BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan berciri nusantara yang disatukan oleh wilayah perairan dan udara dengan batas-batas, hakhak, dan kedaulatan yang ditetapkan oleh Undang-Undang. Bahwa dalam upaya mencapai tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mewujudkan Wawasan Nusantara serta memantapkan ketahanan nasional diperlukan sistem transportasi nasional yang mendukung
pertumbuhan
ekonomi,
pengembangan
wilayah,
mempererat
hubungan antar bangsa, dan memperkukuh kedaulatan negara. Sebagai negara berkembang, bangsa Indonesia harus melaksanakan pembangunan nasional di segala bidang, di semua aspek kehidupan manusia baik materiil maupun spiritual. Pembangunan yang dilaksanakan bangsa Indonesia merupakan rangkaian gerak perubahan menuju kepada kemajuan. Salah satu sarana yang menjadi sasaran pembangunan nasional adalah bidang ekonomi, karena perekonomian suatu negara memegang peranan penting dalam menunjang berhasilnya pembangunan di negara tersebut. Keberhasilan pembangunan perekonomian di suatu negara yang didukung dengan sektor moneter, fiskal dan stabilitas nasional yang mantap, memungkinkan negara tersebut akan lebih mudah dalam mencapai keberhasilan pembangunan disegala
1
2
aspek kehidupan masyarakat, sehingga kesejahteraan masyarakat dengan segera dapat terwujud. Sejalan dengan berkembangnya perekonomian di Indonesia terutama dalam peningkatan produksi barang dan jasa, maka perlu sekali adanya sarana guna menunjang mobilitas orang, barang dan jasa dari suatu tempat ke tempat yang lain guna memenuhi kebutuhan masyarakat. Salah satu sarana yang diperlukan untuk itu adalah pengangkutan. Sebagai negara kepulauan dan negara yang sedang berkembang dalam menjalin hubungan dengan luar negeri maka Indonesia sangat membutuhkan jasa pengangkutan untuk menghubungkan pulau yang satu dengan pulau yang lain dan negara lain. Kondisi dan keadaan seperti itulah yang mengakibatkan jasa pengangkutan menjadi sangat penting.1 Dari hal tersebut dapat kita ketahui bahwa pengangkutan memegang peranan penting dalam pembangunan. Maka dari itu peran pengangkutan diharapkan dapat memberikan jasa sebaik mungkin sesuai dengan fungsinya, yaitu memindahkan barang maupun orang dari satu tempat ke tempat lain dengan maksud untuk meningkatkan daya guna dan nilai.2 Menurut Prof. Subekti perjanjian pengangkutan adalah suatu perjanjian, dimana satu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang atau barang dari satu tempat ke tempat lain sedangkan pihak yang lain menyanggupi akan
Soekardono R. Hukum Dagang Indonesia jilid 11, Hukum Pengankutan di Darat, Rajawali Press, Jakarta, 1981, hal: 4. 2 H. M. N. Purwosutjipto. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, jilid 3 Bagian Pertama, Jakarta,1991, Djambatan, hal: 1.
3
membayar ongkosnya.3 Sedangkan perjanjian pengangkutan menurut H. M. N. Purwosutjipto S.H adalah: Perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan penumpang atau pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang atau orang dari suatu tempat tujuantujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim atau penumpang mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan.4 Kewajiban utama pengangkut adalah " menyelenggarakan " pengangkutan dari tempat asal ke tempat tujuan. Pengangkut juga berkewajiban menjaga keselamatan barang atau penumpang yang diangkutnya hingga sampai di tempat tujuan yang diperjanjikan. Sebaliknya pengangkut juga berhak atas ongkos angkutan yang telah ia selenggarakan. Secara historis, dasar hukum tuntutan ke maskapai bila terjadi kecelakaan ialah Konvensi Chicago 1944, yang merupakan hasil penggabungan Konvensi Paris 1919 (Convention Relating to the Regulation of Aerial Navigation) yang ditandatangani 27 negara, Konvensi Pan Amerika 1927 yang berlaku di negaranegara bagian Amerika, dan Konvensi Liberia Amerika 1929 yang merupakan perjanjian penerbangan di negara-negara Amerika Latin. Ketentuan hukum penerbangan lain yang tidak kalah pentingnya ialah Konvensi Warsawa 1929, yang mengatur pertanggungjawaban maskapai dalam penerbangan internasional. Konvensi Warsawa ini menjadi tonggak sejarah munculnya prinsip presumption of liability dan limitation of liability. Kedua prinsip itu pada intinya menyatakan bahwa pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita penumpang,
4
R. Subekti. Hukum Perjanjian. PT Internasional. Jakarta. 1985. hal 1. R. Subekti. Aneka Perjanjian. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989, hal: 69.
