BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan republik indonesia memproklamasikan kemerdekaannya
pada tanggal 17 Agustus 1945 yang merupakan awal dari kebangkitan masyarakat atau bangsa Indonesia yang bercita-cita untuk mewujudkan kehidupan aman, damai, sejahtera, adil dan makmur serta dengan melakukan pembenahan dan melakukan pembaharuan secara merata berlandaskan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia (UUDN RI Tahun 1945). Adapun tujuan dan cita-cita yang ingin diwujudkan oleh bangsa Indonesia ini dapat dilihat pada Pasal 1 ayat (3) UUDN RI Tahun 1945, menegaskan bahwa : “Negara Indonesia ialah Negara hukum”, sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD RI Tahun 1945 yaitu : “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, Untuk memajukan kesejahteraan umum, Ikut melaksanakan kehidupan bangsa, Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, berdasarkan Pancasila”. Menurut Barda Nawawi Arief, usaha pembaharuan hukum di Indonesia yang sudah dimulai sejak lahirnya UUD 1945 tidak dapat dilepaskan dari landasan dan sekaligus tujuan yang ingin dicapai seperti yang telah dirumuskan juga dalam Pembukaan UUD 1945 itu secara singkat ialah “melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila”. Inilah garis kebijakan hukum yang menjadi landasan dan sekaligus tujuan politik hukum Indonesia. ini pulalah yang menjadi landasan dan tujuan dari
1
2
setiap usaha pembaharuan hukum termasuk pembaharuan di bidang hukum pidana dan kebijakan penanggulangan kejahatan di Indonesia.1 Seiring perkembangan zaman dalam kehidupan bangsa dan negara, telah menimbulkan berbagai masalah-masalah dalam masyarakat sehingga berdampak pada hukum di Indonesia yang sebagai norma mempunyai ciri kekhususan, bahwa hendak melindungi, mengatur dan memberikan keseimbangan dalam menjaga kepentingan umum atau masyarakat. Apabila terjadi pelanggaran hukum yang dalam arti melalaikan, merugikan atau mengganggu keseimbangan kepentingan umum yang seperti dikehendaki oleh ketentuan hukum tersebut, maka pelanggarnya mendapat reaksi dari masyarakat. Hukum pidana berbeda dengan hukum yang lainnya, yaitu bahwa di dalamnya orang mengenal adanya suatu kesengajaan untuk memberikan suatu akibat hukum berupa suatu bijzondere leed atau penderitaan yang bersifat khusus dalam bentuk suatu hukuman kepada mereka yang telah melakukan suatu pelanggaran terhadap keharusan-keharusan atau larangan-larangan yang telah ditentukan didalamnya.2 Sejalan dengan hal tersebut, materi hukum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang masih tetap berlaku ini sudah tidak mencukupi dan tidak sesuai lagi sebagai kodifikasi hukum pidana bangsa Indonesia yang mempunyai sejarah dan falsafah berbeda dengan negara-negara asing. Keadaan kodifikasi hukum pidana bangsa Indonesia sekarang ini sudah banyak mengandung kekosongan hukum, dimana ada hal-hal yang menurut ukuran
1
Barda Nawawi Arief, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan kejahatan, PT.Citra adtya Bhakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief I), h.73 2
P.A.F Lamintang, 1984, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, h.15
3
norma-norma ataupun nilai-nilai yang berlaku di Indonesia seharusnya diancam dengan pidana, ternyata di dalam KUHP tidak diatur.3 Selanjutnya Sudarto mengemukakan adanya beberapa alasan mengenai sampai dimana urgensi bagi kita untuk mempunyai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru. Ada tiga alasan yang dikemukakan beliau, yaitu alasan politik yang dilandasi oleh pemikiran bahwa suatu saat negara merdeka adalah wajar mempunyai hukum yang dihasilkan sendiri, ini merupakan kebanggaan nasional sebagai negara yang telah melepaskan diri dari pada penjajahan. Alasan sosiologis, pada dasarnya KUHP adalah pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan suatu bangsa. Namun ukuran untuk menentukan perbuatan mana yang dilarang itu tentunya tergantung dari pandangan kolektif yang terdapat dalam masyarakat tentang apa yang baik, benar dan sebaliknya. Sedangkan alasan praktis adalah kenyataan bahwa teks resmi dari Wetboek van Strafrecht (KUHP) adalah bahasa Belanda sehingga terjemahan dari Wetboek van Strafrecht yang beraneka ragam tentunya tidak akan membantu penyelenggaraan hukum pidana yang pasti dan seragam.4 Terlihat dari hal tersebut, terkandung suatu keinginan bangsa Indonesia untuk mewujudkan suatu pembaharuan hukum pidana yang dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk melakukan (“reorientasi dan re-evaluasi”) hukum pidana sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofi dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi dan memberi sisi terhadap muatan normatif dan substansi hukum pidana yang dicita-citakan.5 Sehubungan dengan pemikiran di atas memang sudah seharusnya bangsa Indonesia membuat pembaharuan dalam hukum pidana dalam hal ini KUHP, dikarenakan perkembangan dan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Maka pembaharuan hukum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan nilai.
