BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia, yang memiliki posisi geografis sangat unik dan strategis. Hal ini dapat dilihat dari peta letak geografis Indonesia yang berada diantara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Berdasarkan letak geografis ini, Indonesia memperoleh banyak keuntungan, diantaranya pertama, iklim musim yang merupakan pengaruh dari Asia dan Australia. Kedua, memungkinkan menjadi persimpangan lalu lintas dunia, baik lalu lintas udara maupun laut. Ketiga, sebagai titik persilangan kegiatan perekonomian dunia, antara perdagangan negara-negara industri dan negara-negara yang sedang berkembang. Indonesia juga dikenal sebagai Negara yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA). Sumber daya alam berdasarkan sifatnya dapat digolongkan menjadi SDA yang dapat diperbaharui dan SDA tidak dapat diperbaharui. SDA yang dapat diperbaharui adalah kekayaan alam yang dapat terus ada selama penggunaannya tidak dieksploitasi berlebihan, contohnya adalah tumbuhan, hewan, mikroorganisme, sinar matahari, angin, dan air. Walaupun jumlahnya sangat berlimpah di alam, penggunaannya harus tetap dibatasi dan dijaga untuk dapat terus berkelanjutan.
1
2
SDA tidak dapat diperbaharui adalah SDA yang jumlahnya terbatas karena penggunaannya lebih cepat daripada proses pembentukannya dan apabila digunakan secara terus-menerus akan habis, contohnya minyak bumi, emas, besi, dan berbagai bahan tambang lainnya pada umumnya memerlukan waktu dan proses yang sangat panjang untuk kembali terbentuk sehingga jumlahnya sangat terbatas. Salah satu SDA tidak dapat diperbaharui adalah sumber daya alam berupa tambang, yang sistem pengelolaan penambangannya bersifat pluralistik (memiliki keanekaragaman kontrak/izin pertambangan). Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba, kegiatan pertambangan diatur berdasarkan Undang-Undang
Nomor
11
Tahun
1967
tentang
Pokok-pokok
Pertambangan. Di dalam implementasinya, undang-undang ini banyak menimbulkan permasalahan antara lain: 1.
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Tidak mampu mengakomodir perkembangan kegiatan pertambangan yang terus bermetafora, misalnya pembagian kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam kaitannya dengan otonomi daerah. Pengaturan mengenai wilayah pertambangan, Reklamasi dan pasca tambang, Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pertambangan, Penerimaan Negara, Penggunaan tanah untuk kepentingan pertambangan, Divestasi saham atau modal pemegang izin usaha pertambangan, Status kontrak karya, Perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara, dan Kuasa pertambangan yang sudah diterbitkan. Berdasar pada kesepuluh permasalahan dimaksud di atas, yang
berpotensi sering terjadi permasalahan pada saat berlakunya Undang-
3
Undang Pokok Pertambangan, yaitu pada point ke-2 (pengaturan mengenai wilayah pertambangan), dan ke-10 (Kuasa Pertambangan yang sudah diterbitkan). Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967, menimbulkan berbagai permasalahan sehubungan dengan adanya berbagai perubahan ketentuan terutama ketentuan yang berkaitan dengan berubahnya pola kerjasama pertambangan di sektor mineral, khususnya mengenai Kuasa Pertambangan (KP). Kuasa Pertambangan (KP) tersebut memberikan kesempatan luas kepada penanaman modal asing untuk berusaha di sektor pertambangan umum (Pasal 10 Undang-Undang Pokok Pertambangan). Kontrak karya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan perusahaan berbadan hukum Indonesia, merupakan anak perusahaan dari perusahaan asing, ditandatangani oleh Menteri Pertambangan dan Perusahaan, serta harus memperoleh persetujuan Presiden dan DPR.1 Menurut ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, penanaman modal asing di bidang pertambangan didasarkan pada suatu kerjasama dengan Pemerintah atas dasar Kontrak karya atau bentuk lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kontrak kerjasama antara pemerintah dan badan usaha ini, menimbulkan perikatan yang berasal dari perjanjian yang sifatnya khusus, karena menyangkut 1
Nanik Trihastuti, Hukum Kontrak Karya Pola Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Indonesia, (Malang: Setara Press, 2013), hlm.4
4
Negara sebagai badan hukum publik di satu pihak dan badan hukum privat di pihak lain. Kuasa pertambangan (KP), merupakan wewenang yang diberikan kepada badan / perseorangan untuk melaksanakan usaha pertambangan. Ada 6 (enam) jenis KP yaitu KP Penyelidikan Umum, KP Explorasi, KP Eksploitasi, KP pengolahan dan pemurnian, KP Pengangkutan dan KP Penjualan. Menurut Sukandarrumidi, ada beberapa syarat permohonan KP, yaitu:2 1.