4
kecuali jika pengangkut dapat membuktikan bahwa kerugian (kecelakaan) tersebut bukan karena kesalahannya. Bila tidak, maskapai harus memberikan ganti rugi dengan sejumlah uang pengganti. Dalam suatu pengangkutan di darat, laut, maupun udara, para penumpang sering kali terlihat membawa barang bawaan yang jumlahnya beragam, ada yang banyak dan sedikit. Meskipun barang bawaan penumpang bukan termasuk dalam obyek suatu perjanjian pengangkutan orang dengan pihak pengangkut, tetapi pada kenyataannya banyak penumpang yang membawa barang angkutan, baik yang dibawa sendiri ataupun yang dimasukkan dalam bagasi pesawat, yang kemudian menjadi suatu permasalahan. Masalah mengenai barang bawaan penumpang sangat menarik dan mendasar karena sering kali dijumpai adanya kasus- kasus yang sangat merugikan penumpang terhadap barang bawaan nya. Dari segi hukum, khususnya hukum perjanjian, masalah perlindungan hukum terhadap barang bawaan penumpang yang sangat erat kaitannya mempunyai hubungan hukum dengan penumpang. Hubungan hukum tersebut akan menimbulkan suatu hak dan kewajiban antara pengangkut dan penumpang selaku pemilik barang bawaan.
Dengan
demikian antara pengangkut dan penumpang mendapat kepastian akan kedudukan hukum serta hak dan kewajibanya dan juga ada jaminan akan kepastian hukum tentang kedudukan hukum serta hak dan kewajibanya. Secara umum transportasi memegang peranan penting dalam dua hal yaitu pembangunan ekonomis dan pembangunan non ekonomis. Tujuan yang bersifat ekonomis misalnya peningkatan pendapatan nasional, mengembangkan industri
5
nasional dan menciptakan serta memelihara tingkat kesempatan kerja bagi masyarakat. Sejalan dengan tujuan ekonomis tersebut adapula tujuan yang bersifat non ekonomis yaitu untuk mempertinggi integritas bangsa, serta meningkatkan pertahanan dan keamanan nasional.5 Penerbangan merupakan bagian dari sistem transportasi nasional yang mempunyai karakteristik mampu bergerak dalam waktu cepat, menggunakan teknologi tinggi, padat modal, manajemen yang andal, serta memerlukan jaminan keselamatan dan keamanan yang optimal, perlu dikembangkan potensi dan peranannya yang efektif dan efisien, serta membantu terciptanya pola distribusi nasional yang mantap dan dinamis. Dewasa ini di Indonesia terdapat kesenjangan yang cukup besar antara perkembangan dunia angkutan udara domestik di satu pihak dan hukum angkutan udara nasional di pihak lainnya. Banyak nya maskapai penerbangan di Indonesia yang melayani penerbangan domestik maupun internasional menyebabkan persaingan di dalam dunia penerbangan. Kesenjangan tersebut sangat terasa, terutama bila di tinjau dari permasalahan yang berkaitan dengan tanggung jawab pengangkut udara atas kerugian yang timbul dalam pengangkutan udara. Adapun faktor- faktor yang menyebabkan timbulnya kesenjangan tersebut, antara lain adalah : pertama, perkembangan teknologi penerbangan yang sangat cepat; kedua, peranan dan fungsi angkutan udara yang sangat penting bagi Indonesia sebagai negara kepulauan yang sangat luas; ketiga, peraturan
5
Abbas Salim. Manajemen Transportasi. Jakarta: Raja Grafindo. 2006. hlm. 2.
