BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan yang
terdiri atas beribu pulau, yang berada di antara dua benua dan dua samudera sehingga mempunyai posisi dan peranan penting dan strategis dalam hubungan antarbangsa. Pengakuan internasional kepada Indonesia sebagai negara kepulauan didasarkan pada Deklarasi Juanda pada tanggal 13 Desember 1957 yang mengumumkan mengenai Wilayah Perairan Indonesia yang berbunyi "Bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk Negara Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Indonesia dan dengan demikian bagian daripada perairan pedalaman atau nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Negara Indonesia.”3 Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, pengertian Negara Kepulauan adalah negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Perubahan kedudukan Negara Republik Indonesia sebagai negara kepulauan membawa implikasi yang sangat luas tidak saja terhadap kepentingan nasional, tetapi juga terhadap kepentingan internasional di perairan Indonesia. Pengakuan dunia internasional terhadap asas negara kepulauan sebagai penjelmaan aspirasi bangsa Indonesia,
3
Penjelasan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia;
membawa konsekuensi bahwa Indonesia juga harus menghormati hak-hak masyarakat internasional di perairan yang kini menjadi perairan nasional, terutama hak lintas damai dan hak lintas alur laut kepulauan bagi kapal-kapal asing. Dalam rangka menghubungkan pulau-pulau di Indonesia, Pemerintah menyusun sistem transportasi nasional yang efektif dan efisien, dalam menunjang dan sekaligus menggerakkan dinamika pembangunan, meningkatkan mobilitas manusia, barang, dan jasa, membantu terciptanya pola distribusi nasional yang mantap dan dinamis, serta mendukung pengembangan wilayah dan lebih memantapkan perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, turut mendukung pertahanan dan keamanan, serta peningkatan hubungan internasional.4 Peningkatan sistem transportasi nasional dilakukan sebagai perwujudan pembangunan nasional dan Wawasan Nusantara yang memberikan manfaat
kepada
masyarakat
yang
sebesar-besarnya
bagi
kemanusiaan,
peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengembangan bagi warga negara, serta upaya peningkatan pertahanan dan keamanan negara. Transportasi sebagai sarana untuk memperlancar roda perekonomian, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, memantapkan perwujudan Wawasan Nusantara, meningkatkan serta mendukung pertahanan dan keamanan negara, yang selanjutnya dapat mempererat hubungan antarbangsa. Salah satu moda transportasi yang memegang peranan penting untuk menghubungkan antar pulau
4
di
Indonesia
adalah
transportasi
angkutan
laut.
Penjelasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran;
2
Angkutan laut sebagai salah satu moda transportasi ditata dalam satu kesatuan sistem transportasi nasional yang terpadu dan mampu mewujudkan penyediaan jasa transportasi yang seimbang sesuai dengan tingkat kebutuhan dan tersedianya pelayanan angkutan yang selamat, aksesibilitas tinggi, terpadu, kapasitas mencukupi, teratur, lancar dan cepat, mudah dicapai, tepat waktu, nyaman, tarif terjangkau, tertib, aman, polusi rendah, dan efisien. Untuk pembangunan dan pengembangan angkutan transportasi laut, diperlukan armada pelayaran nasional. Pembiayaan pengadaan armada nasional melalui kredit maritim dan ship leasing luar negeri tidak terlepas dari kerjasama internasional,
sehingga
aspek
transnasional
dan
aspek
hukum
perdata
internasional mempengaruhi kebijakan pemerintah, dengan memperhatikan nilainilai yang berkembang dalam masyarakat nasional dan internasional, khususnya jaminan kebendaan kapal laut yang dapat memberikan kepastian hukum terhadap pengembalian kredit yang diberikan.5 Pengembangan armada nasional bersifat padat modal yang memerlukan pembiayaan jangka panjang dan dana investasi yang sangat besar. Pembiayaan untuk pengadaan kapal dapat diperoleh melalui pinjaman, kredit, atau loan dari lembaga keuangan bank dan nonbank, dengan syarat pemberian jaminan hipotek. Untuk itu pemerintah mengambil suatu kebijaksanaan untuk memberikan bantuan modal dengan menggunakan fasilitas kredit, dimana penyelenggaraan pemberian kredit ini banyak direalisasi oleh Bank, baik Bank Pemerintah maupun Bank Swasta yang dikordinir oleh Bank Indonesia. 5
