukum adat yang disebabkan karena lingkungan sosial menghendakinya, dan kepatuhan pada hukum adat yang disebabkan karena seseorang menganggapnya sebagai sesuatu yang sebanding atau adil. Dalam ruang lingkup internasional, pengaturan mengenai masyarakat adat ditemukan dalam Pasal 25 United Nation Declaration on the Rights of Indigenous People (UNDRIP) yaitu Deklarasi PBB tentang Masyarakat Asli/Adat, “masyarakat adat memiliki hak mempertahankan dan untuk mengembangkan hubungan khas mereka baik secara spiritual maupun material dengan tanah, teritori, air, dan wilayah lepas pantai dan sumber-sumber lainnya yang meningkatkan tanggung jawab mereka akan nasib generasi masa depan.”44 Dalam perkembangan selanjutnya, konsep pluralisme hukum tidak lagi mengedepankan dikotomi antara sistem hukum Negara (state law) di satu sisi dengan sistem hukum rakyat (folk law) dan hukum agama (religious law) di sisi yang lain. Pada tahap perkembangan ini, konsep pluralisme
42
hukum lebih
Warren, 1993, Adat and Dinas Balinese Communities in the Indonesian State, Oxford University Press, New York, h. 22. 43 Soerjono Soekanto, 2012, Hukum Adat Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, h. 339. 44 Wayan P. Windia, dkk, 2013, Kompilasi Aturan tentang Desa Adat di Bali, Udayana University Press, Denpasar, (selanjutnya disebut Wayan P. Windia II) h.10.
35
menekankan pada interaksi danko-eksistensi berbagai sistem hukum yang mempengaruhi bekerjanya norma, proses, dan institusi hukum dalam masyarakat. Dalam mengkaji permasalahan peranan Majelis Madya Desa Pakraman di Kota Denpasar dalam pemungutan retribusi jasa umum kependudukan penulis mempergunakan teori pluralisme hukum. 1.7.5. Teori Semi – Autonomus Social Field Teori yang juga relevan adalah teori Semi-Autonomous Social Field. Teori yang diperkenalkan Sally Falk Moore (1978) ini menjelaskan kapasitas kelompokkelompok sosial
(socialfield) dalam menciptakan mekanisme-mekanisme
pengaturan sendiri (self-regulation) dengan disertai kekuatan-kekuatan pemaksa. “Bidang yang kecil dan untuk sebagian otonomi itu dapat menghasilkan aturanaturan dan adat istiadat serta simbol-simbol berasal dari dalam. Dilain pihak, bidang tersebut juga rentan terhadap aturan-aturan, keputusan-keputusan dan kekuatan-kekuatan lain yang berasal dari dunia luar yang mengelilinginya.”45 Desa pakraman sebagai sebuah kelompok yang semi otonom memiliki kewenangan untuk membuat aturannya sendiri. Aturan ini disesuaikan dengan adat dan kebiasaan yang berlaku di lingkungan masyarakatnya. Namun, ketika berhubungan dengan masyarakat luar, mereka memahami adanya kesadaran untuk tunduk kepada aturan lain yang ruang lingkupnya lebih luas, dalam hal ini hukum negara.