2. 3.
4. 5. 6. 7. 8.
Surat permohonan bagi Perusahaan harus diajukan di atas kop surat perusahaan pemohon dengan dibubuhi materai tempel dan bagi perorangan diajukan di atas kertas bermaterai dengan ketentuan yang berlaku. Peta bagan / wilayah yang dimohon dengan skala 1:50.000 untuk pulau Jawa dan pulau Bali. Surat Jaminan Bank dari Bank Pemerintahan sesuai dengan Keputusan MPE No.749/KPTS/Pertamben/1981 dengan ketentuan bahwa Jaminan Bank tersebut baru dapat dicairkan setelah disetujui atau ditolaknya permohonan KP yang bersangkutan. Setoran Pajak Terhitung (SPT) tahun terakhir. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Pernyataan tenaga ahli, perjanjian kerja tenaga ahli, fotocopy ijazah, daftar riwayat hidup dan fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP). Fotocopy KTP penandatangan surat permohonan. Akte Pendirian Perusahaan yang salah satu dari maksud dan tujuannya menyebutkan berusaha di bidang Pertambangan dengan disertai bukti pendaftaran akte tersebut pada Pengadilan Negara setempat bagi CV dan Firma serta tambahan pengesahan dari Departemen Kehakiman bagi PT dan Anggaran Dasar yang disahkan oleh instansi yang berwenang bagi koperasi. Berdasarkan
diberlakukannya
permasalahan-permasalahan Undang-Undang
Ketentuan-ketentuan 2
Pokok
Nomor
11
Pertambangan,
yang Tahun
timbul 1967
sehingga
era
tentang
diperlukan
Sukandarrumidi, “Kuasa Pertambangan”, dalam http://genminer08ustj. blogspot.com/2009/12/kuasa-pertambangan.html, diunduh tanggal 26 Desember 2009.
5
pembaharuan hukum pertambangan dari rezim pengaturan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan, kepada rezim Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Undang-Undang Minerba). Di sektor pertambangan, sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba, pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 tentang Penyerahan Kewenangan Pertambangan kepada Pemerintah Daerah yang memberikan kewenangan pengelolaan sektor pertambangan secara utuh kepada Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota. Berdasar adanya Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001, maka keberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 yang sampai tahun 2009 belum ada penggantinya, masih tetap diberlakukan secara parsial dimana hal-hal yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, kemudian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dinyatakan tidak berlaku. Pada periode 2001-2009 sektor pertambangan dapat dikatakan mengalami chaos dalam arti pengelolaannya lebih banyak diserahkan kepada Pemerintah Daerah dan DPRD setempat. Dalam periode tersebut sektor pertambangan batubara berkembang hampir tanpa pengawasan baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi. Otonomi ditafsirkan tergantung kearifan para Bupati dan DPRD-nya. Pada masa periode tersebut muncullah Peraturan-Peraturan Daerah (PERDA) yang sangat memberatkan
6
perusahaan-perusahaan pertambangan. Era diberlakukannya UndangUndang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Undang-Undang Minerba) dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana terakhir diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014, maka izin pertambangan yang berlaku meliputi Izin Pertambangan Rakyat (IPR), Izin Usaha Pertambangan (IUP), dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Jadi ada perbedaan kontrak pertambangan antara pada saat berlakunya Undang-Undang Pokok Pertambangan, dengan Undang-Undang Minerba. Berkaitan dengan persoalan pola kerjasama, terdapat perbedaan pengaturan yang sangat mendasar antara Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan, dengan UndangUndang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Undang-Undang Minerba), menunjukkan adanya permasalahan baru yakni antara lain bahwa sebelum Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya dalam penerbitan wilayah kerja Izin Usaha Pertambangan (IUP) harus berada dalam Wilayah Pertambangan (WP) yang ditetapkan oleh Menteri ESDM. WP tersebut ditetapkan dalam rangka tata ruang nasional. Istilah penggunaan izin “Kuasa Pertambangan (KP)” menjadi izin usaha pertambangan (IUP), bentuk perizinannya berubah yaitu yang lama setiap tahapan mempunyai Kuasa Pertambangan tersendiri, sedangkan yang baru dibagi dua IUP eksplorasi yang terdiri dari kegiatan Penyelidikan