Anis Idham, 1995, Pranata Jaminan Kebendaan Hipotek Kapal Laut dan Masalah Eksekusi Hipotek Kapal Laut Ditinjau dari Hukum Maritim, Alumni, Bandung, Hlm. 11;
3
Kebijakan Pemerintah untuk mendorong pengembangan pelayaran nasional dilakukan dengan pelaksanaan asas cabotage yakni dengan cara pemberdayaan angkutan laut nasional yang memberikan iklim kondusif guna memajukan industri angkutan di perairan, antara lain adanya kemudahan di bidang perpajakan, dan permodalan dalam pengadaan kapal serta adanya kontrak jangka panjang untuk angkutan. Untuk mendukung kebijakan tersebut, Pemerintah melalui Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional mengintruksikan kepada Lembaga Keuangan untuk mendorong perbankan nasional untuk berperan aktif dalam rangka pendanaan untuk mengembangkan industri pelayaran nasional. Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran telah diatur mengenai hipotek kapal. Pengaturan ini merupakan salah satu upaya untuk meyakinkan kreditur bahwa kapal Indonesia dapat dijadikan agunan berdasarkan peraturan perundang-undangan, sehingga diharapkan perusahaan angkutan laut nasional akan mudah memperoleh dana untuk pengembangan armadanya.6 Pendanaan untuk industri pelayaran dapat dilakukan melalui pemberian kredit dengan kapal sebagai jaminan atau agunan. Jaminan mempunyai kedudukan dan manfaat bagi kreditur yakni untuk memberikan keamanan dan kepastian hukum. Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, telah diatur defenisi Agunan dan Kredit.
6
Penjelasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran;
4
“Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah.” “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.”7 Pemberian kredit yang dilakukan oleh Bank didasarkan pada keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah Bank sebagai debitur untuk membayar hutang. Bank dalam memperoleh keyakinan sebelum memberikan kredit harus melakukan penilaian dengan seksama terhadap watak, kemampuan, modal, angunan, dan prospek usaha dari debitur. Kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko, sehingga guna mengurangi resiko kerugian dalam pemberian kredit diperlukan jaminan pemberian kredit. Jaminan tersebut harus tetap ideal karena jaminan berfungsi untuk melancarkan dan mengamankan pemberian kredit yaitu dengan memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasan dari barang-barang jaminan tersebut bilamana debitur wanprestasi. Dalam seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional pada tanggal 20-30 Juli 1997 di Yogyakarta, disimpulkan pengertian jaminan, yakni menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum. Hukum jaminan adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan delam
7
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
5
kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit.8 Lembaga penjaminan dengan penguasaan terhadap benda yang menjadi jaminan yang mana benda jaminan tersebut berada dalam penguasaan kreditur terdiri atas:9 1. Mortgage, yaitu pembebanan atas benda tak bergerak (hipotek); 2. Chattel mortgage, yaitu mortgage atas benda-benda bergerak (umumnya berupa mortgage kapal laut dan kapal terbang); 3. Fiduciary transfer of ownership, yaitu permindahan hak milik atas kepercayaan yang dipakai jaminan hutang; 4. Leasing, yaitu suatu perjanjian dimana si peminjam (leassee) menyewa barang modal untuk usaha tertentu dan jaminan angsuran tertentu. Sesuai dengan tujuannya, barang jaminan bukan untuk dimiliki kreditur, karena perjanjian hutang piutang bukan perjanjian jual beli yang mengakibatkan perpindahan hak milik atas suatu barang. Adanya benda