3
Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, 1990, Hukum Pidana (Dasar aturan umum Hukum Pidana Kodifikasi), Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 20 4
Sudarto, 1981, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Sudarto I), h.70-71 5
Barda Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra adtya bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief II) h. 29
4
Menurut Barda Nawawi Arief, makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana dapat dilihat dari : 1. Dilihat dari sudut pendekatan-kebijakan: a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalahmasalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya). b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan). c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbarui substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum. 2. Dilihat dari sudut pendekatan-nilai: Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali (“reorientasi dan evaluasi”) nilai-nilai sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substansif hukum pidana yang dicitakan-citakan. Bukanlah pembaruan (“reformasi”) hukum pidana, apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan (misalnya, KUHP Baru) sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP lama atau WvS).6 Pembaharuan hukum pidana Indonesia, terlebih dahulu haruslah diketahui permasalahan pokok dalam hukum pidana merupakan cermin suatu masyarakat yang merefleksi nilai dasar masyarakat itu. Apabila nilai-nilai itu berubah, maka hukum pidana juga berubah.7 Berpijak pada nilai-nilai kepribadian bangsa terjadinya transformasi konseptual dalam sistem hukum pidana dan pemidanaan yang merupakan bagian dari peradaban masyarakat dunia, dengan memperhatikan dinamika yang terjadi,
6
Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep Kuhp Baru), Kencana, Jakarta, (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief III), h.29-30 7
AZ. Abidin, 1983, Bunga Rampai Hukum Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta, h.iii
5
dapat senantiasa mengikuti dan mengadopsi hal-hal positif yang bermanfaat bagi kepentingan untuk semakin meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan seluruh masyarakat, serta ikut mendorong munculnya semangat untuk mencari alternatif pidana yang lebih manusiawi dalam memperlakukan para pelaku tindak kriminal yang dilakukan dengan upaya menyediakan pengganti pidana perampasan kemerdekaan atau pidana penjara. Banyaknya kritik yang diajukan terhadap jenis pidana perampasan kemerdekaan ini sebagai jenis pidana yang kurang disukai. Alasan yang menjadi dasar ditetapkannya pidana penjara selama ini sebagai salah satu sarana penanggulangan kejahatan, merupakan suatu masalah yang patut dipersoalkan dilihat dari sudut politik kriminal.8 Muladi mengemukakan “Masalah pidana, terdapat suatu masalah yang dewasa ini secara universal terus dicarikan pemecahannya. Masalah tersebut adalah adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap pidana perampasan kemerdekaan, yang dalam pelbagai penelitian terbukti sangat merugikan baik tiap individu yang dikenal pidana, maupun terhadap masyarakat. Pelbagai negara, termasuk Indonesia, terus diusahakan untuk mencapai alternatif-alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan, antara lain berupa peningkatan perdamaian yang bersifat non institusional”.9 Banyaknya sorotan terhadap pidana perampasan kemerdekaan, akan tetapi hal ini masih dipertahankan beberapa negara di dunia dalam KUHP-nya sebagai bagian dari politik kriminal dalam menanggulangi kejahatan. Perkembangan mutakhir dalam hukum pidana khususnya yang berkaitan dengan persoalan pidana yang menjadi trend atau kecenderungan internasional adalah berkembangnya konsep untuk mencari alternatif dari pidana perampasan
