I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan
terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata menjadi salah satu faktor yang mendorong belum optimalnya pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumberdaya alam yang ada, baik di laut maupun di darat. Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan selain memerlukan intervensi kebijakan yang berpihak pada kearifan lokal yang berbasis kewilayahan, juga memerlukan strategi pembangunan yang bersifat lintas wilayah dan lintas sektor. Strategi ini diperlukan agar wilayah tersebut dapat berkembang mencapai tingkat yang diinginkan melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya alam secara harmonis dengan pendekatan komprehensif yang memperhatinkan keseimbangan fisik, ekonomi, sosial dan budaya. Kebijaksanaan pembangunan di masa lalu sampai sekarang dianggap hampir identik dengan pemusatan perhatian kepada kebijaksanaan pertumbuhan ekonomi baik pada tingkat regional maupun nasional, selain itu kebijakan pembangunan
bersifat
parsial
dan
kurang
memperhatikan
keterkaitan
antarwilayah. Strategi pembangunan terlalu menekankan kepada akumulasi dari kapital fisik (man-made capital), yang mengabaikan keterkaitannya dengan kapital-kapital lain, seperti kapital alami (natural capital), kapital manusia (human capital) dan kapital sosial (social capital).
2
Pertumbuhan ekonomi selama kurun waktu lebih dari 30 tahun telah menguras sumberdaya alam dan tidak ada investasi dalam pemeliharaannya, hal ini berdampak terhadap rusaknya kelestarian (sustainability) dari sumbersumberdaya alam dan lingkungan hidup. Penyusutan dan degradasi dari sumberdaya tersebut juga telah memperparah terjadinya ketidakseimbangan (unbalance growths) pembangunan (provinsi, kabupaten/kota, wilayah perdesaanperkotaan) dan kelompok–kelompok dalam masyarakat, bahkan ketidakmerataan pendapatan antar kelompok ini mengarah kepada melebarnya tingkat kemiskinan yang semakin besar. Persoalan-persoalan penting lain di daerah antara lain daya saing daerah yang rendah, keterkaitan ekonomi antar daerah yang rendah, kegiatan ekonomi masih terkonsentrasi hanya pada beberapa daerah tertentu saja, belum termanfaatkannya secara optimal potensi sumber daya wilayah, produktivitas wilayah yang rendah, masih banyaknya wilayah-wilayah miskin, konversi lahan pertanian yang tinggi ke non pertanian, kapasitas aparat yang masih rendah, kurangnya keterlibatan masyarakat dan dunia usaha serta Lembaga Swadaya Masyarakat dalam pembangunan, dan belum kondusifnya iklim untuk investasi di daerah yang merupakan akibat dari pembangunan yang bersifat parsial seperti pendekatan dengan pembangunan sektoral. Salah satu implikasi terpenting dari kecenderungan perubahan ini, khususnya dalam bidang pembangunan ekonomi adalah apa yang dikenal dengan integrasi ekonomi menjadi satu kesatuan ekonomi kawasan. Arus lalu lintas perdagangan barang dan jasa serta investasi antar negara akan semakin meluas, intensif dan dinamis.
3
Berbagai literatur tentang regional sciences atau regional development menyebutkan tentang pentingnya tujuh aspek yang perlu diperhitungkan dalam pengembangan wilayah. Pertama, keterkaitan wilayah secara fisik (physical linkages) baik kondisi infrastruktur yang ada seperti jalan, kereta api, angkutan sungai, dan angkutan udara maupun jaringan interkoneksi yang menghubungkan berbagai infrastruktur tersebut. Kedua, keterkaitan wilayah secara ekonomi (economic linkages) terutama ketersediaan sumberdaya, pola aliran barang dan jasa, keterkaitan produksi, komoditas unggulan maupun aliran modal dan pendapatan. Ketiga, pergerakan dan perpindahan penduduk (population movement linkages) baik migrasi tetap maupun migrasi musiman terkait dengan kegiatan ekonomi. Keempat, keterkaitan teknologi (technological linkages) baik teknologi produksi, teknologi informasi, teknologi telekomunikasi. Kelima, keterkaitan sosial (social interaction linkages) dalam kehidupan budaya, agama dan kekerabatan.
Keenam, keterkaitan layanan jasa (service delivery linkages)
termasuk jaringan layanan energi, keuangan dan perbankan, pendidikan, kesehatan
dan
perdagangan.