jaminan bagi debitur merupakan dasar untuk mengajukan kredit, sedangkan bagi kreditur, jaminan memberikan kepastian hukum untuk menerima pengembalian pokok kredit dan bunga dari debitur. Jaminan yang lahir karena undang-undang merupakan jaminan yang keberadaannya ditunjuk undang-undang, tanpa adanya perjanjian para pihak.10 Berdasarkan Pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, diatur ketentuan pemberian jaminan yang bersifat umum. Dalam Pasal 1131 KUHPerdata dinyatakan bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Sedangkan dalam Pasal 1132, menyebutkan bahwa Kebendaan tersebut menjadi 8
Salim HS, 2012, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, Hlm. 6; 9 Ibid, Hlm 27; 10 Henny Tanuwidjaja, 2012, Pranata Hukum Jaminan Utang dan Sejarah Lembaga Hukum Notariat, PT. Refika Aditama, Hlm 15;
6
jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbanganya itu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Pengaturan mengenai alasan-alasan yang sah untuk didahulukan diatur pada 1134 KUHPerdata, yakni Hak istimewa ialah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang yang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya. Gadai dan hipotek adalah lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal-hal di mana oleh Undang-Undang ditentukan sebaliknya. Dalam Pasal 1162 KUHPerdata diatur mengenai jaminan khusus mengenai hipotek, yakni suatu hak kebendaan atas benda tidak bergerak untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan (vebintenis). Yang dapat dibebani hipotek yakni:11 1. Barang-barang tak bergerak yang dapat diperdagangkan, beserta semua yang termasuk bagiannya, sejauh hal tersebut terakhir ini diaanggap sebagai barang tak bergerak; 2. Hak pakai hasil barang-barang itu dengan segala sesuatu yang termasuk bagiannya; 3. Hak numpang karang dan hak usaha; 4. Bunga tanah yang terutang, baik dalam bentuk uang maupun dalam bentuk hasil tanah; 5. Hak sepersepuluhan; 6. Bazar atau pekan raya, yang diakui oleh Pemerintah, beserta hak istimewa yang melekat. Pengertian benda diatur dalam Pasal 499 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yakni tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik. 11
Ibid., Hlm.79;
7
Benda dibagi atas tiga macam, yaitu: 1. Benda yang bertubuh dan tidak bertubuh sebagaimana diatur dalam Pasal 503 KUHPerdata; 2. Benda bergerak dan tidak bergerak sebagaimana diatur dalam Pasal 504 KUHPerdata; 3. Benda yang dapat habis dan tidak dapat habis sebagaimana diatur dalam Pasal 505 KUHPerdata. Dari penggolongan macam-macam benda menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut di atas, hal yang sangat terkait dengan penulisan ini adalah penggolongan benda tidak bergerak. Pembagian benda tidak bergerak digolongkan karena sifatnya, tujuan pemakaiannya dan memang ditentukan demikian oleh undang-undang. Benda yang tidak bergerak karena sifatnya adalah tanah dan segala sesuatu yang melekat atau tumbuh di atasnya, misalnya pohon-pohon, tumbuh-tumbuhan kecil. Benda tidak bergerak karena tujuan pemakaiannya adalah mesin-mesin yang dipakai di dalam pabrik, yang sebetulnya benda bergerak tetapi oleh pemiliknya dalam pemakaiannya dihubungkan atau diikatkan pada benda yang tidak bergerak yang merupakan benda pokok. Benda tidak bergerak karena ditentukan oleh undang-undang antara lain kapal laut yang berukuran minimal 20 meter kubik isi kotor atau setara dengan GT 7 (tujuh grosse tonnage). Berdasarkan Pasal 510 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kapal-kapal, perahu-perahu, perahu tambang, gilingan-gilingan dan tempat-tempat pemandian yang dipasang di perahu atau yang berdiri, terlepas
8