8
Barda Nawawi Arief, 1996, Kebijakan Legislatif dalam penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief IV), h.2-3 9
Muladi, 2008, Lembaga Pidana Bersyarat, Cet. V, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Muladi I), h.5
6
kemerdekaan (alternative of imprisonment) dalam bentuknya sebagai bagian sanksi alternatif (alternative sanction).10 Alternatif pidana perampasan kemerdekaan ini merupakan masalah universal dan menjadi perhatian dari Perserikatan Bangsa-Bangsa yakni, sesuai dengan kongres PBB ketiga di Stockholm pada tahun 1965 tentang kejahatan dan pembinaan narapidana, yang memfokuskan pada diskusi-diskusi tentang pidana pengawasan (probation) untuk orang dewasa dan tindakan-tindakan lain yang bersifat non-institusional.11 Adapun perbedaan mengenai pidana pokok pada KUHP dengan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Tahun 2013 terlihat perubahan dalam hal pidana mati yang merupakan pidana pokok bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif, dan penambahan pidana pengawasan sebagai alternatif pidana penjara serta pidana pokok dalam RUU KUHP Tahun 2013. Namun disisi lain dalam KUHP Indonesia yang berlaku saat ini, sebetulnya sudah ada alternatif pidana penjara yang bersifat non-custodial atau pidana bersyarat. Pidana pengawasan ini merupakan pidana pokok baru yang bersifat noncustodial yang diharapkan dapat menggantikan pidana bersyarat (Pasal 14 a s/d Pasal 14 f KUHP). Perbedaan keudanya terletak dalam pelaksanaannya serta
10
Tongat, 2001, Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Djambatan, Jakarta, (selanjutnya disingkat Tongat I), h. 1 11
Muladi I, op.cit., h.150-151
7
pidana pengawasan ini dikatakan sebagai alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan.12 Terkait pentingnya pidana bersyarat sebagai salah satu mata rantai sistem penyelenggaraan hukum pidana maka yang harus dihapuskan dalam hal ini adalah adanya kesan, bahwa pidana bersyarat merupakan sikap kemurahan hati, pemberian ampun, atau pembebasan, sebab dalam krangka sebab musabab kejahatan dari pelaku tindak pidana serta usaha-usaha untuk menetralisasikan sebab musabab tersebut, maka peranan pengawasan di dalam pembinaan di luar lembaga ini menjadi suatu keadaan dinamis untuk memecahkan masalah.13 Adanya pidana bersyarat yang diatur dalam Pasal 14a sampai dengan Pasal 14f KUHP. Pada ketentuan Pasal 14a KUHP secara garis besar disebutkan mengenai, terhadap terpidana yang akan dijatuhi pidana penjara kurang dari 1 (satu) tahun kurungan bukan berupa pengganti denda, dan denda yang dibayarkan oleh terpidana dapat diganti dengan pidana bersyarat yang secara pasti pelaku tindak pidana sudah dijatuhkan serta dalam pelaksananya ditunda dengan bersyarat. Jadi, pidana bersyarat dalam hal ini sebagai alternatif pidana perampasan kemerdekaan yang ada di dalam KUHP yang berlaku saat ini dirasa masih kurang relevan untuk memberikan perlindungan terhadap individu atau pelaku tindak pidana. Pengaturan pidana bersyarat dalam KUHP yang berlaku sekarang ini dirasa belum efektif sebagai alternatif penerapan pidana penjara, khususnya pidana penjara jangka waktu pendek. Mengingat, pengaturan pidana pengawasan dalam penjelasan Pasal 77 Rancangan KUHP Tahun 2013 disebutkan mengenai, “Pelaksanaan pidana
12 13
Muladi I, op.cit, h.154 Muladi I, op.cit, h.155
8