45
Sally Falk Moore, 2001, “Hukum dan Perubahan Sosial: Bidang Sosial Semi-Otonom sebagai suatu Topik Studi yang Tepat”. dalam: T.O. Ihromi (Ed), Antropologi Hukum. Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor, Jakarta, h.150
36
Walaupun masyarakat adat ini sudah memiliki awig-awig sebagai sarana untuk menuntun mereka mencapai keharmonisan, ternyata itu hanya berlaku dalam kelompoknya saja. Karena itu, ketika bersinggungan dengan kelompok lain perlu adanya payung hukum yang disepakati bersama. Sebagai masyarakat, mereka wajib tunduk terhadap hukum yang dibuat oleh negara sebagai kelompok yang lebih besar. Van Vollenhoven menjelaskan bahwa untuk mengetahui hukum, maka yang perlu diselidiki adalah pada waktu dan bilamana serta di daerah mana sifat dan susunan badan-badan persekutuan hukum di mana orang-orang dikuasai oleh hukum itu hidup sehari-hari.46 Soepomo kemudian mengemukakan penguraian tentang badan-badan persekutuan itu harus tidak didasarkan atas sesuatu yang dogmatik, melainkan harus didasarkan atas kehidupan yang nyata dari masyarakat yang bersangkutan.47 Dari kedua pendapat ini memperlihatkan bahwa masyarakat yang mengembangkan hukum adat ini adalah persekutuan hukum adat (Adatrechts Gemeenschapen). Persekutuan hukum atau masyarakat hukum ini didefinisikan sebagai kelompok orang-orang yang terikat sebagai suatu kesatuan dalam susunan yang teratur, yang menempati suatu wilayah tertentu, kesatuan ini bersifat abadi, memiliki pimpinan, serta memiliki kekayaan sendiri, baik yang berwujud maupun tidak berwujud. Dalam mekanisme kehidupan desa pakraman, warga memiliki hak antara lain hak untuk memilih pimpinan adat, ikut dalam rapat (sangkep/parum) adat, ikut 46
Tolib Setiady, 2013, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), Alfabeta, Bandung, h.75 47 ibid.
37
serta dalam pemerintahan desa pakraman bersama, dan berhak dipilih sebagai prajuru (pengurus) adat. Kewajibannya, melaksanakan ayahan (tugas) adat dan tunduk serta taat kepada peraturan yang berlaku bagi warga desa pakraman, yakni awig-awig baik tertulis maupun tidak tertulis, paswara dan sima yang berlaku.48 Sebagai hukum yang tumbuh dari bawah, secara sosiologis awig-awig memiliki legitimasi yang kuat dalam masyarakat karena fakta menunjukkan, awig-awig diterima dan dipatuhi masyarakat. Konstruksi awig-awig sebagai hukum adat juga serba jelas.49 Konstruksi yang serba jelas ini identik dengan visual (dapat diinderai). Artinya tiap hubungan hukum yang dilakukan menurut hukum adat terjadi jika telah ada tanda-tanda pengikatnya yang nyata. Dari uraian ini nampak bahwa krama desa pakraman yang sudah memiliki aturan sendiri dalam bentuk awig-awig tetap harus mematuhi hukum negara karena desa pakraman sebagai kelompok kecil berada dalam lingkup negara sebagai kelompok besar. Kewenangan desa pakraman untuk mengatur diri sendiri (otonomi) tidak bisa diberlakukan secara penuh. Kewenangan ini memiliki persyaratan seperti yang diatur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Hal ini sesuai dengan pendapat dari
48
ibid.,h.56-57 Otje Salman Soemadiningat, 2011, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni, Bandung, h. 118 49
38
Carrol Warren yaitu respon dari pemerintah pusat untuk masalah atau kasus dari daerah atau lokal adalah domain lokal.50 “indications of responsiveness from central government to the claims of the local suggest revival of interest in adat beyond the local domain”. Jika semua persyaratan sesuai dengan Pasal 18B ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sudah dipenuhi oleh desa pakraman, maka negara pun mengakui eksistensi desa pakraman berikut awig-awignya. Karena itulah desa pakraman disebut sebagai kesatuan masyarakat yang semiotonom (semiautonomous social fields) karena tetap harus tunduk kepada aturan dari luar desa pakraman, yakni negara. Dalam mengkaji permasalahan peranan Majelis Madya Desa Pakraman di Kota Denpasar dalam pemungutan retribusi jasa umum kependudukan penulis mempergunakan teori Semi Autonomus Social Field. 1.8. Metode Penelitian 1.8.1. Jenis Penelitian “Ilmu hukum memiliki karakter yang khas. Ciri khas ilmu hukum adalah sifatnya yang normatif”.51 Dalam kajian normatif hendaklah berpegang pada tradisi keilmuan hukum itu sendiri”.52 Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini, acapkali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum yang dikonsepkan sebagai kaedah atau norma yang 50
Carrol Warren, 2000, Adat And The Discourses Of Modernity In Bali In To Change Bali Essay In Honour Of I Gusti Ngurah Bagus Edited By Adrian Vickers and I Nyoman Darma Putra with Michele Ford, Bali Post in association with the Institute of Social Change and Critical Inquiry,Denpasar, h. 10 51 Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press,Yogyakarta, h. 1 52 ibid. h. 5
39
merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas53. Sesuai dengan permasalahan yang dikaji, maka penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif.“ Metode penelitian normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.54 Penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau disebut juga penelitian hukum studi kepustakaan. Penelitian ini dilakukan dengan mengkaji dan menganalisis bahan hukum berupa bahan hukum primer, sekunder maupun tertier yang terkait dengan retribusi jasa umum. 1.8.2. Jenis Pendekatan Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai permasalahan yang akan dibahas. Pendekatan terhadap permasalahan dalam tesis ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach) dan pendekatan histori (historical approach). Pendekatan perundangundangan dilakukan dengan cara menganalisis berbagai peraturan perundangundangan mengenai retribusi jasa umum. Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan maksud untuk mengetahui makna yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan dengan permasalahan dalam penelitian ini.