Ketujuh,
keterkaitan
administrasi,
politik,
pengorganisasian (political, administrative, and organizational linkages). Selain itu, keseimbangan dan keterkaitan lintas wilayah dan lintas sektor perlu dilakukan melalui
penataan
ruang
sebagai
salah
satu
instrumen
utama
dalam
pengarusutamaan (mainstreaming) kebijakan pembangunan berbasis wilayah (Bappenas, 2008). Pendekatan pengembangan wilayah, prinsip-prinsip dari dimensi-dimensi spasial menjadi suatu syarat penting yang perlu dipahami. Pada dasarnya terdapat dua dimensi spasial penting yang perlu dipahami yaitu: (1) local specificity, yang
4
merujuk pada pengertian bahwa setiap lokasi dalam suatu ruang pasti mempunyai kekhasan. Kekhasan ini bisa diartikan sebagai kekhasan alamiah seperti kandungan sumberdaya, dan bisa diartikan pula sebagai kekhasan buatan seperti wilayah sentra produksi kerajinan, wilayah sentra bisnis dan sebagainya, dan (2) spatial interaction, yang merujuk pada pengertian bahwa harus terjadi interaksi antara wilayah-wilayah dengan local specificity agar bisa meningkatkan efisiensi dan keberlanjutan pembangunan dari masing-masing wilayah yang terlibat, sedangkan konsep pembangunan wilayah pada intinya mempunyai lima arah. Pertama, menciptakan suasana atau iklim usaha yang memungkinkan berkembangnya potensi masyarakat di berbagai wilayah. Kedua, meningkatkan akses masyarakat terhadap sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja dan pasar. Ketiga, menciptakan kebersamaan dan kemitraan antara yang sudah maju dengan yang belum berkembang. Keempat, memperkuat pembangunan
kerjasama lintas
antarwilayah
wilayah
dan
dengan lintas
memperhatikan
sektor.
Kelima,
keterkaitan mempercepat
pembangunan wilayah-wilayah tertinggal dan wilayah perbatasan. Oleh karena itu, dengan melihat berbagai permasalahan dan keperluan pembangunan wilayah yang lebih komprehensif perlu sebuah skenario pembangunan wilayah yang mendorong integrasi pembangunan nasional sekaligus memperhatikan keterkaitan dan kesenjangan . Dalam skenario tersebut, optimalisasi investasi pemerintah dan insentif dunia usaha dalam pembangunan harus menjadi fokus utama. Namun keterbatasan sumberdaya pembangunan khususnya pemerintah, lebih tepat adalah dengan pemilihan prioritas wilayah, prioritas industri atau sektor usaha dan prioritas memiliki dampak pengganda
5
paling besar baik secara sektoral (forward and backward linkages) maupun spasial (interregional linkages). Berbagai model pembangunan wilayah telah banyak dilakukan oleh berbagai pihak dengan berbagai kelemahan dan kelebihan masing-masing model. Secara umum model keterkaitan wilayah umumnya digunakan dengan interregional input-output. Kecermatan dalam membangun model pembangunan wilayah akan berpengaruh terhadap akurasi analisis keterkaitan pembangunan antarwilayah. Diharapkan pembangunan model keterkaitan antarwilayah dapat diketahui skenario kebijakan untuk mengurangi ketimpangan pembangunan antarwilayah yang selama ini terpusat di Jawa dan Sumatera. Selain itu, sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah mempunyai kewenangan yang lebih luas untuk menentukan kebijakan dan program pembangunan yang terbaik bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kemajuan wilayah masing-masing. Dengan latar belakang demografi, geografis, infrastruktur dan ekonomi yang tidak sama, serta kapasitas sumber daya yang berbeda, maka salah satu konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah adalah keberagaman daerah dalam hal kinerja pelaksanaan dan pencapaian tujuan pembangunan. Perbedaan kinerja selanjutnya akan menyebabkan kesenjangan antarwilayah, timbulnya konflik dan kemungkinan disintegrasi bangsa. Pendekatan pembangunan berbasis wilayah merupakan jawaban untuk mengkonsolidasikan kekuatan dan potensi lokal secara lebih efektif guna mendorong keserasian dan keseimbangan pembangunan wilayah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional. Dalam konteks pemikiran tersebut, penyusunan model keterkaitan regional menjadi suatu keniscayaan guna
6
mengatisipasi perubahan di masa depan, dan menjamin kesinambungan pembangunan nasional dan antarwilayah.
1.2.