7
Umum, Eksplorasi, dan Studi Kelayakan, selanjutnya IUP produksi terdiri dari kegiatan Konstruksi, Penambangan, Pengolahan dan Pemurnian, serta Pengangkutan Penjualan, dan banyak hal lain lagi yang berubah serta pejabat yang memberi perizinannya dan sanksi-sanksi yang diberikan lebih berat lagi. Bergulirnya era reformasi pemerintahan daerah yang ditandai dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang “Pemerintahan Daerah” sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, membawa dampak perubahan yang sangat mendasar dalam bentuk perizinan pengusahaan di bidang pertambangan di Indonesia. Seiring dengan perubahan tersebut, banyak terjadi permasalahan di lapangan sehubungan dengan pelaksanaan pengusahaan di bidang pertambangan, karena terjadi ketidakpastian hukum dalam penerapan berbagai peraturan perundang-undangan dan persepsi yang berbeda dengan kewenangan pemberian perizinan, serta terjadi ketidakharmonisan antar berbagai sektor terkait. Untuk mengantisipasi perubahan di bidang pemerintahan tersebut, Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 tentang “Penyerahan Kewenangan Pertambangan kepada Pemerintah Daerah”, yang memberikan kewenangan pengelolaan pertambangan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota secara utuh untuk urusan pemerintahan, kecuali 6 (enam) hal yang menjadi urusan Pemerintah. Peraturan Pemerintah tersebut pada dasarnya tidak sinkron dengan Undang-
8
Undang Nomor 11 Tahun 1967, yang notabene masih berlaku sampai akhir tahun 2009 (dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara). Namun dalam Tesis ini, penulis akan membandingkan bagaimana terjadinya praktik tumpang tindih penyalahgunaan izin lahan pertambangan di kepulauan Riau Bangka Belitung dengan praktik tumpang tindih di kepulauan Kalimantan, khususnya tumpang tindih ijin usaha pertambangan dengan kawasan hutan konservasi, dan tumpang tindih ijin usaha pertambangan dengan komoditas yang sama. Berdasar terjadinya praktik tumpang tindih penyalahgunaan izin lahan pertambangan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah daerah telah melanggar asas-asas yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Bagian Kedua Asas Penyelenggaraan Pemerintahan, dalam Pasal 20 ayat (1) yang meliputi asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggara Negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, asas akuntabilitas, asas efisiensi, dan asas efektivitas. Dilihat dari perspektif sejarah kenegaraan dan hukum, kewenangan dan peran administrasi negara sangatlah besar, terutama perannya dibidang izin pertambangan (kuasa pertambangan). Hal ini karena izin yang merupakan Keputusan Administrasi Negara, termasuk dalam campurtangan pemerintah
melalui
pengendalian
langsung,
yang
berarti
didalam
menjalankan pengusahaan pertambangan, pemerintah mengendalikan dan
9
mengarahkan agar pelaksanaannya sesuai dengan tujuan sebagaimana diatur dalam UUD 1945, yaitu dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan demikian izin merupakan salah satu sarana untuk mencapai kemakmuran yang diterbitkan oleh Pemerintah sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku. Praktik tumpang tindih penyalahgunaan izin lahan pertambangan tersebut sejak awal tahap eksplorasi, rencana pascatambang sudah disiapkan. Meskipun umur tambangnya masih beberapa puluh tahun yang akan datang. Proses perencanaan tersebut dilakukan bersamaan dengan penyusunan studi kelayakan dan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). Isi rencana pascatambang tersebut harus memuat profil wilayah, deskripsi
kegiatan
pertambangan,
rona
lingkungan
akhir
lahan
pascatambang, program pascatambang, organisasi, kriteria keberhasilan pascatambang dan rencana biaya pascatambang. Namun, dalam menyusun rencana pascatambang, pemegang IUP dan IUPK harus berkonsultasi dengan instansi pemerintah dan/atau instansi pemerintah daerah yang membidangi pertambangan mineral dan/atau batubara, instansi terkait, dan masyarakat.