pengawasan ini dikaitkan dengan ancaman pidana penjara. yang bersifat noncustodial, probation atau pidana penjara bersyarat yang terdapat dalam KUHP. Pidana pengawasan ini merupakan alternatif pidana penjara dan tidak ditujukan unntuk tindak pidana yang berat sifatnya”. Ini menjadi lebih menarik dibahas bahwa ketika dalam perkembangannya Indonesia mencantumkan pidana pengawasan sebagai pidana pokok, yakni pidana pengawasan sebagai alternatif pidana perampasan kemerdekaan dalam Rancangan KUHP Tahun 2013. Pidana Pengawasan merupakan salah satu upaya alternatif pidana perampasan kemerdekaan yang dilakukan oleh negara Indonesia, yang diharapkan dapat mengurangi biaya ekonomi dalam pelaksanaan pidana serta menghindarkan terpidana dari dampak negatif seperti, adanya stigmatisasi dari masyarakat yang merupakan hasil dari peradilan penghukuman dan penjara dari kejahatan sendiri, sehingga terpidana sulit untuk bersosialisasi kembali dengan masyarakat dan tidak menutup kemungkinan akan melakukan kejahatan kembali. Adanya pidana pengawasan sebagai alternatif pidana perampasan kemerdekaan dapat mengurangi biaya yang harus dikeluarkan masyarakat, serta mengurangi
banyaknya
kerugian
yang
ditimbulkan
akibat
pencabutan
kemerdekaan, terutama dalam hal gangguan terhadap kehidupan sosial dilingkungan masyarakat normal yang akan menjadi kesulitan narapidana atau seseorang yang berlabel penjahat sekalipun dalam penyesuaian diri kepada masyarakat beserta keluarganya yang seakan menimbulkan efek psikologis dan lebih frustasi serta tidak menutup kemungkinan timbulnya residivis.
9
Dibeberapa negara salah satunya di Portugal, telah menerapkan pidana pengawasan didalam sistem hukum yang dianutnya. 14 Pidana pengawasan (probation) yang diadopsi oleh negara-negara di dunia seperti Inggris-Amerika, Perancis-Belgia dan Portugal dalam penerapan sanksi pidana pengawasan sebagai alternatif pidana penjara jangka pendek tidak untuk tindak pidana yang berat sifatnya dan pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar melainkan berdasarkan persyaratan tertentu. Adanya kecenderungan untuk mencari alternatif jenis pidana perampasan kemerdekaan yang dilakukan oleh banyak negara sekarang ini dan untuk masa yang akan datang, menjadikan salah satu sumbangan pemikiran yang berharga, bahkan sudah ditransformasikan kedalam konsep pembaharuan hukum pidana Indonesia. Terkait dengan uraian di atas, dapat diketahui bahwa pidana pengawasan dalam sistem pemidanaan di RUU KUHP Tahun 2013 merupakan suatu hal yang baru sebagai pidana pokok di Indonesia, yang pada prakteknya sudah diberlakukan beberapa negara di dunia yang dapat digunakan sebagai tolok ukur pembaharuan hukum pidana di Indonesia dimasa mendatang. Maka konsep pidana pengawasan dalam Rancangan KUHP Tahun 2013 ini perlu dikaji kembali mengingat aturan tersebut masih belum berlaku dan bersifat umum, serta masih perlu adanya penambahan teknis pelaksanaan maupun syarat-syarat dalam penjatuhan pidana. Hal inilah yang melatarbelakangi untuk mengangkat dalam
14
Barda Nawawi Arief, 2003, Beberapa Masalah Perbandingan Hukum Pidana, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, h. 72-73
10
bentuk karya ilmiah yang berupa skripsi dengan judul :
“PIDANA
PENGAWASAN DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan di atas, maka diperoleh suatu rumusan permasalahan, yaitu: 1. Apakah
pidana pengawasan relevan dengan tujuan pemidanaan dalam
pembaharuan hukum pidana? 2. Bagaimana sebaiknya pidana pengawasan di formulasikan sebagai salah satu jenis pidana dalam pembaharuan KUHP dimasa mendatang?