dari benda sejenis itu adalah benda bergerak, akan tetapi jika kapal-kapal itu didaftar, kapal tersebut tidak mempunyai status yang sama lagi dengan benda bergerak. Kapal-kapal yang dapat dibukukan atau didaftarkan dalam register kapal adalah kapal yang beratnya paling sedikit dua puluh meter kubik isi kotor sesuai Pasal 314 ayat 1 KUHD. Kapal yang terdaftar diperlakukan seperti benda tidak bergerak jika dijadikan jaminan hutang, dengan lembaga yang dipergunakan adalah hipotek. Sedangkan untuk kapal-kapal yang tidak didaftarkan lembaga jaminannya adalah gadai atau fidusia. Hipotek kapal adalah hak agunan kebendaan atas kapal yang terdaftar untuk menjamin pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lain.12 Menjamin pelunasan utang, maksudnya, bahwa dengan adanya hipotek kapal tersebut memberikan keamanan dan menjamin kepastian hukum bagi kreditur. Apabila debitur wanprestasi, maka objek hipotek kapal laut tersebut dapat dilakukan pelelangan di muka umum dengan tujuan untuk pelunasan suatu hutang pokok, bunga, dan biaya-biaya lainnya. Dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 13 Tahun 2012 tentang Pendaftaran dan Kebangsaan Kapal, salah satu syarat untuk penerbitan akta hipotek kapal kapal adalah adanya perjanjian kredit. Istilah akta merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda, yakni acta, dalam bahasan Prancis disebut acte, yakni surat tanda bukti tertulis yang berisi
12
Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran;
9
pernyataan resmi dari para pihak maupun di muka dan dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu, yang dibuat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.13 Dalam pembebanan hipotek atas kapal dilakukan dengan pembuatan akta hipotek kapal oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal di tempat kapal didaftarkan dan dicatat dalam daftar induk kapal yang bersangkutan.14 Perjanjian kredit menjadi sumber perbuatan hukum bagi debitur dan kreditur. Menurut Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Defenisi tersebut kurang memberikan kejelasan, karena rumusan tersebut hanya menyebutkan perbuatan saja, sehingga yang bukan perbuatan hukum pun disebut sebagai perjanjian. Defenisi perjanjian menurut Salim HS adalah hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan.15 Berdasarkan defenisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa hubungan hukum yang lahir dari perjanjian akan menimbulkan akibat hukum berupa hak dan kewajiban sesuai dengan hal-hal yang telah disepakati. Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana sesorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu
13
14
15
H.Salim, et al, 2001, Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU), Sinar Grafika, Jakarta, Hlm. 29; Pasal 28 ayat (2) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 13 Tahun 2012 tentang Pendaftaran dan Kebangsaan Kapal; H. Salim, HS, 2005, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, Hlm. 17;
10
hal, yang mana dari peristiwa tersebut menimbulkan hubungan antara dua orang yang disebut perikatan.16 Dalam perjanjian kredit sebagai syarat pengajuan hipotek kapal, perjanjian dibuat antara pemilik kapal dengan bank atau lembaga keuangan non bank yang isi dan syarat-syaratnya telah ditentukan secara sepihak oleh bank atau lembaga keuangan non bank. Syarat perjanjian telah dituangkan dalam bentuk standar, yang cenderung didominasi kepentingan pihak kreditur.17 Dalam rangka mengamankan kepentingan bank selaku kreditur, pemberian jaminan oleh debitur tidak dilarang, hal tersebut mempunyai dasar hukum yang sangat kuat sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata, yaitu bahwa seluruh harta kekayaan debitur merupakan jaminan bagi pelunasan piutang seluruh krediturnya, sehingga hampir setiap bentuk aktiva perusahaan atau aktiva pribadi dapat digunakan sebagai jaminan untuk kredit. Berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, diatur bahwa dalam memberikan kredit, bank umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Salah satu unsur yang menjadi pertimbangan pemberian kredit adalah agunan, yang dapat berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Perjanjian pembebanan hipotek kapal merupakan perjanjian tambahan atau accesoir yang mempunyai kedudukan bergantung kepada perjanjian pokok.