Hal
itu
dilakukan
untuk
mengakomodir
kepentingan
pemerintah (pusat dan daerah) dan masyarakat. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 bertolak belakang dengan Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 yang menyebabkan timbulnya dualisme kewenangan antara kewenangan Pemerintah dan kewenangan daerah otonom dalam penerbitan perizinan. Undang-Undang Nomor 11
10
Tahun 1967 pada prinsipnya memberikan kewenangan penerbitan izin pertambangan kepada Pemerintah (Pasal 4). Berbeda dengan Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001, maka kewenangan penerbitan izin pertambangan tergantung dari letaknya kegiatan pertambangan yang dilakukan yang dapat diberikan oleh Bupati, Walikota, Gubernur atau Menteri sesuai kewenangan masing-masing (Pasal 1 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001). Bila mengacu pada sistem hukum yang berlaku di Indonesia, maka seyogianya kebijakan daerah otonom hanyalah menjabarkan lebih lanjut dari kebijakan Pemerintah, karena kebijakan daerah otonom merupakan pelaksanaan dari kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah. Dengan demikian bila terjadi ketidaksinkronan antar kebijakan yang ada di tingkat Pemerintah atau antara Pemerintah dengan Daerah Otonom, maka kebijakan yang ada di tingkat daerah otonom hendaknya berpedoman pada kebijakan yang ada di tingkat Pemerintah. Sinkronisasi mutlak diperlukan dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Disahkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 pada bulan Desember, maka paradigma otonomi daerah sebagaimana dimuat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001, menjadi terakomodir. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara memberikan kewenangan pengelolaan pertambangan
11
mineral dan batubara kepada Pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan Kota sesuai kewenangan masing-masing. Mengenai penguasaan bahan galian sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 disebutkan bahwa, (a) Penguasaan bahan galian diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah, (b) untuk kepentingan strategis nasional, maka Pemerintah dengan persetujuan DPR menetapkan wilayah pencadangan negara (WPN) untuk mineral dan batubara, (c) untuk kepentingan nasional Presiden menetapkan pengutamaan kebutuhan mineral dan batubara dalam negeri (DMO), (d) data dan informasi adalah milik Pemerintah, (e) Pengelolaan dilaksanakan oleh Pemerintah dan Daerah. Hal ini sangat berbeda dengan UndangUndang Nomor 11 Tahun 1967, dimana penguasaan bahan galian pada dasarnya diselenggarakan oleh Pemerintah, dalam hal ini oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Konsep penguasaan oleh Negara sebagaimana diamanatkan Pasal 33 UUD 1945 telah bergeser sangat jauh dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 menuju Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Dasar menetapkan hak penguasaan di tangan Pemerintah, didasarkan pada falsafah Pasal 33 UUD 1945 yang mengacu bahwa pengertian “Negara” adalah sebagai pemilik kedaulatan yang dapat bertindak kedalam dan keluar. Dalam hal ini organ yang dapat melakukan tindakan kedalam dan keluar adalah “Pemerintah Pusat”, tidak termasuk pengertian “Pemerintah Daerah” (hanya memiliki kewenangan kedalam saja, tidak berdaulat).
12
Konsep penguasaan negara yang sesungguhnya dari Pasal 33 UUD 1945 adalah ditangan Negara sebagai pemegang kedaulatan dan organ yang dapat bertindak kedalam dan keluar mewakili Negara. Oleh karenanya konsep pengelolaan pertambangan yang disesuaikan dengan pemberian otonomi kepada Pemerintah daerah, perlu dikaji kembali agar disesuaikan dengan “konsep penguasaan negara” berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Pada akhirnya pengelolaan pertambangan benar-benar dapat mewujudkan sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat. Berdasarkan uraian yang dikemukakan secara terperinci tersebut di atas, pada penjelasan singkat dari praktik tumpang tindih penyalahgunaan izin lahan pertambangan yang terjadi di kepulauan Bangka Belitung dengan kepulauan Kalimantan, mendorong penulis untuk mengangkat permasalahan ini kedalam sebuah tulisan berupa Tesis berjudul “Tumpang Tindih Perijinan Pertambangan dan Implikasi terhadap Kepastian Hukum Berinvestasi.” B.
Perumusan Masalah Dari latar belakang sebagaimana disampaikan sebelumnya, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1.