1.3 Ruang Lingkup Masalah Untuk menghindari agar pembahasan tidak keluar dan atau menyimpang didalam penguraiannya, maka ruang lingkup permasalahan penelitian ini dibatasi yaitu: 1. Pada pembahasan yang pertama terbatas pada relevannya pidana pengawasan dengan tujuan pemidanaan dalam pembaharuan hukum pidana. 2. Pada pembahasan kedua akan terbatas pada formulasi pidana pengawasan sebagai salah satu jenis pidana dalam pembaharuan KUHP dimasa mendatang.
1.4 Tujuan Penelitian Penelitian ini disusun dengan tujuan yang dapat diklasifikasikan atas tujuan bersifat umum dan tujuan yang bersifat khusus, sebagai berikut:
11
a. Tujuan Umum Adapun tujuan umum yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu, mengembangkan wawasan studi hukum pidana mengenai pidana pengawasan dalam rangka pembaharuan hukum pidana. b. Tujuan Khusus 1. Untuk dapat mengetahui pidana pengawasan relevansinya dengan tujuan pemidanaan dalam pembaharuan hukum pidana. 2. Untuk
menganalisis
dan
mendeskripsikan
formulasi
pidana
pengawasan dalam KUHP dimasa mendatang. 1.5 Manfaat Penelitian Setelah mengetahui tujuan penelitian, maka manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah : a. Manfaat Teoritis Agar dapat lebih memahami substansi pidana pengawasan dalam pembaharuan hukum pidana serta pengembangan hukum pidana pada umumnya. b. Manfaat Praktis Dapat memberikan sumbangan pemikiran dan bahan pertimbangan serta pemahaman tentang pidana pengawasan diantaranya : 1. Bagi penegak hukum, khususnya Hakim dalam menjatuhkan pidana. 2. Bagi pembentukan undang-undang baru dimasa mendatang.
12
1.6 Landasan Teoritis Pada setiap negara memiliki tekad dalam penggunaan hukumnya, termasuk hukum pidana sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam kebijakan penegakkan hukum. Sebagian besar negara maju dan negara yang sedang berkembang bertujuan mensejahterakan masyarakatnya, maka kebijakan hukum ini termasuk dalam kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sehubungan dengan usaha tersebut, pada negara-negara yang baru merdeka melakukan berbagai usaha pembaharuan di bidang hukum. Masalah pembaharuan hukum (Law Reform) ini merupakan salah satu diantara banyak permasalahan hukum, yang terutama dihadapi oleh negara-negara berkembang.15 Secara dogmatis dapat disebutkan, bahwa dalam hukum pidana terdapat tiga pokok permasalahan, yaitu : a) Perbuatan yang dilarang; b) Orang yang melakukan perbuatan itu; c) Pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran larangan itu.16 Terkait dengan hal tersebut, menurut Sauer dalam bukunya Sudarto yang berjudul “Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat : Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana”, ada Trias (tiga) dalam pengertian dasar hukum pidana, yaitu :
15
Abdurrahman, 1976, Aneka Masalah Hukum Dalam Pembangunan di Indonesia, Alumni, Bandung, h.36 16
Sudarto,1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat : Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana. Sinar baru, Semarang, (selanjutnya disingkat Sudarto II), h.62
13
a) Sifat melawan hukum (unrecht); b) Kesalahan (should) c) Pidana (straf).17 Marc Ancel menyatakan, bahwa “Modern criminal science terdiri dari tiga komponen criminology, criminal law dan penal policy. Menurutnya, penal policy adalah : “Suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada penyelenggara atau putusan pengadilan”.18 Oleh sebab itu, upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan dalam hal kejahatan termasuk dibidang kebijakan (criminal policy). Kebijakan ini pun tidak terlepas dari kebijakan kriminal yang lebih luas yaitu, kebijakan sosial (sosial policy) yang terdiri dari kebijakan atau upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan atau upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat (social defence policy).19