6
perundang- undangan di bidang angkutan udara, khususnya Ordonansi Pengangkutan Udara 1939, sampai saat ini belum mengalami perubahan apapun sehingga banyak hal yang sudah tidak sesuai lagi. Dalam sejarahnya, penerbangan pertama di Indonesia terjadi pada tanggal 19 Februari 1939 ketika J.W.E.R. Hilgers, seorang warga negara Belanda, melakukan penerbangan di atas kota Surabaya dengan sebuah pesawat jenis Fokker. Peristiwa tersebut ternyata bukan hanya penerbangan pertama, akan tetapi juga peristiwa kecelakaan yang ditumpangi Hilgers jatuh di desa Baliwerti, Surabaya.6 Salah satu perusahaan penerbangan yang berkembang dengan sangat cepat dan menjadi perusahaan angkutan udara domestik utama yang menghubungkan kota- kota besar di dalam negeri hingga mancanegara adalah Garuda Indonesia Airways. Program utama mereka adalah penguatan jaringan di dalam negeri. Tidak tanggung-tanggung, tahun ini mereka berencana menambah 18 rute. Lima belas diantaranya rute domestik dan sisanya internasional. Saat ini Garuda mempunyai 21 kota tujuan domestik dan 18 kota tujuan internasional di Asia dan Australia. Saat ini jumlah armada Garuda adalah 48 pesawat. Terdiri dari tiga B747-400, enam A330-300, dua B737 NG, 19 B737-400, 13 B737-300 dan lima B737-500. Ini membuktikan bahwa laju pertumbuhan dan perkembangan dunia penerbangan domestik sangatlah cepat. Hal ini sangat didukung dengan faktor penduduk yang semakin bertambah mengingat mereka merupakan salah satu sasaran dari unsur penerbangan itu sendiri. Saefullah Wiradipraja. Tanggungjawab Pengangkut Pengangkut Dalam Hukum Pengangkutan Udara Internasional dan Nasional. Ctk. Pertama.Yogyakarta. 1989:Liberty. Hal. 2.
7
Namun disamping itu perlu di ingat bahwa penerbangan udara dalam hal ini lebih umum dikenal dengan sebutan pengangkutan melalui udara merupakan kegiatan yang mempunyai sifat Katastrofis yaitu membahayakan, karena bila sampai terjadi kecelakaan maka akan berakibat fatal bagi penumpang, awak penumpang, barang bagasi maupun bagi pesawat udara sendiri. Kerugian yang terjadi seringkali merupakan total- loss ( total verlies ) yaitu kerugian menyeluruh. Resiko yang bersifat khusus ini terdapat tidak hanya selama pesawat udara itu dalam penerbangan, didarat resiko pesawat udara itu ada.7 Sebagai ilustrasi : Penerbangan pesawat Garuda dengan nomor penerbangan GA 415 dari Bandara Ngurah Rai Denpasar-Bali ke Jakarta, Minggu, 23
Mei
2004,
terpaksa
mengalami
keterlambatan
sekitar
enam
jam.
"Keterlambatan yang luar biasa". Amarah, jengkel, dan rasa kecewa pun akhirnya tak terbendung yang dirasakan oleh penumpang maupun akhirnya diberangkatkan dengan penerbangan berikutnya. Dari seharusnya pukul 17.25 waktu Bali menjadi sekitar pukul 20.15 dan berubah lagi menjadi pukul 22.15. Keterlambatan pun tidak cukup dua kali, menjelang chek in yang ketiga kali ternyata molor lagi menjadi pukul 23.00 waktu Bali. Penerbangan pun terpaksa alih pesawat menjadi GA 417.8 Dalam kasus tersebut diatas sangat jelas konsumen dirugikan. Pihak perusahaan penerbangan yang bersangkutan sebagai penyelenggara seharusnya mampu memberikan keadilan bagi para konsumen selaku pengguna jasa di
R.Ali.Rido. Hukum Dagang tentang aspek- aspek hukum dalam asuransi udara, asuransi jiwa, dan perkembangan PT, Bandung, 1986,Remaja Karya, hal. 5. http://tempo.com.