16 17
Subekti, 2005, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, Hlm.1; H. Salim HS, 2012, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Hlm. 207;
11
Perjanjian pokok dari hipotek kapal adalah perjanjian untuk memberikan fasilitas kredit oleh bank kepada debitur. Sifat assesoir dari perjanjian pembebanan hipotek memiliki ciri sebagai berikut18: 1. Terjadinya dan berakhirnya perjanjian jaminan bergantung pada perikatan pokok perjanjian; 2. Hipotek tidak dapat dipindahkan secara mandiri, namun harus dipindahkan bersama-sama dengan perikatan pokok. Mekanisme pengajuan hipotek kapal telah diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 13 Tahun 2012, yakni salah satunya adalah kapal telah didaftarkan dalam daftar kapal Indonesia. Sebagai bukti kapal telah dibebani hipotek kepada penerima hipotek diberikan grosse akta hipotek kapal yang ditandatangani oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal atau Pegawai Pembantu Pendaftaran dan Baliknama Kapal dan grosse akta pendaftaran kapal atau grosse akta baliknama kapal. Grosse akta hipotek kapal mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, yang artinya bahwa pemegang hipotek dapat menggunakan grosse akta hipotek sebagai landasan hukum untuk melaksanakan eksekusi tanpa melalui proses gugatan di pengadilan.19 Dalam pelaksanaannya, kapal dapat dibebani lebih dari 1 (satu) hipotek yang peringkat dari masing-masing hipotek ditentukan sesuai dengan tanggal dan nomor
18 19
Anis Idam, op.cit, Hlm. 133; Pasal 60 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran;
12
urut akta hipotek. Peringkat hipotek menjadi dasar tingkat pendahuluan dalam pembayarannya hutang. Dimasa saat ini, perlindungan hukum terhadap kreditur dengan jaminan hipotek kapal menjadi sangat penting, sehingga bank atau lembaga keuangan non bank memiliki kepastian hukum dalam memberikan fasilitas kredit kepada para pemilik kapal. Salah satu cara yang dilakukan oleh bank atau lembaga keuangan non bank untuk mengurangi resiko terjadinya wanprestasi adalah dengan meminta pembebanan hipotek kapal. Tantangan yang dihadapi dalam pembebanan hipotek kapal adalah20: 1. Nilai kapal sulit ditentukan mengingat belum adanya harga pasar untuk kapal laut; 2. Kapal
laut
merupakan
benda
tetap
yang
dapat
bergerak
sehingga
pengeksekusian kapal laut cukup sulit untuk dilakukan apabila debitur gagal bayar; 3. Risiko musnahnya kapal laut cukup besar. Di lain pihak, peraturan perundang-undangan juga memberikan hak khusus kepada kreditur hipotek kapal yakni hak preferensi yang berarti bahwa pihak kreditur yang diberi jaminan kredit oleh debitur akan mempunyai hak atas jaminan pelunasan utang yang didahulukan dari pihak kreditur lainnya, sehingga manakala kreditur tidak membayar utang secara lunas (wanprestasi), jaminan hipotek harus dijual dan dari harga penjualan tersebut akan diambil pelunasan sesuai perjanjian, sedangkan kelebihannya harus dikembalikan kepada debitur dan sebaliknya jika 20
Ramlan Ginting, Tinjauan Terhadap RUU tentang Hipotek Kapal, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, 2008, Hlm. 32;
13
hasil penjualan objek jaminan tidak menutupi utang yang ada, maka debitur masih berkewajiban membayar sisi utang.21 Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, penulis sangat tertarik untuk membahas lebih mendalam mengenai “Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Dengan Jaminan Hipotek Kapal.”
B.
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang sebagaimana diuraikan di atas, masalah yang
perlu diteliti adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana mekanisme pelaksanaan pendaftaran hipotek kapal? 2. Bagaimana pemenuhan hak kreditur preference untuk memperoleh pelunasan utang dengan jaminan hipotek kapal?