17 18 19
Ibid. Barda Nawawi Arief III, op.cit, h.19
Barda Nawawi Arief, 2010, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangnan Kejahatan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief V), h.77
14
Mengenai pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun politik kriminal. Menurut Sudarto dalam bukunya Barda Nawawi Arief yang berjudul “Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep Konsep KUHP Baru)”, politik hukum merupakan : 1) Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi suatu saat. 2) Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.20 Melihat berbagai keterbatasan dan kelemahan hukum pidana, bila dilihat dari sudut pandang kebijakan, penggunaan atau intervensi penal (sanksi atau hukum pidana) sebaiknya dilakukan dengan hati-hati, hemat, selektif cermat dan limitatif. Nigel Walker dalam bukunya Barda Nawawi Arief yang berjudul “ Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana” mengingatkan adanya prinsip-prinsip pembatas (the limiting principles) didalam penggunaan sarana penal yang sepatutnya mendapat perhatian antara lain : a. Jangan hukum pidana digunakan semata-mata untuk tujuan pembalasan; b. Jangan menggunakan hukum pidana untuk memidana perbuatan yang tidak merugikan/membahayakan; c. Jangan menggunakan hukum pidana untuk mencapai suatu tujuan yang dapat dicapai secara lebih efektif dengan sarana-sarana lain yang lebih ringan; d. Jangan menggunakan hukum pidana apabila kerugian/bahaya dari perbuatan/tindak pidana itu sendiri; e. Larangan-larangan hukum pidana jangan mengandung sifat lebih berbahaya dari pada perbuatan yang akan dicegah;
20
Barda Nawawi Arief III, op.cit, h. 22
15
f. Hukum pidana jangan memuat larangan-larangan yang tidak mendapat dukungan kuat dari publik.21 Tujuan akhir dari kebijakan kriminil adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai tujuan utama tersebut sering dikenal dengan berbagai istilah, misalnya kebahagiaan warga masyarakat (happiness of the citizens), kehidupan kultural yang sehat dan menyegarkan (a wholesome and cultural living), kesejahteraan masyarakat (social welfare) atau untuk mencapai keseimbangan (equality).22 Bilamana dilihat dari sudut pendekatan kebijakan, makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana sebagai berikut : a.
Sebagai bagian dari kebijakan sosial, merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya).
b.
Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, merupakan bagian dari upaya-upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan).
c.
Sebagai bagian dari kebijakan penegak hukum, merupakan bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.23 Terkait
masalah
penentuan
dalam
kebijakan
kriminal
dengan
menggunakan sarana penal, yaitu : perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan sanksi apa yang sebaiknya digunakan kepada si pelanggar.
21
Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Adtya Bhakti, Bandung, (selanjutnya disingkat barda VI), h. 47-48 22 23
Barda Nawawi Arief IV, op.cit, h. 31 Barda Nawawi Arief III, op.cit, h. 26
16
Melihat dari sudut pendekatan nilai, maka pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan kembali (reorientasi dan re-evaluasi) nilai-nilai sosiopolitik, sosiofilosofis dan sosiokultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaruan (“reformasi”) hukum pidana, apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan sama saja dengan oritientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP lama atau WvS).24 Selanjutnya dalam hukum pidana, dalam pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal merupakan penal policy atau penal law enforcement policy bilamana pada sudut pandang fungsionalisasi/operasionalisasi dapat melalui beberapa fase atau tahap, yaitu : 1) Tahap formulasi (kebijakan legislatif). 2) Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial). 3) Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif). 25 Tahap kebijakan legislatif merupakan tahapan yang paling strategis dari Penal policy. Karena dalam tahap ini dirumuskannya garis-garis kebijakan bagi tahap berikutnya, sehingga dalam upaya pencegahan dan penangulangan kejahatan tidak hanya menjadi tugas aparatur penegak atau penerap hukum. Oleh karena itu, kesalahan atau kelemahan kebijakan legislatif yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi
24 25
Barda Nawawi Arief III, Loc.cit. Barda Nawawi Arief V, op.cit, h. 78-79
17
dan eksekusi. Jadi, kebijakan formulasi yang paling memiliki posisi stragtegis dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia. Teori pemidanaan yang
pada awalnya mempunyai paradigma
pembalasan ke arah paradigma membina. Penjatuhan jenis pidana (strafsoort) yang dikehendaki, penentuan tentang berat ringannya pidana yang dijatuhkan dan bagaimana pidana itu dilaksanakan merupakan bagian dari dari suatu sistem pemidanaan. Terdapat 3 teori pemidanaan yang digunakan dalam mengkaji tentang tujuan pemidanaan yaitu : 1. Teori Pembalasan (absolute/vergeldingstheorie) Menurut teori ini, dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri karena kejahatan telah menimbulkan penderitaan bagi orang lain, sebagai imbalannya (vergelding) si pelaku juga harus diberi penderitaan. 2. Teori maksud dan tujuan (relatieve doeltheorie) Menurut Teori ini, hukuman dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman itu yakni memperbaiki ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman harus dipandang secara ideal. Selain itu tujuan hukuman adalah untuk mencegah (prevensi) kejahatan. 3. Teori gabungan (verenigingstheorie) Pada dasarnya teori gabungan adalah gabungan dari kedua teori antara teori pembalasan dan teori maksud dan tujuan. Gabungan kedua teori itu mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman adalah untuk mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan memperbaiki pribadi si penjahat.26 Tujuan pemidanaan sebagaimana tertuang dalam Pasal 54 ayat (1) Rancangan KUHP Tahun 2013, yaitu : a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
26
Leden Marpaung, 2009, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Gravika, Jakarta, h.105.
18
Penentuan tujuan pemidanaan dalam konsep Rancangan KUHP Tahun 2013 tersebut adalah sebagai sarana perlindungan masyarakat, rehabilitasi dan resosialisasi, pemenuhan dalam pandangan hukum adat serta aspek psikologis untuk menghilangkan rasa bersalah bagi yang bersangkutan. Berkaitan dengan tujuan pemidanaan dalam konsep Rancangan KUHP Tahun 2013 tersebut di atas, Sudarto mengemukakan : Tujuan pertama tersimpul mengenai pandangan perlindungan masyarakat (sosial defence), sedang dalam tujuan kedua dikandung maksud rehabilitasi dan resosialisasi terpidana. Tujuan ketiga sesuai dengan pandangan hukum adat “adat reactie”, sedangkan yang keempat bersifat spiritual yang sesuai dengan sila pertama Pancasila.27 Selanjutnya, Barda Nawawi Arief juga mengemukakan : Bertolak dari pemikiran, bahwa pidana pada hakikatnya merupakan alat untuk mencapai tujuan, maka konsep merumuskan pertama-tama mengenai tujuan pemidanaan, dalam mengidentifikasi tujuan pemidanaan, konsep bertitik tolak dari keseimbangan 2 (dua) sasaran pokok yaitu, kepentingan masyarakat dan kepentingan individu pelaku tindak pidana serta antara kepastian hukum dengan keadilan.28 Aspek pokok dalam tujuan pemidanaan sebagai kepentingan yang hendak dilindungi secara sama atau berimbang yaitu kepentingan masyarakat dan kepentingan individu. Hal tersebut mencerminkan perwujudan dari asas monodualistis sekaligus individualisasi pidana guna mengakomodasi tuntutan tujuan pemidanaan yang sedang berkembang sekarang ini.