8
perusahaan tersebut. Tidak hanya mengutamakan faktor kenyamanan, akan tetapi juga keamanan itu sendiri. Di satu sisi memang keberadaan angkutan udara sangat dibutuhkan oleh konsumen untuk mempermudah dan memperlancar proses aktivitas mereka, akan tetapi di sisi lain pihak pengangkut pun merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan konsumen. Prinsip tanggung jawab mutlak menetapkan bahwa maskapai selalu bertanggung jawab atas kerugian yang timbul selama penerbangan, dan tidak bergantung pada ada-tidaknya unsur kesalahan di pihak maskapai. Kecuali dalam hal kerugian yang disebabkan oleh keterlambatan, dengan syarat maskapai harus membuktikan bahwa keterlambatan itu disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional, sebagaimana diatur di Pasal 146 UU No. 1/2009. Pada prinsipnya yang menjadi inti pokok dari isi perjanjian pengangkutan adalah segala perbuatan pemberian dan penerima jasa yang berhubungan dengan hak& kewajiban itu bersifat timbal balik, maksudnya hak dari satu pihak merupakan kewajiban dari pihak lain. Aspek yuridis terpenting dalam pelaksanaan perjanjian pengangkutan udara ialah soal tanggung jawab atas kerugian- kerugian yang di luar perhitungan sehingga sering terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan. Adanya hubungan saling ketergantungan antara pihak pengangkut dengan konsumen selaku pengguna jasa, seharusnya mampu menempatkan kesetaraan kedudukan antara pihak pengangkut dengan pihak konsumen. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan membuat skripsi yang berjudul : PERLINDUNGAN HUKUM
9
BAGI PENUMPANG ANGKUTAN UDARA DI YOGYAKARTA ( STUDI KASUS DI PT GARUDA INDONESIA )
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang masalah, maka dapat ditarik perumusan masalahnya yaitu : 1. Bagaimana perlindungan hukum pada konsumen selaku pengguna jasa di Garuda Indonesia Airways ? 2. Bagaimana penyelesaian dalam hal keterlambatan dan kerusakan barang penumpang?
C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian berdasarkan rumusan masalah tersebut diatas yaitu : 1. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum pada konsumen pengguna jasa angkutan udara di Garuda Indonesia Airways. 2. Untuk mengetahui penyelesaian dalam hal keterlambatan dan kerusakan barang penumpang.
D. Tinjauan Pustaka Seiring pertumbuhan dan perkembangan yang cukup pesat dalam industri penerbangan, pengertian tentang apa yang diangkut oleh pesawat udara sangat terbatas, namun sebagian besar yang diangkut adalah penumpang. Ordonansi
10
Pengangkutan Udara ( OPU ) tidak memberikan definisi tentang apa yang dimaksud dengan penumpang, akan tetapi pada penerbangan dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan penumpang oleh Ordonansi tersebut adalah setiap orang yang diangkut oleh pengangkut berdasarkan suatu perjanjian pengangkutan. Mengenai pengertian pengangkutan dan perjanjian pengangkutan, tidak ditemui dalam Peraturan Perundang- Undangan di dalam KUHPerdata maupun KUHDagang. Oleh karena itu untuk mengetahui pengertian pengangkutan dan perjanjian pengangkutan tersebut, dapat kita pedomani pendapat para ahli hukum yang merupakan salah satu sumber tata hukum Indonesia. Dalam perjanjian pengangkutan penumpang, bila pengangkut dan penumpang telah tercapai kata sepakat akan syarat- syarat perjanjian maka sejak itu terjadi perjanjian pengangkutan udara khusus pengangkutan penumpang. Dengan demikian akan melahirkan hak dan kewajiban masing- masing pihak, artinya dokumen angkutan penumpang seperti tiket penumpang, tiket bagasi, dan surat muatan udara bukan merupakan suatu perjanjian angkutan udara, karena tanpa diberikan dokumen angkutan, tetap ada suatu perjanjian angkutan. Istilah konsumen berasal dari bahasa Belanda "Consument", para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen adalah pemakai terakhir dari barang dan atau jasa yang diperdagangkan oleh pelaku usaha. Banyak batasan tentang perlindungan konsumen itu sendiri. Di dalam KUHPerdata juga terdapat ketentuan- ketentuan yang bertendensi melindungi konsumen, seperti tersebar dalam beberapa pasal buku III, bab V, bagian II yang dimulai dari pasal 1365.