53
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2013, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 118 54 Johnny Ibrahim, 2005, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publising, Malang, h. 57
40
Pendekatan Konseptual (conceptual approach) dilakukan dengan cara menganalisis berbagai konsep dan pengertian tentang retribusi jasa umum dan Majelis Madya Desa Pakraman. Pendekatan Histori (historical approach) dilakukan dengan cara menganalisis berbagai konsep sejarah tentang Desa Pakraman dan Majelis Madya Desa Pakraman. 1.8.3. Sumber Bahan Hukum Penelitian ini menitik beratkan pada penelitian kepustakaan (library research). Penelitian hukum normatif sepenuhnya menggunakan data sekunder bahan kepustakaan. Adapun bahan hukum yang akan dijadikan sumber penelitian kepustakaan ini dalam sudut kekuatan mengikatnya digolongkan menjadi tiga yaitu : a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. Dalam penelitian ini, bahan hukum primer yang digunakan, yaitu : 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. 2. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438). 3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049). 4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). 5. Undang-Undang Nomor 24 tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 232, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5475).
41
6. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495). 7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapakali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679). 8. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran negara Republik Indonesia Nomor 4737). 9. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. 10. Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 21 tahun 2011 Tentang Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil ( Lembaran Daerah Kota Denpasar Tahun 2011 Nomor 21 ) b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yang meliputi hasil-hasil penelitian, buku-buku, dokumendokumen yang diperoleh dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Denpasar. c. Bahan hukum tertier, yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum sekunder, yang meliputi: 1. Kamus hukum 1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Mengenai teknik yang diterapkan dalam pengumpulan bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ini adalah melalui teknik telaahan kepustakaan (study document). Telaahan kepustakaan dilakukan dengan system kartu (cardsystem)
42
yakni dengan cara mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan primer, sekunder dan tertier. Bahan hukum sekunder diperoleh dari kepustakaan dan penelitian kasus dimana penelitian kasus berguna dalam memberikan latar belakang yang lebih luas mengenai pokok penelitian serta memberikan penjelasan yang lebih konkrit berkaitan dengan permasalahan yang ada. 1.8.5. Teknik Analisis Bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dianalisis dengan menggunakan teknik analisis dengan tahapan sebagai berikut: Tahapan pendeskripsian atau penggambaran yaitu dengan menguraikan proposisi-proposisi hukum sesuai pokok permasalahan yang dikaji untuk selanjutnya dilakukan interpretasi. Untuk selanjutnya dilakukan tahap sistematisasi yaitu berupa upaya-upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara perundangundangan yang sederajat maupun yang tidak sederajat. Dan tahapan yang terakhir adalah Evaluasi atau analisis yaitu dengan memberi penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan baik yang tertera dalam bahan hukum primer maupun dalam bahan hukum sekunder. Hasil penerapan dari keempat tahapan tersebut kemudian diberikan argumentasi hukum untuk mendapatkan kesimpulan atas permasalahan yang akan dibahas dalam tesis ini.