27 28
Sudarto, 1982, Pemidanaan dan Tindakan, BPHN, Jakarta, h. 4 Barda Nawawi Arief II, op.cit., h.98
19
1.7 Metode Penelitian Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan kontruksi yang dilakukan secara metodelogis, sistematis dan konsisten. “Metodelogi pada hakekatnya memberikan pedoman, tentang cara-cara seorang ilmuwan mempelajari, menganalisa dan memahami lingkungan-lingkungan yang dihadapinya.29 a. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif. Penelitan hukum normatif adalah suatu cara untuk mendapatkan data-data dari bahan-bahan kepustakaan terutama yang berhubungan mengenai masalah hukum. Penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara mengkaji hukum dalam Law in Book (yang dikonsepsikan sebagai apa yang termaktub dalam peraturan perundangundangan) dan bahan hukum lain di luar peraturan perundang-undangan seperti doktrin atau pendapat para sarjana. 30 Perlunya penelitian hukum normatif ini adalah beranjak dari penambahan pidana pokok dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana Tahun 2013 mengenai pidana pengawasan yang dalam hal ini belum diberlakukan di Indonesia akan tetapi pada prakteknya sudah terdapat di negara-negara yang memiliki sistem hukum yang sama seperti Indonesia yaitu Eropa Kontinental mengenai pidana pengawasan. Sanksi pidana pengawasan belum pernah diatur dalam KUHP di Indonesia saat ini maupun perundang-undangan lainnya.
29 30
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Cet.III, UI Press, Jakarta, h.6
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2004, Penelitian Hukum Normatif, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 41.
20
Sifat penelitian ini adalah deskritif analisis yaitu memaparkan dan menguraikan permasalahan dalam rumusan maslah tersebut di atas yang berkenaan dengan pidana pengawasan dasar filosofisnya dalam
filsafat
pemidanaan yang relevan dalam pembaharuan hukum pidana nasional dan perbandingan pidana pengawasan yang dianut dalam KUHP negara asing seperti, Inggris-Amerika, Perancis-Belgia, dan Portugal. b. Jenis Pendekatan Jenis pendekatan yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan perundang-undangan (the statue approach) pendekatan yang dilakukan dengan cara ini yaitu, mempelajari peraturan perundang-undngan yang berkaitan dengan penelitian, pendekatan analisis konsep hukum (analytical and conceptual approach) dengan pendekatan ini dapat dicari pembenaran berdasarkan suatu teori atau konsep-konsep yang dipergunakan di dalam penelitian dengan memahami konsep-konsep aturan tentang dibuatnya pidana pengawasan dalam Rancangan KUHP Tahun 2013 di Indonesia. Berdasarkan pendekatan tersebut diharapkan akan dapat saling melengkapi sehingga akan dapat memperoleh bahan-bahan hukum yang dapat dijadikan bahan analisis dalam penelitian ini. c. Sumber Bahan Hukum Karena penelitian hukum ini merupakan penelitian hukum normatif, maka sumber data yang digunakan adalah data sekunder berupa bahan hukum yang terdiri atas:
21
a. Bahan hukum primer merupakan sumber bahan hukum mengikat yaitu berupa norma, kaidah dasar dan peraturan yang berkaitan. Sumber hukum primer yang digunakan yakni : -
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
-
RUU-KUHP Nasional (Rancangan Tahun 2013)
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu sumber hukum yang bersifat pelengkap bagi bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder dalam karya tulis ini terdiri atas literatur-literatur, jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum, dan materi muatan internet yang berkaitan dengan rumusan masalah. c. Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang relevan seperti, Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus hukum dan Ensiklopedia. d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ini adalah teknik kepustakaan (study document). Telaah kepustakaan dilakukan dengan sistem kartu (card system) yaitu, cara mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang relevan,
kemudian
dikelompokkan
secara
sistematis
permasalahan yang dibahas dalam penulisan penelitian ini.
sesuai
dengan
22
e. Teknis Analisis bahan hukum Setelah diperoleh bahan hukum yang cukup untuk menyusun penelitian
ini,
kemudian
diklasifikasikan
sesuai
dengan
sistematika
pembahasan. Bahan-bahan hukum yang telah dikualifikasikan tersebut diuraikan secara kualitatif sesuai dengan permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini. Selanjutnya bahan hukum tersebut dianalisis secara deskriptif, evaluatif dan argumentatif berdasarkan konsep-konsep hukum sebagaimana yang telah diuraikan.