11
Adapun pengertian konsumen menurut UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam pasal 1 ayat 2, di tentukan yaitu Setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. A.Z. Nasution, SH menggunakan batasan konsumen sebagai berikut : " Setiap orang yang mendapatkan secara sah dan menggunakan barang/ jasa untuk suatu kegunaan tertentu."9 Dari pengertian diatas dapat digambarkan bahwa penumpang pesawat udara
termasuk
dalam
kategori
pengertian
konsumen
karena
mereka
menggunakan jasa untuk suatu kegunaan tertentu, dalam hal ini untuk kepentingan pribadi dan tidak untuk diperdagangkan. Sedangkan pengertian perlindungan hukum menurut UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam pasal 1 ayat 1 ditentukan : Segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Selaku konsumen baik itu dalam kegiataan perekonomian, perdagangan, teknologi, pengangkutan ataupun bidang yang lain. Dalam era globalisasi ini mereka diberi hak sehingga konsumen tidak bisa hanya dipandang sebagai obyek bagi pelaku usaha, hak tersebut sangat jelas tercermin dalam UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999, pada pasal 4 :
9 A.Z. Nasution, Konsumen dan Hukum ( tinjauan sosial, ekonomi, dan hukum pada perlindungan konsumen Indonesia ), Ctk. Pertama, Jakarta, 1995, hlm. 69.
12
a) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/ atau jasa; b) Hak untuk memilih barang dan/ atau jasa serta mendapatkan barang dan/ atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c) Hak atas informasi yang benar, jelas,, dan jujur mengenai kondisi dan dan jaminan barang dan/ atau jasa; d) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/ atau jasa yang digunakan; e) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f) Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g) Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h) Hak untuk mendapatkan kompensasi, gantirugi dan/ atau penggantian, apabila barang dan/ atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i) Hak- hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan lainnya. Yang akan disoroti dalam penelitian ini adalah hak untuk mendapat kompensasi, ganti rugi, dan atau penggantian tersebut setidaknya ada gambaran tentang perlindungan hukum terhadap hak- hak konsumen selaku pengguna jasa. Adapun ketentuan tentang hal mendapat kompensasi, ganti rugi, dan atau penggantian tersebut diatas. Pelaku usaha dalam hal ini pihak pengangkut sendiri
13
berkewajiban sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah RI No. 40 tahun 1995 tentang , pasal 42 yang berbunyi : Perusahaan angkutan udara yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga berjadwal bertanggung jawab atas : a) Kematian atau lukanya penumpang yang diangkut; b) Musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut; c) Keterlambatan angkutan penumpang dan/ atau barang yang diangkut apabila terbukti hal tersebut merupakan kesalahan pengangkut. Sedangkan dalam UU Perlindungan Konsumen telah ditentukan pula tanggung jawab pelaku usaha yang dimuat dalam pasal 19 sampai dengan 28 yang diantaranya berkaitan dengan hal- hal penting sebagai berikut : a) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan; b) Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut; c) Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang di impor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri; d) Pelaku usaha yang menjual barang dan atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi; e) Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/ atau garansi yang disepakati dan/ atau yang diperjanjikan.