C.
Tujuan Penelitian Dalam rangka memberikan kepastian hukum terhadap kreditur dalam
pelaksanaan jaminan hipotek kapal yang memiliki risiko kerentanan terjadinya wanprestasi, maka perlu adanya penelitian yang dapat memberikan penjelasan terkait permasalahan yang mungkin timbul dalam perikatan hipotek kapal, yang meliputi: 1. Mekanisme pelaksanaan pendaftaran hipotek kapal; 2. Hak kreditur preference untuk memperoleh pelunasan utang dengan jaminan hipotek kapal;
21
Munir Fuady, 2013, Hukum Jaminan Utang, Erlangga, Hlm. 164;
14
D.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan khususnya tentang jaminan hipotek kapal dan sekaligus diharapkan dapat bermanfaat bagi pelaku bisnis, praktisi hukum, akademisi, dan masyarakat. 1. Secara teoritis Hasil penelitian ini diharapkan mampu menambah perbendaharaan wacana (discourse) bagi pengembangan ilmu hukum umumnya dan hukum jaminan hipotek kapal khususnya, serta sebagai bahan kepustakaan bagi penelitian yang berhubungan dengan Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Dengan Jaminan Hipotek Kapal. 2. Secara praktis Diharapkan dapat menjadi masukan (input) dan pertimbangan yang bermanfaat dan positif bagi bank atau lembaga pembiayaan non bank dalam memberikan fasilitas kredit kepada pemilik kapal.
E.
Keaslian Penelitian Berdasarkan kegiatan penelusuran dan penelitian kepustakaan yang telah
dilakukan oleh Penulis diketahui bahwa penelitian tentang hipotek yang secara khusus meneliti tentang Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Dengan Jaminan Hipotek Kapal, sejauh ini tidak diketemukan, akan tetapi penulisan terkait jaminan hipotek kapal telah ada yang malakukan penelitian, yaitu sebagi berikut: 1.
Putri Kartini Karlina, Kajian Tentang Hipotek Kapal Laut Sebagai Jaminan Dalam Pelaksanaan Perjanjian Kredit Insvetasi Antara PT. PSAP Dengan
15
Bank Penjamin.22 Tulisan ini membahas mengenai pengeksekusian penjualan kapal secara lelang dan perlindungan hukum bagi bank dalam hal debitur mengalami wanprestasi. Permasalahan yang diteliti oleh Penulis terdahulu berbeda dengan permasalahan yang diteliti oleh Penulis. 2.
Tuti Muhajji, Kapal Laut Sebagai Jaminan Hipotek Dalam Perjanjian Kredit pada Bank PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Cabang Makassar.23 Tulisan ini membahas mengenai alasan bank bersedia menerima kapal laut sebagai jaminan hipotek kapal dalam pemberian kredit kepada debitur dan perlindungan hukum bagi bank dalam hal debitur wanprestasi. Perbedaan pembahasan dengan Penulis terdahulu adalah bahwa perlindungan hukum yang diteliti oleh Penulis didasarkan pada hak preference kreditur dan pemenuhan pelunasan dengan mekanisme parate eksekusi dan riele eksekusi. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian ini
berbeda dengan penelitian terdahulu, karena Penulis melakukan penelitian mengenai Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur dengan Jaminan Hipotek Kapal, sehingga Penulis beranggapan bahwa penelitian ini merupakan penelitian yang asli.
22
23
Putri Kartini Karlina, 2010, Kajian Tentang Hipotek Kapal Laut Sebagai Jaminan Dalam Pelaksanaan Perjanjian Kredit Investasi Antara PT. PSAP dengan Bank Penjamin, Tesis Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta; Tuti Muhajji, 2003, Kapal Laut Sebagai Jaminan Hipotek Dalam Perjanjian Kredit pada Bank PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Cabang Makassar, Tesis Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta;
16