Perumusan Masalah Proses pembangunan yang terjadi selama ini lebih terkonsentrasi di
wilayah Jawa-Bali. Hal ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa wilayah Jawa-Bali memiliki kesiapan lebih awal dalam menjalankan pembangunan. Dampak dari proses ini jelas sekali, ditandai dengan tingginya kesenjangan ekonomi antara wilayah Jawa-Bali dengan wilayah lainnya di Indonesia, terutama wilayah Timur Indonesia. Hal ini antara lain disebabkan karena investasi terkonsentrasi di wilayah Jawa-Bali. Ada dua alasan mengapa pihak swasta kurang tertarik berinvestasi di wilayah timur. Pertama, penduduk Jawa-Bali mencapai 60 persen dari total penduduk Indonesia (Tabel 1), sedangkan luasnya hanya sekitar 7 persen. Akibatnya investor lebih tertarik berproduksi di Jawa-Bali dengan alasan skala ekonomi dan mendekati lokasi pasar. Kedua, sarana dan prasarana di wilayah timur belum memadai dalam mendukung investasi, terutama prasarana angkutan dan komunikasi. Untuk itu diperlukan campur tangan pemerintah menciptakan lingkungan yang mampu menarik minat investor. Tabel 1. Komposisi Penduduk Indonesia Menurut Provinsi, Tahun 2005-2008 No 1 2 3 4 5
Pulau
Sumatera Jawa Kalimantan Sulawesi Wilayah Timur Indonesia Indonesia Sumber: BPS, 2009 (diolah)
2005 46,030 131,854 12,098 15,788 13,099 218,869
Tahun 2006 2007 48,163 49,129 133,428 133,868 12,338 13,107 17,044 17,447 14,108 14,246 225,081 227,798
2008 49,920 135,236 13,372 17,676 14,472 230,675
Share (%) 21.64 58.63 5.80 7.66 6.27 100.00
7
Diterapkannya otonomi daerah, membuat pemerintah daerah berlombalomba menarik minat investor masuk dan menanamkan modalnya di daerah. Daerah berharap bahwa seluruh atau sebagian besar manfaat dari investasi di daerahnya mampu memicu pertumbuhan perekonomian daerahnya. Pemerintah daerah belum menyadari dengan baik bahwa limpahan manfaat investasi tidak semuanya mengalir ke daerah tempat investasi, tetapi sebagian kecil atau dapat juga dalam porsi yang cukup besar dapat mengalir ke daerah lain, terutama wilayah Jawa-Bali. Hal ini disebabkan karena wilayah Jawa-Bali memiliki infrastruktur perekonomian paling lengkap. Tingginya konsentrasi penduduk di wilayah Jawa tentu saja diikuti oleh konsentrasi aktivitas ekonomi. Kadar aktivitas ekonomi dapat ditunjukkan oleh angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), periode 2000-2005, Jawa (Provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali) memberikan kontribusi lebih dari 60 persen terhadap total PDRB seluruh daerah (Tabel 2). Kemudian perannya agak menurun ketika terjadi krisis ekonomi nasional. Fakta demikian menunjukkan bahwa peran wilayah Jawa sangat dominan dalam perekonomian Indonesia. Tabel 2.
Komposisi Produk Domestik Regional Bruto Berdasarkan Harga Konstan 2000 Menurut Provinsi, Tahun 2005-2007 (Rp Miliar)
No
Pulau
1 2 3 4 5
Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Wilayah Timur Indonesia
2005 367,710 1,036,613 152,555 74,070 58,000 1,688,948
2006 389,297 1,093,195 160,483 79,244 55,530 1,777,750
Sumber: PDRB Provinsi, diolah dari berbagai terbitan, BPS
2007 408,677 1,160,726 165,741 84,662 58,513 1,878,319
Kontribusi % 21.76 61.80 8.82 4.51 3.12 100.00
8
Dilihat berdasarkan pulau, Jawa sangat dominan dan pendapatan per kapitanya juga merupakan tertinggi. Sedangkan perprovinsi PDRB per kapita tertinggi diraih oleh penduduk yang bertempat tinggal di luar Jawa, seperti Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan. PDRB per kapita Pulau Jawa berada di atas nilai PDRB per kapita nasional. PDRB per kapita Jawa tertekan oleh jumlah penduduknya yang mencapai lebih 60 persen dari penduduk Indonesia. Pada Tabel 3 dicantumkan nilai PDRB per kapita dalam harga konstan 2000 menurut wilayah pulau. Posisi ekonomi Jawa yang dominan menunjukkan adanya ketimpangan ekonomi antara Jawa dan pulau lain di luar Jawa. Ketimpangan ini mendapat perhatian karena dapat menimbulkan dampak negatif terhadap aspek demografi, politik, ekonomi, pertahanan keamanan dan sebagainya. Penyebab lain ketimpangan ekonomi di antaranya adalah kondisi infrastruktur dan sumberdaya manusia Jawa & Bali telah lebih maju daripada daerah lain. Infrastruktur yang dimaksud diantaranya adalah ketersediaan tenaga listrik, prasarana dan sarana transportasi dan komunikasi. Kelebihannya dalam kepemilikan infrastruktur maka pelaku ekonomi memilih Jawa & Bali sebagai pusat kegiatan bisnis nasional. Tabel 3. No 1 2 3 4 5 6 7