Mengapa terjadi tumpang tindih dalam pemberian Izin Usaha Pertambangan ?
2.
Apa implikasinya terhadap kepastian hukum berinvestasi ?
13
3.
Bagaimana upaya penyelesaian sengketa tumpang tindih wilayah izin usaha pertambangan sesuai Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara ?
C.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1.
Untuk mengkaji dan menganalisis pelaksanaan pemberian Izin Usaha Pertambangan sehingga terjadinya tumpang tindih.
2.
Untuk mengkaji dan menganalisis implikasinya terhadap kepastian hukum berinvestasi.
3.
Untuk mengkaji upaya penyelesaian sengketa tumpang tindih wilayah izin usaha pertambangan sesuai Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
D.
Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini terdiri atas 2 (dua) manfaat, yaitu: 1.
Manfaat
Teoretik,
diharapkan
dapat
dijadikan
sumber
ilmu
pengetahuan atau wawasan tambahan bagi para peneliti, yang berminat untuk mendalami pemahamannya mengenai permasalahan tumpang tindih
izin
lahan
pertambangan,
yang
diduga
melakukan
penyalahgunaan wewenang. 2. Manfaat Praktis, diharapkan dapat dijadikan studi banding bagi stakeholders, baik itu pemerintah (Bupati, Dinas Pertambangan dan Energi, pemerintah daerah) maupun pelaku usaha pertambangan.
14
E.
Keaslian Penelitian Penelitian
mengenai
masalah
pertambangan
sudah
banyak
dilaksanakan. Namun penelitian yang khusus meneliti tumpang tindih perijinan pertambangan dan implikasinya terhadap kepastian hukum berinvestasi belum banyak dibahas oleh peneliti lainnya. Untuk itu, penulis mengambil beberapa contoh sebagai acuan, yang terdiri dari 3 (tiga) tesis dengan tema yang hampir sama, sebagai berikut:
No. 1
TEMA/JUDUL//JENIS/ LEMBAGA/PENULIS/ TAHUN Harmonisasi kebijakan penerbitan izin Usaha Pertambangan mineral di kabupaten Ketapang Kalimantan Barat dalam rangka menjamin kepastian hukum/ Tesis/Program Magister Ilmu Hukum Universitas Atmajaya, Jogjakarta/ Feri Hyang Daika/2012.
2.
Tinjauan Yuridis Ijin Usaha Pertambangan Batu Bara Dalam Hal Investasi berkaitan dengan Moratorium Kehutanan/ Skripsi/Prakoso Anto Nugroho/ Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok/ 2012.
3.
Pelaksanaan Pemberian izin Pertambangan Batu Bara Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Dharmasraya Nomor 19 Tahun 2007
FOKUS PENELITIAN
FOKUS PENELITIAN INI
Peneliti hanya fokus Penelitian ini fokusnya pada penerbitan ijin adalah pada usaha dalam hal kewenangan dari kepastian hukum bagi pemegang otoritas pemegang ijin terutama antara pertambangan kewenangan daerah dan pusat yang menimbulkan tumpang tindih yang berujung pada hilangnya potensi keuntungan negara dan tentu saja daerah dimana tambang itu berada. Fokus penelitian ini Penelitian ini tidak adalah pada kajian hanya fokus kepada yuridis berkaitan dengan kajian yuridis namun usaha pertambangan juga fokus pada halbatubara dan hal yang bersifat nonpengaruhnya terhadap yuridis, yakni faktormasa depan investasi faktor yang memseperti karena adanya pengaruhi faktor sosial dan moratorium Kehutanan ekonomi. Penelitian ini hanya Penelitian ini akan bersifat diskriptif fokus langsung kepada mengenai Pemberian analisis permasalahan izin Pertambangan Batu secara komprehensip dengan Bara Berdasarkan berkaitan Peraturan Daerah permasalahan
15
tentang Pengelolaan dan Pengusahaan Energi di Kabupaten Dharmasraya/ Skripsi/Eko Noris/ Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, 2012
Kabupaten Dharmasraya Nomor 19 Tahun 2007 tentang Pengelolaan dan Pengusahaan Energi di Kabupaten Dharmasraya
kewenangan yang bersifat ego sektoral sehingga perusahaan milik daerah atau negara kehilangan potensi keuntungan akibat egosektoral tersebut.