14
Dari ketentuan yang tersebut diatas, hal itu dimaksudkan supaya pelaku usaha dalam hal ini pihak pengangkut dibebani kewajiban untuk melindungi hakhak konsumen yang bersifat signifikan, sehingga konsumen dapat terhindar dari kerugian dan merasa nyaman dengan melakukan penerbangan manapun. Karena itu sudah saatnya timbul kesadaran bahwa pihak pengangkut jangan hanya menggunakan tarif angkutan penerbangan, akan tetapi juga hak- hak konsumen yang semula mungkin sepele tetapi dirasakan penting setelah adanya kasus konsumen yang dirugikan tersebut. Dengan demikian lambat laun akan terwujud perlindungan hukum bagi konsumen selaku pengguna jasa angkutan udara karena secara tidak langsung baik pihak pengangkut dan konsumen selaku penumpang keduanya saling membutuhkan.
E. Metode Penelitian Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut: 1. Objek Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah : a. Perlindungan hukum terhadap konsumen pada penumpang pengguna jasa angkutan udara. b. Penyelesaian yang dilakukan oleh pengangkut apabila terjadi pelanggaran terhadap hak- hak konsumen pengguna jasa angkutan udara. 2. Subjek Penelitian Dalam penelitian ini, subjek penelitiannya adalah : a. Pimpinan Garuda Indonesia Airways di Yogyakarta.
15
b. Penumpang Garuda Indonesia. 3. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut : a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari subjek penelitian tentang perlindungan hukum bagi konsumen. b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh penulis berdasarkan literatur, perundang- undangan yang berlaku, serta keterangan- keterangan lainnya yang berhubungan dengan penulisan. 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis adalah : a. Wawancara, dalam melakukan wawancara menggunakan teknik semi struktur interview, yaitu pertanyaan- pertanyaan disusun terlebih dahulu dan ditambah wawancara terbuka guna lebih mendalami lagi permasalahan yang dibicarakan. b. Study kepustakaan, yaitu dengan cara membaca dan mempelajari literatur, serta Undang- Undang yang berlaku dengan memperhatikan kesatuan isi yang berkaitan dengan penelitian. 5. Pendekatan yang digunakan oleh penulis dalam penulisan ini adalah pendekatan yuridis- normatif yaitu pendekatan dari sudut pandang ketentuan hukum atau perundang- undangan yang berlaku. 6. Analisis Data Data- data yang berhasil dikumpulkan, disajikan secara diskriptif dan dianalisis secara kualitatif, yaitu data- data tersebut diuraikan dan dihubungkan dengan
16
masalah yang diteliti kemudian menganalisa dan menggambarkan keadaan yang terjadi dalam penelitian sehingga diperoleh jawaban dari masalah yang diteliti.
F. Kerangka Skripsi Dalam BAB I penulis akan menguraikan antara lain tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka pikir, metode penelitian, serta tinjauan pustaka, dimana sub bab – sub bab tersebut merupakan awal perkenalan permasalahan, yang memberikan pengertian – pengertian awal tentang pokok bahasan, yang nantinya akan dibahas lebih lanjut dalam penulisan tugas akhir ini, dan antara sub bab yang satu dengan yang lain itu saling berkaitan satu sama lain. Dalam BAB II ini penulis akan menguraikan lebih lanjut tentang pokok bahasan yang dikaji secara umum, antara lain tentang pengertian perlindungan hukum, pengertian perlindungan hukum konsumen, pengertian angkutan udara, pengertian konsumen, hak- hak konsumen, kewajiban konsumen, pengertian pelaku usaha, hak- hak pelaku usaha, kewajiban pelaku usaha, tanggung jawab pelaku usaha, dan prinsip- prinsip tanggung jawab. Dalam BAB III ini penulis akan menguraikan apa saja yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan ini, serta mengkaji pokok bahasan secara khusus terkait dengan pelaksanaan perlindungan hukum pada konsumen pengguna jasa angkutan udara dan bentuk penyelesaian dalam hal konsumen dirugikan dalam pengangkutan udara.
17
Dalam BAB IV ini, penulis akan menguraikan tentang kesimpulan dan saran. Pada kesimpulan ini di uraikan mengenai hasil akhir dari penelitian yang di uraikan mengenai masukan- masukan yang di peruntukan bagi pengguna jasa angkutan khususnya udara. Serta memberikan saran dan kritik yang sesuai dengan pokok permasalahan yang ada.