PDRB per Kapita dalam Harga Konstan 2000 Menurut Pulau, Tahun 2005-2007 (Ribu Rupiah per Jiwa)
Pulau Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Nusa Tenggara Maluku Papua Nasional (PDB)
2005 11,599.29 14,668.96 13,188.65 6,343.97 4,807.05 3,279.16 15,849.00 11,231.53
2006 13,172.96 16,798.14 15,000.29 7,169.24 5,298.89 3,523.51 16,505.80 13,354.68
Sumber: PDRB Provinsi dan Statistik Indonesia, diolah dari berbagai terbitan, BPS
2007 14,818.35 18,665.67 16,595.94 8,138.32 6,055.10 3,855.61 18,938.27 15,731.19
9
Wilayah Jawa-Bali oleh sebagian besar pengusaha dijadikan tempat penyusunan kebijakan, strategi dan perencanaan bisnis berskala nasional maupun internasional. Sementara bisnis di luar Jawa kebanyakan berupa pabrikan atau unit usaha yang hanya menjalankan operasional secara teknis. Dengan demikian sekalipun omset bisnis di luar Jawa cukup besar, namun perputaran uang sebagian besar masih berada di antara rekanan usaha yang berlokasi di Jawa. Besarnya perputaran uang di Jawa ini mendorong kegiatan perekonomian yang semakin tinggi di Jawa, sekalipun usaha penciptaan uangnya berada di luar Jawa. Salah satu penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi antarwilayah berikutnya dapat dilihat dari aspek kepemilikan faktor produksi, yaitu modal atau kapital dan tenaga kerja. Jawa memiliki keunggulan dalam faktor kapital dan tenaga kerja, tetapi miskin akan sumberdaya alam. Sementara itu daerah luar Jawa memiliki keunggulan dalam kepemilikan bahan baku berupa sumberdaya alam, baik berupa barang tambang, hasil perkebunan dan kelautan. Daerah yang menguasai kepemilikan kapital dan tenaga kerja cenderung mengalami laju pertumbuhan ekonomi tinggi, sedangkan daerah kaya sumberdaya alam mengalami laju pertumbuhan ekonomi lebih lamban. Oleh karena terdapat perbedaan kepemilikan faktor antar daerah, maka terjadi spesifikasi produksi, yang akan mendorong kegiatan perdagangan antardaerah. Wilayah yang memiliki banyak keunggulan dalam kepemilikan faktor akan menjadi tempat berproduksi (sentra produksi) dan sekaligus sebagai pemasok barang dan jasa bagi daerah-daerah lainnya. Jika ditunjang dengan jumlah penduduk yang besar. Berbeda dengan daerah yang memiliki keunggulan dalam aspek kepemilikan sumberdaya alam dan kepemilikan faktor, maka daerah-
10
daerah yang terbelakang perkembangan ekonominya hampir dipastikan lebih lambat. Selain itu daerah ini masih memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap daerah yang lebih maju. Mengingat adanya perbedaan karakteristik antarwilayah di Indonesia yang disebabkan oleh jumlah penduduk, kualitas sumberdaya manusia, infrastruktur, kapital dan sumberdaya alam, maka ketergantungan atau keterkaitan ekonomi antarwilayah akan terjadi. Sehubungan dengan struktur keterkaitan ekonomi tersebut muncul pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban melalui suatu penelitian ilmiah, yaitu: 1. Bagaimana keterkaitan antarwilayah dapat saling mempengaruhi kinerja perekonomian wilayah. 2. Bagaimana dampak kebijakan ekonomi disuatu wilayah dapat mempengaruhi kinerja perekonomian wilayah lainnya.
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan pada latar belakang dan permasalahan studi yang telah
diuraikan sebelumnya, tujuan penelitian adalah untuk: 1. Membangun model yang mengintegrasikan keterkaitan ekonomi antara wilayah Sumatera, Jawa-Bali dan wilayah Timur Indonesia. 2. Mengetahui dampak kebijakan ekonomi di suatu wilayah terhadap kinerja perekonomian wilayah sendiri dan wilayah lain di Indonesia.
1.4.
Ruang Lingkup Kegiatan Model keterkaitan wilayah dititikberatkan pada serangkaian kegiatan
untuk mengetahui berbagai dampak kebijakan yang ada diwilayah tertentu terhadap wilayah lain. Wilayah dalam hal ini adalah diwakili oleh tiga wilayah
11
besar di Indonesia, yaitu wilayah Sumatera yang terdiri dari 10 provinsi, wilayah Jawa-Bali terdiri dari 8 provinsi dan wilayah Timur Indonesia (WTI) yang merupakan gabungan dari wilayah Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua yang secara keseluruhan yang terdiri dari 15 provinsi.